Anda di halaman 1dari 6

NASIONALISME BANGSA INDONESIA DALAM PRAKTIK EMANSIPASI

WANITA DI ERA KOLONIAL

INDONESIAN NATIONALISM IN THE PRACTICE OF WOMEN'S


EMANCIPATION IN THE COLONIAL ERA

Oleh:
Serli Saimah
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa
Email: 2288220046@untirta.ac.id

Abstrak: Bahasa merupakan syarat penting dalam membangun nasionalisme bangsa.


Nasionalisme di Indonesia memiliki kaitannya dengan kolonialisme Belanda yang sudah sangat
lama menguasai Indonesia. Menurut Sartono kartodirdjo (1967) Nasionalisme Indonesia berawal
ketika R.A kartini memperjuangkan emansipasi wanita. Kondisi kaum wanita di era Kolonial
sangat memperihatinkan pasalnya status mereka sangat rendah dibandingkan dengan kaum laki-
laki. Dimana kaum wanita sangat dibatasi dalam beraktifitas terutama diluar rumah, yang mana
aktivitas utama kaum wanita pada saat itu hanya mengurus suami dan mengurus aktifitas rumah
tangga lainnya. Kemudian munculnya suatu pemikiran yang dibawa oleh R.A Kartini yang
berusaha dalam memperjuangkan emansipasi wanita Indonesia dalam merubah praktik-praktik
atau kebiasaan yang sudah lama dilakukan dimasa Kolonial tersebut. Tujuan dari penulisan ini
bertujuan mengkaji mengenai perkembangan nasionalisme di Indonesia melalui perjuangan yang
dilakukan R.A Kartini pada masa kolonial. Penulisan ini menggunakan metode historis. Maka
dari itu artikel ini akan memaparkan mengenai pemikiran emansipasi wanita oleh Kartini pada
masa kolonial.

Kata Kunci: Emansipasi Wanita, R.A Kartini, Jawa Tengah, kolonial

Abstract: Nationalism began with the emergence of local languages which was preceded by the
printing press revolution. With a printing machine, a publisher has the ability to print books and
other written media in large quantities. Thus, language is also an important requirement in
building nationalism. Nationalism in Indonesia is related to Dutch colonialism which has
controlled Indonesia for a long time. According to Sartono Kartodirdjo (1967) Indonesian
nationalism began when RA Kartini fought for women's emancipation. The condition of women
in the Colonialism era was very worrying because their status was very low compared to men.
Where women were very limited in their activities, especially outside the home, where the main
activity of women at that time was only taking care of their husbands and taking care of other
household activities. Then came a thought put forward by R.A Kartini who tried to fight for the
emancipation of Indonesian women by changing practices or habits that had long been carried out
during the Colonial period. The aim of this writing is to examine the beginning of the
establishment of Nationalism and the development of nationalism in Indonesia, through the
struggle carried out by R.A Kartini during the colonial period. This writing uses historical
methods. Therefore, this article will explain Kartini's thoughts on women's emancipation during
the colonial period.
Keywords: Women's Emancipation, R.A Kartini, Central Java, Colonial

PENDAHULUAN
Gender merupakan sebuah sifat yang sudah ada dan erat dengan kaum laki-laki dan wanita
yang telah dibangun secara sosial dan budaya (Fakih, 2008:8). Pandangan terhadap gender juga
dapat memicu subordinasi terhadap kaum wanita atau penilaian rendah terhadap suatu gender,
pandangan bahwa pola pikir pada perempuan adalah emosional sehingga dapat berpengaruh pada
stigma ketidakmampuan untuk tampil dan memimpin yang mengakibatkan menimbulkan sikap
bahwa wanita berada dalam posisi tidak penting dan mendapatkan ketidakadilan. Ketidakadilan
gender dapat berupa kekerasan dalam bentuk serangan fisik maupun mental terhadap satu jenis
maupun lawan jenis yang menyerang mental dan psikologis seseorang. Kekerasan yang sering
terjadi kepada kaum perempuan seperti pemerkosaan, pelacuran, tindakan kekerasan dalam
rumah tangga, dan masih banyak lagi.

Diskriminasi terhadap kaum wanita sudah ada sejak zaman dahulu sekitar abad ke-18, dan
dimana hanya kaum laki-laki saja yang dapat menerima pendidikan yang tinggi. Atas adanya
gerakan diskriminasi terhadap kaum wanita kemudian munculah gerakan feminisme yang berasal
dari bahasa latin, Femina atau perempuan. Istilah ini muncul pada tahun 1890-an yang mengacu
pada kesetaraan laki-laki dan wanita serta pergerakan dalam memperoleh hak-hak wanita.

Gerakan emansipasi wanita di Indonesia baru menampakkan pergerakannya ketika era


pergerakan nasional pada akhir abad ke-19. Karena sebelumnya keadaan wanita pada era
kolonial masih sangat terikat oleh adat. Dimana pendidikan hanya dikhususkan untuk kaum laki-
laki sedangkan kaum wanita hanya mendapatkan pendidikan dirumah yang didapat untuk
persiapan dalam menjadi ibu rumah tangga yang baik (Suhartono, 1994). Di era tersebut hidup
juga seorang wanita yang ingin memperbaiki kebudayaan Jawa yang masih erat pada feodalistik
yang menjadikan salah satu pelopor gerakan emansipasi wanita. Namanya Raden Ajeng Kartini,
beliau seorang wanita bangsawan kelahiran Jawa. Beliau memiliki gagasan idealisme
revolusioner dalam menerobos ikatan adat yang membelenggu fleksibilitas wanita untuk
membebaskan keinginannya.

Permasalahan tersebut yang membuat Kartini menginginkan agar adanya perubahan dalam
status wanita. Kartini memiliki kemampuan dalam berbahasa Belanda yang menjadi modal yang
ia miliki dalam berhubungan dengan temannya salah satunya dari Eropa. Hubungan Kartini
dengan temanya dari Eropa semakin membuka wawasan terkhusus mengenai kemajuan wanita
dalam status sosial yang rendah. R.A Kartini ini menjadi cerminan masyarakat khususnya kaum
wanita pada abad akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 tentang harkat wanita yang
sebelumnya berada di sumur, dapur dan kasur.
METODE
Dalam proses penulisan artikel ini penulis menggunakan metode historis. Dengan mencari
dan mengumpulkan beberapa sumber yang berkaitan dengan Emansipasi wanita berupa artikel
dan jurnal yang signifikan.

PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat R.AKartini
21 April 1879 di Mayong Jepara lahir seorang putri bernama Raden Ajeng Kartini dari
pasangan Bupati Jepara. Kartini memiliki lima saudara laki-laki dan dua saudara perempuan, dan
tiga saudara perempuan dari ibu tirinya. Kartini kemudian sekolah di Europese Lagere School
dan hanya diperbolehkan sekolah sampai usianya yang ke 12 tahun. Dalam waktu yang sesingkat
itu beliau sudah mahir dalam berbahasa Belanda dan sejak itu beliau banyak membaca koleksi
buku-buku yang ada dirumah maupun di kantor ayahnya. Karena kepandaiannya yang mahir
berbahasa itu, Kartini menjadi putri kebanggaan ayahnya dan sesekali Kartini diajak oleh
ayahnya untuk menemui para tamu belanda, yang kemudian sebagian yang beliau temui itu
menjadi sahabatnya dan berbincang melalui surat.

Kartini juga gemar dalam membaca koran dan majalah terbitan dari Hindia Belanda,
Bahkan beliau juga pernah mengirimkan artikel yang dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari
membaca berbagai referensi yang ia dapatkan, Kartini sampai pada pemikiran yang maju. Karena
dari referensi yang didapat dari pengetahuan dunia Barat yang sifatnya demokratis yakni
memiliki kedudukan yang sama tanpa memandang status dalam masyarakat. Dari situ munculnya
pemikiran kritis dari Kartini bahwa dunia Barat lebih baik daripada dunia pribumi yang ia
tinggali saat itu. Beliau menyadari kehidupan yang dijalani orang-orang barat menjalani
kehidupan yang berhubungan dengan baik sedangkan pribumi masih sangat tertinggal, yang
hanya mengenal atasan dan bawahan dan kurangnya dalam perikemanusiaan. Kartini juga
menyadari yang terjadi pada pribumi kala itu bukan sebuah hukum yang tertulis melainkan adat
yang membelenggu. Semasa ia menjalani sekolahnya, Kartini banyak melihat diskriminasi teman
kelasnya. Karena pada waktu itu kehormatan seseorang terletak pada nilai kebangsawanannya
tidak peduli orang itu pandai atau bodoh, beradab atau tidaknya.

Kemudian tiba waktunya kartini dijodohkan pada 12 November 1903 oleh seorang bupati
Rembang yakni Raden Adipati Joyodiningrat yang sudah tiga kali beristri. Kartini mencoba
untuk menerima lamaran itu dengan syarat jika calon suaminya mendukung gagasan cita-citanya
dan meminta diperbolehkan untuk membuka sekolah dan mengajar putri-putri Rembang seperti
yang ia lakukan di jepara dan beberapa syarat lainnya yakni Kartini tidak ingin adanya prosesi
jalan jongkok berlutut dan menyembah kaki mempelai pria dan mempertegas kepada calon
suaminya bahwa seorang istri harus sederajat. Dan ternyata semua syarat yang diajukan Kartini
diterima oleh calon suaminya. Kartini melahirkan anak pertamanya Pada 13 September 1904.
Namun proses persalinannya cukup berat dan beliau mengalami banyak pendarahan selama
berhari-hari sampai pada 17 September 1904 beliau tutup usia. Kartini dimakamkan di Rembang
tepatnya di desa bulu.

B. Pemikiran Emansipasi Wanita oleh Kartini


Kartini merupakan pelopor emansipasi dan feminisme Indonesia berperan penting dalam
perkembangan nasionalisme di Indonesia. karena perjuangannya yang aktif dalam menuntut hak-
hak untuk wanita khususnya memperoleh pendidikan yang layak. Keadaan pribumi yang dikelilingi
oleh adat istiadat dan agama yang tumbuh dari masyarakatnya sendiri. Adat istiadat yang berlaku
kala itu tidak memperbolehkan perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan tidak diperbolehkan
bekerja diluar rumah dan menduduki jabatan dalam masyarakat.
Intensitas Kartini dalam berhubungan dengan sahabatnya orang-orang Belanda memiliki
kemenarikan. Awalnya Kartini bergaul dengan Asisten residen Ovink. Di kesempatan lain Kartini
juga berkenalan dengan Estella Zeehandelaar yakni seorang wanita aktivitas gerakan Sociaal
Democratische Arbeiderspartij. Dan melalui sahabatnya Estella ini Kartini diperkenalkan sebagai
perjuangan wanita dan sosialisme. Pemikiran kritis yang muncul dalam diri Kartini bukan muncul
begitu saja, melainkan melalui proses pengalamannya, berinteraksi dengan para tokoh tertentu dan
hobinya dalam membaca berbagai buku. Kartini selain cenderung dengan budaya barat beliau juga
kental dengan Dunia timur terutama rasa keingintahuannya mengenai Islam.
Kartini juga seorang muslimah yang kritis dan memiliki spiritual yang tinggi. Hal tersebut
diungkapkan melalui suratnya kepada Stella 6 November 1899 yaitu " Disini, orang belajar Alquran
tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar
makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal bahasa inggris, tapi tidak
memberikan artinya. Aku pikir, tidak jadi orang Soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik
hati. Bukankah begitu Stella?". Kegelisahan itu mendorong Kartini untuk selalu mencari jawaban
dan mencari guru yang bisa memberikan jawabannya. Dan Kartini sampailah menemukan guru
yang istimewa dalam mempelajari Islam dengan Snouck Hurgronje, yakni seorang ulama besar dari
semarang.
Dari buku-buku yang ia baca menjadikan jaringan intelektualnya luas dan menjadikan Kartini
pada pribadi kritis yang berhaluan kiri yang tertulis dalam buku "Panggil aku Kartini saja" karya
Pramoedya Ananta Toer (2003). Dengan menelaah surat-surat dan dokumentasi yang ia peroleh
tentang Kartini Pramoedya (2003) mencoba menunjukkan kartini ini memiliki ciri-ciri sikap
nasionalisme. Dimana adanya kutipan yang menguraikan pendapat Kartini mengenai
kesetiakawanan yang melintasi ras, etnis dan agama.
Disaat orang-orang yang terkurung oleh adat istiadat di Jawa yang menindas perempuan,
Kartini justru mempertanyakan tentang adat itu sendiri. Kemudian Kartini berpendapat seharusnya
wanita yang terdidik harus mampu dalam menghapuskan tradisi pingitan, pernikahan paksa,
poligami dan pembodohan. Namun, nyatanya kesulitan itu datang dari kaum wanita itu sendiri.
Mereka tidak tertarik dengan usaha memperjuangkan untuk perbaikan. Menurut Kartini adat
merupakan aturan yang dibuat oleh manusia dan dapat diubah oleh manusia itu sendiri, maka
Kartini perlu mengubah mindset tentang adat. Kartini merasa perlunya pendidikan bagi kaum
wanita demi menjadikan seorang ibu yang mendidik anaknya bagi generasi masa depan. Maka
dapat dipahami bahwasanya emansipasi yang dilakukan Kartini yakni memberikan ruang bagi
kaum wanita tetapi tetap menempatkan pendidikan keluarga sebagai hal yang utama.
C. Respon dan Dampak Dari Pemikiran R.A. Kartini Bagi Masyarakat Pribumi
Maraknya praktik poligami dan perjodohan anak usia dini meresahkan masyarakat Jawa saat
itu, jika dikaitkan dengan realitas yang menunjukkan dampak praktik tersebut terhadap nasib
perempuan, sangat memprihatinkan. Misalnya saja gangguan emosional istri yang tidak ingin
suaminya berbagi cinta dengan perempuan lain, risiko perceraian karena pernikahan dini,
pandangan bahwa perempuan didominasi oleh laki-laki, dan sebagainya.
Pemikiran Kartini yang kritis ini mendapat respon dan dampak positif bagi masyarakat sejak
pertengahan tahun 1990-an. Awal abad ke-20, khususnya di bidang perekonomian, pendidikan dan
kondisi sosial budaya. Upaya Kartini dalam mempromosikan keindahan seni ukir Jepara dan
meningkatkan taraf hidup para perajin mendapat sambutan positif dari masyarakat Belanda dan
juga pemerintah kolonial. Hal ini terbukti ketika Kartini mengikuti pameran besar karyanya di Den
Haag, Belanda pada tahun 1898. Kartini dapat mengikuti pameran tersebut karena dorongan dari
Marie Ovink-Soer untuk mempromosikan seni dan kerajinan asli kepada masyarakat Eropa.
Disebutkan dalam surat pertama yang dipertukarkan pada tahun 1899 dengan Stella Zeehandelaar
tak lama setelah Pameran Karya Wanita Belanda, referensi tentang kerajinan kayu Jepara segera
mendominasi topik diskusi Kartini dengan keluarga Abendanon.
Dampak lain yang sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat pada era ini
adalah berkembangnya pendidikan yang ditujukan kepada perempuan dan juga kesadaran akan
permasalahan perkawinan. Banyak perubahan yang terjadi antara tahun 1904-1914, di antaranya
perubahan peraturan kolonial mengenai penerapan kebijakan moral. Kebijakan ini berdampak
membuka jalan bagi pemikiran Kartini. Setelah buku Door Duisternist Tot Licht terbit pasca
wafatnya Kartini, Belanda tanpa diduga menyukai buku ini dan mulai bersimpati dengan kehidupan
perempuan-perempuan Jawa, dari situlah lahirlah ide yang lahir untuk meletakkan landasan bagi
pendidikan perempuan pribumi. Ratu Belanda menanggapi gagasan ini dengan menunjuk
Abendanon untuk menyelenggarakan pembentukan dana pendidikan bagi perempuan.
Abendanon bersama anggota komite yang dibentuknya berhasil menciptakan sebuah yayasan
untuk mengembangkan pendidikan bagi perempuan pribumi bernama yayasan Kartini. Yayasan
Kartini (Kartini Vereeniging) dan resmi didirikan pada tanggal 22 Agustus 1912 dengan Van
Deventer sebagai pemimpinnya. Yayasan ini kemudian mendirikan Sekolah Kartini pertama di
Semarang pada tahun 1913 dan secara bertahap terus berkembang dengan berdirinya sekolah-
sekolah yang tersebar di berbagai wilayah di Pulau Jawa (Hapsari, 2017: 76-80).

KESIMPULAN
Dari surat-surat Kartini yang didapat dan dikumpulkan oleh Abendanon dari Belanda dapat
disimpulkan, Kartini sudah menjadi penganut feminisme barat, Namun nyatanya emansipasi
yang dilakukan Kartini searah dengan nilai-nilai keislaman yang dimana mengedepankan
pendidikan keluarga kaum wanita ditengah karir yang diperjuangkan, namun tetap eksistensi
kaum laki-laki atau suami dianggap lebih penting. Gerakan emansipasi yang diinginkan oleh
Kartini yaitu emansipasi dengan pemikiran bahwa kaum wanita merupakan manusia yang harus
mendapatkan keadilan gender. Kartini menginginkan adanya gerakan bagi kaum wanita untuk
menuntut hak dalam pendidikan. Selain tugas kaum wanita yang mengurus suami dan keperluan
rumah tangga, kaum wanita juga berhak membangun sejarah bangsa ke depan yang mempunyai
nilai prestasi dengan mendapatkan pendidikan.

Dengan adanya pendidikan bagi kaum wanita, harapan Kartini agar kaum wanita dapat
berpikiran maju, kritis dan kreatif dan bisa terlepas dari ketidakadilan dan diskriminasi yang
terdapat dalam adat masyarakat yang sangat membelenggu kala itu. Setelah wafatnya Kartini,
pemikirannya terus berlanjut selama berabad-abad dengan diterbitkannya buku Door Duisternist
Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), yang merupakan kumpulan surat-surat Kartini kepada
sahabat-sahabatnya selama hidupnya. Buku ini berdampak pada penyebaran gagasan Kartini,
khususnya mengenai wacana emansipasi dan pendidikan perempuan. Kumpulan pemikiran
Kartini menjadi sumber inspirasi lain bagi gerakan-gerakan berikutnya yang mengatasnamakan
perjuangan perempuan.

REFERENSI

Hartutik. (2015). “R.A Kartini : Emansipasipator Indonesia Awal Abad 20”. Jurnal Seuneubok
Lada 2 (1), 86-96.

Heny, K. (2016). "Pemikiran Emansipasi Wanita dan Pendidikan R.A. Kartini dalam Buku Habis
Gelap Terbitlah Terang Karya Armijin Pane dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan
Islam". Skripsi, Jurusan Tarbiyah Studi Pendidikan Agama Islam STAIN Ponorogo.

Jati, R. W. (2015). Wanita, Wani Ing Tata: Konstruksi Perempuan Jawa dalam Studi
Poskolonialisme. Jurnal Perempuan 20 (1), 82-91.

Said, N. (2014). Politik Etis Kepahlawanan R.A. Kartini: Menguak Spiritualisme Kartini Yang
Digelapkan . Palastren 7 (2), 345-368.

Kusuma A, D. (2022). "KARTINI DAN PEMIKIRANNYA: MENYELAMI GAGASAN KRITIS


SOSOK PEREMPUAN JAWA DI AKHIR ABAD XIX". Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Pendidikan Sejarah. 7 (4), 284-293.

Anda mungkin juga menyukai