Anda di halaman 1dari 2

Biografi R.A.

Kartini, Sosok Penggagas


Emansipasi Wanita

Siapa yang tidak kenal nama R.A. Kartini? Tokoh ini menjadi penggalan kata dalam
lagu “Ibu kita Kartini” yang dinyanyikan sejak sekolah dasar. R.A. Kartini lahir pada tanggal
21 April 1879 di Jepara. Ia merupakan putri tertua dari 11 bersaudara keluarga ningrat Jawa
atau sering dikenal dengan keluarga priyayi atau bangsawan. Sang ayah bernama Adipati
Raden Mas Ario Sosroningrat sedangkan sang ibu bernama M.A. Ngasirah yang merupakan
anak dari guru agama di Teluwakur, Jepara. R.A. Kartini memiliki garis keturunan keluarga
cerdas. Hal tersebut terbukti dari sang kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro IV yang
merupakan sosok cerdas menjadi bupati pada usia 25 tahun.

Sebagai seorang perempuan Jawa dengan berbagai keterbatasannya, R.A. Kartini


sangat merasakan ketimpangan sosial antara laki – laki dan perempuan waktu itu. R.A. Kartini
dianggap sebagai tokoh yang menggemakan emansipasi wanita. Atas jasanya dalam
memperjuangkan kesetaraan hak perempuan, R.A. Kartini diberikan predikat Pahlawan
Nasional Indonesia melalui keputusan RI No. 108 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964.

“R.A Kartini ingin menunjukkan jika perempuan tidak hanya ‘konco wingking’, artinya
perempuan bisa berperan lebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama di bidang
pendidikan. Perempuan juga bisa menentukan pilihan hidup tak harus atas paksaan orangtua
dan perempuan juga bisa sekolah setinggi-tingginya,” kata Pengamat Sejarah Edy Tegoeh
Joelijanto (50) yang pernah mengenyam pendidikan di UKDW Jogjakarta dan Universitas
Putra Bangsa Surabaya. Pada zaman itu perempuan tidak diperbolehkan mendapatkan
pendidikan, dan hanya dari kalangan bangsawan saja yang bisa.

Kartini muda adalah sosok yang sangat menjunjung tinggi ilmu pendidikan. Ia gemar
membaca dan menulis. Namun, hal yang sangat disayangkan cita – citanya terenggut oleh
aturan Jawa yang tidak memperbolehkan wanita untuk menimba ilmu yang tinggi. Hal
tersebutlah yang membuat R.A. Kartini hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar sampai
usia 12 tahun.

Kartini bersekolah di Europe Legere School. Kartini muda sangat mahir berbahasa
Belanda dan harus berhenti pendidikannya karena dipingit. Namun, Kartini memiliki tekad
yang kuat untuk melanjutkan pendidikannya. Ia sering bertukar informasi dengan temannya
yang ada di Belanda melalui surat menyurat. Kartini menunjukkan kemahirannya dalam
membaca dengan membaca buku, koran, dan majalah Eropa. Dari sinilah ia tertarik pada
kemajuan berpikir Eropa dan timbul keinginan untuk memajukan pribumi.
Kartini dikaruniai anak laki – laki bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal
13 September 1904. Empat hari pasca melahirkan, R.A. Kartini meninggal tepat tanggal 17
September 1904 pada usia 25 tahun. Ia dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu,
Kabupaten Rembang.

Perjuangan R.A. Kartini ditunjukkan melalui tulisannya yang dimuat pada majalah
perempuan Belanda bernama De Holandsche Leile. dalam surat yang dimuat di koran / majalah
tersebut, R.A. Kartini menyatakan keprihatinan nasib bangsa Indonesia dibawah kondisi
pemerintahan Kolonial. Terlebih atas perbedaan perlakuan antara laki – laki dan perempuan
seperti perempuan tidak boleh berpendidikan tinggi, harus melaksanakan pingitan, serta tidak
diberikan ruang gerak yang setara seperti laki – laki. Tulisan surat menyuratnya kemudian
dibukukan dan diberi judul Door Duistenis Tot Licht atau Kegelapan Menuju Cahaya sehingga
pada tahun 1922 diterbitkan menjadi buku yang berisi kumpulan surat R.A. Kartini berjudul
“Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Anda mungkin juga menyukai