OLEH
MUHAMMAD HASBI
220211050099
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah tentang Kartini mendapat perhatian besar dan sejarahnya masih dipelajari, terutama
di negara Indonesia dan Belanda. Sosok Kartini sebagai tokoh yang memperjuangkan hak-hak
perempuan akan pendidikan selalu diperingati semangat perjuangannya setiap tahun. Gagasan-
gagasan Kartini dalam memajukan bangsa memlaui pendidikan penting untuk dikaji. Armijn
Pane dalam bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang” mengumpulkan dan menerjemahkan surat-
surat Kartini semasa hidupnya yang berisi gagasan seputar gender, kebangsaan, keagamaan, dan
pendidikan.
Kartini adalah sosok yang berani mendobrak dan melawan stigma yang mendiskreditkan
wanita di masyarakat. Ia tidak setuju dengan budaya yang membatasi pendidikan dan memaksa
wanita dalam pernikahan. Dengan pemikiran yang maju dan melewati zamannya, maka layaklah
Kartini menjadi salah satu tokoh wanita yang paling berperan dalam memperjuangkan hak-hak
perempuan di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor yang menjadikan Kartini seorang pejuang kesetaraan gender?
2. Apa saja pemikiran Kartini dalam kesetaraan gender?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahu faktor-faktor yang menjadikan Kartini seorang pejuang Gender
2. Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran Kartini dalam kesetaraan gender
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Kartini
Raden Ajeng Kartini (R. A Kartini) adalah putri ke-4 dari 8 bersaudara (5 putra dan
3 putri) yang dilahirkan pada tanggal 21 April 1979 di Mayong, Jepara.1 Ayahnya
adalah Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat putra dari Pangeran Ario Condronegoro
IV. Ibunya bernama Mas Ajeng Ngasirah berasal dari kalangan rakyat biasa putri dari
Nyai Hajjah Siti Aminah dan K. H. Modirono yang berprofesi sebagai seorang guru
agama di Desa Telukawur, Jepara.2 Orangtua R. A. Kartini menikah pada tahun 1872,
kala itu ayahnya menjabat sebagai Wedana (pembantu bupati)3 di Mayong.
Seorang putra bupati yang memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam daftar calon
bupati haruslah putra dari “garwa padmi” yang berdarah ningrat, terkecuali ketika
“garwa padmi” tidak mempunyai putra maka putra dari “garwa ampil” dapat diangkat
menjadi bupati. Dengan adanya peraturan tersebut, tidak jarang seorang pegawai
pamong praja yang telah menikah dengan wanita yang bukan dari kalangan ningrat
kemudian menikah lagi dengan seorang wanita dari kalangan bangsawan yang nanti
akan dijadikan “garwa padmi”. Garwa padmi adalah sebutan untuk istri utama yang
mendampingi suaminya pada upacara-upacara resmi, sedangkan istri sah lainnya disebut
garwa ampil yang mempunyai tugas tersendiri.
1
Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang: Terjemahan Armijn Pane,Cetakan 27, (Jakarta: PT. Balai
Pustaka, 2009), 3
2
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini Sebuah Biografi Rujukan Figur Pemimpin Teladan,
(Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2019), 9-10
3
https://kbbi.web.id/wedana di akses pada 05 Mei 2020 pukul 09.37
2
ke HBS di Semarang serta kelak meneruskan peendidikannya ke negeri Belanda.
Sedangkan anak perempuan setelah lulus ELS sesuai adat Jawa masuk dalam pingitan.
Pangeran Ario Candronegoro IV, kakek Kartini, terkenal sebagai putra Indonesia
pertama yang berani mendobrak kekolotan adat dalam pendidikan kepada putra-
putrinya. Ia sadar akan pentingnya pendidikan Barat untuk mencapai kemajuan. Ia
memikirkan bagaimana cara putra-putrinya untuk bisa mendapat pendidikan yang lebih
tinggi. Ketika itu putra-putrinya telah bersekolah di Europose Legere School (setingkat
sekolah dasar) dan belum ada sekolah lanjutan. Condronegoro IV yang pada saat itu itu
menjabat sebagai bupati Demak telah bertekad untuk memberikan anak-anaknya
pendidikan Barat. Pada tahun 19861, Ia mengambil inisiatif untuk mendatangkan
seorang gubernur (guru khusus) dari negeri Belanda yang mengajarkan ilmu
pengetahuan kepada semua anak-anaknya. Gubernur yang bernama C.S. Van Kesteren
itu juga mengajarkan tata cara dan etiket orang Barat.4
4
Sitisoemandri, Op. Cit., 15
5
Sitisoemandri, Op. Cit., 16
3
musibah seperti rumah yang terbakar, kampung yang hancur akibat serangan topan, atau
banjir besar yang melanda sawah tak luput dari kunjungan mereka. Maksud
dilakukannya hal ini supaya mereka dapat melihat sendiri dari dekat bencana yang
menimpa rakyat dan mendapatkan kesan susahnya hidup melarat dan miskin. Akhirnya
timbul niat untuk memberi bantuan dalam bentuk apapun sekedar meringankan
penderitaan rakyat yang tertimpa musibah. Mereka juga diperbolehkan untuk ikut
melakukan pekerjaan rakyat seperti menanam dan mengeram padi sambil bersenda
gurau. Mereka tidak canggung bergaul dengan kuli-kuli kerja dan tidak pernah
menganggap rendah.
Demikianlah bimbingan yang arif dan bijaksana dari ayahnya yang merupakan
seorang pejabat pribumi namun memiliki rasa cinta dan tanggung jawab yang besar
kepada rakyatnya. Putra-putrinya dibiasakan sejak kecil untuk didekatkan kepada
kehidupan rakyat yang sebenarnya. Berbagai macam kesan tentang kesengsaraan dan
penderitaan rakyat tertanam dalam ingatan kartini dan adik-adiknya, hingga membekas
dan menjadi tujuan perjuangannya untuk membawa bangsanya menuju ke arah
kemajuan dan kesejahteraan.
Pada masa awal berkembangnya sistem liberalisme tahun 1870, disahkanlah Undang-
undang Agraria yang memberi kesempatan kepada modal swasta asing. Sistem yang
diatur rapi ini menjadikan kekayaan bumi diisap dan dialirkan ke Belanda dan negara-
negara Eropa barat lainnya. Rakyat pribumi yang masih menggunakan alat-alat
sederhana tidak bisa menyaingi sistem kapitalisme modern yang memiliki peralatan
lebih canggih. Lambat laun kedudukan pengusaha kecil tergeser menjadi buruh yang
hanya dapat menjual tenaga ke pabrik-pabrik pemodal itu. Inilah proses demoralisasi
dan pemiskinan yang menyebakan rakyat bumiputra kehilangan kreatifitasnya.
Diantara orang-orang Belanda itu ternyata masih ada yang memberi perhatian kepada
bumiputra (pribumi) yang tertindas. Mereka adalah kaum etis yang ingin mengangkat
rakyat pribumi ke tingkat hidup yang lebih berkeprimanusiaan dengan jalan memberikan
pendidikan dan mengenalkan gagasan-gagasan Barat. Mereka juga membantu petani
dengan mendesak pemerintah membangun saluran-saluran pengairan sawah.
4
Gagasan kaum etis ini bukanlah hal yang baru bagi Kartini. Ia telah lama memikirkan
nasib rakyatnya dan mencari solusi untuk bisa mengatasinya. Pada akhirnya Kartini
menyimpulkan bahwa sumber dari keterpurukan ini adalah kebodohan. Rakyat harus
diberi pendidikan agar bisa mencapai kemajuan.
C. Budaya Feodalisme
Kartini hidup pada zaman dimana adat feodal di kalangan bangsawan Jawa masih
kuat. Budaya patriarki yang menempatkan laki-laki mendapat segala prioritas dan
kedudukan wanita sangat lemah. Bukan hal yang aneh di kalangan bangsawan memiliki
beberapa istri (poligami) sebab ini memang diperbolehkan. Kartini bukan saja berusaha
melawan kemelaratan dan kebodohan di kalangan masyarakatnya yang disebabkan
penjajahan asing. Ia juga menghadapi tirani adat istiadat feodal di kalangan aristokrat
menengah dan atas. Peraturan yang ketat menjadi kendala bagi kemajuan bangsanya dan
dipandang sebagai penindasan bagi kaum wanita. Feodalisme yang menimbulkan jurang
pemisah antara laki-laki dan perempuan dirasa sangat merugikan. Jika seorang gadis
bangsawan memasuki masa remaja, maka ia harus dimasukkan dalam pingitan dan tidak
diperbolehkan keluar rumah. Selama dalam masa pingitan, hubungan dengan dunia luar
terputus. Ia tidak diperbolehkan belajar ilmu pengetahuan dan keterampilan hingga tiba
saat orangtuanya menikahkannya dengan seorang pria yang bukan pilihannya, bahkan
belum pernah dikenalnya. Hal ini menyebabkan ketergantungan istri terhadap suaminya
yang bisa menyebabkan perlakuan sewenang-wenangnya. Suami bisa kapan saja
menceraikan istrinya atau menikah lagi tanpa persetujuan si istri. Apabila diceraikan,
maka hidupnya akan terlantar. Bisa saja ia memaksa untuk dikembalikan ke rumah
orangtuanya, namun tanpa surat cerai dari suaminya yang berakibat ia tetap berstatus
istri sah dan tidak bisa menikah lagi.
Kartini menentang sistem ini. Ia berpendapat bahwa para gadis harus diizinkan
belajar melalui pendidikan yang bisa memberikan mereka suatu keahlian hingga dapat
menopang hidupnya sendiri tanpa bergantung pada suaminya. Dengan ini para gadis
akan lebih dihargai dan kedudukannya dalam tatanan sosial menjadi lebih kuat sehingga
tidak harus terpaksa kawin untuk bisa hidup dan dapat menentukan pilihannya sendiri.
5
yang menghambat kemajuan. Kartini berada pada masa bentrok antara feodalisme dan
modernisme. Kartini berjuang memenangkan unsur-unsur modernisme positif dari Barat
dengan tetap mempertahankan esensi watak dan kepribadian bangsa kita yang luhur.
Pada tahun 1892, usia kartini menginjak 12,5 tahun dan sudah menginjak masa
remaja putri. Ia dianggap cukup besar untuk tunduk kepada adat kuno. Kartini yang
lincah dan periang tidak diperbolehkan melanjutkan pelajarannya di sekolah dan harus
dipingit. Ia dikurung dalam rumah tanpa hubungan sedikitpun dengan dunia luar sampai
ada pria yang datang untuk melamar dan menjadikannya istri. Mula-mula Kartini
dipingit seorang diri selama 4 tahun (1892-1896), kemudian ditambah dua tahun
bersama Rukmini dan disusul dua tahun lagi oleh Kardinah. Ketiganya lepas dari masa
pingit pada tahun 1898.
Dalam masa pingitnya, Kartini mencoba merenungi akan keadaan yang dialaminya.
Berbagai pertanyaan yang terpikir di kepalanya, diantaranya:
6
itu. Kartini menyadari bahwa feodalisme yang bertahan sekian lama ini diakibatkan
karena kaum wanita selalu menerima nasibnya dengan berdiam diri (nrimo). Para wanita
tidak pernah menentang dan memberontak karena takut dicerai. Akibat dari dicerai
meskipun menjadikan mereka bebas namun akan membawa konsekuensi lain yaitu
mereka akan kehilangan nafkah dan terlantar. Kaum wanita ningrat sangat bergantung
pada nafkah dari suaminya karena tidak pernah bekerja dan tidak pernah dididik untuk
mencari nafkah yang menyebabkan mereka tidak bisa mandiri. Kartini mencoba berpikir
lebih dalam untuk mencari akar dari permasalahan yang ia hadapi. Akhirnya sampailah
ia pada satu kesimpulan, wanita ningrat tidak dapat berdiri sendiri karena mereka tidak
mendapat pendidikan yang cukup seperti laki-laki. Anak laki-laki sejak kecil
diperbolehkan melanjutkan pendidikannya hingga negeri Belanda yang menyebabkan
mereka semakin “pintar”, sedangkan anak perempuan tidak diperbolehkan melanjutkan
pendikan dan harus tinggal di rumah sehingga tetap menjadi “bodoh”. Jurang yang
memisahkan kepintaran kaum laki-laki dan kebodohan kaum wanita semakin melebar
sehingga menyebabkan wanita terkesan lebih rendah daripada pria.
6
Muhammad Rifa’i, Sejarah Pendidikan Indonesia: Dari Masa Klasik Hingga Modern. ( Yogyakarta: Ar
ruz Media, 2011), 59
7
b. Kartini menyampaikan kepada Tuan dan Nyonya Anton bahwa jika kaum
perempuan diikutsertakan dalam melaksanakan pekerjaan maka dapat
mempercepat kemajuan bangsa Indonesia.
c. Kartini menulis kepada Nyonya Abendanon bahwa perempuan sebagai
pendukung peradaban dan dapat membawa dampak positif bagi bangsa
Indonesia.
Kartini juga membuka sekolah wanita pertama bersama Rukmini pada tahun
1903 di kota Jepara agar wanita mendapat pendidikan yang baik dan layak.
7
Kartini, Op. Cit., 10
8
Kartini, Op. Cit., 25
8
BAB III
KESIMPULAN
R.A. Kartini mempunyai ayah (Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat) dan kakek
(Pangeran Ario Condronegoro IV) menaruh perhatian besar terhadap pendidikan anak-
anaknya. Ketika itu, Kartini hidup pada masa penjajahan Belanda dimana
berkembangnya liberalisme modern yang menyebabkan bumiputra (pribumi) terpuruk
dalam persaingan ekonomi. Kartini berkesimpulan bahwa kebodohan lah yang menjadi
penyebab utama kalahnya dalam persaingan. Budaya feodalisme yang patriarki
membatasi kebebasan perempuan pada saat itu. Pada saat memasuki masa pingit, Kartini
merenungi atas apa yang terjadi terhadap kaum perempuan Jawa ningrat yang
menyebabkan ketidakadanya kesetaraan pada laki-laki dan perempuan.
9
Daftar Pustaka
Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang: Terjemahan Armijn Pane,Cetakan 27, Jakarta, PT. Balai
Pustaka, 2009.
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini Sebuah Biografi Rujukan Figur Pemimpin
Teladan, Jakarta, Balai Pustaka, 2019.
Muhammad Rifa’i, Sejarah Pendidikan Indonesia: Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta,
Ar ruz Media, 2011.
https://kbbi.web.id/wedana
10