Anda di halaman 1dari 11

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Hak Asasi Manusia Dr. Hj. Fatrawati Kumari, M. Hum


(Kesetaraan Gender dan Perlindungan Anak)

PERJUANGAN GENDER R.A. KARTINI

OLEH

MUHAMMAD HASBI
220211050099

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


PASCASARJANA
HUKUM KELUARGA
BANJARMASIN
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah tentang Kartini mendapat perhatian besar dan sejarahnya masih dipelajari, terutama
di negara Indonesia dan Belanda. Sosok Kartini sebagai tokoh yang memperjuangkan hak-hak
perempuan akan pendidikan selalu diperingati semangat perjuangannya setiap tahun. Gagasan-
gagasan Kartini dalam memajukan bangsa memlaui pendidikan penting untuk dikaji. Armijn
Pane dalam bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang” mengumpulkan dan menerjemahkan surat-
surat Kartini semasa hidupnya yang berisi gagasan seputar gender, kebangsaan, keagamaan, dan
pendidikan.

Kartini adalah sosok yang berani mendobrak dan melawan stigma yang mendiskreditkan
wanita di masyarakat. Ia tidak setuju dengan budaya yang membatasi pendidikan dan memaksa
wanita dalam pernikahan. Dengan pemikiran yang maju dan melewati zamannya, maka layaklah
Kartini menjadi salah satu tokoh wanita yang paling berperan dalam memperjuangkan hak-hak
perempuan di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor yang menjadikan Kartini seorang pejuang kesetaraan gender?
2. Apa saja pemikiran Kartini dalam kesetaraan gender?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahu faktor-faktor yang menjadikan Kartini seorang pejuang Gender
2. Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran Kartini dalam kesetaraan gender

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Kartini

Raden Ajeng Kartini (R. A Kartini) adalah putri ke-4 dari 8 bersaudara (5 putra dan
3 putri) yang dilahirkan pada tanggal 21 April 1979 di Mayong, Jepara.1 Ayahnya
adalah Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat putra dari Pangeran Ario Condronegoro
IV. Ibunya bernama Mas Ajeng Ngasirah berasal dari kalangan rakyat biasa putri dari
Nyai Hajjah Siti Aminah dan K. H. Modirono yang berprofesi sebagai seorang guru
agama di Desa Telukawur, Jepara.2 Orangtua R. A. Kartini menikah pada tahun 1872,
kala itu ayahnya menjabat sebagai Wedana (pembantu bupati)3 di Mayong.

Seorang putra bupati yang memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam daftar calon
bupati haruslah putra dari “garwa padmi” yang berdarah ningrat, terkecuali ketika
“garwa padmi” tidak mempunyai putra maka putra dari “garwa ampil” dapat diangkat
menjadi bupati. Dengan adanya peraturan tersebut, tidak jarang seorang pegawai
pamong praja yang telah menikah dengan wanita yang bukan dari kalangan ningrat
kemudian menikah lagi dengan seorang wanita dari kalangan bangsawan yang nanti
akan dijadikan “garwa padmi”. Garwa padmi adalah sebutan untuk istri utama yang
mendampingi suaminya pada upacara-upacara resmi, sedangkan istri sah lainnya disebut
garwa ampil yang mempunyai tugas tersendiri.

Pada Tahun 1875, R. M. A. A. Sosroningrat menikah lagi dengan Raden Ajeng


Muryam putri dari R. A. A. Citrowikromo. Keduanya dikaruniai 3 orang putri. Istri
kedua ini diangkat menjadi “garwa padmi” sedangkan istri pertama sebagai “garwa
ampil”. Menurut adat dan peraturan pemerintah yang berlaku saat itu, anak-anaknya
mendapat gelar “Raden Mas” dan “Raden Ajeng” tanpa membedakan anak dari garwa
padmi maupun garwa ampil. Bupati Sosroningrat tidak pernah melakukan diskriminasi
antara anak-anak Raden Ayu dan anak-anak Mas Ajeng Ngasirah. Diskriminasi hanya
dilakukan antara anak laki-laki dan perempuan dalam kebebasan. Semua anak laki-laki
setelah menyelesaikan pendidikannya di Europe Lagere School (ELS) dan melanjutkan

1
Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang: Terjemahan Armijn Pane,Cetakan 27, (Jakarta: PT. Balai
Pustaka, 2009), 3
2
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini Sebuah Biografi Rujukan Figur Pemimpin Teladan,
(Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2019), 9-10
3
https://kbbi.web.id/wedana di akses pada 05 Mei 2020 pukul 09.37

2
ke HBS di Semarang serta kelak meneruskan peendidikannya ke negeri Belanda.
Sedangkan anak perempuan setelah lulus ELS sesuai adat Jawa masuk dalam pingitan.

Pangeran Ario Candronegoro IV, kakek Kartini, terkenal sebagai putra Indonesia
pertama yang berani mendobrak kekolotan adat dalam pendidikan kepada putra-
putrinya. Ia sadar akan pentingnya pendidikan Barat untuk mencapai kemajuan. Ia
memikirkan bagaimana cara putra-putrinya untuk bisa mendapat pendidikan yang lebih
tinggi. Ketika itu putra-putrinya telah bersekolah di Europose Legere School (setingkat
sekolah dasar) dan belum ada sekolah lanjutan. Condronegoro IV yang pada saat itu itu
menjabat sebagai bupati Demak telah bertekad untuk memberikan anak-anaknya
pendidikan Barat. Pada tahun 19861, Ia mengambil inisiatif untuk mendatangkan
seorang gubernur (guru khusus) dari negeri Belanda yang mengajarkan ilmu
pengetahuan kepada semua anak-anaknya. Gubernur yang bernama C.S. Van Kesteren
itu juga mengajarkan tata cara dan etiket orang Barat.4

Tindakan revolusioner ini menimbulkan banyak kritik dari bupati-bupati lainnya


yang mencela dan mencap tindakan itu kurang pantas dan tidak menurut sistem
pemerintah. Condronegoro IV tetap pada keyakinannya sendiri. Ia mengutamakan ilmu
pengetahuan tanpa mengabaikan pendidikan watak dan budi pekerti yang luhur. Pola
pendidikan ini pun membuahkan hasil yang baik, putra-putrinya tumbuh cerdas dan
mudah menerima pelajaran. Pada akhirnya perbuatan Condronegoro IV ini banyak
dicontoh bupati lainnya. Perbuatan Condronegoro IV inilah yang juga menginspirasi
Kartini dalam gerakannya. Kartini mengutip amanat eyangnya kepada anak-anaknya
sebelum wafat pada tahun 1866: “Anak-anakku, jika kalian tidak mencari pengetahuan,
kalian kelak tidak akan merasa bahagia dan akhirnya keluarga kita akan mundur.
Camkanlah kata-kataku itu!5

Bupati Sosroningrat menyadari akan pentingnya pendidikan seperti yang diajarkan


ayahnya (Pangeran Ario Candranegoro IV). Ia memberikan pendidikan secara
menyeluruh baik dalam menambah pengetahuan maupun pertumbuhan watak yang baik
dan berkeprimanusiaan. Kartini dan adik-adiknya (Rukmini dan Kardinah) dibiasakan
sejak kecil untuk ikut keluar ke tengah-tengah rakyat agar mengenal kehidupan rakyat
kecil dan menanamkan rasa cinta kasih kepada mereka. Tempat –tempat yang terjadi

4
Sitisoemandri, Op. Cit., 15
5
Sitisoemandri, Op. Cit., 16

3
musibah seperti rumah yang terbakar, kampung yang hancur akibat serangan topan, atau
banjir besar yang melanda sawah tak luput dari kunjungan mereka. Maksud
dilakukannya hal ini supaya mereka dapat melihat sendiri dari dekat bencana yang
menimpa rakyat dan mendapatkan kesan susahnya hidup melarat dan miskin. Akhirnya
timbul niat untuk memberi bantuan dalam bentuk apapun sekedar meringankan
penderitaan rakyat yang tertimpa musibah. Mereka juga diperbolehkan untuk ikut
melakukan pekerjaan rakyat seperti menanam dan mengeram padi sambil bersenda
gurau. Mereka tidak canggung bergaul dengan kuli-kuli kerja dan tidak pernah
menganggap rendah.

Demikianlah bimbingan yang arif dan bijaksana dari ayahnya yang merupakan
seorang pejabat pribumi namun memiliki rasa cinta dan tanggung jawab yang besar
kepada rakyatnya. Putra-putrinya dibiasakan sejak kecil untuk didekatkan kepada
kehidupan rakyat yang sebenarnya. Berbagai macam kesan tentang kesengsaraan dan
penderitaan rakyat tertanam dalam ingatan kartini dan adik-adiknya, hingga membekas
dan menjadi tujuan perjuangannya untuk membawa bangsanya menuju ke arah
kemajuan dan kesejahteraan.

B. Kondisi Tanah Air Selama Penjajahan Belanda

Pada masa awal berkembangnya sistem liberalisme tahun 1870, disahkanlah Undang-
undang Agraria yang memberi kesempatan kepada modal swasta asing. Sistem yang
diatur rapi ini menjadikan kekayaan bumi diisap dan dialirkan ke Belanda dan negara-
negara Eropa barat lainnya. Rakyat pribumi yang masih menggunakan alat-alat
sederhana tidak bisa menyaingi sistem kapitalisme modern yang memiliki peralatan
lebih canggih. Lambat laun kedudukan pengusaha kecil tergeser menjadi buruh yang
hanya dapat menjual tenaga ke pabrik-pabrik pemodal itu. Inilah proses demoralisasi
dan pemiskinan yang menyebakan rakyat bumiputra kehilangan kreatifitasnya.

Diantara orang-orang Belanda itu ternyata masih ada yang memberi perhatian kepada
bumiputra (pribumi) yang tertindas. Mereka adalah kaum etis yang ingin mengangkat
rakyat pribumi ke tingkat hidup yang lebih berkeprimanusiaan dengan jalan memberikan
pendidikan dan mengenalkan gagasan-gagasan Barat. Mereka juga membantu petani
dengan mendesak pemerintah membangun saluran-saluran pengairan sawah.

4
Gagasan kaum etis ini bukanlah hal yang baru bagi Kartini. Ia telah lama memikirkan
nasib rakyatnya dan mencari solusi untuk bisa mengatasinya. Pada akhirnya Kartini
menyimpulkan bahwa sumber dari keterpurukan ini adalah kebodohan. Rakyat harus
diberi pendidikan agar bisa mencapai kemajuan.

C. Budaya Feodalisme

Kartini hidup pada zaman dimana adat feodal di kalangan bangsawan Jawa masih
kuat. Budaya patriarki yang menempatkan laki-laki mendapat segala prioritas dan
kedudukan wanita sangat lemah. Bukan hal yang aneh di kalangan bangsawan memiliki
beberapa istri (poligami) sebab ini memang diperbolehkan. Kartini bukan saja berusaha
melawan kemelaratan dan kebodohan di kalangan masyarakatnya yang disebabkan
penjajahan asing. Ia juga menghadapi tirani adat istiadat feodal di kalangan aristokrat
menengah dan atas. Peraturan yang ketat menjadi kendala bagi kemajuan bangsanya dan
dipandang sebagai penindasan bagi kaum wanita. Feodalisme yang menimbulkan jurang
pemisah antara laki-laki dan perempuan dirasa sangat merugikan. Jika seorang gadis
bangsawan memasuki masa remaja, maka ia harus dimasukkan dalam pingitan dan tidak
diperbolehkan keluar rumah. Selama dalam masa pingitan, hubungan dengan dunia luar
terputus. Ia tidak diperbolehkan belajar ilmu pengetahuan dan keterampilan hingga tiba
saat orangtuanya menikahkannya dengan seorang pria yang bukan pilihannya, bahkan
belum pernah dikenalnya. Hal ini menyebabkan ketergantungan istri terhadap suaminya
yang bisa menyebabkan perlakuan sewenang-wenangnya. Suami bisa kapan saja
menceraikan istrinya atau menikah lagi tanpa persetujuan si istri. Apabila diceraikan,
maka hidupnya akan terlantar. Bisa saja ia memaksa untuk dikembalikan ke rumah
orangtuanya, namun tanpa surat cerai dari suaminya yang berakibat ia tetap berstatus
istri sah dan tidak bisa menikah lagi.

Kartini menentang sistem ini. Ia berpendapat bahwa para gadis harus diizinkan
belajar melalui pendidikan yang bisa memberikan mereka suatu keahlian hingga dapat
menopang hidupnya sendiri tanpa bergantung pada suaminya. Dengan ini para gadis
akan lebih dihargai dan kedudukannya dalam tatanan sosial menjadi lebih kuat sehingga
tidak harus terpaksa kawin untuk bisa hidup dan dapat menentukan pilihannya sendiri.

Kartini menyadari bahwa imperialisme modern dari Barat di samping menyebabkan


kemiskinan dan demoralisasi bagi rakyat, ternyata juga membawa unsur-unsur positif.
Arus modernisme dan pengetahuan Barat dapat mematahkan belenggu-belenggu adat

5
yang menghambat kemajuan. Kartini berada pada masa bentrok antara feodalisme dan
modernisme. Kartini berjuang memenangkan unsur-unsur modernisme positif dari Barat
dengan tetap mempertahankan esensi watak dan kepribadian bangsa kita yang luhur.

D. Masa Pingit (1892-1898)

Pada tahun 1892, usia kartini menginjak 12,5 tahun dan sudah menginjak masa
remaja putri. Ia dianggap cukup besar untuk tunduk kepada adat kuno. Kartini yang
lincah dan periang tidak diperbolehkan melanjutkan pelajarannya di sekolah dan harus
dipingit. Ia dikurung dalam rumah tanpa hubungan sedikitpun dengan dunia luar sampai
ada pria yang datang untuk melamar dan menjadikannya istri. Mula-mula Kartini
dipingit seorang diri selama 4 tahun (1892-1896), kemudian ditambah dua tahun
bersama Rukmini dan disusul dua tahun lagi oleh Kardinah. Ketiganya lepas dari masa
pingit pada tahun 1898.

Kartini merasa dunianya menjadi sempit dibatas oleh dinding-dinding kabupaten


yang tebal. Halaman yang luas dilingkari dengan tembok yang kokoh dan pintu yang
selalu tertutup rapat. Kartini yang berkepribadian periang, energik, dan berjiwa bebas
kini harus membiasakan diri bersikap dewasa layak seorang putri bangsawan sejati.
Dengan kata lain ia diharuskan bicara halus dan lirih, tidak boleh tertawa, hanya
tersenyum, dengan bibir tertutup, berjalan perlahan-lahan, dan segala aturan yang
lainnya.

Dalam masa pingitnya, Kartini mencoba merenungi akan keadaan yang dialaminya.
Berbagai pertanyaan yang terpikir di kepalanya, diantaranya:

 Mengapa harus ada aturan pingit bagi wanita?


 Mengapa tradisi pingitan ditimpakan kepada perempuan dan tidak ditimpakan
kepada laki-laki?
 Mengapa suami lebih mempunyai kebebasan daripada istri?
 Mengapa ia tidak boleh memilih suami yang ia kenal atau cintai?
 Mengapa wanita tidak boleh mempunyai pikiran atau pendapat sendiri?

Berhari-hari pertanyaan-pertanyaan ini dipikirkannya dan dicari jawabannya.


Bukanlah pertanyaan yang mudah bagi seorang gadis yang berusia belasan tahun pada
abad akhir abad 19. Lambat laun ia menemukan jawaban dari pertanyaan- pertanyaan

6
itu. Kartini menyadari bahwa feodalisme yang bertahan sekian lama ini diakibatkan
karena kaum wanita selalu menerima nasibnya dengan berdiam diri (nrimo). Para wanita
tidak pernah menentang dan memberontak karena takut dicerai. Akibat dari dicerai
meskipun menjadikan mereka bebas namun akan membawa konsekuensi lain yaitu
mereka akan kehilangan nafkah dan terlantar. Kaum wanita ningrat sangat bergantung
pada nafkah dari suaminya karena tidak pernah bekerja dan tidak pernah dididik untuk
mencari nafkah yang menyebabkan mereka tidak bisa mandiri. Kartini mencoba berpikir
lebih dalam untuk mencari akar dari permasalahan yang ia hadapi. Akhirnya sampailah
ia pada satu kesimpulan, wanita ningrat tidak dapat berdiri sendiri karena mereka tidak
mendapat pendidikan yang cukup seperti laki-laki. Anak laki-laki sejak kecil
diperbolehkan melanjutkan pendidikannya hingga negeri Belanda yang menyebabkan
mereka semakin “pintar”, sedangkan anak perempuan tidak diperbolehkan melanjutkan
pendikan dan harus tinggal di rumah sehingga tetap menjadi “bodoh”. Jurang yang
memisahkan kepintaran kaum laki-laki dan kebodohan kaum wanita semakin melebar
sehingga menyebabkan wanita terkesan lebih rendah daripada pria.

E. Gagasan dan Pemikiran Kartini


1. Kesetaraan hak perempuan dalam pendidikan
Akar dari segala keterbelakangan adalah kebodohan. Oleh karena itu pendidikan
adalah hal yang sangat utama dan penting dalam memerangi kebodohan.
Pendidikan dapat mengangkat derajat suatu bangsa. Pendidikan juga tidak
terbatas pada satu jenis kelamin tertentu. Pendidikan adalah suatu hal yang
mutlak dimiliki oleh rakyat untuk memamjukan bangsanya. Pendapat Kartini
tentang perempuan yang mempunya andil besar dalam memajukan peradaban
bangsa telah dituangkan dalam surat-suratnya kepada sahabat penanya,
diantaranya:6
a. Kartini menyampaikan kepada Nyonya Van Kol bahwa pendidikan yang
diberikan kepada perempuan akan menjadikan Indonesia bangsa maju
dan beradab. Perempuan yang berpendidikan mampu bekerjasama
dengan laki-laki dalam memajukan bangsa Indonesia.

6
Muhammad Rifa’i, Sejarah Pendidikan Indonesia: Dari Masa Klasik Hingga Modern. ( Yogyakarta: Ar
ruz Media, 2011), 59

7
b. Kartini menyampaikan kepada Tuan dan Nyonya Anton bahwa jika kaum
perempuan diikutsertakan dalam melaksanakan pekerjaan maka dapat
mempercepat kemajuan bangsa Indonesia.
c. Kartini menulis kepada Nyonya Abendanon bahwa perempuan sebagai
pendukung peradaban dan dapat membawa dampak positif bagi bangsa
Indonesia.

Kartini juga membuka sekolah wanita pertama bersama Rukmini pada tahun
1903 di kota Jepara agar wanita mendapat pendidikan yang baik dan layak.

2. Tidak Memandang Rendah Terhadap Perempuan


Surat Kartini yang dikirim kepada Stella Zeehandelar pada 23 Agustus 1900
menggambarkan kegelisahan Kartini mengenai kedudukan perempuan yang
selalu dianggap lebih rendah daripada laki-laki.7
Pembatasan akses pendidikan terhadap perempuan pada zaman itu menyebabkan
jurang perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tingkat pengetahuan yang
berbeda menyebakan perempuan dipandang lebih rendah terhadap laki-laki.

3. Perempuan Berhak Bebas dan Mempunyai Kesempatan Setara


Kartini tidak setuju dengan budaya pingit yang menganalogikan perempuan
sebagai benda yang harus dijaga. Aturan pingit yang berakhir apabila ada
seorang pemuda yang melamar juga menjadikan perempuan kehilangan
kebebasannya. Dalam suratnya yang dikirim kepada Stella pada 25 Mei 1899,
Kartini mengadukan keadaanya yang sedang dalam masa pingit.8

7
Kartini, Op. Cit., 10
8
Kartini, Op. Cit., 25

8
BAB III

KESIMPULAN

R.A. Kartini mempunyai ayah (Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat) dan kakek
(Pangeran Ario Condronegoro IV) menaruh perhatian besar terhadap pendidikan anak-
anaknya. Ketika itu, Kartini hidup pada masa penjajahan Belanda dimana
berkembangnya liberalisme modern yang menyebabkan bumiputra (pribumi) terpuruk
dalam persaingan ekonomi. Kartini berkesimpulan bahwa kebodohan lah yang menjadi
penyebab utama kalahnya dalam persaingan. Budaya feodalisme yang patriarki
membatasi kebebasan perempuan pada saat itu. Pada saat memasuki masa pingit, Kartini
merenungi atas apa yang terjadi terhadap kaum perempuan Jawa ningrat yang
menyebabkan ketidakadanya kesetaraan pada laki-laki dan perempuan.

Diantara pemikiran R.A Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan gender,


diantaranya adalah ia memperjuangkan hak kesetaraan perempuan dalam pendidikan,
tidak memandang lemah terhadap perempuan, dan kebebasan wanita untuk tidak
dipingit dan memilih calon suami yang ia kehendaki.

9
Daftar Pustaka

Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang: Terjemahan Armijn Pane,Cetakan 27, Jakarta, PT. Balai
Pustaka, 2009.

Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini Sebuah Biografi Rujukan Figur Pemimpin
Teladan, Jakarta, Balai Pustaka, 2019.

Muhammad Rifa’i, Sejarah Pendidikan Indonesia: Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta,
Ar ruz Media, 2011.

https://kbbi.web.id/wedana

10

Anda mungkin juga menyukai