Anda di halaman 1dari 6

PANCASILA

KAJIAN KARAKTER KETOKOHAN NASIONAL: BIOGRAFI RADEN AJENG


KARTINI

YUSTIKA FAZAR PERDANA ASAID

123231202

FAKULTAS ILMU BUDAYA

PDB 59

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2023
RADEN AJENG KARTINI

Raden Ajeng Kartini merupakan salah satu tokoh nasional Indonesia yang dikenal karena
perjuangannya dalam mempromosikan hak-hak perempuan dan pendidikan untuk perempuan di
awal abad ke-20. Beliau lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, dalam keluarga priyayi
(bangsawan). Ayahnya, R. A. A. Sosroningrat, adalah seorang bupati Jepara. Kartini menunjukkan
minat yang kuat pada pendidikan sejak usia muda, tetapi dia terpaksa menghentikan pendidikannya
di sekolah Eropa karena tradisi Jawa yang mengharuskan perempuan untuk menjalani masa
pingitan (isolasi) setelah mencapai usia pubertas.

Kontribusi pada Nusantara

Kontribusi pada Kartini menggunakan waktu masa pingitannya untuk membaca dan menulis surat
kepada teman-temannya dan tokoh-tokoh di Belanda. Dalam surat-suratnya, dia menyuarakan
keprihatinannya tentang ketidaksetaraan gender di Indonesia dan mengadvokasi pentingnya
pendidikan bagi perempuan. Kartini percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk memajukan
posisi perempuan dalam masyarakat. Setelah masa pingitannya berakhir, Kartini mendirikan
sekolah untuk perempuan di Jepara pada tahun 1903. Sekolah ini menyediakan pendidikan dasar
untuk perempuan dan mengajarkan keterampilan kerajinan tangan.
Pemikiran Luar Biasa

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu,
terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan
gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan
perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide
dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan
Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en
Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan
Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air). Surat-surat Kartini juga
berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle
"Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa.
Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas
duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus
bersedia dimadu.

Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah


kritik terhadap agamanya.[butuh rujukan] Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan
dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa
dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih,
terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa
banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu...". Kartini mempertanyakan tentang agama
yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah
penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi


ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang
tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur
12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun
ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam
mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia
disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya
tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah
kedokteran di Betawi. Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang
terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya
mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang
hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan
rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh
Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini. Pada
pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru
di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak
berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak
mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak
departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini
untuk belajar di Betawi.

Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia
menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam
mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-
suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk
mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan
agar Kartini dapat menulis sebuah buku. Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia
sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa
ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih
berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan
Adipati Rembang.

Nilai Kepahlawanan yang Dapat Diteladani

1. Mendapatkan Kesetaraan dalam Hak Pendidikan

Perjuangan Kartini melawan diskriminasi mendorong perempuan modern saat ini untuk berani
melawan stereotip perempuan ujungnya jadi ibu rumah tangga saja. Semua perempuan tidak perlu
ragu, karena sejatinya memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam mengejar mimpi dan cita-
citanya mengenyam pendidikan tinggi.
2. Membuka Lebar Kesempatan Perempuan untuk Berkarya

Keinginan Kartini agar perempuan tidak selamanya dicap hanya akan berakhir di dapur dan
mengurus rumah, membuka ruang penyetaraan bagi wanita modern bisa berkarya seperti para pria.
Perempuan bebas berekspresi, mengutarakan mimpinya, mewujudkan ide-ide kreatifnya,
menyalurkan bakat, membuat gerakan, menyuarakan hasil pemikirannya yang bermanfaat bagi
sekitarnya.

3. Mendorong Percaya Diri Perempuan dalam Berkarir

Di era digital sekarang ini, perempuan bisa bekerja dengan berbagai bentuk dan cara yang
beragam. Perempuan terdorong melawan stereotip melalui prestasi perempuan dalam ranah
profesional kerja, mengembangkan potensi dalam diri, berkarir bukan sekadar mencari uang dan
perekonomian, namun jadi teladan dan menjalankan hak asasi setiap orang. Perempuan modern
ialah perempuan yang memiliki semangat juang tinggi, kepercayaan diri, yakin terhadap
kemampuan yang dimiliknya, perempuan yang memiliki keinginan untuk memerdekakan dirinya,
dan memiliki prinsip hidup yang kuat.

4. Membangkitkan Kualitas Hidup Perempuan

Semakin terbukanya ruang bagi perempuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya, seperti
peran sinergi perempuan pada sektor pembangunan, dan peningkatan jumlah perempuan yang
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di pemerintahan.

Kematian dan Warisan

Kartini meninggal pada usia 25 tahun pada 17 September 1904, beberapa hari setelah melahirkan
anak pertamanya. Meskipun hidupnya singkat, surat-surat Kartini diterbitkan oleh J.H.
Abendanon, mantan Menteri Pendidikan, Agama dan Kerajinan di Hindia Belanda, dengan judul
"Habis Gelap Terbitlah Terang" dan menjadi inspirasi bagi generasi wanita di Indonesia. Untuk
menghormati warisan dan kontribusi Kartini, tanggal 21 April, hari kelahiran Kartini, diperingati
sebagai Hari Kartini di Indonesia. Hari ini merupakan simbol perjuangan perempuan Indonesia
untuk kesetaraan dan pendidikan.
Referensi:

Joost Coté, Realizing the Dream of R. A. Kartini: Her Sisters' Letters from Colonial Java, Ohio
University Press, 2008.

Elizabeth Locher-Scholten, Women and the Colonial State: Essays on Gender and Modernity in
the Netherlands Indies 1900-1942, Amsterdam University Press, 2000.

"Raden Ajeng Kartini: Pioneering Women's Rights in Indonesia", United Nations, diakses pada
2023.

Anda mungkin juga menyukai