Anda di halaman 1dari 3

Raden Ajeng Kartini (RA Kartini) dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan dan pejuang

emansipasi perempuan. RA Kartini yang lahir di Jepara, 21 April 1879 ini disebut oleh Pramoedya Ananta
Toer sebagai pemikir modern Indonesia pertama yang tanpanya maka penyusunan sejarah modern
Indonesia tidaklah mungkin. Menurut para penulis, sebenarnya kartini bukan apa dan siapa untuk
digores dalam sejarah jika dibandingkan sederet pejuang perempuan lain di negeri ini. Namun,
pemikiran Kartini yang tertuang lewat surat-suratnya kepada J.H. Abendanon dan istrinya, beserta
sahabat penanya yang sebagian besar orang Belanda menjadi hal yang sangat berharga.

Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat
catatan-catatan, kadang-kadang ia menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat.

Perhatian Kartini memang lebih banyak terhadap perubahan kedudukan perempuan, atau emansipasi
perempuan. Akan tetapi, ia juga sering kali membahas masalah sosial umum di dalam suratnya. Ia
melihat perjuangan emansipasi perempuan yang dilakukan RA Kartini agar memperoleh kebebasan,
otonomi, persamaan mendapatkan pendidikan dan pengajaran, serta persamaan hukum sebagai bagian
dari gerakan yang lebih luas.

Emansipasi perempuan adalah pembebasan dari perbudakan, persamaan hak dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat terutama mengenai persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria. Emansipasi
perempuan juga diartikan sebagai proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi
yang rendah atau dari pengekarangan hukum yang membatasi kemungkinan individu ini untuk
berkembang dan untuk maju. Kartini telah mengenal istilah emansipasi itu dari buku-buku bacaannya
semenjak ia terkurung dalam alam pingitan.

Ia pun menyampaikan harapan besarnya menganai emansipasi perempuan ini dalam berbagai
tulisannya yang dikirimnya dalam surat-surat kepada para sahabat pena dan pasangan Abendanon.
Berikut beberapa hal yang diperjuangkan Kartini terkait emansipasi perempuan. 1. Pendidikan bagi
kaum perempuan Seperti yang diketahui, di masa RA Kartini mencoba memperjuangkan emansipasi
perempuan itu, perempuan biasa tidak diperbolehkan mendapatkan pendidikan. Hanya perempuan
bangsawan yang berhak memperoleh pendidikan.

Selain itu, budaya turun-temurun saat itu menormalisasi seorang perempuan hanya pasif menjalani alur
kehidupan. Kartini ingin membuktikan bahwa perempuan pun harus memperoleh pendidikan dan bisa
menggantikan peran laki-laki. Dalam suratnya pada 25 Mei 1899 kepada sahabat pena pertamanya
Stella Zeehandelaar, Kartini juga menyinggung tentang pendidikan bagi kaum perempuan di tanah air.
“Kami, gadis-gadis masih terikat oleh adat-istiadat lama dan sedikit sekali memperoleh kebahagiaan dari
kemajuan pengajaran. Untuk keluar rumah sehari-hari dan mendapat pelajaran di sekolah saja sudah
dianggap melanggar adat”. Selain itu, Kartini juga menuliskan suratnya kepada Nyonya Nellie van Kol,
istri dari H.H van Kol seorang anggota 2de Kamer dari tahun 1997-1909 dan datang berkunjung ke Pulau
Jawa dalam tahun 1902.

Dengan pendidikan yang bebas itu, bukanlah sekali-kali maksud kami menjadikan orang Jawa itu orang
Jawa Belanda, melainkan cita-cita kami ialah memberikan kepada mereka juga, sifat-sifat yang bagus
yang ada pada bangsa-bangsa lain, akan jadi penambah sifat-sifat yang sudah ada padanya, bukanlah
akan mengalangkan sifat-sifatnya sendiri itu, melainkan akan memperbaiki dan memperbagusnya,” tulis
Kartini dalam surat kepada Nyonya van Kol, Agustus 1901.

kesiukan sebagai guru, ia harus berhadapan dengan situasi yang memaksanya merumuskan ulang segala
pendirian yang jauh sebelumnya telah dipegangnya kuat. Kartini diminta untuk menikah pada tahun itu.
Setelah melahirkan bayi laki-laki 13 September 1904, pada tanggal 17 September 1904 Kartini meninggal
dunia. Cita-cita Kartini mengenai pendidikan dan emansipasi perempuan pun kandas, tetapi dilanjutkan
oleh pasangan Abendanon melalui buku yang berisikan tulisan-tulisan surat Kartini.

2. Perempuan tidak dipandang rendah Pada surat untuk Stella Zeehandelaar, 23 Agsutus 1900 dituliskan
juga gelisah Kartini mengenai kedudukan kaum perempuan yang selalu dianggap lebih rendah
dibandingkan laki-laki. “Ingin hatiku hendak beranak, laki-laki dan perempuan, akan ku didik, ku bentuk
jadi manusia dengan kehendak hatiku. Pertama-tama akan ku buangkan adat kebiasaan yang buruk,
yang melebih-lebihkan anak laki-laki daripada anak perempuan”. Kartini menegaskan dalam suratnya itu
bahwa kita jangan heran jika nafsu laki-laki hanya memikirkan dirinya sendiri saja, karena sejak semasa
kecilnya, laki-laki selalu dilebih-lebihkan daripada anak perempuan.

Selain itu, sebagian besar orang tua jaman secara tidak langsung membiarkan anak laki-laki memandang
rendah atau menganggap lemah anak perempaun. Contohnya, seorang ibu seringkali berkata anak laki-
laki tidak boleh menangis, meskipun dalam kondisi mereka tersandung dan jatuh, karena malu nanti
seperti anak perempuan saja. Dengan kata lain, seolah menangis itu adalah hal yang memalukan dan
hanya anak perempuan saja yang boleh menangis karena mereka itu lemah. “Anakku, laki-laki maupun
perempuan, akan aku ajar, supaya menghargai dan pandang-memandang sama rata, makhluk yang
sama dan didikannya akan kusamakan benar, yakni tentu saja masing-masing menurut kodrat
kecakapannya”.

3. Perempuan berhak bebas dan punya kesempatan setara Ia juga menceritakan kisah pengalaman
tentang betapa nestapanya perempuan harus terkurung di dalam rumah dan tidak diperbolehkan
mengetahui kondisi dunia luar sebelum mereka menikah. Dahulu, perempuan selalu dicap sebagai objek
yang hanya harus berada di dapur, kasur dan sumur. “Ketika saya berusia 12 tahun, saya dikurung di
dalam rumah, saya mesti masuk kurungan. Saya dikurung di dalam rumah seorang diri, sunyi-senyap
terasing dari dunia luar. Saya tidak boleh keluar dunia itu lagi, bila tidak disertai oleh suami”.

Apa yang dideritanya sendiri mengenai perlakuan yang tidak sama antara dirinya dengan saudara laki-
lakinya, dan apa yang diketahuinya perihal keadaan masyarakat sekitarnya mendorong Kartini untuk
bangkit menuntuk emansipasi perempuan. Lalu surat kepada Nyonya Cvink Soer pada awal 1900, Kartini
menyampaikan bahwa keinginan atau target pemerintah dalam memakmurkan masyarakat di Pulau
Jawa tidak bisa hanya dilakuakn dengan pengajaran bagi para pegawai laki-lakinya. “Pemerintah hendak
memakmurkan Pulau Jawa, hendak mengajar rakyat pandai berhemat, dan hendak memulainya dengan
pegawainya. Apakah gunanya memaksa orang laki-laki menyimpan uang, apabila perempuan yang
memegang rumah tangga, tiada tahu akan harga uang itu?”. Dimaksudkan RA Kartini saat itu adalah bila
memang pemerintah ingin memajukan peradaban, maka haruslah kecerdasan pikiran dan kecerdasan
budi sama dimajukan baik untuk kaum laki-laki maupun perempuan.

Anda mungkin juga menyukai