Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

“PERJALANAN PENDIDIKAN INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN”


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filosofi Pendidikan Indonesia
Dosen Pengampu
Dr. Metroyadi, S.H, M.Pd

Disusun oleh
Kelas A
Kelompok 1
Irmayanti Wuryaningsih 7000204020
Ismail 7000150710

KEMENTRIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM PROFESI GURU GELOMBANG 2
BANJARMASIN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberi kemudahan dan pertolongan
dalam proses penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan
kepada Nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhammad SAW. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi
pendidikan dalam profesi keguruan.

Dalam kesempatan ini pula penulis juga berterima kasih kepada dosen mata kuliah
“Filosofi Pendidikan Nasional” yaitu Bpk Dr.Metroyadi, S.H, M.Pd dalam membimbing
penyusunan makalah ini.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.

Banjarmasin, 12 Desember 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................3
BAB I.............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.........................................................................................................................................4
A. Latar Belakang...................................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan................................................................................................................................5
BAB II............................................................................................................................................................7
KAJIAN TEORI............................................................................................................................................7
A. Pergerakan Pemuda Indonesia (Budi Utomo)....................................................................................7
1. Sejarah Budi Utomo.......................................................................................................................7
2. Tujuan Berdirinya Budi Utomo.....................................................................................................9
3. Perkembangan Budi Utomo Terhadap Pemerintah Kolonial.........................................................9
B. Pergerakan R.A Kartini....................................................................................................................12
1. Biografi R.A Kartini....................................................................................................................12
2. Pendidikan R.A Kartini................................................................................................................13
3. Gagasan–Gagasan dan Pergerakan Perjuangan R.A Kartini.......................................................13
4. Transformasi Spritual RA. Kartini...............................................................................................16
C. Gerakan Kebudayaan Oleh Ki Hadjar Dewantara di Belanda........................................................18
1. Pendidikan Ki Hadjar Dewantara................................................................................................18
2. Perihal Dunia Pendidikan di Indonesia........................................................................................18
BAB III........................................................................................................................................................27
PENUTUP....................................................................................................................................................27
A. Kesimpulan......................................................................................................................................27
B. Saran................................................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................................28
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan pada hakikatnya adalah untuk membangun peradaban bangsa melalui
membangun manusia seutuhnya. Pendidikan merupakan hak setiap orang untuk
meningkatkan harkat dan martabatnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
penyelenggaraan pendidikan, banyak faktor yang mempengaruhinya, baik yang berasal
dari internal maupun eksternal sebuah sistem pendidikan. Faktor-faktor diuar sistem
pendidikan yang seimbang antara kepentingan pemerintah dan rakyat.
Sejarah suatu bangasa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang dienyam
oleh rakyatnya. Maju atau tidaknya suatu bangsa juga dapat dilihat dari maju atau
tidaknya pendidikan suatu bangsa. Begitu pula dengan Indonesia yang memiliki sejarah
perkembangan pendidikan dari masa klasik hingga masa sekarang yang terus selalu
berkembang. Sesuai dengan perkembangan zaman, pendidikan juga selalu berkembang
secara dinamis. Namun tidak ada bangsa yang berkembang secara dinamis tanpa adanya
proses, pergerakan, dan perkembangan pendidikannya.
Indonesia dalam perjalanan sejarahnya juga bergerak dengan proses, pergerakan,
dan perkembangan pendidikannya. Yang kita ketahui sendiri bahwa tokoh-tokoh
pemimpin bangsa Indonesia juga merupakan lulusan lembaga pendidikan. Apabila kita
lihat perkembangan Indonesia, pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam
sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan adalah kebutuhan mendasar suatu
bangsa, begitu pula Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara,
serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Kebangkitan nasional adalah masa dimana bangkitnya rasa dan semangat
persatuan, kesatuan dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan
kemerdekaan republik Indonesia. bangkitnya nasionalisme di Indonesia dan tumbuhnya
pergerakan nasional Indonesia itu, tidak hanya dipengaruhi adanya pengaruh dari luar
Indonesia saja. Namun reaksi pada masa sebelum tahun 1905 yang pernah dicetuskan
dengan adanya perlawanan senjata dan pemberontakan di berbagai daerah, seperti
perlawanan Pattimura, Diponegoro, pemberontakan petani 1888, Pemberontakan para
ulama dan lain-lain.
Budi utomo yatu organisasi nasional pertama di indonesia, dikarenakan ada nilai-
nilai yang sudah dipandang sebagai bibit pergerakan nasional ini yaitu adanya
penyadaran tentang pendidikan dan budaya. Dr. Wahidin Sudirohusodo (1857-1917)
merupakan pembangkit semangat organisasi Budi Utomo.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan pergerakan nasional Indonesia (Budi Utomo)?
2. Bagaimana perkembangan pergerakan R.A Kartini?
3. Bagaimana Perkembangan gerakan kebudayaan oleh Ki Hadjar Dewantara?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui perkembangan pergerakan nasional Indonesia (Budi Utomo)
2. Mengetahui perkembangan pergerakan R.A Kartini
3. Mengetahui perkembangan gerakan kebudayaan oleh Ki Hadjar Dewantara
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pergerakan Pemuda Indonesia (Budi Utomo)

1. Sejarah Budi Utomo


Menurut buku yang ditulis oleh Akira nagazumi dengan berjudul bangkitnya
nasionalisme Indonesia pada 1908-1918 Dilatarbelakangi kondisi ekonomi yang buruk di
Jawa, dr. Wahidin Sudiro Husodo pada tahun 1906-1907 berkeliling pulau jawa, untuk
memberikan penerangan tentang cita-citanya kepada para pegawai Belanda dan dalam
berusaha mencari dana untuk beasiswa bagi pelajar Indonesia yang kurang mampu tapi
cakap, dr. Wahidin berkeinginan untuk mendirikan badan pendidikan yang di sebut
Studifonds atau di sebut Dana Belajar yang di tujukan oleh pelajar-pelajar pribumi
berprestasi yang tidak mampu melanjutkan sekolah.. Usaha dr. Wahidin tidak
mendapatkan tanggapan yang positif dari pegawai pemerintahan Belanda.

Pada tahun 1907 Dr wahidin mampir ke batavia untuk beristirahat sesudah dari
perjalanan panjangnya itu dan tidak berniat untuk singgah ke STOVIA. Ia kemudian di
undang oleh Soetomo dan Soeradji untuk mengundang dokter itu ke STOVIA untuk
mendengar gagasan-gagasannya akan tetapi mereka tenyata tergugah oleh semangat
Wahidin itu dan tidak lama setelah itu didirikanlah Budi Utomo.

Dirasuki oleh gagasan-gagasan Wahdin, Soetomo segera larut dalam kegiatan


mendirikan suatu perkumpulan di dalam STOVIA. Budi Utomo merupakan sebuah
organisasi pelajar yang didirikan oleh Dr.Sutomo dan para mahasiswa STOVIA (School
tot Opleiding voor Inlandsche Arsten) yaitu Sutomo, Suraji, Gunawan Mangunkusumo.
Budi Utomo didirikan di Jakarta pada minggu 20 Mei 1908. Organisasi ini bersifat sosial,
ekonomi, kebudayaan serta tidak bersifat politik. Budi Utomo menurut beberapa sarjana,
perkataan Budi Utomo berasal dari kata Sansekerta, yaitu bodhi atau budhi, berarti
“keterbukaan jiwa”,”pikiran”,” kesadaran”, “akal”, atau “pengadilan”. Tetapi juga bisa
berarti “ daya untuk membentuk dan menjunjung konsepsi dan ide-ide umum”.
Sementara itu, perkataan Jawa utomo berasal dari uttama, yang dalam bahasa Sansekerta
berarti “ tingkat pertama” atau “ sangat baik”. Tepuk tangan bergemuruh pada saat
menyambut kelahirannya, para hadirin tidak saja para siswa sekolah ini tetapi juga siswa-
siswa dari sekolah pertanian dan kehewanan di bogor, pamong praja pribumi di magelang
dan Probolinggo.

Dalam catatan Soetomo pada tahun 1909 asal-usul budi utomo ternyata di usulkan
oleh seorang teman dekatnya yaitu Soeradji, dia mengatakan :
“Pengusul nama budi utomo itu adalah mas Soeradji bahkan dia telah
sangat membantu para mahasiwa stovia dengan mengusulkan budi utomo sebagai
nama organisasi ini”

Seruan kelompok STOVIA dengan cepat tersebar di seluruh jawa dan di


kemudian hari dijadikan sebagai hari kebangkitan nasional. Tak lama setelah didirikan,
para siswa Stovia mencurahkan tenaga untuk merebut hati rekan-rekan dari sekolah
lanjutan lainnya untuk bergabung dengan Boedi Oetomo. Dengan cepat cabang Boedi
Oetomo berdiri di tiga dari delapan sekolah yang hadir saat pembentukan: OSVIA di
Magelang, sekolah pendidikan guru bumiputra di Yogyakarta, dan sekolah menengah
petang di Surabaya. Sehingga, jumlah anggota Boedi Oetomo pada Juli 1908 mencapai
650 orang. Dari keseluruhan, anggota dari Stovia relatif kecil karena jumlah siswanya
sedikit.

Pada tanggal 3-8 Oktober 1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang
pertama di Kota Yogyakarta. Hingga diadakannya kongres yang pertama ini, Budi Utomo
telah memiliki tujuh cabang di beberapa kota, yakni Batavia, Bogor, Bandung, Magelang,
Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo. Setelah cita cita Budi Utomo mendapat dukungan
yang makin meluas di kalangan cendikiawan jawa, pelajar mulai menyingkir dari barisan
depan karena mempunyai keinginan agar generasi tua dapat memegang peran bagi
gerakan itu. Ketika kongres budi utomo di buka di Yogayakarta pimpinan beralih kepada
generasi yang lebih tua. Jumlah anggotanya meningkat dari 650 menjadi 1.200 anggota,
di mana 700 anggota di antaranya “pejabat dan orang-orang pribumi” (bukan siswa).
Dengan meningkatnnya persentase anggota yang bukan siswa, pengaruh para siswa pun
berangsur-angsur menjadi semakin lemah. Dalam pertemuan pada 8 Agustus 1908, para
pemimpin Boedi Oetomo memutuskan Yogyakarta sebagai tempat kongres pertama.
Penetapan ini,bukan karena Yogyakarta merupakan tempat kelahiran Wahidin tetapi
karena Yogyakarta dipandang sebagai “tempat denyut jantungnya Jawa”.

Dalam kongres ke 2 di tetapkan pengurus ketua organisasi. Tirtokusumo terpilih


sebagai ketua, ia merupakan seorang bupati karanganyar yang mendapatkan
penghormatan dari kalangan luas pejabat pemerintah. Tirtokusumo giat dalam
memajukan pendidikan barat dengan prakrasa sendiri sebelum tahun 1908 ia mendirikan
sekolah gadis di kabupatennya dan mengangkat anak-anak perempuannya sebagai guru-
guru kepala sekolah yang pertama. Pengurus besar memutuskan unutk membatasi
jangkauan geraknya kepada penduduk jawa dan madura dan tidak akan melibatkan diri
dalam kegiatan politik. Bidang kegiatan yang dipilihnya oleh karena itu ialah bidang
pendidikan dan budaya karena budi utomo menganggap perlu di luaskan pendidikan
terutama pendidikan barat. Pengetahuan bahasa belanda mendapat prioritas pertama
karena tanpa itu seseorang tidak dapat mengharapkan kedudukan yang layak dalam
jenjang kepegawaian kolonial.
2. Tujuan Berdirinya Budi Utomo
Tujuan Budi Utomo adalah menyadarkan kedudukan Bangsa Jawa, Sunda, dan
Madura pada diri sendiri dan berusaha mempertinggi akan kemajuan mata pencaharian
serta penghidupan Bangsa disertai dengan jalan memperdalam keseniaan. Selain
tujuannya yang lain adalah menjamin kehidupan sebagai Bangsa yang terhormat dengan
menitik beratkan pada soal pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan. Pada hari Minggu
tanggal 20 Mei 1908, dihadapan beberapa mahasiswa STOVIA, Sutomo mendeklarasikan
berdirinya organisasi Budi Utomo. Tujuan umum yang hendak dicapai dari pendirian
organisasi Budi Utomo tersebut antara lain:

- Memajukan pengajaran.
- Memajukan pertanian, peternakan dan perdagangan.
- Memajukan teknik dan industri.
- Menghidupkan kembali kebudayaan.

Selain itu Budi utomo mempunyai tujuan khusus yang tercantum dalam beberapa
fasal di antaranya :

- Memperhatikan kepentingan pelajaran umum


- Menjunjung tinggi dasar-dasar perikemanusian
- Lain-lain yang dapat menjammin penghidupan bangsa yang pantas

Budi Utomo tergolong organisasi pertama di antara organisasi bangsa Indonesia


yang disusun secara modern. Organisasi kebangsaan yang berdasar pada usaha individu
yang bebas dan sadar terhadap persatuan. Surat kabar Batavia, Bataviansch Nieuwsblad
menyebutnya sebagai "langkah pertama telah diayunkan dan itulah langkah yang besar"
(Het eerste Stap is gedaan, en het is een groote stap). Pada tanggal 13 Juli 1908 dalam
surat kabar ini termuat tekad kaum muda sebagai pemimpin di masa yang akan datang
untuk memperbaiki keadaan rakyat.

Adapun pendiri dan tokoh-tokoh Budi Utomo antara lain ialah : Dr. Soetomo,
Wahidin Soedirohoesodo, dan Soeradji.

3. Perkembangan Budi Utomo Terhadap Pemerintah Kolonial


Sejak awal mula pemerintah kolonial belanda telah menunjukan minatnya yang
besar terhadao Budi Utomo. Menurut sebuah surat yang ditulis oleh sekertaris pertama
pemerintah pada pertengahan oktober 1908, Gubenur Jenderal J.B van Heutsz dengan
teliti mengikuti artikel-artikel surat kabar dari berdirinya Budi utomo yang di adakan di
Yogyakarta itu. Gubernur Jenderal akhirnya menarik kesimpulan bahwa organisasi ini
sebagai “bukan omong kosong tetapi hasil-hasil bermanfaat bagi negeri dan rakyat yang
bisa diharapkan dari gerakan ini”. Ketika jabatan Budi utomo akan dipegang oleh bupati
karanganyar yaitu Tirtokusumo belanda bergembira dan berniat melakukan apa saja yang
bisa demi pengangkatan itu. Gubernur jenderal berpendapat jika Bupati menerima
kedudukan ketua itu, diharapkan agar ia mampu mengemudikan organisasi ke arahnya
yang benar dan jika perlu memberikan jaminan kerja sama antara pemerintah dengan
badan pengurus Budi utomo.

Pejabat eropa memberikan sebuah ungkapan yaitu “Perintah alus” yang artinya
bahwa pemerintah hendaknya melakukan tekanan lembut terhadap pribumi bawahan
mereka atau terhadap penduduk pribumi dan bukan dengan berlindung pada tindakan-
tindakan kasar dari masa lalu yaitu dengan cara pemaksaan dan ancaman hukuman
apabila perintah-perintah pemerintah tidak ditaati. Hal ini membuat bahwa pemerintah
pada waktu itu mengharapkan adanya pemerintahan kolonial yang tertib dan damai dan
serentak dengan itu juga demi perkembangan penduduk pribumi terpelajar secara spontan
dan moderat.

Dengan demikian pengangakatan Tirtokusumo diterima sebagai pertanda baik


bagi kolonial belanda, tetapi secara resmi juga pemerintah bersikap hati-hati dengan tidak
terlalu dini menyatakan pendapat sepatahpun tentang organisasi itu dan tidak tergesa-gesa
memberikan pengakuan terhadap Budi Utomo sebagai organisasi yang sah. Tahun 1909
dua kelompok minoritas di dalam Budi Utomo berangsur-angur terbenttuk. Kelompok
yang satu menganjurkan agar Budi Utomo menjadi organisasi politik yang di gagas oleh
kaum muda dan yang satu lagi mengendaki agar Budi Utomo memperluas perhatianya
sehingga meliputi seluruh bangsa hindia belanda oleh kaum tua. Dipilihnya Tijpto
Mangkusumo dan Soerjodipoetro yang duduk pada badan pengurus merupakan upaya
untuk mencegah terjadinya perpecahan.

Pada tanggal 18 oktober badan pengurus akhirnya mengajukan anggaran dasar


organisasi kepada pemerintah kolonial unutk mendapatkan pengesahannya. Pemerintah
memberikan keputusan yang positif dengan menyatakan Budi Utomo sebagai organisasi
yang sah dengan keputusan pemerintah No.52, 28 desember 1909 sekitar satu setengah
tahun sesudah rapat pertama di STOVIA Mei 1908 dan kemudian Budi Utomo secara
resmi diberi izin melakukan kegiatannya. Pemerintah Hindia-Belanda mengesahkan Budi
Utomo sebaga badan hukum yang sah karena dinilai tidak membahayakan. Dengan
demikian apabila sikap Budi utomo telah merebut kepercayaan pemerintah kolonial dan
para pejabat belanda yang maju pada akhir tahun 1909. Untuk sementara pemerintah
merasa cukup puas terhadap Budi Utomo sehingga demikian organisasi ini tidak lagi
disebut-sebut lagi di dalam dokumen-dokumen rahasia yang mengancam belanda sampai
budi utomo berpaling kepada kegiatan bidang politk pada tahun 1915.

Pada tahun 1916-1917 merupakan pertanda masa amat yang berhasil bagi Budi
utomo karena Dwidjosewoyo sebagai wakil budi utomo berhasil mengadakan pendekatan
dengan pemimpin-pemimpin belanda terkemuka. Keterangan Menteri Urusan Daerah
jajahan tentang pembentukan Volksraad (Dewan rakyat) saat itu sedang di bicarakan
yang bahwasanya Budi Utomo akan di jadikan sebagai dewan perwakilan rakyat belanda
dan ini merupakan hal yang amat mengembirakan bagi Budi utomo . Aktivitas itu
memberikan kesan di kalangan pemerintahan kolonial bahwa budi utomo adalah satu-
satunya organisasi yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Sebagai hasilnya budi
utomo dalam kampanye dapat menduduki jumlah kursi yang nomor dua besarnya di
antara anggota pribumi dalam Volksraad

Budi Utomo adalah sebuah gerakan yang ingin menyadarkan kedudukan Bangsa
Jawa. Pengaruh gerakan Budi Utomo terlihat dengan media masa, seperti majalah
Oedyana Para Prujitna Tijdschrift voor den vooruittlrevenden Javaan (Majalah untuk
orang Jawa yang Ingin Maju) isi dari Majalah tersebut membahas tentang Pertanian untuk
masyarakat Pribumi, yang terbit perdana Pada Juni 1909 di bawah redaksi Boenjamin
yang baru saja menyelesaikan pendidikan dokternya. Dalam pengantar redaksinya,
Boenjamin dengan bangga menamakan majalahnya “Majalah Nasional pertama untuk
orang Jawa dan ditulis oleh orang Jawa”. Tujuan majalah ini adalah mendorong kecintaan
pada bahasa Jawa dan pengembangan bahasa Jawa. Bahasa Jawa harus dikembangkan
sedemikian rupa, sehingga dapai berfungsi di tengah kehidupan modem. Selain itu
majalah dapat menjadi ajang bagi para penulis Jawa, dan menyampaikan pengetahuan
tentang Negeri Belanda kepada orang Jawa. Di semarang budi utomo mendirikan toko
buku jawa dan percetakan Budi Utomo kemudian menerbitkan majalah bulanan yang
bernama Goeroe Desa yang terbit pada bulan september 1910 yang ditujukan untuk
memperbaiki kesehjahteraan rakyat jawa di perdesaan dan berisi nasihat-nasihat tentang
bagaimana menggarap tanah dengan traktor, mengelola perdagangan, pemeliharaan
ternak, unggah dan lebah.

Pada tahun 1909 sekolah-sekolah di jawa dan sumatera akhirnya mendapatkan


pendidikan modern seperti, diajarkan pengeloloan kayu dan besi yang lebih modern
dengan teknik eropa kemudian para mahasiswa yang tergabung dalam organisasi budi
utomo mengajarkan para penduduk pribumi keterampilan-keterampilan modern seperti,
pengetahuan mesin/montir mobil, listrik dan ilmu pengetahuan alam. Perlu diketahui
bahwa sebelum tahun 1908, belum ada pendidikan-pendidikan yang mencakup terhapat
teknik dan kejuruan yang di ajarkan oleh para guru di pribumi, meskipun pada tahun
1881 sudah ada di daerah minahasa namun berlum tersentuh penduduk pribumi jawa dan
hanya di peruntukan oleh orang yang beragama kristen.

Pada tanggal 8 september 1910 budi utomo memperluas kesempatan anak-anak


pribumi dan jawa untuk menerima pendidikan eropa dan lebih khususnya lagi pendidikan
bahasa belanda. 2 tahun sesudah itu pada tahun 1913 sekolah pribumi kelas 1 di beri
nama baru yaitu Hollandsch inlandsche scool, sekolah pribumi belanda dan peraturan
akhirnya menetapkan bahwa bahasa belanda diajarkan mulai dari kelas 1. Pembahuran ini
mengakibatkan jumlah murid yang masuk sekolah-sekolah ini mulai semakin terus
bertambah besar. Hal ini membuat bahwasanya budi utomo sangat mendukung
pembaharuan khususnya dalam wujud perbaikan pendidikan terhadap masyarakat
pribumi terutama jawa.

Dr Sutomo dan para teman-teman juga pula membuat koperasi-koperasi kredit


yang belum ada pada masa itu dan bahkan pada tahun 1929 di bangun Bank Negara
Indonesia. Masyarakat jawa yang tadinya belum mengenal pendidikan eropa kemudian
terpengaruh dengan adanya organisasi budi utomo, mereka mendapatkan pendidikan
pendikan ketrampilan yang ilmu-ilmu teknik yang belum mereka dapatkan sebelumnya.
Para anggota Budi Utomo juga mengusulkan kepada pemerintah belanda bahwa
disekolah pribumi juga di ajarkan pendidikan-pendidikan islam karena dengan alasaan
bahwa kebudayaan indonesia juga harus memperoleh perlindungan di karenakan
banyaknya sekolah belanda yang mengajarkan agama kristen sehingga ingin
memperkecil kemungkinan jika penduduk pribumi nanti akan terpengaruh kedalam
agama kristen.

B. Pergerakan R.A Kartini

1. Biografi R.A Kartini


Di masa maraknya tanam paksa, daerah Jepara harus menyerahkan sepertiga dari
tanah garapannya buat kopi, karet, coklat, dan tebu kepada penjajah. Pada sekitar tahun
pencabutan tanam paksa, seorang asisten Wedana onderdistrik Mayong, kabupaten
Jepara, bertemu seorang gadis rakyat jelata, anak Modirono, buruh pabrik gula bernama
Ngasirah. Ngasirah diambil menjadi selir kemudian darinya terlahir R.A Kartini pada
tanggal 21 April 1879. Ayah Kartini R.M.A Sosroningrat, seorang Bupati Jepara,
sedangkan kakeknya adalah Bupati Demak P.A Tjondronegoro, dan bila di tarik garis
keturunan leluhurnya maka leluhurnya adalah salah seorang Raja Jawa.
R.A Kartini cucu Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak, yang terkenal
suka akan kemajuan, beliaulah Bupati yang pertama-tama, yang mendidik anak-anaknya
laki-laki atau perempuan dengan pelajaran Barat. Pada tahun 1846 belum ada ide member
pendidikan kepada Bumiputra, karena itu disuruhnya guru dating dari negeri Belanda
supaya anak-anaknya mendapat pelajaran Barat.

Kelahiran Kartini dari seorang ibu yang berasal dari rakyat jelata, sejak lahir telah
menerima diskriminasi sosial yang tidak adil di lingkungan keluarga, mengingat ibu
tuanya Raden Ayu Sosoroningrat berasal dari keturunan ratu Madura. Persaingan antara
ibu kandung dan ibu tirinya membuatnya tidak mendapatkan kasih sayang penuh dari
ibunya. Begitu juga kedua ibunya adalah wanita kuno. Ibu tuanya seorang ningrat yang
meneruskan tradisi yang mendudukkan anak laki-laki lebih tinggi dari anak perempuan,
sedangkan ibu kandungnya meneruskan tradisi rakyat, di mana laki-laki dan perempuan
sama-sama bekerja di sawah dan di rumah untuk mempertahankan keselamatan keluarga
dan rumah tangga.

2. Pendidikan R.A Kartini


Kartini hadir di tengah tradisi Jawa yang tidak memperbolehkan seorang
perempuan mengikuti pelajaran dan bekerja di luar rumah, menduduki jabatan di tengah
masyarakat. Seorang perempuan tidak banyak keinginan, dan siap dan bersedia
dikawinkan dengan pilihan orang tuanya. Sejak umur 12 tahun anak perempuan dipingit
dan tidak boleh keluar rumah. Walaupun ada sejumlah anak gadis yang mengenyam
pendidikan, tapi jumlahnya sangat sedikit, seperti pada tahun 1898 tercatat hanya ada 11
perempuan yang masuk di sekolah Gubernemen (sekolah Belanda).

Dalam tradisi yang ada saat itu, perempuan di larang keras keluar rumah, atau ke
tempat lain. Bersama kakaknya ia masuk sekolah di Sekolah Rendah Belanda, satu-
satunya sekolah di Jepara. di sekolah Kartini melihat diskriminasi yang dipertontonkan
pihak sekolah. Ketika anak-anak dibariskan di depan kelas, mereka dipanggil menurut
kulitnya, putih, sawo mateng, coklat, juga kedudukan orang tuanya dalam kepegawaian
dan susunan sosial.

Dalam suratnya ditujukan kepada Estelle Zeehandelaar, Kartini menceritakan


diskriminasi yang diterima dari guru dan teman-temannya yang berkebangsaan Belanda,
mereka kadang mentertawakan, mengejek kebodohan orang-orang Pribumi dan
kebanyakan gurunya tidak rela memberikan nilai tertinggi pada anak Jawa.

3. Gagasan–Gagasan dan Pergerakan Perjuangan R.A Kartini


Surat menyurat merupakan bagian penting dalam hidup Kartini, yang kemudian
dihimpun oleh Mr.J.H Abendanon, mantan Direktur Departemen Pengajaran & Ibadat
Hindia Belanda, surat tersebut diterbitkannya dengan judul Door Duisternis tot Licht,bit
atau Indonesianya berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Armijn Pane. Himpunan
surat tersebut diterbitkan pada tahun 1923 dan telah mengalami cetak ulang ke-4,
himpunan ini berisi 105 pucuk surat Kartini, sebuah nukilan dari catatan harian, sajak,
dan Nota yang dikirimkannya kepada pemerintah Nederland.

a. Memerangi tata hidup feodal


Kondisi sosial masa Kartini masih diwarnai tatanan hidup feodalisme. Bacaannya
dari berbagai buku telah memberikan kemampuan analisanya terhadap tata hidup
masyarakat Jawa saat itu. Dalam suratnya tertanggal 18 Agustus 1899 Kartini menuliskan
adat di kalangan feodal Pribumi,….”Seorang adikku lelaki ataupun wanita, tak boleh
jalan melewati aku, kalau toh harus melewati, dia mesti merangkak di atas tanah.. pada
setiap akhir kalimat yang keluar dari mulutnya harus mereka tutup dengan sembah.
….aku seorang keturunan ningrat yang mereka puja, mereka rela mengorbankan harta
dan darahnya, sungguh mengharukan betapa mereka betapa bawahan itu begitu
patuhnya terhadap atasan.
Orang-orang di sekitar Kartini telah mengenal sikapnya yang melawan dan
memerangi tata hidup hidup feudal, ia lebih bersimpati pada rakyat jelata dengan
penderitaannya. Kepada kaum feodal ia menyatakan proklamasinya,”Adeldom verplicht
atau Kebangsawanan mewajibkan, artinya makin tinggi kebangsawanan seseorang, makin
berat tugasnya terhadap tugas dan kewajibannya kepada rakyat.

Dalam beberapa suratnya Kartini menunjukkan penegenalannya yang mendalam


tetntang rakyatnya. Dari observasinya yang tajam timbul penegetahuan dan wawasan,
dan lebih dari itu kecintaan dan ketulusannya berkembang menjadi patriotism yang luas
dan nasionalisme yang posisional. Ia melihat feodalisme merupakan tata hidup yang
memecah belah masyarakat dalam lapisan dan susunan hamba berhamba sehingga kaum
feodal ia lihat sebagai penghalang tumbuhnya persatuan.

b. Harapan Kartini Tentang Pers


Pada masa hidupnya pers yang berbahasa Melayu dan Jawa belumlah sampai
pada fungsi perjuangan. Saat itu yang dimuat hanya berita-berita dalam dan luar Negeri,
sensasi-sensasi murah dan fitnah terhadap orang tidak disukai. Karena itu, Kartini
berpendapat bahwa pers merupakan alat untuk perjuangan. Ia bersorak girang waktu “
ikatan pemuda generasi baru yang menyelesaikan studi di Nederland menerbitkan
Bintang Hindia berbahasa Melayu dan Belanda. Dalam notanya Kartini menuliskan:

“ Dan Selalu menjadi Maksudku untuk mengangkat suara keras-keras, karena hanya
publikasi saja yang dapat membawakan perbaikan-perbaikan yang kita harapkan atas
keadaan yang begitu membutuhkan perbaikan itu….”
c. Menghimpun dongeng dan nyanyian tradisional
Di saat dunia pribumi belum mempunyai perhatian terhadap dongeng dan
nyanyian tradisional, Kartini telah berinisiatif menghimpun dogengan-dongengan rakyat,
ia menuliskan hal itu dalam suratnya yang dikirim tertanggal 20 agustus 1902, ia
mengatakan:

“Kerja menghimpun dongengan-dongengan membawa kami berhubungan dengan


berbagai orang, dan ini memberikan kenikmatan besar karena dapat mendengarkan
pikiran-pikiran mereka. Dengan bahasa sederhana namun demikian bergayanya pikiran-
pikiran terindah itu diucapkan, dan begitu mengharukan karena tepatnya kebenaran dan
kebijaksanaan yang di kandungnya.”
Dari perhatiannya terhadap dongeng dan nyanyian tradisional rakyat saat itu,
Kartini mendapatkan keunggulan-keunggulan tradisi lokal yang semakin jelas
memunculkan semangat nasionalisnya hingga ketika ia telah memasuki alam perkawinan
ia masih sibuk dengan gagasan ini.

d. Sastra sebagai alat mewujudkan cita-cita perjuangan


Di usianya ke 21 tahun, di saat belum munculnya tradisi sastra, Kartini, telah
sampai kepada suatu paham bahwa yang pertama adalah cita-cita sebagai hasil kehidupan
kejiwaan dari pemahamannya terhadap keadaan sosialnya, dan cita-cita inilah dapat
diwujudkan melalui seni. Seni merupakan salah satu alat terpenting dalam perjuangan
bagi mereka yang tidak mempunyai kebebasan dan kekuasaan di bumi Nusantara. Dalam
suratnya ia katakan:

“sebagai pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-
citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami.”

e. Batik, Seni Pahat, Dan Pandai Emas Dan Perak Sebagai Seni Rakyat
Seni batik adalah seni yang telah dia pelajari sejak usia 12 tahun dari seorang
pekerja kabupaten bernama embok Dullah. Pada setiap acara penting, Kartini dan
saudara-saudaranya mengenakan batik buatan sendiri untuk membanggakan keunggulan
seni rakyat pribumi. Di usianya yang ke 19 tahun, Ia telah menulis buku dalam bahasa
belanda tentang proses pembuatan batik berjudul Handschrift Jepara. Buku ini ditulis
ketika di Den Haag, Nederland tahun 1998 di adakan pameran Pameran Nasional untuk
Karya Wanita untuk stand yang bernama jawa.

Pengaruh Handschrift Jepara tidak kecil, terbukti dengan mulai bangkitnya


perhatian orang di Nederland terhadap seni rakyat Hindia, termasuk di dalamnya seni
batik menjadi terkenal. Dalam suratnya yang ditujukan kepada Estelle Zeehandelaar ia
menuliskan:
“Siapakah yang dapat menggarap kepentingan-kepentingan kesenian Jawa dengan lebih
baik kalau bukan putra rakyat sendiri, yang lahir bersama kecintaannya pada kesenian
Pribumi…”
Perhatiannya terhadap seni rakyat mulai menguat saat kunjungan bersama
keluarga Bupati Jepara ke kampung Blakang Gunung. Di tempat ini ia melihat para
pengerajin, pengukir,pandai besi, dan pemahat kulit yang punya keahlian tinggi, namun
hidupnya jauh dari menyenangkan, keadaan sosialnya tidak sebanding dengan
keahliannya hidup di gubuk bambu beratap daun nipah. Merespon kondisi ini Kartini
melakukan dua hal:

Pertama, mengusakan publikasi tentang para pengerajin melalui prosa tentang


tanah kelahirannya Jepara dengan judul “Van een Uitboekje atau Pojok yang Dilupakan,
tentang seni ukir Jepara. Prosa ini pada dasarnya memperkenalkan keadaan sosial-
ekonomi para pengerajin sehingga menggugah pikiran pembacanya menjadi bersimpati
sehingga ukiran Jepara menjadi model penghias rumah di keluarga-keluarga bangsawan
Pribumi, Keluarga Eropa, para pedagang, dll. Keberhasilannya mendokrak penjualan
ukiran Jepara diungkapkan dalam suratnya:

“Duh betapa manis terasa di hati, disebabkan sekarang orang mulai mengenal dan
menghargai hasil-hasil kesenian negeri kami,……kami bangga dengan rakyat kami, yang
begitu sedikit dikenal …Hore! Demi seni dan tangan kerajinan Pribumi. Dengan para
pengerajin itu menghadapi hari depan lebih indah.”
Kedua, Melindungi kepentingan para pengerajin dari perusakan-perusakan yang
dilakukan tanpa sadar atas seni rakyat. Dalam tulisannya, “ Ada terjadi perusakan-
perusakan di dalam industry seni Jakarta, karena putrid-putri para amtenir tinggi Pribumi
terus menerus mendorong para pengukir itu bekerja menurut model dan motip eropa”
usaha kartini mempertahankan identitas budaya lokal di saat perempuan Pribumi lain
tidak memikirkan budayanya akan hilang di tengah cengkarama penjajah.

Ketiga, mengirimkan contoh-contoh ukiran kayu ke beberapa tempat, sampai ke


pada Sri Ratu.

Kartini adalah Maecenas, pelindung dan pengembang seni ukir Jepara, karena
usaha-usahnya yang tak kenal lelah dan tak mengharapkan untung, telah menghidupkan,
bahkan mengembangkan seni rakyat yang hampir punah. Kartini wafat tanggal 17
September 1904, tiga hari setelah melahirkan putranya.

4. Transformasi Spritual RA. Kartini


Dalam perjalanan spritualnya Kartini pernah membaca Buddisme sehingga dalam
suratnya bercerita tentag pengalamannya tentang sinkritisme. Simpatisnya juga jiwanya
telah terpengaruh Ramabai sosok wanita india telah mengisi kekuatan alam pikirannya,
namun itu analisa terakhir sebagaimana yang tulis teguh Setiawan, wartawan Senior
Republika menulis tentang transpormasi spiritual RA Kartini dalam tulisannya sejalan
dengan informasi dalam buku Islam Nusantara yang ditulis Noerul Huda.

Sebelum pertemuannya dengan KH.Saleh Darat, RA. rtini sangat resah karena-
sebagai seorang muslim- tidak mampu memahami Alqur’an dan sangat merindukan kitab
tafsir Alqur’an dalam bahasa Jawa. Keresahannya pernah diungkapkan kepada
sahabatnya, Zeehandelaar, melalui surat yang tertanggal 18 Agustus 1899. Di dalamnya
Kartini, mengatakan:

“Karena Alqur’an terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke bahasa manapun. Di sini
tiada seorang pun tahu bahasa Arab. Orang di sini tiada seorang pun tahu bahasa Arab.
0rang di sini diajar membaca Alqur’an, tetapi yang dibacanya tiada dimengerti”
Pertemuannya dengan KH. Saleh Darat terjadi ketika mengikuti sebuah pengajian
di Pendopo Kabupaten Demak pada tahun 1901. Kegembiraan atas pemahaman yang
didapatkan tentang Alqur’an pernah ditulis dalam surat kepada C.E. Abendanon:

“Alangkah bodohnya kami, kami tiada tahu bahwa sepanjang hidup kami ada gunung
kekayaan di samping kami”
Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan
Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27
Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.

“Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang
terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu
sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat
ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-
kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau
orang Jawa kebarat-baratan.”
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis;
Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi
sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain
memandang Islam sebagai agama disukai.

Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;


"Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
Menjelang pernikahannya dengan bupati Rembang kartini sempat mendapat
hadiah sebuah kitab tafsir Alqur’an dari Kiai Saleh Darat, selang kemudian, Kiai Saleh
Darat wafat pada tahun pada 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 M.

C. Gerakan Kebudayaan Oleh Ki Hadjar Dewantara di Belanda

1. Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Sejak kecil Ki Hadjar Dewantara sudah di didik dalam suasana religius dan dilatih
untuk mendalami soal-soal kesasteraan dan kesenian Jawa. Sejak kecil pula dia dilatih
untuk hidup sederhana. Keterbatasan materil yang dialami keluarganya, tidak
menyurutkan semangat belajarnya. Meskipun ia hanya masuk ke Sekolah Dasar Belanda
III (ELS), ia tetap bersemangat menuntut ilmu. Ketika masih duduk di bangku Sekolah
Dasar, kehidupan Ki Hadjar Dewantara tidak berbeda jauh dari kehidupan anak-anak
lainnya. Dia juga sering berkelahi dengan anak-anak sekolah dari keturunan Ambon dan
Ondo Belanda. Ia terpaksa berkelahi dengan rekan-rekan seperjuangannya itu karena
mereka menghina dirinya.

Setelah Tamat Sekolah Dasar III Belanda pada tahun 1904, Ki Hadjar mengalami
kebingungan untuk meneruskan sekolahnya. Ia tidak hanya bingung karena masalah siapa
yang membiayai sekolahnya, tapi juga kemana ia harus meneruskan sekolahnya.
Maklum, keluarganya tidak cukup berada dibandingkan kerabat Pakualaman yang lain.
Selain itu, ayah Ki Hadjar yang cacat netra sejak lahir juga merupakan suatu alasan
tersendiri bagi masalah pendidikannya. Ki Hadjar memang sempat masuk sekolah guru di
Yogyakarta, tapi tidak sampai tamat. Semasanya menempuh sekolah guru, datanglah
tawaran sekolah (beasiswa) untuk menjadi dokter jawa dari dokter Wahidin Sudiro
Husodo. Kala itu dokter Wahidin sengaja bertandang ke Pakualaman. Ia menanyakan
siapa diantara putra-putra yang mau masuk sekolah dokter jawa. Kesempatan itu dengan
segera diterima Ki Hadjar.

Ki Hadjar menempuh sekolah dokter jawa (STOVIA) selama kurang lebih lima
tahun (1905-1910). Namun, ia tidak berhasil menamatkan sekolahnya lantaran sakit
selama empat bulan. Selama sakit Ki Hadjar tentu tidak dapat belajar dengan baik
sehingga ia tidak naik kelas. Akibatnya, beasiswanya dicabut. Ia meninggalkan
sekolahnya dengan terpaksa lantaran tidak mampu membiayayinya. Kepandaiannya
dalam bahasa Belanda mendorong Direktur Sekolahnya mengeluarkan surat istimewa
yang menjelaskan bakatnya itu.

2. Perihal Dunia Pendidikan di Indonesia

Dalam masa penjajahan Belanda (dan juga Jepang), salah satu bidang kehidupan
yang terabaikan adalah pendidikan. Rekayasa politik yang tampak pada fakta terbatasnya
jumlah sekolah dan sarana pendidikan bagi bangsa Indonesia pada Dalam masa
penjajahan Belanda (dan juga Jepang), salah satu bidang kehidupan yang terabaikan
adalah pendidikan. Rekayasa politik yang tampak pada fakta terbatasnya jumlah sekolah
dan sarana pendidikan bagi bangsa Indonesia pada.

Terpinggirnya mayoritas generasi muda Indonesia dari dunia pendidikan pada


masa itu merupakan alasan mendasar perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Putra terbaik
bangsa Indonesia itu lantas memusatkan perhatian dan perjuangannya kepada
pengembangan pendidikan, terutama selama dan setelah ia menjalani masa hukuman di
negeri buangan. Berbekal pengetahuan yang diperolehnya di tanah pembuangan, ia
menancapkan pilar-pilar perjuangannya pada dunia pendidikan. Baginya, pendidikan
merupakan wahana pengembangan kemanusiaan secara utuh dan penuh. Pendidikan juga
menjadi kata kunci bagi seseorang dan suatu bangsa untuk menggapai kemerdekaan
secara politis. Maka pendidikan harus menjadi bagian sentral dan dasar gerakan
perjuangan dalam segala ranah kehidupan anak manusia. Keyakinannya itu kemudian
direalisasikannya dalam Perguruan Taman Siswa.

a. Terbentuknya Perguruan Taman Siswa


Kondisi sekolah yang ada di tanah air, MULO dan HIS, yang menguntungkan
Pemerintah Kolonial juga menjadi alasan bagi Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan
Perguruan Taman Siswa. Pada masa itu, putra-putri Indonesia yang di sekolahkan di HIS
dididik dengan sistem pendidikan Pemerintah Kolonial, yang jelas sesuai dengan harapan
dan kepentingan mereka. Konten pelajaran-pelajaraan (bacaan) yang diberikan, misalnya
bacaan, baik secara implisit maupun eksplisit merupakan upaya secara sistematis agar
generasi Indonesia melupakan dan merendahkan diri dan martabat bangsanya sendiri.

Pemerintah Kolonial berupaya untuk mengalihkan perhatian generasi Indonesia


agar tidak mengadakan pemberontakan dan mendirikan organisasi atau partai Politik
yang menentang Pemerintah Kolonial. Semua generasi Indonesia yang belajar di HIS
dibentuk sedemikian rupa agar sedapat mungkin tidak menjadi pemimpin bagi
bangsanya, tapi menjadi pegawai (kuli, buruh) Pemerintah Kolonial. Itu berarti upaya
sistematik untuk menjinakkan semangat juang generasi Indonesia, baik dalam bidang
politik maupun jurnalistik.

Ki Hadjar Dewantara memahami betul ke mana arah pendidikan pemerintah


Kolonial itu. Maka ia bercita-cita meningkatkan kesadaran generasi muda untuk
menegaskan derajat dan martabat bangsanya. Ia yakin, jika generasi Indonesia pada masa
itu cerdas maka mereka akan menjadi pembangun kesadaran bangsa untuk bangkit
berjuang melawan segala bentuk penindasan dan merebut kemerdekaan. Inti cita-citanya
pada prinsipnya sama dengan cita-cita “Paguyuban Selasa-Kliwon” di mana dia terlibat
juga, yakni membahagiakan diri, membahagiakan bangsa dan membahagiakan manusia.
Terdorong oleh cita-cita itu, Ki Hadjar Dewantara yang telah mengenal dunia
pengajaran dan pendidikan selama satu tahun di sekolah Adi Dharma, memutuskan untuk
mendirikan sebuah perguruan yang cocok untuk mendidik generasi Indonesia. Maka pada
tanggal 3 Juli 1922 didirikanlah sebuah perguruan di Yogyakarta dan dikenal sebagai
Perguruan Taman Siswa. Perguruan ini kemudian segera berkembang luas ke banyak
tempat di pulau Jawa dan luar Jawa: Sumatera, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan Ambon.

Kelahiran Perguruan Taman Siswa jelas menjadi tandingan bagi sekolah-sekolah


milik Pemerintah Kolonial. Perguruan Taman Siswa ini sangat menekankan pendidikan
rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan
berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Kondisi ini tentu menjadi ancaman bagi
Pemerintah Kolonial. Semakin banyak orang yang belajar ke dan tamat dari Perguruan
Taman Siswa, semakin banyak generasi Indonesia yang berani membangkang dan
melawan kebijakan politik Pemerintah Kolonial. Artinya pula, semakin banyak generasi
yang siap menjadi pemimpin, paling kurang untuk dirinya sendiri, kelompok-kelompok
sosial seperti “Paguyuban Selasa Kliwon” itu, bahkan bisa jadi dalam bentuk Partai
Politik sekaliber PNI yang berdiri pada tahun 1927 itu.

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah
kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar
pada 1 Oktober 1932. Salah satu pasal dalam undang-undang tersebut dipandang Ki
Hadjar Dewantara mengancam eksistensi sekolah-sekolah swasta sebab berbunyi bahwa
Pemerintah Kolonial mempunyai kekuasaan penuh untuk mengurus ujud dan isi sekolah
swasta. Itu berarti seluruh aktivitas sekolah swasta dan instrumen-instrumennya diatur
oleh Pemerintah Belanda. Ki Hadjar Dewantara tentu merasa keberatan terhadap
kebijakan ini sebab membatasi secara sepihak setiap aktivitas sekolah swasta. Kebijakan
tersebut bahkan dapat secara sepihak pula menghentikan seluruh aktivitas sekolah swasta
atau memutuskan kelangsungannya. Artinya, sekolah swasta selain menderita karena
tidak mendapatkan subsidi dari Pemerintah Kolonial, juga dapat gulung tikar.

Menanggapi keresahan keluarga besar Taman Siswa terhadap Undang Undang


Sekolah Liar tersebut, Ki Hadjar Dewantara pada intinya menandaskan perlunya
perlawanan dengan kekuatan tenaga secara aktif dan pasif. Gagasan Ki Hadjar ini
didukung oleh tokoh-tokoh lain seperti dr. Soekiman, Drs. Moh. Hatta (yang pada waktu
itu menjabat sebagai Pemimpin Pendidikan Nasional Indonesia), dan para pengurus besar
organisasi pada masa itu (Budi Utomo, Muhamadyah, Istri Sedar, Partai Indonesia, PSII,
PPKIT dan seluruh rakyat Indonesia. Kecuali itu, Ki Hadjar Dewantara juga mendapat
dukungan dari insan Pers, yang memberitakan isi pikiran Ki Hadjar tentang inti
perlawanannya. Sebagai buah awal perjuangannya itu, pada tanggal 19-21 Oktober 1932
Kuasa Pemerintah untuk Urusan Umum di dalam Dewan Rakyat, Mr. Kiewiet de Jong
datang berunding di pondok Dewantara. Pertemuan keduanya tidak mengatasnamakan
pihak lain, tapi mengatasnamakan diri sendiri untuk menemukan solusi terbaik bagi
kedua belah pihak. Pembicaraan keduanya diceritakan berlangsung tenang dan saling
menghargai hak dan kepentingan masingmasing pihak. Hasil pembicaraan keduanya
dapat diringkaskan bahwa UndangUndang Sekolah Liar dipandang belum dapat
diterapkan dan karena itu harus ditunda. Sebagai penggantinya adalah menghidupkan lagi
ordonansi lama dari tahun 1923/1925. Ketetapan penundaan Undang-Undang Sekolah
Liar 1932 itu telah disahkan Staatsblad 21 Februari 1933, no. 66. Berkat kegigihan Ki
Hadjar dalam memperjuangkan hak-haknya dan dengan dukungan segenap pihak
(masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat dan pers) ordonansi itu kemudian dicabut.

Di zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap


dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam
tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir.Soekarno, Drs.
Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Setelah zaman kemedekaan, Ki Hadjar
Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh
dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei
dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan
Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November
1959.

Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gajah Mada pada 19 Desember 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar
Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta
dan dimakamkan di sana. Pihak penerus perguruan Taman Siswa, mendirikan Museum
Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta. Tujuannya untuk melestarikan nilai-nilai semangat
perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-
karya Ki Hadjar sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan
berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah
penting serta data suratmenyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik,
budayawan dan seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan
Badan Arsip Nasional.

b. Konsep Pendidikan Perguruan Taman Siswa


Dasar-dasar pendidikan barat dirasakan Ki Hadjar tidak tepat dan tidak cocok
untuk mendidik generasi muda Indonesia karena pendidikan barat bersifat regering, tucht,
orde (perintah, hukuman dan ketertiban). Karakter pendidikan semacam ini dalam
prakteknya merupakan suatu perkosaan atas kehidupan batin anak-anak. Akibatnya,
anak-anak rusak budipekertinya karena selalu hidup di bawah paksaan/tekanan. Menurut
Ki Hadjar, cara mendidik semacam itu tidak akan bisa membentuk seseorang hingga
memiliki “kepribadian”.
Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan adalah daya-upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak,
dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya.34 Pendidikan itu
membentuk manusia yang berbudi pekerti, berpikiran (pintar, cerdas) dan bertubuh sehat.
Bagaimanakah citra manusia di Indonesia berdasarkan konsepsi pendidikan Ki Hadjar
Dewantara itu?

Pertama, manusia Indonesia yang berbudi pekerti adalah yang memiliki kekuatan
batin dan berkarakter. Artinya, pendidikan diarahkan untuk meningkatkan citra manusia
di Indonesia menjadi berpendirian teguh untuk berpihak pada nilai-nilai kebenaran.
Dalam tataran praksis kehidupan, manusia di Indonesia menyadari tanggungjawabnya
untuk melakukan apa yang diketahuinya sebagai kebenaran. Ekspersi kebenaran itu
terpancarkan secara indah dalam dan melalui tutur kata, sikap, dan perbuatannya terhadap
lingkungan alam, dirinya sendiri dan sesamanya manusia.

Kedua, manusia di Indonesia yang maju pikirannya adalah yang cerdas kognisi
(tahu banyak dan banyak tahu) dan kecerdasannya itu membebaskan dirinya dari
kebodohan dan pembodohan dalam berbagai jenis dan bentuknya (misalnya: karena
rekayasa penjajah berupa indoktrinasi). Istilah maju dalam pikiran ini menunjukkan
meningkatnya kecerdasan dan kepintaran.

Ketiga, manusia di Indonesia yang mengalami kemajuan pada tataran fisik atau
tubuh adalah yang tidak semata sehat secara jasmani, tapi lebih-lebih memiliki
pengetahuan yang benar tentang fungsi-fungsi tubuhnya dan memahami fungsi-fungsi itu
untuk memerdekakan dirinya dari segala dorongan ke arah tindakan kejahatan. Manusia
yang maju dalam aspek tubuh adalah yang mampu mengendalikan dorongan-doroangan
tuntutan tubuh. Dengan dan melalui tubuh yang maju itu pula, pikiran yang maju dan
budi pekerti yang maju memperoleh dukungan untuk mendeklarasi kemerdekaan diri dari
segala bentuk penindasan ego diri yang pongah dan serakah di satu sisi dan memiliki
kemampuan untuk menegaskan eksistensi diri secara beradab sebagai manusia yang
merdeka (secara jasmani dan ruhani) di sisi lain.

c. Tiga Fatwa Pendidikan


Pendidikan nasional menurut paham Ki Hadjar Dewantara, seperti yang
diterapkannya dalam Taman Siswa, ialah pendidikan yang beralaskan garis-hidup dari
bangsa (kultur nasional) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang bisa
mengangkat derajat negara dan rakyat. Orientasi globalnya adalah agar rakyat Indonesia
dapat bekerja bersama-sama dengan bangsa-bangsa yang lain untuk kemuliaan manusia
di seluruh dunia. Dalam rangka itu, Ki Hadjar Dewantara mengedepankan tiga ajaran
tentang pendidikan (tiga fatwa), yakni: Tetep, antep dan mantep; ngandel, kandel, kendel
dan bandel; Neng, ning, nung dan nang;
Pertama, tetep, antep, mantep artinya bahwa pendidikan itu harus membentuk
ketetapan pikiran dan batin, menjamin keyakinan diri dan membentuk kemantapan dalam
prinsip hidup. Istilah tetep di sini dapat dimaknai dalam kerangka yang prinsipil, yakni
memiliki ketetapan pikiran (untuk berkomitmen) yang selaras dengan nilai-nilai sosial.
Pendidikan membentuk seseorang untuk mampu berpikir kritis dan memiliki ketetapan
pikiran dalam khasanah nilai-nilai.

Kedua, ngandel, kandel, kendel dan bandel. Ngandel adalah istilah dalam bahasa
Jawa yang artinya “berpendirian tegak”. Pendidikan itu harus menghantar orang pada
kondisi diri yang ngandel (berpendirian tegak/teguh). Orang yang berpendirian tegak
adalah yang berprinsip dalam hidup. Kendel adalah istilah yang menunjukkan
keberanian. Pendidikan membentuk seseorang untuk menjadi pribadi yang berani,
berwibawa dan ksatria. Orang yang berpendidikan adalah orang yang berani menegakkan
kebenaran dan keadilan, matang dan dewasa dalam menghadapi segala cobaan.
Sementara istilah bandel menunjukkan bahwa orang yang terdidik adalah yang “tahan
uji”. Segala cobaan hidup dan dalam segala situasi hidup dihadapinya dengan sikap
tawakal, tidak lekas ketakutan dan hilang nyali.

Ketiga, neng, ning, nung dan nang. Artinya bahwa pendidikan pada tataran
terdalam bercorak religius. Pendidikan itu menciptakan kesenangan perasaan (neng),
keheningan (ning), ketenangan (nang), dan renungan (nung). Dalam dan melalui
pindidikan, seseorang bisa mengalami kesucian pikiran dan ketenangan batin. Menurut
Ki Hadjar, kekuasaan akan datang manakala seseorang sudah mengalami kesucian
pikiran, ketenangan batin dan hati.

d. Asas-Asas Pendidikan
Tujuan ketiga ajaran (fatwa) pendidikan Ki Hadjar di atas berkaitan erat dengan
upaya membentuk pribadi peserta didik menjadi manusia yang manusiawi. Citra manusia
manusiawi dalam konteks dan perspektif pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah
kedewasaan, kearifan, dan kesehatan secara jasmani dan rohani. Pendidikan terlaksana
secara koheren dalam ranah kognitif, afektif, spiritual, sosial dan psikologis. Kedewasaan
peserta didik dalam ranah-ranah tersebut merupakan jaminan bagi aspek
psikomotoriknya, menjadi modal bagi peserta didik untuk siap menjalani kehidupan
bermasyarakat secara bertanggungjawab. Terkait dengan upaya mengimplementasikan
ketiga fatwa tentang pendidikan itu, Ki Hadjar Dewantara mengajukan lima asas
pendidikan yang dikenal dengan sebutan pancadharma (kodrat alam, kemerdekaan,
kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan). Ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara
mengenai pendidikan dapatlah kita pandang sebagai terapan operatif dari kelima asas
tersebut. Berikut adalah penalaran atas kelima asas tersebut.

Pertama, asas kodrat alam. Asas ini mengandung arti bahwa hakikat manusia
adalah bagian dari alam semesta.47 Asas ini juga menegaskan bahwa setiap pribadi
peserta didik di satu sisi tunduk pada hukum alam, tapi di sisi lain dikaruniai akal budi
yang potensial baginya untuk mengelola kehidupannya. Berdasarkan konsep asas kodrat
alam ini, Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa pelaksanaan pendidikan berasaskan
akal-pikiran manusia yang berkembang dan dapat dikembangkan. Secara kodrati, akal-
pikiran manusia itu dapat berkembang. Namun, sesuai dengan kodrat alam juga akal
pikiran manusia itu dapat dikembangkan melalui perencanaan yang disengaja sedemikian
rupa sistematik. Pengembangan kemampuan berpikir manusia secara disengaja itulah
yang dipahami dan dimengerti sebagai “pendidikan”. Sesuai dengan kodrat alam,
pendidikan adalah tindakan yang disengaja dan direncanakan dalam rangka
mengembangkan potensi peserta didik yang dibawa sejak lahir.

Kedua, asas kemerdekaan. Asas ini mengandung arti bahwa kehidupan


hendaknya sarat dengan kebahagiaan dan kedamaian. Dalam khasanah pemikiran Ki
Hadjar Dewantara asas kemerdekaan berkaitan dengan upaya membentuk peserta didik
menjadi pribadi yang memiliki kebebasan yang bertanggungjawab sehingga menciptakan
keselarasan dengan masyarakat. Asas ini bersandar pada keyakinan bahwa setiap manusia
memiliki potensi sebagai andalan dasar untuk menggapai kebebasan yang mengarah
kepada “kemerdekaan”. Pencapaian ke arah pribadi yang mredeka itu ditempuh melalui
proses panjang yang disebut belajar. Proses ini berjenjang dari tingkat yang paling dasar
sampai pada tingkat yang tertinggi. Namun, perhatian kita hendaknya jangan difokuskan
pada tingkatan-tingatannya semata, tapi juga pada proses kegiatan pendidikan yang
memerdekakan peserta didik. Dalam pengertian itu, pendidikan berarti memberikan
kebebasan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya
menjadi kemampuan dan keahlian profesional (wengaktus atau mewujud) yang diemban
dan dihayatinya dengan penuh tanggungjawab. Oleh karena itu, praksis pendidikan harus
“luas dan luwes”. Luas berarti memberikan kesempatan yang selebar-lebarnya kepada
peserta didik untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya seoptimal mungkin,
sementara luwes berarti tidak kaku dalam pelaksanaan metode dan strategi pendidikan.

Ketiga, asas kebudayaan. Asas ini bersandar pada keyakinan kodrati bahwa
manusia adalah makhluk berbudaya. Artinya, manusia mengalami dinamika evolutif
dalam khasanah pembentukan diri menjadi pribadi yang berbudi pekerti. Dalam konteks
itu pula, pendidikan perlu dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai budaya sebab kebudayaan
merupakan cirikhas manusia.51 Bagi Ki Hadjar, kemanusiaan bukanlah suatu pemikiran
yang statis. Kemanusiaan merupakan suatu konsep yang dinamis, evolutif, organis.
Dalam kaitan ini, Ki Hadjar Dewantara memahami kebudayaan selain sebagai buah budi
manusia, juga sebagai kemenangan atau hasil perjuangan hidup manusia. Namun selaras
dengan keyakinan atas manusia sebagai makhluk dinamis, kebudayaan juga demikian.
Kebudayaan selalu berkembang seirama dengan perkembangan dan kemajuan hidup
manusia. Maka, menurut Ki Hadjar Dewantara, kebudayaan itu tidak pernah mempunyai
bentuk yang abadi, tetapi terus-menerus berganti-ganti wujudnya; ini disebabkan karena
berganti-gantinya alam dan zaman.

Keempat, asas kebangsaan. Asas kebangsaan merupakan ajaran Ki Hadjar


Dewantara yang amat fundamental sebagai bagian dari wawasan kemanusiaan. Asas ini
hendak menegaskan bahwa seseorang harus merasa satu dengan bangsanya dan di dalam
rasa kesatuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Dalam konteks
itu pula, asas ini diperjuangkan Ki Hadjar Dewantara untuk mengatasi segala perbedaan
dan diskriminasi yang dapat tumbuh dan terjadi berdasarkan daerah, suku, keturunan atau
pun keagamaan. Bagi Ki Hadjar kebangsaan tidaklah mempunyai konotasi, rasial
biologis, status sosial ataupun keagamaan. Rasa kebangsaan adalah sebagaian dari rasa
kebatinan kita manusia, yang hidup dalam jiwa kita dengan disengaja.

Kelima, asas kemanusiaan. Asas ini hendak menegaskan pentingnya persahabatan


dengan bangsa-bangsa lain. Dalam konteks Ki Hadjar sebagai tokoh di Indonesia, asas ini
hendak menegaskan bahwa manusia di Indonesia tidak boleh bermusuhan dengan
bangsa-bangsa lain. Manusia di Indonesia hendaknya menampilkan diri sebagai makhluk
bermartabat luhur dan berdasarkan kesadaran itu pula ia berani menjalin dan
memperlakukan sesama manusia dari bangsa mana pun dalam rasa cinta kasih yang
mendalam. Maka asas ini boleh dipandang sebagai asas yang radikal, dalam arti konsep
kemanusiaan itu merupakan akar yang menjadi titik temu asasi yang mendamaikan
hudup, kehidupan maupun penghidupan umat manusia yang telah menjadi kompleks,
multiplikatif, dan sarat dengan permasalahan.

e. Semboyan dan Metode


Meskipun Ki Hadjar Dewantara belajar ilmu kependidikan di barat, dia tidak mau
menerapkan sistem pendidikan barat di Indonesia. Sistem barat dipandangnya tidak
cocok karena dasar-dasarnya adalah perintah, hukuman dan ketertiban yang bersifat
paksaan.61 Pendidikan model ini, menurut Ki Hadjar, merupakan upaya sistematik dalam
perkosaan terhadap kehidupan batin anak-anak. Hal itu jelas berbahaya bagi
perkembangan budi pekerti anak-anak sebab pendidikan demikian tidak membangun budi
pekerti anak-anak, melainkan merusaknya.

Paksaan dan hukuman dalam proses pendidikan yang kadangkala tidak setimpal
dengan kesalahan anak didik bukannya memperkuat mentalitas anak-anak, melainkan
memperlemahnya di kemudian hari. Anak tidak menjadi pribadi yang mandiri, tidak
memiliki inisiatif, tidak kreatif. Dalam kehidupan nyata ia tidak dapat bekerja kalau tidak
dipaksa dan diperintah. Jadi, produk pendidikan barat, di hadapan Ki Hadjar, adalah
manusia-manusia pasif yang dangkal kesadarannya untuk berkreasi secara mandiri.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, metode pendidikan yang cocok dengan karakter


dan budaya orang Indonesia tidak memakai syarat paksaan. Orang Indonesia adalah
termasuk ke dalam bangsa timur. Bangsa yang hidup dalam khasanah nilainilai
tradisional berupa kehalusan rasa, hidup dalam kasih saying, cinta akan kedamaian,
ketertiban, kejujuran dan sopan dalam tutur kata dan tindakan. Nilai-nilai itu disemai
dalam dan melalui pendidikan sejak usia dini anak. Dalam praksis penyemaian nilai-nilai
itu, pendidik menempatkan peserta didik sebagai subyek, bukan obyek pendidikan.

Berangkat dari keyakinan akan nilai-nilai tradisional itu, Ki Hadjar yakin


pendidikan yang khas Indonesia haruslah berdasarkan citra nilai Indonesia juga. Maka ia
menerapkan tiga semboyan pendidikan yang menunjukkan kekhasan Indonesia, yakni :
Pertama, Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya seorang guru adalah pendidik yang harus
memberi teladan. Ia pantas digugu dan ditiru dalam perkataan dan perbuatannya. Kedua,
Ing Madya Mangun Karsa, artinya seorang guru adalah pendidik yang selalu berada di
tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus membangun semangat dan ide-ide
mereka untuk berkarya. Ketiga, Tut Wuri Handayani, artinya seorang guru adalah
pendidik yang terus-menerus menuntun, menopang dan menunjuk arah yang benar bagi
hidup dan karya anak-anak didiknya.

Melalui konsep, asas-asas, fatwa, semboyan dan metode pendidikan yang


kontennya adalah “meng-Indonesia” di atas, Ki Hadjar Dewantara yakin bahwa rakyat
yang merdeka dalam arti yang sebenar-benarnya akan menjadi kenyataan di Indonesia.
Kemerdekaan yang dimaksudkan di sini adalah ketika seorang anak manusia hidup dalam
kesadaran bahwa dirinya sebagai pribadi hidup mandiri, memiliki kebebasan dan hak-hak
dasar yang patut dihargai. Artinya, lahirnya tiada diperintah, batinnya bisa memerintah
sendiri dan dapat berdiri sendiri karena kekuatan sendiri.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Budi Utomo sebagai organisasi awal pada masa pergerakan Indonesia yang didirikan
oleh siswa STOVIA. Budi Utomo bebas dari prasangka keagamaan, tetapi lebih untuk
meningkatkan pendidikan dan kebudayaan. Budi Utomo mempunyai fungsi yang
istimewa karena bisa menjadi jembatan antara para pejabat kolonial yang maju dengan
kaum terpelajar Jawa. Hal ini merupakan sumbangan yang tidak ternilai bagi masa depan
Indonesia. Pendidikan barat sama sekali tidak mempendulikan orang jawa yang bukan
priyayi, sekolah desa baru berdiri pada tahun 1907 dan konsep pendidikan formal sangat
asing bagi kaum tani. Kaum terpelajar sadar bahwa persatuan sangat penting, bukan
sekedar untuk menjamin keberhasilan mereka sendiri tetapi juga untuk meningkatkan
kondisi kehidupan masyatakat mereka sendiri. Inspirasi dan bimbingan yang di
kampanyekan oleh dokter wahidin membuat salah satu faktor penting terbentuknya Budi
utomo.

R.A Kartini adalah inspirator bagi kebangkitan perempuan Nusantara di masa


kebangkitan. Kehidupannya sebagai putri bangsawan/ningrat memberikan ia
kesempatan belajar. Kepekaan dan semangat perjuangannya ia tuangkan lewat
korespondensinya kepada pembesar-pembesar Belanda yang berdampak pada
munculnya gelombang kegairahan dan simpati pada gerakan perempuan. Gagasan-
gagasannya berupa perjuangan emansipasi dan pendidikan bagi perempuan
pribumi, harapannya terhadap pers yang berisi suara kebangkitan, kepekaan dan
apresiasinya terhadap karya seni anak bangsa ;ukiran, batik, seni pahat
mengarahkan pada kesimpulan ia adalah sosok yang selalu berfikir tentang bangsa
walau dalam usianya yang sangat terbatas.

Melalui konsep, asas-asas, fatwa, semboyan dan metode pendidikan yang


kontennya adalah “meng-Indonesia” di atas, Ki Hadjar Dewantara yakin bahwa
rakyat yang merdeka dalam arti yang sebenar-benarnya akan menjadi kenyataan di
Indonesia. Kemerdekaan yang dimaksudkan di sini adalah ketika seorang anak
manusia hidup dalam kesadaran bahwa dirinya sebagai pribadi hidup mandiri,
memiliki kebebasan dan hak-hak dasar yang patut dihargai. Artinya, lahirnya tiada
diperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan dapat berdiri sendiri karena
kekuatan sendiri.
B. Saran
Penulis menyadari kalau makalah ini masih jauh dari sempurna. Kesalahan
ejaan, metodologi penulisan dan pemeliharaan kata serta cakupan masalah yang
masih kurang adalah diantara kekurangan dari makalah ini. Oleh karena itu saran
dan kritik membangun sangat kami butuhkan dalam penyempurnaan makalah ini
dan semoga makalah ini bias memebantu para pembaca, Amin ya robbal’alamin
DAFTAR PUSTAKA

Hartutik, H. (2015). RA Kartini: Emansipator Indonesia Awal Abad 20. SEUNEUBOK LADA: Jurnal
ilmu-ilmu Sejarah, Sosial, Budaya dan Kependidikan, 2(1), 86-96.

Ichsan, M., Maulia, S. T., & Hendra, H. (2023). BUDI UTOMO: PEMANTIK PERGERAKAN
NASIONAL. Jurnal EduSosial, 3(1), 96-106.

Yasmis, Y. (2008). PERANAN BUDI UTOMO DALAM MENINGKATKAN KESADARAN


MASYARAKAT. Jurnal Sejarah Lontar, 5(1), 29-38.

Marihandono, Djoko (ed.), (2017). Perjuangan Ki Hajar Dewantara: Dari Politik ke Pendidikan.
Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai