Anda di halaman 1dari 31

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Makalah
Disusun guna memenuhi tugas matakuliah Landasan Pendidikan dan
Pembelajaran yang dibimbing oleh Bapak Dr. Ibrohim, M.Si

Oleh:
Lidiya Praktika Rosa 190341764447
Qurniasty 190341864418
Evi Kusumawati 190341864431

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
September 2019

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang kita panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah mata kuliah Landasan Pendidikan dan
pembelajaran.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka
penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ilmiah Paradigma
Pendidikan di Indonesia dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap
pembaca.

Malang, September 2019

Penyusun

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................................... ii

Daftar Isi .............................................................................................................. iii

Bab I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 1

1.3 Tujuan Masalah ................................................................................... 2

1.4 Manfaat ................................................................................................ 2

Bab II. Pembahasan

2.1 Perkembangan pendidikan di Indonesia mulai jaman penjajahan


(Belanda dan Jepang), Orde Lama, dan Orde Baru............................ 1

2.2 Pandangan Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara ......................... 14

2.3 Pendidikan Nasional di Masa Sekarang .............................................. 21

Bab III. Penutup

3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 27

3.2 Saran ................................................................................................... 27

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan merupakan proses perkembangan kecapakan individu dalam
sikap dan perilaku bermasyarakat. Menurut Undang- Undang No. 20 Tahun 2003,
pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana dalam mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-
tingginya. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang
akan datang.
Sejarah sebuah bangsa tidak dapat dilepaskan dari pendidikannya, tidak
ada bangsa di dunia yang dapat bergerak secara dinamis tanpa ada suatu proses,
pergerakan, dan perkembangan begitu pula di Indonesia (Rifa’i, 2017). Lahirnya
suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh melainkan
langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan
praktis di bawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi..Perkembangan pendidikan
saat ini ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pendidikan yang terjadi
dimasa lampau.Perkembangan pendidikan di zaman pra-kolonial dan ketika
zaman kolonial yang mampu melahirkan kaum intelektual muda Indonesia yang
menjadi tokoh sentral dalam pergerakan kebangsaan Indonesia.
Masing-masing zaman atau pemerintahan memiliki ciri khas kebijakan
pendidikannya. Pendidikan di zaman penjajahan mulai mengajarkan ilmu birokasi
dan administrasi secara modern. Tujuan dari pendidikan pada masa penjajahan
ialah untuk sebuah pengelolaan san penguasaan sebuah pemerintahan yang sedang
mengalami transisi dari klasik menuju modern (Rifa’i, 2017). Berbeda dengan
pendidikan zaman kemerdekaan yang penuh semangat perjuangan, begitupun

1
pada orde selanjutnya, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi hingga pendidikan
dimasa sekarang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada makalah berikut adalah:
1.2.1 Bagaimana Perkembangan pendidikan di Indonesia mulai jaman
penjajahan (Belanda dan Jepang), Orde Lama, dan Orde Baru
1.2.2 Bagaimana pandangan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara?
1.2.3 Bagaimana Perkembangan Pendidikan di Masa Sekarang?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah adalah sebagai berikut:
1.3.1 Untuk Perkembangan pendidikan di Indonesia mulai jaman penjajahan
(Belanda dan Jepang), Orde Lama, dan Orde Baru
1.3.2 Untuk mengetahui pandangan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara
1.3.3 Untuk mengetahui Perkembangan Pendidikan di Masa Sekarang

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Pendidikan di Indonesia mulai jaman penjajahan


(Belanda dan Jepang), Orde Lama, dan Orde Baru
Perkembangan pendidikan di Indonesia mulai jaman pergerakan masa kolonial
Belanda, masa kemerdekaan pendidikan masa penjajahan Jepang, masa
pendidikan jaman orde lama dari kolonialistik sampai nasionalistik, pendidikan
jaman orde baru penguatan demokrasi pancasila, hingga pendidikan Indonesia
masa depan akan dibahas sebagai berikut:
2.1.1 Pendidikan Jaman Pergerakan (Masa Kolonial Belanda)
Penjajahan Belanda dalam perjalanan sejarah menunjukkan penerapan
sistem pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi pertumbuhan pendidikan
lokal yang sudah ada. Pada Tahun 1602 bangsa Belanda mendirikan sebuah
perkumpulan dagang yaitu VOC untuk melakukan monopoli perdagangan. Selain
melakukan perdagangan Belanda mempunyai tujuan lain yaitu penyebaran agama
Kristen Protestan yang memunculkan kebijakan pendirian sekolah-sekolah yang
mengajarkan ilmu keagamaan. Bahasa pengantar yang digunakan dalam proses
pembelajaran ialah bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Selain mendirikan
sekolah keagamaan Belanda juga mendirikan sekolah calon pegawai VOC di
Jakarta dan Ambon. Sekolah yang didirikan Belanda bukan sekolah yang
mengatas namakan VOC melainkan sekolah yang mengatasnamakan kalangan
agama Kristen Protestan (Rifa’i, 2017).
Pada tahun 1799 VOC mengalami kebangrutan yang mengakibatkan
Indonesia sebagai wilayah jajahan Hindi-Belanda. Pada pemerintahan Guberner
Deandels (1801), pendidikan di Indonesia mulai diperhatikan. Deandels
menyatakan bahwa perlu diselengarakan pendidikan bagi anak-anak di Indonesia
untuk memperkenalkan kesusilaan, adat istiadat, dan pengertian tentang agama.
Namun, cita-cita dari Deandles belum terealisasi karena Belanda pada saat itu
dikalahkan oleh Inggris. Pada tahun 1884 setelah Belanda kembali, keluar suatu
keputusan yang memberi kesempatan berdirinya sekolah swasta dengan tujuan

3
untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan di berbagai kantor-kantor milik
Belanda (Rifa’i, 2017).
Pada masa penjajahan Hindia Belanda terdapat tiga tingkatan yaitu
pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Selain tiga
tingkatan tersebut, Belanda juga mendirikan sekolah kejuruan untuk memenuhi
tenaga teknis diperusahaan atau kongsi dagang Belanda. Belanda juga mendirikan
sekolah Guru dengan alasan Belanda keberatan membiayai guru dari Belanda
umtuk sekolah tingkat rendah.
Menurut Rifa’i (2007) Prinsip pendidikan di masa kolonial adalah sebagai
berikut:
 Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu
 Pendidikan diarahkan agar para tamatanya menjadi pencari kerja, terutama
demi kepentingan kaum penjajah.
 Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam
masyarakat.
 Pendidikan diarahkan untuk golongan elit-sosial (penjilat penjajah) Belanda.
 Dasar pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi pada
pengetahuan dan kebudayaan Barat.
Kesempatan mendapatkan pendidikan pada masa penjajahan Belanda lebih
diutamakan kepada anak bangsawan bumiputera serta tokoh terkemuka, dengan
harapan kelak dapat menjadi penerus Belanda. Situasi ini, menyebabkan
munculnya sekolah swasta karena masyarakat menganggap bahwa pendidikan
merupakan titik ukur strata sosial.
Perkembangan pendidikan pada masa penjajahan Belanda dipengaruhi
oleh berbagai faktor diantaranya yaitu grlombang Aufklarung dan Politik Etis.
Adapun pengaruh Aufklarung dan Politik Etis ialah sebagai berikut.
1. Pengaruh Aufklarung
Sebagai pengaruh dari “Aufklӓrung” terhadap pendidikan di Indonesia
adalah diterbitknnya Keputusan Raja Belanda tertanggal 30 September 1848 no
95, yang memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk menyediakan
biaya 25.000,- setahun bagi pendirian sekolah-sekolah bumiputera di pulau Jawa
dengan tujuan untuk mendidik calon-calon pegawai negeri (Rifa’i, 2017).

4
Berdasarkan Keputusan Raja tanggal 28 September 1892, termuat dalam
Lembaran Negara (Staatblad) nomor 125 tahun 1893, terjadi reorganisasi pada
kebijakan pendidikan dasar sebagai berikut. Sekolah dasar Bumiputera dibedakan
menjadi:
a. Sekolah Dasar Kelas Satu (De Eerstse School) adalah sekolah yang
diperuntukkan bagi anak-anak para pemuka, tokoh terkemuka, dan orang-
orang terhormat bumiputera.
b. Sekolah Dasar Kelas Dua (De Tweede Klasse School) adalah sekolah bagi
anak-anak bumiputera pada umumnya, diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan bagi masyarakat biasa pada umumnya.
Sekolah Dasar Kelas Satu itu kemudian menjadi ELS (Europe Lagere
School), untuk anak-anak orang Belanda di Indonesia dan anak bangsawan; HIS
(Hollandsch Inlandsche School), untuk anak-anak tokoh bumiputera, anak-anak
pegawai negeri (ambtenaar) dan bergelar Raden. Di samping kedua Sekolah Dasar
Negeri elite tersebut terdapat pula sekolah elite di Tondano (1865-1872 sebagai
percobaan) dan di Bandung, Magelang, dan Probolinggo (1878) yang sering
disebut dengan “Sekolah Raja” (Hoofdenschool). Terdapat tingkatan lanjutan
Sekolah Raja, yaitu MOSVIA (setingkat SMTA) atau Middelbare Opleiding
School Voor Indische Anbtenaren. Selain itu juga didirikan sekolah kejuruan
seperti Sekolah Pertukangan dan Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool).
Pemerintah Belanda juga mendirikan sekolah bagi wanita, yaitu (Hollandsch
Burgelijke School) untuk gadis Betawi (Nasution, 2011).
1. Pengaruh Politik Etis
Munculnya politik Etis di Indonesia dicetuska oleh Van Deventer. Politik
Etis merupakan gagasan yang menyebutkan bahwa bangsa Belanda memiliki
hutang budi kepada Indonesia. Belanda harus membayar hutang budi tersebut
dengan melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan kehidupan masyarakat
Indonesia salah satunya di bidang pendidikan (Rifa’i, 2017).
Politik Etis memberikan dampak dibukanya lebih banyak sekolah desa,
dibukanya sekolah kejuruan, dan sekolah bagi kaum wanita. Selain itu, munculnya
Politik Etis merupakan dasar dari pergerakan nasional. Masyarakat Indonesia
mulai memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan yang mengakibatkan

5
munculnya tokoh-tokoh pergerakan Nasional yang memperhatikan pendidikan
rakyat Indonesia.
Meskipun ada berbagai perubahan namun masih tetap ada kesenjangan
antara anak bumiputra dengan anak-anak Belanda. Berdasarkan arah Etis
pelaksanaan pendidikan didasarkan pada kebijakan sebagai berikut (Rifa’i, 2017).
a. Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi
golongan penduduk bumiputera, untuk itu bahasa Belanda diharapkan dapat
menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah.
b. Pemberian pendidikan rendah bagi golongan bumiputera disesuaikan dengan
kebutuhan mereka.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita ketahui bahwa pendidikan pada
masa penjajahan Belanda pada dasarnya hanya untuk kepentingan Belanda sendiri
yaitu mempertahankan kekuasaannya di Indonesia. Secara tegas tujuan dari
pendidikan pada masa penjajahan Belanda tidak pernah dinyatakan, namun secara
tidak langsung kebijakan-kebijakan pendidikan yang diterapkan hanyalah untuk
menciptakan tenaga buruh kasar dan pegawai rendah di kantor-kantor
pemerintahan Belanda. Model pembelajaran yang digunakan ialah model
pembelajaran yang tidak melatih daya kritis peserta didik. Model pembelajaran
yang justru menjadikan peserta didik yang golongan pribumi menjadi generasi
Belanda.
Pendidikan masa kolonialisme memiliki watak diskriminatif dan elitis.
Perbedaan antara kaum pribumi dan kolonial sangat jelas terlihat ketika muncul
kebijakan pada tahun 1930-an yaitu.
a. Seluruh sekolah swasta tidak dibiayai oleh pemerintah Belanda dan harus
meminta izin
b. Guru yang mengajar disekolah juga harus mendapat izin
c. Materi yang diajarkan harus sesuai dengan sekolah pemerintah (Rifa’i, 2017).

2.1.2 Pendidikan Masa Penjajahan Jepang


Pendidikan pada era penjajahan Jepang tidak cukup memberikan
perubahan yang baik bagi perkembangan pendidikan bangsa Indonesia. Pada
dasarnya pendidikan pada masa penjajahan Jepang masih memiliki tujuan yang

6
sama dengan pendidikan pada masa penjajahan Belanda yaitu memberikan
keuntungan bagi penjajah.
Sekolah-sekolah yang dibentuk pada zaman penjajahan Belanda diganti
mengikuti sistem pendidikan Jepang. Pelajaran yang diajarkan di sekolah
meliputi, sejarah ilmu Bumi, Bahasa Indonesia, Adat istiadat, Bahasa Jepang,
Ideologi Jepang, dan Kebudayaan Jepang. Kegiatan pembelajaran tidak lepas dari
kegiatan militer, karena pada saat itu Jepang berada pada masa peperangan.
Adapun kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran disekolah ialah sebagai
berikut.
 Mengumpulkan batu dan pasir untuk kepentingan perang
 Membersihkan bengkel dan asrama militer
 Menanam umbi-umbian dan sayuran dipekarangan sekolah
 Menanam pohon jarak sebagai bahan pelumas (Rifa’i, 2017).
Secara konkrit tujuan pendidikan pada zaman Jepang di Indonesia
sebenarnya adalah menyediakan tenaga kerja cuma-cuma yang disebut “romusha”
dan prajurit-prajurit untuk membantu peperangan demi kepentingan Jepang. Oleh
karenanya maka para pelajar diwajibkan mengikuti latihan fisik, latihan
kemiliteran, dan indoktrinasi ketat. Hal ini terbukti dengan pelaksanaan senam
pagi yang disebut “taiso”sebelum belajar (juga bagi para pegawai sebelum kerja)
mengikuti komando dengan radio. Mengikuti latihan kemiliteran yang disebut
“kyoren” bagi para pelajar dengan barisannya yang disebut “Seinendan”, barisan
keamanan rakyat yang disebut “Keibodan” dan barisan prajutit yang disebut
“Heiho” (Rifa’i, 2017)..
Meskipun demikian pendidikan pada masa Jepang memberikan dampak
positif yang dapat dirasakan secara langsung oleh masayarakt Indonesia. Adapun
dampak positif dari pendidikan masa penjajahan Jepang ialah.
 Bahasa Indonesia menjadi bahasa pokok yang menyebabkan perkembangan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan dan bahasa ilmiah
 Pendidikan pada masa penajajahan Jepang menanamkan jiwa pemeberani
karena adanya laithan militer

7
 Sistem penggolongan persekolahan dihapuskan, sehingga memberikan
kesempatan luas bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan
pendidikan.
2.1.3 Pendidikan Jaman Orde Lama: Kolonialistik sampai Nasionalistik
Pada Orde Lama (1959-1965) telah lahir oreientasi pendidikan kearah
etatisme dan nasionalisme yang sempit. Pendidikan merupakan bagian dari politik
praktis. Pada era Orde Lama dapat dikatakan bahwa filsafat dari pendidikan telah
diganti yang bersumber pada ideologi negara. Proses pendidikan pada era ini
merupakan proses indoktrinasi yang tidak memberikan tempat kepada kreativitas
dan kebebasan berpikir manusia. Model pembelajaran yang digunakan masih
terbatas dan belum inovatif. Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya jumlah
guru dan keterbatasan anggaran pendidikan pada masa itu (Tilaar, 2012).
Landasan dan visi pendidikan masa orde lama diharapkan mampu
menentukan tujuan pendidikan yang jelas. Karena, tujuan pendidikan yang jelas
pada gilirannya akan mengarahkan ke pencapaian kompetensi yang dibutuhkan
serta metode pembelajaran yang efektif. Dan pada akhirnya, kelak pendidikan
mampu menjawab tuntutan untuk mensejahterakan masyarakat dan kemajuan
bangsa. Pada awal kemerdekaan, pembelajaran di sekolah-sekolah lebih
ditekankan pada semangat nasionalisme dan membela tanah air (Rifa’i, 2017).
Undang-undang dasar 1945 diganti dengan konstitusi sementara Republik
Indonesia Serikat, walaupun demikian landasan idil pendidikan tetap tidak
mengalami perubahan tetapi tujuan pendidikan. Dalam UU No 4/1950 Bab II,
pasal, tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah membentuk manusia susila
yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang
kesejahteraan masyarkat dan tanah air.
A. Kebijakan Pendidikan
Perjuangan kemerdekaan menghasilkan kemerdekaan RI tahun 1945.
Segera setelah kemerdekaan, para pemimpin Indonesia menjadikan pendidikan
sebagai hak setiap warga negara, mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tujuan
nasional. Dicanangkanlah bahwa dalam 10 tahun ke depan pada waktu itu seluruh
anak Indonesia harus bisa menikmati sekolah. Oleh karena itu dilakukan berbagai
pembenahan seperti penambahan jumlah pengajar, pembangunan gedung sekolah,

8
dan sebagainya. Pemerintah juga membagi tingkatan pendidikan seperti Sekolah
Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Perguruan
Tinggi. Pada awal kemerdekaan, pembelajaran di sekolah-sekolah lebih
ditekankan pada semangat nasionalisme dan membela tanah air. Ir. Soekarno,
presiden pertama Indonesia membawa semangat “nation and character building”
dalam pendidikan Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan pemerintah telah
melakukan berbagai usaha di bidang pendidikan (Sjamsuddin dalam Rifa’i, 2007).
Usaha-usaha tersebut antara lain sebagai berikut:
 Sejak panitia persiapan kemerdekaan pada zaman Jepang telah terdapat
didalamnya. Sub Panitia Pendidikan dan Pengajaran yang bertugas
merumusakn rencana cita-cita dan usaha-usaha pendidikan dan pengajaran
seperti telah di kemukakan.
 Setelah proklamasi kemerdekaan, di dalam UUD 1945 dicantumkan pula
pasal tentang pendidikan, yakni pasal 31 yang diuraikan lebih lanjut dalam
Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran (UUPP).
 Tahun 1946, Menteri Pendiika Pengajaran dan Kebudayaan membentuk
Panitia Penyelidik Pendidikan Pengajaran yang berugas meninjau kembali
dasar-dasar, isi, susunan dan seluruh usaha pendidikan dan pengajaran.
 Tahun 1947 diadakan kongres pendidikan Indonesia di Solo.
 Tahun 1949 kongres pendidikan di Yogyakarta dengan tugas merumuskan
dasar-dasar pendidikan dan lain-lain.
B. Sistem Pendidikan
1. Periode 1945-1950
Buku-buku pelajaran yang digunakan adalah buku-buku hasil terjemahan
dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia yang sudah dirintis sejak jaman
Jepang. Adapun sistem pendidikan yang berlaku sejak tahun 1945-1950 adalah
sebagai berikut (Rifa’i, 2017).
a. Pendidikan rendah
Pendidikan yang terendah di Indonesia sejak awal kemerdekaan yang
disebut dengan Sekolah Rakyat (SR) lama pendidikannya semula 3 tahun.Maksud
pendirian SR ini adalah selain meningkatkan taraf pendidikan pada masa sebelum

9
kemerdekaan juga dapat menampung hasrat yang besar dari mereka yang hendak
bersekolah.
b. Pendidikan Guru
Dalam periode antara tahun 1945-1950 dikenal tiga jenis pendidikan guru
yaitu sebagai berikut:
 Sekolah Guru B (SGB) lama pendidikan 4 tahun dan tujuan pendidikan guru
untuk sekolah rakyat. Murid yang diterima adalah tamatan SR yang akan
lulus dalam ujian masuk sekolah lanjutan. Pelajaran yang diberikan bersifat
umum untuk di kelas I,II,III sedangkan pendidikan keuruan baru diberikan di
kelas IV. Untuk kelas IV ini juga dapat diterima tamatan sekolah SMP, SPG
dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang membawahinya sejumlah guru
dan diantaranya merupakan tenaga tidak tetap karena memang sangat
kekuarangan guru tetap.
 Sekolah Guru C (SGC) berhubung kebutuhan guru SR yang mendesak maka
terasa perlunya pembukaan sekolah guru yang dalam tempo singkat dapat
menghasilkan. Untuk kebutuhan tersebut didirikan sekolah guru dua tahun.
 Sekolah guru A (SGA) karena adanya anggapan bahwa pendidikan guru 4
tahun belum menjamin pengetahuan cukup untuk taraf pendidikan guru, maka
dibukalah SGA yang memberi pendidikan tiga tahun sesudah SMP.
Disamping Itu dapat pula diterima pelajar-pelajar dari lulusan kelas III SGB.
Mata pelajaran yang diberikan di SGA sama jenisnya dengan mata pelajaran
yang diberikan di SGB hanya penyelenggaraannya lebih luas dan mendalam.
c. Pendidikan Umum.
Ada dua jenis pendidikan Umum yaitu sekolah menengah pertama (SMP)
dan sekolah menengah Tinggi (SMT).
d. Pendidikan Kejuruan
Yang dimaksud dengan pendidikan kejuruan adalah Pendidikan ekonomi
dan pendidikan kewanitaan.
e. Pendidikan Teknik
f. Pendidikan Tinggi
Lembaga pendidikan yang ada adalah Universitas Gajah Mada, beberapa
sekolah tinggi dan akademi di Jakarta (daerah kependudukan) Klaten, Solo dan

10
Yogyakarta. Sistem persekolahan Serta tujuan dari masing-masing tingkat
pendidikan diatas diatur dalam UU No 4 Th 1950 bab V pasal 7.
g. Pendidikan Tinggi Republik
Perkembangan pendidikan tinggi sesudah proklamasi kendati mengalami
berbagai tantangan, tetapi tidak juga dapa dipisahkan dari perjuangan
mempertahankan kemerdekaan dan merupakan salah satu kekuatan dari seluruh
kekuatan rakyat Indonesia. sastra. Setelah aksi agresi militer I kedua lembaga
pendidikan tinggi terakhir ditutup oleh Belanda sehingga secara resmi sudah
tidak ada lagi, dengan demikian pendidikan tinggi waktu itu terpecah menjadi
dua yaitu pendidikan tinggi republik dan Pendidikan tingkat tinggi pendudukan
belanda.
2. Periode 1950-1966
Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya.
Proses pendidikan nasional mulai dilakasanakan sebagaimana yang diamanatkan
dalam UUD 1945. Para pendidik dan peserta didik melaksanakan tugasdengan
sebaik-baiknya walaupun serba terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk
pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti
rongrongan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, pada akhir era
ini pendidikan dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan kendaraan
politik. Pada masa ini dimulai pendidikan indoktrinasi yaitu menjadikan
pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan Orde Lama (Rifa’i,
2017).
Pada tahun 1951 terdapat 10.962.000 anak usia sekolah dasar. Dari jumlah
tersebut yang telah tertampung sejumlah 5.040.850. Untuk dapat menampung
semua anak usia SD diperlukan tambahan sekitas 140 ribu orang guru. Untuk
mengatasi kekurangan guru tersebut maka didirikan Kursus Pengajar untuk
Kursus Pengantar ke Kewajiban Belajar (KPKPKB). Pelaksanaannya diselingi
antara belajar dan mengajar selama empat tahun. Pada Orde Lama sudah mulai
diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem kolonial yang serba ketat
tetapi tetapi jujur dan mempertahankan kualitas.
C. Kurikulum Pendidikan
1. Kurikulum Pendidikan Periode Tahun 1945-1950

11
Salah satu upaya untuk mengembangkan pendidikan nasional dilakukan
oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, Mr.Soewandi yaitu
mengubah sistem pendidikan dan pengajaran sehingga lebih sesuai dengan
keinginan dan cita-cita bangsa Indonesia. Sistem pendidikan yang semula
bercorak kolonial berganti menjadi sistem pendidikan yang bercorak nasional.
Sebagai konsekuensi perubahan sistem, kurikulum pada semua tingkat pendidikan
mengalami perubahan pula. Kurikulum pertama yang lahir pada masa
kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer plan” (Rifa’i, 2017).
2. Kurikulum Pendidikan Periode Tahun 1951-1969
Kurikulum yang pertama digunakan dalam kurun waktu ini adalah
kurikulum 1950. Dalam perkembangannnya, kurikulum 1950 berubah menjadi
kurikulum 1958 yang dipergunakan sampai dengan tahun 1964.Kemudian
kurikulum diperbarui dan menghasilkan kurikulum 1964 yang pelaksanaannya
dimulai pada tahun 1965. Kurikulum ini pun masih mengalami perubahan dengan
lahirnya Kurikulum 1968, yang mulai dilaksanakan pada tahun 1969.Kurikulum
SMP, SMA, SMEA, SKKP, dan SKKA diberlakukan pada tahun 1969, sedangkan
untuk SMEP dan SPG mulai berlaku tahun 1970 (Rifa’i, 2017).

2.1.4 Pendidikan Jaman Orde Baru: Pengunaan Demokrasi Pancasila


Pancasila dan UUD 1945 menjadi dua asas yang paling dianut untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional pada masa Orde Baru. Menurut Dirto
Hadisusanto (1995), pengertian tujuan pendidikan adalah seperangkat sasaran ke
mana pendidikan tersebut diarahkan. Adapun bentuk dari tujuan pendidikan dapat
berupa pengetahuan, keterampilan, serta nilai dan sikap. Dengan kata lain, tujuan
pendidikan merupakan suatu sistem nilai yang disepakati kebenaran dan
kepentingannya dan ingin dicapai melalui berbagai kegiatan, baik melalui jalur
pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah (Dirto Hadisusanto,
1995). Tujuan pendidikan nasional yang pertamakali ditetapkan sejak era Orde
Baru berkuasa di Indonesia adalah melalui Ketetapan MPRS Nomor XXVII
Tahun 1966 Bab II Ayat 3. Di dalamnya disebutkan bahwa tujuan utama
pendidikan di Indonesia adalah untuk mempersiapkan manusia yang berjiwa
Pancasila sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

12
A. Kebijakan Pendidikan
Pendidikan pada masa kekuasaan Orde Baru menjadi salah satu kebijakan
politik dan pemerintahan yang terangkum dalam Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita). Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, pendidikan
pada masa ini dijadikan sebagai salah satu sektor utama untuk menyokong
pembangunan ekonomi Orde Baru. Target utama pembangunan pendidikan
nasional pada Repelita I (1969-1974) adalah pendidikan dasar 9 tahun yang
semakin meluas dalam waktu 15 tahun, serta perbaikan kualitas, akses, dan
relevansi pendidikan yang semakin terarah demi peningkatan sumber daya
manusia (SDM) Indonesia (Mohammad Ali, 2009).
Pemerintahan Orde Baru menegaskan bahwa P4 atau yang dikenal juga
dengan nama Ekaprasetya Pancakarsa, adalah petunjuk operasional untuk
mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang
pendidikan. Penataran P4 menjadi unsur yang sangat penting dan menentukan
bagi masa depan siswa dalam penyelenggaraan pendidikan di era Orde Baru.
Franz Magnis-Suseno (2009), pernah berkata: “Di zaman Presiden Soeharto ada
penataran P4. Salah satu ciri penataran itu adalah bahwa orang harus berada di
tempat 10 menit sebelum acara dimulai. Semua harus diabsen dulu. Datang
terlambat berarti dikeluarkan, padahal lulus penataran P4 penting bagi pegawai
negeri dan banyak profesi lainnya. Selain PMP dan penataran P4, ada juga upaya
politisasi lainnya dalam proses pendidikan di zaman Orde Baru. Ketika Nugroho
Notosusanto menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1983-1985),
dimunculkanlah mata pelajaran Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa
(PSPB) yang berlaku sejak kurikulum 1984.

B. Sistem Pendidikan
Menurut Makmuri Sukarno (2008), sistem pendidikan pada era Orde Baru
sebenarnya mengadopsi ajaran dari Ki Hadjar Dewantara (Makmuri Sukarno,
2008). Pendiri Taman Siswa ini merumuskan Pendidikan Kemasyarakatan,
Pendidikan Umum, dan Pendidikan Khusus. Pemerintah Orde Baru mengikuti
rumusan pendidikan hasil pemikiran Ki Hadjar Dewantara ini dengan nama “Tiga

13
Jalur Sistem Pendidikan Nasional” yang ditetapkan melalui Undang-Undang
Tahun 1982.

C. Kurikulum Pendidikan
Pendidikan pada era Orde Baru telah merumuskan kurikulum secara
bertahap, mulai dari Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, hingga
Kurikulum 1994. Kurikulum 1968 produk kurikulum pertama Orde Baru yang
sebenarnya hanya melanjutkan Kurikulum 1964 yang merupakan warisan Orde
Lama. Kurikulum 1975 berupaya agar pendidikan lebih efektif dan efisien
berdasar MBO (Management by Objective). Metode, materi, dan tujuan
pengajaran dirumuskan secara detail dalam Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI) atau yang kemudian dikenal dengan istilah “satuan
pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Kurikulum 1984 adalah
kurikulum yang instan karena keputusan pemberlakuannya sangat cepat dilakukan
tidak lama setelah Nugroho Notosusanto menjabat sebagai Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan. Kurikulum 1994 merupakan perpaduan dari kurikulum-
kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Kurikulum 1994
dinilai oleh sebagian kalangan semakin menambah beban belajar siswa karena ada
penambahan mata pelajaran yang cukup signifikan, termasuk muatan nasional
hingga muatan lokal.

2.2 Pendidikan di Indonesia Menurut Ki Hajar Dewantara


Paradigma suatu negara mengenai pendidikan tentu akan mengalami
perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi.
Paradigma pendidikan yang dibangun di Indonesia harus mengacu pada azas-azas
fundamental yang telah dimiliki oleh bangsa dalam hal ini yang berasal dari nilai
luhur budaya adiluhung bangsa. Azas pendidikan akan menjadi suatu kebenaran
yang diyakini dan dapat menjadi dasar atau tumpuan berfikir, baik pada tahap
perencanaan maupun pelaksanaan pendidikan.
Tidak bisa dipungkiri paradigma pendidikan di Indonesia juga dipengaruhi
oleh konsep-konsep paradigma masa penjajahan Belanda dan Jepang yang
tentunya membawa dampak positif dan negatif dalam perekembangan

14
penyelenggaraannya. Dampak negatif akibat penjajahan Belanda yang bercokol di
negara ini kurang lebih 350 tahun atau 3,5 abad ini diantaranya adalah, asas
sekuler-materialistik yang lebih dominan, asas sekuler yang dimaksud adalah
adanya jurang yang memisahkan antara pendidikan dengan nilai-nilai agama.
Pendidikan hanya untuk mengetahui ilmu dunia secara kognitif tapi tidak
menyentuh nilai-nilai spiritual,
Kondisi pendidikan Indonesia sebagaimana penjelasan sebelumnya maka
kita harus kembali pada substansi pendidikan yang sesungguhnya. Salah satu
dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu dapat dididik dan dapat pula
mendidik dirinya sendiri. Manusia dilahirkan tentunya tanpa daya dan tergantung
pada orang lain kecuali faktor gen yang telah diwarisi oleh orang tuanya. Tapi di
sisi lain manusia juga memiliki potensi hampir tanpa batas yang dapat
dikembangkan melalui dunia pendidikan. Asas-asas pendidikan di Indonesia harus
bersumber dari kecenderungan umum pendidikan di dunia serta bersumber pada
perjalanan sejarah dan nilai-nilai budaya adiluhung bangsa. Tiga asas pendidikan
di Indonesia yang sangat relevan dengan upaya pendidikan, baik masa lampau,
kini, dan akan datang adalah sebagaimana yang telah digagas oleh tokoh
pendidikan kita yakni Ki Hajar Dewantara yang meliputi: asas Tut Wury
Handayani, asas belajar sepanjang hayat (live long education), dan asas
kemandirian dalam belajar.
1. Asas Tut Wuri Handayani
artinya: dari belakang seorang pendidik harus bisa memberikan dorongan dan
arahan. Pada pengertian itu seseorang harus dapat mendorong orang yang dalam
tangungjawabnya untuk mencapai tujuan secara berkelanjutan dalam
pekerjaannya. Dalam proses pembelajaran, guru harus memberi dorongan kepada
siswanya untuk selalu belajar dengan tuntas dan maju berkelanjutan. Sehingga
kata kunci sukses dalam pembelajaran adalah belajar tuntas dan berkelanjutan.
Dari asas tersebut nampak bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh Taman
Siswa adalah kehidupan yang tertib dan damai. Dari asas ini juga melahirkan
“sistem among”, dimana guru memperoleh sebutan “pamong” yaitu sebagai
pemimpin yang berdiri di belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”,

15
yaitu tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk
berjalan sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa.
Dua semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari Tut Wuri
Handayani, pada hakikatnya bertolak dari wawasan tentang anak yang sama,
yakni tidak ada unsur perintah, paksaan atau hukuman (punishment), tidak ada
campur tangan yang dapat mengurangi kebebasan anak untuk berjalan sendiri
dengan kekuatan sendiri. Dua semboyan itu adalah :
a. Ing Ngarsa Sung Tuladha yang artinya: di depan, seseorang harus bisa
memberi teladan atau contoh.
Dalam pengertian ini, bahwa proses pembelajaran contoh atau teladan
menjadi kata kunci kesuksessan dalam pembelajaran. Pembelajaran di
sekolah senantiasa terjadi proses imitasi atau proses peniruan dari contoh atau
teladan, sehingga ketika pembelajaran berlangsung seorang pendidik harus
menstrasfer pengetahuan tentang sesuatu yang dipelajari siswa dengan benar
dan tepat. Selain itu siswa tidak hanya mempelajari mengenai pengetahuan
saja melainkan belajar dengan lingkungannya seperti belajar mengenai
pribadi pendidiknya. Oleh karena itu pendidik selain menguasai pengetahuan
dia juga harus mempunyai pribadi yang dapat dicontoh.
b. Ing Madya Mangun Karsa yang artinya: ditengah – tengah atau diantara
seseorang bisa menciptakan prakarsa dan ide.
Pada pengertian itu, seseorang dapat menciptakan prakarsa atau ide diantara
orang lain. Dalam proses pembelajaran di sekolah, berarti seorang guru harus
dapat menciptakan prakarsa dan ide para siswanya ketika mereka dalam
proses pembelajaran. Sehingga kata kunci kesuksesan dalam pembelajaran
adalah pendidik bisa membangkitkan minat dan semangat belajar siswa ,
disini guru dituntut menjadi penggali minat dan pemompa semangat belajar
anak .Sehingga setiap anak mampu berfikir kritis dan belajar mandiri (Cara
Belajar Siswa Aktif). Jadi guru sebetulnya tidak perlu banyak mengajar justru
lebih perlu menggagas tentang beragam bintang prestasi yang perlu setiap
siswa gapai.
2. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning)

16
Merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup
(live long education). Sehingga kurikulum di Indonesia harus dirancang dan
diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi, yaitu dimensi vertikal
dan horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah meliputi tidak saja keterkaitan
tapi kesinambungan antar tingkatan persekolahan, tetapi juga terkait dengan
kehidupan peserta didik di masa depan. Dimensi horizontal mengaitkan
pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah. Maka
rancangan kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan
peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya.
3. Asas kemandirian dalam belajar
Memiliki kaitan yang sangat erat dengan asas Tut Wuri Handayani
maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna
bahwa belajar merupakan kebutuhan yang muncul dari dalam diri sendiri
sehingga cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain.
(Wayan Santyasa, 2003).
Asas-asas pendidikan yang telah dirumuskan oleh Kihajar Dewantara
tentu masih relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, olehnya sistem
pendidikan Indonesia harus memasukan asas-asas pendidikan tersebut. Tidak
kalah pentingnya juga adalah bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sarat
akan agama, sehingga kurikulum yang dibangunpun harus memasukan nilai-nilai
agama dan ahlak mulia.

2.2.1 Konsep Pendidikan Indonesia Menurut Ki Hajar Dewantara


Konsep Pembelajaran Ki Hadjar Dewantara:
1. Dalam belajar menerapkan teori TRIKON yaitu: Kontinyu, Konvergen
dan Konsentris.
Teori ini telah dipraktekkan sejak menuntut ilmu di Belanda. Ilmu
pendidikan barat disaringnya dan yang bermanfaat dipakainya tetapi tetap berpijak
pada akar budaya tanah air sehingga konsep tentang Pendidikan Nasional adalah
Pendidikan yang berakar ke dalam budaya nusantara.
2. Konsepsi Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara bertujuan:

17
a. Memanusiakan manusia dalam rangka memerdekakan manusia dalam
lingkaran perbudakan
b. Membentuk pribadi yang mandiri dengan 3 indikator:
 Mampu berdiri sendiri,
 Tidak bergantung pada orang lain,
 Dapat mengatur dirinya sendiri
3. Konsep isi pendidikan secara umum harus relavan dengan garis hidup untuk
mencerdaskan rakyat dan mengangkat martabat bangsa dalam rangka
membangun kerja sama saling menguntungkan dengan bangsa-bangsa lain di
dunia.
Untuk memperkuat dinamika pendidikan sebagai penguatan
kebangsaan,maka konsep pengembangan pendidikan harus senafas nilai-nilai
budaya yang berkembang di masyarakat serta melibatkan unsur masyarakat dalam
pengelolaanya , karena out put atau keluaran yang dihasilkanyapun harus menjadi
pioner kebudayaan dan peradaban bangsa yang lebih besar.
Sebagai transformasi budaya bahwa :
 Desain kurikulum dan bangunan pengembangan pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari nafas kebudayaan yang terlahir.
 Produk pendidikan itupun harus mampu mengemban misi kebudayaan
menuju peradaban yang lebih maju dari generasi sebelumnya
 Produk pendidikan harus diarahkan mewujudkan kesejahteraan dan
mengangkat derajad seseorang, Negara dan bangsa.

2.2.2 Pendidikam Taman Siswa


a. Riwayat Singkat Pendidikan Taman Siswa
Pendiri pendidikan Taman Siswa atau lebih dikenal dengan perguruan
taman siswa ini adalah seorang bangsawan dari Yogyakarta bernama RM.
Suwardi Suryaningrat. Dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dari
ayah bernama K.P.H. Suryaningrat. Setelah usia 39 tahun atau 40 tahun (tahun
jawa), tepatnya pada tanggal 23 pebruari 1928 berganti nama menjadi Kihajar
Dewantara. Pendidikan yang telah ditempuh dimulai dari Sekolah Dasar Belanda
(Europesche Lagere School), kemudian melanjutkan pendidikan ke sekolah dokter

18
di Stovia. Berhubung kekurangan biaya, sekolah ini ditinggalkan, kemudian
bekerja dan memasuki dunia politik bersama sama lulusan Stovia yang lain seperti
Dr.Cipto Mangun Kusuma dan Dr. Danurdirjo Setyabudi(Dr. Douwes Dekker).
Sifat, system dan metode pendidikannya diringkas kedalam empat kemasaan,
yaitu (1) asas taman siswa, (2) panca darma, (3) adat istiadat, dan (4) semboyan
atau perlambang. Masing-masing kemasan akan dibahas sebagai berikut:
1) Kemerdekaan individu untuk mengatur diri sendiri. Kebebasan ini dibatasi
oleh kepentingan umum, yaitu jangan sampai mengganggu ketertiban dan
kedamaian umum.
2) Kemerdekaan dalam berpikir, mengembangkan perasaan, dan kemauan
melakukan sesuatu.
3) Kebudayaan sendiri, sebagai dasar kehidupan bukan intelektual.
4) Kerakyatan, yaitu pendidikan harus diberikan kepada seluruh rakyat.
5) Hidup mandiri, adalah menghidupi diri sendiri dan tidak menerima bantuan
yang mengikat.
6) Hidup sederhana, mampu membiayai diri sendiri.
7) Mengabdi kepada anak, semua kegiatan yang dilakukan adalah untuk
kepentingan perkembangan anak.
Asas di atas direvisi pada tahun 1947 menjadi dasar-dasar taman siswa,
agar sesuai dengan tuntutan zaman yang baru. Dasar-dasar ini di beri nama Panca
Darma dengan isi sebagai berikut:
1) Kemanusiaan, yaitu berupaya menghargai dan menghayati sesama
kemanusiaan dan makhluk tuhan yang lainnya, dan meningkatkan kesucian
jiwa dan cinta kasih.
2) Kebangsaan, adalah bersatu dalam duka tetapi menghindari chaufinistis dan
tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan.
3) Kebudayaan, yaitu kebudayaan nasional yang harus dilestarikan dan
dikembangkan. Untuk ini dewantara mengemukakan sebagai berikut:
a. Kontinu, kebudayaan nasional harus dikembangkan secara terus-
menerus.
b. Konsentrasi, kebudayaan itu harus terpusat pada kebudayaan bangga
Indonesia. Terhadap kebudayaan asing haruslah selektif.

19
c. Konvergensi, kebudayaan-kebudayaan asing yang sudah diseleksi
diintergrasikan kedalam kebudayaan-kebudayaan bangsa Indonesia.
4) Kodrat alam, manusia adalah bagian dari alam, maka manusia harus dibina
dan berkembang sesuai dengan kodrat alam.
5) Kemerdekaan/kebangsaan, setiap anak diberi kebebasan, setiap anak harus
diberi kesempatan bebas mengembangkan diri sendiri. Mereka perlu
mendisplinkan diri sendiri. Mereka perlu mendisiplinkan diri sendir untuk
mengejar nilai-nilai hidup sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat.
Kemasan selanjutnya adalah adat istiadat yang berupa aturan tidak
tertulis. Mengapa dibutuhkan adat? Sebab adat dapat menghidupkan batin
manusia dan dapat mendekatkan jarak antar guru dan siswa. Sementara itu
peraturan tertulis mereka pandang seperti mesin saja. Adat istiadat yang dimaksud
adalah:
1) Sebutan Ki untuk laki-laki, Nyai untuk perempuan yang sudah kawin, dan
Nyi untuk perempuan yang belum kawin. Panggilan-panggilan kasta dalam
masyarakat feudal dihilangkan agar bersifat demokrasi.
2) Melenyapkan sikap majikan buruh, dengan tidiak memberikan gaji,
melainkan kebutuhan nyata serta sesuai dengan jumlah anggota keluarga.
3) Sebutan bapak atau I,bu kepada guru, sebagai lambing kekeluargaan yang
harmonis.
Yang terakhir adalah mengenai Semboyang atau Perlambang. Hal ini
disebabkan dewantara berpendapat bahwa semboyan biasa secara langsung
mempengaruhi hati anak yang segera dapat mudah mengingatnya. Semboyan-
semboyan itu adalah:
1) Kita berhamba kepada anak, yang artinya sama dengan mengabdi kepada
anak pada asas taman siswa nomor 7.
2) Lebih baik mati terhormat dari pada mati nista, adalah terutama untuk
menggerakkan hati anak-anak untuk mengejar dan membela kebenaran.
3) Dari natur kea rah kultur yang artinya dari alamiah/kodrati kea rah berbudaya.

20
2.3 Pendidikan Nasional di Masa Sekarang
Pendidikan pada dasarnya bertujuan mulia yaitu memanusiakan manusia.
Memanusiakan manusia berarti membuat manusia menjadi berfungsi sepenuhnya
agar sejahtera hidup berdampingan dengan masyarakatnya baik ditingkat lokal
maupun global dan mampu merencanakan masa depan hidupnya yang cerah
secara merdeka. Kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi masyarakat
Indonesia ternyata telah disadari betul oleh para founding father bangsa ini. Hal
itu terlihat dari pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yang salah satunya
berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Mencerdaskan kehidupan bangsa
bermakna mewujudkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang siap dan
mampu bersaing dengan masyarakat internasional di era global ini.
Manusia dapat memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk
dapat dikembangkan demi kepentingannya melalui pendidikan. Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 pasal 13 ayat 1, menyatakan bahwa “Jalur pendidikan
terdiri atas pendidikan formal, informal, dan nonformal yang dapat saling
melengkapi dan memperkaya”. Di dalam Renstra Kemendiknas 2010-2014
dikemukakan empat paradigma universal yang perlu diperhatikan yaitu (BSNP,
2010):
a. Pemberdayaan manusia seutuhnya
Fondasi pendidikan yang menyiapkan keberhasilan peserta didik sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial serta sebagai pemimpin bagi terwujudnya
kehidupan yang lebih baik di muka bumi (makhluk Tuhan).
b. Pembelajaran sepanjang hayat berpusat pada peserta didik
Proses yang berlangsung seumur hidup, semenjak lahir sampai akhir
hayat, yang diselenggarakan secara terbuka melalui jalur formal, nonformal, dan
informal yang dapat diakses oleh peserta didik setiap saat, tidak dibatasi oleh usia,
tempat dan waktu.
c. Pendidikan untuk semua
Pendidikan minimal pada tingkat pendidikan dasar adalah bagian hak asasi
manusia dan hak setiap warga negara. Pemenuhan atas hak untuk mendapatkan
pendidikan dasar yang bermutu merupakan ukuran keadilan dan pemerataan atas
hasil pembangunan dan sekaligus menjadi investasi sumber daya manusia yang

21
diperlukan untuk mendukung keberlangsungan pembangunan bangsa. Hak untuk
mendapatkan pendidikan dasar sebagai pemenuhan hak asasi manusia telah
menjadi komitmen global.
Oleh karena itu, program pendidikan untuk semua yang inklusif
diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan
sistem pendidikan terbuka dan demokratis serta berkesetaraan gender agar dapat
menjangkau mereka yang berdomisili di tempat terpencil, serta mereka yang
mempunyai kendala ekonomi dan sosial.
d. Pendidikan untuk Perkembangan, Pengembangan, dan/atau
Pembangunan Berkelanjutan (PuP3B)
Pendidikan menghasilkan manusia berakhlak mulia yang menjadi rahmat
bagi semesta alam. Pendidikan harus menumbuhkan pemahaman tentang
pentingnya keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem, yaitu pemahaman bahwa
manusia adalah bagian dari ekosistem. Pendidikan harus memberikan pemahaman
tentang nilai-nilai tanggungjawab sosial dan natural untuk memberikan gambaran
pada peserta didik, bahwa mereka adalah bagian dari sistem sosial yang harus
bersinergi dengan manusia lain, dan bagian dari sistem alam yang harus bersinergi
dengan alam beserta seluruh isinya. Dengan nilai-nilai itu maka akan muncul
pemahaman kritis tentang lingkungan. dari sistem sosial yang harus bersinergi
dengan manusia lain, dan bagian dari sistem alam yang harus bersinergi dengan
alam beserta seluruh isinya.

2.3.1 Catatan tentang Pendidikan Nasional Dewasa ini


A. Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan yang diambil dan dilaksanakan bertujuan
memperoleh hasil pendidikan yang lebih baik, sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional yang diharapkan. Antara lain desentralisasi, standardisasi, peningkatan
anggaran dan sebagainya. Namun, pemanfaatan dari peningkatan anggaran
terkesan tidak disertai dengan perencanaan penggunaan yang terpadu secara
menyeluruh.

22
B. Pelaksana dan Pelaksanaan Pendidikan
Lembaga pendidikan harus memiliki tenaga pengajar yang cukup, baik
kuantitas maupun kualitasnya, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Di
samping pengetahuan dan keterampilan melaksanakan pendidikan, seorang
pendidik harus memiliki kesadaran akan fungsinya sebagai pendidik dan
kesungguhan melaksanakannya. Meliputi: sikap dan tata nilai yang mempengaruhi
disiplin dan kejujuran. Namun, tidak sedikit pula yang masih jauh dari kriteria
tersebut baik kuantitas maupun kualitasnya sebagai pendidik. Contohnya seperti
pada kecurangan dalam pelaksanaan ujian. Semua ini sangat mempengaruhi
kualitas hasil pendidikan yang diperoleh. Kekurangan ini terutama disebabkan
oleh kesejahteraan guru yang kebanyakan masih jauh dari yang seharusnya.
Pelaksana, pelaksanaan pendidikan di Indonesia dewasa ini belum seperti yang
diharapkan. masih banyak pelaksanaan pendidikan yang berorientasi pada
kuantitas kelulusan ujian, termasuk ujian nasional, daripada pengutamaan pada
kualitas penguasaan ilmu yang diajarkan. Fenomena ini tidak termonitor dengan
baik.
C. Hasil Pendidikan
Hasil pendidikan selama ini diukur dari keberhasilan banyaknya sarjana
lulusan perguruan tinggi di Indonesia dalam berbagai profesi, ataupun bidang
akademis menunjukkan kualitas berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Demikian
pula halnya dengan keberhasilan mahasiswa dalam melanjutkan studi di berbagai
perguruan tinggi terkenal di luar negeri. Hal yang sama diikuti pula oleh lulusan
pendidikan menengah di Indonesia.
Lulusan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi telah berkiprah
dengan baik pula di berbagai profesi atau jabatan, walaupun tidak terkait dengan
keahlian bidang pendidikannya. Hal ini menunnjukkan bahwa selama pendidikan
bukan hanya ilmu yang diperoleh, melainkan juga kearifan, memiliki sikap dan
menyerap nilai-nilai yang ditumbuhkan selama belajar, baik melalui hakikat ilmu
pengetahuan yang dipelajarinya, maupun melalui proses belajar atau kehidupan
yang bermakna yang mereka alami dalam masyarakat kampus atau sekolah.
Selain itu, banyak lulusan sekolah menengah termasuk mahasiswa yang
tahu banyak, tetapi tidak paham apa yang diketahui. Ini menunjukkan motivasi

23
belajar para siswa lebih pada mencari ijazah daripada mencari ilmu atau
pengetahuan. Banyak fenomena yang berkembang dalam masyarakat, seperti
banyaknya korupsi dan KKN, serta maraknya tawuran dan kekerasan di berbagai
lapisan masyarakat, menunjukkan ketidakberhasilan pendidikan kita menanamkan
nilai-nilai luhur dan sikap terpuji di setiap jenjang pendidikan. Ini menunjukkan
bahwa belum tepenuhi apa yang diungkapkan dalam paradigma pendidikan
nasional: pendidikan nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya.

2.3.2 Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI


Memasuki abad XXI, banyak hal yang berubah secara fundamental dalam
berbagai aspek kehidupan manusia. Runtuhnya sekat-sekat geografis akibat
globalisasi dan kemajuan teknologi informasi memudahkan untuk saling
berinteraksi, berkomunikasi, dan bertransaksi kapan dan di manapun saja.
Dengan demikian paradigma pendidikan nasional abad XXI dapat dirumuskan
sebagai berikut yaitu (BSNP, 2010):
a) Untuk menghadapi abad XXI yang makin syarat dengan teknologi dan sains
dalam masyarakat global di dunia ini, maka pendidikan kita haruslah
berorientasi pada ilmu pengetahuan matematika dan sains alam disertai
dengan sains sosial dan kemanusiaan (humaniora) dengan keseimbangan
yang wajar.
b) Pendidikan ilmu pengetahuan, bukan hanya membuat seorang peserta didik
berpengetahuan, melainkan juga menganut sikap kelilmuan dan terhadap ilmu
pengetahuan, yaitu kritis, logis, inventif dan inovatif, serta konsisten, namun
disertai pula dengan kemampuan beradaptasi.
c) Untuk mencapai ini mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
menengah dan pendidikan tinggi haruslah merupakan suatu sistem yang
tersambung erat tanpa celah, setiap jenjang menunjang penuh jenjang
berikutnya, menuju ke frontier ilmu. Namun demikian, penting pula pada
akhir setiap jenjang, di samping jenjang untuk ke pendidikan berikutnya,
terbuka pula jenjang untuk langsung terjun ke masyarakat.

24
d) Bagaimanapun juga, pada setiap jenjang pendidikan perlu ditanamkan jiwa
kemandirian, karena kemandirian pribadi mendasari kemandirian bangsa,
kemandirian dalam melakukan kerjasama yang saling menghargai dan
menghormati, untuk kepentingan bangsa.
e) Khusus di perguruan tinggi, dalam menghadapi konvergensi berbagai bidang
ilmu pengetahuan, maka perlu dihindarkan spesialisasi yang terlalu awal dan
terlalu tajam.
f) Dalam pelaksanaan pendidikan perlu diperhatikan kebhinnekaan etnis,
budaya, agama dan sosial, terutama di jenjang pendidikan awal. Namun
demikian, pelaksanaan pendidikan yang berbeda ini diarahkan menuju ke satu
pola pendidikan nasional yang bermutu.
g) Untuk memungkinkan seluruh warganegara mengenyam pendidikan sampai
ke jenjang pendidikan yang sesuai dengan kemampuannya, pada dasarnya
pendidikan harus dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat dengan
mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (pusat dan daerah).
h) Untuk menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas, sistem
monitoring yang benar dan evaluasi yang berkesinambungan perlu
dikembangkan dan dilaksanakan dengan konsisten. Lembaga pendidikan
yang tudak menunjukkan kinerja yang baik harus dihentikan.

2.3.3 Tujuan Pendidikan Nasional Abad XXI


Setiap bangsa tentunya memiliki cita-cita untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyatnya, dan hidup sejajar dan
terhormat di kalangan bangsa-bangsa lain. Demikian pula bangsa Indonesia
bercita-cita untuk hidup dalam kesejahteraan dan kebahagiaan. Hal tersebut dapat
dan harus dicapai dengan kemauan dan kemampuan sendiri, yang hanya dapat
ditumbuhkembangkan melalui pendidikan yang harus diikuti oleh seluruh anak
bangsa. Kata kunci dalam pendidikan ini adalah kemandirian. Dengan demikian,
tujuan pendidikan nasional dapat dirumuskan sebagai berikut ini.
Pendidikan Nasional abad XXI bertujuan untuk mewujudkan cita-cita
bangsa, yaitu masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera dan bahagia, dengan
kedudukan yang terhormat dan setara dengan bangsa lain dalam dunia global,

25
melalui pembentukan masyarakat yang terdiri dari sumber daya manusia yang
berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan berkemampuan
untukmewujudkan cita-cita bangsanya.
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan paradigma pendidikan
nasional adalah menanamkan nilai luhur serta menumbuh-kembangkan sikap
hidup yang terpuji, di samping memberikan pengetahuan dan kecakapan yang
mengikuti perkembangan zaman. Dalam abad XXI terdapat berbagai kekhususan
yang utama. Pertama, terwujudnya masyarakat global yang menjadi kesepakatan
antara bangsa, yaitu terbukanya mobilitas yang lebih luas antara satu negara
dengan negara lain dalam berbagai hal. Kedua, abad ini akan lebih dikuasai oleh
perkembangan ilmu dan teknologi yang makin canggih dan berpadu pula dengan
ilmu sosial dan humaniora. Untuk mampu berkompetisi dalam masyarakat global
tersebut, setiap bangsa bukan hanya harus menguasai perkembangan ilmu dan
teknologi, tetapi juga mempunyai penguasaan yang cukup pula atas sains sosial
dan humaniora serta perkembangannya.
Dalam abad ini masing-masing ilmu tidak lagi harus bekerja sendiri,
melainkan berbagai cabang ilmu dapat bekerja sama, bukan hanya dalam sesama
kelompok sains, teknolgi, atau sains sosial dan humaniora saja, melainkan dalam
banyak hal antara beberapa kelompok. Walaupun perkembangan sains dan
teknologi canggih adalah konsumsi perguruan tinggi, namun kesiapan mahasiswa
menyerapnya sangat ditentukan oleh hasil pendidikan pra universitas, mulai
jenjang pendidikan dasar sampai ke jenjang pendidikan menengah, bahkan mulai
dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).
Demikian pula, untuk menghadapi dunia global ini usaha meningkatkan
mutu pendidikan sampai bertaraf internasional adalah suatu keharusan, namun
bukan dengan mempertentangkan atau membedakan yang satu dengan yang lain.
Namun, menanamkan rasa kebangsaan dan penghayatan dan kemampuan
menghargai budaya nasional merupakan butir yang harus selalu dilakukan di
setiap jenjang pendidikan.

26
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini ialah sebagai berikut.
3.1.1 Pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan dari masa penjajahan
Belanda yang menganut pendidikan kolonialisme, pada masa penjajahan
Jepang pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan dari pendidikan
kolonialisme ke pendidikan Jepang yang memberikan kebebasan untuk
seluruh rakyat Indonesia merasakan pendidikan, pada Orde Lama
pendidikan di Indonesia lebih mengarah ke pendidikan yang sesuai dengan
ideologi bangsa, dan pada Orde Baru pendidikan di Indonesia yang
menganut Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas mencapai tujuan
pendidikan Nasional
3.1.2 Tiga asas pendidikan di Indonesia yang sangat relevan dengan upaya
pendidikan yaitu, asas Tut Wury Handayani, asas belajar sepanjang hayat
(live long education), dan asas kemandirian dalam belajar.
3.1.3 Pendidikan Nasional pada Masa Sekarang bertujuan untuk mewujudkan
cita-cita bangsa, yaitu masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera dan
bahagia, dengan kedudukan yang terhormat dan setara dengan bangsa lain
dalam dunia global, melalui pembentukan masyarakat yang terdiri dari
sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri,
berkemauan dan berkemampuan untukmewujudkan cita-cita bangsanya.
3.2 Saran
Saran bagi penulis adalah dapat menambahkan referensi yang lebih banyak
lagi agar makalah menjadi lebih baik. Masukan dari pembaca diperlukan guna
perbaikan makalah sehingga menjadi lebih baik.

27
DAFTAR PUSTAKA

Ary H. Gunawan. 1985. Kebijakan-Kebijakan Pendidikan Di Indonesia. Jakarta:


Badan Standar Nasional Pendidikan. 2010. Paradigma Pendidikan Nasional Abad
XXI. Jakarta: BSNP
Bina Aksara
Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional.Yogyakarta: Pendidikan Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Yogyakarta
Mohammad Ali, dkk. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian 4. Bandung:
Imtima
Nasution, S. 2011. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Nasution. 2008. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Rifa’i, Muhammad. 2017. Sejarah Pendidikan Nasional : dari Masa Klasik
Hingga Moderen. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Tilaar, H.A.R. 2012. Perubahan Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

28

Anda mungkin juga menyukai