Disusun oleh
Kelas A
Kelompok 1
Irmayanti Wuryaningsih 7000204020
Ismail 7000150710
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberi kemudahan dan pertolongan
dalam proses penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan
kepada Nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhammad SAW. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi
pendidikan dalam profesi keguruan.
Dalam kesempatan ini pula penulis juga berterima kasih kepada dosen mata kuliah
“Filosofi Pendidikan Nasional” yaitu Bpk Dr.Metroyadi, S.H, M.Pd dalam membimbing
penyusunan makalah ini.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................3
BAB I.............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.........................................................................................................................................4
A. Latar Belakang...................................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan................................................................................................................................5
BAB II............................................................................................................................................................7
KAJIAN TEORI............................................................................................................................................7
A. Pergerakan Pemuda Indonesia (Budi Utomo)....................................................................................7
1. Sejarah Budi Utomo.......................................................................................................................7
2. Tujuan Berdirinya Budi Utomo.....................................................................................................9
3. Perkembangan Budi Utomo Terhadap Pemerintah Kolonial.........................................................9
B. Pergerakan R.A Kartini....................................................................................................................12
1. Biografi R.A Kartini....................................................................................................................12
2. Pendidikan R.A Kartini................................................................................................................13
3. Gagasan–Gagasan dan Pergerakan Perjuangan R.A Kartini.......................................................13
4. Transformasi Spritual RA. Kartini...............................................................................................16
C. Gerakan Kebudayaan Oleh Ki Hadjar Dewantara di Belanda........................................................18
1. Pendidikan Ki Hadjar Dewantara................................................................................................18
2. Perihal Dunia Pendidikan di Indonesia........................................................................................18
BAB III........................................................................................................................................................27
PENUTUP....................................................................................................................................................27
A. Kesimpulan......................................................................................................................................27
B. Saran................................................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................................28
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan pada hakikatnya adalah untuk membangun peradaban bangsa melalui
membangun manusia seutuhnya. Pendidikan merupakan hak setiap orang untuk
meningkatkan harkat dan martabatnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
penyelenggaraan pendidikan, banyak faktor yang mempengaruhinya, baik yang berasal
dari internal maupun eksternal sebuah sistem pendidikan. Faktor-faktor diuar sistem
pendidikan yang seimbang antara kepentingan pemerintah dan rakyat.
Sejarah suatu bangasa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang dienyam
oleh rakyatnya. Maju atau tidaknya suatu bangsa juga dapat dilihat dari maju atau
tidaknya pendidikan suatu bangsa. Begitu pula dengan Indonesia yang memiliki sejarah
perkembangan pendidikan dari masa klasik hingga masa sekarang yang terus selalu
berkembang. Sesuai dengan perkembangan zaman, pendidikan juga selalu berkembang
secara dinamis. Namun tidak ada bangsa yang berkembang secara dinamis tanpa adanya
proses, pergerakan, dan perkembangan pendidikannya.
Indonesia dalam perjalanan sejarahnya juga bergerak dengan proses, pergerakan,
dan perkembangan pendidikannya. Yang kita ketahui sendiri bahwa tokoh-tokoh
pemimpin bangsa Indonesia juga merupakan lulusan lembaga pendidikan. Apabila kita
lihat perkembangan Indonesia, pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam
sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan adalah kebutuhan mendasar suatu
bangsa, begitu pula Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara,
serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Kebangkitan nasional adalah masa dimana bangkitnya rasa dan semangat
persatuan, kesatuan dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan
kemerdekaan republik Indonesia. bangkitnya nasionalisme di Indonesia dan tumbuhnya
pergerakan nasional Indonesia itu, tidak hanya dipengaruhi adanya pengaruh dari luar
Indonesia saja. Namun reaksi pada masa sebelum tahun 1905 yang pernah dicetuskan
dengan adanya perlawanan senjata dan pemberontakan di berbagai daerah, seperti
perlawanan Pattimura, Diponegoro, pemberontakan petani 1888, Pemberontakan para
ulama dan lain-lain.
Budi utomo yatu organisasi nasional pertama di indonesia, dikarenakan ada nilai-
nilai yang sudah dipandang sebagai bibit pergerakan nasional ini yaitu adanya
penyadaran tentang pendidikan dan budaya. Dr. Wahidin Sudirohusodo (1857-1917)
merupakan pembangkit semangat organisasi Budi Utomo.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan pergerakan nasional Indonesia (Budi Utomo)?
2. Bagaimana perkembangan pergerakan R.A Kartini?
3. Bagaimana Perkembangan gerakan kebudayaan oleh Ki Hadjar Dewantara?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui perkembangan pergerakan nasional Indonesia (Budi Utomo)
2. Mengetahui perkembangan pergerakan R.A Kartini
3. Mengetahui perkembangan gerakan kebudayaan oleh Ki Hadjar Dewantara
BAB II
KAJIAN TEORI
Pada tahun 1907 Dr wahidin mampir ke batavia untuk beristirahat sesudah dari
perjalanan panjangnya itu dan tidak berniat untuk singgah ke STOVIA. Ia kemudian di
undang oleh Soetomo dan Soeradji untuk mengundang dokter itu ke STOVIA untuk
mendengar gagasan-gagasannya akan tetapi mereka tenyata tergugah oleh semangat
Wahidin itu dan tidak lama setelah itu didirikanlah Budi Utomo.
Dalam catatan Soetomo pada tahun 1909 asal-usul budi utomo ternyata di usulkan
oleh seorang teman dekatnya yaitu Soeradji, dia mengatakan :
“Pengusul nama budi utomo itu adalah mas Soeradji bahkan dia telah
sangat membantu para mahasiwa stovia dengan mengusulkan budi utomo sebagai
nama organisasi ini”
Pada tanggal 3-8 Oktober 1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang
pertama di Kota Yogyakarta. Hingga diadakannya kongres yang pertama ini, Budi Utomo
telah memiliki tujuh cabang di beberapa kota, yakni Batavia, Bogor, Bandung, Magelang,
Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo. Setelah cita cita Budi Utomo mendapat dukungan
yang makin meluas di kalangan cendikiawan jawa, pelajar mulai menyingkir dari barisan
depan karena mempunyai keinginan agar generasi tua dapat memegang peran bagi
gerakan itu. Ketika kongres budi utomo di buka di Yogayakarta pimpinan beralih kepada
generasi yang lebih tua. Jumlah anggotanya meningkat dari 650 menjadi 1.200 anggota,
di mana 700 anggota di antaranya “pejabat dan orang-orang pribumi” (bukan siswa).
Dengan meningkatnnya persentase anggota yang bukan siswa, pengaruh para siswa pun
berangsur-angsur menjadi semakin lemah. Dalam pertemuan pada 8 Agustus 1908, para
pemimpin Boedi Oetomo memutuskan Yogyakarta sebagai tempat kongres pertama.
Penetapan ini,bukan karena Yogyakarta merupakan tempat kelahiran Wahidin tetapi
karena Yogyakarta dipandang sebagai “tempat denyut jantungnya Jawa”.
- Memajukan pengajaran.
- Memajukan pertanian, peternakan dan perdagangan.
- Memajukan teknik dan industri.
- Menghidupkan kembali kebudayaan.
Selain itu Budi utomo mempunyai tujuan khusus yang tercantum dalam beberapa
fasal di antaranya :
Adapun pendiri dan tokoh-tokoh Budi Utomo antara lain ialah : Dr. Soetomo,
Wahidin Soedirohoesodo, dan Soeradji.
Pejabat eropa memberikan sebuah ungkapan yaitu “Perintah alus” yang artinya
bahwa pemerintah hendaknya melakukan tekanan lembut terhadap pribumi bawahan
mereka atau terhadap penduduk pribumi dan bukan dengan berlindung pada tindakan-
tindakan kasar dari masa lalu yaitu dengan cara pemaksaan dan ancaman hukuman
apabila perintah-perintah pemerintah tidak ditaati. Hal ini membuat bahwa pemerintah
pada waktu itu mengharapkan adanya pemerintahan kolonial yang tertib dan damai dan
serentak dengan itu juga demi perkembangan penduduk pribumi terpelajar secara spontan
dan moderat.
Pada tahun 1916-1917 merupakan pertanda masa amat yang berhasil bagi Budi
utomo karena Dwidjosewoyo sebagai wakil budi utomo berhasil mengadakan pendekatan
dengan pemimpin-pemimpin belanda terkemuka. Keterangan Menteri Urusan Daerah
jajahan tentang pembentukan Volksraad (Dewan rakyat) saat itu sedang di bicarakan
yang bahwasanya Budi Utomo akan di jadikan sebagai dewan perwakilan rakyat belanda
dan ini merupakan hal yang amat mengembirakan bagi Budi utomo . Aktivitas itu
memberikan kesan di kalangan pemerintahan kolonial bahwa budi utomo adalah satu-
satunya organisasi yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Sebagai hasilnya budi
utomo dalam kampanye dapat menduduki jumlah kursi yang nomor dua besarnya di
antara anggota pribumi dalam Volksraad
Budi Utomo adalah sebuah gerakan yang ingin menyadarkan kedudukan Bangsa
Jawa. Pengaruh gerakan Budi Utomo terlihat dengan media masa, seperti majalah
Oedyana Para Prujitna Tijdschrift voor den vooruittlrevenden Javaan (Majalah untuk
orang Jawa yang Ingin Maju) isi dari Majalah tersebut membahas tentang Pertanian untuk
masyarakat Pribumi, yang terbit perdana Pada Juni 1909 di bawah redaksi Boenjamin
yang baru saja menyelesaikan pendidikan dokternya. Dalam pengantar redaksinya,
Boenjamin dengan bangga menamakan majalahnya “Majalah Nasional pertama untuk
orang Jawa dan ditulis oleh orang Jawa”. Tujuan majalah ini adalah mendorong kecintaan
pada bahasa Jawa dan pengembangan bahasa Jawa. Bahasa Jawa harus dikembangkan
sedemikian rupa, sehingga dapai berfungsi di tengah kehidupan modem. Selain itu
majalah dapat menjadi ajang bagi para penulis Jawa, dan menyampaikan pengetahuan
tentang Negeri Belanda kepada orang Jawa. Di semarang budi utomo mendirikan toko
buku jawa dan percetakan Budi Utomo kemudian menerbitkan majalah bulanan yang
bernama Goeroe Desa yang terbit pada bulan september 1910 yang ditujukan untuk
memperbaiki kesehjahteraan rakyat jawa di perdesaan dan berisi nasihat-nasihat tentang
bagaimana menggarap tanah dengan traktor, mengelola perdagangan, pemeliharaan
ternak, unggah dan lebah.
Kelahiran Kartini dari seorang ibu yang berasal dari rakyat jelata, sejak lahir telah
menerima diskriminasi sosial yang tidak adil di lingkungan keluarga, mengingat ibu
tuanya Raden Ayu Sosoroningrat berasal dari keturunan ratu Madura. Persaingan antara
ibu kandung dan ibu tirinya membuatnya tidak mendapatkan kasih sayang penuh dari
ibunya. Begitu juga kedua ibunya adalah wanita kuno. Ibu tuanya seorang ningrat yang
meneruskan tradisi yang mendudukkan anak laki-laki lebih tinggi dari anak perempuan,
sedangkan ibu kandungnya meneruskan tradisi rakyat, di mana laki-laki dan perempuan
sama-sama bekerja di sawah dan di rumah untuk mempertahankan keselamatan keluarga
dan rumah tangga.
Dalam tradisi yang ada saat itu, perempuan di larang keras keluar rumah, atau ke
tempat lain. Bersama kakaknya ia masuk sekolah di Sekolah Rendah Belanda, satu-
satunya sekolah di Jepara. di sekolah Kartini melihat diskriminasi yang dipertontonkan
pihak sekolah. Ketika anak-anak dibariskan di depan kelas, mereka dipanggil menurut
kulitnya, putih, sawo mateng, coklat, juga kedudukan orang tuanya dalam kepegawaian
dan susunan sosial.
“ Dan Selalu menjadi Maksudku untuk mengangkat suara keras-keras, karena hanya
publikasi saja yang dapat membawakan perbaikan-perbaikan yang kita harapkan atas
keadaan yang begitu membutuhkan perbaikan itu….”
c. Menghimpun dongeng dan nyanyian tradisional
Di saat dunia pribumi belum mempunyai perhatian terhadap dongeng dan
nyanyian tradisional, Kartini telah berinisiatif menghimpun dogengan-dongengan rakyat,
ia menuliskan hal itu dalam suratnya yang dikirim tertanggal 20 agustus 1902, ia
mengatakan:
“sebagai pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-
citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami.”
e. Batik, Seni Pahat, Dan Pandai Emas Dan Perak Sebagai Seni Rakyat
Seni batik adalah seni yang telah dia pelajari sejak usia 12 tahun dari seorang
pekerja kabupaten bernama embok Dullah. Pada setiap acara penting, Kartini dan
saudara-saudaranya mengenakan batik buatan sendiri untuk membanggakan keunggulan
seni rakyat pribumi. Di usianya yang ke 19 tahun, Ia telah menulis buku dalam bahasa
belanda tentang proses pembuatan batik berjudul Handschrift Jepara. Buku ini ditulis
ketika di Den Haag, Nederland tahun 1998 di adakan pameran Pameran Nasional untuk
Karya Wanita untuk stand yang bernama jawa.
“Duh betapa manis terasa di hati, disebabkan sekarang orang mulai mengenal dan
menghargai hasil-hasil kesenian negeri kami,……kami bangga dengan rakyat kami, yang
begitu sedikit dikenal …Hore! Demi seni dan tangan kerajinan Pribumi. Dengan para
pengerajin itu menghadapi hari depan lebih indah.”
Kedua, Melindungi kepentingan para pengerajin dari perusakan-perusakan yang
dilakukan tanpa sadar atas seni rakyat. Dalam tulisannya, “ Ada terjadi perusakan-
perusakan di dalam industry seni Jakarta, karena putrid-putri para amtenir tinggi Pribumi
terus menerus mendorong para pengukir itu bekerja menurut model dan motip eropa”
usaha kartini mempertahankan identitas budaya lokal di saat perempuan Pribumi lain
tidak memikirkan budayanya akan hilang di tengah cengkarama penjajah.
Kartini adalah Maecenas, pelindung dan pengembang seni ukir Jepara, karena
usaha-usahnya yang tak kenal lelah dan tak mengharapkan untung, telah menghidupkan,
bahkan mengembangkan seni rakyat yang hampir punah. Kartini wafat tanggal 17
September 1904, tiga hari setelah melahirkan putranya.
Sebelum pertemuannya dengan KH.Saleh Darat, RA. rtini sangat resah karena-
sebagai seorang muslim- tidak mampu memahami Alqur’an dan sangat merindukan kitab
tafsir Alqur’an dalam bahasa Jawa. Keresahannya pernah diungkapkan kepada
sahabatnya, Zeehandelaar, melalui surat yang tertanggal 18 Agustus 1899. Di dalamnya
Kartini, mengatakan:
“Karena Alqur’an terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke bahasa manapun. Di sini
tiada seorang pun tahu bahasa Arab. Orang di sini tiada seorang pun tahu bahasa Arab.
0rang di sini diajar membaca Alqur’an, tetapi yang dibacanya tiada dimengerti”
Pertemuannya dengan KH. Saleh Darat terjadi ketika mengikuti sebuah pengajian
di Pendopo Kabupaten Demak pada tahun 1901. Kegembiraan atas pemahaman yang
didapatkan tentang Alqur’an pernah ditulis dalam surat kepada C.E. Abendanon:
“Alangkah bodohnya kami, kami tiada tahu bahwa sepanjang hidup kami ada gunung
kekayaan di samping kami”
Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan
Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27
Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
“Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang
terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu
sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat
ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-
kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau
orang Jawa kebarat-baratan.”
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis;
Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi
sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain
memandang Islam sebagai agama disukai.
Sejak kecil Ki Hadjar Dewantara sudah di didik dalam suasana religius dan dilatih
untuk mendalami soal-soal kesasteraan dan kesenian Jawa. Sejak kecil pula dia dilatih
untuk hidup sederhana. Keterbatasan materil yang dialami keluarganya, tidak
menyurutkan semangat belajarnya. Meskipun ia hanya masuk ke Sekolah Dasar Belanda
III (ELS), ia tetap bersemangat menuntut ilmu. Ketika masih duduk di bangku Sekolah
Dasar, kehidupan Ki Hadjar Dewantara tidak berbeda jauh dari kehidupan anak-anak
lainnya. Dia juga sering berkelahi dengan anak-anak sekolah dari keturunan Ambon dan
Ondo Belanda. Ia terpaksa berkelahi dengan rekan-rekan seperjuangannya itu karena
mereka menghina dirinya.
Setelah Tamat Sekolah Dasar III Belanda pada tahun 1904, Ki Hadjar mengalami
kebingungan untuk meneruskan sekolahnya. Ia tidak hanya bingung karena masalah siapa
yang membiayai sekolahnya, tapi juga kemana ia harus meneruskan sekolahnya.
Maklum, keluarganya tidak cukup berada dibandingkan kerabat Pakualaman yang lain.
Selain itu, ayah Ki Hadjar yang cacat netra sejak lahir juga merupakan suatu alasan
tersendiri bagi masalah pendidikannya. Ki Hadjar memang sempat masuk sekolah guru di
Yogyakarta, tapi tidak sampai tamat. Semasanya menempuh sekolah guru, datanglah
tawaran sekolah (beasiswa) untuk menjadi dokter jawa dari dokter Wahidin Sudiro
Husodo. Kala itu dokter Wahidin sengaja bertandang ke Pakualaman. Ia menanyakan
siapa diantara putra-putra yang mau masuk sekolah dokter jawa. Kesempatan itu dengan
segera diterima Ki Hadjar.
Ki Hadjar menempuh sekolah dokter jawa (STOVIA) selama kurang lebih lima
tahun (1905-1910). Namun, ia tidak berhasil menamatkan sekolahnya lantaran sakit
selama empat bulan. Selama sakit Ki Hadjar tentu tidak dapat belajar dengan baik
sehingga ia tidak naik kelas. Akibatnya, beasiswanya dicabut. Ia meninggalkan
sekolahnya dengan terpaksa lantaran tidak mampu membiayayinya. Kepandaiannya
dalam bahasa Belanda mendorong Direktur Sekolahnya mengeluarkan surat istimewa
yang menjelaskan bakatnya itu.
Dalam masa penjajahan Belanda (dan juga Jepang), salah satu bidang kehidupan
yang terabaikan adalah pendidikan. Rekayasa politik yang tampak pada fakta terbatasnya
jumlah sekolah dan sarana pendidikan bagi bangsa Indonesia pada Dalam masa
penjajahan Belanda (dan juga Jepang), salah satu bidang kehidupan yang terabaikan
adalah pendidikan. Rekayasa politik yang tampak pada fakta terbatasnya jumlah sekolah
dan sarana pendidikan bagi bangsa Indonesia pada.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah
kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar
pada 1 Oktober 1932. Salah satu pasal dalam undang-undang tersebut dipandang Ki
Hadjar Dewantara mengancam eksistensi sekolah-sekolah swasta sebab berbunyi bahwa
Pemerintah Kolonial mempunyai kekuasaan penuh untuk mengurus ujud dan isi sekolah
swasta. Itu berarti seluruh aktivitas sekolah swasta dan instrumen-instrumennya diatur
oleh Pemerintah Belanda. Ki Hadjar Dewantara tentu merasa keberatan terhadap
kebijakan ini sebab membatasi secara sepihak setiap aktivitas sekolah swasta. Kebijakan
tersebut bahkan dapat secara sepihak pula menghentikan seluruh aktivitas sekolah swasta
atau memutuskan kelangsungannya. Artinya, sekolah swasta selain menderita karena
tidak mendapatkan subsidi dari Pemerintah Kolonial, juga dapat gulung tikar.
Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gajah Mada pada 19 Desember 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar
Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta
dan dimakamkan di sana. Pihak penerus perguruan Taman Siswa, mendirikan Museum
Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta. Tujuannya untuk melestarikan nilai-nilai semangat
perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-
karya Ki Hadjar sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan
berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah
penting serta data suratmenyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik,
budayawan dan seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan
Badan Arsip Nasional.
Pertama, manusia Indonesia yang berbudi pekerti adalah yang memiliki kekuatan
batin dan berkarakter. Artinya, pendidikan diarahkan untuk meningkatkan citra manusia
di Indonesia menjadi berpendirian teguh untuk berpihak pada nilai-nilai kebenaran.
Dalam tataran praksis kehidupan, manusia di Indonesia menyadari tanggungjawabnya
untuk melakukan apa yang diketahuinya sebagai kebenaran. Ekspersi kebenaran itu
terpancarkan secara indah dalam dan melalui tutur kata, sikap, dan perbuatannya terhadap
lingkungan alam, dirinya sendiri dan sesamanya manusia.
Kedua, manusia di Indonesia yang maju pikirannya adalah yang cerdas kognisi
(tahu banyak dan banyak tahu) dan kecerdasannya itu membebaskan dirinya dari
kebodohan dan pembodohan dalam berbagai jenis dan bentuknya (misalnya: karena
rekayasa penjajah berupa indoktrinasi). Istilah maju dalam pikiran ini menunjukkan
meningkatnya kecerdasan dan kepintaran.
Ketiga, manusia di Indonesia yang mengalami kemajuan pada tataran fisik atau
tubuh adalah yang tidak semata sehat secara jasmani, tapi lebih-lebih memiliki
pengetahuan yang benar tentang fungsi-fungsi tubuhnya dan memahami fungsi-fungsi itu
untuk memerdekakan dirinya dari segala dorongan ke arah tindakan kejahatan. Manusia
yang maju dalam aspek tubuh adalah yang mampu mengendalikan dorongan-doroangan
tuntutan tubuh. Dengan dan melalui tubuh yang maju itu pula, pikiran yang maju dan
budi pekerti yang maju memperoleh dukungan untuk mendeklarasi kemerdekaan diri dari
segala bentuk penindasan ego diri yang pongah dan serakah di satu sisi dan memiliki
kemampuan untuk menegaskan eksistensi diri secara beradab sebagai manusia yang
merdeka (secara jasmani dan ruhani) di sisi lain.
Kedua, ngandel, kandel, kendel dan bandel. Ngandel adalah istilah dalam bahasa
Jawa yang artinya “berpendirian tegak”. Pendidikan itu harus menghantar orang pada
kondisi diri yang ngandel (berpendirian tegak/teguh). Orang yang berpendirian tegak
adalah yang berprinsip dalam hidup. Kendel adalah istilah yang menunjukkan
keberanian. Pendidikan membentuk seseorang untuk menjadi pribadi yang berani,
berwibawa dan ksatria. Orang yang berpendidikan adalah orang yang berani menegakkan
kebenaran dan keadilan, matang dan dewasa dalam menghadapi segala cobaan.
Sementara istilah bandel menunjukkan bahwa orang yang terdidik adalah yang “tahan
uji”. Segala cobaan hidup dan dalam segala situasi hidup dihadapinya dengan sikap
tawakal, tidak lekas ketakutan dan hilang nyali.
Ketiga, neng, ning, nung dan nang. Artinya bahwa pendidikan pada tataran
terdalam bercorak religius. Pendidikan itu menciptakan kesenangan perasaan (neng),
keheningan (ning), ketenangan (nang), dan renungan (nung). Dalam dan melalui
pindidikan, seseorang bisa mengalami kesucian pikiran dan ketenangan batin. Menurut
Ki Hadjar, kekuasaan akan datang manakala seseorang sudah mengalami kesucian
pikiran, ketenangan batin dan hati.
d. Asas-Asas Pendidikan
Tujuan ketiga ajaran (fatwa) pendidikan Ki Hadjar di atas berkaitan erat dengan
upaya membentuk pribadi peserta didik menjadi manusia yang manusiawi. Citra manusia
manusiawi dalam konteks dan perspektif pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah
kedewasaan, kearifan, dan kesehatan secara jasmani dan rohani. Pendidikan terlaksana
secara koheren dalam ranah kognitif, afektif, spiritual, sosial dan psikologis. Kedewasaan
peserta didik dalam ranah-ranah tersebut merupakan jaminan bagi aspek
psikomotoriknya, menjadi modal bagi peserta didik untuk siap menjalani kehidupan
bermasyarakat secara bertanggungjawab. Terkait dengan upaya mengimplementasikan
ketiga fatwa tentang pendidikan itu, Ki Hadjar Dewantara mengajukan lima asas
pendidikan yang dikenal dengan sebutan pancadharma (kodrat alam, kemerdekaan,
kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan). Ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara
mengenai pendidikan dapatlah kita pandang sebagai terapan operatif dari kelima asas
tersebut. Berikut adalah penalaran atas kelima asas tersebut.
Pertama, asas kodrat alam. Asas ini mengandung arti bahwa hakikat manusia
adalah bagian dari alam semesta.47 Asas ini juga menegaskan bahwa setiap pribadi
peserta didik di satu sisi tunduk pada hukum alam, tapi di sisi lain dikaruniai akal budi
yang potensial baginya untuk mengelola kehidupannya. Berdasarkan konsep asas kodrat
alam ini, Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa pelaksanaan pendidikan berasaskan
akal-pikiran manusia yang berkembang dan dapat dikembangkan. Secara kodrati, akal-
pikiran manusia itu dapat berkembang. Namun, sesuai dengan kodrat alam juga akal
pikiran manusia itu dapat dikembangkan melalui perencanaan yang disengaja sedemikian
rupa sistematik. Pengembangan kemampuan berpikir manusia secara disengaja itulah
yang dipahami dan dimengerti sebagai “pendidikan”. Sesuai dengan kodrat alam,
pendidikan adalah tindakan yang disengaja dan direncanakan dalam rangka
mengembangkan potensi peserta didik yang dibawa sejak lahir.
Ketiga, asas kebudayaan. Asas ini bersandar pada keyakinan kodrati bahwa
manusia adalah makhluk berbudaya. Artinya, manusia mengalami dinamika evolutif
dalam khasanah pembentukan diri menjadi pribadi yang berbudi pekerti. Dalam konteks
itu pula, pendidikan perlu dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai budaya sebab kebudayaan
merupakan cirikhas manusia.51 Bagi Ki Hadjar, kemanusiaan bukanlah suatu pemikiran
yang statis. Kemanusiaan merupakan suatu konsep yang dinamis, evolutif, organis.
Dalam kaitan ini, Ki Hadjar Dewantara memahami kebudayaan selain sebagai buah budi
manusia, juga sebagai kemenangan atau hasil perjuangan hidup manusia. Namun selaras
dengan keyakinan atas manusia sebagai makhluk dinamis, kebudayaan juga demikian.
Kebudayaan selalu berkembang seirama dengan perkembangan dan kemajuan hidup
manusia. Maka, menurut Ki Hadjar Dewantara, kebudayaan itu tidak pernah mempunyai
bentuk yang abadi, tetapi terus-menerus berganti-ganti wujudnya; ini disebabkan karena
berganti-gantinya alam dan zaman.
Paksaan dan hukuman dalam proses pendidikan yang kadangkala tidak setimpal
dengan kesalahan anak didik bukannya memperkuat mentalitas anak-anak, melainkan
memperlemahnya di kemudian hari. Anak tidak menjadi pribadi yang mandiri, tidak
memiliki inisiatif, tidak kreatif. Dalam kehidupan nyata ia tidak dapat bekerja kalau tidak
dipaksa dan diperintah. Jadi, produk pendidikan barat, di hadapan Ki Hadjar, adalah
manusia-manusia pasif yang dangkal kesadarannya untuk berkreasi secara mandiri.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Budi Utomo sebagai organisasi awal pada masa pergerakan Indonesia yang didirikan oleh
siswa STOVIA. Budi Utomo bebas dari prasangka keagamaan, tetapi lebih untuk meningkatkan
pendidikan dan kebudayaan. Budi Utomo mempunyai fungsi yang istimewa karena bisa menjadi
jembatan antara para pejabat kolonial yang maju dengan kaum terpelajar Jawa. Hal ini
merupakan sumbangan yang tidak ternilai bagi masa depan Indonesia. Pendidikan barat sama
sekali tidak mempendulikan orang jawa yang bukan priyayi, sekolah desa baru berdiri pada
tahun 1907 dan konsep pendidikan formal sangat asing bagi kaum tani. Kaum terpelajar sadar
bahwa persatuan sangat penting, bukan sekedar untuk menjamin keberhasilan mereka sendiri
tetapi juga untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyatakat mereka sendiri. Inspirasi dan
bimbingan yang di kampanyekan oleh dokter wahidin membuat salah satu faktor penting
terbentuknya Budi utomo.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Hartutik, H. (2015). RA Kartini: Emansipator Indonesia Awal Abad 20. SEUNEUBOK LADA: Jurnal
ilmu-ilmu Sejarah, Sosial, Budaya dan Kependidikan, 2(1), 86-96.
Ichsan, M., Maulia, S. T., & Hendra, H. (2023). BUDI UTOMO: PEMANTIK PERGERAKAN
NASIONAL. Jurnal EduSosial, 3(1), 96-106.
Marihandono, Djoko (ed.), (2017). Perjuangan Ki Hajar Dewantara: Dari Politik ke Pendidikan.
Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional.