Anda di halaman 1dari 30

PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA PASCA

REFORMASI HINGGA ERA DISRUPSI DAN MERDEKA


BELAJAR

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mata Kuliah Sejarah Sosial, Pemikiran,


dan Kelembagaan Pendidikan Islam

Dosen Pengampu: Dr. Bunyanul Arifin, M.Pd.I

Oleh:
RESNA RAHMADANI
NIM. 2286130029

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCA SARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG
2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Swt. Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah Sejarah Sosial, Pemikiran, dan Kelembagaan Pendidikan
Islam tentang Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Reformasi hingga Era
Disrupsi dan Merdeka Belajar.

Makalah Sejarah Sosial, Pemikiran, dan Kelembagaan Pendidikan Islam ini


telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar dalam pembuatan makalah ini. Untuk ini saya
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi
dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan, baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, dengan segala kekurangan dalam makalah ini saya menerima saran dan kritik
yang membangun dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini
kedepannya.

Akhir kata saya berharap semoga makalah Sejarah Sosial, Pemikiran, dan
Kelembagaan Pendidikan Islam tentang Pendidikan Islam di Indonesia Pasca
Reformasi hingga Era Disrupsi dan Merdeka Belajar dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca, masyarakat, khususnya saya sebagai penulis.

Tangerang, 01 Desember 2023

Resna Rahmadani
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
BAB I ............................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ................................................................................................... 4
B. Perumusan Masalah ........................................................................................... 6
C. Tujuan Masalah.................................................................................................. 6
BAB II.............................................................................................................................. 7
A. Pendidikan Islam Pasca Reformasi .................................................................. 7
B. Pendidikan Islam Era Disrupsi ....................................................................... 14
C. Pendidikan Agama Islam Merdeka Belajar................................................... 19
BAB III ........................................................................................................................... iv
PENUTUP ...................................................................................................................... iv
A. Kesimpulan ........................................................................................................ iv
B. Saran .................................................................................................................... v
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... v

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu aktivitas untuk mengembangkan
seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan
kata lain pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah namun juga
mencakup dalam lingkungan masyarakat, karena sejatinya pendidikan
adalah belajar dimana saja berada. Secara umum pendidikan dapat
diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai
dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Oleh karena itu,
bagaimana pun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya
terjadi atau berlangsungnya suatu proses pendidikan. Melalui hal itu,
kerap kali dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat
manusia. Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia
melestarikan hidupnya. Dengan demikian perkembangan manusia akan
selaras dengan perkembangan dari pendidikan itu sendiri.
Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat lepas dari
perkembangan sejarah bangsa Indonesia dari masa penjajahan hingga
masa sekarang. Lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren,
Madrasah, Surau, dan semacamnya mempunyai andil besar terhadap
proses pemerdekaan bangsa dari belenggu penjajah. Lembaga-lembaga
tersebut menjadi tempat dan simbol perlawanan terhadap penjajah.
Hingga masa kemerdekaan, orde lama, orde baru, era reformasi,
disrupsi hingga sekarang lembaga pendidikan Islam tetap memberikan
peran signifikan terhadap perkembangan bangsa, mencerdaskan
kehidupan ummat, dan memberikan dasar-dasar pendidikan moral-
keagamaan bagi kehidupan hidup berbangsa dan bernegara. Begitu besar
4
5

dan signifikannya pendidikan Islam bagi eksistensi bangsa Indonesia,


akan tetapi banyak kalangan menilai bahwa kebijakan-kebijakan
pemerintah terhadap pendidikan Islam tidak sebanding dengan besarnya
peran dan jasanya bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Landasan secara istilah adalah pondasi. Menurut Rasid dengan kata
lain landasan merupakan tumpuan, atau acuan yang memiliki makna.
Landasan layaknya seperti pesawat terbang yang memiliki landasan
sebagai tempat untuk bisa mendarat dan lepas landas dengan baik.
Landasan historis pendidikan merupakan pondasi sejarah tentang
bagaimana Pendidikan dilakukan masa demi masa, yang dapat dijadikan
sebagai acuan atau dasar dalam proses pengembangan proses Pendidikan.
Sejarah dapat kita pelajari dan kembangkan sesuai kebutuhan di masa kini
dan masa mendatang. Indonesia mengalami sejarah panjang perjuangan
untuk mendapatkan kemerdekaan, dan salah satunya adalah merdeka
untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi seluruh rakyatnya. Para
pahlawan perjuangan dan Pendidikan bangsa patut kita hargai akan jasa-
jasanya melalui penghargaan kita untuk tetap menjaga keutuhan NKRI.
Pendidikan merupakan sakah satu asset penting, garda terdepan untuk
mencetak generasi penerus bangsa.
Masyarakat Indonesia dari masa ke masa mengharapkan pendidikan
yang memiliki tujuan untuk dapat mengembangkan potensi individu
peserta didik, dalam arti dapat memberikan kesempatan kepada mereka
untuk bisa mengembangkan potensi dan kemampuan mereka secara alami,
tidak perlu dan dipaksakan untuk diarahkan demi kepentingan kelompok
dan golongan tertentu. Pada dasarnya pendidikan adalah suatu pelayanan
yang diberikan oleh pendidik melalui satuan pendidikan dalam hal ini
pemerintah untuk bisa memberikan pelayanan yang baik yang dapat
mengembangkan segala potensi yang dimiliki oleh anak-anak dengan
memberikanbantuan dan layanan dengan menyiapkan segala sesuatunya
6

yang berkiatan dengan proses Pendidikan. Dengan demikian, mereka


berharap hasil dari proses pendidikan yang dilakukan dapat menghasilkan
para ilmuwan, para inovator, bahkan menghasilkan banyak orang yang
peduli dengan lingkungan serta mampu memperbaikinya, dalam usaha
untuk meningkatkan peradaban manusia.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana Pendidikan Islam Pasca Reformasi?
2. Bagaimana Pendidikan Islam Era Disrupsi?
3. Bagaimana Pendidikan Islam Merdeka Belajar?

C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana Pendidikan Islam Pasca Reformasi
2. Untuk mengetahui bagaimana Pendidikan Islam Era Disrupsi
3. Untuk mengetahui bagaimana Pendidikan Islam Merdeka Belajar
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA PASCA REFORMASI HINGGA
ERA DISRUPSI DAN MERDEKA BELAJAR

A. Pendidikan Islam Pasca Reformasi


Pada awal reformasi, Sistem Pendidikan Nasional masih diatur oleh
UUSPN nomor 2 tahun 1989 yang menurut banyak kalangan sudah tidak
sesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah,
Pasal 11 yang menyatakan tentang "Daerah berkewajiban menangani
pendidikan". Atas dasar kritikan itulah, disusun dan disahkan Undang-
undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Proses
pergantian UUSPN nomor 2 tahun 1989 ke UUSPN nomor 20 tahun 2003
pada saat itu (awal tahun 2003) menuai pro dan kontra. Catatan media
menunjukkan bahwa sepanjang perdebatan rancangan UUSPN nomor 20
tahun 2003 hingga pengesahannya pada tanggal 8 juli 2003 terdapat
sepuluh materi yang diperdebatkan yaitu, pertama masalah desentralisasi
dan kerancauan tanggungjawab perumusan UU Sisdiknas. Kedua,
ketidakjelasan tanggungjawab pemerintah daerah dan pusat, ketiga
tanggungan biaya pendidikan antara pemerintah dan masyarakat, keempat
pendidikan formal dan non-formal, kelima sentralitas agama, keenam UU
Sisdiknas melahirkan watak inlander dan orientasi inward looking.
Ketujuh, pembebanan sumberdaya pada masyarakat, kedelapan adanya
dominasi guru, kesembilan asumsi liberalisasi pendidikan, dan kesepuluh
etatisme atau campur tangan pemerintah yang berlebih-lebihan.1
Kesepuluh persoalan tersebut, yang menjadi perdebatan hangat dan
menuai pro-kontra adalah persoalan agama atau pendidkan agama, pasal

1
Darmaningtiyas. (2004). Membongkar Ideologi Pendidikan, Jelajah Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Resolusi Press.
7
8

3 dan 4, terutama pasal 12 ayat 1 (a) yang berbunyi “setiap peserta didik
pada setiap lembaga/satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan
agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik
agama yang seagama”. Karena itu, Majelis Nasional Pendidikan Katholik
(MNPK) dan Majelis Pendidikan Kristen (MPK) mengajukan keberatan
atas pasal tersebut dengan alasan bahwa pasal dan ayat tersebut
membelenggu gerakan kemandirian sekolah-sekolah swasta yang
realitanya sangat “plural”. Selain itu, mereka beranggapan bahwa undang-
undang tersebut terlalu menekankan pendidikan agama di sekolah
sekolah, sehingga keberadaan lembaga pendidikan kejuruan, etika dan
etos kerja dilupakan.
Terlepas dari pro-kontra tersebut, akhirnya UUSPN nomor 20 tahun
2003 disahkan pada tanggal 8 Juli 2003. Undang-undang ini dinilai bagi
penggerak pendidikan Islam sebagai titik awal kebangkitan pendidikan
Islam. Secara eksplisit, UU ini menyebutkan peran dan kedudukan
pendidikan Islam serta menjadikan posisi pendidikan agama (termasuk
pendidikan Islam) sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional.
Hal ini menunjukkan adanya pengakuan bangsa terhadap sumbangan
besar pendidikan Islam (agama) dalam upaya mendidik dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Selanjutnya, sebagaimana amanat UUSPN nomor 20 Tahun 2003
Pasal 12 ayat (4), Pasal 30 ayat (5), dan Pasal 37 ayat (3) tentang perlunya
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan, maka ditetapkanlah PP nomor 55 Tahun 2007
tentang pendidikan agama dan keagamaan yang berfungsi sebagai
panduan teknis dalam mengatur pelaksanaan pendidikan agama dan
keagamaan. Seperti dalam pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa “Pendidikan
agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk
sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan
9

ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata


pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.”
Kemudian pasal 3 ayat 1 menjelaskan bahwa “Setiap satuan pendidikan
pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan
pendidikan agama.” Adanya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
nomor 20 tahun 2003 dan di lanjutkan PP no 55 tahun 2007 menjadikan
pendidikan Islam semakin diakui dan turut berperan dalam peningkatan
kualitas bangsa, selain itu pertumbuhan dan perkembangan pendidikan
Islam akan lebih baik dibanding dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang
menjabat pada saat itu menjelaskan bahwa "Sistem zonasi merupakan
landasan pokok penataan reformasi sekolah secara keseluruhan mulai dari
Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) (Tirto,
n.d.)". Muhadjir Effendy menegaskan bahwa kebijakan zonasi adalah
kebijakan yang utuh dan terintegrasi. Penerimaan peserta didik baru
(PPDB) hanyalah salah satu aspek saja, namun kebijakan ini memiliki
kaitan dengan guru dan tenaga kependidikan, sekolah, penguatan
pendidikan karakter, bantuan-bantuan pendidikan, serta anggaran
pendidikan. Sistem zonasi PPDB merupakan kebijakan yang telah
berjalan sejak tahun 2017, yang dimaksudkan untuk pemerataan kualitas
Pendidikan, yang diharapkan dapat menghilangkan dikotomi sekolah
unggulan dan non-unggulan. Sekretaris jendral (sekjen) Kemendikbud,
Didik Suhardi membeberkan manfaat zonasi Pendidikan, antara lain:
1. Untuk mempermudah redistribusi guru
2. Akan menjamin pemerataan akses Pendidikan di seluruh wilayah
Indonesia
3. Dapat mendekatkan lingkungan sekolah dengan peserta didik
4. Menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi di sekolah negeri
10

5. System zonasi diharapkan mampu membantu pemerintah dalam


memberikan bantuan yang lebih tepat sasaran.
Pelaksanaan PPDB mengikuti aturan baru yakni paraturan
Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018, beberapa hal yang perlu
diperhatikan mengenai sistem zonasi dalam PPDB 2018 diantaranya:
1. Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda) wajib
menerima calon peserta didik berdomisili pada radius zona terdekat
dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90% dari total jumlah
keseluruhan peserta didik yang diterima.
2. Domisili calon peserta didik yang termasuk dalam zonasi sekolah
didasarkan pada alamat kartu keluarga (KK) yang diterbitkan paling
lambat 6 (enam) bulan sebelum pelaksanaan PPDB.
3. Radius zona terdekat dalam sistem zonasi ditetapkan oleh pemda
sesuai dengan kondisi di daerah tersebut dengan memperhatikan
ketersediaan anak usia sekolah di daerah tersebut; dan jumlah
ketersediaan daya tampung sekolah.
4. Penetapan radius zona pada sistem zonasi ditentukan oleh pemda
dengan melibatkan musyawarah/kelompok kerja kepala sekolah.
5. Bagi sekolah yang berada di daerah perbatasan
provinsi/kabupaten/kota, ketentuan persentase penerimaan siswa dan
radius zona terdekat dapat ditetapkan melalui kesepakatan tertulis
antar pemerintah daerah yang saling berbatasan.
6. Calon siswa di luar zonasi dapat diterima melalui beberapa cara
yakni:
1) Melalui jalur prestasi dengan kuota paling banyak 5% (lima
persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.
2) Alasan perpindahan domisili orangtua/wali atau alasan terjadi
bencana alam/sosial dengan paling banyak 5% (lima persen) dari
total keseluruhan siswa yang diterima.
11

7. Sistem zonasi menjadi prioritas utama atau terpenting dalam PPDB


jenjang SMP dan SMA. Setelah seleksi zonasi baru kemudian
dipertimbangkan hasil seleksi ujian tingkat SD atau hasil ujian
nasional SMP untuk tingkat SMA.
8. Untuk jenjang SD, sistem zonasi menjadi pertimbangan seleksi tahap
kedua setelah faktor minimum usia masuk sekolah sudah terpenuhi.
Sedangkan bagi SMK sama sekali tidak terikat mengikuti sistem
zonasi.2

Bersamaan dengan kebijakan sistem zonasi, terdapat kebijakan full


dah school. Full day school berasal dari bahasa Inggris, yaitu full artinya
penuh, day artinya hari, sedangkan school artinya sekolah. Pengertian full
day school adalah sekolah sepanjang hari atau proses belajar mengajar
yang diberlakukan dari pagi hari sampai sore hari, mulai pukul 06.45-
15.30 WIB, dengan durasi istirahat setiap dua jam sekali. Adapun
demikian, sekolah dapat mengatur jadwal pelajaran dengan leluasa,
disesuaikan dengan bobot mata pelajaran dan ditambah dengan
pendalaman materi. Hal yang diutamakan dalam full day school adalah
pengaturan jadwal mata pelajaran dan pendalaman.3 Sulistyaningsih
menyatakan bahwa “sekolah bertipe full day ini berlangsung hampir sehari
penuh lamanya, yakni dari pukul 08.00 pagi hingga 15.00 sore”. Sistem
full day school adalah komponen-komponen yang disusun dengan teratur
dan baik untuk menunjang proses pendewasaan manusia (peserta didik)
melalui upaya pengajaran dan pelatihan dengan waktu di sekolah yang
lebih panjang atau lama dibandingkan dengan sekolah-sekolah pada

2
Enggar, Y. (n.d.). Retrieved from https://edukasi.kompas.com/read/201
8/06/05/16092291/ini-aturan-mengenai-sistem-zonasi
3
Baharuddin. (2010). Pendidikan dan Psikologi perkembangan. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
12

umumnya.4 Berdasarkan paparan pendapat tersebut, maka penulis


menyimpulkan bahwa full day school adalah sekolah yang
menyelenggarakan pembelajaran sehari penuh dari pagi hingga sore
dengan sebagian waktunya digunakan untuk program pelajaran yang
suasananya informal serta menyenangkan bagi siswa. Sekolah dapat
mengatur jadwal pelajaran dengan bebas sesuai dengan bobot mata
pelajaran yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan full day school merupakan salah satu alternatif untuk
mengatasi berbagai masalah pendidikan, baik dalam prestasi maupun
dalam hal moral atau akhlak. Dengan mengikuti full day school, orang tua
dapat mencegah dan menetralisir kemungkinan dari kegiatan-kegiatan
anak yang menjerumus pada kegiatan yang negatif. Salah satu alasan para
orang tua memilih dan memasukkan anaknya ke full day school adalah
dari segi edukasi siswa.5 Banyak alasan mengapa full day school menjadi
alternative pilihan oran tua, diantaranya:
a. Meningkatnya jumlah orangtua yang bekerja (parent-career) yang
kurang memberikan perhatian kepada anaknya, terutama yang
berhubungan dengan aktivitas anak setelah pulang dari sekolah.
b. Perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat, dari
masyarakat agraris menuju ke masyarakat industri. Perubahan
tersebut jelas berpengaruh pada pola pikir dan cara pandang
masyarakat. Kemajuan sains dan teknologi yang begitu cepat
perkembangannya, terutama teknologi komunikasi dan informasi
lingkungan kehidupan perkotaan yang menjurus kearah
individualisme.

4
Sulistyaningsih, W. (2008). Full Day School dan Optimalisasi Perkembangan Anak.
Yogyakarta: Paradigma Indonesia.
5
Baharuddin. (2010). Pendidikan dan Psikologi perkembangan. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
13

c. Perubahan sosial budaya memengaruhi pola pikir dan cara


pandang masyarakat. Salah satu ciri masyarakat industri adalah
mengukur keberhasilan dengan materi. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap pola kehidupan masyarakat yang akhirnya berdampak
pada perubahan peran. Peran ibu yang dahulu hanya sebagai ibu
rumah tangga, dengan tugas utamanya mendidik anak, mulai
bergeser. Peran ibu di zaman sekarang tidak hanya sebatas sebagai
ibu rumah tangga, namun seorang ibu juga dituntut untuk dapat
berkarier di luar rumah.
d. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu cepat sehingga
jika tidak dicermati, maka kita akan menjadi korban, terutama
korban teknologi komunikasi. Semakin canggihnya perkembangan
di dunia komunikasi, dunia seolah-olah sudah tanpa batas
(borderless world), dengan banyaknya program televisi serta
menjamurnya stasiun televisi membuat anak-anak lebih enjoy
untuk duduk di depan televisi dan bermain play station (PS).
Adanya perubahan-perubahan di atas merupakan suatu sinyal
penting untuk dicarikan alternatif pemecahannya. Melihat kondisi
tersebut, akhirnya para praktisi pendidikan berpikir keras untuk
merumuskan suatu paradigma baru dalam dunia pendidikan.

Full day school selain bertujuan mengembangkan manajemen mutu


pendidikan yang paling utama adalah full day school bertujuan sebagai
salah satu upaya pembinaan akidah dan akhlak siswa dan menanamkan
nilai-nilai positif. Full day school juga memberikan dasar yang kuat dalam
belajar pada segala aspek yaitu perkembangan intelektual, fisik, sosial dan
emosional. Dalam sistem full day school, sekolah memiliki waktu yang
lebih panjang dibandingkan dengan sekolah dasar konvensional pada
umumnya. Sebagaimana Seli mengatakan bahwa “waktu untuk mendidik
14

siswa dalam sistem full day school lebih banyak sehingga tidak hanya
teori, tetapi praktek mendapatkan proporsi waktu yang lebih. Sehingga
pendidikan tidak hanya teori mineed tetapi aplikasi ilmu”. Oleh karena itu,
agar semua terakomodir, maka kurikulum program full day school
didesain untuk menjangkau masing-masing bagian dari perkembangan
siswa.

B. Pendidikan Islam Era Disrupsi


Masalah fundamental pendidikan Indonesia salah satunya adalah
rendahnya kualitas pendidikan. Hal ini tercermin dari tingginya
kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah. Terdapat dua kriteria
standar sebagai indikator pembangunan pendidikan nasional, yaitu ‘di atas
standar’ dan ‘di bawah standar’ nasional.6 Kualitas pendidikan di suatu
instansi pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya
adalah angka putus sekolah, tingkat kelayakan tenaga pendidik, serta
fasilitas yang meliputi layak tidaknya sarana dan prasarana di sekolah.
Kesenjangan kualitas ini berwujud multidimensional. Berdasarkan
fenomena yang sedang berkembang, sedikitnya terdapat tiga faktor pokok,
yakni: Pertama, terdapat pereduksian makna dalam pendidikan, bahkan
mengalami penurunan menjadi sebatas hafalan dan terampil dalam
menjawab soal ujian (UN). Kedua, pendidikan terjerumus ke sistem
komersial, yaitu beralihnya pendidikan menjadi suatu komoditas
perdagangan dan dimanajemen layaknya industri yang condong terhadap
keuntungan.
Pendidikan Islam sebagai pondasi untuk membangun karakter
bangsa, mempunyai peran yang sangat berjasa di Indonesia, bahkan sudah
berlangsung sebelum kemerdekaan Indonesia. Penerapan pendidikan

6
Astuti Dwiningrum, Desentralisasi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pendidikan:
Suatu Kajian Teoritis Dan Empirik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm 99
15

agama Islam sejak lama sudah diadakan secara nonformal seperti forum
pengajian, majelis taklim dan pesantren-pesantren sampai saat ini.7
Pendidikan Islam juga tengah ditimpa beragam masalah. Pendidikan Islam
tidak bisa lepas dari pendidikan nasional karena pendidikan Islam
merupakan bagian dari pendidikan nasional, jika pendidikan nasional
dianggap telah gagal dalam mendidik, yang disebabkan karena berbagai
persoalan dan kasus yang terus berlarut-larut. Pendidikan Islam pun
demikian. Berbagai macam kegagalan dapat disebabkan karena saat ini,
pendidikan Islam sedang mengalami masalah baik dari dalam maupun dari
luar instansi pendidikan Islam.8
Ma’arif mengatakan pendidikan Islam saat ini, dalam keadaan yang
benar-benar memprihatinkan dan mengenaskan.9 Pendidikan Islam jauh
tertinggal dari pendidikan Barat. Pendidikan Islam tidak sanggup kembali
pada zaman keemasan yang mampu menjadi pusat peradaban Islam, baik
bidang budaya, seni atau pendidikan. Yang berlangsung saat ini justru
kebalikannya, pendidikan Islam saat ini mengikuti dan berkiblat pada
Barat.
Menjadi hal yang miris dan memalukan padahal konsep pendidikan
al-Qur’an sangat luas. Keberadaan pesantren, yang memainkan peran
penting dalam pengembangan masyarakat kurang maksimal. Saat ini,
antusiasme masyarakat untuk memasukan putra-putrinya ke pesantren
salaf telah menurun drastis, padahal dulu pesantren salaf sangat diminati
karena dirasa dapat membentuk budaya bangsa dan moral baik. Kecuali
pesantren modern yang mampu beradaptasi dengan perkembangan global.

7
Ahmad Arifin, Politik Pendidikan Islam Menelusuri Ideologi Dan Aktualisasi
Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi (Yogyakarta: Teras, 2010) hlm 105
8
Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif Akar Tradisi & Integrasi Keilmuan Pendidikan
Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011) hlm. 76.
9
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012),
hlm. 19
16

Pesimisme publik tentang pendidikan madrasah dan sekolah dapat


dijelaskan dengan adanya keprihatinan universal tentang kemampuan
lulusan untuk mengakses pekerjaan untuk mereka yang berketerampilan.10
Praktik pendidikan Islam masih mempertahankan warisan lama,
sehingga pengetahuan yang diperoleh adalah ilmu klasik. Sumber-sumber
yang disebutkan hanya mengacu buku kuning dan dianggap sebagai norma
dan primadona sebagai sumber inspirasi untuk menjawab semua masalah
kontemporer, yang kadang-kadang tidak terselesaikan dalam buku,
kemudian dipaksa untuk dicocokkan atau paksa. Umat Islam masih
disibukkan oleh romantisme masa lalu. Kemegahan Muslim masa lalu
sejauh ini masih mempengaruhi mentalitas Muslim. Mereka selalu bangga
dengan kemuliaan masa lalu, tetapi tidak menyadari bahwa justru
kebanggaan yang tertinggal. Akibatnya, kebanyakan dari mereka sangat
malas untuk melakukan upaya untuk memperbaharui dan dengan cepat
kehilangan dengan kemajuan sosial, politik dan teknologi dalam sains dan
teknologi.
Digitalisasi sekolah, menekankan pada konsep melakukannya sendiri
(do it yourself) dengan bekerja secara individu. Dikhawatirkan kondisi ini
akan mempengaruhi perubahan dimensi ruh seorang guru di era modern,
karena telah digantikan oleh teknologi/robot/ mesin.11 Rekonstruksi dan
reformasi pendidikan agama Islam diperlukan agar tidak dihancurkan oleh
perubahan zaman. Sejumlah hal dapat dilakukan, termasuk yang pertama
melakukan studi kritis dan menyeluruh, baik normatif maupun historis.12
Kedua, ada integrasi antara sains agama dan sains secara umum, yang

10
Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif Akar Tradisi & Integrasi Keilmuan Pendidikan
Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011) hlm 23
11
Neil Selwyn, Discourses of Digital ‘Disruption’ in Education: A Critical Analysis.”
Fifth International Roundtable on Discourse Analysis, City University, Hong Kong, 2013. Hlm.
23–25.
12
Abdul Khobir, “Pendidikan Agama Islam Di Era Globalisasi,” Edukasia Islamika 7,
no. 1 (2009). Hlm 115-132
17

ketiga adalah kebutuhan akan revolusi pembelajaran dalam pendidikan


agama Islam. Keempat, perlu merumuskan kembali dan mereformasi
materi pembelajaran, yang kelima membutuhkan transformasi dan
internalisasi nilai-nilai agama dalam subjek siswa dan keenam diperlukan
untuk pendidik yang berkualitas.
Munculnya Generasi Z adalah suatu kondisi yang harus diterima dan
dipersiapkan untuk menghadapinya, terutama untuk pendidikan agama
Islam. Karl Mannheim, dikutip oleh Hari Wibawanta (2016), mengutip
“Masalah generasi”, 1923: “perlakuan paling sistematis dan paling maju”
dan “Perlakuan teoritis mendasar dari generasi sebagai fenomena
sosiologis.”13 Menurut Mannheim “generasi adalah sekelompok individu
yang memiliki kesamaan dalam kelompok umur”. Generasi Z memiliki
karakteristik, fasih dalam teknologi, berinteraksi sosial sangat interaktif
melalui media sosial dengan semua kalangan, cenderung secara eksplisit
mentolerir perbedaan budaya, sangat tertarik pada lingkungan, dan
bergerak cepat dari satu pemikiran ke yang lain. Ketergantungan Z-student
pada teknologi didekati dengan antusiasme untuk membuat perubahan
menjadi pendidik IPA yang profesional, transformatif, inspiratif, inovatif,
dan cerdas komputer. PAI sebagai studi Islam monolitik harus dihentikan,
karena pembelajaran PAI tidak dapat mengabaikan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.14
Pendidikan Islam perlu mempertimbangkan paradigma spiritualitas
al-Qur’an. Dalam hal ini disrupsi bukan berarti merubah segla tatanan
kehidupan. Justru adanya disrupsi perlu direspon melalui inovasi di segala
sektor pendidikan Islam baik kurikulum, media, fasilitas, serta pendidik.

13
Hari Wibawanto, Generasi Z Dan Pembelajaran Di Pendidikan Tinggi. Simposium
Nasional Pendidikan Tinggi, ITB, Bandung. 2016.
14
Abdul Amin, Implentasi Pendekatan Integratif Interkonektif Dalam Kajian
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm 117
18

Instrumennya mengacu pada logika akal, hati, dan taffakur insaniyah.


Dalam mengurai nilai-nilai luhur al-Qur’an maka diperlukan akal dan hati.
Untuk memaksimalkannya perlu proses penggunaan daya akal dan hati
guna membudayakan Etos Islami melalui aktifitas tafakkur insaniyah. Jika
itu selalu dijadikan pegangan oleh pendidik kepada anak khususnya
remaja. Sesuai dengan teori ktitis Habermas bahwasanya, tidak cukup
dengan pengetahuna teknis dan praktis saja. Pengetahuan kritis juga perlu
dibangun agar self awarness remaja dapat terbentuk secara kuat.

Berdasarkan penjelasan di atas, pendidikan Islam di era disrupsi 4.0


dapat digambarkan seperti pada bagan.
Berdasarkan bagan di atas, perubahan sistem pendidikan Islam di era
disrupsi berawal dari Generasi Z yang bergantung pada teknologi hingga
memiliki karakter yang ekspresif dan mudah berubah pikiran. Perlunya
inovasi dan pengembangan sistem pembelajarannya meliputi tiga aspek,
yakni media pembelajaran, materi pembelajaran, serta tenaga pendidik.
19

Media pembelajaran dapat dikembangkan dengan adanya integrasi media


pembelajaran dengan internet dan pengenalan E-Learning. Pada materi
pembelajaran dapat dikembangkan melalui digitalisasi materi
pembelajaran dan penyediaan aplikasi PAI berbasis online. Selanjutnya
pada tenaga pendidik dapat ditingkatkan kualitasnya dimana seorang
pendidik harus dapat mengikuti perkembangan teknologi yang ada.

C. Pendidikan Agama Islam Merdeka Belajar


Dalam konsep merdeka belajar yang diusung oleh Nadiem
Makarim, anak didik dijadikan sebagai focus. Di mana, pendidikan tidak
lagi sekedar menjadikan kurikulum sebagai acuan. Melainkan sebaliknya.
Tentu, bagi praktisi pendidikan sudah mengetahui, bahwasanya konsep
atau ide baru ini bukanlah sesuatu yang benar-benar 'fresh'.

Hal ini dikarenakan sebelumnya, sudah ada yang menerapkan


konsep ini dalam pendidikan. Salah satunya adalah Bapak Pendidikan
Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Sayangnya, konsep pendidikan yang
dibangun oleh pendiri taman siswa ini terus mengalami perubahan,
mengikuti perubahan, seiring dengan pergantian menteri pendidikan.
Dalam konsep merdeka belajar yang ada di 'Taman Siswa', sekolah sangat
identik dengan tempat yang sangat nyaman, segar, membahagiakan, sejuk,
bagi siapapun yang ingin belajar. Dengan lingkungan yang demikian,
sudah barang tentu akan membuat siapapun merasa nyaman, sehingga
proses pembelajaran berjalan maksimal. Selama ini, konsep merdeka
belajar kerap dikaitkan dengan Bapak Pendidikan Indonesia.

Demi membangun dan memperbaiki keadaan umat di bumi. Dan


sebenarnya, konsep merdeka belajar ini sudah dipraktekkan sendiri oleh
Rasulullah saw. Karena beliau mampu menciptakan sebuah suasana
20

belajar yang menyenangkan bagi murid-muridnya, yaitu para sahabatnya.


Konsep merdeka belajar yang dipraktekkan oleh Rasulullah ketika
mendidik para muridnya cukup banyak. Tiga di antaranya adakah metode
interaktif dialogis, keteladanan, dan kisah.

Dalam istilah pendidikan masa kini, Rasulullah telah menerapkan


fun learning, atau pendidikan yang menyenangkan. Untuk saat ini, setiap
orang meksi memahami konsep fun learning. Pembelajaran fun learning
bisa diperoleh dari berbagai pengalaman dan suasana lingkungan belajar
yang penuh dengan kegembiraan, ketenangan, kenyamanan, hingga rasa
aman dan saling percaya. Kata 'fun' dalam pendidikan bukan berarti
kesenangan yang rebut tanpa adanya tujuan yang jelas. Karena istilah
tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan kemeriahan yang tidak
terkonsep.

Bahkan, Meirer dalam Aah Ahmad Syahid, ia memberikan batasan


terhadap makna istilah 'fun' dalam pendidikan. Ia menyatakan bahwa kata
fun adalah mulai bangkitnya minat peserta didik, mereka terlibat penuh
dalam proses pendidikan, menguasai materi, nilai yang membahagiakan,
hingga terciptanya makna. Selain itu, fun learning juga merupakan
pembelajaran yang dapat menggugah semangat para peserta didik,
menumbuhkan rasa keingintahuannya, agar semua potensi dalam dirinya
bisa dimaksimalkan.15

Di dalam buku yang membahas mengenai active learning, yang


ditulis oleh Siberman, ia menyatakan ungkapan, bahwa kita bisa
menceritakan sesuatu kepada para peserta didik. Akan tetapi, mereka bisa
melupakannya lebih cepat. Ungkapan ini menjadi sebuah indikasi,

15
Syahid, A. A. (2006). Gembira bersekolah: memaknai fun learning di sekolah dasar.
Current Research in Education: Conference Series Journal , 2.
21

bahwasanya seorang guru memang harus menciptakan suasana belajar


yang menyenangkan supaya dapat direkam oleh para peserta didik.
Sementara materi yang dengan mudah dilupakan oleh para peserta didik
merupakan salah satu ciri-ciri bahwa kegiatan pembelajaran yang
berlangsung tidak menyenangkan dan tidak menarik. Sehingga, begitu
usai mendapatkan pelajaran, para siswa dengan mudah melupakannya.

Untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, dapat


dilakukan beberapa kegiatan. Seperti Menumbuhkan Rasa Senang
Belajar, Memberikan penghargaan atas usaha belajar, Keterlibatan
langsung dan membiarkan peserta didik melakukan banyak hal, Mengajak
berkarya dan show off hasil karya peserta didik, Luangkan waktu untuk
istirahat dan bermain, dan Membuat ruang kelas yang nyaman. Apalagi
saat ini, kata 'kelas' bukan lagi hanya sekedar ruangan belaka. Melainkan
lebih luas dari itu. Kelas saat ini bisa mencakup apapun. Mulai dari
perpustakaan, taman, museum, lab, pasar, dan lain sebagainya. Dan di
antara beberapa kegiatan fun learning, Rasulullah sudah menerapkannya
sendiri ketika mengajar pada sahabatnya.

Kebijakan “Merdeka Belajar” merupakan usaha Kemendikbud


untuk mengembangkan kualitas pendidikan di Indonesia. Kebijakan ini
diharapkan dapat meningkatkan daya saing lulusan lembaga pendidikan
pada skala nasional maupun global. Diawal perkenalan kebijakan ini,
berbagai kalangan meragukan penerapan Merdeka Belajar. Muncul
beberapa pertanyaan mendasar, di antaranya adalah (1) bagaimana
mekanisme penerapan kebijakan ekstrim ini di lembaga pendidikan? dan
(2) apakah perubahan besar pada beberapa aspek Kurikulum 2013 justru
tidak merusak dan memperlambat peningkatan kualitas pendidikan?
Keraguan ini tidak lain didasari dari latar belakang Nadiem Makarim
selaku Kemendikbud yang tidak memiliki riwayat belajar pada fakultas
22

dan program studi pendidikan. Berdasarkan penelusuran yang penulis


lakukan Nadiem Makarim memiliki latar belakang pendidikan pada
jurusan Hubungan Internasional dan Bisnis.16

Riwayat pendidikan Nadiem Makarim di Amerika Serikat


tampaknya memberikan pengaruh pada paradigma pengembangan
pendidikan di era modern. Salah satu pendekatan yang dianut oleh Nadiem
Makarim adalah pendekatan progresivisme yang dipopulerkan oleh John
Dewey. Pendekatan progresivisme menekankan pada potensi manusia
untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan menolak model
pendidikan otoriter yang membatasi peserta didik untuk berkembang
sesuai dengan bakat, minat, dan potensinya.17 Bagaimanapun latar
belakang Nadiem Makarim yang nonpendidikan, keberanian untuk
melakukan perombakan pada kurikulum lama pada beberapa aspek yang
dirasakan menghambat perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia
layak untuk diapresiasi. Merdeka Belajar memiliki empat pokok
kebijakan. Empat kebijakan tersebut adalah sebagai berikut.18

Pertama, perubahan mekanisme Ujian Sekolah Berstandar Nasional


(USBN). Beberapa kekurangan dari penerapan USBN pada kurikulum
2013 adalah tidak luasanya lembaga pendidikan untuk melihat dan
mengevaluasi pencapaian kompetensi pada peserta didiknya dengan
mekanisme USBN yang terpusat. Hal ini justru bertentangan dengan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 yang
memberikan keleluasaan kepada lembaga pendidikan untuk melakukan

16
Syamsul Arifin dan Moh Muslim, Tantangan Implementasi Kebijakan Merdeka
Belajar, Kampus Merdeka‘ pada Perguruan Tinggi Islam Swasta di Indonesia, Jurnal Pendidikan
Islam Al-Ilmi 3, no. 1 (Juni 2020): 4.
17
Siti Mustaghfiroh, Konsep Merdeka Belajar Perspektif Aliran Progresivisme John
Dewey,‖ Jurnal Studi Guru dan Pembelajaran 3, no. 1 (Maret 2020): 142.
18
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud RI, Panduan Merdeka Belajar
Kampus Merdeka.
23

penilaian ketercapaian standar kompetensi secara mandiri, komprehensif,


dan sistematis. 19 Keluhan lainnya tekait dengan Kurikulum 2013 adalah
sulitnya pendidik melakukan penilaian kompetensi peserta didik dengan
model penilaian yang rumit. Melihat permasalahan tersebut Kemendikbud
melakukan perubahan mekanisme USBN. Penerapan USBN sentralistik
dirubah menjadi USBN berbasis sekolah, penilaian dilakukan dengan tes
tulis atau dengan metode penilaian lainnya yang mampu membrikan
penilaian secara komprehensif.

Kedua, perubahan bentuk Ujian nasional (UN). Salah satu kritik


pakar terhadap penerapan ujian nasional (UN) adalah (1) muatan UN yang
berfokus pada penguasaan materi, bukan pada analisis permasalahan
(penalaran), hal ini berdampak pada model PBM yang diarahkan pada
hafalan dan mengurangi penalaran; (2) Beban UN yang terlalu berat bagi
peserta didik, pendidik, dan lembaga pendidikan; dan (3) fokus penilaian
pada UN hanya difokuskan pada aspek kognitif. Pada kebijakan Merdeka
Belajar, Kemendikbud melakukan perubahan yang bisa disebut dengan
perubahan visioner dan ekstrim, yaitu: Kemendikbud mengahupus
pelaksanaan UN dan menggantinya dengan penilaian kompetensi minimal
dan survei karakter; penilaian ini dilakukan pada pertengahan tiap jenjang
pendidikan dengan menilai beberapa aspek diantaranya adalah aspek
literasi, numerik, karakter, dan lain sebagainya; dan penilaian mengacu
pada model penilaian standar internasional. 20

Ketiga, kebebasan pendidik dalam mendesain Rencana Pelaksanaan


Pembelajaran (RPP). Pendekatan penyusunan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) Kurikulum 2013 yang holistik dan kaku

19
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
20
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud RI, Panduan Merdeka Belajar
Kampus Merdeka.
24

memunculkan beban besar bagi pendidik. Analisis tiap komponen pada


RPP Kurikulum 2013 yang rinci dirasakan pendidik sangat menguras
tenaga dan waktu untuk menyusunnya yang berdampak pada kurangnya
waktu pendidik untuk mempersiapkan kegiatan pembelajaran dan
mengevaluasi kegiatan. Hal ini kemudian berusaha dirubah oleh
Kemendikbud dengan memberikan kebebasan bagi pendidik untuk
mendesain RPP-nya secara mandiri, dengan komponen wajib pada tujuan,
kegiatan, dan penilaian yang cukup hanya dengan 1 halaman. Keempat,
perubahan mekanisme Peraturan Penerimaan Siswa Baru (PPSB).
Kebijakan sistem zonasi pada penerimaan siswa baru dari Menteri
Pendidikan sebelumnyamerupakan salah satu kebijakan yang dikritisi oleh
banyak kalangan. Pada ranah praktisnya banyak sekolah mengalami
kelebihan siswa atauppun kekurangan jumlah siswa. Letak geografis tiap
sekolah yang berbeda tidak diakomodir dalam kebijakan ini, sehingga
implementasi kebijakan ini tidak efekif di beberapa sekolah pada wilayah
tertinggal, terluar, dan terdalam. Kebijakan Merdeka Belajar memberikan
fleksibilitas sekolah dan daerah untuk mengelola sistem zonasi
menyesuaikan dengan kondisi sekolah dan tiap daerah. Salah satu
perubahannya adalah perubahan presentase penerimaan siswa jalur zonasi,
jalur afirmasi, dan dalur prestasi. Perbedaan Presentase kebijakan zonasi
sebelum dan sesudah kebijakan Merdeka Belajar diterapkan dapat dilihat
pada table berikut.
25

Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim,


mengenai Merdeka Belajar meliputi (1) ujian sekolah berstandar nasional
(USBN) dikembangkan oleh sekolah masing-masing; (2) Ujian nasional
(UN) berubah menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter;
(3) kebebasan pendidik untuk mendesain rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP); dan (4) fleksibilitas dalam peraturan penerimaan
siswa baru (PPSB). Kebijakan “Merdeka Belajar” Nadiem Makarim ini
layak untuk diapresiasi, terlebih dengan latar belakang Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan yang bukan dari kalangan dunia pendidikan
mampu memberikan gebrakan kebijakan yang dirasakan berbagai
kalangan mampu membawa kemajuan pendidikan Indonesia. Salah satu
fokus perbaikan dalam kebijakan Merdeka Belajar adalah pada aspek
penilaian pembelajaran. Penilaian pembelajaran merupakan elemen vital
dalam pendidikan, melalui penilaian inilah kemudian diketahui sejauh
mana ketercapaian standar kompetensi peserta didik yang kemudian
dilakukan pengembangan model pembelajaran untk meningkatkan
kompetensi peserta didik secara berkesinambungan. Penilaian otentik
nampaknya menjadi model penilaian yang akan terus digunakan di masa
depan, penilaian ini memiliki karakteristik yang fleksibel, berbasis pada
pemecahan masalah kehidupan nyata, multi desain evaluasi, dan penilaian
pada keseluruhan aspek kompetensi peserta didik.

Desain evaluasi pembalajaran PAI memiliki karakteristik yang


berbeda dengan muatan model evaluasi mata pelajaran lain. Perbedaan ini
didasarkan pada adanya aspek ilahiah dalam aktivitas pembelajaran.
Konsep ilahiah memiliki 3 ranah utama yakni ‘aqliya, ‘amaliya, dan
qalbiya. Maka dari itu peneliti menyimpulkan bahwa pengembangan
evaluasi pembelajaran PAI harus didesain dengan memadukan penilaian
otentik dengan karakteristik pembelajaran dalam konsep Islam. Evaluasi
26

pencapaian kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik diarahkan


untuk mencapai keseimbangan daya pikir, zikir, dan amal.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan agama Islam memiliki peran sentral dalam menanggulangi
dan mencegah terjadinya kemerosotan moral pada remaja. Perubahan
pendekatan pengajaran dan konsep pendidikan harus diubah agar sejalan
dengan perkembangan zaman. Konsep pengajaran agama harus digeser
yaitu dengan memanfaatkan teknologi yang sedang berkembang. Tiga
aspek sistem pembelajaran yang dapat dikembangkan yakni media
pembelajaran, materi pembelajaran dan tenaga pendidik. Media dan
materi pembelajaran dapat menggunakan teknologi seperti pembelajaran
berbasis media dan online, sedangkan tenaga pendidik perlu
meningkatkan kualitasnya terkait pemahaman akan teknologi.
Konsep “Merdeka Belajar” merupakan usaha untuk mewujudkan
kemerdekaan dalam berpikir. Adanya kebijakan ini memberikan harapan
besar bagi lembaga pendidikan untuk mengeksplorasi dan
mengembangkan mutu pendidikan di lembaganya. Pendidikan Agama
Islam sebagai rangkaian mata pelajaran Islam disampaikan baik secara
formal di sekolah ataupun informal dan formal di rumah dan masyarakat
dengan materi yang diajarkan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga
perguruan tinggi harus merespons kebijakan “Merdeka Belajar” ini
dengan melatih peserta didik dibawa pengawasan guru Pendidikan Agama
Islam untuk senantiasa berpikir kritis (critical thingking) hingga
diharapkan peserta didik bisa memiliki pemikiran yang lebih matang,
lebih bijak, lebih cermat dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran
agama Islam itu sendiri.

iv
v

B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan
makalah ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan
yang perlu penulis perbaiki. Hal ini karena minimnya pengetahuan
penulis. Oleh karena itu, penulis memohon kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sebagai bahan evaluasi ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Amin, Implentasi Pendekatan Integratif Interkonektif Dalam Kajian


Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm 117

Abdul Khobir, “Pendidikan Agama Islam Di Era Globalisasi,” Edukasia Islamika


7, no. 1 (2009). Hlm 115-132

Ahmad Arifin, Politik Pendidikan Islam Menelusuri Ideologi Dan Aktualisasi


Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi (Yogyakarta: Teras, 2010)
hlm 105

Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif Akar Tradisi & Integrasi Keilmuan


Pendidikan Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011) hlm. 76.

Astuti Dwiningrum, Desentralisasi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam


Pendidikan: Suatu Kajian Teoritis Dan Empirik, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), hlm 99

Baharuddin. (2010). Pendidikan dan Psikologi perkembangan. Yogyakarta: Ar-


Ruzz Media.

Darmaningtiyas. (2004). Membongkar Ideologi Pendidikan, Jelajah Undang-


Undang Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Resolusi Press.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud RI, Panduan Merdeka


Belajar Kampus Merdeka.

Hari Wibawanto, Generasi Z Dan Pembelajaran Di Pendidikan Tinggi.


Simposium Nasional Pendidikan Tinggi, ITB, Bandung. 2016.

Neil Selwyn, Discourses of Digital ‘Disruption’ in Education: A Critical


Analysis.” Fifth International Roundtable on Discourse Analysis, City
University, Hong Kong, 2013. Hlm. 23–25.
v
vi

Siti Mustaghfiroh, Konsep Merdeka Belajar Perspektif Aliran Progresivisme John


Dewey, Jurnal Studi Guru dan Pembelajaran 3, no. 1 (Maret 2020): 142.

Sulistyaningsih, W. (2008). Full Day School dan Optimalisasi Perkembangan


Anak. Yogyakarta: Paradigma Indonesia.

Syahid, A. A. (2006). Gembira bersekolah: memaknai fun learning di sekolah


dasar. Current Research in Education: Conference Series Journal , 2.

Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012),


hlm. 19

Syamsul Arifin dan Moh Muslim, Tantangan Implementasi Kebijakan Merdeka


Belajar, Kampus Merdeka‘ pada Perguruan Tinggi Islam Swasta di
Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam Al-Ilmi 3, no. 1 (Juni 2020): 4.

Anda mungkin juga menyukai