Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

ILMU PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN ISLAM

“PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI”

OLEH :

DHANY GUSTINO (2030103114)

RENI ANGGRAINI (2130103082)

SITI AISYAH (2130103094)

DOSEN PEMBIMBING

Rizki Febrina, MA.

JURUSAN MANAJEMEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

IAIN BATUSANGKAR

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Makalah ini
disusun untuk digunakan semestinya.

Dalam kesempatan ini,kami dari kelompok 12 mengucapkan terima kasih kepada ibuk
Rizki Febrina, MA selaku ibuk pengampu mata kuliah ilmu pendidikan dan pendidikan islam
yang telah membimbing kami dalam melakukan pembuatan makalah ini. Tak lupa pula
penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yan telah membantu dalam pembuatan
makalah ini.

Batusangkar,21 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

a. Latar Belakang .......................................................................................... 1


b. Rumusan Masalah ....................................................................................
c. Tujuan ...................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 2

a. Menjelaskan pengertian reaktualisasi pendidikan islam ............................. 2


b. Urgensi reaktualisasi pendidikan islam ....................................................... 4
c. konsep islamisasi ilmu ................................................................................ 7
d. Model model pengembangan islamisasi ilmu pengetahuan ....................... 10

BAB III PENUTUP.................................................................................................... 16

a. Kesimpulan ................................................................................................ 16
b. Saran ......................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 17

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era globalisasi memberikan perubahan besar pada tatanan dunia secara menyeluruh dan
perubahan itu dihadapi bersama sebagai suatu perubahan yang wajar. Sebab, mau tidak mau,
siap tidak siap perubahan itu bakal terjadi. Perubahan global yang semakin cepat terjadi,
ditandai dengan adanya kemajuankemajuan dari negara maju di bidang teknologi informasi
dan komunikasi. Kemajuan iptek ini mendorong semakin lajunya proses globalisasi.
Kenyataan semacam itu akan mempengaruhi nilai, sikap atau tingkah laku kehidupan
individu dan masyarakat di sinilah letak peranan pendidikan agama Islam di harapkan.

Pendidikan agama Islam merupakan sebuah program yang terencana dalam menyiapkan
peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama
Islam serta diikuti tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya
dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.

B. Rumusan Masalah

1.Menjelaskan urgensi reaktualisasi pendidikan islam

2.Konsep islamisasi ilmu

3.Model model pengembangan islamisasi ilmu pengetahuan.

C. Tujuan Penulisan

1.Untuk memahami tentang pentingnya reaktualisasi pendidikam islam

2.Untuk memahami konsep islamisasi ilmu.

3. Untuk mengetahui model model pengembangan islamisasi ilmu pengetahuan

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Reaktualisasi Pendidikan Islam

Reaktualisasi berarti penyegaran dan pembaruan niali-nilai kehidupan masyarakat.


Pendidikan islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan
pribadinnya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitar nya
melalui proses pendidikan.

Jadi reaktualisasi pendidikan islam merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan
sebagai salah satu upaya penyegaran dan pembaharuan nilai-nilai islam didalam kehidupan
umat yang dewasa ini sedanag menghadapi berbagai tantangan dalam berbagai dimensi
kehidupan seperti sosial ekonomi, budaya, politik, iptek, dan sebagainya.

B. Pentingnya Reaktualisasi Pendidikan Islam

Ketiadaan Pendidikan Moral atau Pendidikan Budi Pekerti (Pendidikan Akhlak) di


sekolah menjadikan beban bagi Pendidikan Agama untuk bertanggung jawab dalam hal
tersebut. Karena mayoritas bangsa kita adalah umat Islam, maka tidak heran kalau yang
melakukan tindak kriminalitas sebagian besar adalah umat Isam. Hal ini juga membuktikan
bahwa Pendidikan Agama Islam yang diselenggarakan di sekolah belum berhasil dengan
baik.

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan, perlu dirancang


suatu pendidikan yang mampu menghasilkan out put yang memiliki kecerdasan baik fikir
maupun dzikir, juga manusia yang siap pakai.

Berkaitan dengan hal ini, Fuad Amsari, salah seorang anggota dewan pakar ICMI
pusat, Menurutnya, Islam harus dipahami secara utuh untuk diteruskan dan diajarkan pada
generasi selanjutnya. Keutuhan isi ajaran Islam harus dilihat dari lima aspek kehidupan
manusia, yakni

1. Aspek aqidah, bahwa hanya prinsip Islam saja yang bisa membawa manusia pada
keberhasilan hidup di dunia di akhirat
2. Aspek lingkup substansi ajaran Islam, yang meliputi ajaran tentang cara hidup sebagai
pribadi, sebagai keluarga, dan sebagai tatanan social
3. Aspek pemanfaatan sumber acuan untuk menggali substansi Islam secara lengkap
(kaffah), yang meliputi al-Quran, Sunnah Nabi, Kitab Ulama Salaf, IPTEK, dan
produk musyawarah .
4. Aspek penguasaan ajaran Islam, yang meliputi pemahaman kognitif, afektif, dan
psikomotor dalam mengaplikasikan Islam; dan

2
5. Aspek perjuangan menegakkan kebaikan dan menangkal kemungkaran sebagai
bentuk bukti kedalaman keyakinan akan kebenaran Islam (Fuad Amsari, 1995).

Reaktualisasi pendidikan Islam sangatlah penting dalam rangka membangun kerangka


pikir dan perilaku umat Islam di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, Pendidikan
Agama Islam sangat diharapkan dapat menambah kualitas mutu manusia Indonesia yang
menguasai IPTEK dengan memberikan jiwa dan nilai-nilai religius kepadanya, sehingga
dapat saling isi-mengisi sejalan dengan kemajuan IPTEK.

Di lain pihak, pengembangan IPTEK di Indonesia harus selalu diupayakan agar tetap
dijiwai oleh nilai-nilai agama, atau minimal tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Dengan demikian Pendidikan Agama harus dapat menserasikan kehidupan lahiriah dan
kematangan rohaniah serta keluasan jangkauan akal dan ketinggian moral yang pada akhirnya
akan dapat dicapai kebahagiaan seperti yang diidam-idamkan, yakni masyarkat dan negara
yang adil dan makmur yang diridoi.

C. Konsep Islamisasi Ilmu


A. Latar Belakang Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Pandangan Islam terhadap ilmu menjadi landasan bagi pengembangan ilmu


disepanjang sejarah kehidupan ummat Islam, sejak dari zaman klasik sampai sekarang. Sejak
kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar terhadap ilmu dan
menawarkan cahaya untuk mengubah jahiliyah menuju masyarakat yang berilmu dan
beradab.

Proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan
Islam hingga zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi saw secara
jelas menegaskan semangat Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yaitu ketika Allah menekankan
bahwa Dia adalah sumber dan asal ilmu manusia.

Munculnya ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan disebabkan adanya premis bahwa ilmu
pengetahuan tidak bebas nilai. Ilmu-ilmu yang terkontaminasi oleh premis demikian dan telah
melalui proses sekularisasi dan westernisasi yang tidak lagi sesuai dengan kepercayaan, justru
ini akan membahayakan ummat Islam. Naquib al-Attas menegaskan bahwa ilmu itu tidaklah
bebas nilai tapi sarat akan nilai. Sedangkan al Faruqi menjelaskan bahwa akibat kemunduran
ummat Islam, karena adanya system pendidikan yang berusaha menjauhkan ummat Islam
dari agamanya sendiri dan dari sejarah kegemilangan yang seharusnya dijadikan kebanggaan
tersendiri atas agama Islam.
3
Oleh sebab itu ia memberikan solusi, yaitu perlunya perbaikan system pendidikan
yang memadukan antara ilmu-ilmu umum dan agama sebagai langkah membentuk peradaban
Islam yang sempurna. Pada akhir abad 20-an, konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan mendapat
kritikan dari kalangan pemikir Muslim sendiri, seperti Fazlul Rahman, Muhsin Muhdi, Abdus
Salam Soroush, Bassam Taibi dan lainnya. Fazlul Rahman misalnya mengemukakan bahwa
ilmu pengetahuan tidak dapat di Islamkan karena tidak ada yang salah dalam ilmu
pengetahuan.

Walaupun dalam perkembangannya Islamisasi Ilmu Pengetahuan dikritik, tetapi


gagasan Islamisasi ini merupakan suatu revolusi epistemologis yang merupakan jawaban
terhadap krisis epistemology yangh bukan hanya melanda dunia Islam tapi juga budaya dan
peradaban Barat Sekuler.

B. Telaah Islamisasi Pengetahuan

1) Telaah Ontologis

Secara ontologis, Islamisasi Ilmu Pengetahuan memandang bahwa dalam relitas alam
semesta, sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur. Pandangan akan adanya
hukum alam tersebut sama dengan kaum sekuler tetapi dalam pandangan Islam hukum
tersebut adalah ciptaan Allah.

Al-Qur’an berisi petunjuk tentang obyek studi (ontologis) yang lengkap dengan
perintah mempelajari segala apa yang ada di langit dan di bumi dan di antara keduanya. Allah
telah menunjukkan obyek ilmu itu tidaklah berarti pembatasan bagi manusia untuk
membatasi diri hanya mempelajari obyek yang ada, namun bagi manusia untuk
mengembangkan lebih maju lagi pencarian ilmunya. Yang perlu diperhatinkan bahwa
petunjuk ontologis dari al-Qur’an boleh jadi sederhana tapi mempunyai makna konotasi yang
luas dan mendalam.Sebagaimana contoh QS Abasaa (80): 24 Allah berfirman:

َ ‫سا ُن ِإ َلى‬
‫ط َعا ِم ِه‬ َ ‫اْل ْن‬ ُ ‫فَ ْليَ ْن‬
ِ ْ ‫ظ ِر‬

Artinya: Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.

4
Dengan perintah yang sangat singkat ini, manusia dapat menentukan objek ilmu untuk
dipelajari yang tiada akhirnya. Dalam konteks ini untuk memahami nilai-nilai kewahyuan,
ummat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Karena realitasnya saat ini, ilmu
pengetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan tingkat kemajuan ummat manusia.
Dengan demikian dapat dipahami untuk mengulang kembali kesuksesan yang pernah diraih
di masa silam, Islamisasi Ilmu Pengetahuan harus tetap digalakkan.

2.Telaah Epistemologi

Epistemologi adalah ilmu yang membahas apa pengetahuan itu dan bagaimana cara
memperolehnya. Sehingga dapat dipahami bahwa epistemology mempersoalkan metodologi
penerapan ilmu pengetahuan, dalam hal ini proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Al-Qur’an
merupakan kitab yang sangat sempurna dalam menjelaskan metode pengembangan ilmu.
Misalnya perlu mengingat dan menghafal tersirat dalam QS al-Baqarah (2) : 31

َ ‫علَى ْال َم ََلئِ َك ِة فَقَا َل أ َ ْنبِئُونِي بِأ َ ْس َماءِ َهؤ ََُل ِء إِ ْن كُ ْنُ ُ ْم‬
ََ‫َا ِدِِي‬ َ ‫ض ُه ْم‬ َ ‫علَّ َم آدَ َم ْاْل َ ْس َما َء كُلَّ َها ث ُ َّم‬
َ ‫ع َر‬ َ ‫َو‬

Artinya: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)


seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-
orang yang benar.

Di samping perlu mengingat dan menghafal di atas, diperlukan juga metode


observasi, eksperimen, demonstrative dan metode intuitif.Hal ini misalnya ketika Allah Swt
memperlihatkan kepada Qabil dengan mengirimkan burung gagak menggali tanah untuk
menguburkan burung yang mati. Dalam pengembangan ilmu dan teknologi, observasi dan
meniru kerja ciptaan-Nya merupakan yang lazim misalnya meniru konsep fungsi sayap dan
ekor dalam pesawat terbang. Selain observasi yang merupakan landasan pengkajian ilmu
pengetahuan semata juga dibutuhkan kemampuan imajinasi, analisa dan sintesa terutama
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang susah untuk dijawab melalui observasi
laboratorium.

5
Sebagai contoh QS al-Ghasyiyah (88): 17-20

ِ ‫( َوإِلَى ْاْل َ ْر‬19) ‫ت‬


َ ‫ض َكي‬
‫ْف‬ ْ َ‫صب‬ َ ‫( َوإِلَى ْال ِج َبا ِل َكي‬18) ‫ت‬
ِ ُ‫ْف ن‬ ْ َ‫ْف ُرفِع‬ َّ ‫( َوإِلَى ال‬17) ‫ت‬
َ ‫س َماءِ َكي‬ ْ َ‫ْف ُخ ِلق‬
َ ‫اْلبِ ِل َكي‬ ُ ‫أَفَ ََل يَ ْن‬
ِ ْ ‫ظ ُرونَ إِلَى‬
ْ ‫سُطِ َح‬
‫ت‬

Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,
Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?.Dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan?. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas tidak bisa dengan observasi atau eksperimen saja,
melainkan diperlukan hipotesa yang membutuhkan proses berfikir dan berimajinasi yang
intens. Dalam al-Qur’an disampaikan bahwa masih ada proses pengembangan ilmu dan
teknologi yang lebih hakiki yaitu ilham yang diberikan kepada beberapa orang.

Dari keterangan di atas memberikan gambaran kepada ummat Islam untuk melihat
sisi lain yang juga menunjang keberhasilan Islam dalam menemukan dan mengembangkan
ilmu pengetahuan. Dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan mengalami proses yang panjang
tentang transformasi ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke dunia Barat dalam hubungan
timbal balik, baik itu dalam bentuk kajian, penafsiran maupun dalam bentuk penerjemahan.

3.Telaah Aksiologis

Telaah aksiologi sasarannya adalah manfaat dari hasil kajian yang dijadikan bahasan
materi, dengan artian bahwa aksiologidiartikan nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh.Dalam hubungannya dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dapat
dikatakan bahwa dengan Islamisasi dapat diketahui dengan jelas kalau Islam bukan hanya
mengatur segi-segi ritualitas dalam arti shalat, puasa, zakat dan haji saja, melainkan sebuah
ajaran yang mengintegrasikan segi-segi kehidupan duniawi termasuk ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Selain beberapa hal di atas, juga muncul para filosof dan cendikiawan muslim tidak
lain oleh karena mereka bukan hanya menguasai ilmu-ilmu Islam saja tetapi juga menguasai

6
ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Dengan ilmu, mereka dapat mempelajari gejala alam dan
menciptakan peralatan untuk mengontrol gejala-gejala alam sesuai dengan hukumnya.

C. Tantangan Ilmu-ilmu Islam di Tengah Perkembangan Ilmu Pengetahuan


Moderen

Ketergantungan ummat Islam dalam pendidikan, disadari sebagai faktor terpenting


dalam membina ummat hampir tidak dapat dihindari dari pengaruh Barat.Ujung-ujungnya
krisis identitas pun tidak terhindarkan oleh ummat Islam. Menurut AM. Syaefuddinj, ketidak
berdayaan ummat Islam itu membuatnya bersifat ntaqiyyah. Artinya kaum muslimin telah
menyembunyikan identitas Islamnya, karena rasa takut dan malu.

Melemahnya orientasi social ummat Islam ini secara tidak sadar telah memilah-milah
pengertian Islam yang kaffah ke dalam pengertian parsial dalam hakikat hidup
bermasyarakat. Islam hanya dipandang dari arti ritual semata, sementara urusan lain banyak
didomionasi dan dikendalikan oleh konsep-konsep Barat. Akibatnya, ummat Islam lebih
mengenal budaya Barat dari pada budayanya sendiri.

Beberapa faktor yang menjadi tantangan ilmu- ilmu keIslaman di tengah perkembangan
sains modern, di antaranya:

1. Ambivalensi Teknologi.

Teknologi bagaimanapun bentuknya akan selalu bersifat ambivalen, yaitu ada untung
ruginya.yang dalam bahasa Fiqhinya disebut manfaat dan mudharat bagi manusia dan
alam lingkungannya. Dalam lingkungan hidup misalnya dengan muncul istilah
pengikisan lapisan ozon, radiasi nuklir, limbah industry, rekayasa genetika dan lainnya.
Hal ini penting mengingat teknologi pada kenyataannya merupakan alat bagi manusia,
sementara dalam kehidupan manusia memiliki tujuan dan cara pencapaiaan yang
tentunya harus mengandung nilai agama. Oleh karena itu, seorang ilmuan Muslimharus
menyadari ia harus memulai sesuatu, kemanapun ia beranjak, ia harus melangkah dari
tradisi ke-Islaman yang merupakan identitasnya.

2. Di kalangan Islam masih banyak yang menekankan studi pustaka dari pada studi
atas realitas sosio-kultur.
7
Hal ini mengakibatkan kurang berkembangnya literature-literatur tentang ilmu-ilmu
empiris Islam seperti Sosiologi Islam, Antropologi Islam, Psikologi Islam, ekonomi
Islam dan sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan tokoh ilmuan Muslim di abad
renaisans Islam, di mana hasil karyanya dijadikan sumber rujukan dalam studi pustaka.
Ini dapat dilihat dari karya Ibn Ya’qub an-Nadim yang berisi tentang ensiklopedia (al-
Fihrist), bidang Astronomi oleh Mahani, bidang Zologi oleh ad-Dinawari dan lain
sebagainya.

3. Belum adanya paradigma yang jelas tentang posisi nilai normative, eksistensi dan
struktur keilmuan Islam.

Sebagai misal dalam mensikapi problematika tantangan modernisasi yang ditandai


oleh pesatnya perkembangan industrialisasi, transformasi, canggihnya alat-alat informasi,
dan kuatnya paham rasionalisme yang apabila dihadapkan kepada agama, di kalangan
muslim belum mampu menyelesaikan dengan cara dialektis tetapi masih bersifat
normative. Dan para peneliti Muslim masih kurang siap menghadapi atau menolak
gagasan-gagasan asing, karena tidak adanya persiapan secara memadai untuk melawan
mereka melalui telaah mendalam dan penolakan terhadap promis-promis palsu. Akibat
yang ditimbulkan tentang posisi nilai normatif, eksistensi dan struktur keilmuan Islam
menjadi tidak jelas. Ada yang datang dari Barat, seperti westernisasi, rasionalisme,
sekularisme, gagasan filsafat Barat dan semua yang berbau ke Barat-Baratan semua
ditolak bahkan dikafirkannya.

Adapun upaya untuk mengatasi hal tersebut di atas, Ismail Razi al-faruqi melakukan
langkah-langkah berikut:

1. Memadukan system pendidikan Islam, dikotomi pendidikan umum dan islam harus
dihilangkan.

2. Meningkatkan visi Islam dengan cara mengukuhkan identitas Islam melalui dua tahap,
yaitu mewajibkan bidang studi sejarah Peradaban Islam dan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan.

8
3. Untuk mengatasi persoalan metodologi, ditempuh langkah-langkah berupa penegasan
prinsip-prinsip pengetahuan Islam.

4. Menyusun langkah kerja sebagai berikut:

a. Menguasai disiplin modern.

b. Menguasai warisan khasanah Islam.

c. Membangun relevansi yang Islami bagi setiap bidang kajian atau wilayah
penelitian pengetahuan modern.

d. Mencari jalan dan upaya untuk menciptakan sintesis kreatif antara warisan Islam
dengan pengetahuan modern.

e. Mengarahkan pemikiran Islam pada arah yang tepat yaitu sunnatullah.

Sementara al-Attas menguraikan bahwa semua ilmu pengetahuan masa kini, secara
keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi
intelektual dan persepsi psikologi dari kebudayaan dan peradaban Barat yang saling
berkaitan.

Kelima prinsip itu adalah:

a. Mengandalkan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan.

b. Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan


kebenaran.

c. Membenarkan aspek temporal untuk memproyeksi sesuatu pandangan dunia


sekuler.

d. Pembelaan terhadap doktrin humanism.

e. Peniruan terhadap drama dan tragedy yang dianggap sebagai realitas universal
dalam kehidupan spiritual, atau transedental atau kehidupan batin manusia.

9
Kelima hal tersebut di atas, merupakan prinsip-prinsip utama dalam pengembangan
keilmuan Barat, yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan harus dihindari oleh
ummat Islam.

D.Model-Model Integrasi Keilmuan


Merumuskan model-model integrasi keilmuan secara konsepsional memang tidak
mudah. Hal ini terjadi karena berbagai ide dan gagasan integrasi keilmuan muncul secara
sporadis baik konteks tempatnya, waktunya, maupun argumen yang melatarbelakanginya.
Faktor yang terkait dengan gagasan ini juga tidak tunggal. Ada beberapa faktor yang terkait
dengannya, yakni sejarah tentang hubungan sains dengan agama kuatnya tekanan dari
kelompok ilmuwan yang menolak doktrin "bebas nilai"-nya sains, krisis yang diakibatkan
oleh sains dan teknologi dan ketertinggalan umat Islam dalam bidang ilmu dan teknologi.
Dari faktor-faktor yang mendorong munculnya gagasan integrasi keilmuan tersebut, secara
umum modal integrasi keilmuan dapat dikelompokkan ke dalam model-model berikut ini:
1. Model IFIAS
Model integrasi keilmuan IFIAS (International Federation of Institutes of Advance Study)
muncul pertama kali dalam sebuah seminar tentang "Knowledge and Values", yang
diselenggarakan di Stickholm pada September 1984. Model yang dihasilkan dalam seminar
itu dirumuskan dalam gambar skema berikut ini.

Tauhid

Khilafah

‘ibadah

Nilai-nilai positif Nilai-nilai negatif


Ilmu Pengetahuan
10
Hudud Haram

‘Adl Zulm

Istishlah Diya

Skema di atas kurang lebih dapat dijelaskan sebagai berikut: Iman kepada Sang
Pencipta membuat ilmuwan Muslim lebih sadar akan segala aktivitasnya. Mereka
bertanggungjawab atas perilakunya dengan menempatkan akal di bawah otoritas Tuhan.
Karena itu, dalam Islam, tidak ada pemisahan antara sarana dan tujuan sains. Keduanya
tunduk pada tolok ukur etika dan nilai keimanan. Ia harus mengikuti prinsip bahwa sebagai
ilmuwan yang harus mempertanggungjawabkan seluruh aktivitasnya pada Tuhan, maka ia
harus menunaikan fungsi sosial sains untuk melayani masyarakat, dan dalam waktu yang
bersamaan melindungi dan meningkatkan institusi etika dan moralnya. Dengan demikian,
pendekatan Islam pada sains dibangun di atas landasan moral dan etika yang absolut dengan
sebuah bangunan yang dinamis berdiri di atasnya. Akal dan objektivitas dianjurkan dalam
rangka menggali ilmu pengetahuan ilmiah, di samping menempatkan upaya intelektual dalam
batas-batas etika dan nilai-nilai Islam.

2. Model Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI)


Model yang dikembangkan oleh Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI) muncul
pertama kali pada Mei 1977 dan merupakan satu usaha yang penting dalam kegiatan integrasi
keilmuan Islam di Malaysia karena untuk pertamanya, para ilmuwan Muslim di Malaysia
bergabung untuk, antara lain, menghidupkan tradisi keilmuan yang berdasarkan pada ajaran
Kitab suci al-Qur’an. Tradisi keilmuan yang dikembangkan melalui model ASASI ini
pandangan bahwa ilmu tidak terpisah dari prinsip-prinsip Islam. Model ASASI ingin
mendukung dan mendorong pelibatan nilai-nilai dan ajaran Islam dalam kegiatan penelitian
ilmiah; menggalakkan kajian keilmuan di kalangan masyarakat; dan menjadikan Al-Qur’an
sebagai sumber inspirasi dan petunjuk serta rujukan dalam kegiatan-kegiatan keilmuan.

11
ASASI mendukung cita-cita untuk mengembalikan bahasa Arab, selaku bahasa Al-Qur’an,
kepada kedudukannya yang hak dan asli sebagai bahasa ilmu bagi seluruh Dunia Islam, dan
berusaha menyatukan ilmuwan-ilmuwan Muslim ke arah memajukan masyarakat Islam
dalam bidang sains dan teknologi.

3. Model Islamic Worldview


Model ini berangkat dari pandangan bahwa pandangan dunia Islam (Islamic
worldview) merupakan dasar bagi epistemologi keilmuan Islam secara menyeluruh dan
integral. Dua pemikir Muslim ini menggagas dan mengembangkan model ini adalah
Alparslan Acikgenc, Guru Besar Filsafat pada Fatih University, Istanbul Turki. Ia
mengembangkan empat pandangan dunia Islam sebagai kerangka komprehensif keilmuan
Islam, yaitu: iman sebagai dasar struktur dunia (world structure,iman), ilmu sebagai struktur
pengetahuan (knowledge structure, al-'ilm), fiqih sebagai struktur nilai (value structure, al-
fiqh); dan kekhalifahan sebagai struktur manusia (human structure, khalîfah).

4. Model Struktur Pengetahuan Islam


Model Struktur Pengetahuan Islam (SPI) banyak dibahas dalam berbagai tulisan
Osman Bakar, Professor of Philosophy of Science pada University of Malaya. Dalam
mengembangkan model ini, Osman Bakar berangkat dari kenyataan bahwa ilmu secara
sistematik telah diorganisasikan dalam berbagai disiplin akademik. Bagi Osman Bakar,
membangun SPI sebagai bagian dari upaya mengembangkan hubungan yang komprehensif
antara ilmu dan agama, hanya mungkin dilakukan jika umat Islam mengakui kenyataan
bahwa pengetahuan (knowledge) secara sistematik telah diorganisasikan dan dibagi ke dalam
sejumlah disiplin akademik. Osman Bakar mengembangkan empat komponen yang ia sebut
sebagai struktur pengetahuan teoretis (the theoretical structure of science).
Keempat struktur pengetahuan itu adalah: komponen pertama berkenaan dengan apa
yang disebut dengan subjek dan objek matter ilmu yang membangun tubuh pengetahuan
dalam bentuk konsep (concepts), fakta (facts, data), teori (theories), dan hukum atau kaidah
ilmu (laws), serta hubungan logis yang ada padanya, komponen kedua terdiri dari premis-
premis dan asumsi-asumsi dasar yang menjadi dasar epistemologi keilmuan, komponen

12
ketiga berkenaan dengan metode-metode pengembangan ilmu dan komponen terakhir
berkenaan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh ilmu.

5. Model Bucaillisme
Model ini menggunakan nama salah seorang ahli medis Perancis, Maurice Bucaille,
yang pernah menggegerkan dunia Islam ketika menulis suatu buku yang berjudul "La Bible,
le Coran et la Science”, yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Model ini
bertujuan mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat Al-Qur’an. Model ini banyak
mendapat kritik, lantaran penemuan ilmiah tidak dapat dijamin tidak akan mengalami
perubahan di masa depan. Menganggap Al-Qur’an sesuai dengan sesuatu yang masih bisa
berubah berarti menganggap Al-Qur’an juga bisa berubah.

6. Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik


Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik berusaha menggali warisan filsafat
Islam klasik. Salah seorang sarjana yang berpengaruh dalam gagasan model ini adalah
Seyyed Hossein Nasr. Menurut Seyyed Hossein Nasr pemikir Muslim klasik berusaha
memasukkan Tauhid ke dalam skema teori mereka. Prinsip Tauhid, yaitu Kesatuan Tuhan
dijadikan sebagai prinsip kesatuan alam tabi'i.
Para pendukung model ini juga yakin bahwa alam tabi'i hanyalah merupakan tanda
atau ayat bagi adanya wujud dan kebenaran yang mutlak. Hanya Allah-lah Kebenaran
sebenar-benarnya, dan alam tabi'i ini hanyalah merupakan wilayah kebenaran terbawah.

7. Model Integrasi Keilmuan Berbasis Tasawuf


Pemikir yang terkenal sebagai penggagas integrasi keilmuan Islam yang dianggap
bertitik tolak dari tasawwuf ialah Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang kemudian ia
istilahkan dengan konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Islamization of Knowledge). Gagasan
ini pertama kali muncul pada saat konferendi Makkah, di mana pada saat itu, Al-Attas
menghimbau dan menjelaskan gagasan "Islamisasi Ilmu Pengetahuan". Identifikasinya yang
meyakinkan dan sistematis mengenai krisis epistemologi umat Islam sekaligus formulasi
jawabannya dalam bentuk Islamisasi ilmu pengetahuan masa kini yang secara filosofis
berkaitan, benar-benar merupakan prestasi inovatif dalam pemikiran Islam modern.
Formulasi awal dan sistematis ini merupakan bagian integral dan konsepsinya mengenai
pendidikan dan universitas Islam serta kandungan dan metode umumnya. Karena kebaruan
13
ide-ide yang dipresentasikan dalam kertas kerjanya di Makkah, tema-tema gagasan ini diulas
kembali dan dijelaskan panjang lebar pada Konferensi Dunia yang Kedua mengenai
Pendidikan Umat Islam pada 1980 di Islamabad.
Dalam karya-karyanya, dia mencoba menghubungkan deislamisasi dengan
westernisasi, meskipun tidak secara keseluruhan. Dari situ, dia kemudian menghubungkan
program Islamisasi ilmu pengetahuan masa kini dengan dewesternisasi. Predikat ilmu masa
kini" sengaja digunakan sebab ilmu pengetahuan yang diperoleh umat Islam yang berasal dari
kebudayaan dan peradaban pada masa lalu, seperti Yunani dan India, telah diislamkan.
Gagasan awal dan saran-saran yang konkret ini, tak pelak lagi, mengundang pelbagai reaksi
dan salah satunya dari almarhum Isma'il Al-Faruqi dengan agenda Islamisasi Ilmu
Pengetahuannya.

8. Model Integrasi Keilmuan Berbasis Fiqh


Model ini digagas oleh Al-marhum Ismail Raji al-Faruqi. Pada tahun 1982 ia menulis
sebuah buku berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan
diterbitkan oleh International Institute of Islamic Thought, Washinton. Menjadikan Al-Faruqi
sebagai penggagas model integrasi keilmuan berbasis fiqh memang tidak mudah, lebih-lebih
karena ia termasuk pemikir Muslim pertama yang mencetuskan gagasan perlunya Islamisasi
Ilmu Pengetahuan.
Masalahnya pemikiran integrasi keilmuan Islam Al-Faruqi tidak berakar pada tradisi
sains Islam yang pernah dikembangkan oleh Al-Biruni, Ibnu Sina, Al-Farabi dan lain,
melainkan berangkat dari pemikiran ulama fiqh dalam menjadikan Al-Qur’an dan Assunnah
sebagai puncak kebenaran. Kaidah fiqh ialah kaedah penentuan hukum fiqh dalam ibadah
yang dirumuskan oleh para ahli fiqh Islam melalui deduksi Al-Qur’an dan keseluruhan
korpus al-Hadith. Pendekatan ini sama sekali tidak menggunakan warisan sains Islam yang
dipelopori oleh Ibn Sina, al-Biruni dan sebagainya. Bagi al-Faruqi, “sains Islam” seperti itu
tidak Islami karena tidak bersumber dari teks Al-Qur’an dan Hadis.

9. Model Kelompok Ijmali (Ijmali Group)


Pendekatan Ijmali dipelopori oleh Ziauddin Sardar yang memimpin sebuah kelompok
yang di namainya Kumpulan Ijmali (Ijmali Group). Menurut Ziauddin Sardar tujuan sains
Islam bukan untuk mencari kebenaran akan tetapi melakukan penyelidikan sains menurut
kehendak masyarakat Muslim berdasarkan etos Islam yang digali dari Al-Qur’an. Sardar
14
yakin bahwa sains adalah sarat nilai (value bounded) dan kegiatan sains lazim dijalankan
dalam suasana pemikiran atau paradigma tertentu. Pandangan ini mengikuti konsep
paradigma ilmu Thomas Kuhn. Sardar juga menggunakan konsep ‘adl dan zulm sebagai
kriterium untuk dilaksanakan. Walaupun Sardar yakin dengan pendekatan Kuhn yang bukan
hanya merujuk kepada sistem nilai saja, tetapi kebenaran sains itu sendiri, namun ia tidak
langsung membicarakan kebenaran teori sains Barat itu sendiri.
Pandangan Sardar ini seakan-akan menerima semua penemuan sains Barat modern
dan hanya prihatin terhadap sistem nilai atau etos yang mendasari sains tersebut. Dengan
menggunakan beberapa istilah dari Al-Qur’an seperti Tawhîd, ‘ibadah, khilafah, halal, haram,
taqwa, ‘ilm dan istislah. Hampir senada dengan al-Faruqi, konsep-konsep yang dikemukakan
oleh Sardar tidak merujuk pada tradisi sains Islam klasik. Bagi Sardar sains adalah "is a basic
problem-solving tool of any civilization" (perangkat pemecahan masalah utama setiap
peradaban).

10. Model Kelompok Aligargh (Aligargh Group)


Model ini dipelopori oleh Zaki Kirmani yang memimpin Kelompok Aligargh
University, India. Model Kelompok Aligargh menyatakan bahwa sains Islam berkembang
dalam suasana ‘ilm dan tasykir untuk menghasilkan gabungan ilmu dan etika. Pendek kata,
sains Islam adalah sekaligus sains dan etika.
Zaki Kirmani menetapkan model penelitian yang berdasarkan berdasarkan wahyu
dan taqwa. Ia juga mengembangkan struktur sains Islam dengan menggunakan konsep
paradigma Thomas Kuhn. Kirmani kemudian menggagas makroparadigma mutlak,
mikroparadigma mutlak, dan paradigma bayangan.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa pada intinya pendidikan Islam di era
globalisasi adalah pendidikan Islam yang mampu menyesuaikan perkembangan
zaman dan perkembangan teknologi. Maka yang harus dilakukan adalah
mengembangkan sistem pendidikan yang berwawasan global agar menghasilkan out
put (lulusan) dari lembaga pendidikan Islam yang lebih bermutu, supaya mereka
percaya diri dalam menghadapi persaingan global.

B. Saran
Demikianlah materi yang dapat kami sampaikan dalam makalah ini, semoga dengan
adanya makalah ini kita dapat memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kami
banyak berharap kepada para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada pemakalah demi menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Muhammad Ismail, Tiga Fase Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer,


Maret 2014.
STAI Nazhatut Thullab Sampang,Model-Model Integrasi Keilmuan Perguruan Tinggi
Keagaaman Islam,Kafilah,Vol.2 No.1 Juni 2017.
Wardi, Moh. “Modernisasi Muallimin”, Jurnal Ta’limuna al-Hikam Malang, Vol.7 No.1
www. Hidayatullah.com, 06 Desember 2009.
http://wongkere11.blogspot.com/2017/09/pengertian-reaktualisasi-pendidikan.html

17

Anda mungkin juga menyukai