OLEH :
DOSEN PEMBIMBING
IAIN BATUSANGKAR
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Makalah ini
disusun untuk digunakan semestinya.
Dalam kesempatan ini,kami dari kelompok 12 mengucapkan terima kasih kepada ibuk
Rizki Febrina, MA selaku ibuk pengampu mata kuliah ilmu pendidikan dan pendidikan islam
yang telah membimbing kami dalam melakukan pembuatan makalah ini. Tak lupa pula
penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yan telah membantu dalam pembuatan
makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
a. Kesimpulan ................................................................................................ 16
b. Saran ......................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 17
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era globalisasi memberikan perubahan besar pada tatanan dunia secara menyeluruh dan
perubahan itu dihadapi bersama sebagai suatu perubahan yang wajar. Sebab, mau tidak mau,
siap tidak siap perubahan itu bakal terjadi. Perubahan global yang semakin cepat terjadi,
ditandai dengan adanya kemajuankemajuan dari negara maju di bidang teknologi informasi
dan komunikasi. Kemajuan iptek ini mendorong semakin lajunya proses globalisasi.
Kenyataan semacam itu akan mempengaruhi nilai, sikap atau tingkah laku kehidupan
individu dan masyarakat di sinilah letak peranan pendidikan agama Islam di harapkan.
Pendidikan agama Islam merupakan sebuah program yang terencana dalam menyiapkan
peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama
Islam serta diikuti tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya
dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Jadi reaktualisasi pendidikan islam merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan
sebagai salah satu upaya penyegaran dan pembaharuan nilai-nilai islam didalam kehidupan
umat yang dewasa ini sedanag menghadapi berbagai tantangan dalam berbagai dimensi
kehidupan seperti sosial ekonomi, budaya, politik, iptek, dan sebagainya.
Berkaitan dengan hal ini, Fuad Amsari, salah seorang anggota dewan pakar ICMI
pusat, Menurutnya, Islam harus dipahami secara utuh untuk diteruskan dan diajarkan pada
generasi selanjutnya. Keutuhan isi ajaran Islam harus dilihat dari lima aspek kehidupan
manusia, yakni
1. Aspek aqidah, bahwa hanya prinsip Islam saja yang bisa membawa manusia pada
keberhasilan hidup di dunia di akhirat
2. Aspek lingkup substansi ajaran Islam, yang meliputi ajaran tentang cara hidup sebagai
pribadi, sebagai keluarga, dan sebagai tatanan social
3. Aspek pemanfaatan sumber acuan untuk menggali substansi Islam secara lengkap
(kaffah), yang meliputi al-Quran, Sunnah Nabi, Kitab Ulama Salaf, IPTEK, dan
produk musyawarah .
4. Aspek penguasaan ajaran Islam, yang meliputi pemahaman kognitif, afektif, dan
psikomotor dalam mengaplikasikan Islam; dan
2
5. Aspek perjuangan menegakkan kebaikan dan menangkal kemungkaran sebagai
bentuk bukti kedalaman keyakinan akan kebenaran Islam (Fuad Amsari, 1995).
Di lain pihak, pengembangan IPTEK di Indonesia harus selalu diupayakan agar tetap
dijiwai oleh nilai-nilai agama, atau minimal tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Dengan demikian Pendidikan Agama harus dapat menserasikan kehidupan lahiriah dan
kematangan rohaniah serta keluasan jangkauan akal dan ketinggian moral yang pada akhirnya
akan dapat dicapai kebahagiaan seperti yang diidam-idamkan, yakni masyarkat dan negara
yang adil dan makmur yang diridoi.
Proses Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan
Islam hingga zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi saw secara
jelas menegaskan semangat Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yaitu ketika Allah menekankan
bahwa Dia adalah sumber dan asal ilmu manusia.
Munculnya ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan disebabkan adanya premis bahwa ilmu
pengetahuan tidak bebas nilai. Ilmu-ilmu yang terkontaminasi oleh premis demikian dan telah
melalui proses sekularisasi dan westernisasi yang tidak lagi sesuai dengan kepercayaan, justru
ini akan membahayakan ummat Islam. Naquib al-Attas menegaskan bahwa ilmu itu tidaklah
bebas nilai tapi sarat akan nilai. Sedangkan al Faruqi menjelaskan bahwa akibat kemunduran
ummat Islam, karena adanya system pendidikan yang berusaha menjauhkan ummat Islam
dari agamanya sendiri dan dari sejarah kegemilangan yang seharusnya dijadikan kebanggaan
tersendiri atas agama Islam.
3
Oleh sebab itu ia memberikan solusi, yaitu perlunya perbaikan system pendidikan
yang memadukan antara ilmu-ilmu umum dan agama sebagai langkah membentuk peradaban
Islam yang sempurna. Pada akhir abad 20-an, konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan mendapat
kritikan dari kalangan pemikir Muslim sendiri, seperti Fazlul Rahman, Muhsin Muhdi, Abdus
Salam Soroush, Bassam Taibi dan lainnya. Fazlul Rahman misalnya mengemukakan bahwa
ilmu pengetahuan tidak dapat di Islamkan karena tidak ada yang salah dalam ilmu
pengetahuan.
1) Telaah Ontologis
Secara ontologis, Islamisasi Ilmu Pengetahuan memandang bahwa dalam relitas alam
semesta, sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur. Pandangan akan adanya
hukum alam tersebut sama dengan kaum sekuler tetapi dalam pandangan Islam hukum
tersebut adalah ciptaan Allah.
Al-Qur’an berisi petunjuk tentang obyek studi (ontologis) yang lengkap dengan
perintah mempelajari segala apa yang ada di langit dan di bumi dan di antara keduanya. Allah
telah menunjukkan obyek ilmu itu tidaklah berarti pembatasan bagi manusia untuk
membatasi diri hanya mempelajari obyek yang ada, namun bagi manusia untuk
mengembangkan lebih maju lagi pencarian ilmunya. Yang perlu diperhatinkan bahwa
petunjuk ontologis dari al-Qur’an boleh jadi sederhana tapi mempunyai makna konotasi yang
luas dan mendalam.Sebagaimana contoh QS Abasaa (80): 24 Allah berfirman:
َ سا ُن ِإ َلى
ط َعا ِم ِه َ اْل ْن ُ فَ ْليَ ْن
ِ ْ ظ ِر
4
Dengan perintah yang sangat singkat ini, manusia dapat menentukan objek ilmu untuk
dipelajari yang tiada akhirnya. Dalam konteks ini untuk memahami nilai-nilai kewahyuan,
ummat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Karena realitasnya saat ini, ilmu
pengetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan tingkat kemajuan ummat manusia.
Dengan demikian dapat dipahami untuk mengulang kembali kesuksesan yang pernah diraih
di masa silam, Islamisasi Ilmu Pengetahuan harus tetap digalakkan.
2.Telaah Epistemologi
Epistemologi adalah ilmu yang membahas apa pengetahuan itu dan bagaimana cara
memperolehnya. Sehingga dapat dipahami bahwa epistemology mempersoalkan metodologi
penerapan ilmu pengetahuan, dalam hal ini proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Al-Qur’an
merupakan kitab yang sangat sempurna dalam menjelaskan metode pengembangan ilmu.
Misalnya perlu mengingat dan menghafal tersirat dalam QS al-Baqarah (2) : 31
َ علَى ْال َم ََلئِ َك ِة فَقَا َل أ َ ْنبِئُونِي بِأ َ ْس َماءِ َهؤ ََُل ِء إِ ْن كُ ْنُ ُ ْم
َََا ِدِِي َ ض ُه ْم َ علَّ َم آدَ َم ْاْل َ ْس َما َء كُلَّ َها ث ُ َّم
َ ع َر َ َو
5
Sebagai contoh QS al-Ghasyiyah (88): 17-20
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,
Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?.Dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan?. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas tidak bisa dengan observasi atau eksperimen saja,
melainkan diperlukan hipotesa yang membutuhkan proses berfikir dan berimajinasi yang
intens. Dalam al-Qur’an disampaikan bahwa masih ada proses pengembangan ilmu dan
teknologi yang lebih hakiki yaitu ilham yang diberikan kepada beberapa orang.
Dari keterangan di atas memberikan gambaran kepada ummat Islam untuk melihat
sisi lain yang juga menunjang keberhasilan Islam dalam menemukan dan mengembangkan
ilmu pengetahuan. Dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan mengalami proses yang panjang
tentang transformasi ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke dunia Barat dalam hubungan
timbal balik, baik itu dalam bentuk kajian, penafsiran maupun dalam bentuk penerjemahan.
3.Telaah Aksiologis
Telaah aksiologi sasarannya adalah manfaat dari hasil kajian yang dijadikan bahasan
materi, dengan artian bahwa aksiologidiartikan nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh.Dalam hubungannya dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dapat
dikatakan bahwa dengan Islamisasi dapat diketahui dengan jelas kalau Islam bukan hanya
mengatur segi-segi ritualitas dalam arti shalat, puasa, zakat dan haji saja, melainkan sebuah
ajaran yang mengintegrasikan segi-segi kehidupan duniawi termasuk ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Selain beberapa hal di atas, juga muncul para filosof dan cendikiawan muslim tidak
lain oleh karena mereka bukan hanya menguasai ilmu-ilmu Islam saja tetapi juga menguasai
6
ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Dengan ilmu, mereka dapat mempelajari gejala alam dan
menciptakan peralatan untuk mengontrol gejala-gejala alam sesuai dengan hukumnya.
Melemahnya orientasi social ummat Islam ini secara tidak sadar telah memilah-milah
pengertian Islam yang kaffah ke dalam pengertian parsial dalam hakikat hidup
bermasyarakat. Islam hanya dipandang dari arti ritual semata, sementara urusan lain banyak
didomionasi dan dikendalikan oleh konsep-konsep Barat. Akibatnya, ummat Islam lebih
mengenal budaya Barat dari pada budayanya sendiri.
Beberapa faktor yang menjadi tantangan ilmu- ilmu keIslaman di tengah perkembangan
sains modern, di antaranya:
1. Ambivalensi Teknologi.
Teknologi bagaimanapun bentuknya akan selalu bersifat ambivalen, yaitu ada untung
ruginya.yang dalam bahasa Fiqhinya disebut manfaat dan mudharat bagi manusia dan
alam lingkungannya. Dalam lingkungan hidup misalnya dengan muncul istilah
pengikisan lapisan ozon, radiasi nuklir, limbah industry, rekayasa genetika dan lainnya.
Hal ini penting mengingat teknologi pada kenyataannya merupakan alat bagi manusia,
sementara dalam kehidupan manusia memiliki tujuan dan cara pencapaiaan yang
tentunya harus mengandung nilai agama. Oleh karena itu, seorang ilmuan Muslimharus
menyadari ia harus memulai sesuatu, kemanapun ia beranjak, ia harus melangkah dari
tradisi ke-Islaman yang merupakan identitasnya.
2. Di kalangan Islam masih banyak yang menekankan studi pustaka dari pada studi
atas realitas sosio-kultur.
7
Hal ini mengakibatkan kurang berkembangnya literature-literatur tentang ilmu-ilmu
empiris Islam seperti Sosiologi Islam, Antropologi Islam, Psikologi Islam, ekonomi
Islam dan sebagainya. Hal ini sangat berbeda dengan tokoh ilmuan Muslim di abad
renaisans Islam, di mana hasil karyanya dijadikan sumber rujukan dalam studi pustaka.
Ini dapat dilihat dari karya Ibn Ya’qub an-Nadim yang berisi tentang ensiklopedia (al-
Fihrist), bidang Astronomi oleh Mahani, bidang Zologi oleh ad-Dinawari dan lain
sebagainya.
3. Belum adanya paradigma yang jelas tentang posisi nilai normative, eksistensi dan
struktur keilmuan Islam.
Adapun upaya untuk mengatasi hal tersebut di atas, Ismail Razi al-faruqi melakukan
langkah-langkah berikut:
1. Memadukan system pendidikan Islam, dikotomi pendidikan umum dan islam harus
dihilangkan.
2. Meningkatkan visi Islam dengan cara mengukuhkan identitas Islam melalui dua tahap,
yaitu mewajibkan bidang studi sejarah Peradaban Islam dan Islamisasi Ilmu
Pengetahuan.
8
3. Untuk mengatasi persoalan metodologi, ditempuh langkah-langkah berupa penegasan
prinsip-prinsip pengetahuan Islam.
c. Membangun relevansi yang Islami bagi setiap bidang kajian atau wilayah
penelitian pengetahuan modern.
d. Mencari jalan dan upaya untuk menciptakan sintesis kreatif antara warisan Islam
dengan pengetahuan modern.
Sementara al-Attas menguraikan bahwa semua ilmu pengetahuan masa kini, secara
keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi
intelektual dan persepsi psikologi dari kebudayaan dan peradaban Barat yang saling
berkaitan.
e. Peniruan terhadap drama dan tragedy yang dianggap sebagai realitas universal
dalam kehidupan spiritual, atau transedental atau kehidupan batin manusia.
9
Kelima hal tersebut di atas, merupakan prinsip-prinsip utama dalam pengembangan
keilmuan Barat, yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan harus dihindari oleh
ummat Islam.
Tauhid
Khilafah
‘ibadah
‘Adl Zulm
Istishlah Diya
Skema di atas kurang lebih dapat dijelaskan sebagai berikut: Iman kepada Sang
Pencipta membuat ilmuwan Muslim lebih sadar akan segala aktivitasnya. Mereka
bertanggungjawab atas perilakunya dengan menempatkan akal di bawah otoritas Tuhan.
Karena itu, dalam Islam, tidak ada pemisahan antara sarana dan tujuan sains. Keduanya
tunduk pada tolok ukur etika dan nilai keimanan. Ia harus mengikuti prinsip bahwa sebagai
ilmuwan yang harus mempertanggungjawabkan seluruh aktivitasnya pada Tuhan, maka ia
harus menunaikan fungsi sosial sains untuk melayani masyarakat, dan dalam waktu yang
bersamaan melindungi dan meningkatkan institusi etika dan moralnya. Dengan demikian,
pendekatan Islam pada sains dibangun di atas landasan moral dan etika yang absolut dengan
sebuah bangunan yang dinamis berdiri di atasnya. Akal dan objektivitas dianjurkan dalam
rangka menggali ilmu pengetahuan ilmiah, di samping menempatkan upaya intelektual dalam
batas-batas etika dan nilai-nilai Islam.
11
ASASI mendukung cita-cita untuk mengembalikan bahasa Arab, selaku bahasa Al-Qur’an,
kepada kedudukannya yang hak dan asli sebagai bahasa ilmu bagi seluruh Dunia Islam, dan
berusaha menyatukan ilmuwan-ilmuwan Muslim ke arah memajukan masyarakat Islam
dalam bidang sains dan teknologi.
12
ketiga berkenaan dengan metode-metode pengembangan ilmu dan komponen terakhir
berkenaan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh ilmu.
5. Model Bucaillisme
Model ini menggunakan nama salah seorang ahli medis Perancis, Maurice Bucaille,
yang pernah menggegerkan dunia Islam ketika menulis suatu buku yang berjudul "La Bible,
le Coran et la Science”, yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Model ini
bertujuan mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat Al-Qur’an. Model ini banyak
mendapat kritik, lantaran penemuan ilmiah tidak dapat dijamin tidak akan mengalami
perubahan di masa depan. Menganggap Al-Qur’an sesuai dengan sesuatu yang masih bisa
berubah berarti menganggap Al-Qur’an juga bisa berubah.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa pada intinya pendidikan Islam di era
globalisasi adalah pendidikan Islam yang mampu menyesuaikan perkembangan
zaman dan perkembangan teknologi. Maka yang harus dilakukan adalah
mengembangkan sistem pendidikan yang berwawasan global agar menghasilkan out
put (lulusan) dari lembaga pendidikan Islam yang lebih bermutu, supaya mereka
percaya diri dalam menghadapi persaingan global.
B. Saran
Demikianlah materi yang dapat kami sampaikan dalam makalah ini, semoga dengan
adanya makalah ini kita dapat memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kami
banyak berharap kepada para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada pemakalah demi menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
16
DAFTAR PUSTAKA
17