Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PENGANTAR PENDIDIKAN

SEJARAH PENDIDIKAN

DISUSUN OLEH

KELOMPOK : II (DUA)

ANGGOTA : M. FRENGKY SETIAWAN (ACD 117 006)

MARDINA (ACD 117 007)

FITRIYAH (ACD 117 008)

NUR LAILA KHASANAH (ACD 117 009)

ROKHIM ARIFIN (ACD 117 011)

KELAS : A

DOSEN PENGAMPU : Dra. ISNA FAUZIAH, M. Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2018
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang mana berkah rahmat
dan karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah “Sejarah Pendidikan” yang mana
tugas ini diberikan oleh dosen pengampu Pengantar Pendidikan, Ibu Dra. Isna Fauziah, M. Pd.

Dalam proses pembuatan makalah ini, tentunya tim penulis mendapat banyak
hambatan. Oleh karena itu, tim penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu. Tim penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca, guna menunjang lengkapnya makalah ini. Semoga makalah ini dapat menambah
wawasan kita semua serta berguna bagi pembaca.

Palangka Raya, 29 April 2018

Tim Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................................2


Daftar Isi .............................................................................................................................3
Bab I Pendahuluan ...........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang ................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................................5
Bab II Pembahasan ..........................................................................................................6
2.1 Masa Perjuangan Bangsa .................................................................................6
2.2 Masa Pembangunan .........................................................................................7
2.3 Masa Reformasi ...............................................................................................8
Bab III Penutup ................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................11
3.2 Saran ................................................................................................................11
Daftar Pustaka ..................................................................................................................12

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan sudah sepatutnya menentukan masa depan suatu negara. Bila visi
pendidikan tidak jelas, yang dipertaruhkan adalah kesejahteraan dan kemajuan bangsa.
Visi pendidikan harus diterjemahkan ke dalam sistem pendidikan yang memiliki
sasaran jelas, dan tanggap terhadap masalah-masalah bangsa. Karena itu, perubahan
dalam subsistem pendidikan merupakan suatu hal yang sangat wajar, karena kepedulian
untuk menyesuaikan perkembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Sudah seyogyanya sistem pendidikan tidak boleh jalan di tempat, namun setiap
perubahan juga harus disertai dan dilandasi visi yang mantap dalam menjawab
tantangan zaman.

Di Indonesia, berubahnya subsistem pendidikan (kurikulum, UU) biasanya


tidak ditanggapi dengan antusiasme, namun malah sebaliknya membuat masyarakat
ragu apakah penguasa di Indonesia memiliki visi pendidikan yang jelas atau tidak. Visi
pendidikan diharapkan mampu menentukan tujuan pendidikan yang jelas. Karena,
tujuan pendidikan yang jelas pada gilirannya akan mengarahkan ke pencapaian
kompetensi yang dibutuhkan serta metode pembelajaran yang efektif. Dan pada
akhirnya, kelak pendidikan mampu menjawab tuntutan untuk menyejahterakan
masyarakat dan kemajuan bangsa. Setidaknya ada empat tujuan yang menjadi
idealisme pendidikan, antara lain sebagai berikut:

1. Perolehan pengetahuan dan keterampilan (kompetensi) atau kemampuan


menjawab permintaan pasar.
2. Orientasi humanistik
3. Menjawab tantangan-tantangan sosial, ekonomi, serta masalah keadilan.
4. Kemajuan ilmu itu sendiri.

Dari keempat tujuan pendidikan di atas, setidaknya poin nomor 2 yang


berorientasi pada tujuan memanusiakan manusia atau humanistis, menjadi poin yang
penting dalam proses pendidikan, dan sudah sepatutnya bahwa pendidikan harus
menjunjung hak-hak peserta didik dalam memperoleh informasi pengetahuan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah ada, maka rumusan permasalahan yang
terkait dengan sejarah pendidikan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana sejarah pendidikan pada masa perjuangan bangsa ?
2. Bagaimana sejarah pendidikan pada masa pembangunan ?
3. Bagaimana sejarah pendidikan pada masa reformasi ?

4
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan ingin dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui sejarah pendidikan pada masa perjuangan bangsa.
2. Mengetahui sejarah pendidikan pada masa pembangunan.
3. Mengetahui sejarah pendidikan pada masa reformasi.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Masa Perjuangan Bangsa

A. Zaman Kolonial Belanda


Saat Belanda menjajah Indonesia, pendidikan yang ada diawasi secara ketat
oleh Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda tahu bahwa melalui pendidikan,
gerakan-gerakan perlawanan halus terhadap keberadaan Belanda di Indonesia pada saat
itu dapat muncul dan menyulitkan Belanda. Tiga poin utama dalam politik etis Belanda
pada masa itu adalah irigasi, migrasi, dan edukasi. Dalam poin edukasi, pemerintah
Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya barat untuk kalangan pribumi. Akan tetapi
keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sarana pencerdasan masyarakat
pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda ternyata hanya sebatas mengajari para
pribumi berhitung, membaca, dan menulis. Pada masa ini pula, pendidikan-pendidikan
rakyat juga turut muncul. Sekolah-sekolah rakyat seperti Taman Siswa dan
Muhammadiyah muncul dan berkembang. Jadi dapat dikatakan pada masa tersebut
terdapat 3 tipe jalur pendidikan yang berbeda:
1) Sistem pendidikan dari masa islam yang diwakili dengan pondok pesantren.
2) Pendidikan bergaya barat yang disediakan oleh pemerintah Hindia-Belanda.
3) Pendidikan “swasta pro-pribumi” seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah.

Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui


pendidikan. Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan
bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin meningkat dengan
lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928. Setelah itu tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah
Mohammad Syafei dengan Indonesisch Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara
dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan
Muhammadiyah-nya yang semuanya mendidik anak-anak agar bisa mandiri dengan
jiwa merdeka (Pidarta, 2009: 125-33).

B. Zaman Kolonial Jepang


Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Kolonial Jepang tetap
berlanjut sampai cita-cita untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras
habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah dan
terus mengobarkan semangat 45 di hati mereka. Meskipun demikian, ada beberapa segi
positif dari penjajahan Jepang di Indonesia. Di bidang pendidikan, Jepang telah
menghapus dualisme pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan
pendidikan yang sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara
luas diinstruksikan oleh Jepang untuk digunakan di lembaga-lembaga pendidikan, di
kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa
Indonesia untuk merealisasi Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 cita-cita
bangsa Indonesia menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan
kepada dunia (Mudyahardjo, 2012:266-272).

6
2.2 Masa Pembangunan
Dalam rangka menyesuaikan segala usaha untuk mewujudkan Manipol,
melalui Keputusan Presiden RI No. 145 Tahun 1965 pendidikan nasional dipandang
sebagai alat revolusi. Pendidikan harus difungsikan atau harus memiliki Lima Dharma
Bhakti Pendidikan, yaitu:
1. Membina Manusia Indonesia Baru yang berakhlak tinggi (Moral Pancasila),
2. Memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam segenap bidang dan tingkatnya
(manpower),
3. Memajukan dan mengembangkan kebudayaan nasional,
4. Memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknlogi,
5. Menggerakkan dan menyadarkan seluruh kekuatan rakyat untuk membangun
masyarakat dan manusia Indonesia baru.

Selanjutnya dinyatakan bahwa asas pendidikan nasional adalah Pancasila – Manipol


USDEK. Dengan demikian tujuan pendidikan nasional adalah untuk melahirkan warga
negara-warga negara sosialis Indonesia yang susila yang bertanggung jawab atas
terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun
material dan berjiwa Pancasila. Dalam hal ini, moral pendidikan nasional ialah
Pancasila Manipol/USDEK, dan politik pendidikannya adalah Manifesto Politik.
Selanjutnya melalui Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Sistem Pendidikan Nasional Pancasila antara lain dirumuskan kembali mengenai dasar
asas pendidikan nasional, tujuan, isi moral, dan politik nasional. Yang menarik dalam
rumusan-rumusan tersebut ditegaskan sekali lagi bahwa tugas pendidikan nasional
Indonesia ialah menghimpun kekuatan progresif revolusioner berporoskan Nasakom.
Banyak progam pembangunan yang telah direncanakan dalam Pembangunan Nasional
Semesta Berencana Tahap Pertama (1961-1969). Rencana proyek pembangunan di
bidang pendidikan antara lain berkenaan pengembangan pendidikan tinggi,
diprioritaskannya pengembangan sekolah-sekolah kejuruan, kursus-kursus dan
sebagainya. Namun demikian akibat pecahnya pemberontakan G-30S/PKI, maka
rontoklah rencana pembangunan nasional semesta berencana tersebut. Setelah
pemberontakan G30S/PKI dapat ditumpas, terjadi suatu keadaan peralihan masyarakat
Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru.

Pendidikan Pada Masa PJP I (Pembangunan Jangka Panjang)


Pelaksanaan Pelita I PJP I dicanangkan mulai 1 April 1969, maka pada tanggal 28-30
April 1969 pemerintah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan 100
orang pakar/pemikir pendidikan di Cipayung untuk melakukan konferensi dalam
rangka: 1) mengidentifikasi masalah-masalah pendidikan nasional, dan 2) menyusun
suatu prioritas pemecahan dari berbagai masalah tersebut, serta mencari alternatif
pemecahannya.

Didalam rumusan-rumusan kebijakan pokok pembangunan pendidikan


selama PJP I terdapat beberapa kebijakan yang terus menerus dikemukakan, yaitu:

7
1) relevansi pendidikan,
2) pemerataan pendidikan,
3) peningkatan mutu guru atau tenaga kependidikan,
4) mutu pendidikan, dan
5) pendidikan kejuruan.

Selain kebijakan pokok tersebut terdapat pula beberapa kebijakan yang perlu mendapat
perhatian kita. Pertama, kebijakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam
bidang pendidikan. Kedua, pengembangan sistem pendidikan yag efisien dan efektif.
Ketiga, dirumuskan dan disahkannya UU RI No. 2 Tahun 1989 Tentang “ Sistem
Pendidikan Nasional” sebagai pengganti UU pendidikan lama yang telah diundangkan
sejak tahun 1950. Kurikulum Pendidikan dalam PJP I telah dilakukan tiga kali
perubahan kurikulum pendidikan (sekolah), yaitu dikenal sebagai: Kurikulum 1968,
Kurikulum 1975, dan Kurikulum 1984. Kurikulum Pendidikan Kejuruan, dalam Pelita I
selain penyempurnaan sistem sekolah kejuruan juga ditingkatkan mutu pendidikannya
terutama mutu guru dan laboratoriumnya. Dengan dana pinjaman Bank Dunia diadakan
berbagai usaha untuk meningkatkan pendidikan teknik menengah. Beberapa STM
ditingkatkan, juga membangun apa yang disebut Sekolah Teknik Menengah
Pembangunan, diadakan bengkel-bengkel latihan pusat yang dapat digunakan beberapa
STM termasuk STM swasta. Usaha perbaikan kurikulum terus menerus, baik melalui
dan pinjaman dari ADB juga bantuan dari negara-negara sahabat.

2.3 Masa Reformasi


Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang
terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara
runtuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan
dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu membuat
masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik
tetapi tidak mampu menawarkan solusi.

Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari sistem pendidikan


nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu
mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus
bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu itu
baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yag tidak kompetetif hari ini
adalah juga produk dari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk
mengubah sistem pendidikan secara radikal juga punya problem, yaitu tenaga guru
yang kita miliki adalah produk dari sistem pendidikan yang tidak tepat. Dalam konsep
IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer
kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus.

Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh


untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa.
Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada teks book dibanding

8
melakukan ujicoba sistem di lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga pengajar,
bukan guru yang digugu dan ditiru seperti dalam filsafat pendidikan nasional kita sejak
dulu. Mestinya Doktor dan Profesor bidang pendidikan tetap mengajar di SD-SLP
sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan berbasis budaya, menemukan realita-
realita yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi
untuk kemudian mengatur pendidikan dari balik meja berpedoman kepada teori-teori
Barat. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar, maka sulit
mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan berikutnya.

Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan


di APBN menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatifitas Depdiknas, hanya
pada proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan.

Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa


terikat aturan birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika
dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan.
Sekolah international diperlukan sebagai respond terhadap globalisasi, tetapi
pembukaan sekolah internasional oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa
karena filsafat pendidikannya berbeda. Untuk mempercepat dan memperluas budaya
belajar sebaiknya anggaran pendidikan negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah
formal, tetapi juga untuk sekolah informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti
pasar tenaga kerja tidak lagi melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga
kerja, dan ini bisa dikermbangkan di sekolah informal dan non formal. Pada satu titik
nanti, gelar-gelar akademik juga tidak lagi relevan.

a. Dimensi Politik-Kebijakan
Dimensi politik berkaitan dengan otoritas, kekuasaan dan pengaruh
(termasuk negoisasi) untuk memecahkan konflik-konflik dan isu-isu pendidikan. Aspek
politik dari reformasi pendidikan amat kompleks. Keberhasilan dalam mengendalikan
aspek politik ini ditunjukkan dengan adanya berbagai kebijakan dan setiap kebijakan
saling melengkapi serta menuju sasaran utama yaitu meningkatkan kemajuan
pendidikan.

Dimensi politik ini tidak sekedar hak-hak politik warga sekolah/institusi


pendidikan, khususnya tenaga pengajar/guru/dosen dan kepala sekolah/rektor, tetapi
mempunyai pengertian yang luas, yakni penekanan pada kebebasan atau otonomi
sekolah, khususnya dalam kaitannya dengan masyarakat sekitar. Dengan otonomi
tersebut maka keberadaan sekolah/lembaga pendidikan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat dan tidak terlalu menggantungkan pada birokrasi di atas.

Keberhasilan reformasi pendidikan ditentukan oleh keberhasilan dalam


memberdayakan guru/dosen, dimana guru/dosen memiliki otonomi profesional dan
kekuasaan untuk menentukan bagaimana visi dan misi sekolah/institusi
pendidikan/lembaga pendidikan harus diimplementasikan dalam praktek sehari-hari.

9
Selain itu pemberdayaan guru/dosen perlu dilakukan pula melalui pemberian
kesempatan dan dorongan bagi mereka untuk selalu belajar menambah ilmu. Proses
pembelajaran (learning) sepanjang waktu bagi tenaga pendidik/guru/dosen merupakan
keharusan dan menjadi titik sentral dalam reformasi pendidikan.

b. Dimensi Teknis Operasional


Dimensi teknis berkaitan dengan profesionalisme dan tingkat pengetahuan
pendidik, atau dengan kata lain aspek teknis dipusatkan pada kemauan dan kemampuan
guru/dosen untuk melaksanakan reformasi pada dimensi kelas atau melaksanakan
proses belajar-mengajar sebagaimana dituntut oleh reformasi.

Kemampuan pendidik yang dituntut dalam reformasi pendidikan pada


umumnya adalah kemampuan penguasaan materi kurikulum dan kemampuan
paedogogik. Orientasi kurikulum menitikberatkan pada penguasaan konsep-konsep
pokok dan menekankan pada cara bagaimana peserta didik menguasai konsep dan
hubungan untuk dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat. Disamping perlu
penyempurnaan kurikulum, pendidik harus memahami dan memiliki motivasi untuk
mempergunakan pendekatan dan cara belajar yang lebih natural/alami dan menarik.
Untuk itu perlu dikembangkan tim kerja yang melibatkan pendidik dan para pakar/ahli
agar dapat terjalin komunikasi yang baik sehingga berdampak positif bagi pendidik itu
sendiri dalam mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya.

c. Dimensi Kontekstual
Pendidikan tidak berproses dalam suasana vakum dan tertutup, namun
terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan aspek-aspek lain diluar pendidikan. Aspek-
aspek lain tersebut dapat berdampak positif maupun negatif bagi pendidikan. Aspek-
aspek tersebut antara lain: kepedulian masyarakat terhadap pendidikan, perkembangan
media massa, dan sistem politik pemerintah.

Keberhasilan reformasi pendidikan ditentukan juga oleh dukungan


masyarakat, warga masyarakat, khususnya orang tua siswa perlu dilibatkan untuk
berpartisipasi dalam proses pembelajaran secara aktif. Maka untuk itu, orang tua siswa
dan tokoh-tokoh masyarakat perlu diajak memahami visi dan misi institusi pendidikan
tersebut sehingga mereka dapat mengambil peran dalam melaksanakan misi tersebut
sesuai dengan keyakinan dan kemampuannya.

d. Program Aksi Reformasi


Dalam pembahasan sebelumnya kita ketahui bahwa empat dimensi/aspek
tersebut secara riil dapat diimplementasikan dalam "action program" dan memberikan
dukungan yang signifikan dalam kontribusinya meningkatkan kualitas pendidikan
sesuai dengan tujuan reformasi yang diharapkan. Program aksi yang perlu
dikembangkan untuk menunjukkan tujuan reformasi tersebut dapat diwujudkan dalam
matriks analisa reformasi.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan sejarah pendidikan pada
masa perjuangan bangsa terbagi menjadi dua zaman yaitu zaman kolonial Belanda dan
kolonial Jepang. Pada zaman kolonial Belanda ini terdapat 3 tipe jalur pendidikan yang
berbeda :
1) Sistem pendidikan dari masa islam yang diwakili dengan pondok pesantren.
2) Pendidikan bergaya barat yang disediakan oleh pemerintah Hindia-Belanda.
3) Pendidikan “swasta pro-pribumi” seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah.

Adapun pada zaman kolonial Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari
penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua
orang dan pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang untuk
digunakan di lembaga-lembaga pendidikan.

Pendidikan Pada Masa PJP I (Pembangunan Jangka Panjang) terdapat


beberapa kebijakan yang terus menerus dikemukakan, yaitu: relevansi pendidikan,
pemerataan pendidikan, peningkatan mutu guru atau tenaga kependidikan, mutu
pendidikan, dan pendidikan kejuruan. Sedangkan pada reformasi pendidikan yang
diperlukan bersifat mendasar dan menyeluruh, menyangkut dimensi politik-kebijakan,
dimensi teknis operasional, dimensi kontekstual dan program aksi reformasi.

3.2 Saran
Kita sebagai generasi muda hendaknya lebih rajin dan giat lagi dalam belajar
dan menempuh pendidikan tanpa ada kata malas karena mengingat sejarah pendidikan
pada zaman dulu bagaimana susahnya memperjuangan pendidikan hingga bisa seperti
sekarang ini. Sudah seharusnya kita menghargainya dengan giat terus belajar dalam
menempuh pendidikan hingga mampu menciptakan berbagai prestasi-prestasi yang
membanggakan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Winarno, Agung. 2014. Pengantar Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.

Suardi. 2012. Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi. Jakarta Barat: PT INDEKS.

Dekarta, Eka. 2013. Landasan Sejarah Pendidikan di Indonesia. Diambil dari


https://ikadekartajaya.wordpress.com/2013/09/21/landasan-sejarah-pendidikan-
di-indonesia/. Diakses pada 29 April 2018, pada pukul 15.00 WIB.

12

Anda mungkin juga menyukai