Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN


KEJURUAN

Disusun oleh

ELFIA ZULHIJAH (1517818005)

HENDRY (1517818011)

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN VOKASI DAN KEJURUAN

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2018
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................. i


Daftar Isi ....................................................................................................... ii
PENGANTAR
1. Ringkasan Isi Materi…………………………………………….. .... 1
2. Kompetensi Sasaran ........................................................................... 2

NASKAH AKADEMIK
1. Sejarah dan Perkembangan Kurikulum ............................................. 3
1.1 Pendidikan Sebelum Masa Kolonialisme ................................... 4
1.2 Pendidikan Masa Kolonialisme ................................................... 4
1.3 Pendidikan Setelah Indonesia Merdeka ...................................... 4
1.4 Sejarah Perkembangan PTK ........................................................ 4
2. Definisi Kurikulim PTK
2.1 Konsep Dasar Pendidikan Teknologi dan Kejuruan .................... 4
2.2 Bentuk Pendidikan Teknologi dan Kejuruan ............................... 5
3. Karakteristik Kurikulum PTK……………………………………....
4. Rasional Pengembangan Kurikulum pada PTK
4.1 Sistem Pendidikan Teknologi dan Kejuruan di Indonesia ........... 25
4.2 Tantangan PTK Masa Depan ....................................................... 25
4.3 Tokoh Teori Behaviorisme .......................................................... 26
4.4 Psikologi Perkembangan .............................................................. 27
4.5 Humanisme .................................................................................. 28
4.6 Tokoh-Tokoh Humanisme ........................................................... 29

KESIMPULAN ………………………………………………………………… 30
EVALUASI ……………...................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 31

PENGANTAR

1. Ringkasan Isi Materi

Perkembangan dunia pendidikan saat ini memasuki era yang ditandai dengan pesatnya
inovasi teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi, sehingga menuntut
penyesuaian sistem pendidikan yang selaras dengan tuntutan dunia kerja. Di sisi lain, tingkat
keberhasilan pembangunan nasional Indonesia di berbagai sektor akan sangat bergantung
pada sumber daya manusia. Sebagai asset bangsa dalam mengoptimalkan perkembangan
seluruh sumber daya manusia yang dimiliki, upaya yang dapat dilakukan dan ditempuh
melalui pendidikan, baik melalui jalur pendidikan formal, informal, maupun non formal.
Pendidikan kejuruan merupakan salah satu jalur pendidikan formal yang bertujuan
menyiapkan peserta
didik untuk memiliki keunggulan di dunia kerja. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan
kejuruan diperuntukkan bagi peserta didik agar menjadi manusia seutuhnya yang mampu
meningkatkan kualitas hidup, mampu mengembangkan dirinya, dan memiliki keahlian dan
keberanian membuka peluang meningkatkan penghasilan.

2. Kompetensi Sasaran
 Setelah berdiskusi mahasiswa diharapkan dapat mengetahui sejarah dan
perkembangan kurikulum
 Setelah berdiskusi mahasiswa diharapkan dapat mendefinisikan kurikulum
PTK
 Setelah berdiskusi mahasiswa diharapkan dapat mengetahui karekteristik
kurikulum PTK
 Setelah berdiskusi mahasiswa diharapkan dapat menganalisis rasional
pengembangan kurikulum pada PTK
NASKAH AKADEMIK

1. Sejarah dan Perkembangan Kurikulum


1.1. Pendidikan Sebelum Masa Kolonialisme

Pada saat zaman hindu budha, pendidikan hanya dinikmati oleh kelas Brahmana, yang
merupakan kelas teratas dalam kasta Hindu. Mereka umumnya belajar teologi, sastra, bahasa,
ilmu pasti, dan ilmu seni bangunan. Sejarah mencatat, kerajaan-kerajaan Hindu seperti
Kalingga, Kediri, Singosari, dan Majapahit, melahirkan para empu, punjangga, karya sastra,
dan seni yang hebat.

Padepokan adalah model pendidikan zaman hindu yang dikelola oleh seorang
guru/bengawan dan murid/cantrik mempelajari ilmu bersifat umum, religius, dan juga
kesaktian. Murid di Padepokan bisa keluar masuk bila merasa cukup atau tidak puas dengan
pengajaran guru.

Pada zaman penyebaran Islam, pola pendidikan bernapaskan islam menyebar dan
mewarnai penyelenggaraan pendidikan. Pusat-pusat pendidikan tesebar di langgar, surau,
meunasah (madrasah), masjid, dan pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan formal
tertua di Indonesia. Pesantren diajar oleh seorang kyai, dan santri/murid tinggal di
pondok/asrama di sekitar pesantren. Jumlah pondok pesantren cukup banyak tersebar di
Jawa, Aceh, dan sumatera selatan. Sampai saat ini pondok pesantran masih eksis, menurut
data DEPAG pada tahun 2005-2006 jumlah pesantren yang asa di 33 propinsi di Indonesia
adalah 16.015 buah, dengan jumlah santri sebanyak 3.190.394 orang, dengan proposi laki-
laki 53,2% dan perempuan 46,8%. Bagaimana perkembangan pendidikan islam dari sebelum
merdeka hingga kini, bisa dibaca dihalaman madrasah pada blog ini.

1.2. Pendidikan Masa Kolonialisme

Pada masa penjajahan Portugis didirikan sekolah-sekolah misionaris. Portugis


mendirikan sekolah seminari di Ambon, Maluku, dan sebagian Nusa Tenggara Timur.
Belanda pada awal kedatangannya pun melakukan hal yang sama dengan Portugis.
Pendidikan banyak ditangani oleh kalangan gereja kristen dengan bendera Nederlands
Zendelingen Gennootschap (NZG). Pasca politik etis, Belanda mengucurkan dana pendidikan
yang banyak dan bertambah setiap tahunnya, tetapi tujuannya untuk melestrarikan penjajahan
di Indonesia.

Pada masa penjajahan Belanda, setidaknya ada tiga sistem pendidikan dan pengajaran
yang berkembang saat itu. Pertama, sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan
perantren. Kedua, sistem pendidikan Belanda. Sistem pendidikan Belanda diatur dengan
prosedur yang ketat dari mulai aturan siswa, pengajar, sistem pengajaran, dan
kurikulum. Sistem prosedural seperti ini sangat berbeda dengan sistem prosedural pada
sistem pendidikan islam yang telah dikenal sebelumnya. Sistem pendidikan belanda pun
bersifat diskriminatif. Sekolah-sekolah dibentuk dengan membedakan pendidikan antara
anak Belanda, anak timur asing, dan anak pribumi. Golongan pribumi ini masih dipecah lagi
menjadi masyarakat kelas bawah dan priyayi. Susunan persekolahan zaman kolinial adalah
sebagai berikut (Sanjaya, 2007:207):

a) Persekolahan anak-anak pribumi untuk golongan non priyayi menggunakan pengantar


bahasa daerah, namanya Sekolah Desa 3 tahun. Mereka yang berhasil
menamatkannya boleh melajutkan ke Sekolah Sambungan (Vervolg School) selama 2
tahun. Dari sini mereka bisa melanjutkan ke Sekolah Guru atau Mulo Pribumi selama
4 tahun, inilah sekolah paling atas untuk bangsa pribumi biasa. Untuk golongan
pribumi masyarakat bangsawan bisa memasuki His Inlandsche School selama 7
tahun, Mulo selama 3 tahun, dan Algemene Middlebare School (AMS) selama 3
tahun.
b) Untuk orang timur asing disediakan sekolah seperti Sekolah Cina 5 tahun dengan
pengantar bahasa Cina, Hollandch Chinese School (HCS) yang berbahasa Belanda
selama 7 tahun. Siswa HCS dapat melanjutkan ke Mulo.
c) Sedangkan untuk orang Belanda disediakan sekolah rendah sampai perguruan tinggi,
yaitu Eropese Legere School 7 tahun, sekolah lanjutan HBS 3 dan 5 tahun Lyceum 6
tahun, Maddelbare Meisjeschool 5 tahun, Recht Hoge School 5 tahun, Sekolah
kedokteran tinggi 8,5 tahun, dan kedokteran gigi 5 tahun.

Pemerintah kolonial sebenarnya tidak berniat mendirikan universitas tetapi akhirnya


mereka mendirikan universitas untuk kebutuhan mereka sendiri seperti Rechts Hogeschool
(RH) dan Geneeskundige Hogeschool di Jakarta. Di Bandung, pemerintah kolonial
mendirikan Technische Hogeschool (TH). Kebanyakan dosen TH adalah orang
Belanda. Menurut Soenarta (2005) kaum inlanders atau pribumi agak sulit untuk masuk ke
sekolah-sekolah tinggi itu. Ketika almarhum Prof Roosseno lulus TH, jumlah lulusan yang
bukan orang Belanda hanya tiga orang, yaitu Roosseno dan dua orang lagi vreemde
oosterling alias keturunan Tionghoa. Bila demikian, lantas berapa orang yang lulus bersama
almarhum Ir Soekarno (presiden pertama RI) dan Ir Putuhena? Di zaman pendudukan Jepang,
pernah dicari 100 orang insinyur yang dibutuhkan. Padahal saat itu belum ada 90 orang
insinyur lulusan TH Bandung.

Agar tidak banyak bangsa Indonesia yang melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi,
maka biaya kuliah pun dibuat sangat besar. Menurut Soenarta (2005) biaya kuliah untuk satu
tahun di salah satu sekolah tinggi itu besarnya fl (gulden) 300. Saat itu, harga satu kilogram
(kg) beras sama dengan 0,025 gulden. Maka, besar uang kuliah sama dengan 12.000 kg beras.
Bila ukuran dan perbandingan itu diterapkan sebagai biaya kuliah di universitas sekarang,
sedangkan harga beras sekarang rata-rata Rp 3.000 per kg, maka untuk kuliah di universitas
biayanya sebesar Rp 36 juta per mahasiswa per tahun. Biaya di MULO, setingkat sekolah
lanjutan tingkat pertama, adalah sebesar 5,60 gulden per siswa per bulan, setara dengan 224
kg beras. Bila dihitung dengan harga beras sekarang, akan menjadi Rp 672.000 per siswa per
bulan. Akibatnya banyak anak Indonesia yang lebih memilih masuk Ambachtschool atau
Technische School, karena biayanya agak murah sedikit. Berbekal keterampilan yang
diperoleh di Ambachtschool atau Technische School, siswa bisa langsung bekerja setelah
lulus.

Kurikulum pendidikan Belanda dideisain untuk melestarikan penjajahan di Indonesia,


maka pada kurikulum pun dikenalkan kebudayaan Belanda, juga penekan hanya pada
menulis dengan rapi, membaca, dan berhitung, yang keterampilan ini sangat bermanfaat
untuk diperbantukan pada Pemerintah Belanda dengan gaji yang sangat rendah. Anak-anak
Indonesia pada zaman itu tidak diperkenalkan dengan budayanya sendiri dan potensi
bangsanya. Ketiga, sekolah yang dikembangkan tokoh pendidikan nasional seperti KH
Ahmad Dahlan dan Ki Hajar Dewantara. K.H Achmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah
yang menggunakan sistem pendidikan barat dengan menambanhkan pelajaran agama
islam. Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa dengan membuat sistem pendidikan
yang berakar pada budaya dan filosofi hidup Jawa, yang kemudian dianggap sebagai sistem
pengajaran dan pendidikan nasional.
Pada masa Jepang, pendidikan diarahkan untuk menyediakan prajurit yang siap berperang
di perang Asia Timur Raya. Peggolongan sekolah berdasarkan status soaial yang dibangun
Belanda dihapuskan. Pendidikan hanya digolongkan pada pendidikan dasar 6 tahun,
pendidikan menengah pertama, dan pendidikan menegah tinggi yang masing-masing tiga
tahun, serta pendidikan tinggi. Sekolah Rendah diganti nama menjadi Sekolah Rakyat
(Kokumin Gakko), Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu Gakko), dan Sekolah Mengengah
Tinggi (Koto Chu Gakko). Hampir semua pendidikan tinggi yang ada pada zaman Belanda
ditutup, kecuali Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta, dan Sekolah Teknik Tinggi di
Bandung.

Pada masa peralihan dari Jepang ke Sekutu, ketika proklamasi dikumandangkan,


dibentuklah Panitia Penyelidik Pengajaran RI yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara.
Lembaga ini melahirkan rumusan pertama sistem pendidikan nasional, yakni pendidikan
bertujuan menekankan pada semangat dan jiwa patriotisme. Kemudian disusun punla
pembaruan kurikulum pendidikan dan pengajaran. Kurikulum sekolah dasar lebih
mengutamakan pendekatan filosofis-ideologis. Proses penyunsunan singkat dan tentu saja
tanpa disertai data empiris. Penetapan isi kurikulum di masa permulaan kemerdekaan itu
berdasarkan asumsi belaka.

1.3. Pendidikan Setelah Indonesia Merdeka


Setelah Indonesia merdeka dalam pendidikan dikenal beberapa masa pemberlakuan
kurikulum yaitu kurikulum sederhana (1947-1964), pembaharuan kurikulum (1968 dan
1975), kurikulum berbasis keterampilan proses (1984 dan 1994), dan kurikulum berbasis
kompetensi (2004 dan 2006).
KURIKULUM SEDERHANA (1947-1964)
Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan Rencana Pelajaran 1947. Ketika itu
penyebutannya lebih populer menggunakan leer plan (rencana pelajaran) ketimbang
istilah curriculum dalam bahasa Inggris. Rencana Pelajaran 1947 bersifat politis, yang tidak
mau lagi melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda, yang orientasi
pendidikan dan pengajarannya ditujukan untuk kepentingan kolonialis Belanda. Asas
pendidikan ditetapkan Pancasila. Situasi perpolitikan dengan gejolak perang revolusi, maka
Rencana Pelajaran 1947, baru diterapkan pada tahun 1950. Oleh karena itu Rencana Pelajaran
1947 sering juga disebut kurikulum 1950.Susunan Rencana Pelajaran 1947 sangat sederhana,
hanya memuat dua hal pokok, yaitu daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, serta garis-
garis besar pengajarannya. Rencana Pelajaran 1947 lebih mengutamakan pendidikan watak,
kesadaran bernegara, dan bermasyarakat, daripada pendidikan pikiran. Materi pelajaran
dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian, dan pendidikan
jasmani.

Mata pelajaran untuk tingkat Sekolah Rakyat ada 16, khusus di Jawa, Sunda, dan Madura
diberikan bahasa daerah. Daftar pelajarannya adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah,
Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, Sejarah, Menggambar, Menulis, Seni Suara,
Pekerjaan Tangan, Pekerjaan Keputrian, Gerak Badan, Kebersihan dan Kesehatan, Didikan
Budi Pekerti, dan Pendidikan Agama. Pada awalnya pelajaran agama diberikan mulai kelas
IV, namun sejak 1951 agama juga diajarkan sejak kelas 1. Garis-garis besar pengajaran pada
saat itu menekankan pada cara guru mengajar dab cara murid mempelajari. Misalnya,
pelajaran bahasa mengajarkan bagaimana cara bercakap-cakap, membaca, dan menulis. Ilmu
Alam mengajarkan bagaimana proses kejadian sehari-hari, bagaimana mempergunakan
berbagai perkakas sederhana 9pompa, timbangan, manfaat bes berani), dan menyelidiki
berbagai peristiwa sehari-hari, misalnya mengapa lokomotif diisi air dan kayu, mengapa
nelayan melaut pada malam hari, dan bagaimana menyambung kabel listrik.

Pada perkembangannya, rencana pelajaran lebih dirinci lagi setiap pelajarannya, yang
dikenal dengan istilah Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas
sekali. Seorang guru mengajar satu mata pelajaran”. Pada masa itu juga dibentuk Kelas
Masyarakat. yaitu sekolah khusus bagi lulusan SR 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP.
Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan.
Tujuannya agar anak tak mampu sekolah ke jenjang SMP, bisa langsung bekerja.

Struktur program Sekolah Rakyat (SD) menurut Rencana Pelajaran 1947 adalah sebagai
berikut:
No Mata Pelajaran Kelas
1 2 3 4 5 6
1. B. Indonesia – – 8 8 8 8
2. B. Daerah 10 10 6 4 4 4
3. Berhitung 6 6 7 7 7 7
4. Ilmu Alam – – – – 1 1
5. Ilmu Hayat – – – 2 2 2
6. Ilmu Bumi – – 1 1 2 2
7. Sejarah – – – 1 2 2
8. Menggambar – – – – 2 2
9. Menulis 4 4 3 3 – –
10. Seni Suara 2 2 2 2 2 2
11. Pekerjaan Tangan 1 1 2 2 2 2
12. Pekerjaan kepurtian – – – 1 2 2
13. Gerak Badan 3 3 3 3 3 3
14. Kebersihan dan kesehatan 1 1 1 1 1 1
15. Didikan budi pekerti 1 1 2 2 2 3
16. Pendidikan agama – – – 2 2 2
JUMLAH 28 28 35 38 40 41

KURIKULUM 1964

Pada akhir era kekuasaan Soekarno, kurikulum pendidikan yang lalu diubah menjadi
Rencana Pendidikan 1964. Isu yang berkembang pada rencana pendidikan 1964 adalah
konsep pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif. Konsep pembelajaran ini
mewajibkan sekolah membimbing anak agar mampu memikirkan sendiri pemecahan
persoalan (problem solving). Rencana Pendidikan 1964 melahirkan Kurikulum 1964 yang
menitik beratkan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang
kemudian dikenal dengan istilah Pancawardhana. Disebut Pancawardhana karena lima
kelompok bidang studi, yaitu kelompok perkembangan moral, kecerdasan, emosional/artisitk,
keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pada saat itu pendidikan dasar lebih menekankan
pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis, yang disesuaikan dengan perkembangan
anak. Cara belajar dijalankan dengan metode disebut gotong royong terpimpin. Pemerintah
menerapkan hari sabtu sebagai hari krida yaitu siswa diberi kebebasan berlatih kegitan di
bidang kebudayaan, kesenian, olah raga, dan permainan, sesuai minat siswa. Kurikulum
1964 adalah alat untuk membentuk manusia pacasialis yang sosialis Indonesia, dengan sifat-
sifat seperti pada ketetapan MPRS No II tanun 1960.

Penyelenggaraan pendidikan dengan kurikulum 1964 mengubah penilaian di rapor bagi


kelas I dan II yang asalnya berupa skor 10 – 100 menjadi huruf A, B, C, dan D. Sedangkan
bagi kelas II hingga VI tetap menggunakan skor 10 – 100. Kurikulum 1964 bersifat separate
subject curriculum, yang memisahkan mata pelajaran berdasarkan lima kelompok bidang
studi (Pancawardhana). Struktur program berdasarkan kurikulum ini dapat dilihat pada tabel
di bawah ini:

No Mata Pelajaran Kelas


1 2 3 4 5 6
I Pengembangan Moral
1. Pendidikan 1 2 3 3 3 3
kemasyarakatan
2. Pendidikan 1 2 2 2 2 2
agama/budi pekerti
Perkembangan kecerdasan
3. Bahasa Daerah 9 8 5 3 3 3
II 4. Bahasa Indonesia – – 6 5 8 8
5. Berhitung 6 6 6 6 6 6
6. Pengetahuan alamiah 1 1 2 2 2 2
Pengembangan
III emosional/artistik
7. Pendidikan kesenian 2 2 4 4 4 4
Pengembangan keprigelan
IV
8. Pendidikan keprigelan 2 2 4 4 4 4
Pengembangan jasmani
V 9. Pendidikan 3 3 4 4 4 4
jasmani/Kesehatan
Jumlah 25 26 36 36 36 36

PEMBAHARUAN KURIKULUM 1968 dan 1975

A. Kurikulum 1968

Kurikulum 1968 lahir dengan pertimbangan politik ideologis. Tujuan pendidikan pada
kurikulum 1964 yang bertujuan menciptakan masyarakat sosialis Indonesia diberangus,
pendidikan pada masa ini lebih ditekankan untuk membentuk manusia pancasila sejati.
Kurikulum 1968 bersifat correlated subject curriculum, artinya materi pelajaran pada tingkat
bawah mempunyai korelasi dengan kurikulum sekolah lanjutan. Bidang studi pada kurikum
ini dikelompokkan pada tiga kelompok besar: pembinaan pancasila, pengetahuan dasar, dan
kecakapan khusus. Jumlah mata pelajarannya 9, yang memuat hanya mata pelajaran pokok
saja. Muatan materi pelajarannya sendiri hanya teoritis, tak lagi mengkaitkannya dengan
permasalahan faktual di lingkungan sekitar. Metode pembelajaran sangat dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pendidikan dan psikologi pada akhir tahun 1960-an. Salah satunya
adalah teori psikologi unsur. Contoh penerapan metode pembelajarn ini adalah metode eja
ketika pembelajaran membaca. Begitu juga pada mata pelajaran lain, “anak belajar melalui
unsur-unsurnya dulu”. Struktur kurikulum 1968 dapat dilihat pada tabel berikut ini:

No Mata Pelajaran Kelas


1 2 3 4 5 6
I Pembinaan Jiwa Pancasila
1. Pendidikan agama 2 2 3 4 4 4
2.Pendidikan 2 2 4 4 4 4
kewarganegaraan
3. Bahasa Indonesia – – 6 6 6 6
4. Bahasa Daerah 8 8 2 2 2 2
5. Pendidikan olahraga 2 2 3 3 3 3
Pengembangan pengetahuan
dasar
6. Berhitung 7 7 7 6 6 6
II 7. IPA 2 2 4 4 4 4
8. Pendidikan kesenian 2 2 2 2 2 2
9. Pendidikan 1 1 2 2 2 2
kesejahteraan keluarga
Pembinaan kecakapan
III khusus
10. Pendidikan kejuruan 2 2 5 5 5 5
Jumlah 28 28 40 40 40 40

B. Kurikulum 1975

Dibandingkan kurikulum sebelumnya, kurikulum ini lebih lengkap, jika dilihat dari
pedoman yang dikembangkan dalam kurikulum tersebut. Pada kurikulum SD 7 unsur pokok
yang disajikan dalam 3 buku. Tujuh unsur pokok tersebut adalah dasar, tujun, dan prinsip;
struktur program kurikulum; GBPP; sistem penyajian; sistem penilaian; sistem bimbingan
dan penyuluhan; pedoman supervisi dan administrasi. Pembuatan buku pedoman, pada
kurikulum selanjutnya tetap dipertahankan. Pendekatan kurikulum 1975 menekankan pada
tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efesien, yang mempengaruhinya adalah konsep di
bidang manajemen, yaitu MBO (Management by Objective).

Melalui kurikulum 1968 tujuan pembelajaran setiap mata pelajaran yang terkandung pada
kurikulum 1968 lebih dipertegas lagi. Metode, materi, dan tujuan pengajarannya tertuang
secara gambalang dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Melalui PPSI
kemudian lahir satuan pelajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan
bahsasb memiliki unsur-unsur: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi
pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar mengajar, dan evaluasi.

Kurikulum 1975 didasari konsep SAS (Structural, analysis, sintesis). Anak menjadi pintar
karena paham dan mampu menganalisis sesuatu yang dihubungkan dengan mata pelajaran di
sekolah. Kurikulum 1975 juga dimaksudkan untuk me nyerap perkembangan ilmu era
1970-an. Selain memperkuat matematika, pelajaran teoritis IPA juga dipertajam. Jam
pelajaran yang tadinya 41 jam per minggu, menjadi 43 jam. Pelajaran IPA menjadi gabungan
dari Ilmu Hayat dan Ilmu Alam. Sisi positif kurikulum ini adalah, “ilmu-ilmu dasar yang
diserap siswa SD pada masa itu menjadi semakin berkembang”. Akan tetapi dampak dari
kurikulum 1975 adalah banyak guru menghabiskan waktunya untuk mengerjakan tugas
administrasi, seperti membuat TIU, TIK, dan lain-lain; sedangkan substansi materi uang akan
diajarkan kurang didalami.

Struktur program pada kurikulum 1975 di sekolah dasar adalah sebagai berikut:

No Mata Pelajaran Kelas


1 2 3 4 5 6
1. Pendidikan agama 2 2 2 2 2 2
2. Pendidikan Moral Pancasila 2 2 3 4 4 4
3. B. Indonesia 8 8 8 8 8 8
4. IPS – – 2 2 2 2
5. Matematika 6 6 6 6 6 6
6. IPA 2 2 3 4 4 4
7. Olah raga dan kesehatan 2 2 3 3 3 3
8. Kesenian 2 2 3 4 4 4
9. Keterampilan khusus 2 2 4 4 4 4
JUMLAH 26 26 33 36 36 36

KURIKULUM KETERAMPILAN PROSES


A. Kurikulum 1984

Kurikulum 1984 mengusung process skill approach, yang senada dengan tuntukan GBHN
1983 bahwa pendidikan harus mampu mencetak tenaga terdidik yang kreatif, bermutu, dan
efisien bekerja. Kurikulum 1984 tidak mengubah semua hal dalam, kurikulum 1974, meski
mengutamakan proses tapi faktor tujuan tetap dianggap penting. Oleh karena itu kurikulum
1984 disebut kurikulum 1975 yang disempurnakan. Posisi Siswa dalam kurikulum 1984
diposisikan sebagai subyek belajar. Dari hal-hal yang bersifat mengamati, mengelompokkan,
mendiskusikan, hingga melaporkan, menjadi bagian penting proses belajar mengajar, inilah
yang disebut konsep Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA didasarkan pada disertasi
Conny R. Semiawan, yang didasarkan pada pandangan Sikortsky, yang menelorkan Zone of
Proximality Development. Teori yang mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai potensi
dan potensi itu dapat teraktualisasi melalui ketuntasan belajar tertentu. Tetapi antara potensi
dan aktualisasi terdapat daerah abu-abu (grey area), guru berkewajiban menjadikan daerah
abu-abu ini dapat teraktualisasi. Caranya dengan belajar kelompok.

Dari sisi konten tidak banyak perubahan pada kurikulum ini, kecuali ditambahkannya
pembelajaran PSPB. Struktur kurikulum pada tingkat sekolah dasar dapat dilihat pada tabel
berikut ini:

No Mata Pelajaran Kelas


1 2 3 4 5 6
1. Pendidikan agama 2 2 2 2 3 3
2. Pendidikan Moral Pancasila 2 2 2 2 2 2
3. PSPB 1 1 1 1 1 1
4. B. Indonesia 8 8 8 8 8 8
5. IPS – – 2 3 2 2
6. Matematika 6 6 6 6 6 6
7. IPA 2 2 3 4 4 4
8. Olah raga dan kesehatan 2 2 3 3 3 3
9. Kesenian 2 2 3 4 4 4
10. Keterampilan khusus 2 2 4 4 4 4
11. B. Daerah 2 2 2 2 2
JUMLAH 26 26 33 36 36 36

B. Kurikulum 1994

Lahirnya UU No 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional, merupakan pemicu lahirnya


kurikulum 1994. Menurut UU tersebut, pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdasakan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manisia beriman
dan bertakwa kepada tuhan yang mahaesa, berbudi luhur, memeliki keterampilan dan
pengetahuan, kessehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Pada kurikulum 1994, pendidikan
dasar dipatok menjadi sembilan tahun (SD dan SMP).

Berdasarkan struktur kulikulum, kurikulum 1994 berusaha menyatukan kurikulum


sebelumnya, yaitu kurikulum 1975 dengan pendekatan tujuan dan kurikulum 1984 dengan
tujuan pendekatan proses. Pada kurikulum ini pun dimasukan muatan lokal, yang berfungsi
mengembangkan kemampuan siswa yang dianggap perlu oleh daerahnya. Pada kurikulum ini
beban belajar siswa dinilai terlalu berat, karena ada muatan nasional dan lokal. Walaupun ada
suplemen 1999 seiring dengan tuntutan reformasi, namun perubahan tidak total.
Struktur kurikulum 1994 adalah sebagai berikut:

No Mata Pelajaran Kelas


1 2 3 4 5 6
1. Pendidikan agama 2 2 2 2 2 2
2. Pendidikan Moral Pancasila 2 2 2 2 2 2
3. B. Indonesia 10 10 10 8 8 8
4. IPS – – 3 5 5 5
5. Matematika 10 10 10 8 8 8
6. IPA 3 6 6 6
7. Olah raga dan kesehatan 3 5 5 5
8. Kerajinan tangan dan 2 2 2 2 2 2
kesenian
9. Muatan lokal 2 2 2 2 2 2
JUMLAH 30 30 38 40 42 42

KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KURIKULUM 2004)

Kurikulum 2004 lebih populer dengan sebutan KBK (kurikulum Berbasis Kompetensi).
Lahir sebagai respon dari tuntutan reformasi, diantaranya UU No 2 1999 tentang
pemerintahan daerah, UU No 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan
kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, dam Tap MPR No IV/MPR/1999 tentang arah
kebijakan pendidikan nasional. KBK tidak lagi mempersoalkan proses belajar, proses
pembelajaran dipandang merupakan wilayah otoritas guru, yang terpenting pada tingkatan
tertentu peserta didik mencapai kompetensi yang diharapkan. Kompetensi dimaknai sebagai
perpaduan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan
berpikir, dan bertindak. Seseorang telah memiliki kompetensi dalam bidang tersebut yang
tercermin dalam pola perilaku sehari-hari.

Kompetensi mengandung beberapa aspek, yaitu knowledge, understanding, skill, value,


attitude, dan interest. Dengan mengembangkan aspek-aspek ini diharapkan siswa
memahami, mengusai, dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari materi-materi yang telah
dipelajarinya. Adapun kompentensi sendiri diklasifikasikan menjadi: kompetensi lulusan
(dimilik setelah lulus), kompetensi standar (dimiliki setelah mempelajari satu mata pelajaran),
kompetensi dasar (dimiliki setelah menyelesaikan satu topik/konsep), kompetensi akademik
(pengetahuan dan keterampilan dalam menyelesaikan persoalan), kompetensi okupasional
(kesiapan dan kemampuan beradaptasi dengan dunia kerja), kompetensi kultural (adaptasi
terhadap lingkungan dan budaya masyarakat Indonesia), dan kompetensi temporal
(memanfaatkan kemampuan dasar yang dimiliki siswa. KBK dinilai lebih unggul daripada
kurikulum 1994, jika dilihat dari beberapa aspek berikut ini:

Beberapa keunggulan KBK dibandingkan kurikulum 1994 adalah:

1994 KBK
Yang Penguasaan materi Hasil dan kompetenasi
dikedepankan
Paradigma versi UNESCO: learning to know, learning to
pembelajaran do, learning to live together, dan learning to be
Silabus Silabus ditentukan secara Peran serta guru dan siswa dalam proses
seragam pembelajaran, silabus menjadi kewenagan
guru.
Jumlah jam 40 jam per minggu 32 jam perminggu, tetapi jumlah mata
pelajaran pelajaran belum bissa dikurangi
Metode Keterampilan proses Lahir metode pembelajaran PAKEM dan CTL
pembelajaran
Sistem Lebih menitik beratkan Penilaian memadukan keseimbangan kognitif,
penilaian pada aspek kognitif psikomotorik, dan afektif, dengan penekanan
penilaian berbasis kelas

KBK memiliki empat komponen, yaitu kurikulum dan hasil belajar (KHB), penilaian
berbasis kelas (PBK), kegiatan belajar mengajar (KBM), dan pengelolaan kurikulum berbasis
sekolah (PKBS). KHB berisi tentang perencaan pengembangan kompetensi siswa yang perlu
dicapai secara keseluruhan sejak lahir sampai usia 18 tahun. PBK adalah melakukan
penilaian secara seimbang di tiga ranah, dengan menggunakan instrumen tes dan non tes,
yang berupa portofolio, produk, kinerja, dan pencil test. KBM diarahkan pada kegiatan aktif
siswa dala membangun makna atau pemahaman, guru tidak bertindak sebagai satu-satunya
sumber belajar, tetapi sebagai motivator yang dapat menciptakan suasana yang
memungkinkan siswa dapat belajar secara penuh dan optimal. PKBS memuat berbagai pola
pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumberdaya lain untuk meningkatkan mutu hasil
belajar.

Struktur kurikulum KBK adalah sebagai berikut


No Mata Pelajaran Kelas
1 2 3 4 5 6
1. Pendidikan agama 3
2. Pendidikan 5
kewarganegaraan dan
pengetahuan sosial
Matapelajaran 3. Bahasa Indonesia 5
4. Matematika 5
5. IPA 4
tematik
6. Kerajinan tangan dan 4
kesenian
7. Pendidikan jasmani 4
8. Kegiatan yang 2
pembiasaan mendorong/mendukung
pembiasaan
Mulok 9. Mata pelajaran/kegiatan
Jumlah 27 32

KURIKULUM KTSP (2006)

Dibandingkan kurikulum 1994, kurikulum KTSP lebih sederhana, karena ada


pengurangan beban belajar sebanyak 20%, jam pelajaran yang dikurangi antara 100-200 jam
per tahun, bahan ajar yang dianggap memberatkan siswa pun akan dikurangi, kurikulum ini
lebih menekankan pada pengembangan kompetensi siswa dari pada apa yang harus dilakukan
guru. Kurikulum 2006 adalah penyempurnaan dari KBK yang telah diuji coba kelayakannya
secara publik, melalui beberapa sekolah yang menjadi pilot project. Menurut Jalal (2006)
KBK tidak resmi, hanya uji coba yang diterapkan di sekitar 3.000 sekolah se- Indonesia.

KTSP sendiri lahir sebagai respon dari UU No 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional, terutama pasal 36 ayat 1 dan 2. KTSP bertujuan memandirikan dan
memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada
lembaga pendidikan. Prinsip pengembangan KTSP adalah:

1. Berpusat pada potensi, pengembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik, dan
lingkungannya.
2. Beragam dan terpadu.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
5. Menyeluruh dan berkesinambungan
6. Belajar sepanjang hayat
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

Komponen dalam KTSP adalah:

1. Tujuan pada pendidikan dasar: meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan,


kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lanjut.
2. Struktur dan muatan KTSP pada jenjang pendidikan dasar

No Mata Pelajaran Kelas


1 2 3 4 5 6
1. Pendidikan agama 3
2. Pendidikan 2
kewarganegaraan
3. Bahasa Indonesia 5
4. Matematika 5
Mata 5. IPA 4
pelajaran 6. IPS 3
Tematik
7. Kerajinan tangan dan 4
kesenian
8. Pendidikan jasmani 4
9. Seni budaya dan 4
keterampilan
Mulok 2
Pengembangan diri 2
Jumlah 26 27 28 32

3. Kenaikan kelas dan kelulusan berdasarkan PP 19/2005 pasal 72 ayat 1, siswa


dinyatakan lulus apabila: menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh
nilai minimal, lulus ujian sekolah, dan lulus ujian nasional.

Pada KTSP menuntut satuan pendidikan untuk mengembangkan silabus. Silabus adalah
rencana pembelajaran pada suatu atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup
standar kompentensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
indikator, penilaian, alokasi waktu, dan suber/alat/bahan belajar. Silabus merupakan
penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran,
kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Silabus
dikembangkan dengan menekankan pada prinsip ilmiah, relevan, sistematis, konsisten,
memadai, aktual dan kontekstual, fleksibel, dan menyeluruh.

Berdasarkan unit waktu:

1. Silabus mata pelajaran disusun berdasarkan seluruh alokasi waktu yang disediakan
untuk mata pelajaran selama penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan
pendidikan.
2. Penyusunan silabus memperhatikan alokasi waktu yang disediakan per semester,
pertahun, dan alokasi waktu untuk mata pelajaran lain yang sekelompok.
3. Implementasi per semester menggunakan penggalan silabus sesuai dengan standar
kompetensi dasar untuk mata pelajaran dengan alokasi waktu yang tersedia pada
struktur kurikulum.

Pengembangan silabus dilakukan oleh para guru secara mandiri, atau berkelompok dalam
sebuah sekolah, atau beberapa sekolah, kelompok MGMP atau PKG, dan dinas pendidikan.
Adapun langkah-langkah pengembangan silabus adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar seperti yang ada pada standar isi
2. Mengidentifikasi materi pokok/pembelajaran yang menunjang potensi peserta didik,
relevansi dengan karakteristik daerah, tingkat perkembangan, kebermanfaatan,
struktur ilmu, dan lain-lain.
3. Mengemban kegiatan pembelajaran untuk memberikan pengalaman belajar yang
sesuai dengan pencapaian kompetensi. Kegiatan pembelajaran menekankan pada
proses pengembangan mental dan fisik melalui interaksi antara semua yang terlibat,
baik siswa, guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya.
4. Merumuskan indikator pencapaian kompetensi sebagai penanda pencapaian
kompetensi dasar yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur mencakup
pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
5. Penentuan jenis penilaian berdasarkan indikator baik dalam bentuk tes maupun non
tes, tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap penilaian hasil
karya, dan lain-lain.
6. Penentuan alokasi waktu pada setiap kompentensi dasar yang didasarkan pada jumlah
minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran perminggu.
7. Memanfaatkan sumber belajar sebagai rujukan baik berupa cetak, elektronik,
narasumber, lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya.
1.4. Sejarah Perkembangan Pendidikan Teknologi dan Kejuruan
Di Indonesia, perjalanan pendidikan kejuruan telah diselenggarakan cukup panjang.
Perkembangan pendidikan sepanjang sejarah di Indonesia telah ditulis secara lengkap oleh
Dedi Supriadi (2002). Berikut disampaikan secara ringkas perkembangan pendidikan
kejuruan sebagaimana ditulis Dedi Supriadi (2002). Indonesia diawali dengan didirikannya
Sekolah Pertukangan Ambacht School van Soerabaja tahun 1853 oleh pihak swasta. Pada
tahun 1856, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan pendidikan serupa di Jakarta dengan
nama Ambacht Leergang, kemudian pada tahun 1901 dilanjutkan dengan pembukaan
lembaga pendidikan bernama Koningin Welhelmina School. Pendidikan teknik dan kejuruan
tingkat pertama di Indonesia didirikan menjelang akhir masa penjajahan Belanda hingga
masa pendudukan Jepang (1942-1945), terdiri atas: Ambacht Leergang yang mempersiapkan
pekerja-pekerja tukang, Ambacht School yang memberikan latihan yang lebih tinggi, dan
Technische School yang memberikan latihan yang lebih tinggi dan bersifat teoritis.
Setelah masa kemerdekaan, banyak sekolah peninggalan Belanda menjadi sekolah yang
khusus untuk kepentingan yang sangat dibutuhkan bangsa Indonesia, sekolah yang
menjadikan lulusannya punya keterampilan, ilmu dan dapat langsung bekerja dengan
kemampuan mereka yang didapat dari sekolah itu. Pada masa kemerdekaan, Ambacht
Leergang dikenal dengan Sekolah Pertukangan, Ambacht School menjadi Sekolah
Pertukangan Lanjutan, dan Technische School sebagai Sekolah Teknik. Pada masa orde lama,
perkembangan pendidikan kejuruan di Indonesia dimulai pada 1950. Arah pendidikan pada
waktu itu cendrung mengarah kepada aktivitas politik praktis karena pergolakan politik saat
itu. Pendidikan kejuruan belum memiliki fokus yang jelas sebagai pendidikan untuk kerja.
Selanjutnya, pendidikan kejuruan diawali tahun 1964, dimana Pemerintah Indonesia
menerapkan kebijakan Kurikulum 1964 dengan bobot pembelajaran praktik kejuruan hanya
5% sampai dengan 20%. Pada masa orde baru yang diawali tahun 1965, pembangunan
pendidikan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang ber-Pancasila,
dan pembinaan sistim pendidikan nasional disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan,
sehingga menghasilkan calon tenaga kerja yang diperlukan untuk pembangunan. Pendidikan
Teknik dan Kejuruan pada Pelita I (1970-1975), Pemerintah Republik Indonesia
menempatkan pembangunan pendidikan teknologi sebagai bagian integral Rencana
Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) untuk mengisi kebutuhan terhadap tenaga kerja
teknik.
Tahun pertama Pelita I dimulai dengan pembangunan delapan STM Pembangunan,
dengan dukungan sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia sendiri. Tahun kedua Pelita I
(1970-1971), pembangunan pendidikan teknik ditingkatkan lagi dengan membangun lima
Tehcnical Training Centre (Balai Latihan Pendidikan Teknik-BLPT) dengan pinjaman dana
dari World Bank, dan bantuan tenaga ahli dari UNESCO serta Pemerintah Inggris. Tahun
keempat Pelita I (1972-1973), diadakan proyek Peningkatan Mutu Pengajaran Teknik
(PMPT), dengan dengan sasaran utama mendukung peningkatan mutu guru teknik pada
proyek-proyek STM Pembangunan dan BLPT. Sejalan dengan perkembangan yang semakin
intensif pembangunan pendidikan teknik, selanjunya dibentuk kelembagaan yang disebut
TTUC (Tehnical Teacher Upgrading Centre).
Perubahan mendasar pada kebijakan pendidikan pada Pelita II (1976-1981) dengan
dirumuskan Kurikulum 1976/1977 yang memiliki ciri jumlah jam praktik yang ditingkatkan
dari 10% menjadi 30-50%. Kurikulum 1976 ditetapkan sebagai pengganti Kurikulum 1964
dengan tujuan pendidikan kejuruan diarahkan untuk penyiapan peserta didik memasuki
lapangan kerja saja (terminal) dan lulusan sekolah kejuruan tidak dikaitkan secara jelas
dengan kompetensi atau tingkatan keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Jenis dan
bidang atau program keahlian pada pendidikan menengah kejuruan mulai berkembang
meliputi kelompok teknologi industri, teknologi pertanian, ekonomi dan perdagangan,
teknologi kerumah tanggaan dan kejuruan kemasyarakatan. Kebijakan mendasar terjadi pada
tahun 1977, dimana sebagian Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Kejuruan dialih
fungsikan menjadi Sekolah Menengah Pertama (SMP), selanjutnya pendidikan kejuruan lebih
efisien dilaksanakan pada tingkat menengah. Kebijakan dasar pembangunan pendidikan pada
Pelita III (1982-1987) mencakup peningkatan relevansi sistem pendidikan dengan kebutuhan
pembangunan di segala bidang yang memerlukan berbagai jenis keahlian serta efisiensi kerja.
Kebijakan pendidikan kejuruan dilanjutkan dan ditingkatkan melalui usaha-usaha
pembinaan secara fungsional dan terintergrasi. Pendidikan kejuruan merupakan bagian
integral dari proses pembangunan ekonomi bangsa secara berkelanjutan dengan orientasi
dunia usaha dan industri yang langsung melakukan aktivitas ekonomi, seperti industri
produksi dan berbagai industri jasa. Sistem pendidikan kejuruan harus mampu menghasilkan
tenaga kerja untuk kepentingan dunia usaha dan industri. Pengembangan pendidikan kejuruan
pada Pelita III didasarkan pada latar belakang dan prinsip-prinsip yang sama pada Pelita I dan
II, serta menekankan konsolidasi dan aktualisasi peningkatan mutu, relevansi pendidikan
kejuruan dan perluasan kesempatan pendidikan kejuruan melalui pembangunan SMK baru.
Sistem pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang yang
memerlukan jenis-jenis keahlian dan keterampilan. Akses pendidikan dan peningkatan mutu
diperluas dan dipercepat untuk memenuhi kebutuhan SDM yang trampil, kreatif, inovatif.
Kebijakan mendasar pada Pelita IV adalah adanya kampanye pendidikan kejuruan untuk
menarik minat masyarakat terhadap pendidikan kejuruan. Kampanye ini berhasil baik tetapi
sayang tidak diikuti konsolidasi mutu dan relevansi.
Perubahan pendidikan kejuruan yang menonjol adalah adanya penyempurnaan
Kurikulum 1976 menjadi Kurikulum SMK 1984 yang berkarakter: (1) tidak bersifat terminal,
memberi peluang lulusannya untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi (PT); (2) teori dan
praktik kejuruan terintegrasi; (3) menekankan pada proses pendidikan; (4) ada program inti
60% dan program pilihan (40%). Program inti bersifat common ground harus diikuti oleh
semua peserta didik, sedangkan program pilihan untuk peningkatan profesionalisme
disesuaikan dengan bakat, minat, dan kebutuhan lingkungan, (5) porsi jam matematika masih
juga kecil belum memenuhi kebutuhan minimal untuk pengembangan ilmu di perguruan
tinggi. Pada Pelita IV pendidikan kejuruan telah mengupayakan peningkatan daya
tampung/akses, peningkatan mutu dan relevansi. Kelemahannya ada pada konsolidasi akibat
penambahan jumlah peserta didik sehingga kemampuan sekolah tidak sebanding dengan
respon masyarakat yang mengikuti pendidikan di SMK. Belum ada pengembangan kerjasama
antara SMK dengan industri.
Penyelenggaraan pendidikan kejuruan sepenuhnya dilaksanakan di sekolah sehingga
wawasan lulusan terhadap industri tidak ada sama sekali. Model ini disebut supply driven dan
school-based approach. Pengembangan kerjasama antara dunia pendidikan kejuruan dengan
dunia usaha dunia industri (DU-DI) dan penyesuaian jumlah, jenis, dan mutu lulusan SMK
dengan kebutuhan industri. Pengembangan sekolah seutuhnya dilakukan dengan pembenahan
Kurikulum SMK yang mengarah pada tiga komponen yaitu: (1) Pembentukan watak
Indonesia
secara normatif; (2) komponen keterampilan dasar; dan (3) komponen keterampilan produktif
yang mengikuti kebutuhan pasar kerja dan dikelola secara pragmatik. Agar dapat mengikuti
tuntutan pasar kerja sekolah SMK perlu memperhatikan penyelenggaraan pendidikan
bersama institusi pasangan dan pendirian unit produksi di sekolah. Pada akhir Pelita V,
kebijakan pendidikan kejuruan pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993
menetapkan kualitas pendidikan perlu disesuaikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta tuntutan perkembangan pembangunan. Kerjasama antara dunia pendidikan dengan
dunia usaha dalam
rangka pendidikan dan pelatihan terus ditingkatkan untuk pemenuhan tenaga kerja yang
cakap dan terampil. Konsep Link and Match dikenalkan pada tahun 1993/1994, sebagai
wawasan pengembangan sumberdaya manusia, masa depan, mutu dan keunggulan,
profesionalisme, nilai tambah, serta efisiensi. Keberhasilan pendidikan di SMK diukur
dengan rate of return dan tidak cukup diukur dengan social return.
Kebijakan Pendidikan Kejuruan masa Orde Reformasi diletakkan pada pengembangan
SMK menjelang 2020 dimana industri berperan aktif dalam pengembangan standar
kompetensi, penyusunan bahan ajar, pengujian dan sertifikasi. Sertifikasi dilaksanakan
berdasarkan keterampilan berbasis kompetensi. Pada tahun 2004 ada kebijakan pergantian
Kurikulum SMK 1999 dengan Kurikulum berbasis kompetensi Kurikulum SMK 2004.
Berdasarkan Permendiknas No. 22, 23, 24; Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
mengeluarkan pedoman penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
mulai digunakan pada tahun 2007. KTSP adalah kurikulum berdiversifikasi sesuai kebutuhan
daerah dan satuan pendidikan. Kurikulum ini lebih memberi peluang mengakomodasi
kebutuhan daerah. Perubahan pengelolaan kurikulum pendidikan SMK dari yang semula
sentralistik menjadi desentralistik masih banyak kendala. Kesempatan pengelolaan secara
desentralistik belum ditangkap sebagai peluang perbaikan pendidikan SMK. Justru
sebaliknya masih menjadi hambatan. Hambatannya terletak pada kesiapan tingkat satuan
pendidikan SMK untuk mengembangkan kurikulum.

2. Kurikulum PTK
2.1. Konsep Dasar Pendidikan Teknologi dan Kejuruan
Pendidikan teknologi dan pendidikan kejuruan menyiratkan dua konsep yang berbeda,
Antara pendidikan teknologi dan pendidikan kejuruan. Konseptualisasi pendidikan teknologi
adalah pendidikan yang mengajarkan penggunaan teknologi untuk memecahkan masalah
dalam memenuhi berbagai kebutuhan. Landasan pokok pendidikan teknologi adalah
digunakannya keterampilan pemecahan masalah dalam berbagai bidang. Konseptualisasi
pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang berkaitan dengan skill menggunakan alat dan
mesin (Sanders, dalam Pavlova, 2009). Stevenson dalam Pavlova (2009) mengidentifikasi
bahwa pendidikan teknologi mencakup pengetahuan umum (general), pengetahuan teoritis,
pemahaman konseptual, bakat dan kemampuan kreatif, keterampilan intelektual, dan
penyiapan berkehidupan. Sedangkan pendidikan kejuruan mencakup pengetahuan khusus,
pengetahuan praktis/fungsional, pemberian skill/keterampilan, kemampuan reproduktif,
keterampilan fisik, dan penyiapan bekerja. Jadi pendidikan teknologi dan pendidikan
kejuruan adalah dua pendidikan yang memiliki penekanan berbeda. Agar menjadi efektif
maka pendidikan teknologi dan pendidikan kejuruan disinergikan menjadi pendidikan
teknologi kejuruan yang menerapkan kedua prinsip-prinsip tersebut di atas dalam
meningkatkan relevansinya.
Ada banyak pengertian tentang pendidikan vokasi. Pendidikan kejuruan yang
umumnya disebut juga pendidikan vokasi mengalami puncak popularitas pada saat Smith-
Hughes (1917) mendefinisikan ―vocational education was training less than college grade to
fit for useful employment” (Thompson, 1973:107). Pendidikan vokasi adalah
training/pelatihan di bawah perguruan tinggi yang sesuai untuk pekerjaan bermakna.
Pengertian ini maknanya rancu karena pendidikan diartikan sebagai pelatihan/training.
Pendidikan vokasi dan training vokasi adalah dua hal yang berbeda. Pendidikan vokasi lebih
luas dan mencakup berbagai hal yang lebih generik. Sedangkan pelatihan vokasi berkaitan
dengan pemberian skill yang bersifat khusus.
Berbagai definisi pendidikan dan pelatihan kejuruan/vokasi di atas dapat disimpulkan
bahwa pendidikan dan pelatihan kejuruan/vokasi adalah pendidikan yang menyiapkan
terbentuknya keterampilan, kecakapan, pengertian, perilaku, sikap, kebiasaan kerja, dan
apresiasi terhadap pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia
usaha/industri, diawasi oleh masyarakat atau dalam kontrak dengan lembaga serta berbasis
produktif. Apresiasi terhadap pekerjaan sebagai akibat dari adanya kesadaran bahwa orang
hidup butuh bekerja merupakan bagian pokok dari pendidikan kejuruan/vokasi. Pendidikan
kejuruan/ vokasi menjadi tanpa makna jika masyarakat dan peserta didik kurang memiliki
apresiasi terhadap pekerjaan-pekerjaan dan kurang memiliki perhatian terhadap cara bekerja
yang benar dan produktif sebagai kebiasaan.

2.2. Bentuk Pendidikan Teknologi dan Kejuruan


Pendidikan kejuruan dapat berbentuk formal, non formal, dan informal. Dalam bentuk
pendidikan formal pendidikan menengah kejuruan dilaksanakan di SMK dan MAK. Dalam
bentuk non formal pendidikan kejuruan dilaksanakan dalam kegiatan kursus-kursus,
workshop, atau pelatihan keterampilan. Secara informal pendidikan kejuruan dapat
berlangsung di keluarga dan di masyarakat. Pendidikan vokasi dalam wadah pendidikan
formal ada empat model.
Pertama, pendidikan kejuruan ‖model sekolah‖ yaitu model penyelenggaraan pendidikan
kejuruan dimana pendidikan dan latihan sepenuhnya dilaksanakan di sekolah. Model ini
berasumsi segala yang terjadi ditempat kerja dapat dididik latihkan di sekolah. Akibatnya,
sekolah harus melengkapi semua jenis peralatan yang diperlukan dalam jumlah yang besar.
Sekolah menjadi sangat mahal karena faktor keusangan peralatan tinggi dan sulit mengikuti
perubahan di dunia usaha dan industri yang jauh lebih mutakhir dan berkualitas. Disamping
itu bahan praktik akan menyedot biaya yang sangat besar. Model sekolah yang mahal
cenderung tidak efisien dan tidak efektif karena peralatan di dunia kerja berubah sedangkan
sekolah tidak langsung bisa mengikuti perubahan di lapangan.
Kedua, pendidikan kejuruan ‖model sistem ganda‖ yaitu model penyelenggaraan
pendidikan dan latihan yang memadukan pemberian pengalaman belajar di sekolah dan
pengalaman kerja sarat nilai di dunia usaha. Model ini sangat baik karena menganggap
pembelajaran di sekolah dan pengalaman kerja di dunia usaha akan saling melengkapi, lebih
bermakna, dan nyata. Kebiasaan kerja di dunia kerja sesungguhnya sulit dibangun di sekolah
karena sekolah cenderung hanya membentuk kebiasaan belajar saja. Disiplin kerja sangat
berbeda dengan desiplin belajar dan berlatih. Kelemahan sistem ganda sangat rentan dengan
perubahan sosial, ekonomi, dan politik. DU-DI di Indonesia masih sulit memberi
kepastiankepastian terhadap layanan pendidikan karena sistem di Indonesia belum
mengakomodasikan kepentingan Industri bersamaan dengan kepentingan layanan pendidikan.
Ketiga, pendidikan kejuruan dengan ‖model magang‖ adalah model yang menyerahkan
sepenuhnya kegiatan pelatihan kepada industri dan masyarakat tanpa dukungan sekolah.
Sekolah hanya menyelenggarakan pendidikan mata pelajaran normatif, adaptif, dan dasar-
dasar kejuruan. Model ini hanya cocok untuk negara maju yang telah memiliki sistem
pendidikan dan sistem industri yang kuat.
Keempat, pendidikan kejuruan dengan ‖model school-based-enterprise". Model ini
mengembangkan dunia usaha disekolah dengan maksud selain menambah penghasilan
sekolah, juga sepenuhnya memberikan pengalaman kerja yang benar-benar nyata dan sarat
nilai kepada peserta didiknya. Sebagai contoh SMKN 1 Sewon Bantul mengembangkan
education hotel yang disingkat dengan Edotel di Kasongan Bangunjiwo Kasihan Bantul yang
dikelola oleh sekolah dengan melibatkan peserta didik mulai dari urusan house keeping
hingga front office. Selama lebaran banyak tamu yang menginap (Kedaulatan Rakyat, 8
Oktober 2008). Model ini sangat baik digunakan untuk mengurangi ketergantungan sekolah
terhadap industri dalam melakukan pelatihan kerja.
Di lapangan banyak SMK masih mengalami masalah penerapan model dalam pelaksanan
praktik kerja industri (prakerin). Kerancuan penyelenggaraan terjadi diantara model magang
dan model sistem ganda. Ada sekolah yang
menerjemahkan prakerin dengan istilah magang dan ada yang mengartikan PSG. Kedua-
duanya rancu karena sekolah dan industri tidak ada hubungan sama sekali dengan penetapan
perencanaan dan pelaksanaan program pelatihan. Sehingga selama prakerin peserta didik
lepas begitu saja mengikuti aliran kegiatan industry seadanya. Tidak ada kurikulum yang
pasti yang dilaksanakan selama prakerin. Ke depan SMK harus mendorong kepastian
kompetensi-kompetensi yang harus dilatihkan di DU-DI.

3. Karakteristik Pendidikan Teknologi Dan Kejuruan


Pendidikan teknologi dan kejuruan tidak terpisahkan dari sistem pendidikan pada
umumnya, tetapi tentu mempunyai kekhasan tersendiri, sehingga membedakan dengan sistem
pendidikan yang lain yaitu bahwa kurikulum yang dirancang dengan maksud menghasilkan
lulusan yang dapat bekerja, berkiprah tidak dalam waktu lulusan bekerja saat ini, tetapi
mereka dapat selalu beradaptasi dengan situasi dan kondisi di mana mereka bekerja.
Pendidikan teknologi dan kejuruan mempunyai orientasi pendidikan, justifikasi eksistensinya,
fokusnya, standar keberhasilannya, kepekaannya terhadap perkembangan masyarakat,
perbekalan logistik, serta hubungan dengan masyarakat dunia usaha yang berbeda dengan
pendidikan pada umumnya. Di bawah ini akan digambarkan secara ringkas dari karakteristik
tersebut.
A. Orientasi Pendidikan Kejuruan
Sifat dari pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang mempersiapkan dan
menyediakan tenaga kerja, sehingga orientasinya pun ditujukan pada output dan juga
outcome. Proses pendidikan memang sesuatu yang sangat penting untuk proses belajar
atau membantu para peserta didik, mempersiapkan diri bekerja di dunia usaha atau dunia
industri. Memperkaya wawasan, kesiapan mental dan keterampilan merupakan proses
pembelajaran yang harus diikuti, dihayati, dan dimaknai oleh peserta didik, sehingga
mereka, para lulusan akan siap kerja pada bidangnya masingmasing.
Suksesnya kurikulum pendidikan teknologi dan kejuruan bukan hanya diukur dari
kemampuan peserta didik dalam proses pendidikan tetapi akan diukur dengan bagaimana
kemampuan para lulusan tampil di dunia kerja kelak, sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Curtis R. Finch and John R. Crunkilton (1984 : 12) ”The ultimate success of a
vocational and technical curriculum is not measured merely through student educational
achievement but through the result of that achievement-result that take the form of
performance in the work world”. Jadi, kurikulum pendidikan teknologi dan kejuruan
diorientasikan pada proses (pengalaman dan aktivitas) yang dirancang sekolah (guru)
untuk menghasilkan lulusan dengan penampilan kerja yang diharapkan lapangan kerja
baik dunia usaha atau dunia industri di mana lulusan nanti berkiprah.
B. Justifikasi Untuk Eksistensi
Penyelenggaraan pendidikan dan kejuruan perlu justifikasi yang berbeda dengan
penyelenggaraan pendidikan umum. Justifikasi pendidikan teknologi dan kejuruan yaitu
perlu adanya kebutuhan nyata di lapangan ialah kebutuhan akan tenaga kerja dari bidang-
bidang yang tercakup dalam lingkup teknologi dan kejuruan. Kebutuhan yang dimaksud
tentang tenaga kerja, tidak dapat hanya berdasarkan asumsi atau menurut para pejabat,
tetapi perlu dijabarkan dari analisis kebutuhan lapangan. Apabila lulusan dari bidang-
bidang yang ada di sekolah teknologi dan kejuruan tidak terserap oleh pekerjaan, maka
sekolah tersebut dapat dikatakan ”gagal”. Kondisi dapat disebabkan karena sekolah
tersebut berdiri bukan karena kebutuhan lapangan kerja.
C. Fokus Kurikulum
Umumnya orang awam mempersepsi bahwa sekolah kejuruan hanya akan
mempelajari tentang keterampilan, sehingga kurikulum pun diperkirakan hanya memuat
atau memfokuskan pada perkembangan keterampilan psikomotorik tidak pada aspek-
aspek belajar yang lainnya. Pandangan itu tidak benar, karena untuk mempersiapkan
lulusan yang produktif yang dapat memanfaatkan potensinya secara optimal, semua aspek
diperlukan yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dan harus dikembangkan secara
simultan. Anak didik pada hakikatnya ialah sebagai suatu totalitas pribadi, sehingga untuk
membekali mereka untuk dapat menjadi tenaga kerja yang handal dapat beradaptasi
dengan kemajuan ilmu, teknologi dan seni, sesuai dengan harapan lapangan kerja, perlu
dibekali dengan pengalaman belajar yang dapat mengembangkan tiga ranah yang telah
disebutkan itu. Kurikulum pendidikan kejuruan dan teknologi memberi arah untuk
menolong peserta didik untuk mengembangkan secara luas tentang pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai-nilai pada lulusan yang dapat terintegrasi dalam kemampuan
penampilan kerja mereka di lapangan.
D. Standar Keberhasilan
Standar keberhasilan pendidikan kejuruan menerapkan ukuran ganda, yaitu
keberhasilan peserta didik di sekolah dan keberhasilan di luar sekolah. Yang dimaksud
keberhasilan di sekolah ialah keberhasilan peserta didik memenuhi persyaratan kurikuler
yang diorientasikan pada situasi kerja yang sebenarnya atau persyaratan kerja yang
dituntut oleh lapangan kerja. Fungsi-fungsi yang harus terealisasi di lapangan kerja
disimulasikan di sekolah, di laboratorium, dan diterjunkan di industri atau dunia usaha,
agar peserta didik sebelum lulus, terjun di lapangan kerja sudah mempunyai gambaran
untuk penampilan kerja mereka. Keberhasilan di luar sekolah berarti setelah lulus mereka
mempunyai jarak yang pendek antara waktu lulus dengan waktu diserap di lapangan kerja.
Selain itu mereka dapat bekerja sesuai dengan penampilan yang diharapkan oleh lapangan
kerja serta keberhasilan dalam bentuk imbalan yang memadai untuk diterima lulusan,
sehingga memenuhi kebutuhan hidupnya.
E. Kepekaan Pada Perkembangan Masyarakat
Pendidikan kejuruan diperlukan kepekaan yang tinggi dengan perkembangan
masyarakat pada umumnya, dan dunia usaha, dunia industri atau dunia kerja pada
khususnya. Kepekaan terhadap perkembangan yang dimaksud termasuk di dalamnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, inovasi atau penemuan-penemuan baru di
bidang produksi dan jasa, pasang surut suatu bidang pekerjaan. Perkembangan yang terjadi
akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan kejuruan, termasuk di
dalamnya mobilitas kerja vertikal maupun horizontal yang disebabkan oleh perkembangan
sosial kemasyarakatan. Kondisi itu harus diantisipasi secara cermat agar adanya relevansi
antara pendidikan kejuruan dengan kebutuhan dunia kerja.
F. Perbekalan dan Logistik
Pendidikan kejuruan memerlukan banyak perlengkapan, sarana dan perbekalan
logistik, tentu semua itu akan tergantung dari jenis pendidikan kejuruan. Jenis pendidikan
kejuruan ini ada kejuruan antara lain ekonomi, teknologi, pariwisata, kerajinan. Setiap
jenis pendidikan kejuruan ini pada umumnya memerlukan laboratorium, dan ada pula
yang memerlukan bengkel. Tempat-tempat itu sebagai bagian yang menunjukan eksistensi
suatu sekolah kejuruan, yang tentu penyediaan laboratorium dan bengkel itu sebagai
tempat aktivitas praktek peserta didik untuk mendapat pengalaman mengerjakan sesuatu
yang terkait dengan apa yang akan dilakukan di tempat kerja kelak sesuai dengan apa yang
tercantum dalam kurikulum. Untuk melaksanakan praktikum di laboratorium atau di
bengkel tersebut memerlukan biaya, sehingga untuk pendidikan kejuruan itu memerlukan
biaya yang lebih besar dibandingkan dengan sekolah/pendidikan umum. Lulusan sekolah
kejuruan apabila alumni memanfaatkan hasilnya secara maksimal akan
mendapatkanpenghasilan yang memadai.
G. Hubungan Masyarakat
Pendidikan kejuruan dalam penyelenggaraannya menuntut fasilitas yang relevan
dengan dunia kerja, agar para lulusan dapat beradaptasi di lapangan kerja. Untuk
melengkapi pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta didik, maka diperlukan adanya
hubungan sekolah dengan masyarakat, khususnya dengan dunia kerja atau dunia usaha.
Para peserta didik perlu mendapat pengalaman yang dapat membekali mereka ke lapangan
kerja, sehingga perlu melakukan praktek kerja atau praktek kerja industri (Prakerin),
sehingga perlu ada hubungan yang positif dengan dunia usaha atau dunia industri. Sekolah
kejuruan dengan lembaga-lembaga dunia usaha atau dunia industri perlu mempunyai
hubungan yang harmonis dan adanya hubungan yang timbal balik. Orang-orang dari dunia
usaha dapat diikutsertakan dalam pengembangan kurikulum, evaluasi kurikulum atau
paling tidak di dunia usaha/ dunia industri (DUDI) dapat dimintai masukan untuk
mengevaluasi dan pengembangan kurikulum. Kurikulum ditekankan untuk menghasilkan
lulusan yang professional di bidangnya dengan tingkat adaptasi lulusan pada dunia kerja
yang diharapkan cukup tinggi. Mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, maka
diperlukan rancangan kurikulum yang dinamis dengan didukung data kebutuhan lapangan
yang berorientasi kepada peserta didik, kenyataan yang ada dan berorientasi ke masa
depan (futuristik). Jadi, sekolah kejuruan penting mempunyai hubungan yang positif
dengan masyarakat, terutama dengan DUDI, karena untuk menyusun, mengembangkan
kurikulum diperlukan data dari lapangan. Data lapangan tersebut seperti kebutuhan tenaga
kerja, perkembangan yang terjadi pada kondisi kerjaDUDI, perubahan dan perkembangan
teknologi peralatan industri dan dunia usaha. Data tersebut penting diketahui dan menjadi
pertimbangan para pengelola dan pelaksana pendidikan kejuruan, agar para peserta didik
dapat dibekali untuk terjun di lapangan kerja dan dapat dengan mudah beradaptasi dengan
perubahan dan perkembangan yang terjadi.
4. Rasional Pengembangan Kurikulum PTK
4.1. Sistem Pendidikan Teknologi dan Kejuruan di Indonesia
Sesuai dengan Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan
dapat dibedakan dalam dua kelompok pendidikan, yaitu: (1) pendidikan akademik, dan (2)
pendidikan profesional. Pendidikan akademik merupakan penyelenggaraan program
pendidikan yang bertujuan mempersiapkan peserta didik mengembangkan potensi akademik
untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan profesional
merupakan penyelenggaraan program pendidikan yang mempersiapkan peserta didik
meningkatkan potensi kompetensi sesuai bidang keahliannya. Pendidikan profesional ini
termasuk dalam kategori penyelenggaan pendidikan yang berorientasi dunia kerja.

Sistem penyelenggaraan pendidikan berorientasi dunia kerja di Indonesia, terdapat dua


istilah pendidikan yang digunakan, yaitu: pendidikan kejuruan dan pendidikan vokasi.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 15 dijelaskan
pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik
terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu, sedangkan pendidikan vokasi merupakan
pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan
keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Dengan demikian,
pendidikan kejuruan merupakan penyelenggaraan jalur pendidikan formal yang dilaksanakan
pada jenjang pendidikan tingkat menengah, yaitu: pendidikan menengah kejuruan yang
berbentuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pendidikan vokasi merupakan
penyelenggaraan jalur pendidikan formal yang diselenggarakan pada pendidikan tinggi,
seperti: politeknik, program diploma, atau sejenisnya. Uraian di atas menunjukkan bahwa
pendidikan kejuruan dan pendidikan vokasi merupakan penyelenggaraan program pendidikan
yang terkait erat dengan ketenagakerjaan. Menurut Sapto Kuntoro sebagaimana dikutip
Soeharsono (1989), hubungan antara jenjang pendidikan di sekolah dengan ketenagakerjaan
dapat diilustrasikan seperti Gambar 1.

4.2. Tantangan Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Masa Depan

Pengembangan pendidikan kejuruan sangat ditentukan perkembangan dan tantangan


masa depan. Menurut M. Hatta Rajasa (2008), pada awal abad 21 telah tumbuh dengan cepat
era informasi (information age) atau era digital (digital age) yang secara bertahap akan
bergeser menjadi era pengetahuan (knowledge age). Pada era pengetahuan ini, pengetahuan
(knowledge) merupakan sumber daya utama dalam setiap aktivitas ekonomi. Ditinjau dari
dominasi ekonomi, perubahan menuju era pengetahuan ini lazim disebut ekonomi berbasis
pengetahuan (knowledge based economy) atau yang populer dikenal dengan ekonomi kreatif
(creative economy), yakni suatu tatanan ekonomi yang ditopang dengan keunggulan budaya,
seni dan inovasi teknologi. Aktivitas ekonomi dalam era ekonomi kreatif didorong oleh
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Lebih lanjut dinyatakan M. Hatta Rajasa
(2008) bahwa dalam ekonomi kreatif memiliki tiga dimensi, yaitu inovasi dan kreatifitas,
kapabilitas teknologi, serta seni dan budaya. Dengan demikian, konsekuensi yang akan
dirasakan dengan adanya ekonomi kreatif ini adalah terjadi tuntutan profil ketenagakerjaan
yang selaras dengan perubahan tersebut. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sebagai
pendidikan kejuruan, yang memiliki tujuan pendidikan mempersiapkan lulusan untuk
memasuki dunia kerja akan dihadapkan dalam tantangan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan agar mampu mengantisipasi dan mengisi tenagakerja dalam era pengetahuan
mendatang.

1) Industri Kreatif

Pada era ekonomi kreatif, laju perubahan arus informasi dan pengetahuan akan
berlangsung dengan sangat cepat. Menurut M. Hatta Rajasa (2008), pada era ekonomi
kreatif akan dituntut adanya berbagai bentuk pekerjaan baru yang sarat dengan tuntutan
untuk terus melakukan akumulasi pengetahuan untuk menghasilkan berbagai inovasi baru
(innovation intensive employment). Lebih lanjut disampaikan M. Hatta Rajasa (2008)
bahwa terdapat tiga jenis tren bentuk pekerjaan yang akan semakin dituntut peran dari
pekerja untuk menjadi pekerja kreatif. Pertama, ide atau gagasan merupakan sumber daya
yang penting dalam bekerja, sehingga akan semakin banyak bentuk kerjasama antara
pencetus ide yang inovatif dengan pemilik modal untuk mewujudkan karya kreasi
pengetahuan. Kedua, tata organisasi dalam bekerja lebih bersifat horisontal dan non-hirarkis
guna mempercepat proses produksi inovasi dan merangsang kreatifitas. Ketiga, semakin
pentingnya kelembagaan perlindungan hak kekayaan intelektual karena gagasan dan ide
memiliki nilai keekonomian yang tinggi. Hal ini berarti bahwa kinerja pekerja yang
sebelumnya diukur melalui tingkat produktifitas dari proses produksi telah bergeser menjadi
seberapa besar tingkat akumulasi pengetahuan dan peningkatan kapasitas dalam melakukan
inovasi dalam aktifitas produksi.

Dalam rangka transisi menuju ekonomi pasar, wiraswasta merupakan potensi yang
sangat besar bagi siswa untuk memasuki pasar kerja di sektor informal. Dengan demikian,
lulusan pendidikan kejuruan, khususnya SMK, sebaiknya sudah dipersiapkan sejak di
bangku sekolah untuk mengenal industri kreatif yang penuh tantangan, tetapi memilki
peluang pekerjaan yang luar biasa. Semangat kewirausahaan sudah harus ditumbuhkan
untuk mengenal dan menangkap peluang dan bukan pada saat para lulusan sudah memasuki
dunia kerja. Lulusan yang cenderung bekerja di sektor formal bukan berarti mereka tidak
mampu menjadi pewirausaha tetapi mereka tidak memperoleh kesempatan untuk bekerja di
sector informal.

Kondisi di atas dapat dipahami bahwa SMK sebagai pendidikan kejuruan harus mampu
memenuhi permintaan masyarakat pengetahuan (knowledge society) pada era ekonomi
kreatif. Agar lulusan SMK dapat memenuhi tuntutan tersebut, restrukturisasi sistem
pendidikan kejuruan perlu dilakukan terutama diversifikasi program pendidikan yang
sesuai dengan tuntutan pasar kerja maupun artikulasi program pendidikan agar para lulusan
dapat melanjutkan pendidikan sesuai dengan keahlian dan keterampilannya.

2) Pekerja Intelektual (Knowledge Workers – k-Workers)

Perkembangan teknologi dan informasi yang semakin cepat tidak dapat sejalan
dengan pengembangan pendidikan kejuruan. Menurut Power (1999: 32), pembelajaran
berbasis teknologi (technology-based learning) akan memiliki peran penting dalam
pengembangan budaya pendidikan seumur hidup dan memiliki kekuatan untuk
memberdayakan peserta didik menempuh pendidikan sesuai dengan kebutuhannya.
Pembelajaran berbasis teknologi dimaksudkan memadukan secara hardware mapun
software pada sistem telekomunikasi, seperti komputer dan internet, dalam sistem proses
belajar mengajar. Di sisi lain, menurut Wagner (2008:170) pada era pengetahuan akan
dikenal dengan generasi jejaring (the net generation) atau sering disebut generasi serba
digital (growing up digital). Tantangan adaya era pengetahuan ini akan tumbuh jenis
pekerjaan yang disebut pekerja intelektual atau pekerja pengetahuan (knowledge
workers).

Sebagaimana dijelaskan dalam Wikipedia (2013), pekerja intelektual adalah


seseorang yang bekerja utamanya dengan informasi atau seseorang yang mengembangkan
dan menggunakan pengetahuan di tempat kerja. Pekerja intelektual dipekerjakan
berdasarkan pengetahuannya tentang subyek tertentu, bukan berdasarkan keterampilan
membuat atau mengerjakan sesuatu. Contoh dari pekerja intelektual adalah mereka yang
bekerja di bidang teknologi informasi, seperti programmer komputer, analis sistem,
penulis keteknikan, dan lainnya seperti pengacara, guru, dan ilmuwan. Menurut O’Neill
dan Adya (2007) knowledge workers (k-workers) are “autonomous people who enjoy
occupational advancement and mobility and resist (a) command and control culture”. k -
worker adalah orang yang menpunyai otonomi yang dapat menikmati kebebasan dalam
pekerjaan, bergerak, dan melawan perintah dan budaya pengendalian. k-worker juga
dapat dapat bekerja pada satu atau lebih perusahaan komersial atau perusahaan non profit.
Berbagai perusahaan pengetahuan dapat memilih untuk membantu menempatkan dalam
bidang pengetahuan dan teknologi yang biasanya ditujukan untuk pengembangan
kemampuan dalam industri utama seperti industry telekomunikasi, semi konduktor, dan
bioteknologi.

Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pekerja intelektual ini, antara lain:

a) menganalisa data untuk membentuk hubungan


b) menilai input dalam rangka mengevaluasi prioritas yang kompleks atau yang
berkonflik
c) mengidentifikasi dan memahami tren
d) membuat hubungan
e) memahami sebab dan akibat atau kausalitas
f) kemampuan untuk bercurah pendapat, berpikir secara luas
g) kemampuan untuk menelusur turun untuk berfokus
h) menghasilkan kapabilitas baru
i) menciptakan atau memodifikasi strategi

K-worker di atas membuka peluang bagi pendidikan kejuruan untuk mengembangkan


program pembelajaran yang selaras dengan perkembangan era pengetahuan sehingga
mampu mempersiapkan peserta didik untuk mengisi jenis pekerjaan tersebut. Di sisi lain,
hal ini perlu menjadi perhatian bagi perusahaan, karena adanya peluang tingkat keluar-
masuk karyawan yang dapat merugikan perusahaan itu sendiri.

3) Pekerjaan Berwawasan Ramah Lingkungan (Green Jobs)


Isu lingkungan akhir-akhir ini memunculkan berbagai program, kebijakan dan teori
yang terkait dengan pelestarian lingkungan. Berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, dan
akademisi menciptakan program yang seringkali di awali dengan kata “green” yang
dimaknai ramah lingkungan. Seiring dengan perkembangan itu, dunia industri dan usaha
dewasa sudah mulai mengarah pada kegiatan yang mengacu pada ekologi dan berorientasi
pada kegiatan pekerjaan yang ramah lingkungan. Berbagai sektor industri dan usaha
memasukkan kriteria ekologi dan ramah lingkungan dalam persyaratan
kualifikasi/sertifikasi keahlian bagi karyawannya. Perkembangan green jobs ini apabila
tidak segera diatasi maka akan memunculkan kesenjangan baru antara tuntutan kompetensi
yang dimiliki lulusan pada pendidikan kejuruan dengan kualifikasi yang dibutuhkan di
berbagai sektor industri dan usaha. Menurut International Labor Organization (2008) green
jobs merupakan pekerjaan-pekerjaan yang dapat dikategorikan sebagai pekerjaan
pelestarian lingkungan, antara lain: pekerjaan reboisasi, pengolahan limbah, daur ulang
sampah, pertanian organik, penanam bakau, dan berbagai pekerjaan yang berorientasi
lingkungan lainnya.
Pendidikan kejuruan sebagai sistem pendidikan berdasarkan kompetensi mengupayakan
agar learning outcome dari pendidikan kejuruan memiliki kompetensi, keterampilan dan
keahlian yang relevan dengan kebutuhan pasar termasuk penguasaan ekologi dan green
jobs. Hal ini berarti, adaptasi pendidikan berwawasan lingkungan ke dalam pendidikan
kejuruan akan mewujudkan filosofi baru sebagai pertimbangan dalam penyelenggaraan
pendidikan kejuruan pada masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai