Disusun oleh
HENDRY (1517818011)
2018
DAFTAR ISI
NASKAH AKADEMIK
1. Sejarah dan Perkembangan Kurikulum ............................................. 3
1.1 Pendidikan Sebelum Masa Kolonialisme ................................... 4
1.2 Pendidikan Masa Kolonialisme ................................................... 4
1.3 Pendidikan Setelah Indonesia Merdeka ...................................... 4
1.4 Sejarah Perkembangan PTK ........................................................ 4
2. Definisi Kurikulim PTK
2.1 Konsep Dasar Pendidikan Teknologi dan Kejuruan .................... 4
2.2 Bentuk Pendidikan Teknologi dan Kejuruan ............................... 5
3. Karakteristik Kurikulum PTK……………………………………....
4. Rasional Pengembangan Kurikulum pada PTK
4.1 Sistem Pendidikan Teknologi dan Kejuruan di Indonesia ........... 25
4.2 Tantangan PTK Masa Depan ....................................................... 25
4.3 Tokoh Teori Behaviorisme .......................................................... 26
4.4 Psikologi Perkembangan .............................................................. 27
4.5 Humanisme .................................................................................. 28
4.6 Tokoh-Tokoh Humanisme ........................................................... 29
KESIMPULAN ………………………………………………………………… 30
EVALUASI ……………...................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 31
PENGANTAR
Perkembangan dunia pendidikan saat ini memasuki era yang ditandai dengan pesatnya
inovasi teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi, sehingga menuntut
penyesuaian sistem pendidikan yang selaras dengan tuntutan dunia kerja. Di sisi lain, tingkat
keberhasilan pembangunan nasional Indonesia di berbagai sektor akan sangat bergantung
pada sumber daya manusia. Sebagai asset bangsa dalam mengoptimalkan perkembangan
seluruh sumber daya manusia yang dimiliki, upaya yang dapat dilakukan dan ditempuh
melalui pendidikan, baik melalui jalur pendidikan formal, informal, maupun non formal.
Pendidikan kejuruan merupakan salah satu jalur pendidikan formal yang bertujuan
menyiapkan peserta
didik untuk memiliki keunggulan di dunia kerja. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan
kejuruan diperuntukkan bagi peserta didik agar menjadi manusia seutuhnya yang mampu
meningkatkan kualitas hidup, mampu mengembangkan dirinya, dan memiliki keahlian dan
keberanian membuka peluang meningkatkan penghasilan.
2. Kompetensi Sasaran
Setelah berdiskusi mahasiswa diharapkan dapat mengetahui sejarah dan
perkembangan kurikulum
Setelah berdiskusi mahasiswa diharapkan dapat mendefinisikan kurikulum
PTK
Setelah berdiskusi mahasiswa diharapkan dapat mengetahui karekteristik
kurikulum PTK
Setelah berdiskusi mahasiswa diharapkan dapat menganalisis rasional
pengembangan kurikulum pada PTK
NASKAH AKADEMIK
Pada saat zaman hindu budha, pendidikan hanya dinikmati oleh kelas Brahmana, yang
merupakan kelas teratas dalam kasta Hindu. Mereka umumnya belajar teologi, sastra, bahasa,
ilmu pasti, dan ilmu seni bangunan. Sejarah mencatat, kerajaan-kerajaan Hindu seperti
Kalingga, Kediri, Singosari, dan Majapahit, melahirkan para empu, punjangga, karya sastra,
dan seni yang hebat.
Padepokan adalah model pendidikan zaman hindu yang dikelola oleh seorang
guru/bengawan dan murid/cantrik mempelajari ilmu bersifat umum, religius, dan juga
kesaktian. Murid di Padepokan bisa keluar masuk bila merasa cukup atau tidak puas dengan
pengajaran guru.
Pada zaman penyebaran Islam, pola pendidikan bernapaskan islam menyebar dan
mewarnai penyelenggaraan pendidikan. Pusat-pusat pendidikan tesebar di langgar, surau,
meunasah (madrasah), masjid, dan pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan formal
tertua di Indonesia. Pesantren diajar oleh seorang kyai, dan santri/murid tinggal di
pondok/asrama di sekitar pesantren. Jumlah pondok pesantren cukup banyak tersebar di
Jawa, Aceh, dan sumatera selatan. Sampai saat ini pondok pesantran masih eksis, menurut
data DEPAG pada tahun 2005-2006 jumlah pesantren yang asa di 33 propinsi di Indonesia
adalah 16.015 buah, dengan jumlah santri sebanyak 3.190.394 orang, dengan proposi laki-
laki 53,2% dan perempuan 46,8%. Bagaimana perkembangan pendidikan islam dari sebelum
merdeka hingga kini, bisa dibaca dihalaman madrasah pada blog ini.
Pada masa penjajahan Belanda, setidaknya ada tiga sistem pendidikan dan pengajaran
yang berkembang saat itu. Pertama, sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan
perantren. Kedua, sistem pendidikan Belanda. Sistem pendidikan Belanda diatur dengan
prosedur yang ketat dari mulai aturan siswa, pengajar, sistem pengajaran, dan
kurikulum. Sistem prosedural seperti ini sangat berbeda dengan sistem prosedural pada
sistem pendidikan islam yang telah dikenal sebelumnya. Sistem pendidikan belanda pun
bersifat diskriminatif. Sekolah-sekolah dibentuk dengan membedakan pendidikan antara
anak Belanda, anak timur asing, dan anak pribumi. Golongan pribumi ini masih dipecah lagi
menjadi masyarakat kelas bawah dan priyayi. Susunan persekolahan zaman kolinial adalah
sebagai berikut (Sanjaya, 2007:207):
Agar tidak banyak bangsa Indonesia yang melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi,
maka biaya kuliah pun dibuat sangat besar. Menurut Soenarta (2005) biaya kuliah untuk satu
tahun di salah satu sekolah tinggi itu besarnya fl (gulden) 300. Saat itu, harga satu kilogram
(kg) beras sama dengan 0,025 gulden. Maka, besar uang kuliah sama dengan 12.000 kg beras.
Bila ukuran dan perbandingan itu diterapkan sebagai biaya kuliah di universitas sekarang,
sedangkan harga beras sekarang rata-rata Rp 3.000 per kg, maka untuk kuliah di universitas
biayanya sebesar Rp 36 juta per mahasiswa per tahun. Biaya di MULO, setingkat sekolah
lanjutan tingkat pertama, adalah sebesar 5,60 gulden per siswa per bulan, setara dengan 224
kg beras. Bila dihitung dengan harga beras sekarang, akan menjadi Rp 672.000 per siswa per
bulan. Akibatnya banyak anak Indonesia yang lebih memilih masuk Ambachtschool atau
Technische School, karena biayanya agak murah sedikit. Berbekal keterampilan yang
diperoleh di Ambachtschool atau Technische School, siswa bisa langsung bekerja setelah
lulus.
Mata pelajaran untuk tingkat Sekolah Rakyat ada 16, khusus di Jawa, Sunda, dan Madura
diberikan bahasa daerah. Daftar pelajarannya adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah,
Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, Sejarah, Menggambar, Menulis, Seni Suara,
Pekerjaan Tangan, Pekerjaan Keputrian, Gerak Badan, Kebersihan dan Kesehatan, Didikan
Budi Pekerti, dan Pendidikan Agama. Pada awalnya pelajaran agama diberikan mulai kelas
IV, namun sejak 1951 agama juga diajarkan sejak kelas 1. Garis-garis besar pengajaran pada
saat itu menekankan pada cara guru mengajar dab cara murid mempelajari. Misalnya,
pelajaran bahasa mengajarkan bagaimana cara bercakap-cakap, membaca, dan menulis. Ilmu
Alam mengajarkan bagaimana proses kejadian sehari-hari, bagaimana mempergunakan
berbagai perkakas sederhana 9pompa, timbangan, manfaat bes berani), dan menyelidiki
berbagai peristiwa sehari-hari, misalnya mengapa lokomotif diisi air dan kayu, mengapa
nelayan melaut pada malam hari, dan bagaimana menyambung kabel listrik.
Pada perkembangannya, rencana pelajaran lebih dirinci lagi setiap pelajarannya, yang
dikenal dengan istilah Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas
sekali. Seorang guru mengajar satu mata pelajaran”. Pada masa itu juga dibentuk Kelas
Masyarakat. yaitu sekolah khusus bagi lulusan SR 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP.
Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan.
Tujuannya agar anak tak mampu sekolah ke jenjang SMP, bisa langsung bekerja.
Struktur program Sekolah Rakyat (SD) menurut Rencana Pelajaran 1947 adalah sebagai
berikut:
No Mata Pelajaran Kelas
1 2 3 4 5 6
1. B. Indonesia – – 8 8 8 8
2. B. Daerah 10 10 6 4 4 4
3. Berhitung 6 6 7 7 7 7
4. Ilmu Alam – – – – 1 1
5. Ilmu Hayat – – – 2 2 2
6. Ilmu Bumi – – 1 1 2 2
7. Sejarah – – – 1 2 2
8. Menggambar – – – – 2 2
9. Menulis 4 4 3 3 – –
10. Seni Suara 2 2 2 2 2 2
11. Pekerjaan Tangan 1 1 2 2 2 2
12. Pekerjaan kepurtian – – – 1 2 2
13. Gerak Badan 3 3 3 3 3 3
14. Kebersihan dan kesehatan 1 1 1 1 1 1
15. Didikan budi pekerti 1 1 2 2 2 3
16. Pendidikan agama – – – 2 2 2
JUMLAH 28 28 35 38 40 41
KURIKULUM 1964
Pada akhir era kekuasaan Soekarno, kurikulum pendidikan yang lalu diubah menjadi
Rencana Pendidikan 1964. Isu yang berkembang pada rencana pendidikan 1964 adalah
konsep pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif. Konsep pembelajaran ini
mewajibkan sekolah membimbing anak agar mampu memikirkan sendiri pemecahan
persoalan (problem solving). Rencana Pendidikan 1964 melahirkan Kurikulum 1964 yang
menitik beratkan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang
kemudian dikenal dengan istilah Pancawardhana. Disebut Pancawardhana karena lima
kelompok bidang studi, yaitu kelompok perkembangan moral, kecerdasan, emosional/artisitk,
keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pada saat itu pendidikan dasar lebih menekankan
pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis, yang disesuaikan dengan perkembangan
anak. Cara belajar dijalankan dengan metode disebut gotong royong terpimpin. Pemerintah
menerapkan hari sabtu sebagai hari krida yaitu siswa diberi kebebasan berlatih kegitan di
bidang kebudayaan, kesenian, olah raga, dan permainan, sesuai minat siswa. Kurikulum
1964 adalah alat untuk membentuk manusia pacasialis yang sosialis Indonesia, dengan sifat-
sifat seperti pada ketetapan MPRS No II tanun 1960.
A. Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 lahir dengan pertimbangan politik ideologis. Tujuan pendidikan pada
kurikulum 1964 yang bertujuan menciptakan masyarakat sosialis Indonesia diberangus,
pendidikan pada masa ini lebih ditekankan untuk membentuk manusia pancasila sejati.
Kurikulum 1968 bersifat correlated subject curriculum, artinya materi pelajaran pada tingkat
bawah mempunyai korelasi dengan kurikulum sekolah lanjutan. Bidang studi pada kurikum
ini dikelompokkan pada tiga kelompok besar: pembinaan pancasila, pengetahuan dasar, dan
kecakapan khusus. Jumlah mata pelajarannya 9, yang memuat hanya mata pelajaran pokok
saja. Muatan materi pelajarannya sendiri hanya teoritis, tak lagi mengkaitkannya dengan
permasalahan faktual di lingkungan sekitar. Metode pembelajaran sangat dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pendidikan dan psikologi pada akhir tahun 1960-an. Salah satunya
adalah teori psikologi unsur. Contoh penerapan metode pembelajarn ini adalah metode eja
ketika pembelajaran membaca. Begitu juga pada mata pelajaran lain, “anak belajar melalui
unsur-unsurnya dulu”. Struktur kurikulum 1968 dapat dilihat pada tabel berikut ini:
B. Kurikulum 1975
Dibandingkan kurikulum sebelumnya, kurikulum ini lebih lengkap, jika dilihat dari
pedoman yang dikembangkan dalam kurikulum tersebut. Pada kurikulum SD 7 unsur pokok
yang disajikan dalam 3 buku. Tujuh unsur pokok tersebut adalah dasar, tujun, dan prinsip;
struktur program kurikulum; GBPP; sistem penyajian; sistem penilaian; sistem bimbingan
dan penyuluhan; pedoman supervisi dan administrasi. Pembuatan buku pedoman, pada
kurikulum selanjutnya tetap dipertahankan. Pendekatan kurikulum 1975 menekankan pada
tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efesien, yang mempengaruhinya adalah konsep di
bidang manajemen, yaitu MBO (Management by Objective).
Melalui kurikulum 1968 tujuan pembelajaran setiap mata pelajaran yang terkandung pada
kurikulum 1968 lebih dipertegas lagi. Metode, materi, dan tujuan pengajarannya tertuang
secara gambalang dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Melalui PPSI
kemudian lahir satuan pelajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan
bahsasb memiliki unsur-unsur: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi
pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar mengajar, dan evaluasi.
Kurikulum 1975 didasari konsep SAS (Structural, analysis, sintesis). Anak menjadi pintar
karena paham dan mampu menganalisis sesuatu yang dihubungkan dengan mata pelajaran di
sekolah. Kurikulum 1975 juga dimaksudkan untuk me nyerap perkembangan ilmu era
1970-an. Selain memperkuat matematika, pelajaran teoritis IPA juga dipertajam. Jam
pelajaran yang tadinya 41 jam per minggu, menjadi 43 jam. Pelajaran IPA menjadi gabungan
dari Ilmu Hayat dan Ilmu Alam. Sisi positif kurikulum ini adalah, “ilmu-ilmu dasar yang
diserap siswa SD pada masa itu menjadi semakin berkembang”. Akan tetapi dampak dari
kurikulum 1975 adalah banyak guru menghabiskan waktunya untuk mengerjakan tugas
administrasi, seperti membuat TIU, TIK, dan lain-lain; sedangkan substansi materi uang akan
diajarkan kurang didalami.
Struktur program pada kurikulum 1975 di sekolah dasar adalah sebagai berikut:
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach, yang senada dengan tuntukan GBHN
1983 bahwa pendidikan harus mampu mencetak tenaga terdidik yang kreatif, bermutu, dan
efisien bekerja. Kurikulum 1984 tidak mengubah semua hal dalam, kurikulum 1974, meski
mengutamakan proses tapi faktor tujuan tetap dianggap penting. Oleh karena itu kurikulum
1984 disebut kurikulum 1975 yang disempurnakan. Posisi Siswa dalam kurikulum 1984
diposisikan sebagai subyek belajar. Dari hal-hal yang bersifat mengamati, mengelompokkan,
mendiskusikan, hingga melaporkan, menjadi bagian penting proses belajar mengajar, inilah
yang disebut konsep Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA didasarkan pada disertasi
Conny R. Semiawan, yang didasarkan pada pandangan Sikortsky, yang menelorkan Zone of
Proximality Development. Teori yang mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai potensi
dan potensi itu dapat teraktualisasi melalui ketuntasan belajar tertentu. Tetapi antara potensi
dan aktualisasi terdapat daerah abu-abu (grey area), guru berkewajiban menjadikan daerah
abu-abu ini dapat teraktualisasi. Caranya dengan belajar kelompok.
Dari sisi konten tidak banyak perubahan pada kurikulum ini, kecuali ditambahkannya
pembelajaran PSPB. Struktur kurikulum pada tingkat sekolah dasar dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
B. Kurikulum 1994
Kurikulum 2004 lebih populer dengan sebutan KBK (kurikulum Berbasis Kompetensi).
Lahir sebagai respon dari tuntutan reformasi, diantaranya UU No 2 1999 tentang
pemerintahan daerah, UU No 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan
kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, dam Tap MPR No IV/MPR/1999 tentang arah
kebijakan pendidikan nasional. KBK tidak lagi mempersoalkan proses belajar, proses
pembelajaran dipandang merupakan wilayah otoritas guru, yang terpenting pada tingkatan
tertentu peserta didik mencapai kompetensi yang diharapkan. Kompetensi dimaknai sebagai
perpaduan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan
berpikir, dan bertindak. Seseorang telah memiliki kompetensi dalam bidang tersebut yang
tercermin dalam pola perilaku sehari-hari.
1994 KBK
Yang Penguasaan materi Hasil dan kompetenasi
dikedepankan
Paradigma versi UNESCO: learning to know, learning to
pembelajaran do, learning to live together, dan learning to be
Silabus Silabus ditentukan secara Peran serta guru dan siswa dalam proses
seragam pembelajaran, silabus menjadi kewenagan
guru.
Jumlah jam 40 jam per minggu 32 jam perminggu, tetapi jumlah mata
pelajaran pelajaran belum bissa dikurangi
Metode Keterampilan proses Lahir metode pembelajaran PAKEM dan CTL
pembelajaran
Sistem Lebih menitik beratkan Penilaian memadukan keseimbangan kognitif,
penilaian pada aspek kognitif psikomotorik, dan afektif, dengan penekanan
penilaian berbasis kelas
KBK memiliki empat komponen, yaitu kurikulum dan hasil belajar (KHB), penilaian
berbasis kelas (PBK), kegiatan belajar mengajar (KBM), dan pengelolaan kurikulum berbasis
sekolah (PKBS). KHB berisi tentang perencaan pengembangan kompetensi siswa yang perlu
dicapai secara keseluruhan sejak lahir sampai usia 18 tahun. PBK adalah melakukan
penilaian secara seimbang di tiga ranah, dengan menggunakan instrumen tes dan non tes,
yang berupa portofolio, produk, kinerja, dan pencil test. KBM diarahkan pada kegiatan aktif
siswa dala membangun makna atau pemahaman, guru tidak bertindak sebagai satu-satunya
sumber belajar, tetapi sebagai motivator yang dapat menciptakan suasana yang
memungkinkan siswa dapat belajar secara penuh dan optimal. PKBS memuat berbagai pola
pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumberdaya lain untuk meningkatkan mutu hasil
belajar.
KTSP sendiri lahir sebagai respon dari UU No 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional, terutama pasal 36 ayat 1 dan 2. KTSP bertujuan memandirikan dan
memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada
lembaga pendidikan. Prinsip pengembangan KTSP adalah:
1. Berpusat pada potensi, pengembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik, dan
lingkungannya.
2. Beragam dan terpadu.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
5. Menyeluruh dan berkesinambungan
6. Belajar sepanjang hayat
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Pada KTSP menuntut satuan pendidikan untuk mengembangkan silabus. Silabus adalah
rencana pembelajaran pada suatu atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup
standar kompentensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
indikator, penilaian, alokasi waktu, dan suber/alat/bahan belajar. Silabus merupakan
penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran,
kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Silabus
dikembangkan dengan menekankan pada prinsip ilmiah, relevan, sistematis, konsisten,
memadai, aktual dan kontekstual, fleksibel, dan menyeluruh.
1. Silabus mata pelajaran disusun berdasarkan seluruh alokasi waktu yang disediakan
untuk mata pelajaran selama penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan
pendidikan.
2. Penyusunan silabus memperhatikan alokasi waktu yang disediakan per semester,
pertahun, dan alokasi waktu untuk mata pelajaran lain yang sekelompok.
3. Implementasi per semester menggunakan penggalan silabus sesuai dengan standar
kompetensi dasar untuk mata pelajaran dengan alokasi waktu yang tersedia pada
struktur kurikulum.
Pengembangan silabus dilakukan oleh para guru secara mandiri, atau berkelompok dalam
sebuah sekolah, atau beberapa sekolah, kelompok MGMP atau PKG, dan dinas pendidikan.
Adapun langkah-langkah pengembangan silabus adalah sebagai berikut:
1. Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar seperti yang ada pada standar isi
2. Mengidentifikasi materi pokok/pembelajaran yang menunjang potensi peserta didik,
relevansi dengan karakteristik daerah, tingkat perkembangan, kebermanfaatan,
struktur ilmu, dan lain-lain.
3. Mengemban kegiatan pembelajaran untuk memberikan pengalaman belajar yang
sesuai dengan pencapaian kompetensi. Kegiatan pembelajaran menekankan pada
proses pengembangan mental dan fisik melalui interaksi antara semua yang terlibat,
baik siswa, guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya.
4. Merumuskan indikator pencapaian kompetensi sebagai penanda pencapaian
kompetensi dasar yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur mencakup
pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
5. Penentuan jenis penilaian berdasarkan indikator baik dalam bentuk tes maupun non
tes, tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap penilaian hasil
karya, dan lain-lain.
6. Penentuan alokasi waktu pada setiap kompentensi dasar yang didasarkan pada jumlah
minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran perminggu.
7. Memanfaatkan sumber belajar sebagai rujukan baik berupa cetak, elektronik,
narasumber, lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya.
1.4. Sejarah Perkembangan Pendidikan Teknologi dan Kejuruan
Di Indonesia, perjalanan pendidikan kejuruan telah diselenggarakan cukup panjang.
Perkembangan pendidikan sepanjang sejarah di Indonesia telah ditulis secara lengkap oleh
Dedi Supriadi (2002). Berikut disampaikan secara ringkas perkembangan pendidikan
kejuruan sebagaimana ditulis Dedi Supriadi (2002). Indonesia diawali dengan didirikannya
Sekolah Pertukangan Ambacht School van Soerabaja tahun 1853 oleh pihak swasta. Pada
tahun 1856, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan pendidikan serupa di Jakarta dengan
nama Ambacht Leergang, kemudian pada tahun 1901 dilanjutkan dengan pembukaan
lembaga pendidikan bernama Koningin Welhelmina School. Pendidikan teknik dan kejuruan
tingkat pertama di Indonesia didirikan menjelang akhir masa penjajahan Belanda hingga
masa pendudukan Jepang (1942-1945), terdiri atas: Ambacht Leergang yang mempersiapkan
pekerja-pekerja tukang, Ambacht School yang memberikan latihan yang lebih tinggi, dan
Technische School yang memberikan latihan yang lebih tinggi dan bersifat teoritis.
Setelah masa kemerdekaan, banyak sekolah peninggalan Belanda menjadi sekolah yang
khusus untuk kepentingan yang sangat dibutuhkan bangsa Indonesia, sekolah yang
menjadikan lulusannya punya keterampilan, ilmu dan dapat langsung bekerja dengan
kemampuan mereka yang didapat dari sekolah itu. Pada masa kemerdekaan, Ambacht
Leergang dikenal dengan Sekolah Pertukangan, Ambacht School menjadi Sekolah
Pertukangan Lanjutan, dan Technische School sebagai Sekolah Teknik. Pada masa orde lama,
perkembangan pendidikan kejuruan di Indonesia dimulai pada 1950. Arah pendidikan pada
waktu itu cendrung mengarah kepada aktivitas politik praktis karena pergolakan politik saat
itu. Pendidikan kejuruan belum memiliki fokus yang jelas sebagai pendidikan untuk kerja.
Selanjutnya, pendidikan kejuruan diawali tahun 1964, dimana Pemerintah Indonesia
menerapkan kebijakan Kurikulum 1964 dengan bobot pembelajaran praktik kejuruan hanya
5% sampai dengan 20%. Pada masa orde baru yang diawali tahun 1965, pembangunan
pendidikan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang ber-Pancasila,
dan pembinaan sistim pendidikan nasional disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan,
sehingga menghasilkan calon tenaga kerja yang diperlukan untuk pembangunan. Pendidikan
Teknik dan Kejuruan pada Pelita I (1970-1975), Pemerintah Republik Indonesia
menempatkan pembangunan pendidikan teknologi sebagai bagian integral Rencana
Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) untuk mengisi kebutuhan terhadap tenaga kerja
teknik.
Tahun pertama Pelita I dimulai dengan pembangunan delapan STM Pembangunan,
dengan dukungan sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia sendiri. Tahun kedua Pelita I
(1970-1971), pembangunan pendidikan teknik ditingkatkan lagi dengan membangun lima
Tehcnical Training Centre (Balai Latihan Pendidikan Teknik-BLPT) dengan pinjaman dana
dari World Bank, dan bantuan tenaga ahli dari UNESCO serta Pemerintah Inggris. Tahun
keempat Pelita I (1972-1973), diadakan proyek Peningkatan Mutu Pengajaran Teknik
(PMPT), dengan dengan sasaran utama mendukung peningkatan mutu guru teknik pada
proyek-proyek STM Pembangunan dan BLPT. Sejalan dengan perkembangan yang semakin
intensif pembangunan pendidikan teknik, selanjunya dibentuk kelembagaan yang disebut
TTUC (Tehnical Teacher Upgrading Centre).
Perubahan mendasar pada kebijakan pendidikan pada Pelita II (1976-1981) dengan
dirumuskan Kurikulum 1976/1977 yang memiliki ciri jumlah jam praktik yang ditingkatkan
dari 10% menjadi 30-50%. Kurikulum 1976 ditetapkan sebagai pengganti Kurikulum 1964
dengan tujuan pendidikan kejuruan diarahkan untuk penyiapan peserta didik memasuki
lapangan kerja saja (terminal) dan lulusan sekolah kejuruan tidak dikaitkan secara jelas
dengan kompetensi atau tingkatan keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Jenis dan
bidang atau program keahlian pada pendidikan menengah kejuruan mulai berkembang
meliputi kelompok teknologi industri, teknologi pertanian, ekonomi dan perdagangan,
teknologi kerumah tanggaan dan kejuruan kemasyarakatan. Kebijakan mendasar terjadi pada
tahun 1977, dimana sebagian Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Kejuruan dialih
fungsikan menjadi Sekolah Menengah Pertama (SMP), selanjutnya pendidikan kejuruan lebih
efisien dilaksanakan pada tingkat menengah. Kebijakan dasar pembangunan pendidikan pada
Pelita III (1982-1987) mencakup peningkatan relevansi sistem pendidikan dengan kebutuhan
pembangunan di segala bidang yang memerlukan berbagai jenis keahlian serta efisiensi kerja.
Kebijakan pendidikan kejuruan dilanjutkan dan ditingkatkan melalui usaha-usaha
pembinaan secara fungsional dan terintergrasi. Pendidikan kejuruan merupakan bagian
integral dari proses pembangunan ekonomi bangsa secara berkelanjutan dengan orientasi
dunia usaha dan industri yang langsung melakukan aktivitas ekonomi, seperti industri
produksi dan berbagai industri jasa. Sistem pendidikan kejuruan harus mampu menghasilkan
tenaga kerja untuk kepentingan dunia usaha dan industri. Pengembangan pendidikan kejuruan
pada Pelita III didasarkan pada latar belakang dan prinsip-prinsip yang sama pada Pelita I dan
II, serta menekankan konsolidasi dan aktualisasi peningkatan mutu, relevansi pendidikan
kejuruan dan perluasan kesempatan pendidikan kejuruan melalui pembangunan SMK baru.
Sistem pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang yang
memerlukan jenis-jenis keahlian dan keterampilan. Akses pendidikan dan peningkatan mutu
diperluas dan dipercepat untuk memenuhi kebutuhan SDM yang trampil, kreatif, inovatif.
Kebijakan mendasar pada Pelita IV adalah adanya kampanye pendidikan kejuruan untuk
menarik minat masyarakat terhadap pendidikan kejuruan. Kampanye ini berhasil baik tetapi
sayang tidak diikuti konsolidasi mutu dan relevansi.
Perubahan pendidikan kejuruan yang menonjol adalah adanya penyempurnaan
Kurikulum 1976 menjadi Kurikulum SMK 1984 yang berkarakter: (1) tidak bersifat terminal,
memberi peluang lulusannya untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi (PT); (2) teori dan
praktik kejuruan terintegrasi; (3) menekankan pada proses pendidikan; (4) ada program inti
60% dan program pilihan (40%). Program inti bersifat common ground harus diikuti oleh
semua peserta didik, sedangkan program pilihan untuk peningkatan profesionalisme
disesuaikan dengan bakat, minat, dan kebutuhan lingkungan, (5) porsi jam matematika masih
juga kecil belum memenuhi kebutuhan minimal untuk pengembangan ilmu di perguruan
tinggi. Pada Pelita IV pendidikan kejuruan telah mengupayakan peningkatan daya
tampung/akses, peningkatan mutu dan relevansi. Kelemahannya ada pada konsolidasi akibat
penambahan jumlah peserta didik sehingga kemampuan sekolah tidak sebanding dengan
respon masyarakat yang mengikuti pendidikan di SMK. Belum ada pengembangan kerjasama
antara SMK dengan industri.
Penyelenggaraan pendidikan kejuruan sepenuhnya dilaksanakan di sekolah sehingga
wawasan lulusan terhadap industri tidak ada sama sekali. Model ini disebut supply driven dan
school-based approach. Pengembangan kerjasama antara dunia pendidikan kejuruan dengan
dunia usaha dunia industri (DU-DI) dan penyesuaian jumlah, jenis, dan mutu lulusan SMK
dengan kebutuhan industri. Pengembangan sekolah seutuhnya dilakukan dengan pembenahan
Kurikulum SMK yang mengarah pada tiga komponen yaitu: (1) Pembentukan watak
Indonesia
secara normatif; (2) komponen keterampilan dasar; dan (3) komponen keterampilan produktif
yang mengikuti kebutuhan pasar kerja dan dikelola secara pragmatik. Agar dapat mengikuti
tuntutan pasar kerja sekolah SMK perlu memperhatikan penyelenggaraan pendidikan
bersama institusi pasangan dan pendirian unit produksi di sekolah. Pada akhir Pelita V,
kebijakan pendidikan kejuruan pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993
menetapkan kualitas pendidikan perlu disesuaikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta tuntutan perkembangan pembangunan. Kerjasama antara dunia pendidikan dengan
dunia usaha dalam
rangka pendidikan dan pelatihan terus ditingkatkan untuk pemenuhan tenaga kerja yang
cakap dan terampil. Konsep Link and Match dikenalkan pada tahun 1993/1994, sebagai
wawasan pengembangan sumberdaya manusia, masa depan, mutu dan keunggulan,
profesionalisme, nilai tambah, serta efisiensi. Keberhasilan pendidikan di SMK diukur
dengan rate of return dan tidak cukup diukur dengan social return.
Kebijakan Pendidikan Kejuruan masa Orde Reformasi diletakkan pada pengembangan
SMK menjelang 2020 dimana industri berperan aktif dalam pengembangan standar
kompetensi, penyusunan bahan ajar, pengujian dan sertifikasi. Sertifikasi dilaksanakan
berdasarkan keterampilan berbasis kompetensi. Pada tahun 2004 ada kebijakan pergantian
Kurikulum SMK 1999 dengan Kurikulum berbasis kompetensi Kurikulum SMK 2004.
Berdasarkan Permendiknas No. 22, 23, 24; Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
mengeluarkan pedoman penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
mulai digunakan pada tahun 2007. KTSP adalah kurikulum berdiversifikasi sesuai kebutuhan
daerah dan satuan pendidikan. Kurikulum ini lebih memberi peluang mengakomodasi
kebutuhan daerah. Perubahan pengelolaan kurikulum pendidikan SMK dari yang semula
sentralistik menjadi desentralistik masih banyak kendala. Kesempatan pengelolaan secara
desentralistik belum ditangkap sebagai peluang perbaikan pendidikan SMK. Justru
sebaliknya masih menjadi hambatan. Hambatannya terletak pada kesiapan tingkat satuan
pendidikan SMK untuk mengembangkan kurikulum.
2. Kurikulum PTK
2.1. Konsep Dasar Pendidikan Teknologi dan Kejuruan
Pendidikan teknologi dan pendidikan kejuruan menyiratkan dua konsep yang berbeda,
Antara pendidikan teknologi dan pendidikan kejuruan. Konseptualisasi pendidikan teknologi
adalah pendidikan yang mengajarkan penggunaan teknologi untuk memecahkan masalah
dalam memenuhi berbagai kebutuhan. Landasan pokok pendidikan teknologi adalah
digunakannya keterampilan pemecahan masalah dalam berbagai bidang. Konseptualisasi
pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang berkaitan dengan skill menggunakan alat dan
mesin (Sanders, dalam Pavlova, 2009). Stevenson dalam Pavlova (2009) mengidentifikasi
bahwa pendidikan teknologi mencakup pengetahuan umum (general), pengetahuan teoritis,
pemahaman konseptual, bakat dan kemampuan kreatif, keterampilan intelektual, dan
penyiapan berkehidupan. Sedangkan pendidikan kejuruan mencakup pengetahuan khusus,
pengetahuan praktis/fungsional, pemberian skill/keterampilan, kemampuan reproduktif,
keterampilan fisik, dan penyiapan bekerja. Jadi pendidikan teknologi dan pendidikan
kejuruan adalah dua pendidikan yang memiliki penekanan berbeda. Agar menjadi efektif
maka pendidikan teknologi dan pendidikan kejuruan disinergikan menjadi pendidikan
teknologi kejuruan yang menerapkan kedua prinsip-prinsip tersebut di atas dalam
meningkatkan relevansinya.
Ada banyak pengertian tentang pendidikan vokasi. Pendidikan kejuruan yang
umumnya disebut juga pendidikan vokasi mengalami puncak popularitas pada saat Smith-
Hughes (1917) mendefinisikan ―vocational education was training less than college grade to
fit for useful employment” (Thompson, 1973:107). Pendidikan vokasi adalah
training/pelatihan di bawah perguruan tinggi yang sesuai untuk pekerjaan bermakna.
Pengertian ini maknanya rancu karena pendidikan diartikan sebagai pelatihan/training.
Pendidikan vokasi dan training vokasi adalah dua hal yang berbeda. Pendidikan vokasi lebih
luas dan mencakup berbagai hal yang lebih generik. Sedangkan pelatihan vokasi berkaitan
dengan pemberian skill yang bersifat khusus.
Berbagai definisi pendidikan dan pelatihan kejuruan/vokasi di atas dapat disimpulkan
bahwa pendidikan dan pelatihan kejuruan/vokasi adalah pendidikan yang menyiapkan
terbentuknya keterampilan, kecakapan, pengertian, perilaku, sikap, kebiasaan kerja, dan
apresiasi terhadap pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia
usaha/industri, diawasi oleh masyarakat atau dalam kontrak dengan lembaga serta berbasis
produktif. Apresiasi terhadap pekerjaan sebagai akibat dari adanya kesadaran bahwa orang
hidup butuh bekerja merupakan bagian pokok dari pendidikan kejuruan/vokasi. Pendidikan
kejuruan/ vokasi menjadi tanpa makna jika masyarakat dan peserta didik kurang memiliki
apresiasi terhadap pekerjaan-pekerjaan dan kurang memiliki perhatian terhadap cara bekerja
yang benar dan produktif sebagai kebiasaan.
1) Industri Kreatif
Pada era ekonomi kreatif, laju perubahan arus informasi dan pengetahuan akan
berlangsung dengan sangat cepat. Menurut M. Hatta Rajasa (2008), pada era ekonomi
kreatif akan dituntut adanya berbagai bentuk pekerjaan baru yang sarat dengan tuntutan
untuk terus melakukan akumulasi pengetahuan untuk menghasilkan berbagai inovasi baru
(innovation intensive employment). Lebih lanjut disampaikan M. Hatta Rajasa (2008)
bahwa terdapat tiga jenis tren bentuk pekerjaan yang akan semakin dituntut peran dari
pekerja untuk menjadi pekerja kreatif. Pertama, ide atau gagasan merupakan sumber daya
yang penting dalam bekerja, sehingga akan semakin banyak bentuk kerjasama antara
pencetus ide yang inovatif dengan pemilik modal untuk mewujudkan karya kreasi
pengetahuan. Kedua, tata organisasi dalam bekerja lebih bersifat horisontal dan non-hirarkis
guna mempercepat proses produksi inovasi dan merangsang kreatifitas. Ketiga, semakin
pentingnya kelembagaan perlindungan hak kekayaan intelektual karena gagasan dan ide
memiliki nilai keekonomian yang tinggi. Hal ini berarti bahwa kinerja pekerja yang
sebelumnya diukur melalui tingkat produktifitas dari proses produksi telah bergeser menjadi
seberapa besar tingkat akumulasi pengetahuan dan peningkatan kapasitas dalam melakukan
inovasi dalam aktifitas produksi.
Dalam rangka transisi menuju ekonomi pasar, wiraswasta merupakan potensi yang
sangat besar bagi siswa untuk memasuki pasar kerja di sektor informal. Dengan demikian,
lulusan pendidikan kejuruan, khususnya SMK, sebaiknya sudah dipersiapkan sejak di
bangku sekolah untuk mengenal industri kreatif yang penuh tantangan, tetapi memilki
peluang pekerjaan yang luar biasa. Semangat kewirausahaan sudah harus ditumbuhkan
untuk mengenal dan menangkap peluang dan bukan pada saat para lulusan sudah memasuki
dunia kerja. Lulusan yang cenderung bekerja di sektor formal bukan berarti mereka tidak
mampu menjadi pewirausaha tetapi mereka tidak memperoleh kesempatan untuk bekerja di
sector informal.
Kondisi di atas dapat dipahami bahwa SMK sebagai pendidikan kejuruan harus mampu
memenuhi permintaan masyarakat pengetahuan (knowledge society) pada era ekonomi
kreatif. Agar lulusan SMK dapat memenuhi tuntutan tersebut, restrukturisasi sistem
pendidikan kejuruan perlu dilakukan terutama diversifikasi program pendidikan yang
sesuai dengan tuntutan pasar kerja maupun artikulasi program pendidikan agar para lulusan
dapat melanjutkan pendidikan sesuai dengan keahlian dan keterampilannya.
Perkembangan teknologi dan informasi yang semakin cepat tidak dapat sejalan
dengan pengembangan pendidikan kejuruan. Menurut Power (1999: 32), pembelajaran
berbasis teknologi (technology-based learning) akan memiliki peran penting dalam
pengembangan budaya pendidikan seumur hidup dan memiliki kekuatan untuk
memberdayakan peserta didik menempuh pendidikan sesuai dengan kebutuhannya.
Pembelajaran berbasis teknologi dimaksudkan memadukan secara hardware mapun
software pada sistem telekomunikasi, seperti komputer dan internet, dalam sistem proses
belajar mengajar. Di sisi lain, menurut Wagner (2008:170) pada era pengetahuan akan
dikenal dengan generasi jejaring (the net generation) atau sering disebut generasi serba
digital (growing up digital). Tantangan adaya era pengetahuan ini akan tumbuh jenis
pekerjaan yang disebut pekerja intelektual atau pekerja pengetahuan (knowledge
workers).
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pekerja intelektual ini, antara lain: