Anda di halaman 1dari 25

MOTIVASI DAN CONTOH PERILAKU ANAK DALAM

PEMBELAJARAN

Mata Kuliah : Filosofi Pendidikan Indonesia

Kode Mata Kuliah :-

Jumlah SKS : 2 sks

Dosen Pengampu : Dr. Riswandi, M. Pd.

Semester :1

Disusun Oleh

Kelompok 5

Ni Nyoman Ervalna

Nurul Aulia

Ridha Mentari Dwansi

Sari Asih

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam yang telah
memberikan nikmat serta ridha-Nya sehingga tim penyusun dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “................................”.

Dalam pembuatan makalah ini, kami mendapatkan bantuan dari berbagai pihak,
untuk itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Riswandi, M. Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Filosofi
Pendidikan Indonesia
2. Rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan masukan untuk
penyelesaian makalah ini.

Tim penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat


banyak kekurangan. Oleh karena itu, tim penyusun berharap agar para pembaca
dapat memberi kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Bandar lampung, Oktober 2022

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER...........................................................................................................................i

KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................4
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................6
2.1 Tujuan Pendidikan pada Masa Kolonial ..................................................................6
2.2 Perubahan Pendidikan dari Masa ke Masa ............................................................10
2.3 Perbandingan Kualitas Pendidikan terkait Perubahan Kurikulum .........................15
BAB III PENUTUP.........................................................................................................23
3.1 Kesimpulan............................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................25

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sistem pendidikan nasional Indonesia berkembang dari perjuangan
kemerdekaan dan kebangkitan kembali bangsa. Selama perkembangannya,
banyak pengaruh, lokal atau global, berkontribusi pada perubahan sifat
kurikulum, pedagogi, penilaian, dan profesionalisme guru.Adapun kurikulum
sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan pada tahun 1950-an ditujukan
untuk meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat, meningkatkan
pendidikan jasmani, meningkatkan pendidikan watak, menberikan perhatian
terhadap kesenian, dan lain sebagainya.
Indonesia telah banyak mengalami perubahan kurikulum, di antaranya
kurikulum 1947, 1964, 1968, 1973, 1975, 1984, 1994, 1997, 2004, 2006, dan
terakhir 2013. Perubahan kurikulum sering dipengaruhi oleh faktor politik.
Contohnya kurikulum 1964 disusun untuk meniadakan MANIPOL-USDEK,
kurikulum 1975 digunakan untuk memasukkan Pendidikan Moral Pancasila,
dan kurikulum 1984 digunakan untuk memasukkan mata pelajaran Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Kurikulum 1994, di samping meniadakan
mata pelajaran PSPB juga untuk mengenalkan kurikulum SMU yang
menjadikan pendidikan umum sebagai pendidikan persiapan ke perguruan
tinggi. (Soedijarto, 2011: 25).
Kurikulum merupakan inti dari proses pendidikan. Kurikulum merupakan
bidang yang paling langsung berpengaruh terhadap hasil pendidikan.
(Sukmadinata, 2012: 158). Kurikulum sangat menentukan proses dan hasil
suatu sistem pendidikan. Kurikulum juga bisa berfungsi sebagai media untuk
mencapai tujuan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran
pada semua jenis dan semua tingkat pendidikan (Arifin, 2011: 25).
Pendidikan masa depan perlu dirancang guna menjawab harapan dan
tantangan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Sistem pendidikan
yang dibangun tersebut perlu berkesinambungan dari pendidikan prasekolah,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Badan
Penelitian Diknas, 2014: 12), untuk mengetahuinya kita perlu juga untuk
mengetahui sejarah pendidikan Indonesia dari masa ke masa. Maka Makalah
kali ini akan membahas mengenai “Pendidikan Indonesia dari masa ke masa”

4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dapat diperoleh rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa tujuan pendidikan pada masa colonial?
2. Deskripsikan perubahan pendidikan dari masa ke masa?
3. Apa perbandingan kualitas pendidikan terkait perubahan kurikulum dari
masa ke masa?

1.3 Tujuan Makalah


Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas
mata kuliah, disamping itu juga dengan adanya makalah ini diharapkan bisa
dijadikan sebagai bahan reverensi untuk menambah pengetahuan khususnya
tentang: pendidikan Indonesia dari masa ke masa.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tujuan Pendidikan Pada Masa Kolonial


Sistem pendidikan masa kolonial dulu, sebenarnya tidak menguntungkan
penduduk Indonesia, bahkan setelah penerapan kebijakan politik etis awal
tahun 1900. Pihak pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah bagi
penduduk pribumi hanya bertujuan untuk memperoleh tenaga atau buruh
yang murah. Bisa menulis dan membaca saja sudah bisa menjadi juru tulis
di perusahaan koloni.
Sejarah pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda yang
menggantikan Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan
ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia
(Nasution, 1997:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk
semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih
diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak
Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi
pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat
dibutuhkan oleh penguasa. Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang
rendah dengan pertimbangan kas yang terus habis karena berbagai masalah
peperangan.
Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun
1825 sampai 1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1997:26) serta
perang Belanda dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan biaya yang mahal
dan menelan banyak korban. Belanda membuat siasat agar pengeluaran
untuk peperangan dapat ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa dianggap
cara yang paling ampuh untuk memperoleh keuntungan yang maksimal
yang dikenal dengan cultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1997:11).
Kerja paksa dapat dijalankan sebagai cara yang praktis untuk meraup
keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi bagian yang
dirugikan karena digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat miskin
yang sebagian bekerja sebagai petani juga dimanfaatkan untuk menambah
kas negara penguasa.
Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah,
pemerintah mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh
masyarakat untuk mempermudah komunikasi antara pribumi dan Belanda.
Lalu, bahasa Belanda menjadi syarat Klein Ambtenaarsexamen atau ujian
pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1997:7). Syarat
tersebut harus dipenuhi para calon pegawai yang akan digaji murah.
Pegawai sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah
mempunyai kekuasaan tradisional dan berpendidikan untuk menjamin

6
keberhasilan perusahaan (Nasution, 1997:12). Jadi, anak dari kaum ningrat
dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih efektif,
karena masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu keadaan
yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari lapisan-lapisan sosial yaitu
golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi sendiri
terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan.
Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas
pendidikan anak Indonesia melalui politik etis. Politik etis dijalankan
berdasarkan faktor ekonomi di dalam maupun di luar Indonesia, seperti
kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara modern yang mampu
menaklukkan Rusia, dan perang dunia pertama (Nasution, 1997:17).
Politik etis terutama sebagai alat perusahaan raksasa yang bermotif
ekonomis agar upah kerja serendah mungkin untuk mencapai keuntungan
yang maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan pendidikan yang dicanangkan
sebagai kedok untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi dibuat agar panen
padi tidak terancam gagal dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan.
Transmigrasi berfungsi untuk penyebaran tenaga kerja, salah satunya
untuk pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan
rakyat.
Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena
krisis dunia, tidak terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut
mangalami malaise (Mestoko dkk, 1985 :123). Masa krisis ekonomi
merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu, lembaga pendidikan
dibuat dengan biaya yang lebih murah. Kebijakan yang dibuat termasuk
penyediaan tenaga pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk sekolah
dasar yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan guru (Mestoko,
1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dianggap layak menjadi
guru. Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit
mendapatkan uang sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu
merupakan beban yang berat. Jadi, pendidikan semakin sulit dijangkau
oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang
kebanyakan menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk
dijadikan tenaga kerja yang murah.
Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama,
gradualisme yang luar biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak
Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia dalam keadaan yang
hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu
diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan,
pengadilan dari hukum tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan
dibuat terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada tingkat bawah.
Ketiga, kontrol yang sangat kuat.
Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang
menjalankan pemerintahan atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol

7
secara sentral, guru dan orang tua tidak mempunyai pengeruh langsung
politik pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna untuk merekrut pegawai.
Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai
perkebunan sebagai tenaga kerja yang murah. Kelima, prinsip konkordasi
yang menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan
standar yang sama dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia tidak
berhak sekolah di pendidikan Belanda. Keenam, tidak adanya organisasi
yang sistematis. Pendidikan dengan ciri-cri tersebut diatas hanya
merugikan anak-anak kurang mampu. Pemerintah Belanda lebih
mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan pengetahuan
anak-anak Indonesia.
Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai
siasat untuk mengeluarkan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan
pada tahun 1907. Tipe sekolah desa yang dianggap paling cocok oleh
Gubernur Jendral Van Heutz sebagai sekolah murah dan tidak
mengasingkan dari kehidupan agraris (Nasution, 1997:78). Kalau lembaga
pendidikan disamakan dengan sekolah kelas dua, pemerintah takut
penduduk tidak bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan tetap menjadi
tenaga kerja demi pengamankan hasil panen.
Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah
menjadi madrasah yang memiliki kurikulum bersifat umum. Pesatren
dibumbui dengan pengetahuan umum. Cara tersebut dianggap efektif,
sehingga pemerintah tidak usah membangun sekolah dan mengeluarkan
biaya (Nasution, 1997:80). Guru sekolah diambil dari lulusan sekolah
kelas dua, dianggap sanggup menjadi guru sekolah desa. Guru yang lebih
baik akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia untuk mengajar di
lingkungan desa.
Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan
sejarah yang kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk
meraup keuntungan melalui tenaga kerja murah. Sekolah juga dibuat
dengan biaya yang murah, agar tidak membebani kas pemerintah. Politik
etis menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya, kepentingan biaya perang
yang sangat mendesak dan berbagai masalah lain menjadi kenyataan yang
tercatat dalam sejarah pendidikan masa Belanda.
Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide
kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan
semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma
(romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang
(Mestoko, 1985 dkk:138). Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang.
Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan perang.
Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idiil hakko
Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk mencapai

8
kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik,
latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.
Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau
pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan
dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang
murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan
sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung
biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah.
Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara
Indonesia setelah merdeka.

Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu


menyangkut penyesuaian bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP
mengusulkan kepada kementrian pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan
supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan pembaharuan
pendidikan dan pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan
(Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah mengadakan program
pemberantasan buta huruf.
Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan dengan berbagai
keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian
PP dan K juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama
dua tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu
pasti(Mestoko dkk, 1985:161). Program tersebut menunjukkan jumlah
orang yang buta huruf seluruh Indonesia sekitar 32,21 juta (kurang lebih
40%), buta huruf pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud adalah buta
huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan buta
huruf di pedesaan yang diprogramkan oleh pemerintah untuk
menanggulangi angka buta aksara di Indonesia dan buta pengetahuan
dasar, tetapi pendidikan kurang lebih tidak berdampak pada rumah tangga
kurang mampu.
Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama
dari sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus
gampang muncul kembali, contoh yang paling terkenal dengan akibat yang
hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas
gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong
royong karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan
swasta (asing dan nasional) untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian
dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto,
1997:37). Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras
dalam waktu sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul
baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda
juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan penanaman
bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak

9
penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen yang lebih
maksimal. Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih
hidup dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan
hidup yang paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif
sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.
Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit
dicapai oleh orang-orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka
diajarkan dan diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa.
Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai
keuntungan yang maksimal. Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari
rumah tangga kurang mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara
halus untuk pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat
penguasa untuk mengembangkan program yang dianggap dapat
mendukung peningkatan pemasukan pemerintah.

2.2 Perubahan Pendidikan Dari Masa Ke Masa


 Pra Kemerdekaan
Jika diihat dari perjalanan sejarah, sejarah pendidikan di Indonesia
tidaklah pendek.(leo, 2012 : 35) menyatakan dari masa penjajajah Belanda
dan Jepang sudah dapat terlihat bagaimana sistem pendidikan di Indonesia.
Pada masa penjajahan Belanda, sistem pendidikan yang dijalankan ada
garis pemisah antara sekolah Eropa dan sekolah Bumiputera. Sekolah
Eropa diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan anak-anak orang Eropa
di Indonesia sedangkan sekolah Bumiputera (yang tingkatan dan
prestisenya lebih rendah) diperuntukkan bagi anak-anak bumiputera yang
terpilih.
Di samping itu, ada pula sekolah Cina bagi anak-anak Cina. Jelas sekali
pada masa itu sistem pendidikan sangat bersifat membedakan-bedakan
kelas atau bersifat diskriminatif. Adapun tujuan pendidikan pada masa itu
lebih kepada untuk menciptakan tenaga kerja yang terampil yang dapat
mengabdi untuk kepentingan kaum penjajah (Belanda). Nasution, 2001:10
mengungkapkan“Pada masa pendudukan Jepang, meskipun singkat
(berlangsung pada tahun 1942-1945), masa pendudukan Jepang
memberikan corak yang berarti pada pendidikan di Indonesia”.
Tidak lama setelah berkuasa, Jepang segera menghapus sistem pendidikan
warisan Belanda yang didasarkan atas penggolongan menurut bangsa dan
status sosial. Tingkat sekolah terendah adalah Sekolah Rakyat (SR)—
yang disebut dalam bahasa Jepang Kokumin Gakko— yang terbuka untuk
semua golongan masyarakat tanpa membedakan status sosial dan asal-
usulnya. Kelanjutannya adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) selama

10
tiga tahun, kemudian Sekolah Menengah Tinggi (SMT) selama tiga tahun.
Sekolah kejuruan juga dikembangkan. Sekolah Hukum dan MOSVIA
yang didirikan oleh Belanda dihapuskan.
Di tingkat pendidikan tinggi, pemerintah pendudukan Jepang mendirikan
Sekolah Tinggi kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta dan Sekolah Tinggi
Teknik di Bandung.Perubahan lain yang sangat berarti di kemudian hari
yakni bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar pertama di sekolah-
sekolah dan kantor-kantor pemerintahan, dan bahasa pengantar kedua
adalah bahasa Jepang. Sementara itu, bahasa Belanda dilarang sama sekali
untuk digunakan baik di sekolah-sekolah maupun di kantor-kantor.
Sejak saat itu, bahasa Indonesia berkembang pesat sebagai bahasa
pengantar dan bahasa komunikasi ilmiah.Tujuan utama pendidikan pada
masa pendudukan Jepang diarahkan untuk mendukung pendudukan
Jepang dengan menyediakan tenaga kerja kasar secara cuma-cuma yang
dikenal dengan romusha. Di sekolah, para siswa mengikuti latihan fisik,
baris berbaris meniru tentara Dai Nippon, latihan kemiliteran disertai
indoktrinasi yang intinya kesetiaan penuh pada kaisar Jepang.
 Masa Kemerdekaan
Berakhirnya masa penjajahan dan masuknya bangsa Indonesia ke gerbang
pintu kemerdekaan, bangsa Indonesia dapat menentukan sistem dan tujuan
pendidikan nasionalnya sendiri. Dalam perjalanannya, ada perubahan
mulai dari kurikulum hingga tujuan pendidikan.
Pada masa awal-awal kemerdekaan, khususnya pada kurun waktu 1945-
1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia telah mengalami lima kali
perubahan. Sebagaimana tertuang dalam surat keputusan Menteri
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP & K), Mr. Suwandi, tanggal
1 Maret 1946, tujuan pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan
amat menekankan penanaman jiwa patriotisme. Ini tentu dapat dipahami
lantaran pada saat itu bangsa Indonesia baru saja lepas dari penjajah yang
berlangsung ratusan tahun dan masih menghadapi gelagat Belanda yang
ingin kembali menguasai Indonesia.
Oleh sebab itu, penanaman jiwa patriotisme lewat pendidikan dianggap
amat penting dan merupakan jawaban guna mempertahankan negara yang
baru diproklamirkan.Sejalan dengan perubahan suasana kehidupan
kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia pun mengalami
perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa patriotisme, melainkan juga
membentuk kualitas manusia yang handal dan warga negara yang
demokaratis dan bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan
tanah airsebagaimana yang terdapat dalam UndangUndang No. 4/1950
tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Adapun kurikulum sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan pada
tahun 1950-an ditujukan untuk meningkatkan kesadaran bernegara dan

11
bermasyarakat, meningkatkan pendidikan jasmani, meningkatkan
pendidikan watak, menberikan perhatian terhadap kesenian, dan lain
sebagainya. Menyusul meletusnya peristiwa Gestapu yang gagal, maka
melalui TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan,
dan Kebudayaan diadakan perubahan dalam rumusan tujuan pendidikan
nasional yaitu “membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan
ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pembukaan UUD
1945”.
Dalam rangka menciptakan sistem pendidikan nasional yang mantap,
pendidikan nasional pun terus dikembangkan. Salah satunya dengan
memberikan prioritas pada aspek-aspek yang dipandang strategis bagi
masa depan bangsa. Prioritas tersebut salah satunya adalah wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun bersamaan dengan peningkatan mutu
yang ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1994.
Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun ini mempunyai dua tujuan
utama. Pertama, meningkatkan pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan bagi semua kelompok umur 7-15 tahun. Kedua, untuk
meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia hingga mencapai
SLTP. Di samping itu, juga disusun kurikulum 1994 yang diberlakukan
secara bertahap mulai tahun ajaran 1994/1995. Kurikulum 1994 ini
disusun dengan maksud agar proses pendidikan dapat selalu menyesuaikan
diri dengan tantangan yang terus berkembang sehingga mutu pendidikan
akan semakin meningkat (Rifai, 2011).
 Pendidikan pada Era Reformasi
Menyusul terjadinya reformasi, maka dilakukan pula revisi atas
Kurikulum 1994 dengan menata kembali struktur program pendidikan.
Dari sini lahir pulalah sejumlah kurikulum mulai dari kurikulum 2004
hingga kurikulum 2013— kurikulum 2013 ini pun kini mulai dievaluasi
dan direvisi. Dalam dunia pendidikan nasional dewasa ini, terutama
dalam sepuluh tahun terakhir, ada satu istilah yang mencuat dalam
pendidikan nasional. Istilah itu yakni pendidikan karakter.
Istilah ini mencuat ketika mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
RI, Muhammad Nuh, dalam pidatonya pada Hari Pendidikan Nasional
2011, menekankan pentingnya pendidikan karakter sebagai upaya
pembangunan bangsa8 . Bahkan, di tahun yang sama, Kementerian
Pendidikan menerbitkan buku pelatihan dan pengembangan pendidikan
budaya karakter bangsa yang disusun oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum Kemendiknas RI.
Dalam buku tersebut disusun delapan belas karakter pendidikan budaya
karakter bangsa. Delapan belas karakter pendidikan budaya karakter
bangsa tersebut di antaranya adalah religius, jujur, toleransi, disipilin,
kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, semangat kebangsaan, cinta

12
tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai,
gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.
Jika kita bandingkan delapan belas karakter tersebut, ini sejalan dengan
nilainilai yang terdapat di Pancasila yang merupakan falsafah dan dasar
budaya (Jalaludin dan Abdulah, 2013:177) Indonesia. Dengan semangat
sila pertama Pancasila - ketuhanan Yang Maha Esa - ini berarti bahwa
pendidikan nasional diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran tentang
ketuhanan dan keagamaan dalam diri peserta didik.
Lebih jelasnya lagi, pendidikan nasional bertujuan untuk menjadikan
manusia Indonesia menjadi manusia yang beriman, religus, dan bertakwa
kepada Tuhan yang maha esa11. Oleh karena itu, dalam kurikulum
pendidikan nasional pendidikan agama menjadi pendidikan yang wajib
diselenggarakan. Sementara itu, dengan sila kedua Pancasila -
kemanusiaan yang adil dan beradab - ini berarti bahwa pendidikan
nasional diselenggarakan guna membangun peradaban yang berkeadilan
serta mencetak warga negara yang humanis, toleran dan cinta damai.
Dengan kata lain, pendidikan nasional ditujukan guna menumbuhkan
kecintaan kepada kemanusiaan dalam diri peserta didik sehingga peserta
didik tumbuh dengan kepribadian yang baik, mencintai keadilan dan
berkeinginan untuk mengabdikan diri guna membangun peradaban yang
lebih baik. Adapun dengan sila ketiga Pancasila - persatuan Indonesia -
ini berarti bahwa pendidikan nasional didorong utnuk menumbuhkan
sikap kecintaan terhadap bangsa dan tanah air (nasionalisme), tidak
tersekat-sekat berdasarkan agama atau ras, tidak terjebak ke dalam
rasialisme ataupun chauvinisme dan lain sebagainya.
Dalam bahasa yang lain, dengan semangat sila ketiga ini, pendidikan
nasional berusaha mencetak manusia Indonesia menjadi warga negara
yang peduli akan persatuan dan kesatuan bangsa. Selanjutnya, sila
keempat Pancasila - kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan - ini berarti bahwa
pendidikan nasional juga bertujuan bagaimana menumbuhkan sikap
bermusyawarah kepada peserta didik. Lebih lanjutnya bahwa pendidikan
nasional bertugas untuk mencetak warga negara yang memiliki
“kesadaran dialogis” ketimbang “kesadaran koersif” serta membangun
warga negara yang memiliki pengetahuan. Terakhir, sila kelima Pancasila
- keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia - ini berarti bahwa
pendidikan nasional diselenggarakan tanpa membeda-bedakan suku,
agama, tingkat sosial dan sebagainya.
Pendidikan nasional diselenggarakan dengan prinsip keadilan sehingga
seluruh warga negara mendapatkan kesempatan yang sama untuk
memperoleh pendidikan. Di sisi lain, ini juga berarti bahwa pendidikan
nasional memiliki tujuan tak sekadar untuk membuat peserta didik
memiliki keterampilan dan pengetahuan melainkan juga kepekaan dan

13
kepedulian sosial. Jikia melihat semangat-semangat yang diambil dari
masing-masing sila pada Pancasila tersebut, ini juga sesuai dengan tujuan
pendidikan dalam Undang Undang 1945 (Versi Amandemen) pasal 31
ayat 3 dan 5 yang menyebutkan: “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” “Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia” (UUD 1942 no 2020 tahun 2003).
Ringkasnya, kita dapat mengatakan bahwa pendidikan nasional adalah
pendidikan berlandaskan Pancasila dan UUD 45 yang bertujuan untuk
menciptakan anak-anak bangsa yang bertakwa atau berketuhanan,
memiliki kepribadian, mempunyai semangat nasionalisme atau kecintaan
terhadap tanah air, mempunyai pengetahuan serta memiliki tanggung
jawab, mandiri, punya kepekaan sosial dan berbudi pekerti luhur.
 Saat ini
Kebijakan pengembangan pendidikan di Indonesia telah berlangsung
sejak lama. Peranan pemerintah dalam mengatur pelaksanaan pendidikan
melalui draf undang-undang wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
Prioritas dalam pendidikan semakin ditekankan pada era kemerdekaan
sehingga memungkinkan tercapainya target wajib belajar 9 tahun.
Upaya meningkatkan mutu dan partisipasi pendidikan terus berlanjut
hingga kini. Memasuki era demokrasi, pendidikan dan pengajaran
bertujuan membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat
dan tanah air. Pada periode ini, pendidikan di Indonesia telah tersusun
atas beberapa jenjang yang merupakan pengembangan dari jenjang yang
terdapat pada jaman pendudukan Belanda.
Jenjang pendidikan di Indonesia di zaman tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut. pendidikan di Indonesia memiliki misi untuk
mengajarkan dan menerapkan nilai-nilai Pancasila. Untuk melaksanakan
misi tersebut, departemen pendidikan dan kebudayaan menyusun
kurikulum yang mencakup prinsip dasar Pancasila. Implementasi dari
misi tersebut diawali dengan perubahan kurikulum di setiap jenjang
pendidikan. Melalui kurikulum SD, pendidikan dasar diharapkan dapat
menyampaikan materi untuk mempertinggi mental budi pekerti,
memperkuat keyakinan agama, serta mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan.
Sementara itu, kurikulum SMP ditambah dengan pembentukan kelompok
pembinaan jiwa pancasila, kelompok pembinaan pengetahuan dasar, dan
kelompok pembinaan kecakapan khusus. Kurikulum SMA juga

14
disempurnakan dengan tujuan membentuk manusia pancasila sejati,
mempersiapkan untuk masuk ke perguruan tinggi, serta mengajarkan
keahlian sesuai minat dan bakat. Peningkatan pendapatan negara dari
penjualan minyak membuat pemerintah mampu mengalokasikan
anggaran yang lebih besar untuk kebutuhan pendidikan.
Pemerintah kemudian mendirikan SD Inpres (Instruksi Presiden),
merekrut lebih banyak guru, mencetak buku pelajaran, dan mendirikan
pusat pelatihan keterampilan.Pendidikan Indonesia berkembang pesat,
jumlah angka buta huruf di golongan usia muda Indonesia. Pendirian SD
Inpres, bersama dengan sekolah lainnya, membuat tingkat buta huruf di
Indonesia menurun signifikan. Pemerintah 1Arman,Yanto,
“PerkembanganPendidikan di Indonesia” (JurnalPendidikan.acses 27
April 2017).
Pendidikan Indonesia menekankan pada pengembangan SDM yang
mampu menjawab tantangan masa depan. Terdapat empat prioritas utama
pelaksanaan pendidikan yaitu: Penuntasan pelaksanaan wajib belajar 9
tahun. Peningkatan mutu semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.
Menghubungkan kebutuhan antara pendidikan dan industri. Peningkatan
kemampuan penguasaan iptek. Pemerintah juga berusaha meningkatkan
mutu pendidikan melalui peningkatan jumlah dan mutu pengajar,
peningkatan mutu proses belajar mengajar, dan peningkatan kualitas
lulusan.
Pemerintah juga berusaha menciptakan sekolah unggul dan
mengembangkan kurikulum yang menekankan perbaikan metode
mengajar dan perbaikan guru. Seiring dengan meningkatnya mutu dan
partisipasi pendidikan dasar di Indonesia, dan berkembangnya minat
terhadap pendidikan menengah, isu pendidikan di Indonesia kini beralih
pada jenjang pendidikan tinggi. Meskipun demikian, pendidikan tinggi
juga mesti berbenah untuk melahirkan lulusan yang berkualitas dan
tenaga pemikir yang handal sehingga dapat meningkatkan strata sosial
masyarakat Indonesia yang lebih baik
2.3 Perbandingan Kualitas Pendidikan Terkait Perubahan Kurikulum Dari
Masa Ke Masa
1. Kurikulum 1947, “Rentjana Pelajaran 1947” Kurikulum pertama yang
lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer
plan” artinya rencana pelajaran, istilah ini lebih popular dibanding istilah
“curriculum” 3 (bahasa Inggris). Perubahan arah pendidikan lebih bersifat
politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional.
Sedangkan asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan
saat itu dikenal dengan sebutan “Rentjana Pelajaran 1947”, yang baru
dilaksanakan pada tahun 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah
perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya

15
memuat dua hal pokok: (1) daftar mata pelajaran dan jam pengajaranya;
(2) garis-garis besar pengajaran .
Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem
pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan
yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh
dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena
suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang
merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism
lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang
merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan
pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara
dan bermasyarakat. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-
hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
2. Kurikulum 1952, “Rentjana Pelajaran Terurai 1952” Setelah “Rentjana
Pelajaran 1947”, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami
penyempurnaan. Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang
kemudian diberi nama “Rentjana Pelajaran Terurai 1952”. Kurikulum ini
sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling
menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana
pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan
kehidupan sehari-hari. Silabus mata pelajarannya menunjukkan secara
jelas bahwa seorang guru mengajar satu mata pelajaran, (Djauzak Ahmad,
Dirpendas periode1991-1995).
3. Kurikulum 1964, “Rentjana Pendidikan 1964” Usai tahun 1952, menjelang
tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di
Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok
pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa
pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan
akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran
dipusatkan pada program Pancawardhana4 , yaitu pengembangan moral,
kecerdasan, emosional/ artistik, keprigelan, dan jasmani. Ada yang
menyebut Panca wardhana berfokus pada pengembangan daya cipta, rasa,
karsa, karya, dan moral. Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima
kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan
(keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada
pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
4. Kurikulum 1968 Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti
Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama.
Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan
ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat,

16
dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani,
moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Dalam kurikulum ini
tampak dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari
Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar,
dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari
perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi
pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan
kecakapan khusus. Mata pelajaran dikelompokkan menjadi 9 pokok.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. "Hanya
memuat mata pelajaran pokok saja," . Muatan materi pelajaran bersifat
teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik
beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap
jenjang pendidikan. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi
kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan
kuat.
5. Kurikulum 1975 Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar
pendidikan lebih efektif dan efisien. latar belakangi lahirnya kurikulum ini
adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management
by objective) yang terkenal saat itu," Metode, materi, dan tujuan
pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional
(PPSI), yang dikenal dengan istilah "satuan pelajaran", yaitu rencana
pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi :
tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK),
materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibuat sibuk menulis rincian apa
yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
6. Kurikulum 1984, “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Kurikulum
1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan
pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga
sering disebut "Kurikulum 1975 yang disempurnakan". Posisi siswa
ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di
sekolahsekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi
saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang
mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang
kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan
yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Akhiran
penolakan CBSA bermunculan.

17
7. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999 Kurikulum 1994
merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum
sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Sayang, perpaduan
antara tujuan dan proses belum berhasil. Sehingga banyak kritik
berdatangan, disebabkan oleh beban belajar siswa dinilai terlalu berat, dari
muatan nasional sampai muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan
dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah
kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan
kelompokkelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu
masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi
kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti
kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada
menambal sejumlah materi pelajaran saja.
8. Kurikulum 2004, “KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)” Sebagai
pengganti kurikulum 1994 adalah kurikulum 2004, yang disebut dengan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)6. Suatu program pendidikan
berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu: pemilihan
kompetensi yang sesuai; spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk
menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi; dan pengembangan
pembelajaran. KBK memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Menekankan pada
ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal,
berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang
bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar
lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Penilaian menekankan pada
proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu
kompetensi. Struktur kompetensi dasar KBK ini dirinci dalam komponen
aspek, kelas dan semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap
mata pelajaran, disusun dan dibagi menurut aspek dari mata pelajaran
tersebut. Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun
pelajaran pada setiap level. Perumusan hasil belajar adalah untuk
menjawab pertanyaan, “Apa yang harus siswa ketahui dan mampu lakukan
sebagai hasil belajar mereka pada level ini?”. Hasil belajar mencerminkan
keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan kata
kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian. Setiap hasil
belajar memiliki seperangkat indikator. Perumusan indikator adalah untuk
menjawab pertanyaan, “Bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah
mencapai hasil belajar yang diharapkan?”
9. Kurikulum 2006, “KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)”
Pelaksanaan KBK masih dalam uji terbatas, namun pada awal tahun 2006,
uji terbatas tersebut dihentikan. Dan selanjutnya dengan terbitnya permen

18
nomor 24 tahun 2006 yang mengatur pelaksanaan permen nomor 22 tahun
2006 tentang standar isi kurikulum dan permen nomor 23 tahun 2006
tentang standar kelulusan, lahirlah kurikulum 2006 yang pada dasarnya
sama dengan kurikulum 2004. Perbedaan yang menonjol terletak pada
kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada jiwa dari
desentralisasi sistem pendidikan. Pada kurikulum 2006, pemerintah pusat
menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah
dalam hal ini guru dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk
silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya.
Hasil pengembangan dari semua mata pelajaran, dihimpun menjadi sebuah
perangkat yang dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Penyusunan KTSP menjadi tanggung jawab sekolah di bawah
binaan dan pemantauan dinas pendidikan daerah dan wilayah setempat.
10. Kurikulum 2013 Pemerintah melakukan pemetaan kurikulum berbasis
kompetensi yang pernah diujicobakan pada tahun 2004 (curriculum based
competency). Kompetensi dijadikan acuan dan pedoman bagi pelaksanaan
pendidikan untuk mengembangkan berbagai ranah pendidikan;
pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam seluruh jenjang dan jalur
pendidikan, khususnya pada jalur pendidikan sekolah. Kurikulum 2013
berbasis kompetensi memfokuskan pada pemerolehan kompetensi-
kompetensi tertentu oleh peserta didik.
Oleh karena itu, kurikulum ini mencakup sejumlah kompetensi dan
seperangkat tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian rupa,
sehingga pencapaianya dapat diamati dalam bentuk perilaku atau
keterampilan peserta didik sebagai suatu kriteria keberhasilan. Kegiatan
pembelajaran perlu diarahkan untuk membantu peserta didik menguasai
sekurang-kurangnya tingkkat kompetensi minimal, agar mereka dapat
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Sesuai dengan konsep
belajar tuntas dan pengembangan bakat. Setiap peserta didik harus diberi
kesempatan untuk mencapai tujuan sesuai dengan kemamapuan dan
kecepatan belajar masing-masing.
(Mulyasa, 2013) Tema utama kurikulum 2013 adalah menghasilkan insan
Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, afektif, melalui pengamatan
sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Untuk
mewujudkan hal tersebut, dalam implementasi kurikulum, guru dituntut
secara profesional merancang pembelajaran secara efektif dan bermakna,
mengorganisir pembelajaran, memilih pendekatan pembelajaran yang
tepat, menentukan prosedur pembelajaran dan pembentukan kompetensi
secara efektif, serta menetapkan kriteria keberhasilan.
Pembahasan dan Interpretasi

19
Pengembangan kurikulum merupakan dinamika yang dapat memberi respon
terhadap tuntutan perubahan struktural pemerintahan, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maupun globalisasi. Pengembangan kurikulum
sangat dipengaruhi oleh sumber daya pendukung, yaitu SDM memiliki peran
yang sangat dominan terhadap keberhasilan pengembangan kurikulum, untuk
itu pengembangan dan pembinaan SDM harus dilakukan secara
berkesinambungan, baik melalui jalur formal maupun nonformal.
Manajemen perguruan tinggi atau sekolah, pemanfaatan sumber belajar,
penggunaan media pembelajaran yang tersedia, penggunaan strategi dan
model-model pembelajaran, kinerja guru dan dosen, monitoring pelaksanaan
pembelajaran di kelas, serta manajemen peningkatan mutu pendidikan itu
sendiri. Beey (1966) dalam Hamalik, 2006 : 108, menyebutkan tiga hal yang
mempengaruhi pengembangan kurikulum: (1) the essential curriculum,
meliputi keterampilan dan pengetahuan yang minimum, yang pencapaianya
harus diukur dengan teknik “quality control”, (2) the potential curriculum,
meliputi pengetahuan dan keterampilan yang dituntut untuk meliputi setiap
anak, selaras dengan perkembangan anak, jenjang sekolah, serta kebutuhan
masyarakat yang bersangkutan, dan untuk ini diperlukan evaluasi yang
kontiyu, (3) the vocational curriculum, meliputi keterampilan dan pengetahuan
yang khas yang harus dimiliki sejumlah anak sehubungan dengan kebutuhan
tenaga kerja pada masyarakat tertentu.
Kualitasnya diukur atas dasar dua aspek, yaitu prediksi dan tingkat
pencapainya. Sedang dalam pelaksanaanya perlu diperhitungkan, (a) apa yang
diajarkan, (b) bagaimana mengajarkanya, (c) siapa pelajarnya dan bagaimana
mereka belajar, (d) keserasian bahan dengan kebutuhan ril dari siswa dan
masyarakat, (e) efisiensi, efektivitas dan produktivitas proses pendidikan
termasuk perencanaan, organisasi serta pengelolaanya, dan (f) perubahan-
perubahan melalui berbagai inovasi untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan yang berlangsung terus. Selanjutnya, tidak dapat dipungkiri bahwa
dalam pengembanganya perguruan tinggi atau sekolah akan menghadapi
beberapa faktor penghambat.
Faktor-faktor penghambat yang kemungkinan muncul dalam pengembangan
kurikulum diantaranya: 1. Pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang
terus-menerus meningkat, yang pada giliranya akan menimbulkan kelangkaan
fasilitas belajar dan personel pembimbing. Sehingga membutuhkan kurikulum
yang lebih sesuai. 2. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut
penyesuaian kurikulum agar masyarakat kita tidak ketinggalan dengan bangsa
lain terutama dalam hubungan pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
3. Aspirasi manusia semakin berkembang luas, berkat kebebasan berpikir dan
mengeluarkan gagasan dan konsep perlu mendapat penyaluran yang wajar,
agar sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai agama dan kebangsaan. Hal

20
ini mendorong perbaikan dan pengembangan kurikulum. 4. Dinamika
masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor, menyebabkan gerakan
masyarakat, baik vertikal maupun horizontal membawa pengaruh besar artinya
bagi pengembangan pendidikan.
Maka, untuk mengurangi masalah-masalah yang sering muncul dalam
pengembangan kurikulum, Othanel Smith dalam Hamalik, 2006 :109 ,
menyatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, beliau
menitikberatkan pada, (1) pemilihan titik tolak pengembangan, (2) analisi
kekuatan-kekuatan yang ada secara selektif, (3) teknik pelaksanaanya, (4) cara
yang konvensional dalam mengusahakan perubahan dan (5) kontrol atau
pengawasan kurikulum.
Nurgiyantoro :149, dalam pengembangan kurikulum terdapat sejumlah prinsip
dasar yang dipakai sebagai landasan agar kurikulum yang dikembangkan
sesuai dengan keinginan yang diharapkan, baik oleh pihak lembaga, siswa,
orang tua, dan masyarakat pengguna lulusan. Untuk itu, perlu menentukan
prinsip-prinsip dasar yang menunjang dan menjadi landasan dasar dalam
pengembangan kurikulum yang dilakukan. Prinsip-prinsip tersebut
diantaranya: relevansi, efektivitas, efisiensi, kesinambungan, fleksibilitas,
berorientasi pada tujuan, prinsip sinkronisasi.
Prinsip-prinsip tersebut perlu diketahui oleh semua pihak, terutama guru
sebagai pelaksana di lapangan, dan dapat menerapkanya dalam proses
pembelajaran dengan baik. Dan pengembang kurikulum memahami dan
menghayati secara seksama dan baik. Beberapa pendapat di atas, merupakan
faktor-faktor yang perlu diperhatikan secara cermat oleh pihak-pihak yang
terkait dalam pengembangan kurikulum, agar pengembangan kurikulum yang
dilakukan sejalan dengan maksud dan tujuan yang diharapkan, sehingga pada
akhirnya mampu melahirkan lulusan yang memiliki kompetensi unggul dan
mempunyai daya saing baik lokal, nasional, dan global.
Secara konseptual bahwa kurikulum yang kita miliki sudah sangat baik.
Namun, kelemahan dari kurikulum kita saat ini ialah pada aspek implementasi
dan mengeyampingkan peran guru dalam perubahan kurikulum, kita lebih
konsen pada aspek isi kurikulum itu sendiri. Perlu disadari bahwa
implementasi kurikulum merupakan bagian integral dalam pengembangan
kurikulum karena ia merupakan bentuk aktualisasi dari kurikulum yang
direncanakan. Untuk itu dalam pelaksanaan kurikulum dibutuhkan konsep-
konsep, prinsip-prinsip, prosedur dan pendekatan strategis.
Keberhasilan pelaksanaan kurikulum terutama sangat ditentukan oleh strategi
yang digunakan, yang meliputi; penangan terhadap faktor-faktor tertentu,
misalnya kesiapan sumber daya, sarana prasarana, strategi belajar mengajar,
faktor masyarakat dan lain sebagainya. Dalam hal ini, satuan pendidikan harus

21
mampu dan berusaha mencermati berbagai dimensi tersebut. Pada beberapa
kasus, perubahan kurikulum hanya terbatas pada perubahan materi atau bahan.
Namun, pada hakekatnya perubahan juga harus melibatkan perubahan pada
tingkah laku dan pola berpikir guru.
Disamping itu, Fulan dan Park (1982; 24- 26) dalam Seller dan Miller11,
merumuskan makna dari suatu perubahan yang harus dipahami oleh seluruh
komponen yang terlibat dalam pendidikan, agar perubahan yang dilakukan
dapat diimplementasikan dengan baik. Implementasi kurikulum di Indonesia,
berdasarkan hasil pengamatan sejak zaman kemerdekaan sampai sekarang,
memberi kesan implementasi kurikulum di lapangan gagal. Sedikitnya ada
empat factor peyebab utama (Surakhmad), mengapa demikian. (1) Faktor
yang bersumber dari birokrasi, terutama ada harapan dan perlakuan yang
berlebihan di kalangan birokrat mengenai peran kurikulum dan unsur guru
dinomor duakan. (2) Faktor yang bersumber dari penyusun kurikulum,
terutama karena lemahnya dasar-dasar filosofis dan psikologis dalam
penjabaran kurikulum, sehingga tidak sesuai dengan realita sosial dan tuntutan
perubahan yang ada di masyarakat. (3) Faktor yang bersumber dari pelaksana
kurikulum, terutama karena tingkat kompetensi dan profesionalisme yang
kurang mendukung di kalangan guru. (4) Faktor yang bersumber dari
ekosistem pendidikan, terutama karena tidak kuatnya dukungan sosial dan
ketersedian insdrastruktur pendidikan pada satuan pendidikan, terutama
sekolahsekolah yang ada di daerah.
Keempat faktor penyebab di atas, merupakan suatu kesatuan yang bersinergi
sebagai gabungan yang memastikan terjadinya kegagalan dalam perubahan
dan implementasi kurikulum di lapangan. Di tangan guru kegagalan tersebut
menjadi nyata. Posisi dan peran yang terbatas sebagai pelaksana serta
pemahaman konseptual mereka yang sederhana. Walaupun demikian, belum
boleh disimpulkan bahwa guru adalah causa prima kegagalan kurikulum
khususnya, rendahnya kualitas pendidikan pada umumnya. Guru hanya satu
unsur terkait dari mata rantai kegagalan Dengan demikian, pemerintah harus
memfasilitasi guru untuk lebih memahami dasar-dasar pertimbangan
penysusunan kurikulum baru, melibatkan guru secara aktif dalam kajian, uji
coba, dan penilaian berbagai aspek kurikuler. Selanjutnya memberdayakan
guru secara berkelanjutan (continuous quality improvement) dalam
peningkatan kemampuan profesional mereka sebagai nara sumber kurikulum.

22
BAB III
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
Tujuan utama pendidikan pada masa kolonial diarahkan untuk mendukung
pendudukan Jepang dengan menyediakan tenaga kerja kasar secara cuma-
cuma yang dikenal dengan romusha. Pihak pemerintah kolonial Belanda
mendirikan sekolah bagi penduduk pribumi hanya bertujuan untuk
memperoleh tenaga atau buruh yang murah. Bisa menulis dan membaca
saja sudah bisa menjadi juru tulis di perusahaan koloni. Sejarah
pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda yang
menggantikan Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan
ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia.
Sejalan dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan
pendidikan nasional Indonesia pun mengalami perluasan; tidak lagi semata
menekan jiwa patriotisme, melainkan juga membentuk kualitas manusia
yang handal dan warga negara yang demokaratis dan bertanggung jawab
tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.Upaya meningkatkan mutu
dan partisipasi pendidikan terus berlanjut hingga kini. Salah satu cara
untuk meningkatkan sumber daya manusia Indonesia adalah dengan cara
meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia sejak sedini
mungkin ,dimulai dari play group/Paud sampai ke Perguruan tinggi .
Namun juga harus meningkatkan kualitas pelatihanpelatihan keterampilan
diluar akademi.
Seperti halnya dalam masalah sistem pendidikan secara makro, politik,
ekonomi, sosial dan dan budaya, serta globalisasi turut mempengaruhi
corak kurikulum pendidikan di Indonesia dari mulai periode awal, yakni
masa kemerdekaan dan pemerintahan orde lama, orde baru, reformasi,
hingga kurikulum 2013 yang baru saja diimplementasikan. Dari sekian
banyak faktor, political will pemerintah dan paradigm politiklah yang
hingga kini dirasakan memberikan pengaruh paling kuat dalam perubahan-
pengembangan, maupun penyempurnaan kurikulum dari masa ke masa.
Tidak ada yang salah apabila terjadi perubahan kurikulum. Jangankan
setiap sepuluh tahun sekali, setiap tahun sepuluh kali pun tidak menjadi
masalah, kalau memang dikehendaki demikian. Yang menjadi soal adalah
dengan tujuan dan alasan apakah perubahan itu terjadi, dan apakah tujuan
serta alasan itu memang dibenarkan dan dibutuhkan sekarang, sebagai
antisipasi masa depan. Harapan kita semua bahwa kurikulum yang baru
tidak akan mengalami nasib yang sama dengan kurikulum-kurikulum
sebelumnya. Akan tetapi mampu memberikan pencerahan terhadap
perubahan paradigma berpikir para pelaksana di lapangan, serta mampu
memfasilitasi dan membantu meningkatkan kompetensi peserta didik

23
sehingga mampu bersaing baik di kancah nasional maupun internasional
dengan bangsa-bangsa yang lain.

24
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas RI. (2006). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta
Hamalik, Oemar. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006).
Hamalik, Oemar. Model-Model Pengembangan Kurikulum. (Bandung: PPs
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), 2004.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Desan Induk Kurikulum 2013.
(Jakarta: Kemendikbud, 2013).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Draft Kurikulum 2013. (Jakarta:
Kemendikbud, 2013).
Mahfud, Chairul. 2005, PendidikanMultikultural.Sidoarjo.PustakaPelajar.
Mestoko, S. (1988) Indonesia dan Hubungan Antar Bangsa, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Miller, J.P & W. Seller. Curriculum; Prespectives and Practices. (New York and
London: Longman, 1985).
Muhaimin, et. Al. (2004) Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Islam di Sekolah. Bandung: PT Remadja Rosdakarya.
Mulyana, D. (2001) Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyana, R. (2004) Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Mulyasa, E. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2013).
Nasution. S (1997) Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Edisi
Pertama, Jakarta: Bina Aksara.
Nurgiyantoro, Burhan. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Sebuah
Pengantar Teoretis dan Pelaksanaannya). (Yogyakarta: BPFE, 1988).
Ornstein, Allan.C. & Hunkins, Francis.P. Curriculum Foundations,Principles and
Issues. (New York: Pearson, 2009).
Sukmadinata, Nana Sy. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. (Bandung:
P.T. Remaja Rosdakarya, 1997).
Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran. Kurikulum dan
Pembelajaran. (Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan UPI, 2002).

25

Anda mungkin juga menyukai