Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH SINGKAT R.

A KARTINI
R.A kartini dialhirkan pada tanggal 21 April 1879 pada saat ayahnya masih
berkedudukan seabgai Wedono Mayong, sedangkan ibunya adalah seorang
wanita berasal dari Teluk Awur yaitu Mas Ajeng Ngasiroh yang sebenarnya istri
pertama dinikahi pada tahun 1872 namun berstatus Garwo Ampi biasa,yaitu putri
dari seorang ulama besar pada zaman itu, bernama kyai haji Modirono dan Hajjah
Siti Aminah. RMAA Sosroningrat ayah R.A Kartini menikah pada tahun 1872 dan
RA kartini lahir pada tahun 1879 sebagai anak kelima dari RMAA Sosroningrat
dan urutan keempat dari ibu kandung Mas Ajeng Ngasirah.
Istri kedua dari ayahnya yang berstatus Garwo Padmi adalah putri bangsawan
yang dikawini pada tahun 1875 keturunan langsung bangsawan tinggi Madura
yaitu Raden Ajeng Moerjan anak dari RAA Tjitrowikromo yang memegang jabatan
bupati Jepara sebelum RMAA Sosroningrat. Perkawinan dari kedua istrinya itu
telah membuahkan putra sebanyak 11 (sebelas) orang.
Kartini lahir di Mayong yang terletak 22 km sebelum masuk jantung kota Jepara.
Anak yang lahir itu adalah seorang bocah kecil dengan mata bulat berbinar-binar
memancarkan cahaya cemerlang seolah menatap masa depan penuh tantangan.
Hari demi hari beliau tumbuh dalam suasana gembira, dia ingin bergerak bebas,
berlari kain kemari, hal yang menarik baginya ia lakukan meskipun dilarang.
Karena kebebasan dan kegesitannya bergerak kian mendapat julukan “TRINIL”
dari ayahnya. Kemudian setelah kelahiran R.A Kartini yaitu tahun 1880 lahirlah
adiknya R.A Roekmini dari garwa padmi. Pada tahun 1881 RMAA Sosroningrat
diangkat sebagai Bupati Jepara dan beliau bersama keluarganya pindah ke
Rumah Dinas Kabupaten di Jepara. Pada tahun yang sama lahir pula adiknya
yang diberi nama R.A Kardinah sehingga si trinil senang dan gembira dengan
kedua adiknya sebagai teman bermain. Lingkungan Pendopo Kabupaten yang
luas lagi megah itu semakin memberikan kesempatan bagi kebebasan dan
kegesitan setiap langkah R.A Kartini.
Sifat serba ingin tahu R.A Kartini inilah yang menjadikan orang tuanya semakin
memperhatikan perkembangan jiwanya. Memang sejak semula R.A kartini paling
cerdas dan penuh inisiatif dibanding dengan saudara perempuan lainnya. Dengan
sifat kepemimpinan R.A Kartini yang mencolok, jarang terjadi perselisihan diantara
mereka bertiga yang dikenal dengan nama “TIGA SERANGKAI” meskipun dia
agak diistimewakan dari yang lain.
Saat muali menginjak bangku sekolah “EUROPESE LAGERE SCHOOL” terasa
bagi R.A kartini sesuatu yang menggembirakkan karena sifat yang ia miliki dan
kepandaiannya yang menonjol R.A Kartini cepat disenangi teman – temanya .
kecerdasan otaknya dengan mudah dapat menyaingi anak-anak belanda baik pria
maupun wanitanya, dalam bahasa belanda pun R.A Kartini dapat diandalkan.
Menjelang kenaikan kelas disaat liburan pertama, NY. OVINK SOER dan
suaminya mengajak R.A Kartini beserta adik-adiknya Roekmini dan Kardinagh
menikmati keindahan pantai Bandengan yang letaknya 7 km ke utara kota Jepara,
yaitu sebuah pantai yang indah dengan hamparan pasir putih yang memukau
sebagaimana yang sering digambarkan lewat surat-suratnya kepada teman-
temanya STELLA di negeri Belanda, Kartini dan kedua adiknya mengikuti Ny.
Ovink Soer mencari karang sambil berkejaran menghindari ombak, kepada R.A
Kartini ditanyakan apa nama pantai tersebut dan dijawab dengan singkat yaitu
pantai Bandengan.
Kemudian Ny. Ovink Soer mengatakan bahwa di Holland pun ada sebuah pantai
yang hampir sama dengan Bandengan namanya “Klein Scheveningen” secara
spontan mendengar itu R.A Kartini menyela…”Kalau begitu kita sebut saja pantai
Bandengan ini dengan nama Klein scheveningen”.
Selang beberapa tahun kemudian setelah selesai Pendidikan di Europese Lagere
School, R.A Kartini berkehandak ke sekolah yang lebih tinggi, namun timbul
keraguan di hati R.A Kartini Karena terbentur pada aturan adat apalagi bagi kaum
ningrat bahwa wanita seperti dia harus menjalani pingitan. Karena kartini bisa
berbahasa belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat
kepada teman-teman korespondesi yang berasal dari Belanda. Salah satunya
adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, Koran,
dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa.
Timbul keinginanya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat
bahwa perempuan pribumi berada pada status social yang rendah.
Memang sudah saatnya R.A Kartini memasuki masa pingitan karena usianya telah
mencapai 12 tahun lebih, ini semua demi keprihatian dan kepatuhan kepada tradisi
beliau harus berpisah dari dunia luar dan terkurung oleh tembok kabupaten.
Dengan semangat dan keinginannya yang tak kenal putus asa R.A Kartini
berupaya menambah pengetahuannya tanpa sekolah karena menyadari dengan
merenung dan menangis tidaklah akan ada hasilnya, maka satu-satunya jalan
untuk menghabiskan waktu adalah dengan tekun membaca apa saja yang didapat
dari kakak dan juga dari ayahnya.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter
Brooshooft, ia juga menerima Leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko
buku kepada langganan). Diantarannya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu
pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche
Lelie, Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimaut di
De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak kartini membaca apa saja
dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang
Kartini menyebut sallah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat.
Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah
social hukum. R.A Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh
kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang
lebih luas. Diantara buku yang dibaca kartini sebelum berumur 20,terdapat judul
Max Havelaar dan surat-surat Cinta Karya Multatuli, yang pada November 1901
sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (kekuatan gaib) karya Louis
Coperus. Kemudian karya Van Eedan yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt
yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de –Jong Van
Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen
Nieder (letakkan senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Pada surat-surat kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi social saat
itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya
berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang
dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki
kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti
tertulis : Zelf-Ontwikkeling dan Zelf-Onderricht, Zelf-Vertrouwen dan zelf-
Werkzaamheis dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, wijsheid
en Schoonheid (yaitu ketuhanan, kebijaksanaan dan keindahan), ditambah
dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-suat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar.
Pada perkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap
keinginan untuk menjadi seperti kaum muda eropa. Beliau menggambarkan
penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas
duduk dibangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak
dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan – pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya
adalah kritik terhadap agamanya. Beliau mempertanyakan mengapa kitab suci
harus dilafalkan dan dihafalan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia
mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada
agama yang sering menjadi alesan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling
menyakiti… “ Agama harus menjaga kita dari pada berbuat dosa, tetapi berapa
banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu…” Kartini
mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki
untuk berpoligami. Bagi R.A kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan jawa
yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.
Surat-surat kartini banyak mengungkapkan tentang kendala-kendala yang harus
dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju.
Meski memilikiseorang ayah yang tergolong berfikiran maju dan modern karena
telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya samapi umur 12
tahun dan kemudian dipingit untuk menanti lamaran dari pria yang tidak
dikenalnya, tetap saja pintu untuk kesana tertutup. Kartini sangat mencintai sang
ayah, namun ternyata cinta kasih sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi
kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga
diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Beliau disebutkan akhirnya mengizinkan
Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan
Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah
kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap
dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya
mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan
keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari
sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut
akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa
itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Roekmini.
R.A Kartini itu mampu menluncurkan pikiran-pikiran avant garde (melampui
zamannya) saat feodalisme masih mencengkram kuat dalam struktur social jawa,
sementara pendidikan bagi kaum perempuan saat itu sangat langka dan kalaupun
ada, terbatas pada pelajaran keterampilan untuk menompang karir rumah tangga
nya. Walaupun pada kenyataan bahwa R.A kartini yang hidup dalam lingkungan
ningrat jawa, mampu memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan Belanda
dan melahap literature-literatu penting hingga umur 12 tahun. Dengan
kemampuan bahasa Belanda yang bagus, kartini belajar banya ahl dari “Barat” ;
buku-buku sastra dan majalah dibacanya untuk memberikan pemikiran mengeani
arti modernism, feminism, dan kebebasan berpikir. Kesempatan untuk belajar di
negeri Belanda diperolehnya ketika itu dengan adanya tawaran beasiswa dari
pemerintah kerajaan Belanda, namun budaya aristocrat jawa juga yang
membatnya tak kuasa melawan arus. Beliau kemudian menjalani ritual perempuan
jawa, dipingit dan dinikahkan. Beasiswa itu kemudian, atas permintaan Kartini,
dialihkan ke seorang pemuda cerdas asal Bukittinggi, kelak dikenal sebagai KH.
Agus Salim.
Walaupun pada akhirnya Kartini tidak berkesempatan untuk melanjutkan
sekolahnya, namun Kartini tetap menjalankan apa yang menjadi kehendak
hatinya. Beliau menghimpun murid-murid pertamanya yang berasal dari daerah
belakang Pendopo (Pungkuran) yang awalnya hanya berjumlah satu anak saja
namun kemudian bertambah menjadi Sembilan orang. Sekolah Kartini yaitu
sekolah pertama gadis-gadis priyayi bumi putera dibina dan diberi pendidikan ilmu
budi pekerti, baca tulis, keterampilan wanita seperti memabtik, menjahit,
menyulam, memasak, dan melukis diserambi Pendopo belakang kabupaten. Hari
itu sekolah kartini memasuki pelajaran apa yang kini dikenal dengan istilah Krida
dimana R.A Kartini sedang menyelesaikan lukisan dengan cat minyak. Murid-
murid sekolahnya mengerjakan pekerjaan tangan masing-masing, ada yang
menjahit dan ada yang membuat pola pakaian.
Pada pertengahan tahun 1903 Bupati RMAA Sosroningrat dan Raden Ayu
menerima kedatangan tamu utusan yang membawa surat lamaran dari Bupati
Rembang Adipati Djoyoadiningrat yang sudah dikenal sebagai Bupati yang
berpandangan maju dan modern. Saat itu Kartini berusia sekitar 24 tahun. Niat
Kartini untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pu pupus. Dalam sebuah
surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia
sudah akan menikah. “… singkat dan pendek saja, bahwa saya tidak hendak
mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin…” padahal
pada saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu
kesempatan bagi Kartini dan Roekmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, tedapat perubahan penilaian kartini soal adat
jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa
keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para
perempuan bumiputra kala itu.
Oleh orangtuanya, kartini disuruh menikah dengan Bupati Rembang, R.M Adipati
Ario Singgih Djoo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga isrti. Tepat tanggal
12 november 1903 R.A Kartini melangsungkan pernikahannya dengan Bupati
Rembang tersebut dengan cara sedeerhana. Suaminya mengerti keinginan Kartini
dan kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita disebalh
timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau disebauh
bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Dalam srat-suratnya,
Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya
untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi Kartini dapat menulis
sebuah buku.
Pada saat kandungan R.A Kartini berusia 7 bulan, dalam dirinya dirasakan
kerinduan yang amat sangat pada ibunya (MA Ngasirah) dan kota Jepara yang
sangat berarti dalam kehidupannya. Suaminya telah berusaha menghiburnya
dengan musik gamelan dan tembang-tembang yang menjadi kesayangannya,
namun semua itu membuat dirinya lesu.
Pada tanggal 13 september 1904 R.A Kartini melahirkan seorang bayi laki-laki
yang diberi nama Singgih/Rm Soesalit. Tetapi keadaan R.A Kartini semakin
memburuk meskipun sudah dilakukan perawatan khusus, dan akhirnya pada
tanggal 17 september 1904 R.A Kartini menghembuskan nafasnya yang terakhir
pada usia 25 tahun.
Kini R.A Kartini telah tiada, cita-cita dan perjuangannya telah dapat kita nikmati,
kemajuan yang telah dicapai kaum wanita Indonesia sekarang ini adalah berkat
goresan penanya semasa hidupnya yang kita kenal dengan buku “HABIS GELAP
TERBITLAH TERANG”.
Setalah R.A Kartini wafat, Mr. JH. Abendanon mengumpulkan dan membukukan
surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di
Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan
Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang
artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan
pada tanggal 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir
terdapat tambahan surat kartini. Dalam bahasa Inggris, surat-surat Kartini juga
pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers.
Terbitnya surat-surat R.A Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik
perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran R.A Kartini mulai
mengubah pandangan masyarakat belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa.
Pemikiran-pemikiran R.A Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi
inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia.
Pada surat-surat R.A Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi social
saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-
suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang
dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki
kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti
tertulis : Zelf-Ontwikkeling dan Zelf-Onderricht, Zelf-Vertrouwen dan zelf-
Werkzaamheis dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid
en Schoonheid (yaitu ketuhanan, kebujaksanaan, dan keindahan), ditambah
dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat R.A Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari
luar. Pada perkenalan dengan Estella “Stella” Zeehandelaar, R.A Kartini
mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Beliau
menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu
tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laik-
laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Setelah seabad lebih R.A Kartini meninggal, kaum perempuan sudah bisa
menunjukan eksistensi dan dominasi nya di segala bidang. Sudah sangat jarang
terdengar perempuan yang hidup dalam kungkungan, tidak bisa bebas duduk
dibangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan
harus bersedia dimadu. Kalaupun ada, itu hanya karena factor ekonomi semata
yang diusung keluarganya. Terkadang perempuan bisa menjadi kekuatan
penyeimbang dan pengontrol akan kebijakan dan peraturan yang diberlakukan
oleh pemerintah, karena jelajah kemampuannya yang bisa memahami semua
aspek hidup. Belum lagi secara kuantitas, perempuan menjadi obyek politik yang
cukup signifikann untuk meraup suara. Yang mungkin akan menjadi hambatan
hanyalah tatkala mereka berhadapan dengan kekuatan ekonomi, social, dan
politik, hal yang sama juga dialami oleh kaum lelaki.
Berkat kegigihan R.A kartini, kemudian didirikan sekolah wanita oleh Yayasan
Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, malang,
madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah
Kartini”. Yayasan kartini ini didirikan oleh keluarga van Deventer, seorang tokoh
politik etis. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No.108 tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir kartini,
tanggal 21 April untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian
dikenal sebagai Hari Kartini.

Anda mungkin juga menyukai