Anda di halaman 1dari 78

pandangan tokoh pendidikan IndonesiaHome

MENGUPAS BAHASA
INDONESIA
TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN INDONESIA
Posted: July 16, 2011 in Uncategorized
0

TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN INDONESIA

I. Pendahuluan

Sesungguhnya pendidikan yang kita laksanakan sekarang ini tidak terlepas dari usaha-usaha para tokoh pendidikan yang dahulu

telah merintisnya dengan perjuangan yang sangat berat dan tidak mengenal lelah. Oleh karena itu, bila kita membicarakan

tentang pendidikan yang berlangsung saat ini tidaklah arif bila kita tidak membicarakan sosok dan tokoh-tokoh pendidikan

tersebut dengan hanya menerima jerih payah dari karya mereka.

Dengan tanpa mengurangi dan mengecilkan arti perjuangan tokoh-tokoh pendidikan lain yang tidak penulis uraikan pada buku

ini, kami akan memaparkan tujuh tokoh pendidikan nasional yang sangat berjasa dalam sejarah dunia pendidikan di Indonesia

dan beberapa tokoh yang kami anggap memiliki konribusi terhadap dunia pendidikan di Indonesia.

Ketujuh tokoh pendidikan tersebut adalah Raden Ajeng Kartini (1879-1904), Raden Dewi Sartika (1884-1947), Rohana Kudus

(1884-1969), Ki Hajar Dewantara (1889-1959), Mohammad Syafei (1899-1969), K.H. Ahmad Dahlan (1869-1923), dan

K.H.Hasyim Asy’ari (1871-1947) yang kami paparkan pada bagian awal. Kemudian pada bagian kedua kami paparkan tokoh-

tokoh yang kami anggap memberikan kontribusi terhadap perkembangan dunia pendidikan di Indonesa.i

Pemaparan tokoh-tokok kami awali dengan penyampaian profil da biografi pribadi tokoh, catatan pribadi tokoh, perjuangan

tokoh, jasa-jasa yang telah dipersembahkan pada bangsa dan negara.

Penyususun

Lida Nalida

A. Raden Ajeng Kartini (1879-1904)

1. Profil dan Biografi Raden Ajeng Kartini

Raden Ajeng Kartini lahir pada tahun 1879 di kotaRembang. Ia anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat

istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orang
tuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut. Ia ingin menentang

tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran

dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya).

Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada

kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku

inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul

keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai

dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Di tengah

kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak

berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orang tuanya dengan Raden Adipati

Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang.

Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil

mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah

tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati

keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.

Pada tanggal 17 September 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya.

Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini

pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap

Terbitlah Terang”.

2. Perjuangan Raden Ajeng Kartini

Perjuangan R.A. Kartini adalah merintis perubahan bagi kaum wanita. Beliau tidak segan-segan turun ke bawah bergaul dengan

masyarakat biasa untuk mengembangkan ide dan cita-citanya yang hendak merombak status sosial kaum wanita dan cara-cara

kehidupan dalam masyarakat dengan semboyan: “ Kita harus membuat sejarah, kita mesti menentukan masa depan kita yang

sesuai dengan keperluan serta kebutuhan kita sebagai kaum wanita dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti halnya

kaum lelaki.

Dengan pengetahuan serta pengalaman yang didapatnya, Raden Ajeng Kartini secara berangsur-angsur dan setahap demi setahap

tapi pasti berusaha menambah kehidupan yang layak bagi seorang kau wanita. Walaupun sudah menikah Raden Ajeng Kartini
tetap gigih untuk tetap memperjuangkan pendidikan bagi kehidupan anak – anak di sekitar tempat tinggalnya. Raden Adipati

Joyoningtat pun turut serta melancarkan perjuangan Raden Ajeng Kartini.Peranan Suami, dalam usaha Raden Ajeng Kartini

Meningkatkan perjuangan sangat menentukan pula karena dengan dorongan dan bantuan suaminya beliau dapat mendirikan

sekolah kepandaian putri dan di sanalah beliau mengajarkan tentang kegiatan wanita, seperti belajar jahit-menjahit serta

kepandaian putri lainnya.

Usaha-usaha Raden Ajeng Kartini dalam meningkatkan kecerdasan untuk bangsa Indonesia dan kaum wanita, khususnya melalui

sarana-sarana pendidikan dengan tidak memandang tingkat dan derajat, apakah itu bangsawan atau rakyat biasa. Semuanya

mempunyai hak yang sama dalam segala hal, bukan itu saja karya-karya beliau, persamaan hak antara kaum laki-laki dan kaum

wanita tidak boleh ada perbedaan. Beliau juga mempunyai keyakinan bahwa kecerdasan rakyat untuk berpikir, tidak akan maju

jika kaum wanita ketinggalan.

Inilah perjuangan Raden Ajeng Kartini yang telah berhasil menempatkan kaum wanita d tempat yang layak, yang mengangkat

derajat wanita dari tempat gelap ke tempat yang terang benderang. sesuai dengan karya tulis beliau yang terkenal, yang berjudul

“Habis Gelap Terbitlah Terang”.

3. Perjuangan RA Kartini dalam Lapangan Pendidikan

Dalam hal pendidikan di sekolah, Kartini menganjurkan agar anak-anak diberi pendidikan modern. Ini bukan berarti R.A. Akan

membelandakan atau mengeropakan orang Indonesia. Mereka tetap sebagai orang Indonesia . Maksudnya, bahwa segi

pendidikan yang baik dari luar yang diambil dicapur dari segi yang baik pula dari Indonesia. Dari gabungan itu, Kartini bercita-

cita memajukan pendidikan dan kebudayaan Indonesia. Keinginan itu ditulis dalam suratnya tertanggal 10 Juni 1902 yaitu yang

ditunjukan kepada Ny. Abendanon antara lain: Kami sekali-kali tiada hendak menjadikan murid-murid kami jadi setengah orang

Eropa atau orang jawa kebelanda-belandaan. Maksud kami dengan mendidik akan menjadikan orang Jawa itu, orang yang

berjiwa karena cinta dan gembira akan tanah air dan bangsanya. Dalam salah satu surat yang lain Kartini berpendapat: bila

barang sesuatu yang bagus daripada bangsa yang satu dicampur dengan barang sesuatu yang bagus daripada bangsa lain, maka

akan timbul yang baik

Hal-hal yang diperjuangkan R.A.Kartini :

a. Kartini selalu mengajurkan agar kaum dan bangsanya mau mengambil dan meniru segi-segi yang baik dari Barat.

b. Kartini menganjurkan agar pendidikan budi pekerti dipehatikan.

c. Yang memegang peranan penting dalam hal pendidikan

d. Pembelajaran bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, dan bahasa Belanda hendaknya diajarkan di sekolah tidak hanya pelajaran
membaca, menulis, dan berhitung.

e. Karena ide pemberian mata pelajaran tersebut tidak dibolehkan oleh Pemerintah Hindia Belanda maka Kartini mendirikan

sekolah sendiri

Perjuangan emansipasi yang disalurkan melalui pendidikan yakni dengan mendirikan sekolah khsusus kaum wanita. Jenis

sekolah yang diritis adalah

1. Sekolah gadis dii Jeparatahun 1903

2. Sekolah Gadis Rembang

3. Untuk menghormati cita-cita Kartini, pada tahun 1913 didirikan Sekolah rendah untuk anak-anak perempuan di beberapa kota

besar, yaitu dengan nama sekolah Kartini. Bahkan karena jasa-jasanya WR Supratman mengabadikan namannya dalam sebuah

lagu gubahannya yang berjudul ‘Ibu Kita Kartini.

4. Kartini dalam Kenangan Gambar

Kartini Bersama Murid-muridnya Sekolah Kartini

Sekolah Kartini

B. Raden Dewi Sartika (1884-1969)

1. Profil dan Boigrafi Raden Dewi Sartika

Dewi Sartika adalah putri pasangan Patih Bandung, R. Rangga Somanegara dan R.A. Raja Permas, putri Bupati Bandung R.A.A

Wiranata kusuma IV, yang terkenal dengan sebutan Dalem Bintang. Dewi Sartika lahir pada tanggal 04 desember 1884 di

Cicalengka. Cita-cita putri bangsawan ini adalah mendirikan sekolah istri, ia sudah mengidam-idamkan sekolah tersebut sejak

kecil.

Dewi Sartika adalah simbol kebangkitan kesadaran perempuan atas harga dirinya. Ia berjuang agar kaumnya sejajar dengan

lawan jenisnya. Dengan segala keterbatasan dan pagar-pagar bersepuh emas yang bernama etika, mereka mencoba untuk

mengembangkan diri dan keyakinan.

Semasa kecil, Dewi Sartika diperkenankan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk masuk sekolah pada kelas satu (Eerste Klasse

School). Suatu saat terjadi kejadian penting pada keluarganya, sehingga dia terpaksa mengakhiri sekolah sampai kelas 2 B. Di

sekolah itu, dia memperoleh pendidikan dasar yaitu membaca, menulis dan bahasa Belanda. Selain itu, dia mempunyai banyak

teman dari bangsa sendiri maupun dari bangsa Belanda. Meskipun dia bersekolahnya hanya sebentar, namun semangat untuk
belajar masih sangat besar. Dia mencari ilmu dari kehidupan diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, sampai dia berhasil menjadi

pimpinan salah satu sekolah. Walaupun tangan kanannya cedera gara-gara jatuh waktu bermain, dia tetap menjalankan tugasnya

dengan baik.

Tetapi pada bulan Juli tahun 1893 kedamaian keluarga Dewi Sartika berakhir karena ayahandanya dituduh terlibat dalam

peristiwa pemasangan dinamit. Hukuman yang diterima adalah hukuman buangan ke Ternate. Sang ibu juga ikut menyertai ke

Ternate sehingga Dewi Sartika dan saudara-saudaranya dititipkan pada sanak keluarga tanpa bekal apapun karena harta bendanya

disita semuanya. sedangkan Dewi Sartika oleh bapak tuanya dibawa di tengah-tengah kehidupan keluarganya di Cicalengka.

Di Cicalengka, Dewi Sartika tidak diperlakukan semestinya dan dikucilkan. Dia hanya dianggap sebagai pelayan dan

ditempatkan di belakang jauh dari tempat yang lazim dihuni oleh keluarganya / anak didiknya. Walaupun dia merasa kesepian

dan sedih, dia tidak pernah menghiraukannya karena dia mempunyai tugas-tugas yang harus diselesaikan setiap hari. Meskipun

dia menderita, tapi dia banyak mendapatkan pelajaran tentang memasak, menjahit, menyulam dan kerajinan tangan yang

diajarkan oleh istri Patih Arya.

Selain itu, Dewi Sartika punya tugas mengantar saudara-saudara sepupunya pergi ke rumah nyonya Belanda untuk belajar

membaca dan menulis bahasa Belanda. Di situ Dewi Sartika tidak diperkenankan masuk, cuma mendengar dari balik pintu.

Karena kecerdasannya, dia bisa menangkap semua pelajaran itu.

Awal Dewi Sartika merintis kariernya yaitu dia menjadi seorang pemimpin dan guru yang mengajar di sekolah kautamaan istri.

Pada tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan R. A Soeriawinata. Setelah menikah ia tidak berhenti bekerja dan suaminya

dengan aktif bekerjasama dengan istrinya, sehingga pada tahun 1912 Dewi Sartika berhasil mendirikan sembilan sekolah untuk

anak gadis. Saat ia telah berhasil mendirikan sekolahnya yang pertama, kini berusaha untuk mengembangkannya ditingkat yang

lebih tinggi. Salah satu hasil karyanya yaitu sebagai pendiri pertama kali sekolah untuk anak-anak gadis dan sekolah istri, sekolah

yang pertama untuk jenisnya bagi seluruh Indonesia pada tanggal 16 Januari 1904 di Paseban.

Dewi Sartika wafat pada hari kamis, tanggal 11 September 1947. pukul 09.00 WIB ditengah-tengah keluarga di rumah sakit

Cineam. Beliau wafat dalam usia 63 tahun.

2. Perjuangan Raden Dewi Sartika

Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang

perempuan. Saat itu tahun 1902, ketika wanita pribumi masih jauh dari mandiri karena kungkungan adat. Pendidikan bagi dia

adalah jalan keluarnya. Inilah alasan kenapa Dewi Sartika mencetuskan gagasan mendirikan sekolah wanita pribumi yang

pertama di Indonesia. Dia mengajarkan cara merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya. Muridnya

membawa makanan, beras, garam.


Kegiatan ini perlahan tecium Inspektur Pengajaran Hindia Belanda di Bandung, C. Den Hammer. Den Hammer menilainya

kegiatan liar yang membahayakan dan patut dicurigai. Tapi, setelah melihat secara dekat, Den Hammer menilai positif, bahkan

terkesan dengan pemikiran dan obsesi Dewi Sartika yang ingin mendirikan sekolah wanita pribumi. Dukungan Den Hammer

ternyata tak cukup. Masih saja ada yang menghalangi usahanya. Alasannya bertentang dengan adat istiadat.

Inilah yang lebih menyedihkan Dewi Sartika. Dalam salah satu artikelnya dia menyayangkan, “… masih banyak di antara orang-

orang setanah air saya yang rupanya selalu berusaha untuk lebih dahulu menentang segala yang baru”. Den Hammer ikut

prihatin. Dia lalu mengusulkan agar Dewi Sartika meminta bantuan dari Bupati Bandung R.A. Martanegara. Dewi Sartika ragu.

Dia belum bisa melupakan pengalaman pahit yang menimpa keluarganya sembilan tahun silam. Ketika itu ayahnya, Raden

Rangga Somanegara, harus menjalani hukuman buang ke Ternate hingga meninggal dunia di sana. Pemerintah Hindia Belanda

membuangnya karena ayahnya menentang pelantikan R.A. Martanegara sebagai Bupati Bandung.

Bupati Bandung R. A. Martanegara terkejut mengetahui Dewi Sartika hendak menghadapnya. Apalagi mendengar gagasan Dewi

Sartika yang ingin mendirikan sekolah bagi wanita pribumi. Ada rasa haru, kagum, tapi sang Bupati perlu waktu untuk

merundingkan ide itu dengan sejumlah sahabat dan kerabat dekatnya.

Tak lama kemudian Dewi Sartika dipanggil di pendopo dalem. “Nya atuh Uwi, ari Uwi panting jeung kekeuh hayang mah, mugi-

mugi bae dimakbul ku Allah nu ngawasa sekuliah alam, urang nyoba-nyoba nyien sakola sakumaha kahayang Uwi. Pikeun

nyegah bisi aya ka teu ngeunah di akhir, sekolah teh hade lamun di pendopo wae heula. Lamun katanyaan henteu aya naon-naon,

pek bae pindah ka tempat sejen,” ujar Martanegara. Hilang debaran dan rasa was-was itu. Dewi Sartika senang. Ucapan sang

Bupati menandakan dukungan dan perlindungan atas rencananya mendirikan sekolah untuk wanita pribumi.

Maka pada 16 Januari 1904, Sakola Istri berhasil dibentuk-istri dalam bahasa Sunda berarti juga wanita. Tenaga pengajarnya tiga

orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Untuk sementara tempat belajar meminjam

ruangan di Paseban Barat di halaman depan rumah Bupati Bandung. Murid yang diterima untuk kali pertama sebanyak 60 siswi,

yang sebagian besar berasal dari masyarakat kebanyakan.

Pada 1905 sekolah tersebut pindah ke jalan Ciguriang-Kebun Cau karena ruangan tak mampu lagi menampung jumlah siswi yang

bertambah. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya plus bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung.

Sekolah Istri dalam Kenangan Gambar

Sakola Istri, Kebon Cau Bandung


C. Rohana Kudus (1884-1969)

1. Pofil dan Biografi Rohana Kudus

Rohana Kudus (lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, 20 Desember 1884 – meninggal di Jakarta, 17 Agustus 1972 pada umur

87 tahun) adalah wartawan Indonesia. Ia lahir dari ayahnya yang bernama Rasjad Maharaja Soetan dan ibunya bernama Kiam.

Rohana Kudus adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia yang pertama dan juga mak tuo (bibi) dari

penyair terkenal Chairil Anwar. Ia pun adalah sepupu H. Agus Salim. Rohana hidup di zaman yang sama dengan Kartini. Pada

zaman itru akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi. Ia adalah perdiri surat kabar perempuan

pertama di Indonesia

Rohana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan.

Pada zamannya Rohana termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa diskriminasi terhadap perempuan,

termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan kecerdasan,

keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Rohana Kudus melawan ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan.

Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai

pemerintah Belanda yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi

membuat Rohana cepat menguasai materi yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda Rohana sudah bisa

menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu.

Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Rohana bertetangga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat

Belanda itu, Rohana belajar menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Di sini ia

juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang

sangat digemari Rohana.

2. Perjuangan di Lapangan Pendidikan dan Wirausaha

Berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya setelah kembali ke kampung dan menikah pada usia 24 tahun dengan

Abdul Kudus yang berprofesi sebagai notaris. Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada tanggal 11

Februari 1911 yang diberi nama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan,

Keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan bahasa Belanda.

Banyak sekali rintangan yang dihadapi Rohana dalam mewujudkan cita-citanya. Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum

perempuan penuh dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang, bahkan fitnahan

yang tak kunjung menderanya seiring dengan keinginannnya untuk memajukan kaum perempuan. Namun gejolak sosial yang
dihadapinya justru membuatnya tegar dan semakin yakin dengan apa yang diperjuangkannya. Selain berkiprah di sekolahnya,

Rohana menjalin kerjasama dengan pemerintah Belanda karena ia sering memesan peralatan dan kebutuhan jahit-menjahit untuk

kepentingan sekolahnya. Disamping itu, Rohana menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang

memang memenuhi syarat ekspor. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan pinjam

dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama di Minangkabau.

Banyak petinggi Belanda yang kagum atas kemampuan dan kiprah Rohana. Selain menghasilkan berbagai kerajinan, Rohana

juga menulis puisi dan artikel serta fasih berbahasa Belanda. Tutur katanya setara dengan orang yang berpendidikan tinggi,

wawasannya juga luas. Kiprah Rohana menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar

terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat.

Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang

kebiasaannya menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu, 10 Juli 1912.

Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah

perempuan.

Kisah sukses Rohana di sekolah kerajinan Amai Setia tak berlangsung lama. Tanggal 22 Oktober 1916 seorang muridnya yang

telah didiknya hingga pintar menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester karena tuduhan penyelewengan

penggunaan keuangan. Rohana harus menghadapi beberapa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi didampingi suaminya,

seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh keluarga. Setelah beberapa kali persidangan tuduhan pada Rohana tidak

terbukti, jabatan di sekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya, namun dengan halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke

Bukittinggi.

Di Bukittinggi Rohana mendirikan sekolah dengan nama “Rohana School”. Rohana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta

bantuan siapa pun untuk menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali. Rohana School sangat terkenal

muridnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi tapi juga dari daerah lain. Hal ini disebabkan Rohana sudah cukup populer dengan

hasil karyanya yang bermutu dan juga jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Sunting Melayu membuat eksistensinya tidak

diragukan.

Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Rohana memperkaya keterampilannya dengan belajar membordir pada orang Cina

dengan menggunakan mesin jahit singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir Rohana juga menjadi agen

mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya sendiri. Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi agen mesin

jahit singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Tionghoa.

Dengan kepandaian dan kepopulerannya Rohana mendapat tawaran mengajar di sekolah Dharma Putra. Di sekolah ini muridnya
tidak hanya perempuan tapi ada juga laki-laki. Rohana diberi kepercayaan mengisi pelajaran keterampilan menyulam dan

merenda. Semua guru di sini adalah lulusan sekolah guru kecuali Rohana yang tidak pernah menempuh pendidikan formal.

Namun Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi

pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.

Rohana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan mengajar. Mengubah paradigma dan pandangan

masyarakat Koto Gadang terhadap pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak perlu menandingi laki-

laki dengan bersekolah segala. Namun dengan bijak Rohana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat

perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibanya. Yang harus

berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan

rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu

pengetahuan”. Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki

namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai

perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan

untuk perempuan.

Usaha-usaha lain yang telah dilakuakn Rohana kudus Bidang pendidikan adalah :

1. Tahun 1896 saat usianya 12 tahun , ia sudah mengajar teman-teman gadis di kampungnnya dalam bidang membaca dan

menulis

2. Tahun 1905, ia mendirikan “Sekolah Gadis” di Kota Gedang, yang kemudian pada tahun 1911 diubah namanya mejadi

“Sekolah Karajinan Amai Satia.”

3. Pada 10 Juli 1912, ia ikut melahirkan sekaligus menjadi pemimpin Redaksi Surat Kabar Wanita dengan nama “Soenting

Melajoe” di Padang.

Demikianlah Rohana Kudus menghabiskan 88 tahun umurnya dengan beragam kegiatan yang berorientasi pada pendidikan,

jurnalistik, bisnis dan bahkan politik. Kalau dicermati begitu banyak kiprah yang telah diusung Rohana. Selama hidupnya ia

menerima penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia (1974), pada Hari Pers Nasional ke-3, 9 Februari 1987, Menteri

Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai Perintis Pers Indonesia. Dan pada tahun 2008 pemerintah Indonesia

menganugerahkan Bintang Jasa Utama.

3. Sekolah Rohana Kudus dalam Gambar

Sekolah kerajinan Amai Setia tempo dulu Sekolah kerajinan Amai Modern
Oleh

Lida Nalida

D. Ki Hajar Dewantara (1889-1959)

1. Profil dan Biografi K. Hajar dewantara

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar

Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 –

meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun; selanjutnya disingkat sebagai “Soewardi” atau “KHD”) adalah

aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman

penjajahan Belanda. Beliau adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan

bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut

wuri handayani, menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang

Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah.

Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar

Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit.

Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres,

Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya

komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

2. Aktivitas Pergerakan di Bidang Pendidkan

Ki Hajar Dewantara pendidikan dan beliaulah yang mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa pada tahun 1922. Perguruan

Taman Siswa mulanya bernama National Onderwijs Institut Taman Siswa di Yogyakarta. Pertama-tama yang dibuat hanya

Taman Anak dan Kursus Guru. Namun setelah itu terus berkembang. Secara lengkap bagian-bagian pendidikan pada Perguruan

Taman Siswa ini adalah:

a. Taman Anak (setingakt dengan TK);

b. Taman Anak (setingkat kelas I- III Sejokah rendah atau Sekolah Dasar);

c. Taman Muda(setingkat kelsa IV-VI sekolah Rendah)

d. Taman Dewasa (setara SMP)

e. Taman Madia (setara SMA)

f. Taman Guru B-1 (mendidik calon guru untuk Taman Anak dan Taman Muda);
g. Taman Guru B-2;

h. Taman Guru B-3 (mendidik calon guru untu taman Dewasa) Taman guru B-3 ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagia A untuk

Jurusan Ilmu Pasti dan Alam, dan Bagian B untuk Ilmu Budaya;

i. Taman Guru Indria (mendidik anak wanita yang inginmenjadi guru pada Taman Indria).

Dalam penyelenggaraan pendidikan, Ki Hajar Dewantara menghendaki diterapkannya Sistem Among yang mengemukakan dua

dasar yaitu:

1. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakan kekuatan lahir dan batin sehingga dapat hidup merdeka

(dapat berdiri sendiri)

2. Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.

Asas pendidikan pada Penyelenggaraan Taman Siswa yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai berikut:

1. asas kemerdekaan;

2. asas kodrat alam;

3. asas kebudayaan;

4. asas kebangsaan; dan

5. asas kemanusiaan

Kelima asas tersebut ia sebut dengan “Panca Darma Taman Siswa”

Di samping itu, penyelenggaraan Taman Siswa didasarkan pada beberapa semboyan yang menjiwainya yaitu berikut ini

1. Lawan sastra ngesti mulia; dengan kecerdasan jiwa (kita) menuju arah kesejahteraan;

2. Suci tata ngesti tunggal: dengan kesucian batin dan teraturnya hidup batin, kita mengejar kesempurnaan;

3. Tut Wuri Hndayani: mengikuti dari belakang sambil memberikan pengaruh;

4. Kita berhamba kepada sang anak; dan

5. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung; segala yang menghalangi akan hancur.

Ki Hajar Dewantara pernah menjabat beberapa jabatan setelah Indonesia Merdeka yaitu: 1) Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan

Kebudayaan RI Pertama. 2) Anggota Wakil Ketua DPA. 3) Anggota Parlemen.

3. Perguruan Taman Siswa

Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1918, Ki Hajar Dewantara mencurahkan perhatiannya di bidang pendidikan sebagai salah

satu bentuk perjuangan meraih kemerdekaan. Bersama rekan-rekan seperjuangannya lainnya, Ki Hajar mendirikan Nationaal

Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922. Taman Siswa
merupakan sebuah perguruan yang bercorak nasional yang menekankan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta semangat

berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Perjuangan Ki Hajar Dewantara tak hanya melalui Taman siswa, sebagai penulis, Ki Hajar Dewantara tetap produktif menulis

untuk berbagai surat kabar. Hanya saja kali ini tulisannya tidak bernuansa politik, namun beralih ke bidang pendidikan dan

kebudayaan. Tulisan KI Hajar Dewantara berisi konsep-konsep pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan.

Melalui konsep-konsep itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

4. Semboyan Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Dalam perjuangannya terhadap pendidikan bangsanya, Ki Hajar Dewantara mempunyai Semboyan yaitu tut wuri handayani (dari

belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid,

guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau

contoh tindakan baik). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan kita, terutama di sekolah-sekolahTamansiswa.

5. Pahlawan Pendidikam Nasioanal

Usianya yang genap 40 tahun, Ki Hajar Dewantara mencabut gelar kebangsawanannya dan mengganti nama aslinya Raden Mas

Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hadjar Dewantara. Hal ini dimaksudkan agar beliau dapat bebas dekat dengan rakyat, baik

secara fisik maupun hati. Pada masa pendudukan Jepang, Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai salah satu pimpinan pada

organisasi Putera bersama-sama dengan Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Dimasa kemerdekaan Ki

Hajar Dewantara dingkat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Perjuangan Ki Hajar

Dewantara terhadap pendidikan Indonesia membuat beliau layak di anugerahi gelar pahlawan pendidikan Indonesia. Tak

berlebihan pula jika tanggal lahir beliau, 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional untuk mengenang dan sebagai

penyemangat bagi kita untuk meneruskan prakarsa dan pemikiran-pemikiran beliau terhadap pendidikan Indonesia.

6. Gambar Perjuangan Pendidikan Ki Hajar Dewantaara

7.
Oleh

Lida Nalida

E. Mohammad Syafei (1899-1969)

1. Profil dan Biogarfi Mohammad Syafei

Mohammad Syafei lahir di Kalimatan pada tahun 1899. Perjuangan beliau dititik beratkan pada bidang pendidikan. Pada tahun

1922 beliau menjadi guru pada sebuah Sekolah Kartini di Jakarta dan sejak itu aktivitasnya di bidang pendidikan terus

bertambah. Mohamad Syafei pernah diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan pada kabinat Syahrir

dan menjadi Anggota DPA. Beliau meninggal dunia pada 5 Maret 1969. Meskipun beliau sudah tiada, tetapi jasa-jasanya di

bidang pendidikan tidak akan terlupakan, apalagi para lulusan INS tersebar ke berbagi pelosok tanah air, yang tentu saja

kiprahnya sangat besar bagi pembangun bangsa dan negara.

2. Perjuangan di Bidang Pendidikan

Sebagai tokoh pendidikan beliau berjasa besar dalam mendirikan sekolah yang diberi nama “Indonesische Nederlandsche

School” atau yang lebih dikenal dengan INS kanyutanam , Sumatra Barat . INS Kayutanam didirikan oleh Engku Muhammad

Syafei pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kayutanam, sebuah desa kecil di Sumatera Barat. Sejak berdiri hingga perang

kemerdekaan, perguruan ini telah berkibar namanya, bersamaan dengan berkibarnya nama Perguruan Taman Siswa yang

didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di pulau Jawa.

Sebagai lembaga pendidikan swasta, INS mengalami pasang surut di dalam kemajuan dan perkembangannya, namun demikian

“ruh” pendidikan INS yang dikibarkan oleh Engku Muhammad Syafei tetap hidup, dan bahkan kemudian diakui oleh Undang-

Undang dan Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional.

Pola pendidikan yang dianut dan diterapkan di INS adalah pendidikan berbasis talenta, ini didasarkan pada falsafah Minang yang

tersimpul melalui ungkapan, “Alam terkembang jadi guru” (belajarlah dari alam dan pelajarilah alam itu), dan ucapan Engku

Syafei, “Janganlah minta buah mangga kepada pohon rambutan, tetapi jadikanlah setiap pohon menghasilkan buah yang manis!

(setiap insan memiliki talenta berbeda), serta, “Jadilah engkau menjadiengkau!”

Oleh karena itu, dasar pendidikan di INS Kayutanam ini adalah mendorong tumbuh dan berkembangnya bakat bawaan (talenta)

yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Ini yang “membedakan” pendidikan menengah di INS dengan pendidikan

menengah yang kita kenal sebagai Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), atau Sekolah Menengah
Kejuruan(SMK). “Perbedaan” juga yaitu mata pelajaran Bahasa Indonesia (yang terkait dengan aspek akademik) di INS

Kayutanam digunakan untuk merangsang tumbuh dan berkembangnya talenta peserta didik dalam bidang

1) Jurnalis

2) Cerpenis,

3) NovelisPenulis Naskah:Drama, Skenario Filem,Skenario Sinetro(TV).

4) PenulisBuku,

5) PengajarBahasaIndonesia,

6) Penerjemah,

7) EditorBuku,

8) EditorMajalah,

9) ReporterTV,

10) PresenterTV,

11) Kejujuran,

12) Akhlak Mulia.

Hal yang sama juga berlaku untuk mata pelajaran matematika, bahasa inggris, fisika, biologi, kimia, dan mata pelajaran lainnya.

INS kemudian merupaka singkatan dari “Indonesia National School” menitikberatkan pendidikannay pada dunia kerja. INS

menyelenggarakan pendidikan pada jenjang berikut

1. Ruang bawah, yakni setara dengan Sekolah Rendah atau Sedkolah Dasar. Lma pendidikannya tujuh tahun.

2. Ruang Atas, yakni setar dengan Sekolah Menengah Lama Pendidikannya enam tahun.

Tujuan sekolah yang diselenggarakan oleh Mohammad Syafei adalah:

1. Mendidik anak-anak agar mampu berpikir secara rasional;

2. Mendidik anak-anak agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh-sungguh;

3. Mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang berwatak baik

4. Menanamkan rasa persatuan.

5. Alhasil peserta didik disiapkan untuk menjadi insan mandiri dan wirausahawan yang menciptakan lapangan kerja, bukan

pegawai. Hal yang amat berbeda dengan pola pendidikan di Jawa yang disiapkan untuk menjadi pegawai negeri.
Dasar pendidikan yang dikembangkan adalah kemasyarakatan keaktifan, kepraktisan, serta berpikir logis dan rasional. Berkenaan

dengan itulah maka isi pendidikan yang dikembangkannya adalah bahan-bahan yang dapat mengembangkan pikiran, perasaan,

dan keterampilan atau yang dikenal dengan 3H

3. Gambar Sekolah INS Kayutanam

Oleh

Lida Nalida

F. Ki Haji Ahmad Dahlan (1868-1923)

1. Profil dan Biografi KH. Ahmad Dahlan

Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54

tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu

Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan

ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu-kitab karangan ulama-ulama modern

dari Mesir, Hijaz (A Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.

Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi

dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.

Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.

Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh

Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di

kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal

dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH.

Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti

Zaharah.[1] Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi

Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah

(adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman

Yogyakarta.
Kedua orang tua dan kehidupan rumah tangga K.H. Ahmad Dahlan adalahpusat dan sumber pembinaan mental jiwa agama ,

intelektual dan karakter pribadi K.H. Ahmad Dahlan terbentuk, K.H. Ahmad dahlan belajar segala ilmu agama dan cabang-

cabangnya , pertama dengan kesedua orang tuanya, selanjutnya suka belajar sendiri membaca kitab-kitab akarangan ulama-ulama

Mesir, Hijaz (Arab) dan sebaaginya, meskipun ilmunya juga didapat diwaktu di Mekah (bermukim di sana)., Di samping itu,

beliau suka memperluas ilmu dan penyelidikannya sapai pada hqqul yaqin.

K.H. Ahmad Dahlan yang semula di kenal sebagai pedagang, Guru Agama dan Khotib Mesjid besar Kauman juga sebagi seorang

mualim yang berani dan bijaksana berpikiran merdeka, toleran dalam ppergaulan, tampak kelembutan budi, peramah serta

cintasesama manusia, cinta fakir miskin, tenang menghadapi persoalan dan fasih, jelas kata-katanya, berbicaarmudah diterima,

mudah dipahami.

K.H. Ahmad dahlan selalu dapat meletakkan segala persoalan dan sesuatu di tempat semestinya, melakukan suatu perkara dengan

tidak tergesa-gesa, selalu menggunakan kecerdasan akalnya.

Kencintaan dan kasih sayang pada fakir miskin tampak jelas, suatu ketika diajaknya murid-murid dan santrinya beliau

melaksanaakn surat Al Ma’un. disuruhnya setiap santri membawa fakir miskin, dicarinya fakir miskin di pasar Bringharjo, di

jalan Malioboro, di sekita alun-alun utara, dibawanya fakir miskin ke Mesjid Besar di sana diberinya sandang dan pangan di

samping tuntunan agama Islam.

K.H. Ahmad Dahlan meruapakan salah satu tokoh Islam yang sangat giat memperjuangkan kemajuan umat Islam melalui bidang

pendidikan. Dia adalah seorang tokoh pendiri Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yogyakarta.

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah ini

a. Umat Islam tidak memegang tuntunan Al Quran dan Hadis menyebabkan perbuatan syirik, bid’ah, dan khurafat semakin

merajarela serat mencermarkan kemurnian ajarannya.

b. Keadaan umat Islam sangat menyedihkan akibat penjajahan.

c. Kegagalan institusi pendidikan Islam untuk memenuhi tuntutan kemajuan jaman merupakan akibat dari mengisolasi diri

d. Persatuan dan kesatuan umat Islam menurun sebagi akibat lemahnya organisasi iIslam yang ada.

e. Munculnya tantangan dan kegiatan misi Zending yang dianggap mengancam masa depan umat Islam.

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari

masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan

agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang

Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi,

dan bermacam-macam tuduhan lain.


Saat itu Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang merupakan sekolah khusus Belanda

untuk anak-anak priyayi. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk melanjutkan cita-

cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk

mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81

tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah

Yogyakarta.

Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi.

Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang

Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH.

Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain.

Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah[4] di Garut. Sedangkan di Solo berdiri

perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam

kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jamaah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan

kepentingan Islam.

Perkumpulan-perkumpulan dan Jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul

Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub,

Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[5]

Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti Pastur van Lith pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur

pertama yang diajak dialog oleh Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan Katolik.

Pada saat itu Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya[6].

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota,

disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari

masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama darberbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan

dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena

itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-

cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2

September 1921.

2. Tujuan Utama Gerak Amal Usaha Muhammmadiyah


a. Memajukan / menggembirakan pengajaran / pelajaran Islam.

b. Memajukan dan mengembirakan cara hidup sepanjang kemauan Islam.

c. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

3. Perjuangan di Bidang Pendidkan

Organisasi Muhammadiyah aktif menyelenggarakan lembaga pendidikan sekolah pada semua jenjang pendidikan dan tersebar ke

berbagai pelosok tanah air. Tujuan pendidikannya adalah terwujudnya menusia muslim, berakhlak, cakap, percaya kepada diri

sendiri, berguna bagi masyarakat dan negara.

Jens-jenis sekolah yang dikembangkan adalah sebagai berikut.

1) Sebelum kemerdekaan

a. Sekolah umum: TK Vervolg School 4 tahun, HIS 7 tahun , MULO 3 tahun, AMS 3 tahun, dan HIK 3 tahun.

b. Sekolah agama: Madrasah Ibtidaiyah 3 tahun, Tsanawiyah 3 tahun, Muallimin /Muallimat 5 tahun, Kulliatul Muballighin (SPG

Islam) 5 tahun

3. Sesudah Merdeka

Setelah merdeka, perkembangan pendidikan Muhammadiyah semakin pesat. Pada dasarnya ada empat jenis lembaga pendidikan

yang dikembangkan:

a. Sekolah-sekolah umum yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, SD, SMP, SMTA, SPG, SMEA,

SMKK dan sebagainya.

b. Madrasah-madrasah yang bernaung di bawah Departemen Agama, yaitu Madrasah Idtidaiyah, MTs, dan Madrasah Aliyah.

c. Jenis sekolah atau Madrasah khusus Muhammadiyah, yaitu Muallimin, Muallimat, Sekolah tabligh, dan Pondok Pesantren

Muhammadiyah.

d. Perguruan Tinggi Muhammadiyah, ada yang umum dan ada yang berciri khas agama. Untuk perguruan tinggi agama di bawah

pembinaan Kopertis Departemen Agama.

4. Gambar Sekolah Masa KH Ahmad Dahlan

Oleh

Lida Nalida
G. K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947)

1. Profil dan Biografi K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947)

KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang

berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka

Tingkir (Sultan Pajang).

Berikut silsilah lengkapnya: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa),

Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy’ari (Jombang), KH. Hasyim

Asy’ari (Jombang

Hasyim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 14 Februari 1817 di Jombamg Jawa Timur. Beliau berjasa besar dalam mendirikan

organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdatul Ulama (NU) yang didrikan 31 januari 1926.

Telah dimaklumi, bahwa usia yang panjang bagi seorang hamba adalah merupakan rahmat tersendiri dari Allah SWT. Apalagi

umur yang panjang dalam kehidupan di dunia ini, dihiasi serta dipenuhi dengan amal kebaikan, baik vertikal maupun horizontal,

KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan salah satunya. Sejarah panjangnya, dalam pengabdian serta perjuangan untuk agama, bangsa

dan negara, telah terukir alam tinta mas.

Pengabdian serta perjuangan telah terbukti dengan kepribadiannya selama masa revolusi fisik untuk merebut dan

mempertahankan kemerdekaan negara republik Indonesia ini, dan selanjutnya mengisi kemerdekaan tersebut melalaui bidang

pendidikan dan pengajaran. Bukan cuma itu, buah pemikiran beliau yang dituangkan ke dalam sejumlah kitab, masih banyak

yang belum diketahui. Melukiskan orang besar sekaliber KH. M. Hasyim Asy?ari, serta pemikirannya bukanlah suatu yang

mudah, karena ada kehawatiran akan mereduksi gambaran sang tokoh dan karya-karyanya. Namun masih tersisa harapan,

semoga hal tersebut dapat merangsang pembaca untuk menggali lebih dekat, baik seputar kelahiran, keluarga, perjalanan studi,

gagasan-gagasan besar dan peninggalan yang harus dirawat, serta pemikiran beliau yang dituangkan dalam karya kitab-kitabyan

yang berbahasa arab (kitab kuning). Kelahiran dan Masa Kecil tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang

bernama Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang, dan

pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan

dikaruniai enam anak.

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di

Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di

Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan

Pesantren Siwalan di Sidoarjo.


Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau,

Syekh Mahfudh at-Tarmisi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah,

Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi

1. Perjuangan di Bidang Pendidikan

Nadhatuil Ulama ( NU) tidak saja bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan , tetapi sangat memperhatikan masalah-masalah

pendidikan. Apalagi, di NU terdapat bagian yang khsusus menangani masalah pendidikan yang disebut ma’arif bertugas untuk

membuat pandangan dan program pendidikan atau sekolah yang berada dibawah di bawah naunangan NU.

Tujuan pendidikan ma’arif adalah sebagai berikut;

1. Menumbuhkan jwa pemikiran dan gagasan yang membentuk pandangan hidup bagi anak didik sesuai dengan ahlussunah

waljama’ah.Menanamkan sikap terbuka, watak mandiri, kemampuan bekerja sama dengan pihak lain untuk lebuh baik,

keterampilan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Menciptakan sikap hidup yang berorientasi kepada kehidupan dunia dan ukrhrawi sebagai sebuah kesatuan.

3. Menanamkan penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam sebagi ajaran yang dinamis.

Selain pesantren yang cukup banyak, NU menyelenggarakan juga lembaga-lembaga pendidikan madrasah dan sekolah-sekolah

umum. Sekedar gambaran lembaga pendidikan yang dilaksanakan NU (selain pesantren) adalah sebagai berikut.

a. Roaudhatul Athfal (TK) 3 tahun, SRI 6 tahun

b. SMP NU 3 tahun, SMA NU 3 tahun , SGB NU 4 tahun , SGA NU 3 tahun,

c. Madrasah Menengah Pertama (MMP) NU 3 tahun dan

d. Mu’allimin / Mu’alimat NU 5 tahun. Selain itu, NU memiliki pergurun tinggi.

Demikianlah bagaimana peran NU di bidang pendidikan yang semuanya itu tidak terlepas dari peran K.H. hasyim Asy’ari sebagi

pendirinya. Beliau berpulang ke rahmatullah pada 15 Juli 1947, dengan meninggalkan karya dan peninggalan yang monumental,

terutama paondok pesantren Tebuireng, yang merupakan pesantren tertua dan terbesar di di Jawa Timur

4. Perkembangan Pesantren Tebuireng Jombang

Oleh

UDin Suryana
H. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni singkatan namanya, (lahir di desa

kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah

sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik.

a. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam

bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.

b.

Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah

(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang

ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia lahir pada 17 Februari 1908 di kampung

Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul,

seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun,

ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa

Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim

Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang

Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah,

Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta

dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama

oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai

negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik,

baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga

besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui

bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund
Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran

dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur

dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti

pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang.

Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat

latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian

beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah,

menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-

31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia,

Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan

pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945,

beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di

dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi

anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya

diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden

Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan

karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional,

Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun

1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan

Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor

dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji

Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir

al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan

Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor

Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk

Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

amka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam

memartabatkan agama Islam. Ia bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya,

malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

2. Daftar Karya Buya Hamka1.

1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3.

2. Ditulis dalam huruf Arab Si Sabariah. (1928)

3. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929

4. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).

5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).\

6. Kepentingan melakukan tabligh (1929)

7. Hikmat Isra dan Mikraj.

8. Arkanul Islam (1932) di Makassar.

9. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.

10. Majallah Tentera (4 nomor) 1932, di Makassar.

11. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.

12. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.

13. Bawah Lindungan Kabah (1936) Pedoman

14. Masyarakat,Balai Pustaka.

15. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman

16. Masyarakat, Balai Pustaka.

17. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka

18. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.

19. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.Tuan Direktur 1939.

20. Dijemput mamaknya,1939.

21. Keadilan Ilahy 1939.


22. Tashawwuf Modern 1939.

23. Falsafah Hidup 193921 Lembaga Hidup 1940.

24. . Lembaga Budi 1940.

25. Majallah SEMANGAT ISLAM (Zaman Jepang 1943)

26. Majallah MENARA (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.

27. Negara Islam (1946).

28. lam dan Demokrasi,1946.

29. Revolusi Pikiran,194

30. 30. Revolusi Agama,1946.

31. Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.

32. Dibantingkan ombak masyarakat,1946.

33. Didalam Lembah cita-cita,1946.Sesudah naskah Renville,1947.

34. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.

35. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar.37

36. Ayahku,1950 di Jakarta.

37. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.

38. Mengembara Dilembah Nyl. 1950.

39. Ditepi Sungai Dajlah. 1950.

40. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.

41. Kenangan-kenangan hidup 2.

42. Kenangan-kenangan hidup 3.\

43. Kenangan-kenangan hidup 4.

44. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur s

45. Sejarah Ummat Islam Jilid 2.

46. Sejarah Ummat Islam Jilid

47. Sejarah Ummat Islam Jilid 4.

48. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke

`
oleh

Siti Masyitoh

I. Sultan Syahrir

1. Profil dan Biografi H. Sutan Syhrir

Sutan Syahrir (ejaan lama:Soetan Sjahrir) (lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909 – meninggal di Zurich, Swiss,

9 April 1966 pada umur 57 tahun) adalah seorang politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana

Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Ia

meninggal dalam pengasingan sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta

Syahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Lemari gelar Soetan Palindih dan Puti Siti

Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam. [1] Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad)

di Medan. Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka. Sekolah MULO di

Medan (sekitar tahun 1925)

Syahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, dan membetahkannya bergaul

dengan berbagai buku-buku asing dan ratusan novel Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel de Boer, hotel khusus untuk

tamu-tamu kulit putih.

Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu.

Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan

juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas

Rakyat.

Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Syahrir menjadi seorang bintang. Syahrir bukanlah tipe siswa yang hanya

menyibukkan diri dengan buku-buku pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam klub debat di sekolahnya. Syahrir juga

berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja

Volksuniversiteit.

Aksi sosial Syahrir kemudian menjurus jadi politis. Ketika para pemuda masih terikat dalam perhimpunan-perhimpunan

kedaerahan, pada 20 Februari 1927, Syahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis,

Jong Indonésie. Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres

Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.

Sebagai siswa sekolah menengah, Syahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah himpunan
pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca

koran yang memuat berita pemberontakan PKI1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca para

pelajar sekolah.

Syahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam, Leiden. Di sana, Syahrir

mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh ia berkutat dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas, Ketua

Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Syahrir, meski sebentar. (Kelak Syahrir

menikah kembali dengan Poppy, kakak tertua dari Soedjatmoko dan Miriam Boediardjo).

Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Syahrir yang mencari teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke

kiri, hingga ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup secara kolektif -saling

berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja

pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional.

Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh

Mohammad Hatta. Di awal 1930, pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan aksi

razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh

aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan

agar pergerakan jangan jadi melempem lantaran pemimpinnya dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan.

Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan

pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik. “Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan

menuju kemerdekaan,” katanya.

Pengujung tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional.

Syahrir segera bergabung dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya.

Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia praktekkan di tanah air. Syahrir terjun dalam pergerakan buruh. Ia

memuat banyak tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia juga kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam

forum-forum politik. Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.

Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia memimpin PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir

mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial

Belanda, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal tinimbang Soekarno dengan PNI-nya yang

mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi

massa dan agitasi; secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah
tujuan revolusionernya.

Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan,

kemudian membuang Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul. Hampir setahun dalam kawasan malaria

di Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

2. Perjuangan Sultan Syahrir Pada Masa Pendudukan Jepang

Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis.

Syahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut

kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru

yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.

Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Syahrir, menulis: “Di bawah kepemimpinan Syahrir, kami

bergerak di bawah tanah, menyusun kekuatan subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan tibanya saat-saat

psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan.”

Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh pasukan Sekutu. Syahrir mengetahui perkembangan

Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tak bisa

menangkap berita luar negeri karena disegel oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu,

Syahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.

Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus

karena Jepang sudah menyerah, Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan

sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon secara

positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat

keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan

akan diproklamasikan pada 24 September 1945.

Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah

Jepang dan RI adalah bikinan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16

Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.

3. Nasional Indonesia

Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir jemih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang
punya konsep dan langkah strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan

pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh

pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian

bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.

Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus

analisis ekonorni-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman

dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.

Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno

amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, “Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan

karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan

terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan.”

Dan dia mengecam Soekarno. “Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah

fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita.” Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak

membawa kejernihan.

Perjuangan Kita adalah karya terbesar Syahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven

Digul dan Bandaneira. Manuskrip itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, “Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara

sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk

akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan.”

Terbukti kemudian, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer.

Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana

Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

4. Peristiwa Penculikan Sultan Syahrir

Penculikan Perdana Menteri Sjahrir merupakan peristiwa yang terjadi pada 26 Juni 1946 di Surakarta oleh kelompok oposisi

Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir U dengan pemerintah

Belanda. Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh, sedangkan kabinet yang berkuasa hanya menuntut

pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.

Kelompok Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka

dari Partai Komunis Indonesia. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras.
Presiden Soekarno sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan

kelompok tersebut. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.Tanggal 2 Juli

1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14

pimpinan penculikan.

Presiden Soekarno marah mendengar penyerbuan penjara dan memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di

Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan penculikan. Lt. Kol. Soeharto menolak perintah ini karena dia

tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung

dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol.

Soeharto sebagai perwira keras kepala (koppig).

Kelak Let. Kol. Soeharto menjadi Presiden RI Soeharto dan menerbitkan catatan tentang peristiwa pemberontakan ini dalam

buku otobiografinya Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.

Lt. Kol. Soeharto berpura-pura bersimpati pada pemberontakan dan menawarkan perlindungan pada Mayjen Soedarsono dan ke

14 orang pimpinan di markas resimen tentara di Wiyoro. Malam harinya Lt. Kol. Soeharto membujuk Mayjen Soedarsono dan

para pimpinan pemberontak untuk menghadap Presiden RI di Istana Presiden di Jogyakarta. Secara rahasia, Lt. Kol. Soeharto

juga menghubungi pasukan pengawal Presiden dan memberitahukan rencana kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan

pemberontak.

Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana

Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang

gagal.

5. Diplomasi Sultan Syahrir

Setelah kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih

Presiden Soekarno. Namun pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar

dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946.

Tanpa Syahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan. Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung

Karno, Syahrir tidak berdaya apa-apa. Syahrir mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat. Soekarno-lah

pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang menggelora, rakyat di bekas teritori Hindia Belanda mendukung revolusi.

Kendati demikian, kekuatan raksasa yangsudah dihidupkan Soekarno harus dibendung untuk kemudian diarahkan secara benar,

agar energi itu tak meluap dan justru merusak.


Sebagaimana argumen Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan; tak mungkin revolusi berjalan terlalu lama, revolusi yang

mengguncang ‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat jika tak dikendalikan maka akan meruntuhkan seluruh ‘bangunan’.

Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di

pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet

Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI

pun menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia U, yakni

kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-

kekerasan.

Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan

suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman

kolonialisme pasca¬perang Dunia U. Pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia merupakan

gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dll. Karena itu sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan

tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia U. Mematahkan propaganda itu, Syahrir menginisiasi

penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.

Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di pengujung Desember 1946, Perdana Menteri

Syahrir dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena geram,

dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir

dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya

orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.Meski jatuh-bangun

akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir U sampai dengan Kabinet Sjahrir UI

(1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara

sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggiDiplomasinyakemudianberbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai

komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik.

Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.

Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru

mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet

Sjahrir III), Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir bersama Agus Salim

berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir. Pada 14

Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia,
Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum

kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Van

Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di

gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan

pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.

Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda

menilai kegagalan itu sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan

seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB

menjadi duta besar Belanda di Turki.

Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang

berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.

Syahrir mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh

Lambertus Nicodemus Palar (L.N.) Palar sampai tahun 1950.12]

6. Partai Sosialis Indonesia

Selepas memimpin kabinet, Sutan Syahrir diangkat menjadi penasihat Presiden Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling. Pada

tahun 1948 Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari

gerakan komunis internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pada ajaran Marx-Engels, namun ia menentang

sistem kenegaraan Uni Soviet. Menurutnya pengertian sosialisme adalah menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan

mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia.

7. Hobi dirgantara dan musik

Meskipun perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering dijuluki Si Kancil, Sutan Syahrir adalah salah satupenggemar

olah raga dirgantara, pernah menerbangkan pesawat kecil dari Jakarta ke Yogyakarta pada kesempatan kunjungan ke Yogyakarta.

Di samping itu juga senang sekali dengan musik klasik, di mana beliau juga bisa memainkan biola.

8. Akhir hidup

Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958[3],

hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga

1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu Syahrir diijinkan untuk berobat ke
Zürich Swis, salah seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkan beliau di

Bandara Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo degan air mata, dan akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.

9. Karya Sultan Syahrir

a. Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah “Daulat Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun 1931

– 1940)

b. Pergerakan Sekerja, tahun 1933

c. Perjuangan Kita, tahun 1945

d. Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan karangan-karangan dari penjara Cipinang dan tempat

pembuangan di Digul dan Banda-Neira, dari tahun 1934 sampau 1938).

e. Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Indonesische Overpeinzingen oleh HB Yassin)

f. Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari “Indonesische Overpeinzingen” oleh Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2

karangan Sutan Sjahrir)

g. Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB Yassin dari Indonesische Overpeinzingen dan Bagian n Out of Exile)

h. Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah “Suara Sosialis” tahun 1952- 1953)

i. Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan pada Asian Socialist Conference di Rangoon, tahun

1953)

j. Karangan-karangan dalam “Sikap”, “Suara Sosialis” dan majalah-majalah lain

k. Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir diterbitkan oleh Leppenas)

Penyusus

Hardi Priyono

J. E.F.E. Douwes Dekker

1. Biografi E.F.E. Douwes Dekker

Lahir 8 Oktober 1879

Pasuruan, Hindia-Belanda
Meninggal 28 Agustus 1950 (umur 70)

Bandung, Jawa Barat, Indonesia

Pekerjaan Politikus, Wartawan, Aktivis, Penulis

Pasangan Clara Charlotte Deije

Johanna P. Mossel

Haroemi Wanasita (Nelly Kruymel)

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi; lahir di

Pasuruan, Hindia-Belanda, 8 Oktober 1879 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun) adalah

seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.

Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan

pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama “Nusantara” sebagai nama untuk

Hindia-Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari “Tiga Serangkai” pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia,

selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi; lahir di

Pasuruan, Hindia-Belanda, 8 Oktober 1879 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun) adalah

seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.

Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan

pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama “Nusantara” sebagai nama untuk

Hindia-Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari “Tiga Serangkai” pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia,

selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.

Kehidupan pribadi

Ernest adalah anak ketiga (dari empat bersaudara) pasangan Auguste Henri Edouard Douwes Dekker (Belanda totok), seorang

pialang bursa efek dan agen bank,[1] dan Louisa Margaretha Neumann, seorang Indo dari ayah Jerman dan ibu Jawa. Dengan

pekerjaannya itu, Auguste termasuk orang yang berpenghasilan tinggi. Ernest, biasa dipanggil “Nes” oleh orang-orang dekatnya

atau “DD” oleh rekan-rekan seperjuangannya, masih terhitung saudara dari pengarang buku Max Havelaar, yaitu Eduard Douwes

Dekker (Multatuli), yang merupakan adik kakeknya.[2] Olaf Douwes Dekker, cucu dari Guido, saudaranya, menjadi penyair di

Breda, Belanda.
DD menikah dengan Clara Charlotte Deije (1885-1968), anak dokter campuran Jerman-Belanda pada tahun 1903, dan mendapat

lima anak, namun dua di antaranya meninggal sewaktu bayi (keduanya laki-laki). Yang bertahan hidup semuanya perempuan.

Perkawinan ini kandas pada tahun 1919 dan keduanya bercerai.

Kemudian DD menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel (1905-1978), seorang Indo keturunan Yahudi, pada tahun 1927.

Johanna adalah guru yang banyak membantu kegiatan kesekretariatan Ksatrian Instituut, sekolah yang didirikan DD. Dari

perkawinan ini mereka tidak dikaruniai anak. Di saat DD dibuang ke Suriname pada tahun 1941 pasangan ini harus berpisah, dan

di kala itu kemudian Johanna menikah dengan Djafar Kartodiredjo, yang juga merupakan seorang Indo (sebelumnya dikenal

sebagai Arthur Kolmus), tanpa perceraian resmi terlebih dahulu. Tidak jelas apakah DD mengetahui pernikahan ini karena ia

selama dalam pengasingan tetap berkirim surat namun tidak dibalas.

Sewaktu DD “kabur” dari Suriname dan menetap sebentar di Belanda (1946), ia menjadi dekat dengan perawat yang

mengasuhnya, Nelly Alberta Geertzema née Kruymel, seorang Indo yang berstatus janda beranak satu. Nelly kemudian

menemani DD yang menggunakan nama samaran pulang ke Indonesia agar tidak ditangkap intelijen Belanda. Mengetahui bahwa

Johanna telah menikah dengan Djafar, DD tidak lama kemudian menikahi Nelly, pada tahun 1947. DD kemudian menggunakan

nama Danoedirdja Setiabuddhi dan Nelly menggunakan nama Haroemi Wanasita, nama-nama yang diusulkan oleh Sukarno.

Sepeninggal DD, Haroemi menikah dengan Wayne E. Evans pada tahun 1964 dan kini tinggal di Amerika Serikat.

Walaupun mencintai anak-anaknya, DD tampaknya terlalu berfokus pada perjuangan idealismenya sehingga perhatian pada

keluarga agak kurang dalam. Ia pernah berkata kepada kakak perempuannya, Adelin, kalau yang ia perjuangkan adalah untuk

memberi masa depan yang baik kepada anak-anaknya di Hindia kelak yang merdeka. Pada kenyataannya, semua anaknya

meninggalkan Indonesia menuju ke Belanda ketika Jepang masuk. Demikian pula semua saudaranya, tidak ada yang memilih

menjadi warga negara Indonesia.

Masa muda

Pendidikan dasar ditempuh Nes di Pasuruan. Sekolah lanjutan pertama-tama diteruskan ke HBS di Surabaya, lalu pindah ke

Gymnasium Willem III, suatu sekolah elit di Batavia. Selepas lulus sekolah ia bekerja di perkebunan kopi “Soember Doeren” di

Malang, Jawa Timur. Di sana ia menyaksikan perlakuan semena-mena yang dialami pekerja kebun, dan sering kali membela

mereka. Tindakannya itu membuat ia kurang disukai rekan-rekan kerja, namun disukai pegawai-pegawai bawahannya. Akibat

konflik dengan manajernya, ia dipindah ke perkebunan tebu “Padjarakan” di Kraksaan sebagai laboran.[1] Sekali lagi, dia terlibat

konflik dengan manajemen karena urusan pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan padi petani. Akibatnya, ia dipecat.

Perang Boer

Menganggur dan kematian mendadak ibunya, membuat Nes memutuskan berangkat ke Afrika Selatan pada tahun 1899 untuk
ikut dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris.[2] Ia bahkan menjadi warga negara Republik Transvaal.[1] Beberapa bulan

kemudian kedua saudara laki-lakinya, Julius dan Guido, menyusul. Nes tertangkap lalu dipenjara di suatu kamp di Ceylon. Di

sana ia mulai berkenalan dengan sastera India, dan perlahan-lahan pemikirannya mulai terbuka akan perlakuan tidak adil

pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap warganya.

Sebagai wartawan yang kritis dan aktivitas awal

DD dipulangkan ke Hindia Belanda pada tahun 1902, dan bekerja sebagai agen pengiriman KPM, perusahaan pengiriman milik

negara. Penghasilannya yang lumayan membuatnya berani menyunting Clara Charlotte Deije, putri seorang dokter asal Jerman

yang tinggal di Hindia Belanda, pada tahun 1903.

Kemampuannya menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter

koran Semarang terkemuka, De Locomotief. Di sinilah ia mulai merintis kemampuannya dalam berorganisasi. Tugas-tugas

jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan

kolonial. Ketika ia menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad, 1907, tulisan-tulisannya menjadi semakin pro kaum Indo dan

pribumi. Dua seri artikel yang tajam dibuatnya pada tahun 1908. Seri pertama artikel dimuat Februari 1908 di surat kabar

Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant setelah versi bahasa Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie Wort, “Het bankroet der

ethische principes in Nederlandsch Oost-Indie” (“Kebangkrutan prinsip etis di Hindia Belanda”) kemudian pindah di

Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar tujuh bulan kemudian (akhir Agustus) seri tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang

sama, “Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?” (“Bagaimana caranya Belanda dapat segera kehilangan koloni-

koloninya?”, versi Jermannya berjudul “Hollands kolonialer Untergang”). Kembali kebijakan politik etis dikritiknya. Tulisan-

tulisan ini membuatnya mulai masuk dalam radar intelijen penguasa.[3]

Rumah DD, pada saat yang sama, yang terletak di dekat Stovia menjadi tempat berkumpul para perintis gerakan kebangkitan

nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo, untuk belajar dan berdiskusi. Budi Utomo (BO), organisasi yang

diklaim sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres pertama BO di Yogyakarta.

Aspek pendidikan tak luput dari perhatian DD. Pada tahun 1910 (8 Maret) ia turut membidani lahirnya Indische Universiteit

Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana untuk memungkinkan dibangunnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) di

Hindia Belanda. Di dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten dan perwakilan dari organisasi

pendidikan kaum Tionghoa THHK.

Indische Partij

Karena menganggap BO terbatas pada masalah kebudayaan (Jawa), DD tidak banyak terlibat di dalamnya. Sebagai seorang Indo,

ia terdiskriminasi oleh orang Belanda murni (“totok” atau trekkers). Sebagai contoh, orang Indo tidak dapat menempati posisi-
posisi kunci pemerintah karena tingkat pendidikannya. Mereka dapat mengisi posisi-posisi menengah dengan gaji lumayan

tinggi. Untuk posisi yang sama, mereka mendapat gaji yang lebih tinggi daripada pribumi. Namun, akibat politik etis, posisi

mereka dipersulit karena pemerintah koloni mulai memberikan tempat pada orang-orang pribumi untuk posisi-posisi yang

biasanya diisi oleh Indo. Tentu saja pemberi gaji lebih suka memilih orang pribumi karena mereka dibayar lebih rendah.

Keprihatinan orang Indo ini dimanfaatkan oleh DD untuk memasukkan idenya tentang pemerintahan sendiri Hindia Belanda oleh

orang-orang asli Hindia Belanda (Indiërs) yang bercorak inklusif dan mendobrak batasan ras dan suku. Pandangan ini dapat

dikatakan original, karena semua orang pada masa itu lebih aktif pada kelompok ras atau sukunya masing-masing.

Berangkat dari organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde, ia menyampaikan gagasan suatu “Indië” (Hindia) baru yang

dipimpin oleh warganya sendiri, bukan oleh pendatang. Ironisnya, di kalangan Indo ia mendapat sambutan hangat hanya di

kalangan kecil saja, karena sebagian besar dari mereka lebih suka dengan status quo, meskipun kaum Indo direndahkan oleh

kelompok orang Eropa “murni” toh mereka masih dapat dilayani oleh pribumi.

Tidak puas karena Indische Bond dan Insulinde tidak bisa bersatu, pada tahun 1912 Nes bersama-sama dengan Cipto

Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan partai berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij (“Partai

Hindia”).[1][4] Kampanye ke beberapa kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam waktu singkat. Semarang

mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini sangat populer di kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh

kelompok Tionghoa dan pribumi, meskipun tetap dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-kolonial dan

bertujuan akhir kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda setahun kemudian, 1913 karena

dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.

Akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi di De Expres, “Als ik eens Nederlander was” (Seandainya aku orang Belanda),

ketiganya lalu diasingkan ke Belanda, karena DD dan Cipto mendukung Suwardi.

Dalam pembuangan di Eropa

Universitas Zurich, tempat Ernest Douwes Dekker menempuh pendidikan tingginya.

Masa di Eropa dimanfaatkan oleh Nes untuk mengambil program doktor di Universitas Zürich, Swiss, dalam bidang ekonomi. Di

sini ia tinggal bersama-sama keluarganya. Gelar doktor diperoleh secara agak kontroversial dan dengan nilai “serendah-

rendahnya”, menurut istilah salah satu pengujinya. Karena di Swis ia terlibat konspirasi dengan kaum revolusioner India, ia

ditangkap di Hong Kong dan diadili dan ditahan di Singapura (1918). Setelah dua tahun dipenjara, ia pulang ke Hindia Belanda

1920.

Kegiatan jurnalistik dan Peristiwa Polanharjo


Sekembalinya ia ke Batavia setelah dipenjara DD aktif kembali dalam dunia jurnalistik dan organisasi. Ia menjadi redaktur organ

informasi Insulinde yang bernama De Beweging. Ia menulis beberapa seri artikel yang banyak menyindir kalangan pro-koloni

serta sikap kebanyakan kaumnya: kaum Indo. Targetnya sebetulnya adalah de-eropanisasi orang Indo, agar mereka menyadari

bahwa demi masa depan mereka berada di pihak pribumi, bukan seperti yang terjadi, berpihak ke Belanda. Organisasi kaum Indo

yang baru dibentuk, Indisch Europeesch Verbond (IEV), dikritiknya dalam seri tulisan “De tien geboden” (Sepuluh Perintah

Tuhan) dan “Njo Indrik” (Sinyo Hendrik). Pada seri yang disebut terakhir, IEV dicap olehnya sebagai “liga yang konyol dan

kekanak-kanakan”.

Sejumlah pamflet lepas yang cukup dikenal juga ditulisnya pada periode ini, seperti “Een Natie in de maak” (Suatu bangsa

tengah terbentuk) dan “Ons volk en het buitenlandsche kapitaal” (Bangsa kita dan modal asing).

Pada rentang masa ini dibentuk pula Nationaal Indische Partij (NIP), sebagai organisasi pelanjut Indische Partij yang telah

dilarang. Pembentukan NIP menimbulkan perpecahan di kalangan anggota Insulinde antara yang moderat (kebanyakan kalangan

Indo) dan yang progresif (menginginkan pemerintahan sendiri, kebanyakan orang Indonesia pribumi). NIP akhirnya bernasib

sama seperti IP: tidak diizinkan oleh Pemerintah.

Pada tahun 1919, DD terlibat (atau tersangkut) dalam peristiwa protes dan kerusuhan petani/buruh tani di perkebunan tembakau

Polanharjo, Klaten. Ia terkena kasus ini karena dianggap mengompori para petani dalam pertemuan mereka dengan orang-orang

Insulinde cabang Surakarta, yang ia hadiri pula. Pengadilan dilakukan pada tahun 1920 di Semarang. Hasilnya, ia dibebaskan;

namun kasus baru menyusul dari Batavia: ia dituduh menulis hasutan di surat kabar yang dipimpinnya. Kali ini ia harus

melindungi seseorang (sebagai redaktur De Beweging) yang menulis suatu komentar yang di dalamnya tertulis “Membebaskan

negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!”. Yang membuatnya kecewa adalah ternyata alasan penyelidikan

bukanlah semata tulisan itu, melainkan “mentalitas” sang penulis (dan dituduhkan ke DD). Setelah melalui pembelaan yang

panjang, DD divonis bebas oleh pengadilan.

Aktivitas pendidikan dan Ksatrian Instituut

Sekeluarnya dari tahanan dan rentetan pengadilan, DD cenderung meninggalkan kegiatan jurnalistik dan menyibukkan diri dalam

penulisan sejumlah buku semi-ilmiah dan melakukan penangkaran anjing gembala Jerman dan aktif dalam organisasinya.

Prestasinya cukup mengesankan, karena salah satu anjingnya memenangi kontes dan bahkan mampu menjawab beberapa

pertanyaan berhitung dan menjawab beberapa pertanyaan tertulis.

Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa, ia kemudian ikut dalam dunia

pendidikan, dengan mendirikan sekolah “Ksatrian Instituut” (KI) di Bandung. Ia banyak membuat materi pelajaran sendiri yang

instruksinya diberikan dalam bahasa Belanda. KI kemudian mengembangkan pendidikan bisnis, namun di dalamnya diberikan
pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang materinya ditulis oleh Nes sendiri. Akibat isi pelajaran sejarah ini yang anti-

kolonial dan pro-Jepang, pada tahun 1933 buku-bukunya disita oleh pemerintah Keresidenan Bandung dan kemudian dibakar.

Pada saat itu Jepang mulai mengembangkan kekuatan militer dan politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke Korea dan

Tiongkok. DD kemudian juga dilarang mengajar.

Kegiatan sebelum pembuangan

Karena dilarang mengajar, DD kemudian mencari penghasilan dengan bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Jakarta. Ini

membuatnya dekat dengan Mohammad Husni Thamrin, seorang wakil pribumi di Volksraad. Pada saat yang sama, pemerintah

Hindia Belanda masih trauma akibat pemberontakan komunis (ISDV) tahun 1927, memecahkan masalah ekonomi akibat krisis

keuangan 1929, dan harus menghadapi perkembangan fasisme ala Nazi di kalangan warga Eropa (Europaeer).

Serbuan Jerman ke Denmark dan Norwegia, dan akhirnya ke Belanda, pada tahun 1940 mengakibatkan ditangkapnya ribuan

orang Jerman di Hindia Belanda, berikut orang-orang Eropa lain yang diduga berafiliasi Nazi. DD yang memang sudah

“dipantau”, akhirnya ikut digaruk karena dianggap kolaborator Jepang, yang mulai menyerang Indocina Perancis. Ia juga dituduh

komunis.

Pengasingan di Suriname

DD ditangkap dan dibuang ke Suriname pada tahun 1941 melalui Belanda. Di sana ia ditempatkan di suatu kamp jauh di

pedalaman Sungai Suriname yang bernama Jodensavanne (“Padang Yahudi”).[2] Tempat itu pada abad ke-17 hingga ke-19

pernah menjadi tempat pemukiman orang Yahudi yang kemudian ditinggalkan karena kemudian banyak pendatang yang

membuat keonaran.

Kondisi kehidupan di kamp sangat memprihatinkan. Sampai-sampai DD, yang waktu itu sudah memasuki usia 60-an, sempat

kehilangan kemampuan melihat. Di sini kehidupannya sangat tertekan karena ia sangat merindukan keluarganya. Surat-menyurat

dilakukannya melalui Palang Merah Internasional dan harus melalui sensor.

Ketika kabar berakhirnya perang berakhir, para interniran (buangan) di sana tidak segera dibebaskan. Baru menjelang

pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan dikirim ke Belanda, termasuk DD. Di Belanda ia bertemu dengan Nelly

Albertina Gertzema nee Kruymel, seorang perawat. Nelly kemudian menemaninya kembali ke Indonesia. Kepulangan ke

Indonesia juga melalui petualangan yang mendebarkan karena DD harus mengganti nama dan menghindari petugas intelijen di

Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya mereka berhasil tiba di Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia pada waktu itu pada tanggal

2 Januari 1947.

Perjuangan di masa Revolusi Kemerdekaan dan akhir hayat

Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik Indonesia. Pertama-tama ia menjabat
sebagai menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya

berturut-turut ia menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan dan ekonomi di

delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir sebagai kepala seksi penulisan sejarah (historiografi)

di bawah Kementerian Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap “komunis” meskipun ini sama sekali tidak

benar.

Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu rumah di Kaliurang. Dan dari rumah di

Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam

rangka “Aksi Polisionil”. Setelah diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.

Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah berjanji tak akan melibatkan diri dalam

politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu

menempati rumah lama (dijulukinya “Djiwa Djuwita”) di Lembangweg.

Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain adalah mengumpulkan material

untuk penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar konsekwent) dan merevisi buku sejarah tulisannya.

Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya; 29 Agustus 1950 versi van der Veur,

2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.

Penghargaan

Jasa DD dalam perintisan kemerdekaan diekspresikan dalam banyak hal. Di setiap kota besar dapat dijumpai jalan yang

dinamakan menurut namanya: Setiabudi. Jalan Lembang di Bandung utara, tempat rumahnya berdiri, sekarang bernama Jalan

Setiabudi. Di Jakarta bahkan namanya dipakai sebagai nama suatu kecamatan, yakni Kecamatan Setiabudi di Jakarta Selatan.

Di Belanda, nama DD juga dihormati sebagai orang yang berjasa dalam meluruskan arah kolonialisme (meskipun hampir

sepanjang hidupnya ia berseberangan posisi politik dengan pemerintah kolonial Belanda; bahkan dituduh “pengkhianat”).

oleh

Sonya Diah Wulandari

K. Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman

1. Profil dan Biografi Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman

Soedirman lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916 – meninggal di Magelang, Jawa tengah, 29
Januari 1950 pada umur 34 tahun. Soedirman dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana. Ayahnya, Karsid Kartowirodji,

adalah seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, dan ibunya, Siyem, adalah keturunan Wedana Rembang. Soedirman

sejak umur 8 bulan diangkat sebagai anak oleh R. Tjokrosoenaryo, seorang asisten Wedana Rembang yang masih merupakan

saudara dari Siyem.

Pendidikan

Soedirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Kemudian ia melanjutkan ke HIK (sekolah guru)

Muhammadiyah, Surakarta tapi tidak sampai tamat. Soedirman saat itu juga giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Setelah

itu ia menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.

Karir Militer

• Ketika jaman pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor di bawah pelatihan tentara Jepang.

• Setelah menyelesaikan pendidikan PETA,ia menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi

Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik

Iindonesia (Panglima TKR).

• Pada masa pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi anggotaDewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas.

Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.

Jendral Besar Soedirman lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916. Jenderal Sudirman merupakan salah

satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah

menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Saat usianya masih

31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia

berlatarbelakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan. Ketika kedudukan Jepang,

ia masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di

Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang

Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak peduli pada keadaan dirinya

sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan

termuda Republik ini.

Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu

mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen

dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan Negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam

keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus dipandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan
memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebut juga

merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini. Sudirman memperoleh pendidikan formal dari

Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjutkan ke HIS (sekolah

guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka

Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa pendidik dan

kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.

Sementara pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah

selesai pendidikan, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas ini sering

memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap

tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di

Banyumas. Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR)

terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR

tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya

pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat

Jenderal tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya, tapi karena prestasinya.

Ketika pasukan sekutu dating ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng

. karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKRyang

dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang

sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu

akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.

Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota

Negara RI berada di Yogyakarta sebab kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di

Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang tinggal satu yang berfungsi.

Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta

beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah

menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena

dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.

Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia
berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali

sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi keadaan pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia

sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan

Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.

Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.

Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun.

Pada tanggal 29 Januari 1950, Panglima besar ini meninggal dunia di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pembela

Kemerdekaan.

Penyusun

Murtini

L. Cut Nyak Din

1. Profil Dan Biografi Cut Nyak Din

Letaknya

Lampadang adalah kampung tempat kelahiran Cut Nyak Din. Luasnya kira-kira 10 ha. Kampung ini termasuk wilayah VI Mukim

dengan ibu kotanya Paukan Bada. Wilayah VI Mukim terletak di pantai utara bagian barat Aceh Besar. Di bagian utara wilayah

ini berbatasan dengan laut dan terdapat Uleele sebagai pelabuhannya. Antara Tanjung dan Uleele terdapat sebuah danau yang

tenang, dan dapat dipakai untuk berlabuh perahu dan kapal. Di bagian timtir wilayah ini, yaitu yang ber¬batasan dengan

Meuraksa terdapat Kampung Bitae dan Lam¬ja.mu. Di bagian selatan dan barat daerah ini dipagari oleh Pegunungan Ngalau

Ngarai Beradin. Di bagian pantainya ter¬dapat Kampung Lamtengah, tempat kelahiran penyair Aceh terkenal Dulkarim (Abdul

Karim). Di Kampung Lampagar terdapat makam Sultan Sulaiman dan Lamtah yang dihancurkan oleh serangan Belanda dalam

tahun 1875. Di bagian selatan Peukan Bada, di samping Cut Cako terdapat Ngalau Ngarai Beradin, sebuah tempat yang strategis

dan menjadi tempat bertahan pejuang Aceh dan kemudian Kampung Lampisang tempat Cut Nyak Din dan Teuku Umar

membangun rumah tangga setelah kembali dari pengungsian.

Asal-usul Keturunan Cut Nyak Din

Cut Nyak Din dilahirkan kira-kira dalam tahun 1850, di Kampung Lampadang, wilayah VI Mukim, Aceh Besar. Ayahnya

bernama Nanta Muda Seutia, berasal dari turunan Makh¬dum Sati, seorang perantau dari daerah Sumatra Barat. Ia ada¬lah cikal-
bakal yang membangun wilayah VI Mukim menjadi lebih terkenal dan makmur.

Ibunya seorang turunan bangsawan yang terpandang dari Kampung Lampagar. Karena istrinya inilah maka nama Nanta Muda

Seutia makin terkenal dan dihormati oleh rakyat VI Mukim.

Kelahiran Cut Nyak Din Dalam Masa Pembangunan VI Mukim

Ketika rakyat Mukim di bawah Uleebalang Nanta sedang tekun membangun daerahnya, Sultan Alaidin Muhammad Syah wafat.

Karena putra mahkota Sulaiman belum dewasa, maka Teuku Ibrahim sendiri ditunjuk untuk memangku jabatan sul¬tan. Ketika

Teuku Ibrahim menjalankan tugas dan pindah ke istana, Sulaiman yang masih kecil itu dititipkannya di VI Mu¬kim untuk

dipelihara. Selanjutnya Teuku Ibrahim berusaha mencari dukungan pada Panglima Polim untuk memperkuat kedudukannya.

Tindakan Teuku Ibrahim ini tidak disetujui oleh Nanta Muda Seutia. Ia melihat bahwa Panglima Polim mempunyai tujuan

tertentu seperti pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Muhamad Syah. Panglima Polim dari Sagi XXII Mukim pernah

melakukan makar terhadap sultan. Karena itu Nanta secara diam-diam mengadakan persekutuan dengan Teuku Baid dari Sagi

XXII dan Teuku Ujung kepala Mukim Lamnga untuk mencegah maksud jahat dari Teuku Ibrahim. Kemudian ia berusaha

mencari dukungan lagi pada Abbas seorang ulama terkenal dari Kota Karang dan Haji Said, seorang ulama dari Meuraksa.

Hubungan dengan para ulama ini sudah terjalin akrab seperti saudara sendiri dan dinyatakan dalam suatu ikrar bahwa mereka

akan sehidup semati dalam menghadapi lawan politik-nya. Demikianlah usaha Nanta mendukung Sulaiman untuk menduduki

tahta kesultanan.

Dengan keputusan tersebut maka pemuda itu dijatuhi hukuman mati pula. Derni¬kian keputusan pengadilan itu. Akan tetapi

keputusan ini tidak bijaksana apabila dilakukan terhadap orang yang kurang waras. Karena itu pihak Haji Said minta

pertanggungjawaban kepada keluarga pemuda yang melakukan penikaman itu. Demikian pula rakyat VI Mukim mendukung

tuntutan Haji Said.

Sultan sendiri dalam peristiwa ini tidak mau turun tangan untuk mendamaikan kedua daerah ini. Maka permusuhan kedua daerah

ini terus berkepanjangan tiada hentinya. Sultan menganggap hal ini tidak mengganggu kestabilan politik dan kedudukannya

sebagai penguasa.

Sementara itu rakyat VI Mukim terus mengadakan ancaman dan tekanan terhadap Nek dan pendukungnya. Karena tekan¬an dan

desakan yang dilancarkan oleh rakyat VI Mukim, maka Nek merasa goyang dan terancam kedudukannya. Karena itu Nek

meletakkan jabatannya. Kesempatan yang baik ini diman¬faatkan oleh Nanta. Ia menduduki jabatan yang telah dilepas Nek.

Kedudukan Nanta makin kuat karena didukung oleh rakyat VI Mukim. Karena pimpinan yang ditunjukkan Nanta, ia diangkat

oleh rakyat menjadi “potro”.


Selanjutnya untuk menghadapi Meuraksa, Nanta menyusun kekuatan dan membangun benteng-benteng yang kuat. Ketika rakyat

VI Mukim sedang sibuk dalam membangun benteng pertahanan di sepanjang Sungai Ning dan Rawa Cang-kul, sebagai daerah

perbatasan dengan Meuraksa, maka lahirlah Cut Nyak Din. Dan bertepatan dengan itu pula wilayah VI Mukim jatuh ke tangan

Nanta secara penuh.

Kelahiran Cut Nyak Din disambut oleh rakyat VI Mukim dengan gembira. Rakyat naik turun ke rumah Nanta untuk

mengucapkan selamat atas kelahiran Cut Nyak Din. Sebagai rasa sukur Nanta mengadakan selamatan dan mengundang

rakyatnya. Dalam upacara ini (turun mandi) diresmikanlah nama Cut Nyak Din di muka para hadirin yang diundang.

1.1 Perkawinan Cut Nyak Din

Seperti yang telah diutarakan di atas, Cut Nyak Din lahir ketika rakyat VI Mukim sedang giat membangun benteng pertahanan

untuk menghadapi Meuraksa. Perselisihan kedua wi¬layah ini terus berlanjut. Masing-masing pihak menunjukkan kekuatan dan

kekuasaan.

Cut Nyak Din makin terkenal di wilayah VI Mukim. Parasnya yang cantik menawan hati setiap pemuda, sehingga langkah dan

geraknya tidak lepas dan intaian pemuda di kampungnya. Tingkah-laku dan tutur-katanya menarik perhatian orang tua dan

menaruh minat untuk mengambilnya sebagai menantu.

Dari sekian banyak yang datang meminang, yang diterima ialah lamaran dari Teuku Cik Ibrahim Lamnga.16) Teuku Cik Ibrahim

Lamnga adalah anak Teuku Abbas dari Ujung Aron. Teuku Abbas adalah seorang uleebalang yang gagah-perkasa dan

mempunyai kekuasaan yang luas dan meliputi daerah pantai. Pangkat dan kedudukannya langsung diterima dari sultan Aceh.

Yang lebih menarik hati Nanta, bahwa Teuku Abbas pernah menjadi sekutunya dalam menghadapi ketegangan antara VI Mukim

dengan Meuraksa. Sedang Teuku Cik Ibrahim Lamnga seorang pemuda yang taat pada agama dan berpandangan luas. Ia seorang

alim lepasan pendidikan agama dari Dayan Bitay. Karena itu tidak diragukan lagi akan kebaik¬an dan budi bahasanya.

Teuku Cik Ibrahim seminggu sekali datang ke Lampadang untuk melihat calon istrinya, Cut Nyak Din, sambil membawa oleh-

oleh dari Teuku Abbas kepada Nanta, calon mertuanya. Perbuatan yang baik ini terus dilakukan Teuku Cik Ibrahim Lamnga

sampai perkawinannya dirayakan. Dalam masa ini pula Cut Nyak Din terus mendapat bimbingan dan pengawasan dari orang

tuanya untuk memasuki jenjang rumah-tangganya kelak. Berkat bimbingan yang terus-menerus, Cut Nyak Din dapat mengerti

akan tugas dan kewajibannya terhadap suami. Dan mengerti bagaimana mengatur rumah-tangga yang baik dan harmonis.

Setelah umur Cut Nyak Din dirasa cukup, yaitu kira-kira 12 tahun, tibalah saat peresmian pernikahannya. Nanta mengeluarkan

harta kekayaannya untuk memeriahkan pesta perkawinan Cut Nyak Din. Rakyat di Lampadang sibuk menyiapkan segala

peralatan untuk menyambut kedatangan mem¬pelai laki-laki, Teuku Cik Ibrahim. Ibu-ibu sibuk menyiapkan semua yang

diperlukan, sehingga rumah Nanta kelihatan sibuk Siang dan malam untuk menyambut perkawinan Cut Nyak Din. Rakyat turut
serta menyumbangkan tenaga dan harta ala kadar¬nya. Tokoh-tokoh penting dan ulama-ulama tidak ketinggalan turut datang

untuk mengucapkan kata selamat kepada kedua mempelai.

Untuk lebih memeriahkan pernikahan itu, Nanta men-datangkan penyair terkenal Dulkarim (Abdul Karim) untuk membawakan

syairnya di hadapan para undangan.17) Dengan suara yang merdu Dulkarim membawakan syairnya yang bernafaskan agama.

Hikayat yang mengandung ajaran dan tamsil ibarat sangat berguna bagi pegangan hidup, terutama bagi kedua mempelai. Suara

yang dikumandangkan Dulkarim dapat meresap ke hati hadirin dan merasa puas; begitu juga Cut Nyak Din dan Teuku Cik

Ibrahim Lamnga. Syair Dulkarim merupa¬kan tongkat pegangan untuk menempuh hidup baru.

Kemudian, setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga, Cut Nyak Din dan suaminya ,Teuku Cik Ibrahim pindah ke tempat

lain, ke rumah yang telah disediakan Nanta untuk mereka. Rumah tangga mereka berjalan baik dan cukup harmonis. Masa-masa

bahagia terus mereka lalui dan nikmati dan ke¬mudian menjadi kenyataan. Setelah setahun kemudian mereka dianugerahi

seorang anak. Tali perkawinannya makin kokoh. Suami-istri ini merasa bahagia atas kehadiran anak mereka yang pertama. Cut

Nyak Din menyibukkan diri dalam mengurus dan merawat anaknya, sedang Teuku Ibrahim terus berusaha untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya untuk anak dan istrinya.

Meneruskan Perjuangan

Berita gugurnya Teuku Umar telah tersebar luas. Rakyat Aceh dalam suasana duka cita. Pihak Belanda sangat gembira dengan

mempertontonkan kepala Teuku Umar kepada rakyat Aceh sebagai suatu kemenangan yang dicapainya. Sebaliknya rakyat Aceh

telah kehilangan seorang putranya yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk pertahankan tanah-air dan bangsanya.

Patut diberikan kata pujian, karena Cut Nyak Din Men-dengar berita ini hatinya tenang dan tabah. Sebagai kesetiaan pada

suaminya ia telah memerintahkan pada Pang Laat, supa-ya Teuku Umar dimakamkan di Desa Mugo. Semua ini telah dapat

terlaksana, walaupun kemudian dibongkar oleh tentara Belanda, untuk dihina di depan mata rakyat yang mencintai¬nya.

Tindakan keji yang dilakukan oleh tentara Belanda mem¬buat Cut Nyak Din semakin bulat tekadnya. la berjanji, se¬bagai

kesetiaan kepada suaminya akan meneruskan perjuang¬an sampai nyawa berpidah dari badan, seperti ia telah pernah bersumpah

setia pada suaminya yang pertama Teuku Cik Ibrahim Lamnga.

ud Syah dan Panglima Polim terus aktif ‘mengoirian-dokan perlawanan terhadap Belanda.3) Karena itu Van Heutsz terus

mengerahkan kekuatannya untuk membersihkan daerah ini. Di samping itu tidak kalah pentingnya peranan Snouck Hurgronye. Ia

adalah otak dan perencana setiap langkah yang akan dilakukan oleh Van Heutsz. Pejuang Aceh dengan tekad yang bulat terus

memberikan perlawanan. Pertempuran terus meluas dari Garus menjalar ke Glee Gapui, Grong-Grong, Pa¬dang Tiji dan

Bereumeum, tetapi sultan dapat melepaskan diri dan setiap kepungan yang dilakukan tentara Van Heutsz. Kemudian ia beserta

rombongan memindahkan markasnya ke Gelumpang Minyeuk.


Karena kegagalan Van Heutsz untuk menangkap sultan, Van Heutsz dengan nasihat Snouck Hurgronye melakukan penangkapan

terhadap istri dan keluarga para pejuang dan kemudian ditahan sebagai Sandra. Kemudian Belanda mengeluarkan ancaman

kepada para pejuang Aceh, barang siapa yang tidak menyerah, istrinya akan menjadi ganti untuk men¬jalani hukuman. Taktik ini

sangat berhasil. pemikianlah maka Manteri Garus menyerah kepada Belanda, karena ingin menyelamatkan anak-istrinya dan

tawanan Belanda.

Demikianlah sultan selalu bergerak cepat, kadang-kadang menjauh dan musuh, tetapi kadang-kadang mendekati tempat musuh

dan mengadakan serangan yang tiba-tiba. Karena serang¬an yang dilakukan terus-menerus oleh tentara Belanda, maka sultan dan

Palinglma Polim memperkuat pertahanannya di Ba¬tee Ilek. Benteng ini belum pernah terkalahkan oleh Belanda. Karena itu Van

Heutsz mengirimkan ekspedisi khusus untuk menyerang benteng ini. Penyerangan ini dapat berhasil se¬telah mengorbankan

tentaranya yang banyak. Setelah benteng ini jatuh, Panglima Polim bergerak ke arah timur dan memim¬pin rakyat daerah Pasai

untuk mengadakan perlawanan. Sul¬tan dan pengiringnya bergerak ke tanah Gayo dan terus meng-adakan propaganda kepada

rakyat secara maraton keliling tanah Aceh. Setiap daerah yang dikunjungi sultan mendapat sambutan yang hangat. Kemudian

sultan kembali ke daerah Pidie untuk meneruskan perlawanan.

Untuk mengikuti jejak langkah sultan, Van Daalen ditu-gaskan dengan pasukannya bergerak ke wilayah timur. Dari daerah

Peusangon pasukannya menembus Bukit Barisan ke jantung tanah Aceh, tanah Gayo dan melalui Beunteung terus ke Meulaboh.

Selama dua bulan Van Daalen mengadakan pe-ngejaran, tetapi tidak membawa hasi1.

Semangat perlawanan Cut Nyak Din tidak pernah padam. Ia terus mengobarkan semangat pengikut-pengikutnya dan

menyampaikan seruannya kepada seluruh rakyat Aceh untuk meneruskan perlawanan terhadap Belanda. Orang-orang kafir harus

diusir dari Aceh. Seruan Cut Nyak Din untuk melanjut¬kan perjuangan mendapat simpati dan rakyat Aceh. Kata-kata¬nya yang

tajam membakar semangat pemuda-pemuda Aceh. Rakyat Aceh sangat merindukannya. Cut Nyak Din adajah ratu penyelamat

yang bertakhta di hutan rimba. Pada suatu saat is akan datang dengan kekuatannya untuk, mengusir pen-jajah Belanda dari tanah

Aceh. Inilah harapan rakyat pengagum Cut Nyak Din. Seruan Cut Nyak Din bahkan menggema sampan ke Sumatra Barat.9)

Cut Nyak Din berpendirian bahwa lebih mulia hidup di hutan untuk menderita bersama pengikut-pengikutnya dari¬pada hidup

senang dengan kaum penjajah di kota, tetapi ter¬belenggu dalam kekuasaannya. Karena itu ia tidak akan hidup untuk

menghambakan din di bawah kekuasaan musuh. Alang-kah hina dan lemahnya suatu bangsa yang suka melakukan per¬buatan

demikian. Dengan tidak disadari usia Cut Nyak Din makin bertambah. Fisiknya menjadi lemah, tenaga makin ber¬kurang.

Penyakit makin mudah mendekatinya.

Perlawanan yang diberikan oleh Cut Nyak Din niungkul tidak berarti lagi, tetapi keteguhan hatinya pendiriannya yang kokoh

serta semangatnya yang tetap berkobar sangat mengagumkan. Belanda tidak dapat meremehkan Cut Nyak Din. Belanda telah
berusaha-mengikuti jejak dan langkahnya, tetapi belum dapat menemukan apalagi, menangkapnya. Cut Nyak Din lebih cerdik,

firasatnya tajam dan pikirannya tetap segar untuk mengatur dan menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh oleh pengikut-

pengikutnya. Pengikut-pengikut¬nya tetap dengan patuh mentaati segala perintah yang diberikan oleh Cut Nyak Din.

Pendirian Cut Nyak Din yang tak tergoyahkan ini memberi kekuatan kepada, pengikutnya untuk meneruskan per¬juangan. Untuk

menyelamatkan ratunya dari segala pen¬deritaan, pengikut-pengikutnya, berusaha dengan segala ke¬kuatan. Kadang-kadang

dalam perjalanan untuk menghindar¬kan diri dan sergapan Belanda, Cut Nyak Din digendong atau diusung oleh pengikut-

pengikutnya. Mereka menganggap pim¬pinannya ini sebagai seorang ibu yang berhati mulia. Cut Nyak Din selalu memberikan

nasihat dan membimbing anak buah¬nya ke jalan yang benar, yaitu melawan Belanda dan menegak¬kan kemerdekaan Aceh

seperti semula.

Cut Nyak Din Tertawan dan Diasingkan

Karena tekanan yang terus dilancarkan oleh tentara Belanda, maka ruang gerak pejuang Aceh makin sempit. Pasukan

kekuatannya makin jauh terdesak ke daerah Hulu, ke daerah pedalaman tanah Aceh. Daerah ini dijamah oleh tentara Belan¬da.

Perlawanan yang diberikan tidak mengikuti satu komando yang teroganisir baik dari satu pimpinan. Masing-masing kelompok

pejuang bergerak menurut kehendak dan kemauannya, yang terorganisasi baik dari satu pimpinan. Masing-masing ke¬lompok

pejuang bergerak menurut kehendak dan kemauannya sendiri. Jadi kelihatan seperti terlepas antara kelompok yang satu dengan

kelompok yang lain, sedang pada hakekatnya mempunyai tujuan yang lama, yaitu menentang penjajahan Belanda.

Cut Nyak Din yang telah tertakhta selama enam tahun di hutan belantara meniti punggung dan lereng Bukit Baris¬an bagian

utara tetap bertahan. la berusaha keras memper-tahankan diri supaya jangan jatuh ke tangan musuh. Fisiknya yang makin lemah

dan tenaga yang makin berkurang menam-bah penderitaan baginya dan ditambah lagi dengan penyakit mata. Matanya telah

rabun, sehingga ia terpaksa diusung oleh pengikut-pengikutnya untuk meneruskan perjalanan dan per-pindahan. Hubungan

dengan pejuang-pejuang lainnya sudah terputus sama sekali.

Melihat keadaan Cut Nyak Din yang sangat menyedih¬kan ini, Pang Laut, stafnya yang setia, menyarankan untuk menghentikan

saja perlawanan. Pertama karena Pang Laut melihat keadaan Cut Nyak Din yang tak memungkinkan lagi untuk bergerak. Kedua

karena kekuatan pejuang Aceh kelihat-an semakin lumpuh. Banyak yang berjatuhan, gugur atau menyerah kepada Belanda.

Tetapi apa yang terjadi? Cut Nyak Din yang kelihatan tak berdaya itu, memberikan tantangan yang keras. Semangatnya meledak

lagi seperti orang yang berusia muda. Dengan suara yang keras ia rnengatakan tidak akan menyerah kepada kafir; lebih baik mati

di hutan ini, untuk meneruskan perjuangan suci.

Seperti kesepakatan yang telah ditentukan, pasukan Let¬nan Van Vuuren melakukan tugas ini dengan sangat hati-hati dan

rahasia. Rencana ini tidak boleh bocor. Tetapi Letnan Van Vuuren sangat terkejut karena setelah dilakukan penge¬pungan dan
akan melakukan penangkapan, Cut Nyak Din men¬cabut rencongnya untuk memberikan perlawanan terhadap Van Vuuren yang

hendak menangkapnya. Seandainya ia tidak cepat-cepat mengelak akan koyaklah perutnya oleh rencong Cut Nyak Din yang

sangat cepat datangnya. Karena itu cepat pula Van Vuuren berusaha mengamankannya. Ia berusaha merebut rencong Cut Nyak

Din. Cut Nyak Din jatuh tak ber¬daya, tapi dari mulutnya keluar kata-kata yang menggetar¬kan Kati tentara Van Vuuren.

“Jangan sentuh badan saya kaphe.”

Cut Nyak Din dan pengikut-pengikutnya menjadi tawan¬an. Teuku Ali Bait dapat lolos dari sergapan pasukan Van Vuu¬ren.

Teuku Ali Bait terus menyingkir ke daerah Aceh Tengah, tetapi kemudian dapat ditawan oleh pasukan marsose yang terus

mengikutinya.

Letnan Van Vuuren kagum melihat kesederhanaan hi¬dup Cut Nyak Din. Ia mula-mula mengira Cut Nyak Din se¬bagai seorang

bangsawan akan hidup serta berkecukupan se¬perti para bangsawan pada umumnya. Perwira Belanda itu menggambarkan Cut

Nyak Din memakai pakaian kebesaran dan diiringi oleh abdi yang menghambakan rliri padanya. Van Vuuren memberikan

penghargaan yang tinggi atas ke¬tabahan dan keberanian Cut Nyak Din yang jarang dimiliki oleh wanita-wanita di negerinya. Ia

adalah seorang srikandi yang setia kepada sumpahnya untuk membela tanah-airnya. Karena itu walaupun seorang lawan, Van

Vuuren memberi¬kan upacara penghormatan secara militer terhadap Cut Nyak Din.

Kembalinya Cut Nyak Din ke tengah masyarakat Aceh mendapat perhatian yang luar biasa dari rakyat yang men-cintainya.

Banyak orang yang menduga bahwa Cut Nyak din telah gugur, karena telah sekian tahun tidak ada kabar be-ritanya. Karena

itulah tokoh-tokoh Aceh dan rakyat menyem-patkan diri untuk mengunjungi Cut Nyak Din untuk melepas-kan rindu. Kedatangan

pengunjung ini tak dapat disibukkan oleh kedatangan para tamu. Tetapi rupanya kecintaan rakyat yang berlebihan ini membawa

malapetaka bagi Cut Nyak Din. Kunjungan yang terus-menerus ini menyebabkan Pemerintah Belanda menjadi curiga. Belanda

mendengar bahwa hal ini, kalau dibiarkan terus, akan memberi kesempatan kepada Cut Nyak Din untuk mengobarkan kembali

api perlawanan yang telah hampir padam.

Cut Nyak Din serta pengiringnya dinaikkan ke kapal dan dibawa ke Batavia, kemuc ian diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Di

tempat pembuargan hidupnya terjamin, rumah dan pelayan tersedia sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang bangsawan

yang terhormat. Ia mernperoleh sepia yang diper-lukan, tetapi hidupnya seperti burung dalam sangkar. Jiwa¬nya terkekang dan is

tidak diizinkan oleh Penierintah Belanda untuk melihat tanah Aceh yang dirindukannya.

Demikianlah masa yang dilaluinya penuh dengan kenang-an. Kini hidup terpisah dengan saudara, rakyat yang mencin-tainya. Ia

hidup menjalani hukuman karena membela bangsa tanah-airnya. Masa terus berlalu, batas hidup telah ditentukan Tuhan. Inna

Lillahi Wainna Ilaihi Rojiun, Cut Nyak Din wafat tanggal 6 Nopember 1908.
Penyususn

Nurlaela

M. Raden Soetomo (1888 – 1938)

Soetomo lahir di Desa Ngepeh, kabupaten Nganjuk, hari Minggu Legi, 30 Juli 1888. Pemuda itu oleh ayahnya diberinama

Soenroto; namanya diganti ketika dia mengikuti sekolah rendah Belanda (ELS) di Bangil. Soetomo memasuki sekolah

kedokteran (STOVIA) pada tanggal 10 Januari 1903, dan dalam masa kemahasiswaannya inilah ia tampil sebagai penggerak

utama berdirinya Boedi Oetomo pada bulan Mei 1908.

Setelah menyelesaikan studi 11 April 11, Soetomo menjalani pola kebiasaan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.

Mula-mula ia bekerja di Lubuk Pakam, sebuah kota kecil dekat Medan, kemudian berturut-turut pindah ke Malang, Kepanjen,

Magetan, dan Blora. Di rumah sakit Blora pada tahun 1917, ia berkenalan dengan seorang perawat berkebangsaan Belanda, Ny.

E. J. de Graff yang suaminya telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Pada tahun itu juga kemudian mereka menikah secara

islam.

Dari blora, Soetomo dipindahkan ke Baturaja, Sumatra Selatan. Di tempat kerjanya yang baru ini, Soetomo mengajukan usul

kepada pimpinan Dinas Kesehatan Rakyat, agar orang Indonesia yang Inlandsch Aris diberi kesempatan untuk belajar di Negeri

Belanda. Ia (dan dr. Muhammad Sjaaf) merupakan yang pertama yang terpilih untuk kesempatan studi tersebut, dan Soetomo

beserta istrinya berangkat ke Negeri Belanda pada bulan November 1919.

Soetomo didaftarkan pada Universitas Amsterdam dengan nomor D. 355 pada tanggal 22 Desember 1919 dan lulus dengan

mendapat gelar Arts pada tanggal 2 Desember 1921. Setelah pelantikannya ia bekerja dengan Profesor S. Mendes da Costa,

seorang ahli dermatologi kenamaan, dan melanjutkan studi untuk spesialisasi dalam penyakit kulit dan kelamin pada universitas

Hamburg di bawah bimbingan Guru Besar Jerman terkenal yaitu P.G. Unna da H.C. Plaut. Selama berada di Negeri Belanda,

Soetomo sangat aktif di Indische Vereeniging dan merupakan pemggerak dalam perubahan perkumpulan tersebut menjadi

perhimpoenan Indonesia tahun 1922.

Soetomo kembali ke Indonesia pertengahan tahun 1923 dan ditugaskan di Surabaya. Sejak itu, ia bekerja di Rumah Sakit Umum

(CBZ) dan NIAS. Tetapi, Soetomo pada waktu itu juga menerjunkan diri ke dalam berbagai kegiatan politik. Indische Studieclub

didirikan pada tanggal 11 Juli 1924 dan di bawah pimpinan Soetomo melaksanakan kegiata-kegiatan yang menakjubkan, tidak

hanya dalam bidang politik , tetapi juga dalam lapangan social ekonomi. Sebagai “Pak Tom” , Soetomo menjadi seorang tokoh

nasiaonal.

Pada bulan Januari 1928, Soetomo ketua dewan penasehat sebuah organisasi yang baru dibentuk (tetapi tidak begitu berhasil)
yaitu, Permoefakatan Perhimpoenan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Dalam bulan Januari 1931, Stdieclub diubah

menjadi persatoean Bangsa Indonesia (PBI) dan dalam bulan Desember 1935, Soetomo dengan sukses berhasil menyatukan PBI

dengan Boedi Utomo menjadi satu partai, yaitu Partai Indonesia Raya (Parindra).

Dalam bulan Maret 1936, Soetomo melakukan studi-tour selama satu tahun berbagai Negara, jaitu Jepang, Singapura, India, Sri

Langka, Mesir, Negeri Belanda, Inggris, Turki, dan Palestina. Bangsa Indonesia mendapat informasi yang sangat berharga dari

dari pengalamannya dan pikiran-pikirannya yang secara tetap disumbangkannya lewat harian Soeara Oe-moem dan Koran-koran

lain. Segera setelah Soetomo kembali ke Indonesia, ia mulai menderita berbagai penyakit dan meninggal dunia pada tanggal 30

Mei 1938, sebelum mencapai umur 50 tahun. Menurut keinginannya yang terakhir, Pak Tom dimakamkan di halaman gedung

Nasional Indonesia di antara rakyat bangsanya.

Pahlawan Pendidikan

Belum genap 20 tahun usianya ketika ia bersama kawan-kawan dekatnya di STOVIA mendirikan Budi Oetomo. Dan belum 50

tahun umurnya ketika ia meninggalkan segala sesuatu yang selalu disebutnya “dunia yang fana inji” untuk selama-lamanya.

Namun, pengabdiannya selama lebih kurang 30 tahun akan membuat tidak seorang pun yang mengerti makna kemerdekaan akan

melupakan peranan dan sumbangan dr. Soetomo. Meskipun kaitan historis antara kemerdekaan Indonesia dan peran tokoh

perintis seperti dia tidak terpisahkan, tetapi pada generasi-generasi yang semakin jauh pada masa perjuangan kemerdekaan kaitan

itu bisa melonggar, bahkan mungkin suatu kali bisa lepas. Kemerdekaan bisa lalu tanpa perjuangan serta tanpa pengorbanan

generasi yang mendahuluinya.

Amnesia sejarah sebagaimsejenis penyakit kolektif bukan menggenjala tanpa sebab. Dan pula tidak tanpa akibat. Salah satu

penyebab yang amat “praktis” adalah langkanya ungkapan-ungkapan yang tersedia di masyarakat yang dapat berfungsi sebagai

“pengikat” yang merekam kenyataan-kenyataan sejarah, khususnya hubungan yang tidak terpisahkan antara perjuangan dan

kemerdekaan. Sedang sebagai akibat yang langsung diderita dari amnesia sejarah dalam hubungan ini adalah terurainya makna

kemerdekaan dari keharusan dan pengertian tentang pengorbanan.Sebagai pengantar mengenai tokoh Soetomo, tulisan ini lebih

sekedar sebuah pengkajian obyektif, ia bernada apresiatif, malah di sana sini cenderung “membela”. Van der Veur berusaha

menempatkan Soetomo dalam sejarah pergerakan nasional sesuai dengan peran yang ia lakukan. Misalnya, terhadap penilaian

Bernard Dahm yang menyebut Soetomo tidak melihat adanya hal yang semacam itu pada diri asoetomo. Di pihak lain pilihan

kedua yaitu karangan “Bunga Rampai Karangan Soetomo” yaitu “Kenang-kenangan: Beberapa pungutan kisah penghidupan

orang pertama pada tahun 1934-diharapkan dapat pula memberi gambaran dari berbagai sudut tentang kehidupan Soetomo

sebagai pelopor kemerdekaan. Pikiran serta cita-citanya terlukis secara padat dan ringkas dalam “Bunga Rampai Karangan

Soetomo” . Sedangkan kenang-kenangan : Beberapa pungutan kisah penghidupan orang yang bersangkutan dengan penghidupan
diri saya”, memberi latar belakang riwayat hidup Soetomo , khususnya latar belakang keluarga serta teman-teman sejawatnya

dengan siapa ia tumbuh berkembang menjadi salah satu tokoh nasional. Kisah-kisah yang terangkai dari ketiga karangan lepas ini

mampu secara bersama mengungkapakan diri Soetomo lebih lengkap.

Soetomo Pribadi-pribadi Jawa

Riwayat hidup Soetomo menandai munculnya suatu babak baru dalam percaturan sejarah pergerakan nasional. Ia berdiri sebagai

tonggak sejarah dalam peran yang ia lakukan sewaktu mendirikan Boedi Oetomo sebagai organisasi pertama da kalangan pribumi

semasa penjajahan.

Meskipun Boedi Oetomo pada dasarnya merupakan suatu gerakan lokal, terbatas pada lingkungan etnis serta aspirasi di kalangan

orang Jawa, namun ia merupakan organisasi “modern” pertama – dengan tujuan, keanggotaan, iuran, aturan pertemuan dan rapat,

serta pembuatan laporan – yang lahir di Indonesia. Soetomo dan Budi Oetomo adalah sebuah koinsidensi sejarah, keduanya

bertepatan. Keduanya lahir oleh tantangan dan kebutuhan zaman yang sama. Keduanya menggambarkan berlangsungnya suatu

proses perubahan. Boedi Oetomo menguak tirai masa lampau, titik pisah dengan dunia lama, Soetomo berurat-berakar dalam

lingkungan budaya dan mental Jawa. Ia dibesarkan dalam tatanan tradisional serta elit priayi Jawa, dengan cirri-ciri

feodalismenya serta corak kolonialnya yang amat kentara.

Penampilannya sebagai tokoh seorang politik dapat diakatakan utuh sebagai orang Jawa, yang mendukung dan menghormati tata

nilai Jawa. Ia mencintai dan mempercayai ketinggian martabat dan harkat budaya Jawa. Hal itu tercermin dalam karangannya

Kenang-kenangan: Beberapa poengoetan penghidoepan orang jang bersangkoetan dengan penghidupan diri saja. Sebagai orang

Jawaia merasa enggan untuk mengungkapkan dirinya secara terbuka. Sebagai orang Jawa yang sadar ia tidak hendak

menonjolkan diri. Ketaatannya kepada tata nilai tradisional tersebut telah menyebabkan banyak fakta menjadi tersamar, tidak

eksplisit, di dalam hati. Tidak mengungkapkan seluruh riwayat dan persoalan yang dihadapinya secara tuntas dan gambling. Ini

adalah semacam kebajikan di dunia kepriayian Jawa. Singkatnya kehalusan budi dengan tatakrama itulah yang menjadi alasan

mangapa Soetomo tidak mengungkapkan serangan-serangan yang ia terima dalam kedudukannya sebagai pemimpin gerakan

rakyat. Salah satu contoh tentang serangan yang disebutnya adalah tentang insinuasi yang dilancarkan oleh pihak-pihak tertentu

guna menghilangkan pengaruhnya terhadap rakyat yang tengah berkembang. Pekabaran fitnah rendahan senacam itu, yaitu ketika

Soetomo dituduh “bergerak menggunakan pundak rakyat sabagai pijakan guna kesenangan pribadi dan famili serta handai

tolannya sendiri”, tuduhan semacam ini amat melukai hatinya. Fitnahan itu secara langsung menyangkut harkat dan martabatnya

sebagai tokoh Jawa. Sehingga suatu kali salah seorang sahabatnya, seorang aktivis terkemuka (orang Barat) menasihatinya,

“Soetomo badanmu itu terlalu lembek, perasaanmu terlalu halus guna berjuang di lapangan politik. Undurlah dirimu dari

lapangan ini. (Kenang-kenangan: Beberapa Poengoetan kissah Peghidoepan orang jang bersangkoetan dengan penghidoepan diri
saja)

Soetomo bergulat dengan “kelemahan internal” yang disadarinya. Dan mungkin ia “terlalu Jawa” untuk masa-masa lebih

kompleks dan berjangkauan luas sesudah periode Boedo Oetomo. Bagaimanapun kedudukannya dalam sejarah nasional tak

tergoyahkan. Ia salah seorang pemula gerakan nasional. Pendiri Indonesiche Studieclub di Surabaya tahun 1924, Partai Bangsa

Indonesia tahun 1930 dan Parindra tahun 1935. Sampai akhir hayatnya ia tetap mengabdikan diri. Kepribadiannya tak sempat

dirusakkan oleh kedudukan, korupsi serta kekayaan dan kehidupan berjumpa dari corak dan gaya hidup kalangan priayi pada

masa itu. Soetomo tampil sebagai pelopor gerakan tanpa cacat pribadi. Dengan riwayat semacam itu, dapat dikatakan bahwa

Soetomo adalah seorang putra yang dilahirkan di dalam haribaan sejarah dan budaya Indonesia untuk mendukung suatu tugas

tertentu yang cocok dengan fase awal dari perjuangan kemerdekaan republik Indonesia.

DOKTER SOETOMO: PANDANGAN DAN CITA-CITA UNTUK BANGSANYA

Masa yang disebut masa colonial dr. Soetomo masih saja dianggap seorang dokter bumi putra sedangkan istri beliau seorang

bekas juru rawat, walaupun seorang Belanda., tetap dianggap sebagai juru rawat, bukannya istri seorang dokter. Dr. Soetomo ciri

khasnya sebagai seorang manusia ialah kebaikan hatinya, kejujurannya, kesederhanaannya dan kebenciannya terhadap apa-apa

yang berbau korupsi; ini benar-benar sifat yang luar biasa yang dimiliki oleh seseorang di duniaini. Ia juga seorang yang tabah

hati, yang segan atau enggan berbicara tentang dirinya sendiri, sebaliknya dia suka memuji kebaikan orang lain. Pernyataan-

pernyataan yang menunjukkan Soetomo dan teman-temannya di STOVIA sebagai pendiri Boedi Oetomo telah dibuat oleh

banyak sarjana asing. Pernyataan-pernyataan demikian itu juga telah dibuat oleh tokoh-tokoh terkemuka bangsa Indonesia seperti

Profesor dr. Sardjito, Mr. Soesanto Tirtoprodjo, dr. Angka, dan dr. Kadijat. Karena beberapa di antara mereka ini ada di STOVIA

pada saat Boedi Oetomo didirikan, maka pernyataan-pernyataan mereka tentulah memiliki bobot kebenaran yang tidak dapat

diabaikan.

Prinsip-prinsip Soetomo

1. Persatuan Indonesia Paling Utama

Soetomo adalah seorang nasionalisme Indonesia. Akan tetapi bagaimanapun juga ia seperti kebanyakan nasionalisme lainnya,

sering menemui kesulitan dalam menyajikan atau menggambarkan sikap pandangan Indonesia. Tulisan-tulisannya jelas

menghindari idiologi Barat. Tulisan-tulisan tersebut berorientasikan Hindu-Jawa dengan mengaitkannya kepada kejadian-

kejadian dalam cerita Ramayana dan Mahabarata, pandangan Gandhi dan Tagore serta kebajikan bersemedi (meditasi).

Ketika berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ia benar-benar merasa “di rumah sendiri”. Organisasi-organisasi politik yang

dibentuknya didominasikan oleh kaum intelektual Jawa. Ia menggambarkan permainan gamelan untuk melukiskan bagaimana
seharusnya masyarakat berfungsi, yakni bahwa di dalamnya “setiap orang ikut sebagai suatu kesatuan” bahwa setiap orang harus

tahu “irama yang harus diikuti”, kapan ia “harus bermain” dan kapan “harus berhenti”

“Persatuan” bukannlah harus dicapai dengan segala daya upaya. Soetomo secara tandas menolak untuk menjadi seorang

“politikus” dan ia lebih suka hidup dengan kejujuran. Berbicara terus terang, dan tidak korupsi. Kenyataan haruslah dihadai;

perbedaan-perbedaan haruslah diterima, tetapi janganlah diperuncing; dan kebenaran yang pahit sekalipun rasanya hendaklah

diakui, paling tidak sekali pada suatu waktu.

2. Perbedaan Antara “Kooperasi” (Ko) dan “Nonokooperasi” (Non)Tidaklah Penting

Dalam hal “ko” dan “non” , yang bagi para nasionalisme adalah perkara tidak penting, Soetomo bersikap praktis saja.

Kesadarannya bahwa bangsa Indonesia memerlukan bantuan Belanda menjadikan Soetomo bekerja sama dengan Belanda,

apabila ia dianggapnya bermanfaat, tanpa perlu merendahkan martabat diri. Ia dan tiga orang kawannya menjadi anggota Dewan

Kotapraja Surabaya pada tahun 1924, tetapi secara dramatis pada tahun 1925 ia keluar dari dewan itu setelah sampai pada

kesimpulan bahwa “paling tidak, untuk sementara waktu, kita akan mencapaitujuan kita lebih baik lagi dan lebih cepat lagi dari

pada dengan apa yang dinamakan cara parlementer.

3. Baik Ekstremitas Komunis maupun Ketidaktoleransian Golongan Islam Haruslah Ditentang.

Mula pertama, menimbulkan kegemparan di kalangan kelompok komunis dengan membuat sebuah pernyataan khusus yang

kurang tepat bahwa “setiap Negara yang kuat haruslah mengganyang yang lebih lemah. Inilah yang dimaksudkan oleh teori

sejarah-materialisme ajaran Marx”.

4. Semua Manusia Berusaha dan Merupakan Penjelmaan Tuhan

Bermacam-macam umpat dan caci-maki dilontarkan atas diri Soetomo baik dari pihak Belanda maupun oleh pihak Indonesia.

Terhadap ini ia pun menerimanya hanya untuk diri pribadinya sendiri dan jarang sekali ia membela dirinya dari umpat dan caci

maki tersebut.

5. Jalan Menuju Kemerdekaan Panjang dan Sukar

Pendirian Soetomo dalam masalah kemerdekaan sekali lagi merupakan gabungan dari pandangan yang praktis dengan idealism.

Sadar akan kelemahan rakyat Indonesia dan para pemimpin politiknya, Soetomo menandaskan kebutuhan akan adanya

“Pembangunan bangsa” (nation-building), “kebangkitan moral” (morele herbewapening), “kegiatan diri sendiri” (otoaktivitas)

dan sebuah konsep tentang Indonesia Mulia. Soetomo memakai istilah ini bukanlah karena ia takut menggunakan istilah

“Indonesia Merdeka”.

6. Pendidikan Barat telah Mengasingkan Bangsa Indonesia dari Kebudayaan Sendiri dan Mencetak Manusia-manusia yang

Asosial.
Perhatian Soetomo mengenai pendidikan bermula dengan berdirinya Boedi Utomo, Padaitu, ia menekankan kebutuhan akan

adanya pendidikan dasar, yakni pada tahun-tahun semenjak ia menyadari adanya angka buta huruf yang tinggi dan menjadi

cemas disebabkan oleh sikap orang-orang Indonesia yang telah memperoleh pendidikan barat, tetapi tidak mau memikirkan

keadaan social ekonomi rakyat jelata. Pandangannya dengan jelas tertera didalam laporannya tentang “Pendidikan Sebagai Dasar

Masyarakat Kita” yang disampaikan pada kongres Pendidikan Nasional yang pertama pada bulan Juni 1935.

7. Pencetakan Kader, Disiplin Atas Diri sendiri, Bakti Tanpa Pamrih, Tugas dan Kewajiban.

Soetomo yakin bahwa di masa yang akan datang Indonesia membutuhkan kaum intlektual yang bersikap praktis dan sedikit

bicara, yaitu apa yang dikutipnya dari bahasa latin : Facta non verba. Pandangan ini mendorong Soetomo untuk membentuk

Indonesische Studieclub pada tanggal 11 Juli 1924, yang bertujuan menanmkan rasa tanggung jawab social dan politik

dikalangan anggota dan melalui organisasi ini pula, bermaksoed agar problem nasional di bidang social ekonomi dapat dibahas

sehingga menghasilkan buah pikiran yang bermanfaat bagi pembangunan.

8. Kembali ke Desa dan Dirikanlah Roekoen Tani

Berlaianan darei kebanyakan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya, Soetromo menyadari adanya hubungan dan kaitan yang

jelas dan erat antara ekonomi dan politik :

Kesejahteraan ekonomi bergantung kepada kesempurnaan politik. Selama jalan politik masih belum selesai sebagaimana

kehendak rakyat, maka selama itu pulalah rakyat belum dapat kesempatan yang seluas-luasnya dalam mengatur ekonominya

dengan sempurna. Karena itu, politik berdiri di depan. Tetapi, perjuangan politik juga tidak dapat dijalankan dengan teratur baik

selama perut rakyat tidak berisi, masih keroncongan. Karena itu, gerakan ekonomi, untuk perut, harus pula dijalankan.

Pendiri Budi utomo

Dokter Sutomo yang bernama asli Subroto ini lahir di desa Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli 1888. Ketika belajar di STOVIA

(Sekolah Dokter), ia bersama rekan-rekannya, atas saran dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan Budi Utomo (BU), organisasi

modem pertama di Indonesia, pada tanggal 20 Mei 1908, yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Kelahiran BU sebagai Perhimpunan nasional Indonesia, dipelopori oleh para pemuda pelajar STOVIA (School tot Opleiding voor

Indische Artsen) yaitu Sutomo, Gunawan, Suraji dibantu oleh Suwardi Surjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan lain-lain. Sutomo

sendiri diangkat sebagai ketuanya

Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan memajukan pengajaran, pertanian,

peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan

bangsa yang terhormat.


Kemudian kongres peresmian dan pengesahan anggaran dasar BU diadakan di Yogyakarta 5 Okt 1908. Pengurus pertama terdiri

dari: Tirtokusumo (bupati Karanganyar) sebagai ketua; Wahidin Sudirohusodo (dokter Jawa), wakil ketua; Dwijosewoyo dan

Sosrosugondo (kedua-duanya guru Kweekschool), penulis; Gondoatmodjo (opsir Legiun Pakualaman), bendahara; Suryodiputro

(jaksa kepala Bondowoso), Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangunkusumo (dokter di Demak) sebagai

komisaris.

Sutomo setelah lulus dari STOVIA tahun 1911, bertugas sebagai dokter, mula-mula di Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah

lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan akhirnya ke Malang. Saat bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang

melanda daerah Magetan.

Ia banyak memperoleh pengalaman dari seringnya berpindah tempat tugas. Antara lain, ia semakin banyak mengetahui

kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat membantu mereka. Sebagai dokter, ia tidak menetapkan tarif, bahkan adakalanya

pasien dibebaskan dari pembayaran

Kemudian ia memperoleh kesempatan memperdalam pengetahuan di negeri Belanda pada tahun 1919. Sekembalinya di tanah air,

ia melihat kelemahan yang ada pada Budi Utomo. Waktu itu sudah banyak berdiri partai politik. Karena itu, ia ikut giat

mengusahakan agar Budi Utomo bergerak di bidang politik dan keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.

Kemudian pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan wadah bagi kaum terpelajar

Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama

menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah pimpinannya, PBI berkembang pesat.

Sementara itu, tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda terhadap pergerakan nasional semakin keras. Lalu Januari 1934,

dibentuk Komisi BU-PBI, yang kemudian disetujui oleh kedua pengurus-besarnya pertengahan 1935 untuk berfusi. Kongres

peresmian fusi dan juga merupakan kongres terakhir BU, melahirkan Partai Indonesia Raya atau disingkat PARINDRA,

berlangsung 24-26 Des 1935. Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka

Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang kewartawanan. Ia bahkan memimpin beberapa

buah surat kabar. Dalam usia 50 tahun, ia meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.

Tempoe Doeloe

Tempoe Doeloe tidak ada satupun rakyat Soerabaia yang tidak kenal nama Dokter Soetomo. Mereka sering menyebutnya Pak

Tom, begitu saja. Tidak ada yang berani mengatakannya dengan gaya cengengesan.

Bayangkan, ia dikenal sebagai dokter sukarela. Artinya, dipanggil tengah malam pun bersedia. Tidak dibayar pun juga tidak apa-

apa. Dan itu semua ia lakukan setulus hati. Lha siapa yang tidak terharu demi melihat sikapnya yang demikian itu.

Siapa dr.Soetomo?
Lahir di Desa Ngapeh, Nganjuk 30 Juli 1888. Ayah Sutomo, Raden Suwaji, adalah seorang priyayi pegawai pengreh yang maju

dan modern. Beruntunglah Sutomo, karena dibesarkan di keluarga yang berkecukupan, terhormat dan sangat memanjakannya.

Limpahan kasih sayang, tertuju pada Sutomo kecil, terutama dari sang kakek dan nenek. Kakek Sutomo bernama R Ng

Singawijaya atau KH Abdurakhman. Nama tersebut sangat disegani dan ternama di wilayah Nganjuk. Hal inilah yang sangat

berpengaruh pada perilaku dan sifat Sutomo. Manja, nakal, sewenang-wenang kepada kawannya, pun berkelakuan bak raja kecil.

Selesai Sekolah Rendah Belanda, terjadi pertentangan antara ayah Sutomo dengan sang kakek. R Suwaji ingin Sutomo masuk

STOVIA, sedangkan R Ng Singawijaya menginginkan Sutomo menjadi pangreh praja (MungkinsekarangSTPDN).

Bagi Sutomo sendiri, pertentangan dua orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya itu sangat menyita pikiran. Hati

kecilnya sebenarnya lebih memilih kedokteran (STOVIA). Alasannya, dirinya tidak suka melihat ayahnya yang pangreh praja

disuruh-suruh Belanda…Lha kok nyimut dadi jongos’e Londo?

Namun disisi lain, Sutomo tidak ingin menyakiti hati sang kakek. Akhirnya melalui suatu perenungan panjang, secara tegas

Sutomo menolak jabatan sebagai pangreh praja. Pilihannya jatuh pada STOVIA. Keputusan berani di usianya yang baru

menginjak 15 tahun itu, membawa langkah kakinya ke Batavia. 10 Januari 1903, Sutomo resmi menjadi siswa STOVIA.

Cuplikan Sejarah STOVIA:

Asal muasal STOVIA berdiri dikarenakan pada tahun 1847 dr.W.Bosch (Ka.DinKes Batavia) mendapat laporan berjangkitnya

berbagai penyakit berbahaya di Banyumas. 9 Nopember 1847, pemerintah Hindia Belanda memanggil pemuda-pemuda untuk

dididik menjadi juru kesehatan dengan syarat:

a. Sehat & Cerdas.

b. Bisa membaca, menulis Jawa & Melayu.

c. Dari lingkungan keluarga baik-baik.

d. Dalam kursus diajarkan 15 mata pelajaran:

e. Dasar-dasar bahasa Belanda.

f. Berhitung.

g. Ilmu Bumi (Eropa & Indonesia).

h. Ilmu Ukur.

i. Ilmu Kimia Anorganik.

j. Ilmu Falak.

k. Ilmu Alam.

l. Ilmu Pesawat (Alat-alat Kesehatan).


m. Ilmu Tanah.

n. Ilmu Tumbuh-tumbuhan.

o. Ilmu hewan.

p. Ilmu Anatomi Tubuh.

q. Asas-asas Patologi.

r. Ilmu Kebidanan.

s. Ilmu Bedah.

Tamat sebagai Indische Arts (nama lain Dokter Jawa), ia lantas mengabdikan dirinya bagi kepentingan di masyarakat.

Pada tahun 1917, ia menikah dengan seorang Zuster Belanda, Everdina Johanna Bruring (Bukan Suster Ngesot..apalagi suster

gepeng..dibujuk’i pilem gelem’ae!!).Di mata Sutomo, sang isteri adalah wanita pujaan. Tugas harian seperti memasak, mencuci

dan sebagainya selalu dilakukan dengan kerelaan. Cukup kontradiktif, mengingat bumiputera adalah bangsa tertindas. Bruuring

bahkan tak punya waktu senggang di hari libur atau pun di hari Minggu, mengingat diwaktu-waktu seperti itu, rekan-rekan

seperjuangan Sutomo selalu mengadakan rapat di rumah mereka. Pengabdian yang tulus inilah yang membuat Sutomo makin

cinta pada Bruuring. Sampai akhir hayatnya, hanya Bruuring lah satu-satunya wanita yang pernah singgah di hati Sutomo. Sejak

Bruuring wafat pada 17 Februari 1934 pukul 09.10 menit, tak pernah terniat dihati Sutomo untuk menikah lagi.

Dari tahun 19-1923 bersama istrinya ia tinggal di Negeri Belanda untuk melanjutkkan sekolah & memperoleh gelar Arts, dokter

beneran lulusan Universitas. Sepulang dari Belanda ia memutuskan untuk menetap di Soerabaia, & mengajar di NIAS (Nederland

Indische Artsen School) yang kelak akan menjadi FK UNAIR.

Di Soearabaia Pak Tom Menetap hingga akhir hayatnya. Wafat 30 Mei 1938, seluruh penduduk Kota Soerabaia tumplek blek di

Jl.Bubutan, maka jalan itupun berubah jadi lautan manusia. Suara dzikir berdengung dari lisan ribuan pelayat mengantar

kepergian putra bangsa terbaik.

Bung Tomo-Kisah Pengungsian yang Tak Pernah terungkap

by Surabaya Tempo Dulu on Friday, 05 November 2010 at 18:33

Ini adalah tulisan pribadi dari Pak Herliyono yang dikirim kepada admin STD.

Bung Tomo dan Istri

Sumber foto : syadiashare.com

Saya lahir di Surabaya, ketika SD saya sekolah di SD Aloysius – Jl. Gatotan, kemudian SMP nya di SMP Angelos Custos – Jl.

Kepanjen. Kelas II SMP, saya dipecat oleh Kepala Sekolah, gara-garanya “mbolos” selama tiga bulan, (dasar arek mbethik).
Lalu oleh orangtua, saya dikirim ke Madiun dan tinggal di Jl. Merpati (d/h Jl. Janoko) Nambangan Lor – di rumah kakek saya

tinggal bersama dengan Bulik saya. Sebelumnya, untuk lebih memahami bagaimana cerita ini terjadi, saya terangkan dulu bahwa

di desa Nambangan Lor Madiun keluarga kakek saya adalah keluarga yang terpandang – karena kakek saya (R.M. Hardjo

Praseto) adalah seorang bangsawan dari Mangkunegaran Solo, dan semua kakek (kakek + adik-adiknya) adalah ahli beladiri

(pencak silat) – sehingga sangat disegani di Ds Nambangan Lor.

Rumah yang saya tinggali cukup luas, di halaman depan ada dua pohon jeruk yang cukup rindang, sedangkan di belakang rumah

halamannya terbuka tetapi ada pager alas pohon pisang yang tumbuh subur. Rumah kakek saya lumayan besar, kamarnya besar-

besar, memiliki halaman depan dan belakang cukup luas. Itulah pertimbangan mengapa peristiwa ini terjadi.

Naah selama tinggal di Madiun itulah saya mendengar cerita dari Bulik yang tak pernah sekalipun saya bayangkan: Ternyata di

jaman perang tahun 1945 Bung Tomo dan isterinya pernah ngungsi dirumah kakek saya k.l. dua minggu. Tanggal dan bulannya

Bulik saya lupa, tapi kalau saya urut kejadian kebelakang, ngungsinya kel. Bung Tomo adalah antara bulan Desember 1945

setelah meletusnya insiden bendera di Hotel Oranye Surabaya dan perang di bulan November 1945.

Suatu malam, Pak Lurah datang ke rumah menemui kakek saya. Dalam pembicaraan dengan kakek saya, Pak Lurah yang

biasanya bersuara lantang, saat itu bicaranya pelan-pelan dan cenderung berbisik dan tampak serius sekali, bahkan begitu

seriusnya Pak Lurah tidak menyentuh hidangan yang disajikan

Beberapa hari kemudian, menurut Bulik saya ada beberapa pria tak dikenal yang “sliweran” di depan dan di belakang rumah.

Kata Bulik saya – para pria itu bertampang “sangar” dan serius. Para pria itu mengamati rumah dan rumah tetangga sekitar

berkali-kali.

Menjelang Maghrib ada jip terbuka berhenti di depan rumah yang ditumpangi oleh lima pria bersenjata. Yang mengemudikan

jeep berpistol dipinggang, sedangkan penumpang yang lain bersenjata laras panjang. Jeep itu hanya berhenti sebentar – kemudian

menghilang lagi. Tak lama kemudian datang dua jeep beriringan. Jeep pertama ditumpangi oleh lima pria bersenjata. Jeep kedua

ditumpangi empat orang, tiga pemuda dan seorang wanita hamil. Satu dari pemuda itu turun dari jeep kedua disertai wanita yang

sedang hamil, kemudian dua pemuda yang naik jeep pertama turun dengan sigap mengawal pemuda dan wanita hamil.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, Pak Lurah masuk kerumah dari halaman belakang rumah dan mencari kakek saya,

kemudian bersama-sama menyambut dan mempersilahkan pemuda bersama wanita hamil masuk kerumah. Setelah bersalaman

kakek mengantar pemuda dan wanita hamil masuk ke kamar depan. Tapi sang pemuda enggan masuk ke kamar depan dan minta

diantar ke kamar dibelakang.

Setelah berbincang sejenak, pemuda tadi meninggalkan wanita yang hamil di kamar belakang kemudian pemuda tadi bersama

pengawalnya keluar dan naik jeep lagi entah pergi kemana.


Ternyata tamu misterius itu adalah SOETOMO yang oleh arek Suroboyo biasa dipanggil Bung Tomo sedang mengungsikan

isterinya yang sedang hamil 7 bulan – mengandung putra pertamanya yang kelak diberi nama Bambang Sulistomo

Malam harinya, kakek saya memanggil semua anak-anaknya (termasuk Ibu saya) “mewanti-wanti” untuk tidak menceritakan

kepada siapa saja tentang tamu yang bermalam di rumah. Rupa-rupanya pesan dari kakek saya ditaati oleh seluruh anak-anaknya

dan baru terungkap berapa puluh tahun kemudian ketika cucu-cucunya dewasa (seperti saya ini).

Isteri Bung Tomo bernama Sulistina dan akhirnya bersahabat dengan bulik saya yang bernama R.Ngt. Soetrini (bulik saya masih

hidup dan sekarang tinggal di Gresik berusia 81 th.) Bulik saya biasa memanggil Ibu Sulitina dengan sebutan “mBak Tin”

menurut Bu Lik saya, Ibu Sulistina adalah wanita yang ramah, berpembawaan ceria dan selalu berpikir cerdas dan postif.

Selama dua minggu tinggal di rumah kakek, Ibu Sulistina tak boleh keluar rumah oleh kakek saya. Selama dua minggu itu Bung

Tomo ada beberapa kali berkunjung ke rumah. Bila berkunjung ke rumah selalu malam hari dan selalu lewat halaman belakang

rumah. Tetapi di depan rumah selalu ada jeep berisi beberapa pemuda yang mengawal dan menjaga/menunggui Bung Tomo.

Juga ada beberapa pemuda yang bersenjata lengkap berjaga di bawah pohon pisang di halaman belakang. Tetapi kunjungan Bung

Tomo hanya sebentar saja – yang sifatnya hanya melihat keadaan isterinya, tak lama kemudian menghilang lagi bersama para

pemuda yang mengawalnya. Seingat Bulik saya, Bung Tomo hanya pernah dua kali saja bermalam di rumah.

Yang dikenang oleh Bulik saya, Bung Tomo orangnya sangat takzim dan selalu bersikap hormat pada kakek dan nenek saya.

Bung Tomo, meskipun selalu menyapa dengan senyuman – tetapi jarang sekali bercakap-cakap dengan penghuni rumah kecuali

dengan kakek saya, itupun hanya basa-basi. Selama di rumah, waktunya banyak dihabiskan di dalam kamar bersama isterinya.

Menurut Bulik saya, : “Bung Tomo kuwi wibowone gede, lan sorot mripate koyo macan” – “Bung Tomo orang yang mempunyai

wibawa besar dan sorot matanya seperti harimau”

Bulik saya bercerita sambil tertawa-tawa: “Pokoke, nek Bung Tomo mlebu omah, bocah-bocah kabeh podo mlebu kamar, ora

ono sing wani nyedhak – wedi kabeh karo Bung Tomo”. (mungkin karena wibawanya yang besar itu ya ?)

Dua minggu kemudian Bung Tomo dan isterinya pindah ke salah satu rumah di Jl. Dr. Soetomo Madiun. Pertimbangan tinggal di

Jl. Dr. Soetomo adalah karena rumah tersebut dekat dengan rumah sakit satu-satunya yang ada di kota Madiun, mengingat

isterinya sedang hamil tua.

Ketika perang usai, Ibu Sulistina sering berkorespondensi dengan Bulik saya, tetapi ketika saya tanya, “apakah masih ada surat-

surat dari Bu Sulistina,?” jawab Bulik saya, “wis ra ono kabeh”.

Suatu ketika saya pernah tanya ke Ibu saya: “Mami koq tak pernah cerita sama anak-anaknya kalau dulu dijaman perang, Bung

Tomo pernah ngungsi di rumah madiun?” Ibu saya hanya termenung lama, kemudian jawabnya: “Lha piyee, aku mbiyen karo

adik-adik setengahe disumpah karo Bapak, yo Eyangmu kuwi, supaya gak cerito karo sopo wae soal Bung Tomo”. Tetapi Ibu
saya membenarkan cerita Bulik saya.

Dengan mengucap Bismillah, saya tulis kisah ini, semoga (arwah) kakek saya tidak marah

Sekarang ini, Ibu saya (R. Ngt. Soetarti) sudah tua dan telah berusia 85 tahun.

Sidoarjo, 22.10.2010

Penysusun

Nemah M.

N. KH. Abdul Wahid Hasyim

1. Profil dan Biografi KH. Abdul

KH. Abdul Wahid Hasyim lahir di Jombang , 1 juni 1914 M dan wafat di Bandung, 19 April 1953. KH. Abdul Wahid Hasyim

merupakan putra laki-laki pertama dari sepuluh bersaudara dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dan nyai Nafiqah binti KH. Ilyas.

Awal mulanya beliau diberi nama M. Asy’ari diambil dari nama kakeknya, akan tetapi nama itu agaknya kurang sesuai baginya .

Namanya kemudian diganti dengan abdul wahid diambil dari nama datuknya.

Pada hari Jumat, tepatnya 10 Syawal 1356 H/ 1936 M. KH. Abdul Wahid Hasyim menikah dengan munawaroh (lebih dikenal

dengan nama Solikhah). Putrid KH. Bsyri Samsuri Jombang. Dari pernikahannnya itu pasangan KH. Abdul Wahid Hasyim

dengan Solikhah dikaruniai enam orang putra – putrid yaitu :

1. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

2. Aisyah Wahid

3. Salahudin Wahid

4. Umar Wahid

5. Lyli Khodijah Wahid

6. Muhammad Hasyim

KH.Abdul Wahid Hasyim bersekolah di Madrasah Tebuireng dan lulus pada usia yang sangat muda yakni 12 tahun. Beliau giat

mempelajari ilmu-ilmu kesusastraan dan budaya Arab secara otodidak, di samping itu pun beliau sangat gemar membaca, selama

, dalam sehari beliau bisa mengahabiskan waktu lima jam untuk membaca buku.

Sebagai orang yang gemar membaca, beliau tak bosan mencari ilmu. Awalnya KH. Abdul Wahid Hasyim belajar di Pondok

Pesantren Siwalan Panji, setelah itu pindak ke Pesantren Lirboyo Kediri. Antara umur 13 dan 15 tahun, pemuda Wahid menjadi

santri kelana , pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya dan pada tahun 1929 dia kembali ke Pesantren Tebuireng. KH.
Abdul wahid Hasyim berlangganan koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun Arab.

Pemuda Abdul Wahid mulai belajar Bahasa Belanda ketika berlangganan majalah tiga bahasa, ”Sumber Pengetahuan” Bandung.

Tetapi dia hanya mengambil dua bahasa saja, yaitu Bahasa Arab dan Belanda. Setelah itu dia mulai belajar Bahasa Inggris.

Sebagai seorang yang memilki semangat belajar yang tinggi, KH. Abdul Wahid Hasyim pergi ke tanah suci pada tahun 1932,

selain menjalankan ibadah haji beliau bersama sepupunya memperdalam ilmu pengetahuan , seperti nahu shoraf, fiqih, tafsir, dan

hadist selama dua tahun di tanah suci.

2. Aktifitas Pergerakan KH. Abdul Wahid di Bidanga Pendidikan

Setelah pulang dari tanah suci beliau mengajar di Pesantren Tebuireng dan membantu ayahnya menyusun kurikulum pesantren,

beliau pun mulai melakukan terobosan -terobosan besar di Tebuireng yakni:

1. Mengusulkan untuk merubah system tutorial, serta memasukkan materi pelajaran umum. ke pesantren .

2. Mendirikan Madrasah Nidzamiyah, dimana 70% kurikulumnya berisi materi pelajaran umum.

3. Di Madrasah Nidzamiyah diberi pelajaran bahasa Inggris, dan bahasa Belanda.

4. Membentuk Ikatan Pelajar Islam.

5. Pendirian taman bacaan atau perpustakaan yang mnyediakan lebi dari seribu buku.

6. Melakukan reorganisasi terhadap madrasah – madrasah NU di seluruh Indonesia.

7. Giat Mengembangkan tradisi menulis di kalangan NU.

8. Bersama M. Natsir , KH. Abdul Wahid Hasyim menjadi pelopor pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia yang

diselenggarakan di Jogjakarta.

9. Mendirikan Majelis syuro Masumi sebagai satu-satunya Partai politik Islam di Indonesia.

10. Melakukan tuntutan kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk mencabut status Guru Ordonantie tahun 1925 yang sangat

membatasi aktivitas guru-guru agama. Bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan PVPN (Asosiasi Pegawai

Pemerintah), MIAI juga membentuk Kongres Rakyat Indonesia sebagai komite Nsional yang menuntut Indonesia berparlemen.

11. Kiai Wahid berhasil meyakinkan Jepang untuk membentuk sebuah Badan Jawatan Agama guna menghimpun para ulama.

12. Wahid Hasyim membentuk Kementerian Agama, lalu membujuk Jepang untuk memberikan latihan militer khusus kepada

para santri, serta mendirikan barisan pertahanan rakyat secara mandiri. Inilah cikal-bakal terbentuknya lascar Hizbullah dan

Sabilillah yang, bersama PETA, menjadi embrio lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI).

13. KH. Abdul Wahid Hasyim salah satu tokoh nasional yang menandatangani piagam Jakarta.

14. Menjadi penasihat panglima besar Jenderal Sudirman.

15. Menjadi Mentri Agama Pertama dalam cabinet pertama yang dientuk presiden Soekarno.
16. Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kiai Wahid mengeluarkan tiga keputusan yang sangat mepengaruhi sistem

pendidikan Indonesia di masa kini, yaitu:

a. Mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di

lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta

b. Mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta.

c. Mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin,

Tanjungkarang, Bandung,Pamekasan, dan Salatiga.Jasa lainnya ialah pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun 1944),

yang pengasuhannya ditangani oleh KH. Kahar Muzakkir. Lalu pada tahun 1950 memutuskan pendirian Perguruan Tinggi

Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN.

d. Mendirikan wadah Panitia Haji Indonesia (PHI). Kiai Wahid juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk

mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara.

Penyusun

Husnul Hotimah

O. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (1886 –1943)

Dr. Cipto Mangunkusumo atau TjiptoMangoenkoesoemo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan Jepara. Ia adalah

putera tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa. Karir Mangunkusumo diawali

sebagai guru bahasa Melayu di sebuah sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar

di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu adalah

keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara

Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Ernest Douwes

Dekker dan Ki Hajar Dewantara ia dikenal sebagai “Tiga Serangkai” yang banyak menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan

kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Ia adalah tokoh dalam Indische Partij, suatu organisasi politik yang

pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun 1913 ia dan

kedua rekannya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan aktivitas politiknya, dan baru kembali 1917.

Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota organisasi Insulinde, bernama Marie Vogel pada

tahun 1920.

Berbeda dengan kedua rekannya dalam “Tiga Serangkai” yang kemudian mengambil jalur pendidikan, Cipto tetap berjalan di

jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad. Karena sikap radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah
penjajahan ke BandaIa wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di TMP Ambarawa

Perjalanan Hidup

Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan Jepara. Ia adalah putera tertua dari Mangunkusumo,

seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa. Karier Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah

Sekolah Dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah Sekolah Dasar di Semarang dan selanjutnya

menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong,

Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi kedudukan sosialnya, Mangunkusumo berhasil

menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Cipto beserta adik-adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul

Ma’arif bersekolah di Stovia, sementara Darmawan, adiknya bahkan berhasil memperolebeasiswadari pemeintah Belanda untuk

mempelajari ilmu kimia industri di Universitas Delf, Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi

Hukum di Jakarta. Profesi dokter-pun tidak kalah memberi sumbangsih berdirinya bangsa ini. Tercatat dalam sejarah beberapa

dokter yang membaktikan diri menolong rakyat yang tertindas & tidak takut mati demi membela yang benar

Pendidikan

Ketika menempuh pendidikan di Stovia, Cipto mulai memperlihatkan sikap yang berbeda dari teman-temannya. Teman-teman

dan guru-gurunya menilai Cipto sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam dan rajin. “Een begaald leerling”, atau murid yang

berbakat adalah julukan yang diberikan oleh gurunya kepada Cipto. Di Stovia Cipto juga mengalami perpecahan antara dirinya

dan lingkungan sekolahnya. Berbeda dengan teman-temannya yang suka pesta dan bermain bola sodok, Cipto lebih suka

menghadiri ceramah-ceramah, baca buku dan bermain catur. Penampilannya pada acara khusus, tergolong eksentrik, ia senantiasa

memakai surjan dengan bahan lurik dan merokok kemenyan. Ketidakpuasan terhadap lingkungan sekelilingnya, senantiasan

menjadi topik pidatonya. Baginya, Stovia adalah tempat untuk menemukan dirinya, dalam hal kebebasan berpikir, lepas dari

tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan dengan lingkungan baru yang diskriminatif.

Beberapa Peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidak puasan pada dirnya, seperti semua mahasiswa Jawa dan Sumatra

yang bukan Kristen diharuskan memakai pakaian tadisional bila sedang berada di sekolah. Bagi Cipto, peraturan berpakaian di

Stovia merupakan perwujudan politik kolonial yang arogan dan melestarikan feodalisme. Pakaian Barat hanya boleh dipakai

dalam hirarki administrasi kolonial, yaitu oleh pribumi yang berpangkat bupati. Masyarakat pribumi dari wedana ke bawah dan

yang tidak bekerja pada pemerintahan, dilarang memakai pakaian Barat. Implikasi dari kebiasaan ini, rakyat cenderung untuk

tidak menghargai dan menghormati masyarakat pribumi yang memakai pakaian tradisional.

Makna kata “profesi” bukan hanya berarti pekerjaan tetapi juga status yang membawa tanggung jawab sosial tertentu. Dengan

demikian, profesi itu tidak netral, datam arti hanya sebatas “tukang” yang mengerjakan pembuatan barang atau jasa tetapi juga
mengandung matra (dimensi) etis. Jadi di dalamnya, terkandung unsur kontrol dari diri pribadi dan masyarakat yang dapat

mempertariyakan tanggung jawab sosial itu. Tidak mengherankan pula bila masyarakat sekarang sering menghadapi masalah

“etika profesi”. Dokter Cipto yang dilahirkan di Pecangakan, daerah Ambrawa, pada tahun 1886 merupakan contoh seorang

pribadi yang menjalankan etika profesinya sebagai dokter dengan konsekuen.

Keadaan ini senantiasa digambarkannya melalui De Locomotief, pers kolonial yang sangat progresif pada waktu itu, di samping

Bataviaasch Nieuwsblad. Sejak tahun 1907 Cipto sudah menulis di harian De Locomotief. Tulisannya berisi kritikan, dan

menentang kondisi keadaan masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Cipto sering mengkritik hubungan feodal maupun

kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. Dalam sistem feodal terjadi kepincangan-kepincangan dalam

masyarakat. Rakyat umumnya terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, sebab banyak kesempatan yang tertutup bagi mereka.

Keturunanlah yang menentukan nasib seseorang, bukan keahlian atau kesanggupan. Seorang anak “biasa” akan tetap tinggal

terbelakang dari anak bupati atau kaum ningrat lainnya.

Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi ras. Sebagai contoh, orang Eropa menerima gaji yang

lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang

misalnya, peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan

sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna. Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian

juga dalam perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-besaran, tidak sembarang anak

Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa, tidak ada orang Indonesia yang berani masuk kamar bola dan sociteit. Semua

diukur berdasarkan warna kulit.

Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah.

Untuk mempertahankan kebebasan dalam berpendapat Cipto kemudian keluar dari dinas pemerintah dengan konsekuensi

mengembalikan sejumlah uang ikatan dinasnya yang tidak sedikit.

Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes dengan bertingkah melawan arus. Misalnya larangan

memasuki sociteit bagi bangsa Indonesia tidak diindahkannya. Dengan pakaian khas yakni kain batik dan jas lurik, ia masuk ke

sebuah sociteit yang penuh dengan orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki dijulurkan, hal itu mengundang

kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga) mencoba mengusir Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantangnya

Cipto memaki-maki sang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan mempergunakan bahasa Belanda. Kewibawaan

Cipto dan penggunaan bahasa Belandanya yang fasih membuat orang-orang Eropa terperangah.Dia dengan sadar mau

menanggung dan memikul tanggung jawabnya meskipun hal itu berarti penjara, pembuangan, dan kesulitan-kesulitan lain yang

harus dihadapi.
Setamat dari STO VIA (Sekolah Dokter Hindia) dokter Cipto diangkat sebagai dokter pemerintah. Pada awalnya, ia merasa

bahwa dengan jalan itu, ia dapat mengabdikan keahliannya pada masyarakat. Tatkala bertugas di Demak, ia melihat keadaan

kemiskinan dan penderitaan masyarakat di kawasan itu. Sebagai seorang cendekiawan, dokter itu dapat melihat bahwa penyakit

itu tidak datang dari langit melainkan sebagai akibat keadaan kemiskinan dan kebodohan masyarakatnya. Kemiskinan dan

kebodohaa itu bukan akibat ulah masyarakat di daerah itu tetapi bersumber pada kondisi sosial masyarakat yang terjajah.

Analisis-analisisnya yang tajara itu ditulis dan dipublikasikan dalam harian De Express dan berbagai surat kabar lain.Reaksi

pemerintah kolonial sangat keras dengan memperingatkan agar dokter itu berhenti menulis di surat kabar, jika ingin tetap menjadi

dokter pemerintah. Namun, dokter Cipto tetap konsekuen dengan terus menulis di surat kabar dan melepaskan jabatannya sebagai

dokter pemerintah. Sikap konsekuen itu ditunjukkan juga ketika pada tahun 1912, ia menerima bintang Orde van Oranje Nassau

(kepahlawanan Belanda) atas jasanya memberantas wabah pes di Kepanjen, Malang. Tindakan itu dijalankan karena banyak

dokter Belanda yang menolak tugas untuk membasmi wabah itu. Meskipun demikian, dokter Cipto mengembalikan bintang

jasanya kepada pemerintah Belanda karena izin tugas untuk memberantas wabah pes di daerah Solo tidak diberikan kepadanya.

Dari perjuangan di lapangan kedokteran dokter Cipto melihat bahwa letak permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah

kehadiran penjajah Belanda. Kesadaran ini menumbuhkan minatnya untuk menekuni masalah-masalah politik. Bersama dengan

E.F.E. Douwes Dekker, dan R.M. Suwardi Suryaningrat mendirikan IndischePartij (IP, Partai Hindia) pada tahun 1912 yang

merupakan partai politik pertama di Indonesia Partai ini atas dasar nasionaiisme untuk menuju kemerdekaan. Indonesia sebagai

“perumahan nasional” bagi semua orang baik bumiputera, Belanda, Cina, dan Arab yang mengakui Hindia sebagai negara dan

kebangsaannya. Pandangan itu dikena! sebagai “nasionaiisme Hindia” (Indsche Nationalism).

Pada tanggal 13 Maret 1913, IP yang diwakili oleh Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan.G. van Ham menghadap

Gubernur Jendra! untuk memohon pengesahan tetapi ditolak. Artinya, IP dilarang bergerak di tengah masyarakat. Karena protes

terhadap rencana perayaan 100 tahun terbebasnya Negeri Belanda dari penjajahan Perancis, ketiga serangkai itu dibuang ke

pembuangan di negeri Belanda. Di Negeri Belanda, dokter Cipto bekerja sebagai redaktur De Indier yang bercorak politik

radikal, sebagai kelanjutan perjuangan politiknya di Hindia Belanda. Pada masa pembuangan itu, penyakit asmanya kambuh

sehingga harus dipulangkan ke Indonesia.

Meskipun berbagai pembatasan dikenakan nama dokter Cipto tetap tidak surut dari pergerakan politik. Tempat tinggalnya di

Bandung merupakan tempat berkumpul tokoh-tokoh pergerakan di sekitar Soekarno. Di samping itu ia aktif membina Institut

Kesatrian. lnstitut ini merupakan lembaga pendidikan yang didirikan oleh Danu Dirjo Setiabudi, rekannya di !P, pada tahun 1922.

Kegiatan-kegiatan politik itulah yang menyebabkan ia dibuang ke Bandneira setama tiga belas tahun lamanya. Dari Bandaneira

dokter pejuang itu dipindahkan ke Sukabumi, Jawa Barat dan akhirnya di Jakarta.
Dokter Cipto masih menyaksikan runtuhnya pemerintah kolonial Belanda, lawan yang tidak jemu jemunya ditentangnya dengan

penyerahannya tanpa syarat di Kalijati pada tahun 1942. Pemerintah Belanda telah berlalu diganti dengan Bala Tentara Jepang

yang tidak kalah kejamnya. Bangsanya tetap menunggu uluran tangan dan semangat juangnya mengusir penjajah yang terakhir

ini namun kesehatannya terus menurun. Akhirnya, ia menutup mata untuk selama-lamanya di Jakarta pada tanggal 8 Maret 1943

dan dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa

Semangat juangnya tetap membara di hati para pemuda yang meneruskan perjuangannya.

a. Dr. Cipto Mangunkusomo dalam organisasi Budi Utomo

Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Pada kongres

pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jatidiri politik Cipto semakin nampak. Walaupun kongres diadakan untuk memajukan

perkembangan yang serasi bagi orang Jawa, namun pada kenyataannya terjadi keretakan antara kaum konservatif dan kaum

progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan ini sangat ironis mengawali suatu perpecahan ideology yang terbuka bagi

orang Jawa.

Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman. Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi

politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi pimpinan

bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya. Sedangkan Radjiman ingin

menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan yang bersifat Jawa.

Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak adalah kebudayaan keraton yang feodalis. Cipto mengemukakan

bahwa sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahan, terlebih dahulu diselesaikan masalah politik. Pernyataan-pernyataan

Cipto bagi jamannya dianggap radikal. Gagasan-gagasan Cipto menunjukkan rasionalitasnya yang tinggi, serta analisis yang

tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat tanggapan luas. Untuk membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antara

seluruh rakyat di Hindia Belanda yang mempunyai nasib sama di bawah kekuasaan asing, ia tidak dapat dicapai dengan

menganjurkan kebangkitan kehidupan Jawa. Sumber keterbelakangan rakyat adalah penjajahan dan feodalisme.

Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak

mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak ada lagi perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan

kekuatan progesifnya.

Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktek dokter di Solo. Meskipun demikian, Cipto tidak

meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela kesibukkannya melayani pasiennya, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini

Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi setelah dia bertemu dengan

Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische Partij. Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan
seperjuangan. Kerjasama dengan Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya, yakni gerakan

politik bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi Cipto Indische Partij merupakan upaya mulia mewakili kepentngan-kepentingan

semua penduduk Hindia Belanda, tidak memandang suku, golongan, dan agama.

Pada tahun 1912 Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar dekat dengan Douwes Dekker. Ia kemudian menjadi

anggota redaksi penerbitan harian de Expres dan majalah het Tijdschrijft. Perkenalan antara Cipto dan Douwes Dekker yang

sehaluan itu sebenarnya telah dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad. Douwes Dekker sering

berhubungan dengan murid-murid Stovia.

Pada Nopember 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Peringatan tersebut dirayakan secara

besar-besaran, juga di Hindia Belanda. Perayaan tersebut menurut Cipto sebagai suatu penghinaan terhadap rakyat bumi putera

yang sedang dijajah. Cipto dan Suwardi Suryaningrat kemudian mendirikan suatu komite perayaan seratus tahun kemerdekaan

Belanda dengan nama Komite Bumi Putra. Dalam komite tersebut Cipto dipercaya untuk menjadi ketuanya. Komite tersebut

merencanakan akan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada Ratu Wihelmina, yang isinya meminta agar pasal

pembatasan kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut. Komite Bumi Putra juga membuat selebaran yang bertujuan

menyadarkan rakyat bahwa upacara perayaan kemerdekaan Belanda dengan mengerahkan uang dan tenaga rakyat merupakan

suatu penghinaan bagi bumi putera.

Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan suatu artikel Suwardi

Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian De

Express Cipto menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan

Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913

keluar surat keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan

propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera.

Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan

melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan alah De Indier yang berupaya

menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier

menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda.

Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang cukup berarti terhadap organisasi

mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging, pada mulanya adalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, sebagai

tempat saling memberi informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan Douwes Dekker berdampak

pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini


Konsep “Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai

dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Pengaruh mereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging

yaitu Hindia Poetra pada 1916.

Selama ini masyarakat hanya mengenal beberapa nama pendiri Boedhi Oetomo, yang telah diabadikan sebagai nama jalan dan

rumah sakit, yakni dr. Wahidin Sudirohusodo, dr. Soetomo, dan dr. Cipto Mangunkusumo. Padahal sebenarnya Boedhi Oetomo

didirikan oleh belasan dokter muda dari STOVIA. Boedhi Oetomo sendiri sebenarnya dianggap tidak dapat mewakili gerakan

yangmempelopori kebangkitan kesadaran tentang kesatuan dan kebangsaan Indonesia.

Insulinde

Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung

dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij. Sejak itu, Cipto menjadi anggota pengurus pusat

Insulinde untuk beberapa waktu dan melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah pesisir utara pulau Jawa.

Selain itu, propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak,

kemudian surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan.

Akibat propaganda Cipto, jumlah anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula berjumlah 1.009 meningkat menjadi 6.000

orang pada tahun 1917. Jumlah anggota Insulinde mencapai puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang.

Insulinde di bawah pengaruh kuat Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah

nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).

Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Pengangkatan anggota Volksraad

dilakukan dengan dua cara. Pertama, calon-calon yang dipilih melalui dewan perwakilan kota, kabupaten dan propins

Sedangkan cara yang kedua melalui pengangkatan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur jenderal Van

Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud agar Volksraad dapat menampung berbagai aliran sehingga

sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Salah seorang tokoh radikal yang diangkat oleh Limburg Stirum adalah Cipto.

Bagi Cipto pembentukan Volksraad merupakan suatu kemajuan yang berarti, Cipto memanfaatkan Volksraad sebagai tempat

untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada pemerintah mengenai masalah sosial dan politik. Meskipun Volksraad dianggap

Cipto sebagai suatu kemajuan dalam sistem politik, namun Cipto tetap menyatakan kritiknya terhadap Volksraad yang

dianggapnya sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan penjajah dengan kedok demokrasi.

Pada 25 Nopember 1919 Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya mengemukakan persoalan tentang persekongkolan Sunan dan

residen dalam menipu rakyat. Cipto menyatakan bahwa pinjaman 12 gulden dari sunan ternyata harus dibayar rakyat dengan

bekerja sedemikian lama di perkebunan yang apabila dikonversi dalam uang ternyata menjadi 28 gulden.
Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto sebagai orang yang sangat berbahaya, sehingga Dewan

Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) pada 15 Oktober 1920 memberi masukan kepada Gubernur Jenderal untuk mengusir Cipto

ke daerah yang tidak berbahasa Jawa. Akan tetapi, pada kenyataannya pembuangan Cipto ke daerah Jawa, Madura, Aceh,

Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur masih tetap membahayakan pemerintah. Oleh sebab itu, Dewan Hindia berdasarkan

surat kepada Gubernur Jenderal mengusulkan pengusiran Cipto ke Kepulauan Timor. Pada tahun itu juga Cipto dibuang dari

daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau Jawa, yaitu ke Bandung dan dilarang keluar kota Bandung. Selama tinggal di

Bandung, Cipto kembali membuka praktek dokter. Selama tiga tahun Cipto mengabdikan ilmu kedokterannya di Bandung,

dengan sepedanya ia masuk keluar kampung untuk mengobati pasien.

Di Bandung, Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk

Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun

Cipto tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai penyumbang pemikiran

bagi generasi muda. Misalnya Sukarno dalam suatu wawancara pers pada 1959, ketika ditanya siapa di antara tokoh-tokoh

pemimpin Indonesia yang paling banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran politiknya, tanpa ragu-ragu Sukarno menyebut

Cipto Mangunkusumo. Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indo-nesia terjadi pemberontakan komunis.

Pemberontakan itu menemui ke-gagalan dan ribuan orang ditangkap atau dibuang karena terlibat di dalamnya. Dalam hal ini

Cipto juga ditangkap dan didakwa turut serta dalam perlawanan terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu peristiwa, ketika

pada bulan Juli 1927 Cipto kedatangan tamu seorang militer pribumi yang berpangkat kopral dan seorang kawannya. Kepada

Cipto tamu tersebut mengatakan rencananya untuk melakukan sabotase dengan meledakkan persediaan-persediaan mesiu, tetapi

dia bermaksud mengunjungi keluarganya di Jatinegara, Jakarta, terlebih dahulu. Untuk itu dia memerlukan uang untuk biaya

perjalanan. Cipto menasehatkan agar orang itu tidak melakukan tindakan sabotase, dengan alasan kemanusiaan Cipto kemudian

memberikan uangnya sebesar 10 gulden kepada tamunya.

Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi ras. Sebagai contoh, orang Eropa menerima gaji yang

lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang

misalnya, peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan

sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna. Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian

juga dalam perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-besaran, tidak sembarang anak

Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa, tidak ada orang Indonesia yang berani masuk kamar bola dan sociteit. Semua

diukur berdasarkan warna kulit.

Setelah pemberontakan komunis gagal dan dibongkarnya kasus peledakan gudang mesiu di Bandung, Cipto dipanggil pemerintah
untuk menghadap pengadilan karena dianggap telah memberikan andil dalam membantu anggota komunis dengan memberi uang

10 gulden dan diketemukannya nama-nama kepala pemberontakan dalam daftar tamu Cipto. Sebagai hukumannya Cipto

kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.

Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto kemudian mengusulkan kepada pemerintah agar Cipto

dibebaskan. Ketika Cipto diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan

hak politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya. Cipto

kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940 Cipto dipindahkan keSukabumi. Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik

dibawa sampai meninggal pada 8 Maret 1943.

Indische Partai

Dokter Cipto Mangunkusumo adalah seorang dokter profesional yang lebih dikenal sebagai tokoh pejuang kemerdekaan

nasional. Dia merupakan salah seorang pendiri Indische Partij, organisasi partai partai pertama yang berjuang untuk mencapai

Indonesia merdeka dan turut aktif di Komite Bumiputera.

Di samping itu, selain aktif di Komite Bumiputera, ia juga banyak melakukan perjuangan melalui tulisan-tulisan yang nadanya

selalu mengkritik pemerintahan Belanda di Indonesia. Beberapa perkumpulan yang ditujukan untuk membangkitkan

nasionalisme rakyat juga pernah didirikan dan dibinanya. Kegiatannya yang selalu berseberangan dengan Belanda tersebut

membuat dirinya sering dibuang dan ditahan ke berbagai pelosok negeri bahkan ke negeri Belanda sendiri.

Ketika aktif menulis di De Express tersebut, sebenarnya dia sudah bekerja sebagai dokter pemerintah, dalam hal inipemerintahan

Belanda. Pekerjaan itu dia dapatkan setelah memperoleh ijazah STOVIA (Sekolah Dokter) di Jakarta. Saat itu dia ditugaskan di

Demak. Dan dari sanalah dia menulis karangan-karangan yang nafasnya mengkritik penjajahan Belanda di Indonesia. Akibat

tulisan tersebut, dia diberhentikan dari pekerjaannya sebagai dokter pemerintah.

Tidak bekerja sebagai dokter pemerintah yang diupah oleh pemerintahan Belanda, membuat dr. Cipto semakin intens melakukan

perjuangan. Pada tahun 1912, dia bersama Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mendirikan Indische

Partij, sebuah partai politik yang merupakan partai pertama yang berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.

Saat bermukim di Bandung, Dr Cipto aktif menggelar diskusi serta melakukan gerakan bawah tanah. Di kediaman Cipto ini pula

Bung Karno acap hadir dan terlibat diskusi serta perdebatan hebat seputar menuju Indonesia merdeka. Seperti halnya Bung

Karno, atas “kebandelannya” ia pun mengalami pembuangan. Jika Bung Karno dibuang ke Ende, maka Cipto dibuang ke Banda

Neira tahun 1927.

Atas jasa dan pengorbanannya sebagai pejuang pembela bangsa, oleh negara namanya dinobatkan sebagai Pahlawan

Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan SK Presiden RI No.109 Tahun 1964, Tanggal 2 Mei1964 dan namanya pun
diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Pusat di Jakarta.

b. Kisah Pahlawan Bangsa Cipto Mangunkusumo

Dokter Cipto Mangunkusumo adalah seorang dokter profesional yang lebih dikenal sebagai tokoh pejuang kemerdekaan nasional

serta berupaya mengembalikan jati diri bangsa. Dia adalah salah satu pendiri Indische Partij, partai pertama organisasi-organisasi

partai berjuang untuk mencapai kemerdekaan dan Indonesia secara aktif berpartisipasi dalam Komite Bumiputera.

Di samping itu, selain aktif Komite Bumiputera, ia juga banyak melakukan perjuangan melalui tulisan-tulisan nada mengkritik

pemerintahan Belanda di Indonesia. Beberapa asosiasi ini dimaksudkan untuk membangkitkan nasionalisme rakyat juga pernah

didirikan dan dibinanya. untuk mengembalikan jati diri bangsa Kegiatannya selalu berlawanan dengan Belanda membuatnya

sering dibuang dan ditahan ke berbagai bagian negara dan bahkan di Belanda sendiri dia tetep berusaha mengembalikan jati diri

bangsa.

Cipto Mangunkusumo perjuangan awal, pria kelahiran Pecangakan, Ambarawa tahun 1886, itu dimulai sejak ia sering menulis

artikel yang menceritakan tentang penderitaan rakyat dari kolonialisme Belanda. Artikel yang diterbitkan harian De Express itu

oleh pemerintahan Belanda dianggap sebagai upaya untuk menanamkan kebencian pembaca terhadap Belanda karena cita-

citanya untuk mengembalikan jati diri bangsa.

Ketika aktif menulis di De Express adalah, sebenarnya ia telah bekerja sebagai dokter pemerintah, dalam hal ini pemerintah

Belanda. Pekerjaan dia mendapat setelah sertifikat STOVIA (Sekolah Dokter) di Jakarta. Pada waktu itu dia ditugaskan di

Demak. Dan dari sana ia menulis artikel yang mengkritik bernapas kolonial Belanda di Indonesia. Sebagai hasil dari tulisan-

tulisan ini, ia dipecat dari pekerjaannya sebagai dokter.

Tidak bekerja sebagai dokter pemerintah yang diupah oleh pemerintahan Belanda, membuat dr. Cipto semakin intens melakukan

perjuangan. Pada tahun 1912, dia bersama Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mendirikan Indische

Partij, sebuah partai politik yang merupakan partai pertama yang berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.

Ketika peringatan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Perancis, pemeritah kolonial Belanda di Indonesia

berencana merayakannya secara besar-besaran (di Indonesia).

Para pejuang kemerdekaan merasa tersinggung dengan rencana tersebut. Belanda dianggap tidaklah pantas merayakan

kemerdekaannya secara menyolok di negara jajahan seperti Indonesia saat itu. Dokter Cipto Mangunkusumo bersama para

pejuang lainnya membentuk Komite Bumiputera khusus memprotes maksud pemerintah Belanda tersebut. Namun akibat

kegiatannya di Komite Bumiputera tersebut, pada tahun 1913, dia dibuang ke negeri Belanda. Tapi belum sampai setahun, dia

sudah dikembalikan lagi ke Indonesia karena serangan penyakit asma yang dideritanya.

Sekembalinya dari negeri Belanda, dr. Cipto melakukan perjuangan melalui Volksraad. Di sana dia terus melakukan kritik
terhadap pemerintah Belanda dan sebaliknya selalu membela kepentingan rakyat. Karena kegiatannya di Volksraad tersebut, dia

kembali mendapat hukuman dari pemerintah Belanda. Ia dipaksa oleh Belanda meninggalkan Solo, kota dimana dia tinggal

waktu itu. Padahal saat itu, ia sedang membuka praktik dokter dan sedang giat mengembangkan “Kartini Club” di kota itu.

Dari Solo ia selanjutnya tinggal di Bandung sebagai tahanan kota. Walaupun berstatus tahanan kota, yang berarti bahwa dirinya

tidak diperbolehkan keluar dari kota Bandung tanpa persetujuan dari pemerintah Belanda, namun perjuangannya tidak menjadi

surut.

Dengan berbagai cara dirinya selalu menemukan bentuk kegiatan untuk melanjutkan pergerakan seperti menjadikan rumahnya

menjadi tempat berkumpul, berdiskusi dan berdebat para tokoh pergerakan nasional di antaranya seperti Ir. Soekarno

(Proklamator/Presiden pertama RI). Kegiatan-kegiatannya selama di Bandung terutama usaha mengumpulkan para tokoh

pergerakan nasional di rumahnya akhirnya terbongkar. Dia kembali mendapat sanksi dari pemerintah Belanda. Pada tahun 1927,

dari Bandung dia dibuang ke Banda Neira

“Sang Pembangkang”, itulah julukan bagi Dokter Cipto Mangunkusumo, Dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia ia sering

membangkang”, baik terhadap feodalisme di kalangan bangsanya maupun terhadap Pemerintah Hindia Belanda yang dituduhnya

sebagai penyebab segala penderitaan rakyat Indonesia. Cipto membangkang terhadap semua ketidakadilan, tetapi dia bersahabat

dengan kebenaran dan keadilan.

Di Banda Neira, dr. Cipto mendekam/terbuang sebagai tahanan selama tiga belas tahun. Dari Banda Naire dia dipindahkan ke

Ujungpandang. Dan tidak lama kemudian dipindahkan lagi ke Sukabumi, Jawa Barat. Namun karena penyakit asmanya semakin

parah, sementara udara Sukabumi tidak cocok untuk penderita penyakit tersebut, dia dipindahkan lagi ke Jakarta. Jakarta

merupakan kota terakhirnya hingga akhir hidupnya. Dr. Cipto Mangunkusumo meninggal di Jakarta, 8 Maret 1943, dan

dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa.

Sebagai seorang dokter, dr. Cipto pernah memperoleh prestasi gemilang ketika berhasil membasmi wabah pes yang berjangkit di

daerah Malang. Pes merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh basil yang ditularkan oleh tikus. Karena sifatnya yang

menular tersebut maka banyak dokter Belanda yang tidak bersedia ditugaskan untuk membasmi wabah tersebut.

Kegemilangannya membasmi wabah tersebut membuat namanya kesohor. Bahkan pemerintah Belanda yang sebelumnya telah

memecatnya dari pekerjaannya sebagai dokter pemerintah malah menganugerahkan penghargaan Bintang Orde van Oranye

Nassau kepadanya. Namun penghargaan dari Belanda tersebut tidak membuatnya bangga

Penghargaan tersebut malah dikembalikannya pada pemerintah Belanda. Atas jasa dan pengorbanannya sebagai pejuang pembela
bangsa, oleh negara namanya dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan SK Presiden

RI No.109 Tahun 1964, Tanggal 2 Mei 1964 dan namanya pun diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Pusat di Jakarta.

Dr. Cipto Mangunkusumo dalam pendidikaN

Entah kebetulan atau tidak, jika dibulan Mei ada dua peristiwa penting yang menjadi titik kisar Indonesia sebagai bangsa yaitu

Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional . Dan entah kebetulan atau tidak, jika Hari Pendidikan (2 Mei) justru

kita peringati terlebih dahulu sebelum Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei). Apakah ini mengindikasikan bahwa sebelum bisa

bangkit sebagai bangsa kita harus memajukan dunia pendidikan Indonesia.

Ada satu benang penghubung jelas bahwa Ki Hajar Dewantara yang menjadi titik episentrum Hari Pendidikan Nasional (2 Mei

adalah hari kelahiran Ki Hajar Dewantara pada tahun 1889) dan Kebangkitan Nasional (beliau juga tokoh Kebangkitan Nasional)

tetapi selain itu ia juga adalah salah satu tokoh kebangkitan nasional. Selain nama Ki Hajar Dewantara juga ada nama Sutomo

dan dr. Cipto Mangunkusumo serta Douwes Dekker. Bukan kebetulan jika mereka semua adalah juga tokoh-tokoh yang

mendapatkan pencerahan pendidikan.

Sutomo adalah tokoh yang dibesarkan dalam lingkungan yang menghargai pendidikan. Ia memang harus meninggalkan

pendidikannya di MULO karena alasan untuk melakukan pekerjaan akibat depresi yang melanda dunia masa itu. Tetapi ia

kemudian berhasil menyelesaikan HBSnya walau lewat korespondensi dan tidak pernah lulus resmi. Tapi keaktifannya di KBI

(Kepanduan Bangsa Indonesia) diakui oleh Sutomo merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya.

c. Adapun dr. Cipto Mangunkusomo juga adalah potret tokoh yang tercerahkan oleh pendidikan.

Beliau merupakan lulusan dari Stovia dan mengakui bahwa di Stovialah ia menemukan dirinya. Dan tentu saja juga Ki Hajar

Dewantara adalah tokoh penting dunia pendidikan. Ia juga merupakan murid Stovia. Adapun Dr. Ernest Douwes Dekker adalah

anak yang lahir dari ayah Jerman dan Ibu yang berasal dari Jawa tentu saja adalah tokoh yang tercerahkan secara pendidikan.

Nama Cipto Mangunkusomo, Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker juga dikenal sebagai tokoh Tiga Serangkai.

Membaca fakta-fakta ini, maka pada dasarnya akan mengantarkan kita pada sebuah pemahaman bahwa ternyata, salah satu

prasyarat penting untuk bangkit sebagai bangsa adalah melalui pendidikan. Menjauhkan pendidikan dari rakyat sama saja

menjauhkan rakyat dari kesadarannya dan cita-cita untuk menjadi sebuah bangsa yang berdaulat.

Catatan lain yang ditunjukkan dari 4 tokoh Kebangkitan Nasional ini adalah senjata perjuangan yang sama yaitu lewat “pena”.

Sutomo atau Bung Tomo pernah menjadi jurnalis yang sukses. dr. Cipto Mangunkusomo juga merupakan jurnalis. Akibat dari

tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, Cipto sering mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah.

Nama Ki Hajar Dewantara juga sangat dengan dengan perlawanan menggunakan “pena”. RM Suwardi Suryaningrat yang
menjadi namanya sebelum tahun 1922 berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara juga merupakan kolomnis. Bahkan tulisannya

di surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker, tahun 1913 mampu membuat telinga Belanda terasa mendidih.

Douwes Dekker juga adalah seorang jurnalis. Pengalamannya menulis pengalaman perang di surat kabar terkemuka

mengantarkannya meraih pekerjaan reporter di De Locomotief. Ia juga pernah menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad,

1907. Akibat perlawanan penanya, ia pun selalu menjadi objek mata-mata Belanda, karena tulisannya dianggap membangkitkan

semangat perlawanan pribumi.

Apa yang dapat kita katakan dari rentetan ini? Tentu saja bahwa salah satu syarat agar pendidikan bisa mengkristal menjadi

sebuah kesadaran untuk bangkit, maka kehidupan ilmiah harus tercapai. Manusia-manusia terdidik harus mampu

mengoptimalkan ide-ide mereka memenuhi angkasa pikiran rakyat Indonesia lewat tulisan-tulisan yang mencerdaskan.

Penyusun

Nunung sabariyah

P. Sutan Takdir Alisjahbana

Profil dan Biografi Sutan Takdir Alisjahbana

Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada

umur 86 tahun), adalah sastrawan Indonesia. Menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta

(1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).Diberi nama Takdir

karena jari tangannya hanya ada 4.

Perjuangannya dan Kiprahnya dalam Dunia Sastra

Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga

Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962).

Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948),

guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar

Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu

Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).

Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional

Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Pernah menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota

Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the
Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan

Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976).

Pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu

dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).

Catatan Masa Kecil

Ibunya seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera Utara. Ayahnya, Raden Alisyahbana bergelar

Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga menjalani pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu),

dan ahli reparasi jam. Dikenal juga sebagai pemain sepak bola yang handal.

Kakek STA dari garis ayah, Sutan Mohamad Zahab, dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan

hukum yang luas. Di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia

masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di luar.

Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh

malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman terlihat dari caranya menuliskan karakter Yusuf di

dalam salah satu bukunya yang paling terkenal: Layar Terkembang

Keterlibatan dengan Balai Pustaka

Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang

merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan

pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar,

dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual

pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.

Sutan Takdir Alisjahbana dan Perkembangan Bahasa Indonesia

Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang,Takdir melakukan

modernisasi bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali

menulis Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, buku mana masih dipakai sampai

sekarang,serta Kamus Istilah yang berisi istilah- istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi

dalam berbagai bidang.

Setelah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia melalui
majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, Takdir adalah pencetus Kongres Bahasa

Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970 Takdir menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi

Pertama Bahasa- Bahasa Asia tentang “The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967)Direktur

Cenfer for Malay Studies Universitas Malaya tahun 1060-1968

Karya-karyanya

Sebagai penulis

• Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)

• Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)

• Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)

• Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)

• Layar Terkembang (novel, 1936)

• Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)

• Puisi Lama (bunga rampai, 1941)

• Puisi Baru (bunga rampai, 1946)

• Pelangi (bunga rampai, 1946)

• Pembimbing ke Filsafat (1946)

• Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)

• The Indonesian language and literature (1962)

• Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)

• Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)

• Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)

• Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)

• The failure of modern linguistics (1976)

• Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)

• Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)

• Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)

• Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)

• Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)

• Kalah dan Menang (novel, 1978)


• Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)

• Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)

• Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)

• Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)

• Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)

• Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)

• Sajak-Sajak dan Renungan (1987).

Sebagai editor

• Kreativitas (kumpulan esai, 1984)

• Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).

Sebagai penerjemah

• Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944)

• Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944)

Buku tentang Sutan Takdir Alisyahbana

• Muhammmad Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994 (1999)

• S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana

(2006)

Penghargaan

• Tahun 1970 Sutan Takdir Alisjahbana menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.

• Sutan Takdir Alisjahbana adalah pelopor dan tokoh sastrawan “Pujangga Baru”.

• Doktor Kehormatan dari School For Oriental And African Studies London 2 Mei 1990

• DR.HC dari Universitas Indonesia

• DR.HC dari Universitas Sains Malaysia

Lain-lain

Sampai akhirnya hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita terbesarnya, menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar

kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, bahasa Indonesia semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah

menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa
Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur bahasa melayu gagal

mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantara kawasan.

Anda mungkin juga menyukai