Anda di halaman 1dari 14

40 

BAB III
BIOGRAFI DAN KARYA-KARYA RADEN ADJENG KARTINI

A. Biografi Raden Adjeng Kartini


Raden Adjeng Kartinilahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 
1879 meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September  1904 pada umur 25
tahun atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang
tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Raden Adjeng Kartini dikenal
sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi (Karimah, 2007 : 9).
Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan
Jawa. Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang
patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Raden Adjeng Kartini
lahir. Raden Adjeng Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri
utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai
Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya,
silsilah Raden Adjeng Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Garis
keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali ke istana kerajaan
Majapahit. Semenjak pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya pada abad ke-
18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja
(Harton & Simmons, 2009 : 214).
Ayah Raden Adjeng Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di
Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupatiberisterikan
seorang bangsawan, karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka
ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan
langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Raden Adjeng Kartini
diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A.
Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Raden Adjeng Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan
tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Raden Adjeng Kartini adalah anak
perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati
dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu

40 
 
41 
 

bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kakak


Raden Adjeng Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang
bahasa. Sampai usia 12 tahun, Raden AdjengKartini diperbolehkan bersekolah di
ELS (Europese Lagere School) disini antara lain Raden AdjengKartini belajar
bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena
sudah bisa dipingit (Karimah, 2007 : 9).
Karena Raden AdjengKartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia
mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang
berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak
mendukungnya dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Raden AdjengKartini
tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk
memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi
berada pada status sosial yang rendah.
Raden AdjengKartini banyak membaca surat kabar Semarang De
Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket
majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan) di antaranya terdapat
majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah
wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Raden AdjengKartini pun kemudian
beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari
surat-suratnya tampak Raden AdjengKartini membaca apa saja dengan penuh
perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Raden AdjengKartini
menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak
hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Raden
AdjengKartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi
dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara
buku yang dibaca Raden AdjengKartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max
Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901
sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis
Coperus kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt
yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van

41 
 
42 
 

Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen
Nieder (Letakkan Senjata) semuanya berbahasa Belanda.
Nasib Raden AdjengKartini sepenuhnya sudah digariskan oleh kaum dan
sejarahnya. Meskipun sangat membenci poligami, Raden AdjengKartini justru
dijodohkan dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo
Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Raden AdjengKartini menikah
pada tanggal 12 November1903. Beruntung, suaminya memahami minat dan
intektualitas Raden AdjengKartini sehingga mengizinkannya terus membaca,
berkorespondensi, dan berusaha mengembangkan pendidikan seperti mendirikan
sekolah untuk anak-anak perempuan di kompleks kantor kabupaten Rembang atau
di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka (Horton &
Simmons, 2009 : 216).
Anak-anak perempuan pribumi boleh dikatakan tidak punya kesempatan
menempuh pendidikan formal saat itu di kalangan pribumi, hanya anak kaum
bangsawan/pamong praja yang bisa bersekolah, itupun biasanya hanya yang laki-
laki saja. Raden AdjengKartini merekrut kedua adik perempuannya, Kardinah dan
Rukmini, untuk turut mengajar di sekolah yang segera kewalahan menampung
anak-anak perempuan yang ingin belajar. Agar dapat menerima sebanyak
mungkin murid, sekolah di buka untuk beberapa kelas dalam sehari.
Pada tanggal 13 September 1904, Raden AdjengKartini melahirkan anak
pertamanya dan satu-satunya, RM Soesalit. Namun proses persalinannya cukup
sulit, dan Raden AdjengKartini mengalami pendarahan cukup hebat selama
berhari-hari sehingga pada tanggal 17 September 1904 Raden AdjengKartini tutup
usia dalam usia 25 tahun. Raden AdjengKartini dimakamkan di Desa Bulu,
Kecamatan Bulu, Rembang. Sepeninggal Raden AdjengKartini, sekolah khusus
perempuan yang didirikannya berjalan tersendat karena hilangnya sang inspirator.
Kedua adiknya yang semula mengelolanya, tidak mampu menampung semua
calon murid yang ada.
Kemajuan berarti justru diteruskan oleh pasangan istri Van Deventer yang
dalam sejarah dikenal sebagai penganjur “politik etis” atau “politik balas budi”
yang memberi kesempatan pendidikan cukup luas bagi anak-anak jajahan.

42 
 
43 
 

Sebagai pengagum pemikiran Raden AdjengKartini sebagaimana termuat dalam


kumpulan surat yang diterbitkan oleh J.H dan Rosa Abendanon di tahun 1911,
pasangan Van Deventer berusaha terus mendesak pemerintah Hidia Belanda
mengalokasikan dana lebih banyak untuk pendidikan.
Selanjutnya, karena merasa tidak sabar dengan perkembangan yang ada,
maka Van Deventer mengeluarkan uang sendiri dan berusaha menggalang dana
dari berbagai kalangan guna mendirikan sebuah yayasan pendidikan di Semarang
pada tahun 1912. Yayasan itu dinamai yayasan Kartini. Yayasan inilah yang
membuka sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak perempuan pribumi di
Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan beberapa Kota
lainnya, yang juga disebut “Sekolah Kartini”.
Terbitnya surat-surat Raden AdjengKartini, seorang perempuan pribumi,
sangat menarik perhatian di Belanda sendiri. Pemikiran-pemikiran Raden
AdjengKartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap
perempuan pribumi di Jawa. Lebih lanjut mereka kemudia mendesak
pemerintahnya di Den Haag maupun pemerintahan Hindia Belanda di Batavia
untuk memeberikan perhatian lebih memadai terhadap nasib anak-anak jajahan.
Selama tahun 1902-an, politik etis mulai dijalankan secara penuh di Hindia
Belanda.
Dengan segala keterbatasanya, Raden Adjengkartini sudah berusaha
sekuatnya mengembangkan pendididkan dan penyuluhan kesehatan/kesejahteraan
kaum ibu dan anak-anak. Namun karena ia tidak didukung oleh suatu perangkat
organisasi, apalagi suatu sistem, maka pencapaian nyata Raden AdjengKartini
sesungguhnya relatif terbatas. Apalagi umurnya sangat pendek, hanya 25 tahun.
Jasa Raden AdjengKartini nampaknya lebih dalam soal pemikiran dan simbolik.
Bahwa di masa itu ada seorang perempuan pribumi yang sudah memiliki gagasan-
gagsan terstruktur tentang emansipasi perempuan, pembedaan rakyat jajahan dan
reinterpretasi agama secara lebih jernih, menjadikan Raden Adjeng Kartini
sebagai sosok pencerahana dan simbol emansipasi dan perjuangan perempuan
Indonesia (Horton & Simmons, 2009 : 217).

43 
 
44 
 

B. Konsep Sosial Budaya yang Melatarbelakangi Pemikiran Raden Adjeng


Keadaan sosial budaya pada saat itu yang masih kental dengan adat
istiadat yang berlaku pada zaman tersebut dimana nasib perempuan Jawa yang
tertindas, kebijakan politik kolonial yag merugikan pribumi ketika kita melihat
betapa Raden Adjeng Kartini terbelenggu oleh adat-istiadat yang mengharuskan
perempuan menikah dengan laki-laki yang sudah beristri, saeorang perempuan
yang tidak memiliki kebebasan untuk bergerak disegala bidang khususnya
dibidang pendidikan, kondisi tersebut sangat memperlihatkan begitu rendah
wanita ditanah Jawa. Raden Adjeng Kartini merupakan simbol pergerakan wanita
nasional, dengan kegigihannya memperjuangkan emansipasi wanita untuk dapat
perlakuan sama didalam ruang sosial, pendidikan dan budaya pada masa itu
menjadikannya sebagai sosok pelopor kebangkitan kaum wanita di Indonesia,
terutama pribumi. Terlahir sebagai seorang putri dari keluarga kaya raya, ternyata
tiak menutup hatinya untuk memperjuangkan nasib-nasib perempuan yang dikala
itu dianggap sebagai penumpang kelas dua dalam struktur sosial.
Dengan latar belakang tersebut mendorong Raden Adjeng Kartini untuk
memajukan status wanita pribumi. Keinginannya tidak hanya semata hanya untuk
memajukan strata atau drajat wanita, namun juga sangat berhubungan erat serta
mendasar pada kehidupan sosial, perhatiannya adalah memperjuangkan hak
wanita agar memiliki kebebasan, otonom dan juga perlakuan hukum yang sama
dimasyarakat. Selain membuat sekolah khusus untuk kaum perempuan, Raden
Adjeng Kartini juga menghasilkan karya-karya hasil dari buah pikirnya melalui
tulisan, salah satu yang fenomenal adalah “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Kartini
bukan hanya salah satu barisan panjang sejarah Indonesia. Kartini harus dimaknai
sebagai sebuah semangat perjuangan dan pengorbanan, pemikiran dan karya yang
telah dihasilkannya menjadikan tumbuhnya figur pahlawan pada sosok dirinya.

44 
 
45 
 

C. Karya-Karya Raden Adjeng Kartini


Setelah Raden Adjeng Kartini wafat, Mr.J.H. Abendanon mengumpulkan
dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan Raden Adjeng Kartini pada
teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri
Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door
Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya".
Buku kumpulan surat Raden Adjeng Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini
dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat
Raden Adjeng Kartini (Tempo, 2013 : 7)
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu
dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah
Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938,
keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan
Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk
menunjukkan perubahan cara berpikir Raden AdjengKartini sepanjang waktu
korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat
Raden AdjengKartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes
L. Symmers. Selain itu, surat-surat Raden AdjengKartini juga pernah
diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Terbitnya surat-surat Raden AdjengKartini, seorang perempuan pribumi,
sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Raden
AdjengKartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap
perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Raden AdjengKartini yang
tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh
kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan
lagu berjudul Ibu Kita Kartini (Karimah, 2007 : 51).
Pada surat-surat Raden AdjengKartini tertulis pemikiran-pemikirannya
tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi.
Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut
budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia
ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Raden

45 
 
46 
 

AdjengKartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan


Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit.
Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan,
Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri
kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Raden AdjengKartini juga berisi harapannya untuk
memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella"
Zeehandelaar, Raden AdjengKartini mengungkap keinginan untuk menjadi
seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat
kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit,
dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu (Tempo,
2013 : 105).
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Raden AdjengKartini
dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan
mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk
dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai
jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih,
terpisah, dan saling menyakiti.
"...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi
berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..."
Raden AdjengKartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan
pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Raden AdjengKartini,
lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok
rumah.
Surat-surat Raden AdjengKartini banyak mengungkap tentang kendala-
kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang
lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah
menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun,
tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Raden AdjengKartini sangat mencintai
sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada
akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam

46 
 
47 
 

surat juga diungkapkan begitu mengasihi Raden AdjengKartini. Ia disebutkan


akhirnya mengizinkan Raden AdjengKartini untuk belajar menjadi guru di
Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Raden AdjengKartini untuk
melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Raden AdjengKartini untuk melanjutkan studi, terutama ke
Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya
mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Raden AdjengKartini tersebut.
Ketika akhirnya Raden AdjengKartini membatalkan keinginan yang hampir
terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya.
Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi
saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi
Raden AdjengKartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk
melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada
Nyonya Abendanon, Raden AdjengKartini mengungkap tidak berniat lagi karena
ia sudah akan menikah.
"Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak
mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin"
Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka
pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Raden
AdjengKartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap
pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan
mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-
suratnya, Raden AdjengKartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya
mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi
perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Raden AdjengKartini
dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Raden AdjengKartini ini menyiratkan bahwa dia
sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan
transendensi, bahwa ketika Raden AdjengKartini hampir mendapatkan impiannya

47 
 
48 
 

untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip
patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Kumpulan surat-surat Raden Adjeng Kartini yang berisikan tentang
pemikiran-pemikiran Raden AdjengKartini tentang emansifasi wanita dan hak-
hak wanita yang ia kirimkan kepada sahabat penanya dan berhasil dibukukan,
buku-buku yang membahas isi dan pemikiran Raden Adjeng Kartini lewat surat-
suratnya yaitu: (pena-profetik.blogspot.com, 2011:04 diambil pada Minggu, 24
Mei pada jam 21:46).
1. Habis Gelap Terbitlah Terang
Pada Tahun 1922, oleh Empat Saudara,
Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa
Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah
Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh
Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang
sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat
sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Raden AdjengKartini ke dalam
Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam
format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot
Licht. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu,
surat-surat Raden AdjengRaden AdjengKartini juga pernah diterjemahkan ke
dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Raden
AdjengKartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi
kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut
ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan
pemikiran Raden AdjengKartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru
tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87
surat Raden AdjengKartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab
tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis
Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah
untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane,

48 
 
49 
 

surat-surat Raden AdjengKartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan


perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat
tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.

2. Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya

Surat-surat Raden AdjengKartini juga


diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada
mulanya Sulastin menerjemahkan Door
Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden,
Belanda, saat ia melanjutkan studi di bidang sastra
tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di
Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan
buku kumpulan surat Raden AdjengKartini tersebut. Tujuan sang dosen adalah
agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian,
pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door
Duisternis Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul “Surat-surat
Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya”. Menurut Sulastin, judul
terjemahan seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: "Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsa Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis
Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa
Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Raden
AdjengKartini yang ada pada Door Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam
Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan
Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny RM
Abendanon-Mandri dan Suaminya.

49 
 
50 
 

3. Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904


Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat
Kartini adalah “Letters from Kartini, An Indonesian
Feminist 1900-1904”. Penerjemahnya adalah Joost
Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang
ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi
Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh
surat asli Raden AdjengKartini pada Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan
terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-surat yang
tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi
Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan
pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Buku “Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904”memuat 108
surat-surat Raden AdjengKartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-
Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang
dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.

4. Panggil Aku Kartini Saja


Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang
lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga
diterbitkan. Salah satunya adalah “Panggil Aku
Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Toer. Buku
Panggil “Aku Kartini Saja”terlihat merupakan
hasil dari pengumpulan data dari berbagai sumber
oleh Pramoedya.

5. Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan


suaminya
Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru
tentang Kartini lewat buku “Kartini Surat-surat kepada Ny RM
Abendanon-Mandri dan suaminya”. Gambaran sebelumnya lebih banyak

50 
 
51 
 

dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon, diterbitkan


dalam Door Duisternis Tot Licht.
Raden AdjengKartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi yang sangat
maju dalam cara berpikir dibanding perempuan-perempuan Jawa pada
masanya. Dalam surat tanggal 27 Oktober1902, dikutip bahwa Raden
AdjengKartini menulis pada Nyonya Abendanon bahwa dia telah memulai
pantangan makan daging, bahkan sejak beberapa tahun sebelum surat
tersebut, yang menunjukkan bahwa Kartini adalah seorang vegetarian.
Dalam kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong bagian awal dan
akhir. Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada
Abendanon. Banyak hal lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin
Sutrisno.
6. Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada
Stella Zeehandelaar 1899-1903
Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode
1899-1903 diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya
memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan
Dr Joost Coté, diterjemahkan dengan judul “Aku Mau ... Feminisme dan
Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-
1903”.
"Aku Mau ..." adalah moto Raden AdjengKartini. Sepenggal ungkapan itu
mewakili sosok yang selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan bahan
perbincangan. Raden AdjengKartini berbicara tentang banyak hal: sosial,
budaya, agama, bahkan korupsi.

B. Wafatnya Raden Adjeng Kartini


Empat hari setelah melahirkan, Raden
AdjengKartini meninggal di pelukan
Djojoadingingrat. Beragam dugaan berkembang
seputar kematianya. Di atas dipanjati coklat
berukir, Djojoadiningrat mendekap Raden

51 
 
52 
 

Adjengkartini. Pada 17 September 1904 itu, di kamar utama kadipaten yang


berukuran 5 x 6 meter, perempuan yang baru dinikahinya 10 bulan berlahan
menutup mata utuk selamanya. Usianya baru 25 tahun. “pikirannya masih jernih
dan sampai detik terakhir ia masih sadar sepenuhnya”, Tulis bupati rembang itu,
12 Hari kemudian, ketika menggambarkan kematian istrinya kepada Jacques
Hendrij Abendanon, direktur Departemen Pedidikan, Agama, dan Industri Hindia-
Belanda.
(Tempo, 2013 :108).
Menurut Djojoadiningrat, setengah jam sebelum ajal menjemput, istrinya
masih sehat. Ia hanya mengeluh perutnya tegang. Van Ravesteijn, dokter sipil dari
Pati, datang dan memberinya obat. Setelah itu, tiba-tiba ketegangan di perut
Raden AdjengKartini menghebat dan 30 menit kemudian dia meninggal. “Dalam
pelukan saya dan di hadapan dokter”.
Empat malam sebelumnya, di dipan yang sama, juga dengan pertolongan
Ravesteijn, Raden AdjengKartini melahirkan anak tunggalnya, Raden Mas
Soesalit. Sebenarnya ia telah merasakan Kontraksi satu hari sebelumnya. Namun
dokter sipil di Rambang Langganan Raden AdjengKartini, Bouman, tidak ada di
tempat. Apa boleh buat, suaminya terpaksa memanggil Ravesteijn dari Pati, 35
kilometer dari Rembang, kendati sang dokter baru bisa datang esok paginya.
Dari pagi hingga sore, persalinan tidak kunjung berhasil. Unuk mempercepat
kelahiran, Ravesteijn lantas menggunakan alat bantu. Tidak jelas alat apa yang
digunakannya, akan tetapi sekitar pukul 21.30 Kartini berhasil melahirkan dengan
selamat. Djojoadingrat menggambarkan kondisi Raden AdjengKartini saat itu
baik-baik saja. “ kecuali ketegangan perut, tidak ada apa-apa dengan Raden
Ayu.” Ujarnya. Malam itu juga, tanpa ada rasa cemas, Ravesteijn kembali ke
Pati.(Tempo, 2013 : 109).
Dihari keempat, Ravesteijn datang memriksa kondisi Raden
AdjengKartini. Menurut dia, Raden AdjengKartini masih baik-baik saja.
Ketegangan di perut itu tak lain akibat luka ketika melahirkan hal yang biasa
terjadi pada ibu setelah melahirkan. Ravesteijn lantas meminta Raden

52 
 
53 
 

AdjengKartini meminum obat. Namun, setelah jam kemudian Raden


AdjengKartini tak tertolong.
Kepada dokter Bouman, anak Van Ravesteijn pernah berkata bahwa kondisi
Raden AdjengKartini pada 17 September itu sangat baik. Bahkan ayahnya sempat
bersama-sama minum anggur buat kesehatan Raden AdjengKartini. Namun, tidak
lama setelah Ravesteijn pergi, Raden AdjengKartini mengeluh sakit perut,
sehingga buapati menyuruh orang memanggil dokter kembali. Ketika dokter itu
tiba lagi, kondisi Raden AdjengKartini sudah parah.
Kematian mendadak itu tidak Cuma mengejutkan, tapi dengan segera
memicu rumor bahwa Raden AdjengKartini mati diracun. Bouman bahkan sempat
melakukan penyelidikan perihal kematian misterius itu. Dari seorang kawannya
yang kenal dengan Ravesteijn, ia mendapat informasi bahwa Ravestaijn adalah
dokter yang tidak dapat dipercaya. “Kudanya saja tidak akan dipercayakan
kepada dokter itu,” ujarnya seperti dikutip Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini:
Sebuah Biografi (1979).
Hingga kini dugaan itu tidak pernah terbukti. Ketua Masyarakat Sejarah
Indonesia Kabupaten Rembang Edi Winarno menganggap kecurigaan itu tak
berdasar. Menurur dia, tidak ada alasan bagi orang di sekitar Kartini untuk
membunuhnya.(Tempo, 2013 : 110).
Karena bukti yang tak cukup, Suparinah Saldi, penulis buku Kartini
Pribadi Mandiri, cenderung sependapat dengan dugaan bahwa kematian itu
memang dipicu oleh gangguan kesehatan setelah melahirkan. “sekarang saja
masih banyak kasus serupa, apalagi dulu ketika ilmu kedokteran masih belum
maju,” katanya.
Salah satu kemenakan Raden AdjengKartini, Sutiyoso Condronegoro,
mengakui santernya isu miring seputar kematian Raden AdjengKartini. Tapi
keluarganya lebih suka menganggapnya sebagai hal rumrah akibat proses
kematian yang berat. “Desas-desusu itu tidak dapat dibuktikan,”ucapnya seperti
dikutip Sitisoemandari (Tempo, 2013 : 111).

53 
 

Anda mungkin juga menyukai