RA. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. RA. Kartini dikenal
sebagai wanita yang mempelopori kesetaraan derajat antara wanita dan pria di Indonesia. Hal
ini dimulai ketika Kartini merasakan banyaknya diskriminasi yang terjadi antara pria dan
wanita pada masa itu, dimana beberapa perempuan sama sekali tidak diperbolehkan
mengenyam pendidikan. Kartini sendiri mengalami kejadian ini ketika ia tidak diperbolehkan
melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Kartini sering berkorespondensi dengan
teman-temannya di luar negeri, dan akhirnya surat-surat tersebut dikumpulkan oleh
Abendanon dan diterbitkan sebagai buku dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya berawal ketika ia yang berumur 12 tahun
dilarang melanjutkan studinya setelah sebelumnya bersekolah di Europese Lagere School
(ELS) dimana ia juga belajar bahasa Belanda. Larangan untuk Kartini mengejar cita-cita
bersekolahnya muncul dari orang yang paling dekat dengannya, yaitu ayahnya sendiri.
Ayahnya bersikeras Kartini harus tinggal di rumah karena usianya sudah mencapai 12 tahun,
berarti ia sudah bisa dipingit. Selama masa ia tinggal di rumah, Kartini kecil mulai menulis
surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda, dimana ia
kemudian mengenal Rosa Abendanon yang sering mendukung apapun yang direncanakan
Kartini. Dari Abendanon jugalah Kartini kecil mulai sering membaca buku-buku dan koran
Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang bagaimana wanita-wanita
Eropa mampu berpikir sangat maju. Api tersebut menjadi semakin besar karena ia melihat
perempuan-perempuan Indonesia ada pada strata sosial yang amat rendah.
Kartini juga mulai banyak membaca De Locomotief, surat kabar dari Semarang yang ada di
bawah asuhan Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan
majalah yang dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya
terdapat majalah-majalah tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kartini kecil sering
juga mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah satu majalah
wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie. Melalui surat-surat yang ia
kirimkan, terlihat jelas bahwa Kartini selalu membaca segala hal dengan penuh perhatian
sambil terkadang membuat catatan kecil, dan tak jarang juga dalam suratnya Kartini
menyebut judul sebuah karangan atau hanya mengutip kalimat-kalimat yang pernah ia baca.
Sebelum Kartini menginjak umur 20 tahun, ia sudah membaca buku-buku seperti De Stille
Kraacht milik Louis Coperus, Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli,
hasil buah pemikiran Van Eeden, roman-feminis yang dikarang oleh Nyonya Goekoop de-
Jong Van Beek, dan Die Waffen Nieder yang merupakan roman anti-perang tulisan Berta
Von Suttner. Semua buku-buku yang ia baca berbahasa Belanda.
Pada tanggal 12 November 1903, Kartini dipaksa menikah dengan bupati Rembang oleh
orangtuanya. Bupati yang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini
sebelumnya sudah memiliki istri, namun ternyata suaminya sangat mengerti cita-cita Kartini
dan memperbolehkan Kartini membangun sebuah sekolah wanita. Selama pernikahannya,
Kartini hanya memiliki satu anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Kartini
kemudian menghembuskan nafas terakhirnya 4 hari setelah melahirkan anak satu-satunya di
usia 25 tahun.
Pemikiran-pemikiran Kartini dalam surat-suratnya tidak pernah bisa dibaca oleh beberapa
orang pribumi yang tidak dapat berbahasa Belanda. Baru pada tahun 1922, Balai Pustaka
menerbitkan versi translasi buku dari Abendanon yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah
Terang: Buah Pikiran” dengan bahasa Melayu. Pada tahun 1938, salah satu sastrawan
bernama Armijn Pane yang masuk dalam golongan Pujangga Baru menerbitkan versi
translasinya sendiri dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Versi milik Pane membagi
buku ini dalam lima bab untuk menunjukkan cara berpikir Kartini yang terus berubah.
Beberapa translasi dalam bahasa lain juga mulai muncul, dan semua ini dilakukan agar tidak
ada yang melupakan sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya itu.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/margitawimaka.blogspot.com/memaknai-
kelahiran-r-a-kartini-dan-menghidupkan-kematian-chairil-
anwar_550fd9b5813311ca35bc5fc5
Biografi R.A Kartini. Tokoh wanita satu ini sangat terkenal di Indonesia. Dialah Raden
Ajeng Kartini atau dikenal sebagai R.A Kartini, beliau dikenal sebagai salah satu pahlawan
nasional yang dikenal gigih memperjuangkan emansipasi wanita kala ia hidup. Mengenai
Biografi dan Profil R.A Kartini, beliau lahir pada tanggal 21 April tahun 1879 di Kota Jepara,
Hari kelahirannya itu kemudian diperingati sebagai Hari Kartini untuk menghormati jasa-
jasanya pada bangsa Indonesia. Kartini lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan oleh sebab
itu ia memperoleh gelar R.A (Raden Ajeng) di depan namanya, gelar itu sendiri (Raden
Ajeng) dipergunakan oleh Kartini sebelum ia menikah, jika sudah menikah maka gelar
kebangsawanan yang dipergunakan adalah R.A (Raden Ayu) menurut tradisi Jawa.
Ayahnya bernama R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang
bangsawan yang menjabat sebagai bupati jepara, beliau ini merupakan kakek dari R.A
Kartini. Ayahnya R.M. Sosroningrat merupakan orang yang terpandang sebab posisinya kala
itu sebagai bupati Jepara kala Kartini dilahirkan.
Ibu kartini yang bernama M.A. Ngasirah, beliau ini merupakan anak seorang kiai atau guru
agama di Telukawur, Kota Jepara. Menurut sejarah, Kartini merupakan keturunan dari Sri
Sultan Hamengkubuwono VI, bahkan ada yang mengatakan bahwa garis keturunan ayahnya
berasal dari kerajaan Majapahit.
Ibu R.A Kartini yaitu M.A. Ngasirah sendiri bukan keturunan bangsawan, melainkan hanya
rakyat biasa saja, oleh karena itu peraturan kolonial Belanda ketika itu mengharuskan seorang
Bupati harus menikah dengan bangsawan juga, hingga akhirnya ayah Kartini kemudian
mempersunting seorang wanita bernama Raden Adjeng Woerjan yang merupakan seorang
bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura ketika itu.
Ayahnya kemudian menyekolahkan Kartini kecil di ELS (Europese Lagere School). Disinilah
Kartini kemudian belajar Bahasa Belanda dan bersekolah disana hingga ia berusia 12 tahun
sebab ketika itu menurut kebiasaan ketika itu, anak perempuan harus tinggal dirumah untuk
'dipingit'.
Hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi sebab
dalam pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial
yang cukup rendah kala itu.
R.A Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan eropa yang
menjadi langganannya yang berbahasa belanda, di usiannya yang ke 20, ia bahkan banyak
membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden,
Augusta de Witt serta berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa
belanda, selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan
Surat-Surat Cinta.
...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa
diperbuat orang atas nama agama itu - (R.A Kartini)."
Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang
cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan, R.A Kartini memberi perhatian khusus
pada masalah emansipasi wanita melihat perbandingan antara wanita eropa dan wanita
pribumi.
Selain itu ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi menurutnya, seorang
wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum.
Surat-surat yang kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita
pribumi dimana ia melihat contoh kebudayaan jawa yang ketika itu lebih banyak
menghambat kemajuan dari perempuan pribumi ketika itu. Ia juga mengungkapkan dalam
tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa
agar bisa lebih maju.
Kartini menuliskan penderitaan perempuan di jawa seperti harus dipingit, tidak bebas dalam
menuntuk ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.
Cita-cita luhur R.A Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu
dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan
hak wanita pribumi olah Kartini, dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan
masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang yaitu makna Ketuhanan,
Kebijaksanaan dan Keindahan, peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme.
Teman wanita Belanda nya Rosa Abendanon, dan Estelle "Stella" Zeehandelaar juga
mendukung pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh R.A Kartini. Sejarah mengatakan
bahwa Kartini diizinkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang guru sesuai dengan cita-cita
namun ia dilarang untuk melanjutkan studinya untuk belajar di Batavia ataupun ke Negeri
Belanda.
Hingga pada akhirnya, ia tidak dapat melanjutanya cita-citanya baik belajar menjadi guru di
Batavia atau pun kuliah di negeri Belanda meskipun ketika itu ia menerima beasiswa untuk
belajar kesana sebab pada tahun 1903 pada saat R.A Kartini berusia sekitar 24 tahun, ia
dinikahkan dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan seorang
bangsawan dan juga bupati di Rembang yang telah memiliki tiga orang istri.
Meskipun begitu, suami R.A Kartini memahami apa yang menjadi keinginan R.A KArtini
sehingga ia kemudian diberi kebebasan untuk mendirikan sekolah wanita pertama yang
kemudian berdiri di sebelah kantor pemerintahan Kabupaten Rembang yang kemudian
sekarang dikenal sebagai Gedung Pramuka.
Berkat perjuangannya kemudian pada tahun 1912, berdirilah Sekolah Wanita oleh Yayasan
Kartini di Semarang kemudian meluas ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon
serta daerah lainnya. Sekolah tersebut kemudian diberi nama "Sekolah Kartini" untuk
menghormati jasa-jasanya. Yayasan Kartini ini keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik
Etis di era kolonial Belanda.
Dari situ kemudian disusunlah buku yang awalnya berjudul 'Door Duisternis tot Licht' yang
kemudian diterjemahkan dengan judul Dari Kegelapan Menuju Cahaya yang terbit pada
tahun 1911. Buku tersebut dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan kelima terdapat
surat-surat yang ditulis oleh Kartini.
Pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh Kartini kemudian banyak menarik perhatian
masyarakat ketika itu terutama kaum Belanda sebab yang menulis surat-surat tersebut adalah
wanita pribumi.
Pemikirannya banyak mengubah pola pikir masyarakat belanda terhadap wanita pribumi
ketika itu. Tulisan-tulisannya juga menjadi inspirasi bagi para tokoh-tokoh Indonesia kala itu
seperti W.R Soepratman yang kemudian menbuat lagu yang berjudul 'Ibu Kita Kartini'.
Presiden Soekarno sendiri kala itu mengeluarkan instruksi berupa Keputusan Presiden
Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964, yang berisi penetapan
Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Soekarno juga menetapkan hari lahir
Kartini, yakni pada tanggal 21 April, diperingati sebagai Hari Kartini sampai sekarang ini.
Ada yang menduga bahwa J.H. Abendanon, melakukan rekayasa surat-surat Kartini.
Kecurigaan ini didasarkan pada buku Kartini yang terbit saat pemerintahan kolonial Belanda
menjalankan politik etis di Hindia Belanda ketika itu, dimana J.H Abendanon sendiri
termasuk yang memiliki kepentingan dan mendukung pelaksanaan politik etis.
Selain itu penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga banyak diperdebatkan.
Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini
saja, namun merayakannya bersama dengan hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih, sebab masih ada pahlawan wanita lain yang
tidak kalah hebat perjuangannya dengan Kartini seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien,
Martha Christina Tiahahu, dan lain-lain. Menurut sebagian kalangan, wilayah perjuangan
Kartini itu hanya di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah mengangkat senjata
melawan penjajah kolonial.
Sekian informasi mengenai biografi singkat R.A Kartini, semoga informasi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca Biografiku.com sekalian
Puisi Hari Kartini
Putri Ksatria
Oleh: Pauline Angelina
Perempuan dikekang
Perempuan dilarang
Perempuan terbuang
Perempuan terbelakang
Perempuan bebas
Perempuan lepas
Perempuan setara
Perempuan merdeka
Kartini ku pahlawanku
by : Rifky Nur Ahdini
Tak henti – hentinya aku mengucap syukur karena telah memiliki sosok ibu sepertimu
Kau rela memperjuangkan hidup dan matimu untuk melahirkanku kedunia ini
Rela menjagaku selama 9bln meski masih dalam kandungan
Dan rela menyitakan waktumu hanya untuk membesarkan dan mendidikku
Ibu.. Kasih sayangmu tak kan bertepi
Kepedulianmu selalu di hati
Kau pelipur lara yang kan abadi
Jiwaku hilang jika tanpamu
Baktiku hanya untukmu
Ketulusan hatiku kan ku lakukan hanya untuk membuatmu tersenyum
Meski lakuku selalu membuatmu sedih
Namun kau selalu mendoakan ku dalam setiap doa yang kau panjatkan
Kasih sayangmu tak kan bisa di bayar dengan uang
Kehadiranmu tak kan bisa di gantikan
Kebahagiaanmu adalah obat untuk langkah hidupku
Ibu.. kau selalu mengajarkan kebaikan untukku
Kau selalu mengingatkan ku jika ku berlaku dan berucap salah
Belaian kasihmu mampu mendamaikan hatiku
Terima kasih atas semua yang telah kau berikan pada malaikat kecilmu ini
Selamat hari ibu
Semoga Tuhan selalu menjaga ibu
Semangatmu Kartini
Penulis: Salva
habis gelap terbitlah terang
hal itulah yang ada di benakmu
dimana tidak ada pembatas
antara kita dan mereka
Lahir di Jepara
Dengan senyuman yang ria
Dan kecantikannya...
Menabur pesona Indonesia
Ia berkorban demi...
Mengangkat derajat wanita
Mengharumkan melati
Menjadikannya sempurna
Hai kawan-kawanku
Janganlah merendahkan wanita
Sama halnya dengan ibu
Ialah yang membawa kita semua
Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, (lahir di
Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – wafat di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904
pada umur 25 tahun). Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau
kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M.
Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Kala itu poligami adalah suatu hal
yang biasa.
Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya
adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti
Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Peraturan
Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena
M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng
Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah
Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A.
Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang
cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun.
Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School).
Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus
tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis
surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah
Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa,
Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk
memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada
pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter
Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada
langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup
berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian
beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-
suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-
catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa
kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah
sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan
persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca
Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya
Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht
(Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi,
karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-
Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen
Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada
tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi
kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks
kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung
Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904.
Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini
dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di
Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan
daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini
didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Agama Kartini
Aspek spiritual keagamaan tokoh emansipasi ini mendapatkan berbagai ragam penilaian dan
pandangan, dengan presfektif dan kepentingan yang beragam, bisa dilihat dari sisi kejawen,
komunis, Islam, dan Kristiani. Sebagaimana terlihat dari tiga buku yang ditulis tentang
Kartini.
Pertama, Panggil Aku Kartini Saja, karya Pramoedya Ananta Toer (1962, cetak
ulang tahun 2000);
Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia yang ditulis Ahmad
Mansur Suryanegara (1995); dan
Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini oleh Th Sumartana (1993).
Tulisan ini juga menyinggung artikel St Sunardi, Ginonjing: Emansipasi Kartini pada
majalah Kalam (No 21, 2004).
Sinkretisme
Ada usaha untuk menggambarkan figur Kartini sebagai wanita yang menganut faham
sinkretisme. Kartini mengatakan bahwa ia anak Budha, dan sebab itu pantang daging. Suatu
waktu ia sakit keras, dokter yang dipanggil tak bisa menyembuhkan. Lalu datanglah seorang
narapidana Cina yang menawarkan bantuan mengobati Kartini. Ayah Kartini setuju. Ia
disuruh minum abu lidi dari sesaji yang biasa dipersembahkan kepada patung kecil dewa
Cina. Maka ia dianggap sebagai anak dari leluhur Santik-kong dari Welahan. Setelah minum
abu lidi persembahan untuk patung Budha itu, Kartini memang sembuh. Ia sembuh bukan
karena dokter, tapi oleh obat dari ”dukun” Budha. Sejak itu Kartini merasa sebagai ”anak”
Budha dan pantang makan daging.
Pramoedya menulis, ”Bagi Kartini semua agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada
amalnya pada sesamanya, yaitu masyarakatnya.” Kartini menemukan dan mengutamakan isi
lebih daripada bentuk-bentuk dan syariat-syariat, yaitu kemuliaan manusia dengan amalnya
pada sesama manusia seperti dibacanya dalam rumusan Multatuli: ”Tugas manusia adalah
menjadi Manusia, tidak menjadi dewa dan juga tidak menjadi setan”.
Menurut Kartini, ”Tolong-menolong dan tunjang-menunjang, cinta- mencintai, itulah nada
dasar segala agama. Kalau saja pengertian ini dipahami dan dipenuhi, agama akan
menguntungkan kemanusiaan, sebagaimana makna asal dan makna keilahian daripadanya:
karunia.” (hlm 235). Sebelumnya Kartini telah menegaskan, ”Agama yang sesungguhnya
adalah kebatinan dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam, dan
lain-lain.” (hlm 234)
Di dalam buku Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia terdapat sebuah
bab yang berjudul ‘Pengaruh Al Quran terhadap Perjuangan Kartini’. Pandangan Kartini
tentang Islam disoroti secara positif. ”Segenap perempuan bumiputra diajaknya kembali ke
jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang, untuk mendapatkan rahmat Allah,
agar mampu meyakinkan umat agama lain memandang agama Islam, agama yang patut
dihormatinya” (surat kepada Ny van Kol, 21 Juli 1902.)
Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, Ny. Van Kol berusaha mengajak Kartini beralih
kepada agama Kristen. Namun hal ini ditolak oleh sang putri Bupati Jepara itu. Bahkan ia
mengingatkan zending Protestan agar menghentikan gerakan Kristenisasinya. Jangan
mengajak orang Islam memeluk agama Nasrani.
Sejak lama Kartini resah sebab tidak mampu mencintai Alquran karena Alquran terlalu suci,
tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa manapun. Di sini tiada seorang pun tahu bahasa
Arab. Orang di sini diajarkan membaca Alquran, tetapi yang dibacanya tiada yang ia
mengerti. Demikian pengakuan dirinya tentang kebutaannya terhadap Alquran kepada Stella
Zeehandelaar (18 Agustus 1899). Kartini merindukan tafsir Alquran agar dapat dipelajari.
Betapa bahagianya Kartini setelah mendapat penjelasan kandungan isi Alquran, seperti
digambarkannya kepada EC Abendanon, ”Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada
melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaaan di samping kami”.
Dirasakannya ada semacam perintah Allah kepada dirinya, ”Barulah sekarang Allah
berkehendak membuka hatimu, mengucap syukurlah!”
”Sekarang ini kami tiada mencari penghibur hati pada manusia, kami berpegang teguh teguh
di tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang dan angin ribut pun menjadi sepoi-
sepoi”. Kata habis gelap terbitlah terang selain tercetus 17 Agustus 1902 juga karena
pengaruh cahaya yang menerangi lubuknya hatinya. Minazh zhulumati ilan nur Ini tafsiran
Ahmad Mansur Suryanegara.
Di dalam buku yang ditulis Th. Sumartana diakui bahwa Kartini lahir dan meninggal sebagai
muslimat (hlm 67). Namun ia memiliki kedekatan dengan ajaran Kristen. Bagaimana
pendapatnya tentang zending? Berbeda dengan uraian Ahmad Mansur Suryanegara, Th
Sumartana melihat dari sudut pandang lain. Menurutnya, Kartini menganggap tidak jujur
apabila zending memancing di air keruh dan mempropagandakan agama Kristen di tengah-
tengah orang Jawa yang miskin, penuh penyakit dan bodoh, tanpa lebih dulu mendidik
mereka, mengobati dan menolong mereka dari kemiskinan. Iman dan kepercayaan yang
benar menurut Kartini hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang sudah benar-benar sadar
memilih, dan mereka yang sudah dewasa (hlm 47). Jadi bagi Th Sumartana, persoalannya
bukankah masalah mengkristenkan orang Islam, sebagaimana yang disoroti oleh banyak
ulama.
Kartini menggambarkan bahwa ada hubungan yang dekat dan intim antara dirinya dengan
Tuhannya. Kedekatannya dengan Tuhan tersebut pada gilirannya memperoleh gambaran
tertentu yang diambil dari kehidupan keluarganya sendiri, yaitu hubungan antara bapak dan
anak. Ia sendiri amat dekat dengan ayahnya, sekalipun dalam banyak perkara mereka tidak
sependapat, hal itu tidak mengurangi rasa kasih sayang dan saling menghormati di antara
mereka berdua.
Sebab itu ketika Ny van Kol mengintroduksi ungkapan ”Tuhan sebagai Bapa”, Kartini segera
menyambutnya dengan semangat. Ungkapan tersebut dianggap tepat, sebagai cetusan
pengalaman batinnya sendiri. Dengan demikian, dapat dipahami jikalau dalam surat-surat
Kartini ungkapan Tuhan sebagai Bapa yang penuh kasih sayang tersebar di sana-sini. Dalam
suratnya kepada Ny. van Kol tanggal 20 Agustus 1902, ia menulis: ”Ibu sangat gembira…
beliau ingin sekali bertemu dengan Nyonya agar dapat mengucapkan terima kasih secara
pribadi kepada Nyonya atas keajaiban yang telah Nyonya ciptakan pada anak-anaknya;
Nyonya telah membuka hati kami untuk menerima Bapa Cinta Kasih!”
Pada surat lain, Kartini menulis ”Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk
membentuk tali persaudaraan di antara semua makhluk Allah, berkulit putih dan cokelat.
Tidak pandang pangkat, perempuan atau lelaki, kepercayaan semuanya kita ini anak Bapa
yang Satu itu, Tuhan yang Maha Esa!”
Dari Ny. van Kol pula Kartini belajar membaca Bibel dan mengerti sebagian dari beberapa
prinsip teologis dari ajaran Kristen. Malahan turut pula mengambil alih beberapa kata yang
punya arti tertentu dalam cerita Al-Kitab, seperti Taman Getsemani, tempat Yesus berdoa dan
menderita sengsara.
Dalam surat kepada Ny. van Kol, Agustus 1901, Kartini menyebutkan bahwa derita neraka
yang dialami oleh kaum perempuan itu disebabkan oleh ajaran Islam yang disampaikan oleh
para guru agama pada saat itu. Agama Islam seolah membela egoisme lelaki. Menempatkan
lelaki dalam hubungan yang amat enak dengan kaum perempuan, sedangkan kaum
perempuan harus menanggungkan segala kesusahannya. Perkawinan cara Islam yang berlaku
pada masa itu, dianggap tidak adil oleh Kartini. (hlm 41).
Itu bukan dosa, bukan pula aib; ajaran Islam mengizinkan kaum lelaki kawin dengan empat
orang wanita sekaligus. Meskipun hal ini seribu kali tidak boleh disebut dosa menurut hukum
dan ajaran Islam, selama-lamanya saya tetap menganggapnya dosa. Semua perbuatan yang
menyebabkan sesama manusia menderita, saya anggap sebagai dosa. Dosa ialah menyakiti
makhluk lain; manusia atau binatang. (hlm 41)
Kritik Kartini yang keras terhadap poligami mengesankan ia anti-Islam. “Tetapi sebetulnya
tidak demikian,” ujar Haji Agus Salim. ”Suara itu haruslah menjadi peringatan kepada kita
bahwa besar utang kita dan berat tanggungan kita akan mengobati kecelakaan dan menolak
bahaya itu. Kepada marhumah yang mengeluarkan suara itu, tidaklah mengucapkan cela dan
nista, melainkan doa mudah-mudahan diampuni Allah kekurangan pengetahuannya karena
kesempurnaan cintanya kepada bangsanya dan jenisnya.” (hlm 43).
St. Sunardi, dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta mengulas aspek emansipasi yang
dilancarkan oleh Kartini yang mencakup emansipasi kelembagaan dalam bidang pendidikan,
emansipasi keluarga, bahasa, dan olah rasa. Ginonjing adalah nama gending kegemaran
Kartini dan adik-adiknya yang menggambarkan pengalaman batin yang tidak menentu. Ada
suasana muram saat Kartini mengunyah ide emansipasi di Eropa dan membandingkan dengan
keadaan di Jepara saat itu. ”Siapa pun yang terpilih oleh nasib menjadi ibu ruhani untuk
melahirkan yang baru harus menanggung derita. Ini adalah hukum alam siapa yang
melahirkan harus menanggung kesakitan saat melahirkan bayi yang teramat sangat kami
cintai.”
Ternyata kemudian Kartini tidak jadi belajar ke negeri Belanda. Ia menerima lamaran Bupati
Rembang yang sudah beristri tiga dan punya anak tujuh. Kartini memang manusia biasa
dengan segala keterbatasannya. Namun wacana tentang perempuan yang satu ini masih tetap
hidup, baik di kalangan penganut aliran kepercayaan, Islam, Protestan, Katholik, dan
komunis, dengan berbagai versi dan beraneka kepentingan.
Dalam catatan Ridwan Saidi, orang-orang Belanda gagal mengajak Kartini berangkat studi ke
negeri Belanda. Karena gagal, maka mereka menyusupkan ke dalam kehidupan Kartini
seorang gadis kader Zionis bernama Josephine Hartseen. Hartseen, menurut Ridwan adalah
nama keluarga Yahudi.
Siapa yang berperan penting merekatkan hubungan Kartini dengan para elit Belanda? Adalah
Christian Snouck Hurgronje orang yang mendorong J.H Abendanon agar memberikan
perhatian lebih kepada Kartini bersaudara. Hurgronje adalah sahabat Abendanon yang
dianggap oleh Kartini mengerti soal-soal hukum agama Islam. Atas saran Hurgronje agar
Abendanon memperhatikan Kartini bersaudara, sampailah pertemuan antara Abendanon dan
Kartini di Jepara.
Sebagai seorang orientalis, aktivis Gerakan Politik Etis, dan penasihat pemerintah Hindia
Belanda, Snouck Hurgronje juga menaruh perhatian kepada kepada anak-anak dari keluarga
priyayi Jawa lainnya. Hurgronje berperan mencari anak-anak dari keluarga terkemuka untuk
mengikuti sistem pendidikan Eropa agar proses asimilasi berjalan lancar.
Langkah ini persis seperti yang dilakukan sebelumnya oleh gerakan Freemasonry lewat
lembaga ”Dienaren van Indie” (Abdi Hindia) di Batavia yang menjaring anak-anak muda
yang mempunyai bakat dan minat untuk memperoleh beasiswa. Kader-kader dari ”Dienaren
van Indie” kemudian banyak yang menjadi anggota Theosofi dan Freemasonry.
Surat-surat Kartini kepada Ny. Abendanon, orang yang dianggap satu-satunya sosok yang
boleh tahu soal kehidupan batinnya, dan surat-surat Kartini lainya para humanis Eropa
keturunan Yahudi di era 1900-an sangat kental nuansa Theosofinya. Seperti ditulis dalam
surat-suratnya, Kartini mengakui ada orang yang mengatakan bahwa dirinya tanpa sadar
sudah masuk kedalam alam pemikiran Theosofi.
Pertanyaan ini diajukan Kartini kepada Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, atau lebih
dikenal dengan Kyai Sholeh Darat, ketika berkunjung ke rumah pamannya Pangeran Ario
Hadiningrat, Bupati Demak. Waktu itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk
anggota keluarga dan Kartini ikut mendengarkan bersama para raden ayu lainnya dari balik
tabir. Karena tertarik pada materi pengajian tentang tafsir Al-Fatihah, setelah selesai Kartini
mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kyai tersebut.
“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama
(Al-Fatihah), dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka
bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya,
mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran
dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan
sejahtera bagi manusia?“
Ibu Kartini muda yang di kala itu belajar Islam dari seorang guru mengaji, memang telah
lama merasa tidak puas dengan cara mengajar guru itu karena bersifat dogmatis dan
indoktrinatif. Walaupun kakeknya Kyai Haji Madirono dan neneknya Nyai Haji Aminah dari
garis ibunya, M. A. Ngasirah adalah pasangan guru agama, Kartini merasa belum bisa
mencintai agamanya. Betapa tidak? Beliau hanya diajar bagaimana membaca dan menghapal
Al-Qurâ’an dan cara melakukan shalat, tapi tidak diajarkan terjemahan, apalagi tafsirnya.
Pada waktu itu penjajah Belanda memang memperbolehkan orang mempelajari Al-Qurâ’an
asal jangan diterjemahkan.
Tergugah dengan kritik itu, Kyai Sholeh Darat kemudian menterjemahkan Al-Qurâ’an dalam
bahasa Jawa dan menuliskannya dalam sebuah buku berjudul Faidhir Rahman Fit Tafsiril
Quran jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat Ibrahim.
Buku itu dihadiahkan kepada Ibu Kartini saat beliau menikah dengan R. M Joyodiningrat,
Bupati Rembang pada tanggal 12 November 1903.
Kyai Sholeh Darat keburu meninggal pada tanggal 18 Desember 1903 pada saat baru
menterjemahkan satu jilid tersebut. Namun dari informasi Ilahi yang tampaknya terbatas itu
pun sudah cukup membuka pikiran Ibu Kartini mengenai Islam dan ajaran-ajarannya.
Salah satu hal yang memberikan kesan mendalam pada beliau adalah ketika membaca tafsir
Surat Al-Baqarah. Dari situlah tercetus kata-kata beliau dalam bahasa Belanda, Door
Duisternis Tot Licht. Ungkapan itu sebenarnya terjemahan bahasa Belanda dari petikan
firman Allah Subhanahu wa Ta`ala yaitu Minadz Dzulumaati Ilan Nuur yang terdapat dalam
Surat Al-Baqarah ayat 257. Oleh Armijn Pane, ungkapan itu diterjemahkan dalam bahasa
Melayu atau Indonesia sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang. Padahal jika berangkat dari
petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala tersebut lebih tepat dimaknai sebagai Dari
Kegelapan Menuju Cahaya, yang dapat ditafsirkan sebagai �dari pemikiran yang tak
terarah menuju pemikiran yang dilandasi hidayah Iman dan Islam�.
Petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala dalam Surat Al-Baqarah ayat 257 tersebut
sebenarnya untuk menggambarkan kondisi kejiwaan seseorang yang mendapat hidayah Iman
dan Islam, di mana dia mendapatkan informasi yang sangat terang dan masuk dalam
kalbunya mengenai kebenaran yang hakiki dari Tuhannya. Kondisi seperti itulah yang
dialami oleh Ibu Kartini menjelang akhir hidupnya.
Oleh sebab itu penulis membagi perjalanan hidup Ibu Kartini yang mengalami pencerahan
dalam dua fase, yaitu fase pra dan selama-pasca mendapat hidayah. Momen perubahannya
adalah pada saat beliau menghadiri pengajian tafsir Al-Qurâ an yang diberikan oleh Kyai
Sholeh Darat tersebut.
Dalam fase pertama, yaitu fase pra-hidayah, Ibu Kartini mendapat pencerahan tentang
perlunya mendobrak adat-adat lokal, baik perilaku yang mengistimewakan keturunan ningrat
daripada keturunan rakyat biasa maupun yang mengekang hak-hak wanita pada umumnya.
Menurut beliau, setiap manusia adalah sederajat dan mereka berhak mendapat perlakuan yang
sama. Sedangkan khusus untuk wanita, mereka memiliki hak misalnya untuk memperoleh
pendidikan sekolah, hak untuk melakukan aktivitas keluar rumah, hak untuk memilih calon
suami. Namun di lain pihak Ibu Kartini juga berusaha untuk menghindar dari pengaruh
budaya Barat walaupun juga mengakui bahwa perlu belajar dari Barat karena lebih maju
dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dalam fase ini Ibu Kartini juga mengajukan
kritik dan saran kepada Pemerintahan Hindia Belanda.
Dalam fase kedua, yaitu selama dan pasca mendapatkan hidayah, beliau mendapat
pencerahan tentang agama yang dianutnya, yaitu Islam. Bahwa Islam, jika ajaran-ajarannya
diikuti dengan benar sesuai dengan Al-Qur’an, ternyata membawa kehidupan yang lebih
baik dan memiliki citra baik di mata umat agama lain. Ibu Kartini menulis dalam surat-
suratnya, bahwa beliau mengajak segenap perempuan bumiputra untuk kembali ke jalan
Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang untuk mendapatkan rahmat Allah, agar
mampu meyakinkan umat lain memandang agama Islam sebagai agama yang patut dihormati.
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang
agama Islam patut disukai” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].
Klimaksnya, nur hidayah itu membuatnya bisa merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk
wanita, bukan untuk menyaingi kaum laki-laki seperti yang diyakini oleh kebanyakan
pejuang feminisme dan emansipasi, namun untuk lebih cakap menjalankan kewajibannya
sebagai ibu. Ibu Kartini menulis: “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan
pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak
perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami
yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap
melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya:
menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan
Nyonya, 4 Oktober 1902].
Pikiran beliau ini mengalami perubahan bila dibandingkan dengan pada waktu fase sebelum
hidayah, yang lebih mengedepankan keinginan akan bebas, merdeka, dan berdiri sendiri. Ibu
Kartini menulis: “Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata “Emansipasi” belum ada
bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang
kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup di
dalam hati sanubarai saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan
bebas, merdeka, berdiri sendiri.” [Surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899].
Tidak hanya itu, nur hidayah itu juga bisa menyebabkan perubahan sikap beliau terhadap
Barat yang tadinya dianggap sebagai masyarakat yang paling baik dan dapat dijadikan
contoh. Ibu Kartini menulis, “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat
Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi
apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal
bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama
sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27
Oktober 1902].
Dan yang lebih penting lagi, beliau menjadi sadar terhadap upaya kristenisasi secara
terselubung yang dilakukan oleh teman-temannya. Ibu Kartini menulis, “Bagaimana
pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata
atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi?… Bagi orang Islam, melepaskan
keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya.
Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu
dilakukan?” [Surat Kartini kepada E. E. Abendanon, 31 Januari 1903].
***
Allah Subhanahu wa Ta`ala Maha Berkehendak dengan menggariskan hidup Ibu Kartini yang
terbilang cukup pendek, 25 tahun, yaitu empat hari setelah melahirkan putranya, R. M.
Soesalit. Dia juga mentakdirkan hidup Kyai Sholeh Darat tidak cukup panjang untuk
menuntaskan buku tafsir Al-Qurâ’an dalam bahasa Jawanya, sehingga informasi mengenai
Al-Qurâ’an yang diterima oleh Ibu Kartini masih terbatas. “Manusia itu berusaha, Allah-lah
yang menentukan” [Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, Oktober 1900].
Namun sebenarnya itu sudah cukup untuk memberikan gambaran bagaimana sebenarnya visi
Ibu Kartini sebagai sosok muslimah, terutama pada masa-masa akhir hidupnya, yaitu fase
selama dan pasca hidayah. Itu pun juga cukup bagi kita untuk bisa memahami mengapa
beliau pada akhirnya merasa ikhlas menjadi isteri keempat Bupati Rembang, yang kemudian
justru mendukung semua cita-cita perjuangannya dalam pendidikan terhadap kaum wanita,
yaitu dengan mendirikan sekolah wanita di Kabupaten Rembang. Kartini menulis mengenai
suaminya, “Akan lebih banyak lagi yang saya kerjakan untuk bangsa ini bila saya ada
di samping seseorang laki-laki yang cakap, yang saya hormati, yang mencintai rakyat
rendah sebagai saya juga. Lebih banyak, kata saya, daripada yang dapat kami
usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri. “ ? [Habis Gelap Terbitlah Terang,
hlm. 187].
Dan itu juga cukup untuk dapat kita bayangkan, bahwa (semoga) Ibu Kartini wafat dalam
keadaan husnul khotimah, setelah sebelumnya diombang-ambingkan oleh berbagai pemikiran
teman-temannya, dan walaupun banyak orang mengulas kumpulan tulisannya dari berbagai
sudut pandang dan agama.
Namun yang juga sangat penting buat kita muslimah generasi penerusnya adalah pesan-pesan
beliau secara tersirat agar kembali kepada fitrahnya dan selalu berpegang pada Al-Qurâ’an
(dan Hadits). Al-Qurâ’an harus selalu dibaca, dipelajari, dihapalkan, dimengerti maknanya,
dan diamalkan, agar benar-benar meninggalkan kegelapan menuju cahaya. Ajakan beliau ini
lebih mendasar dan tentu lebih bermanfaat daripada mengedepankan isu-isu tentang
feminisme dan kesetaraan gender, misalnya yang pada dasarnya merupakan konsep Barat.
Lagipula, sikap yang mempercayai bahwa sesuatu yang berasal dari Barat itu paling baik,
justru digugat oleh Ibu Kartini sendiri.
Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan Al-Qurâ’an, di mana salah satu kehendak-Nya
adalah justru untuk mengangkat harkat dan martabat wanita. Pada dasarnya, gerakan
emansipasi perempuan dalam sejarah peradaban manusia sebenarnya dipelopori oleh risalah
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi wa Sallam tersebut.
Hingga di sini, marilah kita merenung kembali, apakah kita semua telah mengikuti pesan dan
teladan Ibu Kartini tersebut?
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah”. (surat Kartini ke Ny
Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903)