Anda di halaman 1dari 11

CALON ARANG

Jawa Timur, sebelum Majapahit, sebelum Singasari, munculah seorang


penyihir yang paling sakti di bumi Nusantara ini. Namanya adalah Calon
Arang. Dia hidup pada masa pemerintahan Prabu Airlangga (1009-1042
Masehi).

Jadi, Calon Arang ini adalah seorang janda dan sekaligus tukang sihir.
Sebagai pemeluk agama Hindu, Calon Arang memuja Durga, penjelmaan
amarah dari Dewi Parwati (ibunya Dewa Ganesha). Calon Arang sering
melakukan ritual-ritual yang mengerikan di kuil Durga seperti pengorbanan
manusia yang diambil paksa sebelumnya. Darah dari para korban ini
dipergunakan Calon Arang dan para pengikutnya untuk berkeramas sehingga
tambah mengerikanlah wujud Sang Penyihir yang sakti mandraguna ini.

Konon, penduduk dusun Girah, tempat tinggal Calon Arang, selalu diliputi
oleh ketakutan. Salah sedikit saja, bisa menyebabkan celaka. Calon Arang
tidak ambil pusing mengenai siapa korbannya. Seorang anak kecil bisa
dikutuk buta dan lumpuh. Padahal anak itu tidak sengaja mengganggu saat
main suaranya terlalu keras saja.

Kisah dimulai saat Calon Arang marah. Pasalnya, tidak ada seorang pun yang
melamar putrinya yaitu Ratna Manggali. Walaupun Ratna Manggali adalah
gadis cantik yang berbudi luhur, namun tidak ada laki-laki yang cukup waras
untuk berani menjadi menantu Calon Arang.

Dalam amarahnya ini, Calon Arang mengadu kepada Dewi Durga dan
memohon izin untuk menyebarkan kutukan maut ke seluruh kerajaan. Dewi
Durga mengizinkan dengan satu syarat: kutukannya tidak boleh memasuki
ibukota kerajaan tempat Prabu Airlangga menetap.

Maka dimulailah bencana alam dan menyakit melanda seluruh negeri. Ribuan
orang menjadi korban. Mayat-mayat bergelimpangan. Setiap satu orang mati,
maka seluruh anggota keluarganya pun bisa dipastikan akan sakit dan mati
pula.

Prabu Airlangga sangat marah mengetahui bahwa rakyatnya menderita. Maka


diutuslah satu pasukan khusus untuk menumpas Calon Arang. Namun,
pasukan ini gagal. Tidak ada yang bisa berkutik melawan mantera-mantera
yang dihembuskan Calon Arang. Prabu Airlangga kemudian merenung dan
merenung, setelah itu dia bertapa memohon petunjuk Dewa Wisnu. Semakin
banyak berita kematian dan penderitaan, semakin tertekan Prabu Airlangga.

Sang Prabu kemudian mengambil keputusan: mantera harus dilawan dengan


mantera. Ini musuh yang tidak akan bisa ditaklukan dengan bala tentara.
Maka dipanggilah seluruh pendeta ke istana. Raja memohon nasihat dan doa.
Maka ramailah segala kuil dan tempat pemujaan. Semua orang berdoa
memohon pertolongan kepada Dewa. Dan petunjuk Dewa sangat jelas; orang
yang bisa mengalahkan Calon Arang adalah seorang pendeta yang, bukan
hanya berilmu tinggi, tapi juga cerdik. Pendeta ini bernama Empu Baradah.

Kisah tentang Calon Arang ini sendiri bukan karangan Pramoedya


Ananta Toer, namun merupakan kisah rakyat Jawa Timur dan Bali. Siapa
pengarang aslinya tidak pernah tercatat.

Naskah lontar yang berisi Ceritera Calonarang itu ditulis dengan aksara Bali
Kuna dan saat ini tersimpan di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal –
Land – en Volkenkunde van Ned. Indies di Leiden, Belanda. Penerjemahan
tokoh si Calon Arang ini pun cukup beraneka ragam. Kebanyakan memang
menerima bahwa Calon Arang adalah tokoh jahat tidak terkira. Namun
beberapa penerjemahan yang baru justru mengasosiasikan Calon Arang
dengan Ratu Mahendratta, ibunda Prabu Airlangga sendiri.
Cerita Rakyat Si Pitung : Jagoan Dari Betawi
Hati si Pitung geram sekali. Sore ini ia kembali melihat kesewenang-wenangan para
centeng Babah Liem. Babah Liem atau Liem Tjeng adalah tuan tanah di daerah tempat
tinggal si Pitung. Babah Liem menjadi tuan tanah dengan memberikan sejumlah uang
pada pemerintah Belanda, Selain itu, ia juga bersedia membayar pajak yang tinggi
pada pemerintah Belanda. Itulah sebabnya, Babah Liem mempekerjakan centeng-
centengnya untuk merampas harta rakyat dan menarik pajak yang jumlahnya mencekik
Ieher.

Si Pitung bertekad, ia harus melawan para centeng Babah Liem. Untuk itu ia berguru
pada Haji Naipin, seorang ulama terhormat dan terkenal berilmu tinggi. Haji Naipin
berkenan untuk mendidik si Pitung karena beliau tahu wataknya. Ya, si Pitung memang
terkenal rajin dan taat beragama. Tutur katanya sopan dan ia selalu patuh pada kedua
orangtuanya, Pak Piun dan Bu Pinah.

Beberapa bulan kemudian, si Pitung telah menguasai segala ilmu yang diajarkan oleh
Haji Naipin. Haji Naipin berpesan, “Pitung, aku yakin kau bukan orang yang sombong.
Gunakan ilmumu untuk membela orang-orang yang tertindas. Jangan sekali-kali kau
menggunakannya untuk menindas orang lain.” Si Pitung mencium tangan Haji Naipin
lalu pamit. Ia akan berjuang melawan Babah Liem dan centeng-centengnya.

“Lepaskan mereka!” teriak si Pitung ketika melihat centeng Babah Liem sedang
memukuli seorang pria yang melawan mereka.

“Hai Anak Muda, siapa kau berani menghentikan kami?” tanya salah satu centeng itu.

“Kalian tak perlu tahu siapa aku, tapi aku tahu siapa kalian. Kalian adalah para
pengecut yang bisanya hanya menindas orang yang lemah!” jawab si Pitung.

Pemimpin centeng itu tersinggung mendengar perkataan si Pitung. Dia lalu


memerintahkan anak buahnya untuk menyerang si Pitung. Namun semua centeng itu
roboh terkena jurus-jurus si Pitung. Mereka bukanlah lawan yang seimbang baginya.
Mereka Ian terbirit-birit, termasuk pemimpinnya.

Sejak saat itu, si Pitung menjadi terkenal. Meskipun demikian ia tetaplah si Pitung yang
rendah hati dan tidak sombong.

Sejak kejadian dengan para centeng Babah Liem, si Pitung memutuskan untuk
mengabdikan hidupnya bagi rakyat jelata. Ia tak tahan menyaksikan kemiskinan
mereka, dan ia muak melihat kekayaan para tuan tanah yang berpihak pada Belanda.

Suatu saat ia mengajak beberapa orang untuk bergabung dengannya. Mereka


merampok rumah orang-orang kaya dan membagikan hasil rampokan tersebut pada
rakyat jelata. Sedikit pun ia tak pernah menikmati hasil rampokan itu secara pribadi.
Rakyat jelata memuji-muji kebaikan hati si Pitung. Sebaliknya, pemerintah Belanda dan
para tuan tanah mulai geram.

Apalagi banyak perampok lain yang bertindak atas nama si Pitung, padahal mereka
bukanlah anggota si Pitung. Pemerintah Belanda kemudian mengeluarkan perintah
untuk menangkap si Pitung. Meskipun menjadi buronan, si Pitung tak gentar. Ia tetap
merampok orang-orang kaya, dengan cara berpindah tempat agar tak mudah
tertangkap.

Kesal karena tak bisa menangkap si Pitung, pemerintah Belanda menggunakan cara
yang licik. Mereka menangkap Pak Piun dan Haji Naipin. Salah satu pejabat pemerintah
Belanda yang bernama Schout Heyne mengumumkan bahwa kedua orang tersebut
akan dihukum mati jika si Pitung tak menyerah. Berita itu sampai juga ke telinga si
Pitung. Ia tak ingin ayah dan gurunya mati sia-sia. Ia lalu mengirim pesan pada Schout
Heyne. Si Pitung bersedia menyerahkan diri jika ayah dan gurunya dibebaskan. Schout
Heyne menyetujui permintaan si Pitung. Pak Piun dibebaskan, tapi Haji Naipin tetap
disandera sampai si Pitung menyerahkan diri. Akhirnya si Pitung muncul. “Lepaskan
Haji Naipin, dan kau bebas menangkapku,” kata si Pitung. Schout Heyne menuruti
permintaan tersebut. Haji Naipin pun dilepaskan.

“Pitung, kau telah meresahkan banyak orang dengan kelakuanmu itu. Untuk itu, kau
harus dihukum mati,” kata Schout Heyne.

“Kau tidak keliru? Bukannya kau dan para tuan tanah itu yang meresahkan orang
banyak? Aku tidak takut dengan ancamanmu,” jawab si Pitung.

“Huh, sudah mau mati masih sombong juga. Pasukan, tembak dia!” perintah Schout
Heyne pada pasukannya.

Pak Piun dan Haji Naipin berteriak memprotes keputusan Schout Heyne. “Bukankah
anakku sudah menyerahkan diri? Mengapa harus dihukum mati?” ratap Pak Piun.
Namun Schout Heyne tak perduli, baginya si Pitung telah mengancam jabatannya.

Suara rentetan peluru pun memecahkan kesunyian, tubuh si Pitung roboh bersimbah
darah terkena peluru para prajurit Belanda. Pak Piun dan Haji Naipin sangat berduka.
Mereka membawa pulang jenazah si Pitung kemudian menguburkannya. Berkat jasa-
jasanga, bangak sekali orang yang mengiringi pemakamannga dan mendoakannga.
Meskipun ia telah tiada, si Pitung tetap dikenang sebagai pahlawan bagi rakyat jelata.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Si Pitung Dari Betawi untukmu adalah Jadilah orang
yang rendah hati dan berani membela kebenaran
Anak SD Mau ke Surga
Suatu ketika, sejumlah murid salah satu kelas di SD sedang menjalani
pelajaran agama. Dengan penuh semangat, seorang guru bernama Udin
sedang memberikan pelajaran yang membahas mengenai surga. Usai
memberikan penjelasan mengenai surga, sang guru lantas memberikan
pertanyaan kepada seluruh muridnya. Berikut percakapannya:

“anak-anak, siapa yang mau masuk surga?” tanya Udin.

“Saya pak, saya,” teriak seluruh murid.

Dari seluruh anak yang mengajukan diri, rupanya ada satu murid bernama
Ucok tidak ikut berteriak. Hal itu membuat sang guru kembali bertanya.

“Yang mau masuk surga tunjukkan tangannya,” tanya Udin lagi.

“Sayaa,” teriak para murid berlomba-lomba mengangkat tangannya.

Lagi-lagi, Ucok tetap diam tak bergeming. Demi memacu semangat muridnya,
dia pun kembali bertanya.

“Yang mau masuk surga ayo berdiri.”

Mendengar itu, seluruh murid berdiri, kecuali Ucok yang tetap diam dan malah
disibukkan dengan bukunya sendiri.

Merasa ada murid yang tak bersemangat, Udin pun menghampiri Ucok dan
bertanya, “Cok, kamu mau masuk surga enggak?”

“Mau dong pak!” jawab Ucok.

“Terus kenapa kamu enggak berdiri?” lanjur Udin penasaran.

“Lha, memangnya mau berangkat sekarang pak?”


Abu Nawas Mau Terbang (Timur Tengah)

Penduduk gempar. Abu Nawas mengatakan bahwa dirinya mau terbang. Hal itu
membuat sebagian penduduk percaya akan kehebatan Abu Nawas.

“Benarkah kau mau terbang?” tanya seorang pemuda.

“Ya, aku mau terbang,” jawab Abu Nawas.

Berita tentang mau terbangnya Abu Nawas pun menyebar. Penduduk penasaran,
apakah Abu Nawas akan benar-benar terbang. Hal itu terdengar sampai ke telinga
Raja. Raja lalu memanggil Abu Nawas untuk memastikan kebenarannya.

“Berita tentang kau yang man terbang membuat penduduk heboh, bahkan sampai ke
luar negeri. Apakah benar kau mau terbang, Abu Nawas?” tanya Raja.

“Ya Raja, itu benar. Aku memang mau terbang,” ucap Abu Nawas, mantap.

“Apakah kau berbohong?” Raja memastikan.

“Aku tidak berbohong, Raja. Aku mau terbang hari Jum’at besok, di tempat tertinggi di
negeri ini,” ucap Abu Nawas.

“Baiklah kalau begitu, biar prajurit yang akan mengumumkannya kepada rakyat. Tetapi
awas, jika kau berbohong, maka kau akan dihukum mati,” balas Raja.

Tepat pada hari Jum’at, semua penduduk sudah berkumpul. Mereka ingin menyaksikan
Abu Nawas terbang.

“Hebat sekali Abu Nawas,” ucap salah satu penduduk.

“Terbanglah kau Abu Nawas. Paling-paling kau akan terjatuh lalu mati. Jika tidak, kau
akan mendapatkan hukuman mati dari raja. Jadi itu sama saja untukmu,” ujar penduduk
lainnya.

Abu Nawas naik ke atas bangunan yang paling tinggi. Semua penduduk dan Raja
menyaksikannya dengan penasaran. Sesampainya di atas bangunan tertinggi, Abu
Nawas tersenyum. Ia lalu mengepak-ngepakkan tangannya seperti mau terbang.

Penduduk menjadi jengkel. Abu Nawas tak juga terbang. Ia hanya seperti orang mau
terbang.

“Hai, Abu Nawas, kenapa kau bohongi kami?!” seru Raja.


“Hamba tidak berani berbohong, Raja. Hamba memang mau terbang. Apakah kalian
melihat saya mau terbang?” tanya Abu Nawas kepada penduduk.

“Iya, kami melihat kau seperti mau terbang. Namun, kau tak terbang-terbang,” seru
penduduk.

“Nah, benar kan, hamba tidak berbohong. Hamba hanya mau terbang, tetapi ternyata
hamba tak bisa terbang,” ucap Abu Nawas kepada Raja.

Raja dan penduduk tak bisa menyalahkan Abu Nawas. Abu Nawas memang berkata
benar. Raja hanya tertawa medengar penjelasan Abu Nawas. Rupanya, sekali lagi,
mereka terkecoh oleh Abu Nawas.

Pesan moral dari Cerita Abu Nawas Paling Lucu : Abu Nawas Mau Terbang (Timur
Tengah) adalah jangan telan mentah-mentah ucapan orang lain. Pikirkan matang-
matang sebelum menyimpulkan.
Legenda Tujuh Kepala Ular

Pada suatu masa rakyat kerajaan Kutei Rukam di Lebong, Bengkulu, senang. Putra
Mahkota Gajah Meram akan menikahi seorang putri dari Kerajaan Suka Negeri.

Raja Bikau Bermano meminta rakyatnya untuk menyiapkan pesta yang hebat. Salah
satu prosesi pernikahan adalah pengantin wanita dan mempelai pria harus mandi di
Danau Tes. Ketika mereka sedang berenang, tiba-tiba sang pangeran dan sang putri
menghilang.

Para tentara segera melompat ke danau. Tetapi mereka tidak dapat menemukan
pangeran dan putri. Mereka benar-benar bingung mengapa pangeran dan putri tiba-tiba
menghilang.

Mengetahui hal itu Raja sangat sedih. Dia meminta semua prajurit untuk berenang.
Namun tetap saja pangeran dan puteri tidak dapat ditemukan. Belakangan seorang
lelaki suci tua mendatangi raja.

Dia mengatakan bahwa pangeran dan putri diculik oleh ular berkepala tujuh. Dia adalah
raja ular dan dia memiliki banyak prajurit ular. Satu-satunya orang yang bisa membantu
adalah seorang pemuda yang memiliki keterampilan hebat dalam seni bela diri dan
kekuatan gaib.

Pria muda yang ia maksudkan adalah putra bungsu raja. Namanya adalah Pangeran
Gajah Merik. Dia juga murid dari orang suci itu. Raja sangat tersentuh ketika Pangeran
Gajah Merik bersedia menemukan kakak laki-lakinya dan istri saudaranya.

Orang suci memberi tahu Pangeran Gajah Merik agar tidak takut pada bangsa ular.

Pangeran Gajah Merik pun masuk ke dalam danau dan melawan tentara ular dengan
berani. Tentara ular tidak bisa melawannya. Gajah Merik sangat kuat. Dia bisa dengan
mudah membunuh tentara ular.

Dan akhirnya dia berhadapan langsung dengan raja ular. Dia adalah ular berkepala
tujuh. Raja ular sangat marah, mengetahui para tentaranya banyak yang mati ditangan
pangeran Gajah Merik.

“Hei, kamu manusia! Mengapa kamu membunuh semua prajuritku?” tanya raja ular.

“Mereka berusaha menghentikanku. Aku ingin membebaskan kakak laki-lakiku dan


istrinya.”
“Aku akan membebaskan mereka. Tapi kamu harus melakukan dua hal. Pertama kamu
harus membuat prajuritku yang mati hidup lagi. Dan kedua, kamu harus mengalahkan
aku tentu saja. Hahaha.”

Dengan kekuatannya, Gajah Merik menyentuh ular yang mati. Hebatnya, mereka hidup
kembali. Kemudian, pangeran dan raja ular berkelahi.

Berbeda dengan prajurit ular, raja ular itu sangat kuat. Dia hampir membunuh Gajah
Merik. Untungnya, Gajah Merik memiliki kesaktian yang lebih baik. Dan setelah
bertarung selama tujuh hari. Gajah Merik memenangkan pertarungan. Raja ular
meminta Gajah Merik untuk memaafkannya dan membebaskannya. Gajah Merik
merasa kasihan dan dia membiarkan raja ular dan pasukannya pergi.

Kemudian, Gajah Merik membawa Gajah Meram dan istrinya kembali ke istana. Raja
sangat senang. Ia juga berencana menjadikan Gajah Meram menjadi raja baru. Namun,
Gajah Meram menolaknya. Dia mengatakan Gajah Merik lebih baik menjadi raja
berikutnya. Dia sangat berani dan kuat. Dia juga memiliki hati yang luar biasa. Dia rela
mengorbankan dirinya.

Gajah Merik setuju untuk menjadi raja berikutnya. Tetapi dia meminta ayahnya untuk
membiarkan raja ular dan prajuritnya menjadi prajuritnya. Raja setuju. Sejak itu, raja
ular dan prajuritnya menjadi prajurit Gajah Merik.

Hingga saat ini, masyarakat di Lebong, Bengkulu, meyakini bahwa ada ular berkepala
tujuh yang menjaga danau Tes. Mereka tidak berani mengatakan kata-kata buruk saat
melintasi danau. Kalau tidak, ular berkepala tujuh ini akan marah, dan bisa
menyebabkan kerjadian yang tidak diinginkan.
 Dongeng Legenda Sangkuriang

Pada jaman dahulu, tersebutlah kisah seorang puteri raja di Jawa Barat bernama
Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Sangkuriang.
Anak tersebut sangat gemar berburu.

Ia berburu dengan ditemani oleh Tumang, anjing kesayangan istana. Sangkuriang tidak
tahu, bahwa anjing itu adalah titisan dewa dan juga bapaknya.

Pada suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan
buruan. Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan.

Ketika kembali ke istana, Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bukan
main marahnya Dayang Sumbi begitu mendengar cerita itu. Tanpa sengaja ia memukul
kepala Sangkuriang dengan sendok nasi yang dipegangnya.

Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan pergi mengembara.

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia selalu berdoa dan
sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya sebuah hadiah. Ia
akan selamanya muda dan memiliki kecantikan abadi.

Setelah bertahun-tahun mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke


tanah airnya. Sesampainya disana, kerajaan itu sudah berubah total. Disana
dijumpainya seorang gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang Sumbi. Terpesona oleh
kecantikan wanita tersebut maka, Sangkuriang melamarnya. Oleh karena pemuda itu
sangat tampan, Dayang Sumbi pun sangat terpesona padanya.

Pada suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong Dayang Sumbi
untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi demi melihat
bekas luka di kepala calon suaminya. Luka itu persis seperti luka anaknya yang telah
pergi merantau. Setelah lama diperhatikannya, ternyata wajah pemuda itu sangat mirip
dengan wajah anaknya. Ia menjadi sangat ketakutan.

Maka kemudian ia mencari daya upaya untuk menggagalkan proses peminangan itu. Ia
mengajukan dua buah syarat. Pertama, ia meminta pemuda itu untuk membendung
sungai Citarum. Dan kedua, ia minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan
besar untuk menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi sebelum
fajar menyingsing.

Malam itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia mengerahkan


mahluk-mahluk gaib untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu. Dayang Sumbi pun
diam-diam mengintip pekerjaan tersebut. Begitu pekerjaan itu hampir selesai, Dayang
Sumbi memerintahkan pasukannya untuk menggelar kain sutra merah di sebelah timur
kota.
Ketika menyaksikan warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira hari sudah
menjelang pagi. Ia pun menghentikan pekerjaannya. Ia sangat marah oleh karena itu
berarti ia tidak dapat memenuhi syarat yang diminta Dayang Sumbi.

Dengan kekuatannya, ia menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah banjir besar


melanda seluruh kota. Ia pun kemudian menendang sampan besar yang dibuatnya.
Sampan itu melayang dan jatuh menjadi sebuah gunung yang bernama “Tangkuban
Perahu.

Anda mungkin juga menyukai