Anda di halaman 1dari 31

PROPOSAL SKRIPSI

HAK MENGUASAI NEGARA DALAM


PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL
DAN BATUBARA

MESA QUR’ANIAH EFFENDI


NPM : 18.00029

PROGRAM STUDI HUKUM


SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM HABARING
HURUNG SAMPIT
TAHUN 2020

Jalan : KI Hajar Dewantara No. 56. Sampit


Kabupaten Kotawaringin Timur
Provinsi Kalimantan Tengah
Telepon (0531) 24695
LEMBAR PENGESAHAN

NASKAH UJIAN PROPOSAL SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI UNTUK


DIUJI PADA TANGGAL

Oleh:
PEMBIMBING I

DR. RORRY PRAMUDYA, S.H., M.H.


NIDN.1129048501

PEMBIMBING II

BAMBANG EDI PRIYANTO, S.H., M.H.


NIDN.1101126702

Mengetahui
KETUA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
SEKOLAH TINGGIN ILMU HUKUM HABARING HURUNG SAMPIT

HARTONO, S.H,. M.H.


NIDN.1114106602

i
DAFTAR ISI

HALAMAN

LEMBAR PENGESAHAN………………………………………….…............ i

DAFTAR ISI………..……………………………………………………........... ii

1. LATAR BELAKANG DAN RUMUSAN MASALAH…….…….…........ 1


2. TUJUAN PENELITIAN….…………………………..….……………..… 6
3. MANFAAT PENELITIAN……………………………………………….. 7
4. PERBANDINGAN DENGAN PENELITIAN SEBELUMNYA….……. 7
5. KERANGKA TEORITIK DAN KONSEPTUAL.………………….…... 9
5.1. KONSEP NEGARA HUKUM DAN NEGARA
KESEJAHTERAAN…………………………………………….…….. 9
5.1.1. KONSEP NEGARA HUKUM…………………….…….…..….. 9
5.1.2. KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN……………………… 12
5.2. TEORI KEWENANGAN DAN TEORI PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN………………………………………………………….… 15
5.2.1. TEORI KEWENANGAN……………………………………….. 15
5.2.2. TEORI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN…………. 17
6. METODE PENELITIAN…………………………………………………. 21
6.1. TIPE PENELITIAN………………………………………………..…... 21
6.2. PENDEKATAN MASALAH………………………………..………… 21
6.3. SUMBER BAHAN HUKUM……………………………………..…… 23
6.4. TEKNIK PROSEDUR PENGUMPULAN DAN ANALISA BAHAN
HUKUM……………………………………………………………….. 24
6. SISTEMATIKA PENULISAN………………………………..………….. 25
7. DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA……………………………………. 26

ii
1. Latar Belakang dam Rumusan Masalah

Mineral dan batubara merupakan salah satu potensi sumber daya alam

Indonesia dimana kekayaan alam berupa mineral dan batubara tersebut merupakan

kekayaan yang tak terbarukan, memiliki nilai yang luar biasa tinggi, dan

diperlukan oleh orang banyak. Agar sumber daya alam tersebut dapat membawa

kesejahteraan bagi rakyat Indonesia maka diperlukan kebijakan pertambangan

yang berpihak kepada kepentingan ekonomi nasional dan juga untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional peraturan

perundang-undangan di bidang sumber daya alam memaknai sumber daya alam

dalam dimensi yang luas. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan “bumi, air,

ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Konsep sumber daya alam

dari UUD 1945 ini menunjukkan dimensi sumber daya alam dalam arti yang luas

yang meliputi seluruh bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam lainnya

yang terkandung di bumi, di air bahkan di ruang angkasa.1

Berdasarkan pada pengertian yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD

1945 yang menunjuk pengertian dikuasai negara, harus diartikan mencakup

makna dikuasai Negara dalam arti luas, dimana didalamnya termasuk juga

kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas Sumber Daya Alam. Rakyat

secara kolektif memberi mandat kepada Negara untuk membuat Kebijakan

1
Azmi Fendri, Pengaturan Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah Dalam
Pemanfaatan Sumber Daya Mineral dan Batubara, Grafindo Persada, Depok, 2016, h. 28.
(Beleid), tindakan Pengurusan (bestuursdaad), Pengaturan (Regelensdaad),

Pengelolaan (beheersdaad) dan Pengawasan (toezichthoudensdaad). Seluruh

kegiatan tersebut ditujukan untuk tujuan sebesar-besarnya bagi kemakmuran

rakyat. “Hak penguasaan” (authority right) atas kekayaan alam milik bangsa

Indonesia, dikelola oleh Pemerintah (mining right) agar dapat dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.2

Dalam rangka mengatur sektor pertambangan tersebut, pada tahun 1967

Pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967

tentang ketentuan-ketentuan pokok Pertambangan (UU No.11 Tahun 1967). UU

No.11 Tahun 1967 sekaligus menandai politik pintu terbuka di bidang

pertambangan setelah sebelumnya diawali dengan ditetapkannya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU No.1 Tahun 1967).

Seiring dengan dinamika pemikiran pasca reformasi UU No.11 Tahun 1967

dianggap sudah tidak sesuai dengan politik ekonomi yang ingin dijalankan oleh

Pemerintah, khususnya di bidang pertambangan. Oleh karena itu, ditetapkanlah

Undang-Undang baru sebagai pengganti UU No.11 Tahun 1967, yaitu Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU

No.4 Tahun 2009).3

Dalam perkembangannya landasan hukum yang ada yaitu, Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan

2
Tri Hayati, Konsep Penguasaan Negara di Sektor Sumber Daya Alam Berdasarkan
Pasal
33 UUD 1945, Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS FHUI, Jakarta, 2005, h. 64-65.
3
Victor Imanuel Williamson Nalle, Hak Menguasai Negara Atas Mineral dan Batubara
Pasca Berlakunya Undang-undang Minerba, Jurnal Konstitusi, Volume 9 Nomor 3, 2012, h. 476.

2
peraturan pelaksanaannya dianggap masih belum dapat menjawab permasalahan

serta kondisi aktual dalam pelaksanaan pengusahaan Pertambangan Mineral dan

Batubara, termasuk permasalahan lintas sektoral antara sektor pertambangan dan

sektor nonpertambangan. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah menganggap

perlunya melakukan penyempurnaan lagi terhadap Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara untuk memberikan

kepastian hukum dalam kegiatan pengelolaan dan pengusahaan Pertambangan

Mineral dan Batubara bagi pelaku usaha di bidang Mineral dan Batubara. Hal ini

tentu mengacu pada asas manfaat, berwawasan lingkungan, kepastian hukum,

partisipasi, dan akuntabilitas. Atas dasar latar belakang inilah dilakukan

perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 (UU Minerba).

Penetapan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara (Minerba) terdapat 83 pasal yang diubah, 52 pasal baru, dan

18 pasal dihapus. Sehingga total jumlah pasal menjadi 209 pasal. Dijelaskan pula

dalam penyusunan UU Minerba terdapat satu pasal yang dijadikan pedoman

dalam penyusunan UU Minerba yaitu Pasal 33 UUD 1945, sebagaimana yang

termasuk dalam ayat 2 yang berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting

bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh

Negara”.4

Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 yang lalu juga disebabkan karna

dalam UU tersebut memuat tentang peraturan Wilayah Pertambangan Rakyat


4
Sumber: Universitas Islam Indonesia, Menilai UU Minerba untuk Kemakmuran Rakyat,
https://www.uii.ac.id, diakses dari internet tanggal 23 Juni 2021.

3
(WPR), yang dianggap merugikan hak-hak rakyat. Dimana dalam Pasal 68 ayat

(1) huruf a menyebutkan bahwa luas wilayah untuk satu IPR dapat diberikan

kepada perseorangan paling banyak satu hektare. Pada Perubahan UU No. 4

Tahun 2009, batas satu hektare ini diubah menjadi lebih luas yakni, maksimum 5

hektare. Selain itu, pada Perubahan UU No. 4 Tahun 2009, terdapat kelonggaran

atas kriteria wilayah dalam WP yang dapat ditentukan sebagai WPR. Berdasarkan

UU No. 4 Tahun 2009 Pasal 22 huruf b diatur penentuan WPR harus memenuhi

kriteria salah satunya mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan

kedalaman maksimal 25 meter. Pasal 22 huruf b Perubahan UU No. 4 Tahun 2009

mengubah kriteria tersebut menjadi mempunyai cadangan primer logam atau

batubara dengan kedalam maksimal 100 meter.5 Adanya penambahan kedalaman

untuk menambang serta perluasan wilayah tentu juga memberikan keleluasaan

lebih untuk eksploitasi lingkungan. Saat ini, kerusakan lingkungan akibat

penambangan rakyat serta masalah reklamasi dan rehabilitasi wilayah

pertambangan rakyat belum ditangani dengan baik. Perluasan kriteria ini kian

menambah beban daya dukung lingkungan.

Contoh kasus yang terjadi sepanjang diberlakukannya UU Nomor 4 tahun

2009 tidak terlepas dari kasus pemegang ijin tambang (IUP dan IUPK) yang tidak

melakukan reklamasi pertambangan. Misalnya saja yang terjadi di Kalimantan

Timur. Diawali dengan obral izin usaha pertambangan (IUP) yang diberikan oleh

pemprov, pemda dan dan pemkot/kab di Kalimantan Timur yang menjadi sasaran

tambang batubara. Kini di berbagai kawasan di Kaltim banyak lubang-lubang eks

5
Sumber: Pengelolaan Potensi Minerba Sebelum dan Menurut UU Cipta Kerja,
https://innews.co.id, diakses dari internet tanggal 20 Juni 2021.

4
tambang yang menghasilkan air beracun dan logam berat. Hal ini menyebabkan

jatuhnya korban jiwa dan kerusakan lingkungan yang parah. Komnas HAM telah

menganilisis banyaknya hak-hak dasar yang telah dilanggar dalam kasus lubang

eks tambang di Kalimantan Timur. Secara garis besar, prinsip HAM terhadap hak-

hak yang dilanggar dalam kasus ini adalah UU no. 39 tahun 2009 tentang Hak

Asasi Manusia; UU no.11 tahun 2005 tentang Konvensi Internasional Hak-Hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya; UU no.12 tahun 2005, UU no.4 tahun 2009 dan UU

sektoral lainnya.6

Berdasar contoh kasus yang telah diuraikan diatas, terlihat jelas bahwa

dalam pemberlakuan UU No.4 tahun 2009 belum terlihat standar norma yang

sama mengenai bentuk penguasaan negara atas sumber daya alam Indonesia

sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ketidak jelasan tersebut antara lain

terlihat pada: pertama, beragamnya konsepsi pengusahaan sumber daya alam di

berbagai sektor sumber daya alam, misalnya izin usaha (izin usaha pertambangan,

izin pemanfaatan hutan, izin usaha perkebunan), kontrak (production sharing

contract), kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara,

maupun hak (pengelolaan hutan adat), serta pelanggaran terhadap hak asasi

manusianya.

Asas keadilan merupakan prinsip penting dalam pengelolaan dan

pengusahaan mineral dan batubara di mana di dalam pemanfaatan itu harus

memberikan hak yang sama bagi masyarakat banyak. Bagi masyarakat yang tidak

mampu berkompetisi karena faktor keterbelakangan sumber daya manusianya


6
Sumber: Komnas HAM Nilai Ada Pelanggaran dalam Pembiaran Lubang Eks Tambang
Di Kaltim, https://news.detik.com, diakses dari internet tanggal 8 Juli 2021.

5
seperti masyarakat hukum adat diberikan perlakuan khusus. Masyarakat dapat

diberikan hak untuk mengelola dan memanfaatkan mineral dan batubara, dan juga

dibebani kewajiban untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Selama ini,

masyarakat kurang mendapat perhatian karena pemerintah selalu memberikan hak

istimewa kepada perusahaan-perusahaan besar dalam mengelola sumber daya

mineral dan batubara.7

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, membuat penulis tertarik untuk

membahas dan mengangkatnya dalam sebuah skripsi yang berjudul “Hak

Menguasai Negara Dalam Pengelolaan Pertambangan Mineral dan

Batubara” dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Interprestasi Hak Menguasai Negara Dalam Pengelolaan Pertambangan

Mineral dan Batubara Berdasarkan Pada UU Minerba

2. Interprestasi Sebesar-Besarnya Kemakmuran Rakyat Sebagai Akibat

Hukum Dari Hak Penguasaan Negara Dalam Pengelolaan Pertambangan

Mineral dan Batubara

2. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis dan menemukan Interprestasi Hak Menguasai Negara

Dalam Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara Berdasarkan

Pada UU Minerba

7
Marthen B. Salinding, Prinsip Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara yang
Berpihak Kepada Masyarakat Hukum Adat, Jurnal Konstitusi, Volume 16 Nomor 1, 2019, h. 153.

6
2. Untuk menganalisis dan menemukan Interprestasi Sebesar-Besarnya

Kemakmuran Rakyat Sebagai Akibat Hukum Dari Hak Penguaaan Negara

Dalam Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Bartubara

3. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan

pertimbangan serta revisi terhadap UU Minerba yang telah berlaku apakah

sudah sesuai dengan kemanfaatannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat ataukah belum.

2. Manfaat Praktis, Pemerintah sebagai bagian dari organisasi negara,

diharapkan mampu memberikan kebijakan terkait UU Minerba untuk

dapat menjaga fokusnya pada pemenuhan kesejahteraan rakyat

sebagaimana yang telah dijadikan sebagai acuan dalam penyusunan UU

Minerba, sehingga diharapkan stabilitas ekonomi yang lebih baik.

4. Perbandingan Dengan Penelitian Sebelumnya

Ada beberapa judul skripsi yang mempunyai kemiripan dengan penelitian

yang penulis lakukan. Namun tetap memiliki perbedaan yang mendasar dengan

penelitian penulis. Adapun skripsi dimaksud, antara lain:

1. Damaskus Situmeang, dengan judul “Kepastian Hukum Penguasaan

Negara Atas Usaha-Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara di

Indonesia”, pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

tahun 2017. Dalam skripsi ini diangkat rumusan masalah sebagai berikut:

7
a. Bagaimana kewenangan yang dimiliki negara dari penguasaan-Nya

atas usaha-usaha pertambangan jika dikaitkan dengan hukum agraria?

b. Apa saja hak dan kewajiban yang diberikan yang diberikan kepada

pemilik izin usaha pertambangan dalam mengelola pertambangan

minerba?

c. Bagaimana kepastian hukum pemberian izin usaha pertambangan jika

dikaitkan dengan hak menguasai negara?

2. Widhya Mahendra Putra, dengan judul “Sinkronopisasi Peraturan

Perundang-undangan Mengenai Izin Usaha Pertambangan Dalam

Rangka Mewujudkan Pembangunan Nasional Yang Berkelanjutan”

pada Fakultas Hukum Universitas Sebelah Maret Surakarta tahun 2010.

Dalam skripsi ini diangkat rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana sinkronisasi antara UU No. 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara dengan UUD 1945 dan UUPA

berkaitan dengan Izin Usaha Pertambangan?

b. Bagaimana proyeksi ke depan dari hasil sinkronisasi antara UU No. 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan

UUD 1945 dan UUPA berkaitan dengan Izin Usaha Pertambangan

dalam mewujudkan Pembangunan Nasional yang Berkelanjutan?

Berdasarkan uraian singkat kedua skripsi diatas, tentunya memiliki

perbedaan mendasar dengan rumusan masalah yang penulis buat. Karena yang

disusun penulis bertujuan untuk menganalisis mengenai Hak Menguasai Negara

dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang berdasarkan pada

8
UU Minerba dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dimana dalam

penelusuran lebih lanjut belum ada skripsi yang khusus membahas mengenai

Hak Menguasai Negara dalam pengelolaan pertambangan berdasarkan pada UU

Minerba sehingga dari latar belakang permasalahan dan isu hukum yang saya

angkat, sudah tentu membuat argumentasi yang disusun menjadi berbeda pula.

5. Kerangka Teoritik dan Konseptual

5.1. Konsep Negara Hukum dan Negara Kesejahteraan

5.1.1. Konsep Negara Hukum

Negara hukum adalah suatu negara yang menentukan cara bagaimana

hak asasi manusia dilindungi. Cara untuk melindungi hak ini berarti pula

masyarakat siapakah yang berhak menentukan peraturan itu dan bagaimana

peraturan itu dilaksanakan. Yang berhak menentukan peraturan dan

perundang-undangan itu adalah rakyat karena mereka yang langsung

berkepentingan, sehingga negara hukum menjadi system yang wajar dalam

negara demokrasi.8

Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, dinyatakan bahwa:

“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar

kemanusiaan yang adil dan beradab dalam kerangka negara hukum kesatuan

Republik Indonesia.” Dalam alinea tersebut terkandung pandangan bahwa:9

8
Juniarso Ridwan dan Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan
Kebijakan Pelayan Publik, Nuansa Cendekia, Bandung, 2014, h. 60.
9
Winahyu Erwiningsih, Pelaksanaan Pengaturan Hak Menguasai Negara Atas Tanah
Menurut UUD 1945, Jurnal Hukum, Nomor Edisi Khusus, Volume 16, 2009, h. 129.

9
a. Dasar kekuasaan negara untuk mengatur hubungan antar manusia

adalah bersumber pada kedaulatan rakyat serta bersumber pada

hukum-hukum tuhan. Suatu prinsip yang dapat diambil yaitu Tuhan

memberikan hak pada manusia untuk hidup dengan karunia-Nya,

begitu pula Tuhan menghendaki manusia menunaikan kewajibannya

sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan.

b. Adanya norma moral bahwa manusia itu harus bersikap adil demi

menjalankan kehidupannya sesuai dengan harkat dan martabatnya

yaitu dengan menjalankan hak dan kewajibannya secara seimbang.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik

Indonesia Tahun 1945, juga menyebutkan bahwa “Negara Indonesia negara

hukum”. Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakkan

supermasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan tidak ada

kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Secara umum, dalam setiap

negara yang menganut paham negara hukum, selalu berlakunya tiga prinsip

dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan

hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak

bertentangan dengan hukum (due process of law).

Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama

(equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law).

Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang khusus,

misalnya, anak-anak yang di bawah umur 17 tahun mempunyai hak yang

berbeda dengan anak-anak yang di atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan

10
yang rasional. Tetapi perbedaan perlakuan tidak dibolehkan jika tanpa

alasan yang logis, misalnya karena perbedaan warna kulit, gender agama

dan kepercayaan, sekte tertentu dalam agama, atau perbedaan status seperti

antara tuan tanah dan petani miskin. Meskipun demikian, perbedaan

perlakuan tanpa alasan yang logis seperti ini sampai saat ini masih banyak

terjadi di berbagai negara, termasuk di negara yang hukumnya sudah maju

sekalipun.10

Menurut Dicey sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady 11 bahwa

berlakunya konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law),

di mana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun

berada di atas hukum (above the law). Lebih lanjut, Moh. Kusnardi dan

Harmaily Ibrahim12 menyatakan yang dimaksud dengan Negara Hukum

adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada

warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan

hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu

diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara

yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika

peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar

warga negaranya.

10
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat), Refika Aditama, Bandung,
2009, h. 207.
11
Ibid, h. 3.
12
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti,
Jakarta, 1988, h. 153.

11
Di dalam negara hukum dikenal asas legalitas yang menjadi pilar

utama dan merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam

setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara

hukum terutama bagi negara-negara hukum dan sistem kontinental. 13

Elemen pokok negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap

“fundamental rights” atas hak-hak dasar/asasi manusia.

5.1.2. Konsep Negara Kesejahteraan

Ideologi negara kesejahteraan (welfarestate) menjadi landasan

kedudukan dan fungsi pemerintah (bestuursfunctie) oleh negara-negara

modern. Konsep negara kesejahteraan lahir atas dasar pemikiran untuk

melakukan pengawasan yang ketat terhadap penyelenggaraan kekuasaan

Negara, khususnya eksekutif yang pada masa monarki absolut telah terbukti

banyak melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Konsep negara

kesejahteraan inilah yang mengilhami sekaligus menjadi obsesi para aktivis

pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia, khususnya “Bung Hatta” selaku

pejuang dan pendiri Negara Republik Indonesia, bahkan menjadi figur

sentralnya. Dilatar belakangi pemikiran-pemikiran para pendiri negara,

utamanya “Bung Hatta”, maka Undang-Undang Dasar Negara 1945

mengandung semangat ke arah pembentukan model negara kesejahteraan

dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya yaitu:14

13
Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah, Sketsa
Bayang-Bayang Konflik dalam Prospek Masa Depan Otonomi Daerah, Sinar Mulia, Jakarta,
2002, h. 65.
14
Marilang, Ideologi Welfare State Konstitusi: Hak Menguasai Negara Atas Barang
Tambang, Jurnal Konstitusi, Volume 2 Nomor 9, 2012, h. 266.

12
1. Mengontrol dan mendayagunakan sumber daya sosial ekonomi untuk

kepentingan publik;

2. Menjamin distribusi kekayaan secara adil dan merata;

3. Mengurangi kemiskinan;

4. Menyediakan asuransi sosial (pendidikan dan kesehatan) bagi

masyarakat miskin;

5. Menyediakan subsidi untuk layanan sosial dasar bagi disadvantage

people;

6. Memberi proteksi sosial bagi setiap warga negara.

Polarisasi tujuan-tujuan pokok negara kesejahteraan tersebut

dirumuskan, pada hakikatnya dimaksudkan untuk menetapkan indikator-

indikator sebagai alat ukur dalam menilai apakah masyarakat sudah

sejahtera atau belum. Selain fungsinya sebagai indikator juga dimaksudkan

untuk memberi kemudahan bagi negara (pemerintah) dalam mengambil

langkah-langkah strategis dalam upaya mewujudkan kesejahteraan

masyarakat. Dengan demikian, tujuan-tujuan pokok tersebut pada

hakikatnya hanyalah merupakan bagian-bagian dari tujuan akhir dari

welfare state yaitu sebesar-besar kemakmuran rakyat.15

Konsepsi negara kesejahteraan juga diadopsi di dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),

tepatnya di dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, dengan

menempatkan frase ‘memajukan kesejahteraan umum sebagai salah satu cita

15
Ibid, h. 267.

13
negara Republik Indonesia. Setelah mengalami perubahan, UUD 1945

mengamanatkan implementasi demokrasi ekonomi, sebagaimana ditentukan

di dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Di dalam demokrasi ekonomi

tersebut diperkenalkan sebuah asas efisiensi-berkeadilan yang ditengarai

sebagai senyawa sistem ekonomi kapitalis yang mengusung jiwa

neoliberalisme. Dimana unsur neoliberalisme telah larut ke dalam

kebijakan-kebijakan hukum di bidang ekonomi Indonesia, yaitu privatisasi,

aturan pasar, deregulasi, dan pemotongan pengeluaran publik.16 Dalam

rumusan tersebut tersirat tujuan pembentukan negara Republik Indonesia

yaitu suatu perjuangan untuk membangun struktur ekonomi dan

menegakkan sendi-sendi perekonomian nasional. Kewajiban negara dalam

mewujudkan kesejahteraan umum, maka dibentuklah pemerintahan negara

dengan maksud untuk menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan

(pemerintahan) yang berlandaskan pada falsafah keadilan sosial.17

Menurut Espring-Andersen sebagaimana dikutip oleh Darmawan

Tribowo dan Sugeng Bahagijo18 negara kesejahteraan mengacu pada peran

negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang

di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin

ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi

warganya. Konsep ideologi negara kesejahteraan demikian diterapkan

16
Kukuh Fadli Prasetyo, Politik Hukum di Bidang Ekonomi dan Pelembagaan Konsepsi
Welfare State di Dalam Undang-undang Dasar 1945, Jurnal Konstitusi, Volume 9 Nomor 3, 2012,
h. 495.
17
Marilang, Op. Cit, h. 279.
18
Darmawan Tribowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, Pustaka
LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006, h. 9.

14
dengan maksud untuk meibidnganulir kesenjangan sosial ekonomi atau

paling tidak meminimalisirnya, peningkatan kecerdasan bangsa, perolehan

pekerjaan yang layak, jaminan adanya penghasilan yang wajar, jaminan

terpeliharanya anak-anak yatim dan piatu, jaminan terpeliharanya janda-

janda dan orang lanjut usia, pelayanan kesehatan yang memuaskan, dan

terhindarnya rakyat dari kelaparan, serta berbagai bentuk tanggung jawab

sosial lainnya.19

5.2. Teori Kewenangan dan Teori Peraturan Perundang-undangan

5.2.1. Teori Kewenangan

Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum

sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang.

Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan

kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula

sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang.

Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak

yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).20

Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa

digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun sesungguhnya terdapat

perbedaan di antara keduanya Ateng Syafrudin sebagaimana dikutip

didalam Jurnal Sufriadi21 menegaskan bahwa istilah kewenangan


19
Marilang, Loc. Cit, h. 13.
20
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998,
h. 35-36.
Sufriadi, Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab Pribadi Dalam
21

Penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia, Jurnal Yuridis, Volume 1 Nomor. 1, 2014, h. 60.

15
(authority, gezag) harus dibedakan dengan wewenang (competence,

bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,

kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang,

kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang

(rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum

publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang

membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam

rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi

wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Istilah wewenang disejajarkan dengan istilah “bevoegdheid” dalam

istilah hukum Belanda. Kedua istilah ini terdapat sedikit perbedaan yang

terletak pada karakter hukumnya, yaitu istilah “bevoegdheid” digunakan

baik dalam konsep hukum publik maupun dalam konsep hukum privat,

sementara istilah wewenang atau kewenangan di Indonesia selalu digunakan

dalam konsep hukum publik. Kewenangan atau wewenang memiliki

kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum

administrasi.22

Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada

(konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang

sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan

didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink23 menjelaskan bahwa


22
Philipus M Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, Surabaya, 1997, h. 1.
23
F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan
Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2006, h. 219.

16
sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi)

pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ

(institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum

positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak

dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.

Kewenangan bisa dibilang merupakan salah satu kajian utama dalam

sistem administrasi negara. Istilah itu juga menjadi jawaban atas pertanyaan

mengenai dasar penyelenggara pemerintahan melakukan suatu tindakan.

Lebih lanjut, pembicaraan tentang kewenangan juga akan mengarah pada

bentuk pertanggungjawaban penyelenggara negara ketika terdapat

kejanggalan atau bahkan penyimpangan dari suatu kebijaksanaan yang

diambil. Sampai di sini, pembahasan akan berkaitan pula bagaimana upaya

yang dimiliki warga negara yang menjadi pihak yang dirugikan atas

dikeluarkannya suatu kebijakan oleh aparatur pemerintahan. Ketika

kewenangan yang dijalankan oleh pemerintah itu tidak sesuai dengan

peraturan perundang-undangan atau kewenangan itu disalahgunakan atau

diterapkan secara sewenang-wenang yang mengakibatkan terlanggarnya

hak-hak warga negara, maka kepada warga negara diberikan perlindungan

hukum (rechtsbescherming), misalnya melalui Peradilan Administrasi.24

5.2.2. Teori Peraturan Perundang-Undangan

Konsep tentang undang-undang dapat ditelusuri dari konsep wet

dalam Bahasa Belanda. Dalam kepustakaan Belanda wet atau undang-


24
Sufriadi, Loc. Cit, h. 16.

17
undang dapat dilihat dalam arti materiil dan dalam arti formil. Undang-

undang dalam arti materiil (wet in materiele zin) dimaksudkan adalah segala

bentuk peraturan perundang-undangan, sedang undang-undang dalam arti

formil (wet formele zin) adalah lazim disebut Undang-Undang saja.25

Apabila dikaitkan dengan penggolongan klasik dalam pembidangan

hukum yang berdasarkan waktu berlakunya, maka Peraturan Perundang-

Undangan dapat digolongkan ke dalam golongan ius constitutum, yakni

hukum positif sebagai hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat

tertentu dalam suatu daerah tertentu.26 Bagir Manan27 membedakan jenis

atau macam hukum positif atas dua kelompok yaitu hukum positif tertulis

dan hukum positif tidak tertulis. Bagir Manan28 merumuskan hukum positif

sebagai kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang

pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan

ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara

Indonesia.

Peraturan perundang-undangan menurut sistem hukum positif

Indonesia, ditemukan beberapa jenis, mulai dari derajat tertinggi yaitu

hukum dasar negara, sampai dengan derajat yang terendah, menurut

sistematika tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan di

Indonesia. Peraturan Perundang-Undangan (PPUU) di Indonesia ditemukan

25
A. Rosyid AI Atok, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Setara
Press, Malang, 2015, h. 13.
26
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, h. 205.
27
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), FH UII Press,
Yogyakarta, 2004, h. 13.
28
Ibid, h. 1.

18
sebanyak 18 (delapan belas) jenis jumlahnya. Setiap peraturan perundang-

undangan harus merujuk pada peraturan yang lebih tinggi secara hierarki

agar tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya sebagai satu sistem

kesatuan (Stuffenbau Theory).29

Menurut Bagir Manan30 makin besarnya peranan peraturan

perundang-undangan terjadi karena beberapa hal:

1. Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah

dikenali, mudah diketemukan kembali dan mudah ditelusuri. Sebagai

kaidah hukum tertulis bentuk, jenis, dan tempatnya jelas, begitu pula

pembuatannya.

2. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang

lebih nyata karena kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah

ditemukan kembali.

3. Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jelas

sehingga memungkinkan untuk diperiksa dan diuji baik dari segi-segi

formal maupun materi muatannya.

4. Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan

dapat direncanakan. Faktor ini sangat penting bagi negara yang sedang

membangun termasuk membangun sistem hukum baru sesuai dengan

kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat.

29
Nurul Qamar dan Farah Syah Rezah, Ilmu dan Teknik Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, Social Politic Genius (SIGn), Makassar, 2020, h. 3-4.
30
Bagir Maran, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, IN-HILL- CO, Jakarta,
1993, hlm. 8

19
Salah satu hal penting dalam pembuatan peraturan perundang-

undangan adalah menyangkut tentang landasannya. Yang dimaksud dengan

landasan di sini dapat dikatakan sebagai “pijakan”, “batasan”, “alasan”,

dan/atau “latar belakang” mengapa suatu peraturan itu harus dibuat. Dengan

begitu suatu peraturan yang akan dibuat memang memiliki pijakan dan

alasan atas kemungkinannya suatu kebijakan (policy) itu harus dibuat dalam

bentuk peraturan. Itulah sebabnya sebuah peraturan perundang-undangan

yang baik harus memiliki landasan dalam pembuatan peraturan perundang-

undangannya.31

Menurut Helen Xanthaki32 Legislation is a form of communication: it

involves, in its most part, the expression of a prohibition of citizen activity:

after all, citizens can do whatever they wish, unless it is prohibited by law.

And so the pursuit of modern drafters is to share that message with their

audience (the users of the legislation) in a manner that gets them to get

heard loud and clear.

Berdasarkan pernyataan sebelumnya I Gde Pantja Astawa dan

Suprin Na'a33 menyatakan bahwa setiap peraturan perundang-undangan

dapat dikatakan baik (good legislation), sah menurut hukum (legal validity)

dan berlaku efektif karena dapat diterima oleh masyarakat secara wajar dan

berlaku untuk waktu yang panjang harus didasarkan pada landasan

31
Soimin, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, UII Press,
Yogyakarta, 2010, h. 34.
32
Helen Xanthaki, Legislative drafting: a new sub-discipline of law is born, IALS Student
Law Review, Volume 1 Issue 1, 2013, h. 61.
33
I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-
Undangan di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008, h. 77.

20
peraturan perundang-undangan. Sehingga atas dasar landasan tersebut

peraturan perundang-undangan dapat dikatakan baik dan dapat diterima oleh

masyarakat.

6. Metode Penelitian

6.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang penulis akan gunakan adalah tipe penelitian

hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif biasanya dikenal

dengan metode yang preskriptif, karena dalam metode ini harus selalu

disertai dengan rekomendasi atau saran mencari norma baru atau

melengkapi norma yang diteliti agar lebih baik. Selain itu, metode normatif

ini juga merupakan metode yang murni karena menguji obyek yang diteliti,

yaitu norma.34

6.2. Pendekatan Masalah

Metode pendekatan masalah yang di gunakan penulis yaitu :

Pendekatan undang-undang (Statute Approach) dan Pendekatan Konseptual

(conceptual approach).

Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach) adalah Pendekatan

yang dilakukan dengan cara menelaah semua undang-undang dan regulasi

yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang di tangani. Bagi

penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan

34
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2014,
h. 6-7.

21
membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi

dan kesesuaian antara undang-undang dengan undang-undang lainnya atau

antara undang-undang dan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan

undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk

memecahkan isu yang dihadapi.35

Berkaitan dengan pendekatan konseptualnya, penulis menggunakan

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu

hukum guna memperkuat sandaran dalam penyelesaian isu hukumnya

terkait dengan kesesuaian undang-undang berkaitan dengan izin usaha

pertambangan, termasuk tujuan pembangunan nasional yang berkelanjutan,

yang saat ini menjadi dasar pembentukan berbagai undang-undang baru.

Dari apa yang dikemukakan sebenarnya dalam menggunakan pendekatan

konseptual, peneliti perlu merujuk prinsip-prinsip hukum. Prinsip-prinsip ini

dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun doktrin-

doktrin hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, konsep hukum juga dapat

diketemukan di dalam undang-undang. Hanya saja dalam mengidentifikasi

prinsip tersebut, peneliti terlebih dahulu memahami konsep tersebut melalui

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang ada.36

6.3. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini menggunakan dua sumber bahan hukum

diantaranya sebagai berikut:

35
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta, 2016, h. 133.
36
Ibid, h. 178.

22
6.3.1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritarif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri

dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.37

Berikut adalah undang-undang yang dimaksud:

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 merupakan undang-undang

yang mengatur mengenai Pertambangan Mineral dan Batubara.

c. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 merupakan perubahan atas

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengenai Pertambangan

Mineral dan Batubara.

d. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang menjadi landasan dalam

Penyusunan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009.

e. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang “Ketentuan-ketentuan

Pokok Pertambangan”.

f. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

g. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, Tentang Kewenangan

Pemerintah Daerah

h. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Tata Ruang

i. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

37
Ibid, h. 181.

23
j. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 memberikan

penafsiran atas hak menguasai negara yang sekaligus memberi

kewajiban bagi pemerintah untuk mengadakan kebijakan (beleid).

6.3.1. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan komentar-komentar

atas putusan.38

6.4. Teknik Prosedur Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum

Prosedur pengumpulan bahan hukum ini dilakukan dengan cara

mengumpulkan semua bahan hukum yang ada saling berkaitan dengan

permasalahan yang dikaji berkenaan dengan Hak Menguasai Negara Atas

Pertambangan Mineral dan Batu Bara untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat. Kemudian Bahan hukum tersebut dipilah dan dipilih sesuai

kategorisasi, mana yang termasuk kategori bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder. Dengan demikian, bahan hukum primer selanjutnya akan

dianalisis terlebih dahulu berdasarkan pendekatan masalah/kasus serta

dilakukan pula analisasi terhadap bahan hukum sekunder sebagai

pendukung.

7. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi nantinya akan disusun sebagai berikut:

38
Peter Mahmud Marzuki, Loc. Cit, h. 23.

24
BAB I, yang merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

perbandingan penelitian sebelumnya, kerangka teoritik dan konseptual,

metode penelitian serta sistematik penulisan.

BAB II, pada bagian BAB II ini membahas tentang isu hukum yang di

rumuskan pada rumusan masalah pertama yaitu tentang Interprestasi Hak

Menguasai Negara yang di Temukan Dalam UU No.4 Tahun 2009 dan UU

No.3 Tahun 2020.

BAB III, dalam BAB III ini juga membahas isu hukum yang di

rumuskan pada rumusan masalah kedua, pada bab ini penulis memuat

tentang Interprestasi Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat Berdasarkan

pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945

BAB IV, merupakan bab penutup di mana dalam bab ini berisi

kesimpulan dari seluruh rangkaian pembahasan dan hasil penelitian dalam

penulisan skripsi yang telah di uraikan pada bab-bab sebelumnya. Selain itu,

penulis akan memberikan saran-saran serta perbaikan aturan yang dapat

membangun atas masalah yang timbul dalam penulisan skripsi.

Setelah bagian bab terakhir penulis juga menyertakan daftar pustaka

yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

8. Daftar Puataka Sementara

A. Buku-Buku

25
Fendri, Azmi, Pengaturan Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Mineral dan Batubara,
Grafindo Persada, Depok, 2016.
Hayati, Tri, Konsep Penguasaan Negara di Sektor Sumber Daya Alam
Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, Sekretariat Jenderal MKRI dan
CLGS FHUI, Jakarta, 2005.
Ridwan, Juniarso dan Sudrajat, Ahmad Sodik, Hukum Adminitrasi Negara
dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa Cendekia, Bandung,
2014.
Fuandy, Munir, Teori Negara Hukum Modern (Rehcstaat), Refika Aditama,
Bandung, 2009.
Kusnardi, Moh, dan Ibrahim, Harmaily, Hukum Tata Negara Indonesia,
Sinar Bakti, Jakarta, 1998.
Nitibaskara, Tubagus, Rony, Rahman, Paradoksal Konflik dan Otonomi
Daerah, Sketsa Bayang-Bayang Konflik dalam Prospek Masa
Depan Otonomi Daerah, Sinar Mulia, Jakarta, 2002.
Tribowo, Darmawan, dan Bahagijo, Sugeng, Mimpi Negara Kesejahteraan,
Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1998.
Hadjon, Philipus M, Tentang Wewenang, Yuridika, Surabaya, 1997.
Stroink, F.A.M, dalam Thalib, Abdul Rasyid, Wewenang Mahkamah
Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
Atok, A. Rosyid AI, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, Setara Press, Malang, 2015.
Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
Manan, Bagir, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), FH UII
Press, Yogyakarta, 2004.
------------------, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, IN-HILL-
CO, Jakarta, 1993.
Qamar, Nurul, dan Rezah, Farah, Syah, Ilmu dan Teknik Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Social Politic Genius (SIGn),
Makassar, 2020.
Soimin, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, UII
Press, Yogyakarta, 2010.

26
Astawa, I Gede, Pantja, dan Na’a, Suprin, Dinamika Hukum dan Ilmu
Perundang-Undangan di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia,
Jakarta, 2014.
Marzuki, Peter, Mahmud, Penelitian Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta,
2016.
B. Jurnal International
Helen Xanthaki, Legislative drafting: a new sub-discipline of law is born,
IALS Student Law Review, Volume 1 Issue 1, 2013.

C. Jurnal Nasional
Nalle, Victor, Imanuel, Williamson, Hak Menguasai Negara Atas Mineral
dan Batubara Pasca Berlakunya Undang-Undang Minerba, Jurnal
Konstitusi, Volume 9 Nomor 3, 2012.
Salinding, Marthen B, Prinsip Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara
yang Berpihak Kepada Masyarakat Hukum Adat, Jurnal
Konstitusi, Volume 16 Nomor 1, 2019.
Winahyu Erwiningsih, Pelaksanaan Pengaturan Hak Menguasai Negara
Atas Tanah Menurut UUD 1945, Jurnal Hukum, Nomor Edisi
Khusus, Volume 16, 2009.
Marilang, Ideologi Welfare State Konstitusi: Hak Menguasai Negara Atas
Barang Tambang, Jurnal Konstitusi, Volume 2 Nomor 9, 2012.
Prasetyo, Kukuh, Fadli, Politik Hukum di Bidang Ekonomi dan
Pelembagaan Konsepsi Welfare State di Dalam Undang-Undang
Dasar 1945, Jurnal Konstitusi, Volume 9 Nomor 3, 2012.
Sufriadi, Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab Pribadi Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia, Jurnal Yuridis,
Volume 1 Nomor 1, 2014.
D. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

E. Internet
Sumber: Universitas Islam Indonesia, Menilai UU Minerba untuk
Kemakmuran Rakyat, http://www.uii.ac.id, diakses dari internet
tanggal 23 Juni 2021.

Sumber: Pengelolaan Potensi Minerba Sebelum dan Menurut UU Cipta


Kerja, https://innews.co.id, diakses dari internet tanggal 20
Febuari 2021.

27
Sumber: Komnas HAM Nilai Ada Pelanggaran dalam Pembiaran Lubang
Eks Tambang di Kaltim, https://news.detik.com/berita/d-
3243170/komnas-ham-nilai-ada-pelanggaran-dalam-pembiaran-
lubang-eks-tambang-di-kaltim, diakses dari internet tanggal 8 Juli
2021

28

Anda mungkin juga menyukai