Anda di halaman 1dari 14

CERPEN KUMPULAN KOMPAS

Tuba
leave a comment »

6 suara

Tersiar kabar perihal bupati yang mati mendadak


berselang beberapa saat setelah meresmikan
peletakan batu pertama proyek pembangunan
masjid di kecamatan Bulukasap. Saat ditemukan,
mayatnya terkapar di lantai kamar dalam
keadaan mulut berbusa, seperti korban
overdosis, lidah terjulur hingga dagu dan mata
terbelalak serupa orang mati setelah gantung
diri. Amat menakutkan. Para sesepuh adat, alim
ulama, dan karib kerabat yang berdatangan dari
nagari Sungai Emas (kampung kelahiran
almarhum bupati) baru saja menginjakkan kaki
di rumah duka. Kehadiran mereka langsung
disambut ratap haru dan isak sedu istri
almarhum yang tampak sangat terpukul karena
kematian suaminya yang begitu tiba-tiba. Tanpa
firasat, juga tanpa wasiat.

Tadi pagi masih segar bugar, kini sudah terbujur


kaku jadi mayat….”

“Istighfar kak, istighfar! Ikhlaskan saja kepergian


beliau!” begitu bujuk seorang tokoh masyarakat
membendung kesedihan.
“Salah apa yang telah diperbuat suami saya?
Tidak adil! Sungguh tidak adil! Ini perbuatan
biadab….”

“Sudahlah kak! Mungkin ini sudah jalannya”


Lusianna datang agak terlambat. Jenazah
ayahnya sudah rampung dikafani, tak lama lagi
akan segera disembahyangkan, sebelum diusung
ke pemakaman. Raut muka perempuan itu
tampak murung dan kecewa. Sebab, sudah tak
mungkin lagi ia melepaskan tali pengebat kain
kafan sekadar memberi kecupan di kening
ayahnya, sebagai ciuman yang terakhir sebelum
jenazah itu dikuburkan.

“Jadi pejabat ndak usah terlalu jujur, yah!” begitu


kelakar Lusi kepada almarhum dua tahun lalu.
Sesaat sebelum ia berangkat ke Mellbourne,
menyelesaikan program doktor, bidang ilmu
politik.

“Maksudmu?”

“Lihatlah jalan umum kampung kita! Persis


seperti kubangan kerbau. Rusak parah dan
sudah tak layak tempuh. Nah, mumpung ayah
sedang memegang jabatan bupati, ndak ada
salahnya ayah membuat proyek pelebaran jalan.
Bila perlu diaspal beton sekalian!” jelas Lusi,
“Hitung-hitung proyek itu dapat menunjukkan
rasa terima kasih ayah pada kampung kelahiran
sendiri”

“Tapi, tidak segampang itu, Lusi! masih banyak


daerah lain yang jauh lebih parah kondisinya”

“Utamakan dulu pembangunan di nagari Sungai


Emas, kampung kita. Jangan lupa! ayah bisa
memenangi pemilihan bupati berkat dukungan
masyarakat di sana bukan?”

“Wah, jika ayah tidak ’pandai-pandai’. Masih saja


’lurus tabung’ seperti ini, Lusi khawatir ayah
bakal diumpat warga nagari Sungai Emas. Tapi,
semuanya terserah ayah…,” ketus Lusi, agak
sinis.

Sejak dilantik menjadi orang nomor satu di


Kabupaten Puding Bertuah, tak satu pun
permintaan orang-orang nagari Sungai Emas
dikabulkan almarhum. Marajo Kapunduang
pernah datang menghadap ke rumah dinasnya.
Bermohon kepada pak bupati, agar si Bujang
Paik, anak laki-lakinya yang tamatan es te em
(STM) itu dapat diterima bekerja sebagai satpam
honorer. Permintaan yang sebenarnya tidaklah
terlalu berlebihan.

“Daripada menganggur saja, boleh ndak anak


saya bekerja di sini pak? Jadi satpam saja cukup
lah!” mohon Marajo waktu itu.

“Tentu saja boleh Nduang, tapi anakmu harus


mengikuti testing sesuai prosedur yang telah
ditetapkan,” jawab bupati, sedikit berdiplomasi.

“Iya pak, tapi saya berharap bapak dapat


membantu”

“Jika ia lulus seleksi, pasti akan diterima. Kalau


saya bantu, itu artinya kita berkolusi, mentang-
mentang kita sekampung. Tidak bisa begitu
Nduang!” tegas bupati, seperti hendak
mengelak.

Marajo Kapunduang amat kecewa setelah


mendengar jawaban pak bupati yang kurang
mengenakkan. “Rasanya mau saya tinju saja ulu
hatinya, biar mampus!” umpatnya. Betapa tidak?
Sikap pak bupati keterlaluan. Seolah-olah Marajo
Kapunduang sama sekali tidak punya andil
memenangkannya dalam pemilihan. Seakan-
akan ia berhasil menduduki kursi empuk bupati
semata-mata karena reputasi sendiri. Padahal,
tanpa dukungan Marajo Kapunduang dan orang-
orang nagari Sungai Emas, ceritanya akan lain.
Marajolah orang yang paling sibuk sebelum
pemilihan berlangsung, ia pontang-panting
mencari bantuan dana kampanye pada orang-
orang nagari Sungai Emas yang sukses di
perantauan. Sedikit demi sedikit ia kumpulkan,
lalu disumbangkan untuk pelbagai keperluan
dalam rangka mengangkat seorang putra
kelahiran nagari Sungai Emas, sebagai kepala
daerah kabupaten Puding Bertuah. Tapi, apa
balasan yang telah diberikan bupati pada
Marajo? Marajo tidak menuntut yang macam-
macam. Hanya meminta agar anak laki-lakinya
dipekerjakan sebagai satpam honorer di rumah
dinas. Itu saja tidak dikabulkan bupati. Ah,
memalukan sekali…!

Almarhum memang sangat berbeda dengan


pejabat bupati terdahulu. Warga nagari Taeh
(desa kelahirannya) amat membanggakan beliau.
Selama menjabat, nagari Taeh yang dulunya udik
itu (lebih udik dari Sungai Emas), tiba-tiba saja
berubah menjadi kota. Di sana dibangun masjid
agung dengan biaya ratusan juta. Tak ada jalan
umum yang tidak diaspal beton, jaringan telepon
dipasang, jalur transportasi dari dan ke Taeh
lancar. Anak-anak muda yang menganggur
direkrut menjadi anggota polisi pamong praja,
guru-guru yang sudah puluhan tahun menjadi
tenaga honorer diluluskan dalam seleksi calon
pegawai negeri sipil. Hingga kini, meski tidak
menjabat bupati lagi, masyarakat tetap saja
mengingat jasa-jasa dan pengabdian beliau,
menghormati beliau. Meski sudah pensiun,
beliau tetap bupati di hati warga nagari Taeh.

Sayang sekali, almarhum tidak mau bercermin


pada bupati sebelumnya. Semestinya beliau
memperjuangkan guru-guru honorer di
kampung Sungai Emas agar lulus menjadi
pegawai negeri sipil. Warga nagari Sungai Emas
tentu saja tidak akan melihat bantuan tersebut
sebagai praktik nepotisme yang memalukan.
Lagi pula, mana ada bupati yang diturunkan dari
jabatan hanya gara-gara meluluskan guru-guru
honorer dalam seleksi calon pegawai negeri?
Tapi, dasar orang jujur, putra daerah Sungai
Emas itu tidak mau memperjuangkan orang-
orang kampungnya sendiri. Sejak itulah, bupati
mulai dimusuhi. Tak dihormati lagi. Bupati
dibenci karena ia terlalu jujur. Terlalu lurus,
seperti tabung.

Apa boleh buat! Kini, bupati sudah tiada, hanya


tinggal nama. Nagari Sungai Emas tetap saja
udik dan makin terbelakang. Jalur transportasi
dari dan ke Sungai Emas sulit. Jalan-jalan
kampung dibiarkan saja rusak parah, tak layak
tempuh. Guru-guru tetap saja menjadi tenaga
honorer, entah sampai kapan. Anak-anak muda
menganggur, tak jelas juntrungan. Judi sabung
ayam menjadi permainan undi nasib yang amat
menggiurkan. Ironis! Namanya Sungai Emas,
seolah-olah ada sungai yang berlimpah-ruah
kandungan emasnya. Seolah-olah negeri yang
kaya sumber daya alam, padahal setiap hari
orang-orang berkeluh kesah karena hidup
susah. Banyak anak-anak cerdas terlahir di sana,
tapi tak mampu melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi. Tak ada biaya. Maka, jalan
satu-satunya adalah; pergi merantau, mengadu
peruntungan ke Jakarta. Ada yang menjadi
pedagang kaki lima, tukang jahit, petugas parkir,
satpam, kuli bangunan, sebagian ada pula yang
mencopet (jika itu dapat disebut pekerjaan).

Genap tujuh hari kematian bupati. Namun,


penyelidikan aparat kepolisian belum kunjung
berhasil menemukan titik terang tentang sebab-
musabab kematian tragis yang meresahkan itu.
Tidak ditemukan bekas-bekas penyiksaan di
tubuh almarhum, tidak pula penyakit kronis.
Kematian yang misterius. Sementara itu, kedai-
kedai kopi di seluruh penjuru perkampungan
Sungai Emas tak pernah reda dari perbincangan
tentang sosok bupati yang sok suci, sok jujur,
lurus tabung, tapi kini sudah mati.

“Mestinya ndak usah dibunuh! Diberi penyakit


saja sudah cukup lah…,” kata Sutan Pagarah
sembari mengaduk-aduk kopi pekat yang baru
saja tersuguh untuknya.
“Penyakit apa pula yang sutan maksud?” tanya
kak Pi’ah, janda tua pemilik kedai kopi, pura-
pura tidak paham.

“Ditambah saja lubang lancirit*)-nya. Ua-ha-ha-


ha….”

“Ah, kasar benar kelakar sutan,” balas kak Pi’ah,


agak kesal.

Sebenarnya, orang-orang nagari Sungai Emas


tidak perlu menunggu penjelasan polisi
menyangkut sebab-sebab kematian almarhum
bupati. Percuma saja aparat hukum mampu
mengusut dan menuntaskan kasus itu. Tak bakal
berhasil. Sebab, tabi’at pembunuhan keji itu
tidak kasat mata. Lagi pula, di nagari Sungai
Emas, musibah kematian macam itu sudah
lumrah dan kerap terjadi. Meski diam-diam,
hampir semua warga sepakat berkesimpulan
bahwa bupati mati karena di-tuba. Dibunuh
secara halus melalui kekuatan gaib. Namun,
tidak mungkin disebutkan siapa pelakunya. Bila
ada yang berani menyebutkan nama pembunuh
bupati, itu sama saja artinya dengan bunuh diri.
Kenekatan macam itu, hanya akan mengundang
musibah baru, kematian selanjutnya, bisa saja
jauh lebih mengerikan.

“Siapa lagi yang bakal kita calonkan untuk


pemilihan tahun depan, Tuk?” tanya Marajo
Kapunduang pada Datuk Rangkayo, sesepuh
adat paling disegani di nagari Sungai Emas.
Sejenak si Datuk menerawang, seperti
mengingat-ingat seseorang sembari mengepul-
ngepulkan asap rokok yang hampir memuntung.

“Oh, ada Nduang! Namanya Drs Mustajir Adimin.


Putra tertua mendiang haji Adimin Ar-Raji.
Kabarnya, kini ia pejabat eselon di Jakarta.
Bagaimana menurutmu?” balas Datuk Rangkayo,
ganti bertanya.
“O, Iya. Lupa saya. Tapi, orangnya tidak ’lurus
tabung’ seperti almarhum bukan?”

“Hmn … kalau yang ini agak lain Nduang. Bila


kelak ia memenangi pemilihan, hutan-hutan
milik nagari Sungai Emas ini pun bisa
dilelangnya. Bagaimana menurutmu?”

“Nah, itu dia yang kita cari selama ini,” jawab


Marajo Kapunduang, mulai bersemangat.

“Tapi, bila nanti ia hanya menumpuk kekayaan


untuk kepentingan diri sendiri, apa yang akan
kita lakukan?” lagi-lagi Datuk bertanya, kali ini
sambil bergurau.

“Putuskan saja tali jantungnya….”

Kelapa Dua, 2006

Catatan:

*) Dubur

Anda mungkin juga menyukai