Anda di halaman 1dari 7

Takim Bersikukuh Pada Bantengan

BY MALANG PAGI ON 12 OCTOBER 2015 - 6:10 PM 144 VIEWSSENIMAN

Tahun 2012 silam, seakan tiba-tiba marak kesenian Tradisional Bantengan di


masyarakat Jawa Timur, khususnya di Malang Raya. Hajatan atau Gebyak
Bantengan ini dalam tempo singkat kabarnya sudah tersebar kemana-mana
bahkan hingga ke mancanegara. Seni tradisional ini di daerahnya sendiri-pun selalu
disambut meriah masyarakatnya. Bahkan pada beberapa tahun yang lalu, tepatnya
saat acara gebyak Bantengan di alun-alun kota Batu, seorang Joko Pekik, pelukis
kesohor itu, setelah menyaksikan langsung sempat berkomentar, Wah hebat
banget kesenian ini. Saya rasakan sambutan masyarakat dan suasananya mirip
jaman dulu waktu saya masih muda. Demikian ungkapan rasa takjub si pelukis
celeng pada seni Bantengan ini. Mungkin akan sama dengan sampeyan kalau
sempat nonton atau klobosan ke pelosok-pelosok desa di seputaran kawasan ini.
Tumbuh dan berkembangnya kesenian Bantengan ini memang luar biasa. Kalau
perihal siapa tokoh pertama yang memunculkan kesenian ini ke publik, jawabnya
akan sulit dan bersilang sengkarut tidak penting. Hal yang justru perlu di kaji adalah
dampak sosial atas maraknya kesenian ini di berbagai tempat. Seperti yang penulis
amati di pelosok-pelosok desa, di kampung-kampung sudah muncul group-group
Bantengan yang didirikan dan disemangati warganya. Tak jarang masyarakat di
desa-desa itu menggelar Gebyak Bantengan (acara Bantengan), untuk keperluan
hajatan, bersih desa, sunatan, peringat hari besar dan lain sebagainya. Acara
semacam ini sungguh meriah dan selalu dirindukan masyarakat dari anak-anak
sampai kakek nenek.

Tafsir sejarah Bantengan salah satunya dikemukakan oleh ki Soleh Adi Pramono, Sst;
budayawan Malang, lewat kisah Dewi Sri. Konon Dewi Sri yang juga merupakan simbol
Kumalane suatu ketika dijadikan rebutan oleh Celeng Srenggi, Kala Gumarang dan Badhuk
Basu, raksassa pertapa yang bergelimangan lumpur. Si raksasa ini punya tujuan
mendapatkan Dewi Sri yang menyandang simbol raja rejeki. Persaingan ketiganyapun
membuat perkelahian antara Celeng Srenggi dan Kala Gumarang. Pertempuran semakin
seru sehingga membuat Dewi Sri punya kesempatan untuk lari menyelamatkan diri, dengan
cara masuk ke dalam gua. Sayang sekali gua yang dimasukinya adalah tempat Badhuk Basu
bertapa. Bagai mendapat durian runtuh, si raksasa itu segera mengejar pujaan hatinya.
Dewi Sri terus berusaha menghindar dengan menjerit-jerit ketakutan. Jeritan itu terdengar
oleh suaminya, Sedhana yang kebingungan mencari. Akhir kisah, si raksasa dapat dibunuh
oleh Sedhana dengan panah Wulung Gading. Ajaibnya si raksasa yang terjungkal ke tanah
itu tiba-tiba berubah menjadi seekor banteng. Kisah inilah yang menurut ki Soleh
merupakan mitos yang menyiratkan keselamatan dan kesuburan tanah sebagai berkat Dewi
Sri. Sejak itu, agar tanah dapat memberi panenan berlimpah, maka harus digelar seni
bantengan sebagai wujud rasa syukur.
Kesenian tradisional Bantengan ini tumbuh di masyarakat yang berdekat dengan gunung.
Sebagai contoh di kota Batu, Ngantang, Sisir, Bumi Aji, Jun Rejo, Kasembon dan lainnya yang
semuanya di lereng gunung Arjuno. Di Kabupaten Malang tumbuh di daerah Dampit,
Ngadas, Ranupani, Gubuk Klakah, Ponco Kusumo, Wajak, Tumpang, semua berada di kaki
gunung Semeru. Di Malang Selatan muncul di daerah Wagir, Sumber pucung, Kebobang dan
desa-desa di lereng gunung Kawi. Kalau beranjak ke ujung timur pulau jawa, di kaki gunung
Raung kita temukan juga kesenian yang hampir mirip, namanya Kebo-keboan di daerah
Rogojampi, kabupaten Banyuwangi.

Sekarang tokoh Bantengan yang hendak kita bicarakan disini bernama Takim, seorang
lelaki muda ganteng berperawakan atletis dengan wajah oval, tatapan matanya tajam
dibalik kacamata minus sedang di ujung dagunya ditumbuhi jenggot meski tak lebat tapi
menambah kewibawaannya. Takim berambut ombak yang senantiasa di bebat kain batik,
pada pergelangan tangan melingkat beberapa buah gelang dan salah satunya terbuat dari
biji buah Genitri yang konon dipercayai jelmaan airmata dewa Siwa. Takim lahir di dusun
Jago, desa Tumpang, kecamatan Tumpang, kabupaten Malang tahun 1970, dari pasangan
Bapak Sukimin, seorang pensiunan tentara dengan Hajah Ning Sutiyah, seorang ibu rumah
tangga. Takim merupakan anak ke 5 dari 7 bersaudara, dua perempuan dan lima laki-laki. Ia
lulus dari Sekolah Dasar Negeri Tumpang 2, lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama
Negeri 1. Setelah SMP itu sekolah saya mulai morat-marit, maksudnya mulai ga konsentrasi
sekolah. Saya sempat ganti-ganti sekolahan lalu buyarhahaha begitu Takim menjelaskan
perihal sekolahnya. Meskipun sekolahnya tidak menjejak ke tingkat yang tinggi, namun
kalau kita sempat berdiskusi dengannya, pasti akan terbetik dalam pikiran kita akan
intelektualitasnya. Saya harus banyak belajar ilmu pengetahuan dari sampeyan-sampeyan
ini semuanya, saya butuh di isi sebab saya masih kosong, ucap lelaki itu merendah.
Sejak kecil Takim terbiasa mendekat pada kesenian. Rumah orang tuanya tak jauh dari candi
Jago,situs pendharmaan Sri Wisnuwhardana maharaja kerajaan Singhasari abad 13.
DesaTumpang memiliki kondisi alam yang subur, hal ini disebut dalam buku berjudul
Menciptakan Masyarakat Kota, Malang di bawah Tiga Penguasa 1914 1950, pada kolom
tablenya terbacaTumpang merupakan salah satu daerah penghasil tebu, bahan baku untuk
gula. (Hudiyanto Reza R; 2011: hal 35). Karena Tumpang menjadi penghasil tebu yang cukup
besar, maka menjadikan daerah ini makmur, karena itu banyak kesenian tradisional terjaga
baik. Kesenian itu antara lain: Jaranan atau kuda lumping khas desa Kidal, Topeng Malangan,
Wayang Kulit Jawa Timur-an, Pencak, Hadrah, Jidor, Macapat Malangan dan Tari Srimpi Lima
yang sakral.Sejak SD, bapak saya suka nonton jaranan dan pencak silat maupun wayang
kulit yang kala itu masih sering di gelar diberbagai pelosok desa terang Takim sambil
membayangkan kenangan lampau.

Semasa di SMP ada satu peristiwa aneh yang membayangi Takim hingga hari ini. Ceritanya
pada satu siang sepulang sekolah, Takim ditemui seseorang yang tidak diketahui
identitasnya sama sekali. Orang itu sabar, berdandan sebagaimana umumnya laki-laki di
desa, Le, kowe kuwi iso jaya nek kowe wus ngol dongkelan! ( nak, kamu bisa berjaya kalau
hidupmu tidak jauh dari dongkelan, batang pohon paling bawah yang biasanya terpendam
di dalam tanah). Menginjak masa SMA, Takim lebih suka bergelut dengan kesenian tradisi.
Saya dan teman-teman waktu itu sudah berencana malamnya nonton salah satu group
bank ternama dari ibukota yang main di lapangan Rampal Malang. Kami berangkat dengan
sepeda motor yang telah dimodofikasi ala anak muda, berangkat rame-rame dan bergaya.
Sesampai di ujung lapangan, tiba-tiba saya malah kepingin pulang saja dan menatah kepala
Bantengan. Saya pamit teman-teman dan memutar balik sepeda motor saya. Sesampai di
rumah saya ambil dongkelan kayu di samping rumah terus saya ukir sampai esok paginya.
Begitu yang saya lakukan, entah karena apa? Yang jelas Bantengan itu sudah mengisi hati
dan pikiran saya setiap detik. Begitu cerita Takim di padepokan Galogo Jati yang
dindingnya dipenuhi dengan kepala Bantengan.
Masih di usia SMA, pernah satu ketika Takim dipanggil gurunya, Takim, kamu itu mbok ya
niat sedikit kalau sekolah. Kamu mesti ngerti dengan sekolah yang pintar, hidupmu akan
enak. Pernyataan itu spontan justrun membuat Takim terpukul, kok sekolah ditujuankan
hidup enak ya? Padahal sepemahamnya, orang bersekolah itu agar menjadi pintar, menjadi
memiliki ilmu pengetahuan. Soal enak dan tidak dalam menjalani hidup dikemudian hari ia
lebih percaya pada Takdir. Kita memang harus tetap kerja, tetap berkarya untuk memenuhi
panggilan takdir kita. Seusai berkata Takim menyedot rokok kreteknya. Esoknya saya
mulai lebih intens menggeluti dunia Bantengan dan pencak silat. Pada umur 26 tahun,
saya sudah memiliki sanggar seni Bantengan Galogo Jati ini secara spirit, baru kemudian
terwujud tahun 2009. Di usia itu saya sudah menjadi pendekar Bantengan dan memiliki
110 buah kepala banteng yang siap dimainkan. Untuk menambah mantap, saya ngangsu
kawruh atau belajar kepada para sesepuh antara dengan pak To di desa Precet di atas sana
dan dengan pak Min di dusun Jeru kenang Takim sambil menunjukkan sebuah pecut pusaka
yang konon ada isi-nya dengan catatan tidak boleh dilangkahi orang. Perihal pecut ini ada
kejadian menarik, Waktu ada gebyak bantengan, saya tiba-tiba ingat kalau pecut itu lupa
saya bawa, oleh teman-teman diletakkan di lantai. Saya minta teman untuk segera
mengambil. Ternyata di ruang itu sudah banyak yang kalap atau trance, konon ke 21 orang
yang trance itu melangkahi pecut itu. Cepat saya tangani dan sembuh kembali. Begitu
cerita Takim penuh kenangan.

Takim mewarisi darah seni sang kakek dari pihak ibu. Beliau dipanggil mbah Jayusman,
seorang pendekar pencak silat dan memiliki padepokan yang kini sudah tinggal kenangan.
Selain itu beliau juga memiliki group Jaranan, kuda lumping, lawas yang berciri warna
merah, hitam, putih dan kalau kalap pemainnya terpejam matanya. Menurut Takim trance
yang sekarang ini berbeda, Kalau sekarang, orang yang kalap di Bantengan atau Jaranan
matanya terbuka mesti seringkali melotot sampai tinggal putih kornea matanya. Ada ciri
khas Bantengan Malang Timur, termasuk BantenganTumpang yakni tubuh Bantengannya
pakai kerangka penjalin yang menjadi bagian tubuh Banteng yang ditutup kain hitam. Kalau
Jaranan khas Tumpang lain lagi, ini terlihat pada ukiran di muka Caplokan-nya (Naganya)
dengan taring panjang, dan masih nampak meski di buka mulutnya. Selain itu juga terkesan
branggasan, lebih keras, sigrak, kaku. Begitu menjelaskan Takim soal Bantengan dan
Kuda Lumping seraya membersihkan kacamata minusnya dengan saputangan.
Suatu siang yang sudah lampau, pada sebuah acara hajatan di desa Tulus Besar, mata Takim
yang tajam itu bertemu dengan mata lembut seorang perempuan desa yang manis.
Bertemunya kedua tatapan muda mudi itu, ternyata menggetarkan hati membuat keduanya
lantas tak bisa pejamkan mata meski malam semakin larut. Tak hanya mata, getaran hati
merekapun semakin membuncah, saling merindu. Satu tahapan dimulai disambung dengan
perjumpaan-perjumpaan berikutnya yang indah. Sampai pada titik tertentu, keduanya
sepakat menikah, Waktu itu profesi istri saya sudah Tandak atau perempuan yang
bertugas menyanyi, mengiringi acara wayangan atau macapatan atau seni tradisional yang
lainnya. Atas profesi ini saya malah mendukung. Saya akhirnya menikahi pacar saya yang
tercinta itu pada tahun 2005. Istri saya, Sri Handayani, ini kelahiran 1981. Setelah menikah
Sri tetap menjalankan profesinya dengan baik, bahkan semakin laris ditanggap ke berbagai
acara dan mana-mana. Saya sering antar jemput kalau pas ada waktu. Yang sering Sri dapat
tanggapan di hajatan desa-desa diseputaran kaki gunung Semeru. Ungkap Takim, ayah dari
Agung Wahyudi yang kini tengah duduk di bangku SMA, Anak saya punya bakat menari,
tapi tetap saya beri kebebasan, biar dia sendiri nanti yang menentukan jalan hidupnya. Kami
orang tua hanya merestui cita-citanya asalkan baik dan benar. Sebenarnya masih ada
seorang lagi anak kami, namun sayang keluron atau keguguran sewaktu dalam kandungan
sang ibu.

Sebagai Seni Tradisional yang bersifat komunal, maka Bantengan bisa dimaknai beragam
cara oleh masyarakat. Di dalam seni Bantengan ini, terkandung seni Pencak Silat yang
mendasari gerakan-gerakan tarinya. Kalau padepokan seni Pencak Silat belum tentu
memiliki seni Bantengan. Tapi kalau padepokan seni Bantengan pasti punya pendekar
pencak silat. Begitu menjelaskan Takim seputar padepokan seni Bantengan. Kalau dilihat
spiritnya sangatlah unik. Misalnya dalam kesenian ini tetap menyertakan mantra-mantra
khusus dan menyuguhkan ubo rampe-nya sebelum acara dimulai. Ubo rampe itupun harus
pepek atau lengkap, Ada kopi pahit, Bumbu-bumbu dapur yang disebut cok bakal,
jajanan pasar dan tak boleh ketinggalan minyak banteng. Ketika ditanyakan apa itu
minyak banteng Takim Cuma tersenyum. Perihal detil seni Bantengan ini seorang
temannya yang masih muda, bernama Ngadiono berkomentar, Kalau mas Takim ini sudah
pakarnya seni Bantegan. Beliau ngerti persis apa dan bagaimana itu Bantengan. Secara
kependekaran beliau ini membawahi banyak wilayah dari desa Ngadas, Ranu Pani, Gubuk
Klakah, Poncokusumo, Wates dan banyak lagi. Pokoknya boleh disebut beliau ini tokoh besar
Bantengan, mas.
Menjelajah pikiran dan filsafat hidup seorang Takim tentu sangat mudah, karena lelaki
trendy ini sangat terbuka dan jujur. Setiap orang itu pada dasarnya terlahir sebagai
seniman. Manusia itu dilahirkan dengan multi talent, cuma seringkali lingkungan
membunuh bakatnya atau kondisi yang menggiring ke bukan bakatnya. Bersyukur saya
dikaruniai bakat seni tradisonal Bantengan dan Jaranan ini. ucap Takim sedikit berfilsafat,
Saya ngalir dalam berkesenian. Saya pikir seni itu adalah Jembatan, seni itu menjembati

sampeyan dan saya untuk bertemu dan berdiskusi, seni menjembati saya dan masyarakat
untuk hidup guyub, seni menjembati saya dengan leluhur sebagai bakti, seni menjembati
saya untuk mengerti kehendak Gusti Kang Agawe Gesang (Tuhan yang punya kehidupan) .
Pungkas Takim kemudian merapal sedikit mantera Bantengan:
Samblekan pecut nggiring,
Sira sun ngedal ing prayudan,
Sira mandaka saka wtan,
Sira laku

Anda mungkin juga menyukai