Anda di halaman 1dari 44

Semar

Mencari Raga
Sebuah Naskah Pralakon

SRI KUNCORO
Lahir sebagai Sri Kuncoro pada 25 Desember 1966, belakangan ia lebih
memilih menggunakan nama Ikun Sri Kuncoro sebagai identitas kreatif.
Ia bekerja sebagai kurator sastra dan teater di Kedai Kebun Forum
Yogyakarta, juga terlibat sebagai anggota tim materi dalam Konferensi
Pertunjukan dan Teater Indonesia yang berbasis di Yogyakarta. Ikun
pernah memenangi beberapa lomba penulisan,
seperti juara II dalam Sayembara Penulisan
Naskah Drama oleh Dewan Kesenian Riau
(2007), dengan lakon Lagu Sungai Selempayan;
juara II dalam Sayembara Kritik Teater oleh
Dewan Kesenian Jakarta (2005); lomba
penulisan cerita anak oleh Kementerian
Agama RI, dengan cerita berjudul “Liburan
Dhenok” (2001). serta penghargaan ketiga
dalam Lomba Penulisan Cerpen Majalah
Sastra Horison (1997). Saat ini, Ikun tinggal
di Kweni, Panggungharjo, Sewon, Bantul,
DIY, dan aktif di beberapa ruang kegiatan, seperti di Indonesian Visual
Art Archive, Yayasan Umar Kayam, Yayasan Bintang Kidul, Komunitas
Sandiwara Radio Swarabawa, serta Festival Teater Rebon.
C ATATA N P E N U L I S

Sebagai pralakon, naskah ini bukan petunjuk pelaksanaan pen-


tas. Naskah ini adalah teks yang ketika dibunyikan ke dalam
pergelaran membutuhkan pelbagai penafsiran karena kode ko-
munikasi pergelaran bukanlah kode komunikasi literer. Selamat
menafsir. Selamat menciptakan pergelaran.

SEMAR MENCARI RAGA 229


SINOPSIS

Bersih desa sudah akan berlangsung, Pak Bekel yang meminta


Pak Dalang menggelar lakon Semar Mencari Raga (Semar Nitis)
membuat Pak Dalang bimbang. Pak Dalang belum pernah tahu
ada lakon itu. Kasak-kusuk pun terjadi di antara para warga, dan
juga para penabuh gamelan yang biasa mengiringi pergelaran Pak
Dalang. Ada yang mencibir Pak Dalang karena tidak bisa mem-
buat lakon. Ada yang setuju sebaiknya menggelar lakon lain.
Slenthem, salah seorang pengiring Pak Dalang yang terma-
suk mencibir ketidakmampuan membuat lakon baru, terjebak
dalam situasi harus menciptakan lakon baru. Ada yang setuju
dan mendukung Slenthem. Ada yang tidak. Belum lagi proses
pencitaan lakon baru berhasil anak Slenthem mengalami kecela-
kaan di Sendang Gabus dan mengalami patah tulang. Banyak
yang menyatakan Slenthem terkena karma karena hendak men-
cipta lakon baru. Di luar dugaan, Pak Dalang justru mendukung
Slenthem untuk membiayai sakit anaknya yang kecelakaan di
sendang itu.
Laras, sinden Pak Dalang, marah pada Slenthem. Laras hen-
dak membuat lakon tandingan. Sialnya, Laras justru ditemukan
mati di kebun kawasan desa. Pro-kontra penciptaan lakon baru
terus terjadi. Pak Dalang, karena kematian Laras, hendak menzi-
arahi hari ke-40 Laras dengan menggelar lakon yang sudah di-
rencanakan Laras.
Karena maksud Pak Dalang itu, Pak Bekel dan Slenthem setu-
ju untuk membatalkan pementasan Slenthem. Namun, Pak Da-
lang justru melarang pembatalan pentas Slenthem. Warga jadi
makin bingung dengan situasi desanya.

230 SRI KUNCORO


Di tengah kecamuk kebingungan itu, warga menemukan Pak
Dalang mati tergantung di rumahnya. Ada yang mengira Pak
Dalang gantung diri. Ada yang mengira Pak Dalang dibunuh
dan kemudian digantung.

SEMAR MENCARI RAGA 231


PAR A PEL AKU

1. Pak Dalang (laki-laki 60-an tahun)


2. Slenthem (laki-laki 30–40 tahun)
3. Laras (perempuan 50-an tahun)
4. Demung (laki-laki 50 tahun)
5. Lamis (perempuan 25 tahun)
6. Panjak (laki-laki, 50-an tahun)
7. Batangan (laki-laki 50-an tahun)
8. Pak Bekel (laki-laki 50-an tahun)
9. Yu Tenong (perempuan 40-an tahun)
10. Warga/Orang 1 (35 tahun)
11. Warga/Orang 2 (40-an tahun)
12. Warga/Orang 3 (20-an tahun)
13. Thole (bocah laki-laki, 12 tahun)
14. Ismaya (ruh/spirit)
15. Para Penari

232 SRI KUNCORO


NOL

Sandiwara ini dimulai oleh sebuah pertunjukan jathilan atau reog


atau semacam seni tradisional yang lain sebagai prosesi pembuka-
an upacara bersih desa. Ketika lampu meremang nyala atau layar
dibuka, para penari seni tradisional itu tengah marak dengan
trance-nya.

SEMAR MENCARI RAGA 233


SATU

Malam di pendapa rumah Pak Dalang. Di rumah Pak Dalang ini


hanya ada beberapa anggota kelompok pengiring Ki Dalang yang
berlatih. Mereka itu adalah Nyi Laras, Nyi Lamis, Demung, Ba-
tangan, Slenthem, Panjak.
Demung: Bosan!
Laras: Apanya yang bosan?
Demung: Jadi kamu tidak bosan, menunggu kepastiannya nasib
kita ini?
Lamis: Kita ini sebenarnya jadi pentas tidak?
Slenthem: Na, itu!
Panjak: Kita pentas kalau Pak Dalang bilang kita pentas. Kita ti-
dak pentas kalau Pak Dalang bilang kita tidak pentas.
Lamis: Jadi kita itu sama dengan wayang? Tergantung dalang-
nya? Lalu Pak Dalang bilang apa?
Demung: Tanya saja sendiri!
Slenthem: Kalau sampai kita tidak jadi pentas, repot!
Celaka! Honor pentas ini sudah saya janjikan pada Mas Men-
dreng. Saya sudah terlanjur kredit kompor, wajan, sama kaca-
mata. Kalau tidak jadi pentas, lantas utang saya harus saya ci-
cil pakai apa? Harus saya bayar dengan apa? Apa saya bayar
daun pisang?
Batangan: Kalau tukang kreditnya mau, bayar saja!

234 SRI KUNCORO


Slenthem: Mau endhasmu.
Panjak: Makanya, jangan suka mendahului apa yang belum ter-
jadi.
Slenthem: Tapi kalau pentas bersih desa, kan, pasti. Sudah bera-
pa tahun kita hidup di desa ini? Semenjak kita belum bisa
memukul gamelan, kita sudah bisa memastikan bahwa akan
ada pertunjukan wayang dalam rangka bersih desa. Sekarang
tiba-tiba Pak Dalang berubah adat, upacara pembukaan su-
dah berlangsung, Pak Dalang belum memutuskan kita akan
pentas atau tidak. Apa itu tidak berarti ….
Lamis: Tidak bisa nyicil kompor?
Slenthem: Kompor buat mbakar mulutmu itu.
Lamis: Lho, jangan, kalau mulut saya dibakar, lalu saya harus
nyinden pakai apa? Dan lagi siapa yang akan nyindeni wa-
yang kita ini?
Panjak: Sudah. Biarkan semua diurus Pak Dalang.
Demung: Aneh, bisa-bisanya dalang kekurangan lakon. Diminta
membuat cerita Semar Mencari Raga—Semar Nitis—saja bi-
ngung. Nggak bisa. Padahal, katanya dalang itu tidak pernah
kehabisan cerita.
Laras: Soalnya bukan tidak bisa atau kekurangan lakon. Tapi
kalau Semar nitis, mencari raga, itu harus nitis pada siapa?
Merasuki raga siapa? Kalau Rama merasuki raga Kresna,
Wibhisana nitis pada Harjuna, lha kalau Semar? Dari jaman
Ramayana sampai Baratayuda, Semar itu, ya, tetap Semar. Ti-
dak nitis. Tidak mencari raga. Tidak berganti.
Demung: Sudah tahu.
Laras: Kalau sudah tahu, kenapa masih ribut?

SEMAR MENCARI RAGA 235


Slenthem: Tapi apa ya tidak bisa dibuatkan wayang lain? Wa-
yang baru? Kan, hanya wayang, ya tho?
Laras: Terus akan dinamai siapa?
Demung: Nama? Apa sulitnya nama?
Slenthem: Namakan saja Simur, atau Samer.
Laras: Them, nama Semar dan juga wujudnya itu punya makna.
Bukan sekedar nama dan wujud.
Slenthem: Wayang itu, ya, tetap wayang. Buto Cakil saja bisa
diganti nama Gendir Penjalin, kok, Semar nggak bisa diganti
Samer. Mesti bisa.
Demung: Kalau begitu kamu jadi dalang saja, Them.
Slenthem: Apa?
Panjak: Sebaiknya kamu jadi dalang.
Slenthem: Aku?
Lamis: Iya, Them. Kalau kamu jadi dalang, kamu tidak hanya
bisa kredit kompor dan wajan, atau kacamata. Tapi kamu bisa
kredit rumah.
Slenthem: Lantas bagaimana dengan kalian?
Demung: Aku, kan, hanya tukang saron. Diajak main ke sana, ya,
main, diajak main ke sini, ya, main.
Laras: Tapi aku tidak setuju. Dan lagi, ya, Them, jadi dalang itu
tidak mudah.
Lamis: Memang. Tapi bukan berarti kamu tidak bisa, Them. Ka-
mu, kan, bisa berlatih mulai sekarang. Biar besok aku yang
menemui Ki Bekel. Akan aku katakan bahwa kamu sanggup
membuat cerita tentang Semar Mencari Raga.

236 SRI KUNCORO


Demung: Slenthem tidak akan pernah kekurangan lakon.
Laras: Aku tidak setuju.

SEMAR MENCARI RAGA 237


DUA

Sebuah tempat umum di pinggir jalan, di desa itu.


Yu Tenong: Nong …. Tenong. Nong …. Tenong. Siapa mau beli?
Ada konthol kejepit. Ada rondho royal. Ada nasi. Ada Ketan.
Ada … (meletakkan gendongan). Huuh … hidup kok makin
susah. Jualan apa-apa tidak laku.
Muncul seseorang.
Orang 1: Ya, tidak usah jualan, Yu.
Yu Tenong: Kalau saya tidak jualan, terus anak saya dikasih ma-
kan apa?
Orang 1: Ya, dikasih makan nasi. Masak mau disuruh makan
beling. Nanti dikira jathilan. Tapi kalau mau, nggak apa-apa
Yu. Malah ngirit.
Yu Tenong: Ngirit cengelmu. Sini, mau beli apa tidak, kalau ti-
dak, sana minggat.
Orang 1: Kamu itu, Yu, jualan kok tidak ramah. Kalau kamu
galak seperti itu, yang mau beli siapa? Senyum, Yu. Senyum.
Kalau perlu, pakai bonus.
Yu Tenong: Bonus dhengkulmu. Laba cuma dua puluh lima di-
suruh ngasih bonus. Bonusnya, ya, pegel-pegel di punggung
ini. Eh, saya itu sekarang kok mudah sekali lelah, ya? Pung-
gung ini cepat sekali merasa pegel. Apa karena sudah tua, ya?
MBok tolong kamu pijit.
Orang 1: Wow, ha umumnya orang jualan itu memberi bonus,

238 SRI KUNCORO


ini malah pembeli disuruh mijiti. Yu, kalau daganganmu pi-
ngin laris, bakulmu ini kamu tulisi: PEMBELI DAPAT BO-
NUS PIJIT. Jangan pembeli malah disuruh mijit. Lha, kalau
matamu itu yang pegel-pegel, sini saya injak-injak, saya pijiti.
Kalau saya disuruh mijit punggung, ya, nggak mau.
Yu Tenong: Yang nyuruh itu siapa? Saya itu cuma minta tolong.
Itu kalau kamu mau. Kalau tidak mau, ya sudah.
Orang 1: Sama saja, Yu. Nyuruh atau minta tolong. Hasilnya sama.
Yu Tenong: Kamu itu mau beli apa ngajak ribut?
Orang 1: Saya mau beli. Kamu ngajak ribut.
Yu Tenong: Kalau beli, ya, cepat. Apa? Ini nasi. Ini ketan. Ini
rondho royal. Ini konthol kejepit. Ini …
Orang 1: Anu, Yu, kalau ada jepitan
Yu Tenong: Jepitan cangkem? Beli apa tidak?
Orang 1: Beli, Yu, beli. Nasi.
Yu Tenong: Eh, ini jadinya pakai wayang tidak? Bersih desa ini?
Betul apa dalangnya si Slenthem?
Orang 1: Tanya itu mbok satu-satu. Tanya satu saja belum dija-
wab, kok sudah tanya lainnya.
Yu Tenong: Lha, iya, bersih desa ini jadi pakai wayang tidak?
Orang 1: Lha, gitu.
Senyap sesaat.
Yu Tenong: He, kamu itu ditanya kok diam saja. MBok njawab.
Ngomong.
Orang 1: Lha, kalau saya nggak tahu. Saya harus njawab apa?

SEMAR MENCARI RAGA 239


Yu Tenong: Tapi apa, ya, Slenthem itu bisa ndalang? Tapi kalau
bersih desa tidak pakai pertunjukan wayang, ya sepi, ya?
Cemplang. Kalau sayur kurang garam. Tapi kalau untuk saya,
yang jelas tidak nambah pendapatan. Saya waktu bersih desa
tahun kemarin, pas pertunjukan wayang, pendapatan saya
meningkat dua kali lipat. Tapi ya itu, paginya saya tewas. Ba-
dan pegel-pegel. Lemas. Mata ngantuk. Loyo sampai tiga hari.
Terpaksa, saya tidak jualan tiga hari.
Orang 1: Pendapatan meningkat dua kali, apa tidak jualan tiga
hari? Apa karena laba dua kali terus tidak jualan tiga hari?
Yu Tenong: Laba dua kali tapi terpaksa tidak jualan tiga hari.
Orang 1: Itu namanya rugi satu hari.
Yu Tenong: Laba dua kali. Goblok.
Muncul dua orang.
Orang 2: Nasi, Yu.
Yu Tenong: (Sambil melayani) Eh, apa Slenthem itu bisa ndalang?
Orang 3: Kalau bisa, ya bisa, Yu. Tapi kalau baik, saya nggak tahu.
Yu Tenong: Perkara baik atau tidak, itu bukan urusanku. Urus-
anku itu Slenthem jadi pentas atau tidak?
Orang 1: Kalau itu urusan Pak Bekel, Yu.
Yu Tenong: Ais, prek. Mau ada pentas wayang, ya syukur, tidak
ada pentas, ya biyangane.
Orang 2: Slenthem itu kelewatan.
Yu Tenong: Slenthem lagi. MBok sudah, nggak usah dibicarain.
Slenthem mau koprol, ya biar. Mau jungkir-njempalik, ya biar.
Bukan urusan kalian. Kalau dia mau pentas, ya biar pentas.

240 SRI KUNCORO


Kalian mau nonton, ya nonton, tidak mau nonton, ya tidak
usah nonton. Gitu saja dibicarakan.
Orang 2: Yu, saya mau omong itu urusan cangkem saya. Bukan
urusanmu.
Orang 3: Pak Dalang yang sudah berpengalaman saja bingung,
gara-gara lakon yang diminta Pak Bekel itu sulit, dan belum
pernah ada. Kok, Slenthem berani-beraninya mau meng-
gantikan.
Yu Tenong: Ha, Pak Dalang itu yang goblok. Dalang kok keku-
rangan lakon. Atau …. Saya tahu sekarang. Kenapa Pak Da-
lang tidak segera memutuskan pementasannya. Lakon itu su-
lit, kan, katamu? Lakon itu juga belum pernah ada, kan? Pasti.
Pasti Pak Dalang hanya menunda waktu. Besok kalau tinggal
dua atau tiga hari, pasti Pak Dalang mengatakan sudah men-
dapatkan ceritanya. Lakonnya. Tapi, ya itu. Bayarannya harus
tinggi. Ah … dasar dalang, tidak pernah kekurangan lakon.
Orang 1: Yu, kamu itu ngerti wayang, tidak? Tahu lakon wayang,
tidak? Semar itu dari jaman Ramayana sampai jaman Barata-
yuda, ya, tetap Semar. Lain dengan Wisnu. Kalau Batara Wis-
nu itu di jaman Ramayana menjadi Prabu Rama, kalau di ja-
man Baratayuda menjadi Prabu Kresna. Tapi kalau batara Is-
maya, ya, tetap Semar. Semar itu bukan sembarang wayang.
Yu Tenong: Wayang itu, ya, tetap wayang. Dalang itu, ya, tetap
tidak kekurangan lakon.
Muncul Pak Dalang.
Yu Tenong: Wah, kayak drama, ya? Dibicarakan, terus datang.
Mari Pak Dalang, silahkan. Mau nasi, ketan, apa rondho ro-
yal? Ini ketannya enak, lho, Pak Dalang. Impor. Rasanya lain.
Orang 3: Pak Dalang, sebenarnya, kalau menurut Pak Dalang,

SEMAR MENCARI RAGA 241


Semar itu kalau harus mencari raga, nitis, itu harus merasuk
ke raga siapa?
Pak Dalang: Sejujurnya aku tidak tahu. Semenjak aku pertama
kali melihat pertunjukan wayang, lalu kemudian menjadi da-
lang, aku belum pernah mendengar lakon seperti itu. Mung-
kin pengalamanku yang kurang sehingga aku tidak mengerti
bahwa pernah ada lakon seperti itu. Tapi mungkin juga me-
mang tidak pernah ada lakon itu.
Yu Tenong: Nyak. Dalang kok kekurangan lakon?
Pak Dalang: Sejujurnya, Yu, aku tidak tahu, atau malah tidak
bisa kalau harus melakonkan cerita itu.
Orang 1: Jadi bagaimana menurut Pak Dalang?
Pak Dalang: Aku sendiri bingung. Kalau memang lakon itu
pernah ada, aku tidak tahu dalam kakawin apa lakon itu ditu-
liskan. Kalau lakon itu belum ada, aku tidak tahu apakah la-
kon itu sebaiknya ada atau tetap tidak pernah ada.
Orang 2: Maksud Pak Dalang?
Pak Dalang: Semar itu wayang yang aneh …. Ia dewa, tapi ia
juga rakyat jelata. Sebagai dewa, ia tak berada di kahyangan.
Sebagai rakyat jelata, ia punya kekuasaan kedewataan. Tak
ada seorang dewa pun yang sanggup mengalahkannya. Apa-
lagi hanya seorang raja. Ia dikatakan laki-laki, tapi seperti pe-
rempuan. Ia dikatakan perempuan, tapi dipanggil sebagai
Romo. Satu hal yang jelas bagiku hanyalah, Semar itu bijaksa-
na. Mungkin karena itu, Semar diciptakan buruk rupa dan
tak jelas jenisnya. Apakah ia laki-laki, ataukah sebenarnya ia
perempuan. Dan bukankah kebijaksanaan tidak mengenal
pangkat, derajat, jenis kelamin, dan ketampanan? Tapi hanya
mengenal kejujuran dan ketulusan hati dalam bersikap?

242 SRI KUNCORO


Orang 3: Kalau begitu, lebih baik lakon ini tidak pernah ada!
Sekonyong-konyong terdengar peluit membahana. Rampak. Yu
Tenong tiba-tiba panik.
Yu Tenong: Garukan …. Garukan. Sekarang tidak boleh jualan
di tempat ini. Cepat. Cepat. Garukan. Kamu makan apa?
Orang 3: Nasi, rondho royal.
Yu Tenong: Tiga ratus. Sini. Kamu apa?
Orang 1: Ketan, nasi.
Yu Tenong: Empat ratus. Kamu apa? Cepat.
Orang 2: Nasi dua.
Yu Tenong: Lima ratus. Pak Dalang apa?
Pak Dalang: Nasi, tapi belum saya makan.
Yu Tenong: Dua ratus.
Yu Tenong cepat-cepat pergi.
Orang 1 & 3: Lho, Yu, uang kembaliannya?
Yu Tenong: Saya utang dulu!
Yu Tenong pergi.
Orang 1: Edan. Biasanya yang utang itu pembeli, kok sekarang
penjualnya.
Suara peluit mendekat. Orang-orang pergi. Tinggal Pak Dalang.
Lalu muncul serombongan orang buta (mengenakan seragam Kor-
pri batik biru) berbaris melintas panggung. Orang buta hilang.
Muncul Yu Tenong.
Yu Tenong: Edan. Trembelane. Ternyata hanya pegawai latihan
berbaris. Orang-orang tadi ke mana, Pak Dalang?

SEMAR MENCARI RAGA 243


Pak Dalang: (Menunjuk ke arah perginya orang-orang) Ke sana.
Yu Tenong pergi ke arah yang berlawanan dari yang ditunjuk Pak
Dalang.
Pak Dalang: Lho, Yu, ke sana.
Yu Tenong: Nanti ditagih.
Pak Dalang memandang kepergian Yu Tenong. Dari sudut yang
lain, muncul Ki Buyut yang membopong Thole, anak si Slenthem
yang agaknya pingsan.
Pak Dalang: Ki Buyut! Siapa yang Ki Buyut bawa?
Ki Buyut: Thole. Anaknya Slenthem. Pingsan. Jatuh di Sendang
Gabus.
Ki Buyut pergi. Pak Dalang membuntuti.

244 SRI KUNCORO


TIGA

Malam di pendapa rumah Pak Dalang. Menunggu kedatangan para


pengiringnya, Pak Dalang memainkan wayang. Datang Slenthem.
Slenthem: Belum pada datang, Pak Dalang?
Pak Dalang: Seperti yang kau lihat. Bagaimana anakmu?
Slenthem: Kakinya patah. Tak bisa digerakkan.
Pak Dalang: Sebaiknya kau bawa ke kota. Sebelum terlambat.
Slenthem: Tapi …
Pak Dalang: Itulah masalahnya. Tentu makan biaya.
Datang Lamis diiringi Demung.
Pak Dalang: Tapi apakah kau juga rela melihat anakmu seumur
hidup seperti itu?
Lamis: Seandainya kau terima mementaskan
Slenthem: Tidak. Jangan kau ungkit itu.
Pak Dalang: Mungkin Lamis benar.
Slenthem: Tidak, Pak Dalang. Tidak.
Pak Dalang: Kau jangan hanya diburu perasaanmu.
Slenthem: Sehari tadi omongan orang telah membingungkan.
Aku sudah tidak bisa menjelaskan.
Lamis: Tapi tadi malam kau …
Slenthem: Diam kamu, Lamis! Sedikit pun aku tak pernah ber-
hasrat menggantikan kedudukan Pak Dalang!

SEMAR MENCARI RAGA 245


Pak Dalang: Jangan kamu dikalahkan kebingunganmu. Anak-
mu kini membutuhkan tenagamu!
Slenthem: Tapi tidak dengan ini. Masih ada sepetak tanah. Se-
cuil sawah. Mungkin bisa dijadikan jalan keluarnya.
Pak Dalang: Dan bila tidak?
Sekonyong-konyong terdengar suara Laras. Kedatangannya dii-
ringi Panjak dan Batangan.
Laras: Nah, apa katamu sekarang? Belum lagi cerita kau karang,
anakmu sudah menjdi korban. Itu yang namanya kuwalat.
Sudah aku bilang, Semar itu wayang bukan sembarang wa-
yang, tapi kamu nekad. Sekarang apa katamu, Them?
Ayo katakan! Ini yang marah baru danyang penunggu Sen-
dang Gabus. Belum Lurahe Badranaya sendiri.
Pak Dalang: Laras. Laras.
Laras: Semar dipakai mainan.
Pak Dalang: Laras ….
Laras: Pak Dalang itu, ya, lucu. Kalau tidak pentas, ya, diumum-
kan bahwa tidak pentas. Kalau pentas, ya, katakan.
Pak Dalang: Diamlah. Aku ingin bicara. Kalian mestinya tahu,
penduduk desa mendapatkan hiburannya hanya pada upaca-
ra bersih desa. Dan kalian juga tahu betapa sulitnya menga-
rang cerita itu. Betapa sedihnya bila tak memberikan kesem-
patan penduduk desa mendapatkan hiburannya. Tetapi beta-
pa berat dan susahnya merangkai cerita Semar Mencari Raga.
Ketika aku dengar dari omongan orang, Slenthem akan
menggantikan mendalang, aku bisa sedikit menitipkan ha-
rapan. Paling tidak, orang desa bisa mendapatkan haknya
mendapatkan hiburan.

246 SRI KUNCORO


Panjak: Tapi, Pak Dalang. Belum lagi cerita dikarang, anak Slen-
them telah menjadi korban.
Pak Dalang: Tak ada anak Slenthem yang menjadi korban. Tak
ada hubungan antara wayang dan kehidupan. Wayang itu di-
ciptakan oleh manusia, dia tak berkuasa atas kehidupan kita.
Siapa pun bisa terpeleset, jatuh, di Sendang Gabus. Bukan
karena Semar. Bukan karena danyang penunggu sendang. Ta-
pi karena sendang licin dan tebingnya terjal. Aku minta seka-
rang kalian membantu Slenthem. Anaknya harus berobat ke
kota. Itu butuh biaya yang tak sedikit jumlahnya. Aku berha-
rap Ki Bekel bersedia menebus semua biaya.
Slenthem: Tidak, Pak Dalang. Tidak. Aku belum membuat ce-
ritanya. Sebaiknya tetap Pak Dalang saja. Biarkan aku terima
upah yang biasanya.
Pak Dalang: Jangan kau sia-siakan waktu yang ada. Belajarlah
dulu menarikan anak wayang.
Slenthem dituntun Pak Dalang menuju jajaran wayang. Lalu ke-
mudian ia tarikan anak-anak wayang. Para penabuh gamelan
mengiringi dengan tabuhan.

SEMAR MENCARI RAGA 247


EMPAT

Halaman rumah Pak Bekel. Suasana meriah. Ada sebuah tonton-


an—mungkin tayub—tengah berlangsung, sebagai bagian dari
acara bersih desa. Pak Bekel bicara pada Slenthem. Barangkali ju-
ga sambil menayub, sambil sesekali mencubit, atau menjawil sesu-
atu yang lain pada bagian tertentu tledek.
Pak Bekel: Prinsipnya saya setuju. Hanya kalau bisa dan mung-
kin, Semar-nya itu dirubah sedikit. Ya, tidak gemuk seperti
itu. Wajahnya, ya, tidak usah njewewek seperti itu. Kalau per-
lu, nggak usah pakai kuncung. Atau malah begini, Semar itu,
kan, dewa, ya tho? Bagaimana kalau dia itu dibuat sedikit
mirip Arjuna. Ya setidaknya, Arjuna itu, kan, halus, tampan.
Atau paling tidak, mirip Abimanyu atau Irawan. Tapi, itu ka-
lau menurut saya. Kita mencoba menghargai dewa, begitu
maksud saya. Masak kita melukiskan dewa kita sendiri, kok,
gembrot, wajahnya pating plethot dan pakai kuncung. Kalau
seperti itu, kan, hanya kayak badut, ya tho? Masak kita tega
dewa, kok, disamakan badut. Tapi, itu kalau saya. Ya, sema-
cam harapan saya saja. Lalu soal nama tokohnya, kamu kata-
kan tetap seorang rakyat jelata, itu saya setuju. Semua kita ini
toh rakyat biasa juga. Bupati itu asalnya rakyat biasa juga. Pe-
mimpin lainnya itu tadinya juga rakyat biasa. Hanya kebetul-
an mereka terpilih menjadi pemimpin. Dan jangan lupa bah-
wa pemimpin itu sebenarnya abdi rakyat. Kelihatannya saja
mereka memimpin, tapi sebenarnya mereka itu pelayan ma-
syarakat. Jadi memang sudah sepantasnya kalau Semar yang
baru itu tetap rakyat biasa. Hanya sebutannya saja bagaimana

248 SRI KUNCORO


kalau sedikit dirubah. Maksud saya begini, Semar itu, kan,
dipanggil Lurah Semar. Kalau saya, lebih pas, lebih sreg, ka-
lau dipanggil Ki Bekel. Ki Bekel Semar. Atau Semar-nya itu
diganti sekalian. Diganti langsung nama kedewataannya. Itu,
kalau saya. Soalnya menurut saya, lebih pantas begitu. Jadi
Semar yang baru itu nantinya disebut Ki Bekel Ismayajati.
Bukan lagi Ki Lurah Semar atau Ki Bekel Semar. Jadi sesuai
antara nama dan wujud wayangnya. Tapi, itu semua kalau
menurut saya. Mungkin kamu punya pertimbangan lain?
Kau sampaikan lain kali saja.

SEMAR MENCARI RAGA 249


LIMA

Senja di pendapa Pak Dalang. Di depan kelir Pak Dalang menari-


kan wayang. Sambil bersuluk.
Pak Dalang: Surem, surem diwangkara kingkin, lir mangaswa
kang layon …. (Baik juga bila dibacakan terjemahannya, soal-
nya pinjaman dari GM. Dan bila kurang panjang, demi durasi
pengadegan, kutipkan saja dari buku Sejumlah Masalah Sas-
tra, hal. 167.) Suram, suram matahari yang duka seakan men-
cium sang mayat.
Menyentak suara Yu Tenong dari luar dan langsung menyorong-
kan dagangannya pada Pak Dalang.
Yu Tenong: Pak Dalang, Pak Dalang. Dagangan ini harus Pak
Dalang borong. Ada kabar untuk Pak Dalang dan belum sa-
ya edarkan. Kabar saya khususkan untuk Pak Dalang. Tapi
diborong.
Pak Dalang: Sekarang jualan kabar apa jualan panganan, Yu?
Yu Tenong: Pokoknya diborong, ya, Pak Dalang. Untuk anak
buah Pak Dalang. Nanti, kan, pada latihan. Daripada anak
saya ndak bisa makan besok. Baru saja saya mampir rumah
Pak Bekel. Pak Bekel sedang mempermainkan Semar anyar.
Semar baru. Jauh. Jauh dari Semar-nya Pak Dalang. Ini lebih
bagus. Gantheng. Persis Janaka. Nah, Semar yang anyar itu,
menurut Pak Bekel, yang akan dipakai sebagai titisan Semar
yang baru. Diborong, ya, Pak!
Pak Dalang: Sudah tahu!

250 SRI KUNCORO


Yu Tenong: Ha?
Pak Dalang: Sudah tahu.
Yu Tenong: Sudah tahu?
Pak Dalang: Ya.
Yu Tenong: Wah.
Pak Dalang: Sebelum ke rumah Pak Bekel, Kasidi yang me-
ngerjakan pembuatan wayang itu, mampir ke sini dan men-
ceritakan semuanya.
Yu Tenong: Wow.
Datang Laras dengan geram di dadanya.
Laras: Apa tindakan Pak Dalang sekarang? Cerita belum dika-
rang, Semar baru sudah dibuatkan. Itu berarti Slenthem ha-
rus menyesuaikan lakonnya. Dan Semar harus bersalin rupa.
Yu Tenong: Ketan, Nyi Laras. (Menawarkan bungkusan ketan.)
Laras: Tidak butuh ketan.
Yu Tenong: Semar Mendem … Semar Mendem (Menawarkan
semar mendem.)
Laras: Semar edan!
Yu Tenong: Semar mendem tambah ketan, jadi Semar edan!
(Menyerahkan bungkusan ketan dan semar mendem.) Gratis.
Sudah diborong Pak Dalang!
Laras: (Menerima bungkusan makanan dan diletakkan kembali
ke tenongan, bakul yang dibawa Yu Tenong.) Keberadaan Se-
mar harus diluruskan. Orang boleh menciptakan dongengan,
tetapi tidak harus memalsukan hakekat keberadaan.
Datang Panjak. Langsung disambut Yu Tenong.

SEMAR MENCARI RAGA 251


Yu Tenong: (Menyerahkan bungkusan ketan dan semar men-
dem.) Semar mendem tambah ketan. Semar edan.
Begitu saja Panjak menerima.
Laras: Ini tidak bisa dibiarkan. Pak Dalang harus bertanggung
jawab. Kalau perlu, Slenthem disuruh mengurungkan per-
tunjukan.
Panjak: Laras betul, Dalange. Sebagai wayang, Semar memang
hanya tontonan. Tetapi sebagai kebijaksanaan Semar adalah
tauladan. Semua orang tahu itu. Dalam wajahnya yang jelata,
ada kebijakan dewata. Dalam kesempurnaan kedewaannya,
ada kesederhanaan manusia biasa. Itu yang harus dipertahan-
kan. Bukan keberadaannya sebagai wayang. Kurasa kau lebih
tahu dariku.
Muncul Batangan, langsung disambut Yu Tenong dengan dagangan.
Yu Tenong: (Memberikan semar mendem dan ketan.) Semar
edan. Semar mendem tambah ketan!
Begitu saja Batangan menerima.
Batangan: Apa yang harus kami lakukan, Pak Dalang?
Pak Dalang: Seperti biasa, menunggu Slenthem dan menemani
mempersiapkan pertunjukan.
Laras kesal. Panjak mencoba menanggungkan. Batangan pasrah
dalam gelisah. Mereka mencari tempatnya sendiri mempersiap-
kan tugas yang harus dijalani, mengiringi Slenthem.
Pak Dalang: Aku mengerti kegelisahan kalian. Dan aku hargai
keberanian kalian menentukan pilihan. Semar yang harus ti-
dak dipalsukan. Tetapi bagiku Semar itu tak ada. Semar ha-
nya maya. Menghuni bagian pikiran kita. Yang nyata adalah

252 SRI KUNCORO


Thole. Anak Slenthem. Yang kakinya patah. Yang hidupnya
bakalan susah bila kita tak mengusahakan kepulihannya. Ter-
paksa. Tidak. Bukan terpaksa, bila aku memilih Thole dan
bukan Semar. Aku memilih yang nyata dan bukan yang maya.
Tak ada yang lebih penting dari hidup ini sendiri.
Datang berombongan, Slenthem, Demung, dan Lamis. Di tangan
Slenthem tergenggam selembar anak wayang dengan bleger (wu-
jud fisik) bambangan/ksatria, dengan praba cahaya dewa, dan
upaya sia-sia untuk menunjukkan rakyat biasa dari kain kampuh
(kain dengan motif kotak-kotak hitam-putih-merah) yang melilit
di badannya.
Yu Tenong buru-buru melayani ketiga orang yang datang.
Yu Tenong: (Memberikan makanan pada ketiganya.) Semar
edan. Semar mendem campur ketan.
Yu Tenong memberesi bakulannya. Tenong tempat dagangan.
Slenthem langsung mendekati Pak Dalang.
Slenthem: (Menyerahkan anak wayang) Banyak orang yang ti-
dak menyetujui pementasan. Belum lagi cerita yang mungkin
bisa dikarang.
Yu Tenong: Aku setuju.
Pak Dalang: Ada saatnya hidup mengharuskan untuk tidak
mengikuti suara banyak orang. (Sambil menimang dan mem-
permainkan anak wayang.)
Yu Tenong: Pak Dalang juga setuju, kan? (Yu Tenong mendekati
Pak Dalang, dengan sepuluh jari tangannya ia menunjukkan
jumlah harga dagangannya.) Pak Dalang, hu!
Pak Dalang mengangsurkan sejumlah uang. Yu Tenong lalu pergi
meninggalkan latihan pementasan.

SEMAR MENCARI RAGA 253


Slenthem: Tetapi bagaimana dengan Semar dalam wujudnya
yang baru? Begitu berbeda dengan muasalnya.
Pak Dalang: Dunia berubah. Hidup juga berubah. Semar yang
dewata, bisa berubah menjadi jelata. Semar yang jenaka, bisa
menjadi bahan tertawaan penontonnya. Tapi anakmu jangan
jadikan cemoohan tetanggamu, lantaran kelumpuhannya.
Berlatihlah. Mumpung masih ada waktu.
Pak Dalang mengembalikan anak wayang. Slenthem menerima,
lalu menuju tempat berlatihnya. Ditarikannya Semar yang baru,
ditarikannya Semar yang lama. Dicobakan perkawinannya. Diu-
payakan keluluhannya.
Langit dingin dan biru
Malam berlumut kabut
Hijau mungkin kelabu
Berselendang sulam kabut
Ismaya menari dalam pesta warna jagat raya
Mungkin bagus seandainya struktur visual meminjam komposisi
gerak Tari Semar karya almarhum Ben Suharto.
Percakapan di bawah anggap saja percakapan batin. Ismaya bica-
ra sambil menari.
Ismaya: Tak ada yang perlu digelisahkan dari putaran kehidupan,
bila kita telah berani menentukan sebuah pilihan.
Pak Dalang: Apa yang aku lakukan hanyalah apa yang terbaik
menurutku, ketika aku sampai pada kesimpulan.
Ismaya: Itu yang diajarkan.
Pak Dalang: Itu yang aku dapatkan. Tapi …
Ismaya: Tapi …

254 SRI KUNCORO


Pak Dalang: Ada yang terus menguntitku dan menodongkan
kecemasan.
Ismaya: Pikiran-pikiran.
Pak Dalang: Mulanya adalah tantangan.
Ismaya: Hidup tak dihitung dengan kalah menang.
Pak Dalang: Lalu penghinaan.
Ismaya: Masih juga itu jadi perhitungan?
Pak Dalang: Telah aku pasrahkan ke dalam penerimaan.
Ismaya: Hidup adalah penghayatan penderitaan yang panjang.
Pak Dalang: Dan sekarang kebenaran yang dipalsukan.
Ismaya: Tak ada kebenaran sebelum hidup mencapai kesempur-
naan.
Pak Dalang: Itu tidak di sini!
Ismaya: Itu tidak di sini.
Pak Dalang: Itu tidak di sini.
Ismaya: Itu tidak di sini.
Ismaya moksa. Malam kembali sebagai sediakala.
Demung menarikan anak-anak wayang. Dari bagian para pengi-
ring, Laras sekonyong- konyong berdiri.
Laras: Aku tak bisa melakukannya. (Lantang) Ini pengkhianat-
an kehidupan. Upaya menyingkirkan kebenaran. Aku akan
pergelarkan ceritaku. Akan aku buka kedok Semar yang baru.
Akan aku kembalikan Semar sebagaimana ada pada mulanya.
(Laras pergi meninggalkan latihan.)

SEMAR MENCARI RAGA 255


Pak Dalang: Aku mengerti perasaan Laras. Aku bisa meneri-
manya. Kuharap kalian pun melakukannya.
Slenthem: Sebaiknya ini diurungkan saja.
Pak Dalang: Tak perlu. Niatan pergelaran Laras akan mengu-
rungkan ceritamu. Yang aku mintakan kepada kalian, bantu-
lah Slenthem dan Laras kemudian. Nah, pulanglah. Beristira-
hatlah. Malam telah larut. Dan kalian telah kerja keras. Masih
ada waktu besok untuk berlatih lagi. Hanya kau, Slenthem,
aku minta kau tinggal saja, aku ingin mendengar cerita yang
kau reka. Juga tentang anakmu.
Semua pergi, kecuali Slenthem.
Pak Dalang: Di mana Semar-mu yang baru?
Slenthem mengambil Semar yang baru, sekalian juga Semar yang
lama.
Pak Dalang: Sudah lincah kau menarikannya?
Slenthem menarikan kedua Semar.
Pak Dalang: Apakah kau juga akan memerangkan keduanya?
Slenthem menarikan gerakan perang antara kedua Semar.
Lalu panggung berubah menjadi pertunjukan wayang orang. Da-
lam pertunjukan, Laras memerankan tokoh Semar (tandai de-
ngan atribusi kostum dan gerakan tari). Ia berperang melawan
Pak Bekel yang juga memerankan tokoh yang sama, Semar. Se-
dang, Pak Dalang dan Slenthem tak merasa ada kejadian dahsyat
di sekitarnya.
Laras: Pak Bekel, apa yang kau mau dari kelahiran Semar yang
baru?

256 SRI KUNCORO


Pak Bekel: Apa kau perlu tahu?
Laras: Setiap orang tak menghendaki kebenaran yang palsu.
Pak Bekel: Tetapi apabila yang ditiru telah ditiadakan, tak akan
ada yang dipalsukan.
Laras: Tak ada pilihan lagi.
Pak Bekel: Ada! Kau diam dan membiarkan aku melangsung-
kan rencanaku.
Laras: Aku diam bila jazadku menyuruhku diam.
Pak Bekel: Apa boleh buat.
Perang meningkat sengit. Laras tersudut. Laras terjengkang. Laras
modar.
Pak Bekel: Semar telah aku bunuh. Kini akulah yang sejati.
Lalu panggung penuh teriakan dan orang-orang yang belingsatan.
Pak Bekel hilang dari pandangan.
Teriakan: Semar terbunuh. Semar mati.
Laras terbunuh. Laras mati.
Semar terbunuh. Semar mati.
Laras terbunuh. Laras mati.
Semar terbunuh. Semar mati.
Laras terbunuh. Laras mati.
Teriakan sejenak berkurang, menjauh bersama perginya orang-
orang yang belingsatan.
Pak Dalang: Apa kau mendengar suara teriakan?
Slenthem: Seperti orang kesurupan.
Suara teriakan meninggi. Bersama belingsatan datangnya orang-
orang.

SEMAR MENCARI RAGA 257


Teriakan: Laras terbunuh. Laras mati.
Laras terbunuh. Laras mati.
Laras terbunuh. Laras mati.
Teriakan menghilang. Bersama perginya orang-orang.
Pak Dalang: Laras terbunuh. Laras mati. (Mungkin semacam
gumam.)
Slenthem: Laras terbunuh. Laras mati. (Semacam gumam.)
Pak Dalang: Ayo kita dekati. Sesuatu agaknya telah terjadi.
Pak Dalang dan Slenthem pergi. Teriakan menjadi-jadi. Belingsat-
an orang mengimbangi.
Belingsatan Teriakan: Laras terbunuh. Laras mati.
Laras terbunuh. Laras mati.
Laras terbunuh. Laras mati.

258 SRI KUNCORO


ENAM

Pagi berkabut. Pelataran rumah Pak Bekel menjadi tujuan teriak-


an dan orang-orang yang belingsatan. Di atas pendapa, Pak Bekel
berdiri dengan gagahnya. Tentu, sudah tak mengenakan kostum
Semar-nya.
Orang-Orang: Laras terbunuh. Laras mati.
Laras terbunuh. Laras mati.
Laras terbunuh. Laras mati.
Pak Bekel: Ya, Laras terbunuh. Laras mati. Tapi siapa telah me-
lakukannya?
Lamis: Slenthem!
Pak Bekel: Slenthem? Bagaimana kamu bisa mengatakannya?
Lamis: Nyi Laras menolak membantu pementasan Slenthem.
Pak Bekel: Apakah itu alasanmu?
Lamis: Slenthem … mungkin marah … tersinggung.
Pak Bekel: Kalau begitu, cari Slenthem.
Orang-orang siap bergerak. Datang Pak Dalang bersama Slenthem.
Pak Dalang: Tak perlu! Dia bersamaku. Bahkan jauh sebelum
terdengar teriakan kematian itu. Jadi bukan dia pembunuhnya.
Orang-Orang: Lalu siapa?
Pak Dalang: Tanyakan kepada kepala desamu. Bekelmu! Seka-
rang di mana jazad Laras berada?
Orang 1: Mungkin … barangkali … masih di tempat kejadian.

SEMAR MENCARI RAGA 259


Pak Dalang: Kita ke sana. Korban penganiayaan wajib kita beri
penghormatan.
Pak Dalang pergi. Diikuti Slenthem. Diikuti beberapa orang.
Pak Bekel: (Setelah Pak Dalang jauh, teriak) Tapi Pak Dalang,
persoalan ini perlu dijernihkan!
Pak Dalang: (Membalas teriakan) Bukan perlu, tapi harus! Dan
bukan warga yang mesti melakukannya. Mereka hanya mem-
butuhkan jawaban! Bukan yang menanggungkan kewajiban.
Sekarang orang-orang mengikuti, menyusul kepergian Pak Dalang.
Tinggal Lamis menyuntuki Pak Bekel yang kaku berdiri.
Pak Bekel: Gila!
Lamis: Memang sudah jamannya.
Lalu entah bagaimana memulainya. Lamis meraih tangan Pak
Bekel. Mengelusnya. Menyeret. Menariknya, dalam gerakan tari-
an birahi yang sempurna.
Cahaya susut. Meninggalkan warna dingin dan kabut.

260 SRI KUNCORO


TUJUH

Malam tua. Dingin dan hijau.


Pak Dalang menimang anak wayang. Semar.
Pak Dalang: Apa yang sebenarnya dikehendaki lakon ini?
Ismaya: (OS/off stage) Kehidupan.
Pak Dalang: Perubahan.
Ismaya: (OS) Kehidupan.
Pak Dalang: Kematian.
Ismaya: (OS) Kehidupan.
Pak Dalang: Semua bertudung rahasia.
Ismaya: (OS) Kehidupan.
Pak Dalang: Waktu.
Ismaya: (OS) Kehidupan.
Pak Dalang: Menunggu.
Ismaya: (OS) Kehidupan.
Datang Batangan, Panjak, Lamis, Demung, dan Slenthem. Lang-
kahnya dingin dan kelu.
Panjak: Apakah Slenthem harus meneruskan pegelarannya?
Pak Dalang: Ya.
Batangan: Tapi …

SEMAR MENCARI RAGA 261


Pak Dalang: Tak sepatutnya kita bercuriga. Yang mati, cukup
kita berdoa. Yang sakit, kita harus berupaya. Anak Slenthem!
Slenthem: Mungkin ada jalan lain?
Pak Dalang: Kita tak perlu menghentikan usaha hanya karena
sebuah peristiwa yang muncul bersama. Jangan terlalu meng-
ada-ada. Berlatihlah. (…) Kita juga harus mempersiapkan
untuk kerja yang selanjutnya.
Batangan: Maksud Pak Dalang?
Pak Dalang: Kita harus melunasi janji Laras. Ia inginkan Semar
yang lama sebagai Semar yang sesungguhnya. Aku ingin kita
ziarahi dia tepat pada hari keempat puluh kematiannya. Aku
yang akan menggantikan dia melakonkan cerita.
Demung: Bagaimana seandainya Pak Dalang saja melakonkan
kedua-duanya? Maksudku, lakon Slenthem dan lakon Laras?
Pak Dalang menggeleng. Menyembunyikan muram.
Pak Dalang: Itu tak bisa aku lakukan.
Lalu anak buah Pak Dalang memulai latihan. Lalu Slenthem me-
narikan anak wayang. Lalu Pak Dalang menangkap kesunyian.
Entah bagaimana caranya, datang Ismaya dan Pak Bekel.
Pak Bekel: Berapa pun upah yang kau minta, aku inginkan Se-
mar Mencari Raga.
Ismaya: Tak pernah aku mintakan upah pada desa yang membe-
riku rumah.
Pak Bekel: Tak ada hubungannya antara Semar Mencari Raga
dan desa.
Ismaya: Bagiku ada. Semar dan desa memiliki tujuan bersama.

262 SRI KUNCORO


Tapi bila Semar Mencari Raga, apakah kau bisa mengatakan
itu sebagai tujuan bersama?
Pak Bekel: Akan aku cari dalang yang lainnya.
Ismaya: Kau harus menjawab pertanyaan warga desa.
Pak Bekel: Aku katakan, kau tak bisa menceritakan kisahnya.
Ismaya: Tak ada yang bisa percaya dalang kehabisan cerita.
Pak Bekel: Aku punya cara mengatakannya.
Ismaya: Kumiliki juga cara menangkisnya.
Pak Bekel: Akan aku buktikan. (Pergi. Hilang dari pandangan.)
Lalu datang Thole, anak Slenthem, meminta dengan cacat kakinya,
Ismaya menyambut dan membopongnya. Hilang. Lalu muncul La-
ras menari dalam Semar-nya. Hilang dalam cahaya yang padam.

SEMAR MENCARI RAGA 263


DELAPAN

Muncul Yu Tenong lengkap dengan dagangan, gerutuan, dan sapu


di tangan.
Yu Tenong: Mentang-mentang dipinjami kekuasaan. Mengusir
orang sewenang-wenang. Minta iuran, diberi iuran. Minta
dijaga kebersihan, sudah dijalankan. Tetap saja dikelirukan.
Muncul seseorang dari arah yang berlawanan.
Orang 1: Ada apa, Yu, menggerutu?
Yu Tenong: Edan! Mendem! (Melanjutkan gerutuan.)
Orang 1: Yang mendem itu Semar, Yu.
Yu Tenong: Tidak ngurus Semar. Mau jualan saja sudah repot,
disuruh ngurus Semar. (Menurunkan tenong/bakul yang di-
gendong.)
Orang 1: Kalau begitu, biar aku yang ngurus, Yu. (Mengambil
semar mendem dari dalam tenong makanan.)
Muncul seseorang lagi.
Orang 2: Wah, calonnya cepat kaya, Yu!
Yu Tenong: Kaya utang!
Orang 2: Lho, dalam satu bulan ada dua pementasan wayang.
Apa tidak berarti laba lipat berkali-kali?
Yu Tenong: Pak Dalang itu yang kurang kerjaan. Coba kalau
dulu-dulu menyanggupi, kan Thole anaknya Slenthem tidak
perlu patah kaki. Nyi Laras tidak harus mati.

264 SRI KUNCORO


Orang 1: Kalau saya tahu hidup akan seperti ini, saya memilih
tidak dilahirkan, Yu.
Orang 2: Tapi apa, ya, kematian Nyi Laras itu ada hubungannya
dengan pementasan?
Yu Tenong: Banyak orang yang membicarakan.
Orang 1: Apa kalau banyak orang membicarakan itu bisa berar-
ti kebenaran?
Orang 2: Kalau Slenthem membunuh itu tujuannya apa?
Orang 1: Kalau Pak Dalang itu melarang, Slenthem bersedia
mengurungkan pementasan.
Yu Tenong: Terus anaknya akan dibiayai dengan apa? Duit dari
mana? Tapi benar, ya, Pak Dalang akan menziarahi Nyi Laras
dengan pentas?
Muncul Pak Bekel yang berjalan tergesa.
Orang 2: Mau ke mana, Pak Bekel?
Pak Bekel: Re rumah Pak Dalang.
Orang 1: Itu Pak Dalang! (Menunjuk ke arah dari mana Pak Be-
kel datang.)
Muncul Pak Dalang.
Pak Bekel: Saya baru mau ke rumah.
Pak Dalang: Apa ada yang perlu dibicarakan?
Pak Bekel: Sangat perlu. Ini menyangkut ketenangan kehidupan
semua warga. Kematian Laras telah dikaitkan dengan pemen-
tasan yang telah direncanakan. Dan warga tetap mengira
Slenthem pelakunya. Aku dengar juga Pak Dalang akan me-
rencanakan pementasan untuk menziarahi kematian Laras.

SEMAR MENCARI RAGA 265


Pak Dalang: Kau takut aku jadi korban penganiayaan?
Pak Bekel: Tidak. Bukan itu. Tapi aku ingin ketenangan kehi-
dupan semua warga. Aku ingin pentas Slenthem dibatalkan.
Dan aku pasrahkan kepada Pak Dalang, lakon yang hendak
dimainkan dalam upacara penutupan bersih desa nantinya.
Tidak harus Semar Mencari Raga.
Pak Dalang: Soalnya sekarang sudah bukan sekedar Semar
Mencari Raga.
Pak Bekel: Maksud Pak Dalang?
Pak Dalang: Tapi juga Thole, anak Slenthem, yang butuh biaya.
Pak Bekel: Itu bisa menjadi tanggungan desa. Kalau perlu, biar
aku sendiri nanti yang membiayai. Asal kehidupan warga de-
sa tentram kembali.
Yu Tenong: Ha, ya, saya yang tidak jadi tentram, Pak Bekel. Gi-
mana Pak Bekel ini? Kalau sampai tidak jadi pentas dua kali,
kesempatan saya mendapatkan laba hilang sama sekali.
Orang 1: Kamu jangan hanya memikirkan kepentinganmu sen-
diri, Yu.
Yu Tenong: Apa ada orang yang tidak memikirkan kepentingan
diri sendiri? Coba kamu pikir. Pak Bekel menginginkan pen-
tas satu kali, hanya karena tidak tentram melihat warganya
yang tidak tenang. Jadi bukan karena warga yang tidak te-
nang, tapi Pak Bekel yang tidak tentram.
Orang 2: Hush!
Pak Bekel: Sebaiknya kita bicarakan di rumah saja, Pak Dalang.
Terserah Pak Dalang, di rumah saya atau di rumah Pak Dalang.
Pak Dalang dan Pak Bekel pergi.

266 SRI KUNCORO


Orang 1: Yu, kamu itu yang hormat pada Pak Bekel.
Yu Tenong: Kehormatan kok diberikan. Kehornatan itu, ya, di-
ciptakan. Kalau memang tidak pantas dihormati, ya, ndak
usah dihormati. Apa artinya menghormat di depan, tapi
mencela di belakang?
Orang 2: Tapi setidaknya, orang hidup perlu menjaga jangan
sampai menyinggung perasaan orang.
Yu Tenong: Yang menyinggung itu juga siapa? Aku, kan, ngo-
mong apa adanya. Kalau Pak Bekel merasa tersinggung, ya,
salahnya sendiri. Orang kok perasa. Dan lagi, kalau jadi bekel
itu cari pembantu yang bisa omong apa adanya. Jadi kalau ke-
temu orang yang biasa omong apa adanya, tidak tersinggung.
Cahaya menyusut. Dalam gelap tersisa dialog.

SEMAR MENCARI RAGA 267


SEMBILAN

Gaib malam di rumah Pak Dalang. Di sudut ruang, Ismaya tepe-


kur menunggui Pak Dalang yang bersiap untuk tidur.
Pak Dalang: Apakah aku tidak sedang menyinggung harga di-
rinya? (Pak Dalang tidur.)
Muncul Thole, anak Slenthem, langkahnya pincang dan kesulitan.
Thole: Telah kau perlakukan aku layaknya anjing yang mena-
dah belas kasihan.
Ismaya: Itu hanya perkiraan.
Pak Dalang tidur dalam gelisah.
Thole: Siapa bilang?
Ismaya: Bayang-bayang.
Thole: Bukan.
Ismaya: Pikiran.
Thole: Tapi salahkah orang yang berfikir?
Ismaya: Kau tahu jawab pertanyaanmu.
Thole: Kalau begitu, ijinkan aku menebus harga diriku.
Thole mengeluarkan gada—semacam penthungan yang besar wu-
judnya. Terseret-seret langkahnya mendekati Pak Dalang. Dengan
sangat kejam, dipukulnya Pak Dalang. Tepat ketika pukulan
menghujam, gelap menyergap.
Cahaya menyala. Thole dan Ismaya telah tak ada. Hanya Demung

268 SRI KUNCORO


yang bersusah-payah menyeret tubuh Pak Dalang dan menggan-
tungkan dalam talian.
Demung: Pak Dalang gantung diri! (Pergi.)
Lalu ada suara kentongan, orang-orang bergerak serabutan, lalu
bunyi sahut-sahutan, lalu teriakan orang-orang.
Orang-Orang: Pak Dalang gantung diri.
Pak Dalang gantung diri.
Pak Dalang gantung diri.
Panggung senyap. Bunyi dan teriakan meningkat. Dengan sigap,
orang datang dari berbagai tempat.
Cahaya sempurna.
Panjak: Turunkan.
Batangan: Turunkan.
Orang-orang menurunkan tubuh Pak Dalang. Panjak dan Ba-
tangan memeriksa mayat Pak Dalang.
Panjak: Ini bukan gantung diri. Ini pembunuhan!
Batangan: Ini pembunuhan!
Demung: Pasti Slenthem. Cari dan temukan.
Demung beraksi memerintah. Orang-orang bergerak ke segenap
arah. Panjak dan Batangan, bersama beberapa orang, mengang-
kat tubuh Pak Dalang. Demung terus beraksi memerintah.
Cahaya berubah. Malam menyeret pelan orang-orang yang da-
tang. Demung mengendorkan aksinya memerintah. Tepat ketika
semuanya berhenti, Pak Bekel memberikan orasi.
Pak Bekel: Kita memang patut berduka. Bersih desa terpaksa
ditandai jatuhnya korban jiwa. Jiwa dua warga, warga-warga

SEMAR MENCARI RAGA 269


terbaik dalam keluarga besar desa kita. Tapi kita juga harus
tidak berhenti untuk mengembangkan diri. Sebagai penghor-
matan kita kepada mereka, kita akan tundukkan kepala sesa-
at. Dan sebagai bukti kita mewarisi semangat mereka, kita
akan mengembangkan diri. Malam ini, atas persetujuan ber-
sama, Demung bersedia melakonkan cerita untuk menutup
upacara bersih desa.
Demung melangkah ke jajaran wayang diiringi para penabuh
gamelan.
Tepat ketika Demung memulai pementasan, dengan memukul ko-
tak wayang, lampu menyusut.
Di sudut lain, dalam nyala yang terang, dingin menyelimuti Slen-
them dalam bilik sebuah tahanan.
Lalu lampu merayap padam. Layar merayap menutup pementasan.
Dalam sisa cahaya, dalam celah layar yang ada, muncul Yu Te-
nong melintas di atas pentas, menawarkan dagangan dengan se-
lembar cahaya—mungkin lentera.
Yu Tenong: Nong …. Tenong …. Siapa mau beli? Ada konthol
kejepit, ada randha royal, ada nasi, ada ketan. Ada semar
mendem, ada Semar edan ….

270 SRI KUNCORO

Anda mungkin juga menyukai