Anda di halaman 1dari 218

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

10 KARYA TERBAIK
SAYEMBARA MENULIS KRITIK FILM 2023
DEWAN KESENIAN JAKARTA
/1
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

/2
10 Karya Terbaik

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Sayembara Menulis Kritik Film 2023
Dewan Kesenian Jakarta
© Komite Film - Dewan Kesenian Jakarta

Penanggung Jawab
Ekky Imanjaya, Ketua Komite Film DKJ periode 2020-2023

Penyusun
Komite Film DKJ periode 2020-2023

Editor & Penyelaras Bahasa


Christy Ratna Gayatri

Ilustrasi sampul & Desain


Dita Safitri

Foto
Andi Maulana, Sendie Nurseptara S.

Cetakan pertama, Juni 2023


216 hlm, 17cm x 22cm

Diterbitkan oleh
Dewan Kesenian Jakarta
Jl. Cikini Raya No.73
Jakarta Pusat 10330
www.dkj.or.id

/3
Daftar Isi
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

6 / Tentang Dewan Kesenian Jakarta


8 / Pengantar Ketua Komite Film DKJ
12 / Pertanggungjawaban Juri Awal -
Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (KAFEIN)
Sayembara Menulis Kritik Film 2023
20 / Profil Juri KAFEIN
26 / 31 Karya Terbaik
Sayembara Menulis Kritik Film 2023
30 / Pertanggungjawaban Dewan Juri Akhir -
Sayembara Menulis Kritik Film 2023
36 / Profil Dewan Juri Akhir
Eric Sasono
Seno Gumira Ajidarma
Yulia Evina Bhara
40 / 10 Karya Terbaik -
Sayembara Menulis Kritik Film 2023
202 / Profil Komite Film Dewan Kesenian Jakarta
periode 2020-2023
208 / Kerabat Kerja
210 / Ucapan Terima Kasih
212 / Dokumentasi Malam Anugerah -
Sayembara Menulis Kritik Film 2023

/4
/5
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Tentang
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Dewan Kesenian Jakarta

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) adalah lembaga otonom yang


dibentuk oleh masyarakat seniman dan untuk pertama kali
dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 7 Juni 1968.
DKJ bertugas sebagai mitra kerja gubernur untuk merumuskan
kebijakan serta merencanakan berbagai program guna mendukung
kegiatan dan pengembangan kehidupan kesenian di wilayah Jakarta.
DKJ memiliki enam komite kesenian, yakni Komite Film, Komite Musik,
Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite Tari, dan Komite Teater.

/6
/7
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Pengantar
Ketua Komite Film
Upaya Menciptakan Benchmarking Kritik Film

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


di Indonesia

oleh Ekky Imanjaya


Ketua Komite Film
Periode 2020 – 2023

Ekosistem perfilman yang baik dan sehat adalah yang semua


elemennya juga sehat dan hidup. Termasuk di wilayah apresiasi dan
kajian film. Dalam hal ini: kritik film.

Dari tahun ke tahun, dari dekade ke dekade, dunia kritik (dan ulasan)
film penuh dengan pasang surut problematika. Dari kualitas tulisan
yang hanya menulis ulang sinopsis dan plot (alih-alih mengelaborasi
formalisme/bahasa film dalam tulisannya), hingga kurangnya ruang
(khususnya di media cetak). Fenomena terkiwari di dunia maya, kini
para penulis bisa menganalisa film di blog atau media sosial masing-
masing, atau membuat situs sendiri yang didedikasikan untuk analisa
dan kajian film, tanpa khawatir atau tergantung koran atau majalah
cetak—walau tentu pada akhirnya timbul permasalahannya tersendiri.
Mulai dari quality control hingga pendapatan untuk keberlangsungan
website atau pun penulisnya. Semua memiliki dinamikanya masing-
masing.

Padahal, kritikus film diperlukan sebagai sparring partner sineas


dan jembatan antara film dengan penonton. Karena itu, untuk
memeriahkan dunia kritik film dan memungkinkan munculnya karya
segar dan lahirnya penulis baru serta kembalinya penulis lama,
perlu adanya program Sayembara Menulis Kritik Film. Hadiahnya
juga cukup fantastis bagi ukuran lomba kritik film yang pernah ada.
Karena kami ingin menyaring karya yang bermutu dan memperkaya
percakapan kajian film Indonesia. Untuk itu, penilaian ada dua
saringan (setelah seleksi administratif): penilaian awal oleh lima juri
dari teman-teman di KAFEIN (Asosiasi Pengkaji Film Indonesia), dan
penilaian akhir dari tiga dewan juri utama.

/9
Sengaja Komite Film DKJ membatasi hanya pada kategori tulisan
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

untuk tahun ini. Untuk kategori non-tulisan (seperti format podcast,


blog, esai video, dan sebagainya), belum dibuka dulu. Kami ingin
fokus pada analisa film tertulis, agar terjadi wacana tidak saja seni
menganalisa film tetapi juga seni menulis kritik film. Kesepuluh finalis
akan diterbitkan dalam bentuk e-book, dan diharapkan akan menjadi
salah satu standar dan benchmarking bagi penulisan kritik film di
Indonesia. Tujuannya adalah akan ada proses pembelajaran bagi
penulis muda untuk tidak saja mempelajari cara menganalisa film
yang mendalam, tetapi juga bagaimana menulis yang mengalir, kritis,
dan kreatif.

Luar biasa sekali animo peserta. Karya yang mendaftarkan diri


mencapai 702 judul karya! Sebuah angka yang fantastis bagi sebuah
sayembara yang baru diadakan lagi setelah sekian lama tidak
terselenggara. Terima kasih kepada semua yang telah mendaftarkan
karyanya.

Dari 702 artikel tersebut, lantas disaring menjadi 31 karya terbaik


oleh lima juri dari KAFEIN, yang sebagian besar sudah dua tahun
berpengalaman menjuri kategori Kritik Film untuk Festival Film
Indonesia. Terima kasih kepada kelima juri dari KAFEIN.
Dan akhirnya, pada akhir penyelenggaraan DKJ Fest 2023,
diumumkan 10 karya terbaik untuk dipublikasikan dalam bentuk
e-book, termasuk di dalamnya adalah 3 karya terbaik dan 1 karya yang
menyentuh perhatian dewan juri akhir. Terima kasih kepada ketiga
dewan juri akhir: Mas Seno Gumira Ajidarma, Mas Eric Sasono, dan
Kak Yulia ”Ebe” Evina Bhara.

Selamat kepada para penemang.


Dan untuk semua, selamat menikmati 10 tulisan karya terbaik
Sayembara Menulis Kritik Film 2023 Dewan Kesenian Jakarta.

/ 10
/ 11
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Pertanggungjawaban
Juri Asosiasi Pengkaji Film
Indonesia (KAFEIN)
Sayembara Menulis Kritik Film
2023
Jakarta, 15 Juni 2023

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023



BERITA ACARA
SAYEMBARA MENULIS KRITIK FILM 2023
PENJURIAN OLEH TIM JURI PENGKAJI FILM
INDONESIA (KAFEIN)

PENGANTAR:
Catatan dari Tim Juri Pengkaji Film Indonesia (KAFEIN)

Sebanyak 619 karya kritik film Indonesia telah diseleksi oleh tim juri
seleksi awal yang merupakan perwakilan dari KAFEIN (Asosiasi
Pengkaji Film Indonesia) yang terdiri atas Erina Adeline Tandian,
Dyah Ayu Wiwid Sintowoko, Debby Dwi Elsha, Hariyadi dan Heri
Purwoko. Tidak mudah untuk menyeleksi begitu banyak tulisan
dengan berbagai macam fokus film yang dikritik serta gaya penulisan
dengan jumlah kata yang sangat beragam. Setelah memilih dan
menilai karya serta diskusi yang intens akhirnya terpilihlah 32 karya
kritik yang dilengkapi dengan penilaian masing-masing juri. Dari
jumlah 32 tersebut, 30 merupakan daftar utama karya kritik pilihan
dan 2 merupakan daftar cadangan sesuai dengan masukan dari
Panitia.

Karya kritik membahas berbagai film Indonesia dengan keragaman


judul, tema, genre dan jenis film yang diproduksi di tahun terkini
hingga beberapa dekade yang lalu. Kebanyakan film yang diulas
oleh karya kritik adalah film-film populer terkini yang mudah diakses
di platform menonton secara online. Beberapa judul yang populer
menjadi obyek ulasan di antaranya adalah Yuni (2021), Penyalin
Cahaya (2021), Autobiography (2022), Qorin (2022), dan Dear David
(2023). Selain itu, dengan jumlah yang jauh lebih sedikit, terdapat
juga kritik film fiksi lawas dan film dokumenter baik lawas maupun
terkini. Kami melihat bahwa karya kritik yang masuk banyak yang
ditulis dengan gaya populer, mulai dari cara bertutur curahan hati,
puji-pujian, hingga tulisan yang argumennya ditulis secara terstruktur
dan mudah dipahami. Persentase karya kritik yang ditulis dengan

/ 13
bahasa Indonesia yang baik dan benar, gaya bahasa yang komunikatif,
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

serta argumen dan analisis terstruktur tidak lebih dari dua puluh
persen dari keseluruhan karya yang masuk. Namun tidak semua
karya kritik disusun dengan bergaya tulisan populer karena terdapat
juga kritik dengan teknik penulisan publikasi ilmiah dengan standar
bahasa yang baku yang berdampak pada gaya bahasa yang kurang
komunikatif.

Kecenderungan lain dari penulisan kritik film dalam sayembara ini


adalah adanya ketidakseimbangan proporsi antara pembahasan
mengenai unsur naratif dan sinematik film dengan isu-isu yang terkait
dengan film yang dikritik. Terdapat banyak karya yang bahkan tidak
membahas unsur estetika film sama sekali sehingga ulasan hanya
mengarah ke pada isu-isu yang diangkat oleh film dan mengaitkannya
dengan isu sosial yang terjadi di masyarakat. Ada pula karya-karya
yang hanya berfokus pada pembahasan unsur-unsur naratif dan
sinematik namun kurang maksimal dalam pembahasan isu-isu
yang muncul dalam film berikut konteks sosialnya. Meskipun begitu,
terdapat juga penulis-penulis yang mampu mengulas secara lengkap
dengan unsur intertekstualitas baik mengenai film sejenis yang
diproduksi di dalam dan luar negeri, teori-teori akademis, maupun
isu sosial politik yang membutuhkan pengamatan mendalam. Hal ini
menunjukkan bahwa sejumlah penulis kritik memiliki referensi dan
wawasan tentang film yang cukup luas dan kaya serta benar-benar
memahami bahwa membahas pesan dan isu yang disampaikan oleh
film tidaklah dapat terlepas dari unsur naratif dan sinematik film itu
sendiri. Dari berbagai film yang dikritik, terdapat isu gender yang
dibahas dengan frekuensi dan intensitas yang melebihi isu lainnya.
Beberapa judul film yang terkait adalah Seperti Dendam, Rindu
Harus Dibayar Tuntas (2021), Yuni (2021), Marlina Si Pembunuh Dalam
Empat Babak (2017), Penyalin Cahaya (2021) dan Dear David (2023).
Banyaknya film yang mengangkat isu tentang gender khususnya
keberdayaan perempuan tampaknya mampu menarik perhatian
dan menciptakan kritik yang menunjukkan adanya peningkatan
kesadaraan untuk lebih mempedulikan upaya mewujudkan
kesetaraan gender di Indonesia.

/ 14
Jumlah 619 karya kritik yang masuk setelah lolos penilaian

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


administratif merupakan jumlah yang terbilang sangat besar. Hal ini
membuktikan bahwa gairah menulis kritik film Indonesia meningkat
secara pesat, setidaknya dalam beberapa tahun belakangan ini.
Dilihat dari teknik dan konten tulisan, tampak bahwa rentang usia dan
latar belakang para penulis kritik sangatlah beragam. Terlepas dari
kualitas tulisan yang rentang nilainya sangat jauh karena kemampuan
menulis kritik yang berbeda-beda, semangat masyarakat yang
besar untuk mengikuti sayembara menulis kritik film sangat perlu
diapresiasi agar dapat terus memberikan kontribusi pada ekosistem
perfilman Indonesia. Harapan kami adalah minat luas menulis kritik
film menjadi salah satu pilar yang mendukung kemajuan perfilman
Indonesia karena kritik film merupakan salah satu bentuk apresiasi
film. Apresiasi film sendiri merupakan salah satu syarat pokok bagi
terwujudnya perfilman Indonesia yang lebih berkualitas.

Total karya yang diterima saat proses pendaftaran melalui Google


Forms: 702 karya.

DAFTAR NOMINASI KARYA (berdasarkan urutan perolehan nilai):


1. Tergatot-gatot dalam Berkaca: Hanung dan Jagoan Wayangnya
- Sinta Ridwan
2. Qorin: Diplomasi & Agensi Perempuan Yang Malu-malu dalam
Hegemoni ‘Politik’ Pesantren - Moch. Taufik Hidayatullah
3. Menjadi Laki-laki dalam Bingkai Patriarki: Membongkar
Demistifikasi Hegemoni dalam Autobiography (2022)
- Ni Luh Ayu Sukmawati
4. Skinned Performance: Body Horror Perempuan dalam
Impetigore karya Joko Anwar – Anton Sutandio
5. Kapan Kawin? (2015): Seni Meracik Menantu Idaman
- Nimas Safira Widhiasti Wibowo
6. Melacak Pengaruh Estetika Realisme Atambua 39° Celsius
- Bintang Panglima

/ 15
7. Melihat Jenderal dari Bawah: Analisis Struktur Naratif dan
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Sinematografi Film Autobiography - Nurul Mizan Asyuni


8. Pintu Terlarang: Mengurai Trauma melalui Estetika Queer
- Catra Wardhana
9. Menggeledah Pocong: Pembacaan Diakronis terhadap Mumun
(2022) - Justito Adiprasetio & Annissa Winda Larasati
10. Voyeurism, Alkohol, dan Kuil Minerva: Sebuah Kritik atas Film
Penyalin Cahaya karya Wregas Bhanuteja - Mikael Dewabrata
11. You and I: Bukti Kemenangan Seni atas AI
- Moses Parlindungan Ompusunggu
12. Tilik dan Perempuan dalam Perjalanan: Yang Tersesat antara
Bibir, Barbar dan Beber - Anindita Siswanto Thayf
13. Like & Share: Eksplorasi Remaja yang Terpatri dalam Aspek
Rasio 4:3 - Lalu Abdul Mubarok
14. Garin Nugroho dalam “Nyai” yang “Gagal” di antara Representasi,
Non Representasi, dan Presentasi - Arung Wardhana Ellhafifie
15. Kritik Film “Ave Maryam - Yosep Kusnadi
16. Memori adalah Gambar di Dalam Pikiran - Anggraeni Widhiasih
17. Dalam Bimbingan Aparat Negara dan Freeport: Modernitas dan
Nasionalisme di Papua dalam Denias Senandung di Atas Awan
- Ikwan Setiawan
18. Melestarikan Inferioritas Masyarakat Desa
- Muhammad Rasyid Ridha
19. Help is on the Way: Gaibnya Tenaga Kerja Domestik dalam
Pusaran Kapitalisme - Alana Putra
20. Gersang Keadilan Padang Sabana: Metasinema Marlina, Si
Pembunuh dalam Empat Babak - Audie Ferrell
21. Titian Serambut Dibelah Tujuh, Seksualitas-Binal Minangkabau,
dan Respon atas Zaman Kacau - Deddy Arsya

/ 16
22. Membayangkan Jakarta: Melalui Film Serigala Terakhir (2009):

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Sebuah Tinjauan Analistik dan Kritik
- Muhammad Agung Pramono Putro
23. Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan: Yang Hilang-
dan-Tertinggal dari Orde Baru - Hening Wikan & Anggar
Shandy
24. Rindu Dendam di Layar Lebar: Machoisme, Trauma, dan
Rekonsiliasi - Anton Kurnia
25. Wiji Thukul dalam Represifitas Simbolik: Kecemasan yang
Terekam dalam Film Istirahatlah Kata-kata karya Yosep Anggi
Noen - Robbyan Abel Ramdhon
26. Menggali Spiritualisme Kritis dalam Titian Serambut Dibelah
Tujuh - Sulfiza Ariska
27. Lovely Man: Perbincangan Atas Tubuh - Wili Sandra
28. Autobiography: Reinkarnasi Orde Baru - Alana Putra
29. Qodrat dan Iblis yang Tidak Pernah Mati
- Paulus Heru Wibowo Kurniawan
30. Mudik: Terasing dan Hilang dalam Ritual yang Karib
- Fajar Martha
31. Turut Berduka Cita: Retorika Budaya Empati Indonesia
- Samuel Bonardo
32. Perempuan Melawan Kota: Representasi Perempuan Urban
Kelas Bawah dalam Film A Copy of My Mind - Wimardana
Herdanto
Terdapat beberapa catatan terkait daftar nominasi di atas setelah
dilakukan verifikasi oleh tim panitia:
1. Nominasi karya dengan nomor urut 16 pada akhirnya dieliminasi
karena tahun/tanggal publikasi di medianya sebelum Januari 2022;
2. Terdapat 2 (dua) nominasi karya yang ditulis oleh 2 (dua) penulis,
yaitu nominasi karya dengan nomor urut 9 & 23; dan
3. Terdapat 2 (dua) nominasi karya yang ditulis oleh penulis yang
sama (Alana Putra), yaitu nominasi karya dengan nomor urut 19 &

/ 17
28.
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Proses Penjurian
Proses penjurian berlangsung secara daring melalui Zoom sebanyak
4 (empat) kali pada:
1. Selasa, 6 Juni 2023;
2. Sabtu, 10 Juni 2023;
3. Rabu, 14 Juni 2023; dan
4. Kamis, 15 Juni 2023.

619 karya yang lolos seleksi administratif awal oleh tim panitia
diserahkan kepada tim juri dari KAFEIN untuk dikerucutkan menjadi
30 besar. Kemudian, mekanismenya adalah setiap juri, yang terdiri
dari 5 (lima) orang, memilih 30-50 besar masing-masing untuk
menyusun daftar 30 besar yang telah disepakati bersama-sama.

Berikut adalah nama-nama juri dari KAFEIN:


1. Erina Adeline Tandian;
2. Dyah Ayu Wiwid Sintowoko;
3. Debby Dwi Elsha;
4. Hariyadi; dan
5. Heri Purwoko.

/ 18
/ 19
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Profil Juri KAFEIN
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Debby Dwi Elsha

Menyelesaikan studi di S1 Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya


Yogyakarta (2011). Melanjutkan studi S2 Ilmu Komunikasi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta (2016) dengan tesis berjudul: Analisis
Wacana Hak Asasi Manusia dalam Film The Look of Silence.
Bergabung dan turut aktif berkegiatan di Asosiasi Pengkaji Film
Indonesia (KAFEIN) sejak 2017. Berpengalaman membuat film
dokumenter dan fiksi serta menulis kritik film bersama komunitas film
independen yang berbasis di Yogyakarta. Menjadi pengajar Prodi
Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni
Indonesia (ISI) Yogyakarta. Mengajar mata kuliah Sinematografi, Audio
Visual dan Film Animasi. Minat penelitian kajian film berkaitan dengan
tema kesetaraan gender dan perempuan. Salah satu tulisan publikasi
ilmiahnya adalah Commodification of Female Sensuality in Indonesian
Film Industry: Case Study of Warkop DKI. Pernah menjadi Chief of
Public Lecture di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2018, Juri
Seleksi Kategori Kritik Film Festival Film Indonesia tahun 2021 dan
2022.

/ 21
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Dyah Ayu Wiwid


Sintowoko

Setelah meraih gelar Sarjana Seni di Institut Seni Indonesia


Surakarta, Dyah Ayu Wiwid Sintowoko meraih gelar
M.A. (2019) di bidang Komunikasi dari Mass Media &
Communication, di Ewha Womans University di Korea
Selatan. Ia adalah dosen peminatan Film di Jurusan Seni
Rupa Universitas Telkom dari 2020 hingga sekarang. Saat
ini, dia aktif berkontribusi untuk perfilman Indonesia, fokus
terhadap bidang pengkajian, dan ia tergabung dalam
KAFEIN, Asosiasi Pengkaji Film Indonesia. Kontribusi lain
adalah sebagai juri kritik film Festival Film Indonesia 2022,
dan baru-baru ini berkesempatan sebagai salah satu juri
dalam ajang Sayembara Kritik Film, Dewan Kesenian Jakarta
pada 2023.

Fokus penelitiannya adalah gender, film, spectatorship,


dan intercultural communication. Fenomena political culture
dan peran perempuan di institusi pendidikan perfilman
menjadi riset terbarunya sebagai upaya untuk mendorong
mengatasi pelecehan dan diskriminasi berbasis gender
di institusi pendidikan perfilman, khususnya di SMK yang
mayoritas perempuan. Seruan untuk perubahan dalam
pelecehan berbasis gender tidak terlepas dari masih adanya
kerentanan perempuan akan diskriminasi gender dan
budaya dalam industri perfilman itu sendiri.

/ 22
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Erina Adeline Tandian

Erina Adeline Tandian menamatkan pendidikan S1 dari Fakultas


Psikologi UNIKA Atma Jaya. Kemudian, ia memutuskan untuk
berkuliah lagi di D3 Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian
Jakarta (IKJ) dengan peminatan Penyutradaraan. Tugas karya
akhirnya yang berjudul “Sekar Jagad” mendapatkan nominasi
Film Pendek Terpilih di ajang Piala Maya 7. Selanjutnya,
ia melanjutkan studi S2 di Sekolah Pascasarjana IKJ dengan
peminatan Pengkajian Seni. Tesisnya yang dikemas ulang dalam
bentuk video-essay berjudul “Perempuan sebagai Ilusi: Politik
Seksual Film Love for Sale” berhasil memenangkan plakat
Tanete Pong Masak untuk Karya Kritik Film Terbaik di Festival
Film Indonesia 2022. Saat ini, ia berprofesi sebagai dosen di IKJ.
Ia memiliki ketertarikan terhadap isu gender dan psikologi, yang
seringkali tertuang dalam karya-karyanya dalam bentuk film
maupun kajian.

/ 23
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Hariyadi

Hariyadi menyelesaikan pendidikan S1 pada tahun 1999


dengan gelar Sarjana Sosial (S.Sos) dari Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman. Ia menempuh
pendidikan S2 di Lancaster University, Inggris pada tahun 2001-
2002 untuk gelar Master of Arts (MA) di bidang Sosiologi dan
di University of Western Australia pada tahun 2010-2014 untuk
gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) di bidang Asian Studies.
Ia bekerja sebagai dosen di Departemen Sosiologi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman
sejak tahun 2003. Saat ini ia menjabat sebagai Sekretaris
Jurusan Sosiologi, staf ahli di Pusat Penelitian Gender, Anak,
dan Pelayanan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman,
dan konsultan di Pusat Pengembangan Budaya Panginyongan,
Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifudin Zuhri Purwokerto.

Hariyadi telah tertarik dengan studi film sejak akhir tahun 2000-
an dan ini dapat dilihat dalam disertasinya yang berjudul Islamic
Popular Culture and The New Identities of Urban Muslim Young
People in Indonesia: The Case of Islamic Films and Islamic Self-
Help Books. Salah satu bagian dari tesis tersebut dipublikasikan
sebagai artikel di Jurnal Al-Jami’ah pada tahun 2013 dengan
judul Finding Islam in Cinema: Islamic Films and the Identity of
Indonesian Muslim Youths. Ia juga menulis sebuah notulensi
konferensi yang berjudul Female Agency in Contemporary

/ 24
Indonesian Horror Films. Terkait dengan ketertarikannya pada

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


kajian film, dua mata kuliah yang ia ampu adalah Sosiologi
Media dan Kajian Budaya Kontemporer. Ia juga bergabung
dengan asosiasi yang berkaitan dengan film, yaitu Asosiasi
Pengkaji Film Indonesia (KAFEIN), yang merupakan asosiasi
kajian dan/atau kritik film pertama di Indonesia. Selain itu, ia juga
pernah beberapa kali menjadi juri di Festival Film Purbalingga
yang bisa dibilang sebagai festival film lokal terlama di
Indonesia.

Heri Purwoko

Lelaki kelahiran 19 Juni ini pernah menempuh pendidikan D3


dan S1 Film di Institut Kesenian Jakarta, kemudian lanjut S2 di
Universitas Indonesia dengan peminatan Cultural Studies. Saat
ini ia mengajar di bidang film dan broadcasting. Selain itu, ia
juga bekerja di bidang multimedia yang fokus pada storytelling
& commercial visual. Tidak hanya di bidang film, lelaki dengan
panggilan singkat Heriko ini juga aktif di teater dan musik, baik
secara aktivitas teknis maupun kajian.

/ 25
31 Karya Terbaik
Sayembara Menulis Kritik Film
2023
1. Alana Putra

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Autobiography: Reinkarnasi Orde Baru
2. Alana Putra
Help is on the Way: Gaibnya Tenaga Kerja Domestik dalam
Pusaran Kapitalisme
3. Anindita Siswanto Thayf
Tilik dan Perempuan dalam Perjalanan: Yang Tersesat antara
Bibir, Barbar dan Beber
4. Anton Kurnia
Rindu Dendam di Layar Lebar: Machoisme, Trauma, dan
Rekonsiliasi
5. Anton Sutandio
Skinned Performance: Body Horror Perempuan dalam
Impetigore karya Joko Anwar
6. Arung Wardhana Ellhafifie
Garin Nugroho dalam “Nyai” yang “Gagal” di antara Representasi,
Non Representasi, dan Presentasi
7. Audie Ferrell
Gersang Keadilan Padang Sabana: Metasinema Marlina, Si
Pembunuh dalam Empat Babak
8. Bintang Panglima
Melacak Pengaruh Estetika Realisme Atambua 39° Celsius
9. Catra Wardhana
Pintu Terlarang: Mengurai Trauma melalui Estetika Queer
10. Deddy Arsya
Titian Serambut Dibelah Tujuh, Seksualitas-Binal Minangkabau,
dan Respon atas Zaman Kacau
11. Fajar Martha
Mudik: Terasing dan Hilang dalam Ritual yang Karib
12. Hening Wikan & Anggar Shandy
Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan: Yang Hilang-dan-
Tertinggal dari Orde Baru

/ 27
13. Ikwan Setiawan
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Dalam Bimbingan Aparat Negara dan Freeport: Modernitas dan


Nasionalisme di Papua dalam Denias Senandung Di Atas Awan
14. Justito Adiprasetio & Annissa Winda Larasati
Menggeledah Pocong: Pembacaan Diakronis terhadap Mumun
(2022)
15. Lalu Abdul Mubarok
Like & Share: Eksplorasi Remaja yang Terpatri dalam Aspek Rasio
4:3
16. Mikael Dewabrata
Voyeurism, Alkohol, dan Kuil Minerva: Sebuah Kritik atas Film
Penyalin Cahaya karya Wregas Bhanuteja
17. Moch. Taufik Hidayatullah
Qorin: Diplomasi & Agensi Perempuan Yang Malu-malu dalam
Hegemoni ‘Politik’ Pesantren
18. Moses Parlindungan Ompusunggu
You and I: Bukti Kemenangan Seni atas AI
19. Muhammad Agung Pramono Putro
Membayangkan Jakarta: Melalui Film Serigala Terakhir (2009):
Sebuah Tinjauan Analistik dan Kritik
20. Muhammad Rasyid Ridha
Melestarikan Inferioritas Masyarakat Desa
21. Ni Luh Ayu Sukmawati
Menjadi Laki-laki dalam Bingkai Patriarki: Membongkar
Demistifikasi Hegemoni dalam Autobiography (2022)
22. Nimas Safira Widhiasti Wibowo
Kapan Kawin? (2015): Seni Meracik Menantu Idaman
23. Nurul Mizan Asyuni
Melihat Jenderal dari Bawah: Analisis Struktur Naratif dan
Sinematografi Film Autobiography
24. Paulus Heru Wibowo Kurniawan
Qodrat dan Iblis yang Tidak Pernah Mati

/ 28
25. Robbyan Abel Ramdhon

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Wiji Thukul dalam Represifitas Simbolik: Kecemasan yang
Terekam dalam Film Istirahatlah Kata-kata karya Yosep Anggi
Noen
26. Samuel Bonardo
Turut Berduka Cita: Retorika Budaya Empati Indonesia
27. Sinta Ridwan
Tergatot-gatot dalam Berkaca: Hanung dan Jagoan Wayangnya
28. Sulfiza Ariska
Menggali Spiritualisme Kritis dalam Titian Serambut Dibelah
Tujuh
29. Yosep Kusnadi
Kritik Film “Ave Maryam”
30. Wili Sandra
Lovely Man: Perbincangan Atas Tubuh
31. Wimardana Herdanto
Perempuan Melawan Kota: Representasi Perempuan Urban
Kelas Bawah dalam Film A Copy of My Mind

/ 29
Pertanggungjawaban
Dewan Juri Akhir
Sayembara Menulis Kritik Film
2023
Jakarta, 29 Juni 2023

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


PERTANGGUNGJAWABAN JURI
SAYEMBARA MENULIS KRITIK FILM KOMITE FILM DKJ
2023

Juri:
Eric Sasono
Seno Gumira Ajidarma
Yulia Evina Bhara

Juri tahap akhir yang terdiri dari Eric Sasono, Seno Gumira Ajidarma,
dan Yulia Evina Bahar, menilai 31 tulisan pilihan juri tahap seleksi,
yakni Kafein, dan memilih sepuluh besar tulisan terbaik yang akan
diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta serta tiga pemenang
Sayembara Kritik Film DKJ 2023.

Kritik film yang masuk dalam penilaian juri berhasil menghapus


pandangan bahwa kritik itu hanya mencari-carikesalahan, memaki-
maki, atau hanya komentar singkat setelah preview. Kritik film di sini
berhasil secara kuat menjadi sub-genre dari esai yang menghadirkan
diri secara meyakinkan pada sayembara tahun ini.

Tulisan-tulisan yang dinilai juga berhasil menampakkan bahwa kritik


terhadap film-film yang dibuat di masa lalu bisa dianalisis dengan cara
pandang baru. Beberapa tulisan juga menampakkan bahwa kritik
tidak melulu kajian teoritis yang hanya “meminjam” film, tapi benar-
benar melalui filmnya lebih dulu. Bahan baku kritik filmseharusnya
memang filmnya, dan menghormati film itu sendiri. Dari situ lah para
penulis kritik film berangkat, dan mendedahkan nilai dari interaksi
mereka dengan film-film yang mereka bahas.

Ada keragaman baik dari segi style atau gaya penulisan ,maupun dari
temuan nilai pada film yang dibahas. Ada kematangan dibandingkan,

/ 31
misalnya, dari masa 20 tahun lalu ketika industri film baru tumbuh dan
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

para kritikus film saat itu masih meraba-raba dan tumbuh bersama
industrinya. Dalam keragaman itu, juri cukup kesulitan untuk menilai
apa yang dianggap bagus. Pada akhirnya, salah satu yang menjadi
penilaian pentingadalah aspek komunikasi atau keterbacaan
(readability). Aspek komunikatif juga penting bagi perkembangan
kritik itu sendiri,dan walau tidak seluruhnya, tapi telah tampak di
beberapa tulisan.

Bangunan budaya kritik film telah menampakkan hasilnya dalam


sayembara ini. Kritik jurnalistik film perlu belajar dari sini.

Ada empat pilihan utama juri.

Juri merasa tersentuh dan menaruh perhatian pada tulisan yang


menjadi karya yang menarik perhatian juri.Tulisan ini sama sensitifnya
dengan filmnya. Dalam wacana dokumenter, ada discourse of
sobriety, bahwa dokumenter seharusnya tidak menampakkan
keterlibatan afektual dan semacamnya. Film yang diulas tulisan
iniseakan menolak wacana itu, karena sangat afektual. Tulisan
ini berhasil mendedah struktur filmnya, tanpa kehilangan aliran
emosinya. Tulisan ini berhasil jadi juru bicara yang baik bagi filmnya,
tanpa dibebani kepentingan penulis. Tulisannya puitik. Sayang,
kenapa harus dikait-kaitkan dengan AI.

Tulisan yang Menyentuh Perhatian Juri:


You and I: Bukti Kemenangan Seni atas AI,
oleh: Moses Parlindungan Ompusunggu.

Untuk pemenang ketiga, juri menilai tulisan ini menganalisis secara


konsisten semua yang dituntut oleh pendekatan struktural dan
sinematografis sampai tuntas. Hasilnya, kritik yang insightful dan setia
pada pendekatan filmis. Dari kesetiaan itu, tulisan ini mampu bicara
tentang sebuah kritik kekuasaan. Ini contoh pendekatan struktural
yang tepat sehingga bisa menampilkan unsur filmis dan disajikan
dengan pendekatan popular.

/ 32
Pemenang ketiga:

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Melihat Jenderal dari Bawah: Analisis Struktur Naratif dan
Sinematografi Film Autobiography
oleh: Nurul Mizan Asyuni.

Untuk pemenang kedua,juri menilai walau ini tulisan akademik


untuk jurnal akademik,tulisan ini tetap menyenangkan dibaca dan
argumennya penting. Komprehensif sekaligus cukup detail dalam
memaparkan elemen horor dalam filmnya, dan argumennya tidak
meng-generalisasi. Wacana horor dalam tulisan ini bisamenjadi
sebuah diskursus yang kaya, tidak sekadar jadi urusan menakuti-
nakuti tapi jadi urusan kebudayaan.Ada kejelian tulisan ini dalam
menangkap aspek spesifik film yang dikritik, misalnya mengenai
perempuan yang terbuka membicarakan seksualitas di depan
umum sebagai sesuatu kekhususan karena biasanya iniwilayah
lelaki. Tangkapan ini merupakan sebuah kritik feminisme yang
penting dalam konteks kebanyakan film Indonesia yang hanya
menseksualisasi perempuan dari sudut pandang lelaki. Tulisan ini
dengan baik bisa membongkar bukan hanya lore dalam masyarakat,
tapi juga genre film yang dikritik itu sendiri.

Pemenang kedua:
Skinned Performance: Body Horror Perempuan dalam Impetigore
karya Joko Anwar
oleh: Anton Sutandio.

Untuk pemenang pertama, juri menilai bahwa penulis memasuki


wilayah yang memberi tantangan sulit, yakni pengenalan teori-
teori dan pengenalan masalah-masalahnya, dan penulis mampu
mengatasinya. Teori-teori dalam tulisan ini cukup “masuk”, tanpa
terjebak menjadi hanya perbincangan tentang teori tanpa memasuki
filmnya. Argumen-argumennya penuh risiko, dan penulis berhasil
mengatasi risiko itu. Butuh kemahiran menulisdan pengetahuan yang
memadai untuk bisa menuliskan semua itu dalam sebuah tulisan
yang ringkas dibanding, misalnya, tulisan di jurnal ilmiah. Tulisan ini
juga memasuki wilayah yang jarang dimasuki secara mendalam di
Indonesia. Yang juga menambah nilai adalah bahwa tulisan ini sebuah

/ 33
kritik estetika, dan bukankritik semiotika yang sekadar menafsir
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

makna dari film. Kritik estetika ini menilai pilihan-pilihan artistik film
dan apa makna politis dari pilihan-pilihan artistik itu. Selain itu, kritik
film ini memilih film yang telah lama diproduksi tapi melihatnya
dengan kebaruan masyarakat masa kini, sehingga terasa update dan
menyenangkan dibaca.

Pemenang Pertama:
Pintu Terlarang: Mengurai Trauma Melalui Estetika Queer
oleh: Catra Wardana

Demikianlah keputusan dan pertanggungjawaban juri.

Jakarta , 29 Juni 2023.

Tertanda,

Eric Sasono
Seno Gumira Ajidarma
Yulia Evina Bhara

/ 34
/ 35
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Profil Dewan Juri Akhir

Eric Sasono
Seno Gumira Ajidarma
Yulia Evina Bhara
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Eric Sasono

Eric Sasono adalah seorang kritikus film Indonesia yang memperoleh


gelar doktor dalam bidang film studies dari King’s College London
pada tahun 2019. Eric merupakan salah satu pendiri Indonesian Film
Society, sebuah kelompok komunitas yang berbasis di London yang
mengadakan pemutaran film secara reguler di London, serta untuk
mempromosikan budaya Indonesia kepada masyarakat Inggris dan
sekitarnya. Selama 10 tahun (2009-2019), Eric menjadi sekretaris
Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia (YMMFI), yang mendirikan
Indonesian Documentary Center (In-Docs) dan mengorganisir
Jakarta International Film Festival (JIFFest) yang kini sudah tidak aktif
lagi. Eric telah menjadi co-writer sebuah buku tentang industri film
Indonesia dan menyunting sebuah jilid buku tentang sinema Asia
Tenggara. Saat ini, Eric bekerja di sebuah organisasi masyarakat
sipil yang berbasis di Jakarta, sembari melakukan penelitian
independennya tentang film dan film dokumenter Indonesia.

/ 37
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Seno Gumira Ajidarma

Seno Gumira Ajidarma dilahirkan tahun 1958. Bekerja sebagai


wartawan sejak 1977, kini tergabung dengan PanaJournal.com.
Menulis fiksi maupun nonfiksi, dalam media massa maupun
jurnal ilmiah, mendapat sejumlah penghargaan sastra, mengajar
tentang kebudayaan kontemporer di berbagai perguruan tinggi.
Bukunya yang baru terbit, Kalacitra: Kumpulan Esai Fotografi
(Gang Kabel, 2022), Kisah Mata, Fotografi antara Dua Subjek:
Perbincangan tentang Ada (Edisi Ketiga, Gang Kabel 2022), Film
dan Pascanasionalisme (Diva Press, 2023), dan Obrolan Sukab (Edisi
Kedua, Gramedia Pustaka Utama 2023).

/ 38
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Yulia Evina Bhara

Yulia Evina Bhara adalah produser dan pendiri KawanKawan Media,


sebuah rumah produksi film yang berkedudukan di Jakarta yang
fokus pada ko-produksi internasional.

Film-film yang ia produseri di antaranya: “Istirahatlah Kata-Kata” karya


Yosep Anggi Noen (Locarno FF 2016), “The Science of Fictions”
karya Yosep Anggi Noen (Special Mention Golden Leopard Locarno
FF 2019), “Autobiography” karya Makbul Mubarak (The International
Film Critics Awards atau the FIPRESCI Prize Venice FF, serta
memenangkan film terbaik di Adelaide Film Festival 2022, Grand Prix
Tokyo Filmex 2022, Jogja-NETPAC Asian Film Festival), dan yang
terbaru adalah “Tiger Stripes” karya Amanda Nell Eu (Grand Prix
Semaine de la Critique Cannes 2023).

Pada tahun 2023, ia dinobatkan sebagai Impacful International


Women atau perempuan paling berpengaruh versi Variety
International 2023.

/ 39
10 Karya Terbaik
Sayembara Menulis Kritik Film
2023
Pintu Terlarang:

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Mengurai Trauma melalui Estetika Queer

Catra Wardhana

Manusia memiliki cara yang berbeda-beda dalam memproses


trauma. Ada yang memiliki cukup kapasitas dan kesadaran
untuk menanganinya, namun tak sedikit yang memilih untuk
memendam dan berharap trauma itu akan sembuh dengan
sendirinya. Hal yang sama juga berlaku bagi film yang mencoba
untuk menggambarkannya. Dalam Marlina si Pembunuh dalam
Empat Babak (Mouly Surya, 2017), genre western dipakai untuk
membingkai perjalanan sang protagonis dalam membalaskan
dendam dan menemukan katarsis atas tindakan sadis yang ia
alami. Dalam 27 Steps of May (Ravi Bharwani, 2018), bagaimana
pertumbuhan usia mental korban pelecehan anak yang tidak
linear dengan pertambahan usia tubuhnya, diperlihatkam melalui
sudut pandang sang korban ketika bertemu dengan seorang
pesulap, untuk kemudian dikontraskan dengan profesi petinju
yang dijalani sang ayah, sebagai penggambaran bahwa orang
terdekat dari penyintas pun melalui proses pemulihan yang tak kalah
brutalnya. Selain pengaruh style pribadi, dipilihnya estetika tertentu
diasumsikan merupakan hasil pemikiran matang tiap sutradara
sebagai jawaban atas tuntutan untuk menemukan cara paling efektif
penyampaian gagasan dan tema. Dalam Pintu Terlarang (2009),
Joko Anwar mengurai trauma berat yang diderita sang tokoh utama
menggunakan estetika queer.

Saat ini, mayoritas naskah akademis tentang sinema queer Indonesia


condong lebih fokus pada isu representasi. Estetika dan pilihan
gaya dari pembuatnya masih amat jarang didiskusikan. Terminologi
“estetika” atau “aesthetic”, meminjam penjelasan dari Seán Hudson,
dimaknai sebagai seperangkat aturan yang terorganisir, yang
diaplikasikan setelah melalui proses refleksi sadar atas produk
kesenian (referensi), maupun sumber-sumber keindahan lainnya.
Maka, dalam konteks film, estetika diartikan sebagai sistem yang

/ 41
digunakan oleh pembuat film untuk memunculkan efek tertentu yang
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

dikehendaki. Sedangkan istilah “queer”, merupakan umbrella term


yang bisa dimaknai secara luas dan mencakup banyak hal. Salah
satunya, bahwa queer merupakan ruang kajian bagi tubuh-tubuh
non-normatif – baik secara gender, seksualitas, maupun perspektif
lainnya – tubuh-tubuh yang secara umum dianggap sebagai the
other. Estetika queer atau queer aesthetic, akan tetapi, untuk jangan
disalahartikan dan disamakan dengan representasi queer (queer
representation). Dalam konteks film, estetika queer maka bisa
didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang mengakomodir
dan mencerminkan entitas dan/atau gagasan yang non-normatif;
yang mensubversi norma yang ada, yang “berbeda”.

Rekam jejak karya-karya Joko sebagai sineas sebenarnya tidak


pernah jauh dari estetika maupun representasi queer. Sebagai penulis
naskah, Joko punya andil dalam menciptakan momen monumental
dalam sejarah sinema queer di Indonesia. Joko adalah penulis naskah
Arisan! (Nia Dinata, 2003), film yang menampilkan adegan ciuman
gay pertama di Indonesia. Ben Murtagh, akademisi asal Inggris
yang salah satu fokus penelitiannya adalah sinema queer di Asia,
menasbihkan film debut penyutradaraan Joko, Janji Joni (2005),
sebagai “the ultimate queer film of the Reformasi era.” Janji Joni
memperlihatkan sensibilitas Joko dalam menggambarkan ekspresi
gender dan seksualitas yang cair dengan mengabaikan segala
bentuk konformitas. Dalam Pintu Terlarang, secara spesifik Joko
mengkombinasikan unsur estetika dari dua genre yang secara historis
dan fungsional lekat dengan queerness, yaitu horor dan melodrama.
Pintu Terlarang berkisah tentang Gambir (Fachri Albar), seorang
pematung, yang dari luar, tampak memiliki kehidupan yang sempurna,
dengan karier yang tengah menanjak dan seorang istri cantik yang
mendampinginya. Namun, di balik pintu, Gambir sebenarnya tengah
mengidap depresi semenjak ia dan istrinya, Talyda (Marsha Timothy),
memutuskan untuk melakukan aborsi sebelum mereka resmi
menjadi suami istri. Gambir pun tercengang saat Talyda mengaku
bahwa ia telah memasukkan jasad janin anak mereka ke salah satu
karya patungnya. Patung yang dinamai Arjasa itu berakhir menjadi
mahakarya Gambir, menghantarkannya ke puncak popularitas

/ 42
sebagai seniman dan membuat harga jual karya-karyanya meroket.

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Talyda, seorang perempuan alfa lalim, memaksa Gambir mengunjungi
klinik aborsi secara berkala untuk meminta janin-janin yang
digugurkan, untuk ditanamkan ke dalam patung-patungnya. Di waktu
yang bersamaan, Gambir mulai terusik dengan penemuan pesan-
pesan aneh yang makin sering ia lihat. Sebuah pesan yang dituliskan
di tempat-tempat yang awalnya terkesan acak: di tembok pinggir
jalan raya, di depan garasi rumahnya, di secarik kertas di dalam
kue keberuntungan, sampai akhirnya ia menyadari bahwa pesan
itu ditujukan khusus untuknya. Pesan yang disertai dengan simbol
Herosase itu, bertuliskan “tolong saya”.

Tubuh Queer sebagai Representasi Trauma yang Direpresi

Saat sebelumnya sempat disinggung bahwa secara historis genre


horor memiliki relasi yang erat dengan queerness, saya sedang tidak
berbicara tentang penampilan ikonik Ozy Syahputra dalam Si Manis
Jembatan Ancol (Raam Soraya, 1994). Saya merujuk pada bagaimana
film horor di Hollywood selama periode dekade 1930-an hingga
1950-an, kerap menggunakan tubuh monster sebagai substitusi
karakter dengan ekspresi gender dan/atau seksualitas yang non-
normatif (homoseksual). Hal ini dilakukan guna mengakali Hays Code
yang masih diberlakukan di masa itu. Hays Code adalah seperangkat
aturan moralis yang kala itu wajib diimplementasikan dalam proses
produksi film, untuk mengeliminasi potensi penggambaran segala
bentuk “penyimpangan” seksual dalam bentuk apa pun di layar. Meski
begitu, menurut Vito Russo dalam buku The Celluloid Closet tentang
sejarah representasi queer, Hays Code tidak berhasil sepenuhnya
menyingkirkan kaum homoseksual dari layar. Adanya Hays Code
hanya membuat mereka berubah wujud menjadi ragam variasi
tokoh-tokoh villain; tokoh-tokoh penjahat bersifat monster dengan ciri
queer. Mereka ditampilkan sebagai pria feminin pembunuh orang-
orang tak bersalah, perempuan macho penindas kaum lemah, atau
crossdreser pengusik ketenangan warga. Di film lain, mereka ada
dalam bentuk manusia serigala dan vampir pemangsa manusia.
Monster-monster yang nasibnya selalu berakhir dengan menerima
hukuman, tak hanya atas kejahatan mereka, tapi juga hanya karena

/ 43
mereka “berbeda.” Sebuah situasi yang sangat bisa dipahami oleh
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

individu queer: dianggap berbeda.

Berhentinya pemberlakuan Hays Code ternyata tidak serta merta


membuat representasi queer pada film-film mainstream Hollywood
tiba-tiba jadi membaik. Penggambaran tokoh queer tak jauh-
jauh dari stereotipikal pelaku kriminal, kisah tragis, sampai yang
keberadaannya bak karikatur yang hanya untuk lucu-lucuan saja.
New Queer Cinema (sebagian lain menyebutnya Queer New
Wave) kemudian lahir sebagai respon terhadap penggambaran
queer yang dangkal ini. Film-film New Queer Cinema memberikan
suara kepada identitas queer secara lebih politis dan subversif.
Pengidentifikasian New Queer Cinema pertama kali dilakukan pada
tahun 1992, saat kritikus sekaligus akademisi queer B. Ruby Rich
menggunakan istilah tersebut di majalah Sight and Sound. Kendati
hanya sebagian saja yang secara teknis bisa digolongkan sebagai
horor, kebanyakan sutradara film-film New Queer Cinema meminjam
salah satu tropes dari genre ini berupa monstrous queer image, untuk
direkontekstualisasi sebagai perantara untuk membicarakan isu-isu
yang dekat dengan realita kehidupan individu queer, seperti endemik
AIDS, homofobia, dan represi politik. Metode ini digunakan sebagai
corong untuk menggaungkan suara queer yang lebih otentik dalam
menarasikan film-film tentang kehidupan mereka, sebagai bentuk
perlawanan terhadap film-film arus utama Hollywood yang restriktif
dan homofobik. Dengan menggunakan tropes dari genre horor,
sineas-sineas ini sekaligus menawarkan sebuah wawasan kontradiktif
tentang betapa berbahaya sekaligus powerful-nya mendiami tubuh
queer di tengah masyarakat.

Dalam esai “Abjection, Queer Bodies and Grotesque Doppelgängger”


dari buku New Queer Horror Films and Television, Fernando Gabriel
Pagnoni Berns dan Mariana Zárate memperkaya diskursus tentang
bagaimana karakter monster biasa digunakan dalam film horor
kontemporer sebagai metafor untuk homoseksualitas dan persepsi-
persepsi lain akan segala sesuatu yang dianggap abnormal. Beranjak
dari pemahaman ini, Berns dan Zárate kemudian memperkenalkan
konsep tubuh queer sebagai inkarnasi dari figur yang dianggap

/ 44
masyarakat sebagai non-normatif. Sederhananya, tubuh queer adalah

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


mereka yang berada dalam kategori the other. Dalam level naratif
film, tubuh queer berfungsi sebagai perwujudan kegelisahan kolektif
masyarakat yang belum tuntas akan representasi seksual, identitas,
dan penerimaan. Dengan kata lain, tubuh queer adalah manifestasi
sikap masyarakat terhadap segala bentuk ekspresi dan identitas
yang dianggap non-notmatif tanpa perlu membicarakannya secara
eksplisit.

Di tengah upayanya memecahkan makna dari pesan-pesan misterius


yang ia terima, tanpa sengaja Gambir mendapati sahabatnya,
Dandung (Ario Bayu), keluar dari gedung bernama Herosase.
Meskipun awalnya enggan, Dandung akhirnya bersedia mengajak
Gambir masuk dan bergabung menjadi anggota Herosase, dengan
memperingatinya terlebih dahulu bahwa apa yang akan ia lihat di
dalam bukanlah untuk orang yang lemah. Ternyata, Herosase adalah
penyedia jasa yang memungkinkan anggotanya untuk mengintip
ruang pribadi orang asing. Untuk menikmati jasa ini, telah disediakan
bilik-bilik berisi televisi yang menayangkan kehidupan orang, yang
disorot melalui kamera tersembunyi yang ditanam di ruang privat
mereka. Bahkan, tersedia buku menu yang berisi nama-nama orang
yang kesehariannya bisa diintip. Saat Gambir melihat-lihat pilihan
yang tersedia layaknya mengganti-ganti saluran televisi sebelum
memutuskan tontonan yang akan dinikmati, ia menyaksikan kilasan
tindakan dan perilaku aneh yang orang lakukan di balik amannya
sekat ruang privat. Mulai dari pemerkosaan di sel penjara, remaja
putri yang intim dengan pria paruh baya, seorang nenek yang
menyulamkan benang ke kulit tangannya sendiri, hingga, yang paling
menarik perhatian Gambir, seorang anak kecil yang dihajar habis-
habisan oleh orang tuanya. Gambir merasakan koneksi yang instan
saat melihat anak tersebut, dan tiba-tiba yakin bahwa anak itu lah
yang selama ini mengirimkan pesan meminta pertolongan padanya.
Keesokan harinya, Dandung menyampaikan kabar yang ia dapat dari
anggota Herosase lainnya, bahwa anak kecil itu telah tewas. Anehnya,
timbul rasa bersalah menggelayuti diri Gambir, karena ia merasa
gagal menyelamatkannya.

/ 45
Saat kembali ke Herosase dengan niat mengkonfirmasi kabar
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

kematian anak tersebut, Gambir malah menemukan namanya dan


Talyda tercantum di dalam daftar menu. Dari sini, ia mendapati
bahwa Talyda, atas saran dari ibunya, Menik (Henidar Amroe), telah
berhubungan seks secara bergantian dengan Dandung dan Rio (Otto
Djauhari) sebagai ikhtiar untuk bisa hamil lagi. Dalam sekuens klimatik,
Gambir mengundang ibunya, Talyda, Dandung, Rio, dan Koh Jimmy
(Tio Pakusadewo) untuk makan malam bersama, dan membunuh
mereka satu per satu sebagai aksi pembalasan. Setelah semua ia
bunuh, Gambir teringat akan pintu misterius di rubanah rumahnya,
yang selama ini selalu Talyda larang untuk buka. Setelah membuka
paksa pintu, Gambir melihat interior ruangan di dalamnya identik
dengan ruangan di mana si anak kecil disiksa oleh orang tuanya. Tak
lama setelah memasuki ruang itu, terdengar suara ibu dari sang anak,
yang sebelumnya pernah ia dengar juga melalui televisi di Herosase.
Dan betapa tertegunnya Gambir, saat terungkap bahwa sumber
suara itu adalah Menik, alias ibu Gambir sendiri, mengimplikasikan
bahwa sosok anak kecil yang ia lihat selama ini adalah dirinya sendiri.
Sesuai dengan konsep yang diuraikan Berns dan Zárate, sosok anak
kecil ini adalah doppelgängger Gambir, yang merupakan perwujudan
dari trauma masa kecilnya yang ia tekan dan kubur di alam bawah
sadarnya. Momen pengungkapan ini memantik sebuah efek spesifik
yang umum disebabkan oleh keberadaan tubuh queer, yakni untuk
mendestabilisasi persepsi penonton terhadap konsep identitas
sebagai atribut yang esensial dari diri seseorang. Lebih jauh Berns
dan Zárate memaparkan, doppelgängger adalah perwujudan dari
hasrat-hasrat yang direpresi dalam diri. Perlu ditekankan, bahwa
Gambir tidak secara eksplisit digambarkan sebagai homoseksual.
Namun, adanya sosok doppelgänger sebagai duplikasi dirinya,
memunculkan sisi keabnormalan dan non-normatifnya, yang
mana bisa dibaca sebagai queer (ditambah lagi, adanya upaya
dari Joko mengedepankan sisi queer Gambir melalui konstruksi
homoerotisisme yang akan dibahas di paruh ke dua tulisan ini).

/ 46
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Gambar 1

Analisa terhadap tubuh queer bisa ditelaah melalui bagaimana


dua versi tubuh Gambir berinteraksi dengan satu sama lain di layar.
Dalam penjelasan Seán Hudson tentang konsep tubuh queer dalam
film horor, ia menekankan bahwa penting untuk memahami “queer”
lebih sebagai aksi, alih-alih kategori. Bahwa sesuatu bisa dikatakan
sebagai tubuh queer, ketika film secara aktif mencampurkan
dan mengaburkan batas antara zat padat dan roh, yang mati dan
bernyawa, serta yang ada dan tiada. Sebelum terungkap bahwa
sang anak adalah perwujudan masa lalu Gambir, ada dua sekuens
ketika Gambir dan sosok sang anak berada dalam satu ruang yang
sama. Di kali pertama, dalam sekuens di lapangan squash, Gambir
melihat sosok anak kecil tersebut tanpa adanya kontak langsung.
Pada kesempatan ke dua, Gambir dan sang anak melakukan interaksi,
yang jika dikaitkan dengan poenjelasan Hudson, merupakan kunci
untuk memahami konsep tubuh queer. Gambir menyaksikan si anak
melalui layar televisi Herosase dalam dua kesempatan yang berbeda.
Pertama, Gambir hanya melihat si anak tampak belakang saat tengah
dipukuli oleh orang tuanya. Ini merupakan momen saat Gambir
bisa melihat penderitaannya terproyeksikan secara eksternal, yang
menimpa sosok orang yang tidak ia kenali. Di momen ini, ia berada
di posisi pihak yang mengasihani dan ingin memberikan bantuan,

/ 47
sebuah agensi yang tidak ia miliki sebagai anak korban kekerasan.
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Di kali kedua ia melihatnya melalui televisi, memar di wajah si anak


sudah semakin banyak, membuat hasrat Gambir untuk menolongnya
semakin besar. Kali ini, tak hanya wajah si anak terlihat jelas, ia pun
melihat langsung ke arah kamera tersembunyi, seolah ia tahu kalau
Gambir sedang menontonnya.

Melihat si anak yang menatap langsung ke arah kamera, Gambir


perlahan mendekatkan tubuhnya ke televisi dan meletakkan telapak
tangannya ke layar. Si anak pun merespon dengan melakukan gestur
tubuh yang sama [Gambar 1]. Interaksi ini merupakan momen yang
menegaskan bagaimana doppelgängger Gambir merupakan tubuh
queer dalam film ini, selaras dengan penjelasan Hudson ketika
mendiskusikan Pulse (Kurosawa Kiyoshi, 2001), ketika penggambaran
sentuhan fisik antara hantu dan manusia justru mempertebal
bias dimensi ruang yang mereka tempati. Tak hanya karena kita
menyaksikan, dalam level naratif, bahwa sesosok tubuh non-normatif
tengah bersentuhan dengan tubuh normatif. Tapi juga karena film
secara aktif menjadikan kedua tubuh ini queer, melalui penyangkalan
konstan terhadap batasan antara apa yang dianggap sebagai tubuh
manusia dan apa yang diyakini sebagai tubuh hantu atau roh. Melalui
dua scenes yang menempatkan Gambir dan anak kecil dalam satu
frame dan dimensi ruang yang sama, Joko telah mengaburkan batas
antara yang nyata (dalam diegetic) dan yang hanya proyeksi atas
imajinasi Gambir.

Melodrama: Sarana Pengekspresian Emosi, Keluarga


Disfungsional, dan Homoerotisisme

Gagasan tentang bagaimana Gambir mengeksplor identitasnya


dengan cara mengeksternalisasi satu aspek dari dirinya (memori
masa lalunya) ke dalam figur seorang anak kecil, juga bisa dikaji
melalui genre melodrama. Jonathan Goldberg mencontohkan
dengan bagaimana Todd Haynes, seorang sutradara gay yang
prominen, berbicara tentang tema identitas diri dan emosi dengan
memanfaatkan unsur-unsur melodrama. Haynes berpendapat bahwa,
dalam genre melodrama, salah satu proses identifikasi diri adalah

/ 48
dengan cara menjadi diri sendiri dengan tidak menjadi diri sendiri,

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


atau melihat diri kita sendiri dengan cara memposisikan diri sebagai
orang ke tiga. Dalam Far From Heaven (2002), Haynes merasa bahwa
gejolak cinta dan luka yang ada, terlalu besar untuk bisa ditampung
dalam tubuh karakternya. Maka, cinta dan luka itu meluap dan
termanifestasikan melalui musik, wardrobe, dekorasi ruang, warna,
hingga bayangan dalam layar. Hal yang sama terjadi dalam Pintu
Terlarang. Trauma masa kecil Gambir terlalu menyakitkan untuk ia
bendung sendiri, maka ia memproyeksikannya ke tubuh selain dirinya,
yang bisa ia lihat wujudnya (sebagai orang ketiga). Robert L. Cagle
mengilustrasikan bagaimana Matthias Müller, juga seorang sutradara
gay, menggunakan melodrama sebagai alat untuk mengomentari
apa yang tergambarkan di layar. Dalam Home Stories (1990), tokoh
protagonisnya dipaksa untuk mengkonfrontasi sisi kelam di dalam
dirinya (monstrous side). Sisi monster ini diilustrasikan melalui
sebuah scene, di mana sang tokoh protagonis dikejar oleh sosok
jahat, yang di akhir scene terungkap bahwa sosok tersebut adalah
(representasi dari) dirinya sendiri. Konsep tentang diri, identitas, dan
mengkonfrontasi sisi kelam dalam diri adalah tema yang sentral dalam
Pintu Terlarang, yang oleh Joko perlahan dibangun untuk dijadikan
sebagai kejutan di momen puncak.

Begitu memasuki pintu terlarang setelah membunuh seluruh orang-


orang terdekatnya, Gambir menemukan foto keluarga yang terpajang
di meja, dengan wajah sosok ibu yang dihilangkan, mengindikasikan
sistem bawah sadarnya yang telah menghapus ingatan tentang
ibunya, sebagai respon akan trauma. Saat memasuki kamar yang
sebelumnya ia menyaksikan sang anak membunuh kedua orang
tuanya dan menyayat lehernya sendiri, kini Gambir melihat jasad
ketiganya terkapar di lantai, bersimbahkan darah, dengan kamera
yang secara frontal memperlihatkan wajah sang anak dan ayahnya.
Penting untuk diingat bahwa dengan melihat wajah anak kecil
tersebut secara dekat bukan lah yang memicu reaksi penyadaran
Gambir. Alih-alih, yang menyadarkan bahwa apa yang ia saksikan
adalah kejadian traumatik masa lalunya adalah saat terungkapnya
wajah sang ibu. Sarah Arnold dalam Maternal Horror Film: Melodrama
and Motherhood mendiskusikan konsep Bad Mother dalam genre

/ 49
melodrama, ia melihat bahwa sosok ibu jahat dalam film melodrama
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

sering kali bisa ditafsirkan sebagai hybrid teks horor. Dalam Marnie
(1946), Alfred Hitchcock menyajikan konflik dengan karakter
ibu untuk membangun horor sekaligus efek melodrama. Marnie
menggabungkan antara simbol-simbol yang baku dalam genre
horor dengan narasi emosional melodrama. Sejalan dengan ide itu,
momen final berdarah yang mengungkap penyebab trauma Gambir
ternyata ibunya sendiri, merupakan contoh yang paripurna untuk
mengilustrasikan bagaimana nyawa dari estetika queer dalam film ini
adalah kombinasi antara konflik melodrama dan struktur narasi horor.

Gambar 2

Setelah Gambir membalikkan jasad perempuan berlumuran darah


dan mendapati bahwa itu adalah ibunya, ia pun sontak terhenyak.
Dalam sebuah medium two-shot, terlihat Gambir yang masih
terkejut menempati foreground, saat tiba-tiba Gambir kecil yang
berlumuran darah bangkit dan berdiri di background [Gambar 2].
Gambir menoleh ke belakang, sebagai simbol bahwa ia akhirnya
sudah sepenuhnya mau menyadari akan apa yang terjadi di masa
lalunya. Adegan ini mendemonstrasikan elemen melodramatik yang
Cagle paparkan dalam tulisannya, tentang penggambaran visual
seorang karakter yang harus menghadapi sumber teror yang ia alami
sepanjang film: dirinya sendiri. Pada frame selanjutnya, kita melihat
ruang kamar yang tadinya digenangi darah, kini tampak bersih tanpa
sedikit pun cipratan merah. Lalu terdengar suara ibunya memanggil
nama Gambir dari luar kamar, diikuti dengan suara langkah kaki
yang kian mendekat. Diguncang rasa takut yang dahsyat, Gambir
bersembunyi di bawah kasur. Saat kamera cut to kolong tempat tidur,

/ 50
kini terlihat Gambir usia 10 tahun yang sedang bersembunyi. Melalui

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


sebuah close up shot yang mengagetkan, Joko untuk pertama kalinya
memperlihatkan wajah Menik versi muda. Close up shot wajah ibunya
ini berfungsi sebagai cue menuju reaksi emosional paling eksplosif
berupa teriakan memekakkan yang kemudian match cut ke Gambir di
hari ini, berteriak penuh nestapa sembari dikurung di rumah sakit jiwa
[Gambar 3]. Konstruksi sekuens ini cocok dengan apa yang Michael
Leblanc deskripsikan dalam tulisannya, “Melancholic Arrangements:
Music, Queer Melodrama, and the Seeds of Transformation,”

Gambar 3

sebagai momen puncak ketika karakter akhirnya bisa melakukan


konfrontasi (dengan satu sama lain atau dengan sumber masalah)
melalui ekspresi yang penuh dan lepas, untuk mendefinisikan makna
dari hubungan dan eksistensi mereka. Di atas segalanya, momen ini
sekali lagi menunjukkan bagaimana fungsi melodrama, seperti yang
diungkapkan oleh LeBlanc, adalah sebagai alat untuk memproses
trauma dan penyaluran emosi.

Menurut John Champagne, dua topik yang jamak ditemukan dalam

/ 51
anatomi melodrama adalah homoerotisisme dan disfungsionalitas
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

keluarga. Meskipun unsur horornya lebih menonjol seperti yang


sudah dideskripsikan dalam analisis sekuens di atas, tetapi esensi
dari konflik dalam Pintu Terlarang adalah kekerasan dalam keluarga.
Champagne berargumen bahwa, dengan berfokus pada kegagalan
fungsi sebuah unit keluarga, maka sebuah film bisa dikatakan telah
memiliki syarat minimal sensibilitas melodrama. Joko adalah sutradara
yang bersahabat dengan melodrama, mengingat disfungsionlitas
keluarga merupakan tema berulang yang bisa dijumpai
di filmografinya. Salah satu konflik domestik yang terjadi di Pintu
Terlarang, disebabkan oleh persekongkolan Talyda dan Menik untuk
membuat Talyda bisa hamil lagi, tanpa sepengetahuan Gambir.
Dimulai dengan mencari dokter untuk menyembuhkan impotensi
Gambir, hingga merencanakan hubungan seks diam-diam Talyda
dengan Dandung dan Rio. Plot ini, tidak hanya dibangun sebagai
jembatan menuju momen klimatik (motivasi Gambir membunuh
keluarga dan kerabatnya adalah terbongkarnya rencana rahasia ini),
tapi juga digunakan untuk menkritik konstruksi maskulinitas dalam
masyarakat patriarkal di Indonesia. Kesuburan dan kekuatan fisik
kerap dijadikan sebagai variabel utama dan syarat agar bisa dianggap
sebagai lelaki sejati. Melalui beberapa momen, Joko berulang kali
menegaskan bahwa Gambir tidak memiliki keduanya. Diperkuat
dengan penggambaran interaksi homoerotik dalam dua scene yang
melibatkan Dandung, Joko mengkonstruksi Gambir sebagai pribadi
queer, the other, dengan menghadirkannya sebagai sosok yang non-
normatif menurut standar norma yang dianut masyarakat Indonesia.

Dalam sebuah dialog antara Gambir, Talyda, dan Menik, untuk


pertama kalinya terungkap alasan kenapa pasangan ini belum
memiliki anak lagi ternyata karena impotensi Gambir. Dialog ini
terjadi di ruang makan, sebuah latar yang lazim dipakai oleh media
populer untuk mencitrakan keluarga ideal dalam tatanan masyarakat
heteronormatif. Tempat sang istri biasa melayani suami dan anak-
anaknya, dengan menyajikan hidangan di meja makan. Ironisnya,
justru di ruangan ini lah Gambir dikerdilkan dan dilucuti kelelakiannya.
Gambir jelas terlihat malu saat sang ibu ikut membahas tentang
kehidupan seksnya, meskipun ia juga tidak mengekspresikan

/ 52
keberatan, dan membiarkan obrolan terus bergulir. Beberapa scene

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


setelahnya, dalam sebuah adegan adu argumen, Talyda menghina
Gambir dengan sebutan lemah, baik secara prinsipil maupun vitalitas.
Tersinggung, Gambir menampik tuduhan itu dengan mencoba
melakukan marital rape, namun berakhir dengan ketidakmampuannya
untuk mendapatkan ereksi. Scene berakhir dengan Gambir
menangis. Kegagalannya mendemonstrasikan maskulinitas di ranjang
kepada istrinya ini, ia coba balas dalam permainan squash bersama
Dandung dan Rio. Setelah memenangkan satu babak melawan
Gambir, Rio berseloroh bahwa baginya lebih baik dikalahkan oleh
lawan yang tangguh ketimbang menang melawan lawan yang lemah,
mengimplikasikan bahwa Gambir adalah rival yang lemah. Tersulut
oleh komentar ini, Gambir tampak bermain jauh lebih agresif untuk
memenangkan babak selanjutnya. Penting untuk digarisbawahi,
bahwa satu kata spesifik yang memicu kemarahan Gambir, baik
dalam scene bersama Talyda maupun saat bertanding squash,
adalah “lemah.” Dalam adegan marital rape, kamera ditempatkan
secara statis dan memperlihatkan Gambir dan Talyda dari jarak yang
cukup jauh, untuk menimbulkan kesan betapa tumpul dan kuyunya
performa Gambir di ranjang [Gambar 4].

Gambar 4 Gambar 5

Kontras dengan hal itu, di arena squash, kamera bergerak jauh lebih
dinamis mengimbangi gesitnya pergerakan Gambir. Secara progresif
gambar semakin shaky seiring dengan pukulan yang bertambah
kencang di setiap smes yang dilancarkan, menyugestikan aksi
penetrasi, seolah-olah Gambir mencoba untuk mendominasi Rio dan
memamerkan kegagahannya [Gambar 5]. Fakta bahwa dengan Rio
lah Gambir berhasil mematahkan asumsi “lemah” yang dituduhkan

/ 53
kepadanya, bukanlah satu-satunya insinuasi yang Joko buat sebagai
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

upaya meng-queer-kan Gambir.

Kali ketiga Gambir diejek lemah, adalah oleh Dandung. Di tengah


upayanya memecahkan misteri Herosase, Gambir melihat
Dandung yang tengah berjalan keluar dari gedung Herosase.
Setelah dikonfrontasi oleh Gambir, Dandung awalnya enggan
mengundangnya sebagai anggota, karena Herosase “bukan untuk
orang lemah.” Lagi-lagi, cercaan ini membuat Gambir murka, dan
melayangkan bogem mentah ke wajah Dandung. Perhatikan
bagaimana Joko membingkai scene ini dengan shot yang padat dan
intim, membuat kedua aktornya berdialog dengan posisi yang secara
fisik sangat berdekatan, ditambah dengan interaksi agresif yang
bermuatan tensi seksual. Akademisi David Greven memperkenalkan
gagasan homoerotic antagonism dalam kajiannya tentang film-film
Alfred Hitchcock. Greven menemukan bahwa Hitchcock punya
kecenderungan untuk membuat relasi antar dua tokoh pria memiliki
unsur saling mengancam di dalamnya, yang berefek pada timbulnya
ketegangan homoerotik. Adegan pertengkaran antara Gambir dan
Dandung terjadi dua kali dan dibingkai dalam komposisi shot yang
hampir serupa [Gambar 6].

Hal ini mengindikasikan adanya kontak homoerotis di dalam relasi


keduanya, sesuai dengan konsep yang ditawarkan Greven, yang
ditandai oleh dua hal. Pertama, dalam level penampilan akting,
terdapat ambiguitas makna dari cara Fahri dan Ario saling menatap,
yang merupakan ciri melodramatik yang cukup lumrah. Kedua,
dengan adanya ancaman kekerasan yang nyata dan turut hadir dalam
interaksi mereka.

Gambar 6

/ 54
Dalam menyusun tulisan ini, saya datang dengan kesadaran penuh

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


terhadap fakta bahwa baik referensi literatur maupun teori yang
disitasi, hampir semuanya merupakan hasil pemikiran yang lahir
dari kultur akademik barat. Terbatasnya referensi terkait estetika
queer secara umum yang berkembang di Indonesia, membuat saya
harus meminjam teori yang muncul dari belahan bumi seberang
untuk membaca fenomena yang tergambarkan dalam film ini.
Namun sebagai upaya konsolasi, Pintu Terlarang pun secara sadar
dipilih dengan mempertimbangkan reputasi Joko yang, jika dilihat
dari rekam jejak karyanya, sama-sama mengambil referensi dari
produk dan budaya filmmaking Barat, khususnya Hollywood. Dalam
konteks diskusi penciptaan estetika queer, Joko mungkin bisa
dibandingkan dengan Hitchcock, dari sisi bagaimana keduanya punya
kecenderungan mencampurkan dua atau lebih genre berbeda untuk
membangun narasi dengan queer undertone. Dengan menjabarkan
bagaimana Pintu Terlarang mengurai tema trauma menggunakan
kacamata horor dan melodrama, definisi dan apa yang disebut queer
dari estetika film ini bisa lebih terjabarkan dengan lebih holistik.
Bahwa tubuh/roh anak sebagai doppelgängger Gambir, adalah
queer, dalam arti ia ada sebagai proyeksi atas trauma yang direpresi.
Bahwa Gambir sendiri adalah queer, dalam arti bagaimana konstruksi
dirinya merupakan negasi dari norma-norma yang dianut masyarakat
Indonesia atas persepsi “laki-laki sejati.” Dan bahwa filmnya sendiri
secara semangat dan perilaku adalah queer, dengan mengawinkan
dua genre yang meskipun secara inheren sama-sama bernyawa
queer, namun memiliki bentuk yang dari permukaan sangat berbeda,
menjadi kesatuan estetika yang utuh dan harmoni.

Pintu Terlarang (Joko Anwar, 2007)


Tayang di Netflix Indonesia

/ 55
Skinned Performance: Body Horror Perempuan
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

dalam Impetigore karya Joko Anwar


Anton Sutandio

Abstrak

Artikel ini membahas film horor Indonesia tahun 2019, Impetigore


(Perempuan Tanah Jahanam) yang disutradarai oleh Joko Anwar.
Pada tahun 2021, Impetigore menjadi film horor Indonesia pertama
yang mewakili Indonesia di Academy Awards. Artikel ini fokus pada
mistifikasi film tentang tubuh perempuan, yang mengarah pada
wacana monstrositas gender dalam dunia patriarkal. Penelitian
interdisipliner ini menggunakan konsep body horror, khususnya yang
berkaitan dengan kulit, kritik gender, dan kajian mistisisme wayang.
Kebaruan penelitian terletak pada kombinasi konsep-konsep ini yang
belum pernah dibahas sebelumnya. Temuan menunjukkan bahwa film
tersebut secara metaforis menggarisbawahi perspektif masyarakat
Indonesia kontemporer yang membingungkan tentang agensi yang
diwujudkan perempuan. Penggambaran karakter perempuan yang
kuat dalam film ini juga menunjukkan upaya untuk menantang narasi
patriarki arus utama dalam sinema horor Indonesia kontemporer,
dan pada saat yang sama mengisyaratkan subjektifikasi tubuh
perempuan yang terus berlanjut sebagai agensi yang mengancam
namun diinginkan.
Kata kunci: body horror, mistifikasi, tubuh perempuan, Impetigore,
film horor Indonesia.

Pendahuluan
Pada awal November 2020, Panitia Seleksi Oscar Indonesia
memutuskan memilih Impetigore (Anwar, 2019b) untuk mewakili
Indonesia di Academy Awards ke-93 kategori International Feature
Film Award. Ketua panitia sekaligus sutradara ternama, Garin
Nugroho, menyatakan film tersebut telah memenuhi semua kriteria
teknis yang dipersyaratkan dan mengusung nilai-nilai lokal Indonesia.

/ 56
Anwar mengaku butuh waktu 10 tahun untuk mengembangkan film

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


tersebut (Prambors, 2020) dan hasilnya tidak mengecewakan. Film
ini memecahkan rekor nominasi terbanyak dalam sejarah Festival
Film Indonesia dalam 17 kategori berbeda dan memenangkan 6
diantaranya termasuk film terbaik, sutradara terbaik, dan aktris
pendukung terbaik. Film ini juga dirilis secara internasional di AS,
Inggris, dan Kanada melalui platform Shudder.

Terlepas dari kualitas, orisinalitas, dan pencapaiannya, film ini belum


mendapat banyak perhatian secara akademis, kemungkinan besar
karena sedikitnya kritikus film yang berspesialisasi dalam genre
horor. Sebuah studi terhadap film ini (Wulandari & Islam, 2020)
fokus pada makna visual dari poster film dan menyimpulkan bahwa
sebagai film horor, poster Impetigore unik karena tidak mewakili
eksploitasi tipikal terhadap hantu atau monster. Sebuah skripsi
membahas analisis semiotik tentang representasi maskulinitas
perempuan dan menyimpulkan bahwa tokoh perempuan memiliki
sifat maskulin seperti perkasa dan berani (Dediana, 2020). Penelitian
lain menganalisa kata-kata umpatan di dalam film dalam kajian
sosiolinguistik dan mengkategorikan kata-kata tersebut ke dalam
konteks keintiman, kedekatan, penghinaan, ancaman, kejutan, dan
gangguan (Fredy & Haristiani, 2020). Penelitian lain membahas
penggambaran seksualitas perempuan dengan menggunakan
metode semiotika Peirce (Cuaca, 2021). Ada pula pembahasan
film melalui pendekatan Marxisme dalam konteks komodifikasi
pertunjukan wayang dalam film (Salim et al., 2020). Tesis lain
menerapkan teori respon pembaca terhadap film Impetigore untuk
mengetahui daya tarik film tersebut bagi sekelompok mahasiswa
di universitas tertentu (Nadilah, 2020). Tidak ada satupun artikel
penelitian di atas yang membahas film ini dari perspektif body horror,
sehingga penelitian ini akan mengisi kekosongan dan memperkaya
ragam topik penelitian tentang film tersebut. Perpaduan konsep body
horror, kritik gender, dan pertunjukan wayang menjadi kebaruan
artikel ini. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman
yang lebih mendalam tentang bagaimana film horor populer dapat
menjadi instrumen yang efektif untuk membahas isu-isu kontemporer
seperti gender dan ketegangan antara modern dan tradisional yang

/ 57
terus berlangsung dalam konteks masyarakat Indonesia.
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Artikel ini mengeksplorasi body horror/body horror perempuan


dalam Impetigore karya Joko Anwar. Lebih khusus lagi, penelitian
ini fokus pada mistifikasi tubuh perempuan yang menyamakan
nilai perempuan dengan fungsi dan penampilan biologisnya,
yang—dalam konteks ini—berpusat pada kulit. Artikel ini bertujuan
untuk mengungkap bagaimana mistifikasi tubuh perempuan
dan pertunjukan wayang dalam film membawa simbolisme yang
menunjuk pada isu gender yang melanggengkan dominasi patriarki
dan ketegangan antara modern dan tradisional dalam masyarakat
Indonesia kontemporer.

Pencitraan tubuh yang berubah bentuk, dibakar, dikuliti, atau


dimutilasi adalah inti dari genre horor yang dapat dengan
cepat memanfaatkan gentar sadar atau tidak sadar penonton
dan menimbulkan rasa takut. Hurley, (Dudenhoeffer, 2014:
7) mendefinisikan body horror sebagai “genre hibrida yang
menggabungkan kembali konvensi naratif dan sinematik dari fiksi
ilmiah, horor, dan film suspense untuk mementaskan tontonan tubuh
manusia yang didefamiliarisasi atau diubah menjadi yang lain.” Ada
argumen bahwa body horror kontemporer, yang berasal dari abad
ke-21, memiliki perhatian pada tubuh dengan cara yang berbeda
dengan body horror tradisional yang berfokus pada mutilasi dan
transformasi tubuh. Wercholewski berpendapat bahwa dalam gebre
body horror kontemporer, “tubuh menjadi objek yang diserang oleh
individu-individu tirani atau, dalam beberapa kasus, kumpulan sistem
hukuman” (Wercholewski, 2019). Berangkat dari pergeseran arti
genre body horror ini, Impetigore menaungi kedua tradisi tersebut,
karena film ini menggambarkan mutilasi dan penggunaan kembali
bagian tubuh. Perpaduan antara aspek tradisional dan kontemporer
dari genre body horror mencerminkan konflik antara tradisional dan
modern yang digambarkan film ini melalui karakter dan kejadiannya.

Impetigore harus dilihat lebih dari sekadar film body horror. Genre
horor sering menggunakan simbolisme untuk mengomentari
masyarakat, bahwa monster atau hantu berfungsi sebagai simbol
dari kecemasan sosial dan penonton akan diberikan petunjuk

/ 58
melalui visual sehingga mereka akan memahami pesan tersirat yang

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


dibawa oleh film tersebut (Bagwell, 2014: 1). Impetigore memasukkan
simbolisme yang berkaitan dengan sikap masyarakat Indonesia
kontemporer yang meresahkan terhadap agen yang diwujudkan
tubuh perempuan. Dalam hal ini, film tersebut ditorehkan dengan
narasi monstrositas gender, yang berfokus pada tubuh perempuan—
khususnya kulit—sebagai agen mistik yang membawa sifat
supernatural yang diinginkan sekaligus mengancam.

Berfokus pada mutilasi dan transformasi kulit perempuan, Impetigore


bisa digolongkan sebagai film slasher, sub-genre horor yang relatif
jarang ada di sinema horor Indonesia. Namun, body horror, “yang
fitur paling umumnya adalah perusakan grafis atau degenerasi
tubuh manusia” (Rocha, 2017: 1) bukanlah fenomena baru bagi
sineas Indonesia. Aktris terkenal Indonesia, Suzanna, yang juga
dikenal sebagai “Ratu Horor Indonesia”, yang aktif dalam tiga
dekade terakhir abad ke-20, memelopori pertunjukan body horror
Indonesia. Dalam Beranak Dalam Kubur yang dirilis pada tahun 1971
(Awaludin & Shahab, 1971), Suzanna berperan sebagai Lila, seorang
wanita hamil yang hidupnya dirusak oleh saudara perempuannya,
yang memercikkan asam ke wajahnya dan kemudian menguburnya
hidup-hidup dengan janin di dalam kandungannya. Di satu sisi,
Impetigore beresonansi dengan kehancuran tubuh perempuan yang
berhubungan dengan kehamilan dan persalinan yang bertentangan
dengan okultisme dan pertunjukan wayang Jawa yang ritualistik.

Dalam konteks representasi perempuan, Joko Anwar dikenal sebagai


sutradara yang kerap melahirkan tokoh perempuan yang kuat dan
mandiri, seperti Sari dalam A Copy of My Mind (Anwar, 2016), Rini
dalam Pengabdi Setan (Anwar, 2017), atau Sedah dalam Gundala
(Anwar, 2019a). Namun tokoh antagonis/monster perempuan
ciptaannya juga berkesan, seperti sosok ibu dalam Pengabdi Setan,
Talyda dalam Pintu Terlarang, atau Nyi Misni dalam Impetigore.
Memang, Impetigore adalah film yang dikendalikan oleh empat
tokoh utama wanita, termasuk tokoh antagonis yang diperankan
oleh Christine Hakim, seorang aktris legendaris Indonesia. Hal ini
sangat kontras dengan representasi tokoh perempuan rezim Orde

/ 59
Baru dalam sinema horor Indonesia dalam empat dekade terakhir
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

abad ke-20. Selama periode itu (1966—1998), perempuan secara


politik dan budaya ditundukkan di bawah rezim otoriter dan patriarkal
yang kuat dari Soeharto, presiden kedua Indonesia. Akibatnya,
kecuali penggambaran mereka di layar sesuai dengan ideologi, film
tersebut akan disensor dengan keras. Suzzana menantang sikap ini,
dengan memainkan karakter perempuan yang kuat dalam setidaknya
dua puluh film horor, kebanyakan makhluk mistis, seperti Nyi Roro
Kidul atau Nyi Blorong atau monster seperti kuntilanak atau sundel
bolong. Namun, unjuk kekuatan dan dominasinya di layar masih
dibatasi oleh aturan ketat yang biasanya melibatkan formula plot yang
diselaraskan dengan ideologi rezim. Misalnya, betapapun kuat atau
mendominasinya karakter perempuan, pasti ada kekuatan yang lebih
tinggi yang biasanya adalah laki-laki yang kuat seperti raja, orang tua
bijak dan saleh, figur ayah, atau Ustadz yang akan mengembalikan
keteraturan. Kusumaryati menegaskan pernyataan ini, dengan alasan
bahwa “feminin grotesque yang sangat mengikat motif feminitas
dengan horor, merupakan elemen umum horor Indonesia” (Guttman,
2016: 4). Selain itu, sensor yang ketat dan patriarki yang mendominasi
pada saat itu membatasi peran yang dapat dimainkan perempuan
yaitu hanya sebagai ibu rumah tangga, kekasih, korban, atau monster.

Jatuhnya rezim pada tahun 1998 membuka kemungkinan-


kemungkinan baru bagi aktris wanita. Misalnya, konsep “gadis
terakhir” yang dibesut oleh Clover juga mulai muncul dalam film
horor Indonesia. Misalnya, Kuntilanak (2006), Kuntilanak 2 (2007), Air
Terjun Pengantin (2009) karya Mantovani, dan Macabre/Rumah Dara
karya Mo Brothers (2009), yang mungkin merupakan film slasher
Indonesia pertama, menampilkan tokoh perempuan penyintas dari
peristiwa tragis dan mengerikan. Namun, bahkan dalam kasus ini,
untuk mengalahkan tokoh laki-laki dominan, para tokoh perempuan
ini perlu memasukkan apa yang secara tradisional dipandang sebagai
karakteristik laki-laki, seperti berani dan banyak akal. Dengan kata
lain, jika mereka tidak berubah menjadi perempuan maskulin, mereka
tidak akan bertahan.

/ 60
Namun, Impetigore menawarkan tokoh perempuan yang berbeda,

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


karena ia mampu bertahan hidup tanpa harus memiliki karakteristik
tipikal laki-laki. Sang protagonis, Rahayu, dan temannya, Dini, adalah
karakter non-tipikal dalam film horor Indonesia karena mereka tidak
menunjukkan ciri-ciri perempuan stereotip seperti lemah, dependent,
dan emosional. Mereka mandiri, pekerja keras, ulet, dan tidak terikat
pada norma-norma sosial tradisional yang mengikat perempuan
pada peran dan posisi tertentu. Bahkan tokoh antagonisnya, Nyi Misni,
digambarkan sebagai sosok ibu yang dominan, termasuk atas anak
laki-lakinya, Ki Saptadi.

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan interdisipliner yang
memadukan kajian film, kritik gender, dengan kajian mistisisme
wayang. Temuan-temuan tersebut diinterpretasikan sebagai alegori
berlapis terhadap perjuangan gender kaum terpinggirkan/lemah dan
konteks mistifikasi tubuh perempuan dalam masyarakat Indonesia
kontemporer.

Pendekatan kritis utama artikel ini adalah kajian film, khususnya


konteks body horror dalam kajian genre horor. Visual film menjadi
sumber utama pembahasan body horror. Data dari sinematografi
film dan mise-en-scène kemudian diinterpretasikan sesuai dengan
konteks yang dianalisa. Kritik gender diterapkan untuk memahami
konteks patriarki Indonesia, identitas gender dan tubuh perempuan
yang digambarkan dalam film. Kajian mistisisme wayang akan
memberikan pemahaman kepada pembaca tentang makna
wayang sebagai pertunjukan tradisional, mistis, dan simbolis yang
tetap menjadi bagian penting masyarakat Indonesia kontemporer,
khususnya di Jawa tempat film tersebut dibuat.

Riset dimulai dengan pemutaran film berkali-kali untuk memastikan


bahwa data visual yang dibutuhkan cukup dan akurat. Langkah
selanjutnya adalah mengeksplorasi dan menginterpretasikan data
visual yang terkait dengan topik yang dibahas. Pembahasan dibagi
menjadi tiga bagian: isu gender yang berfokus pada tokoh utama
perempuan, mistifikasi tubuh perempuan yang berfokus pada kulit

/ 61
dan pengulitan perempuan, dan pementasan wayang yang berkaitan
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

dengan nilai tradisional. Hasil penelitian kemudian dirangkum dalam


kesimpulan.

Kerangka Teoritis
Genre horor hampir selalu menekankan tontonan tubuh: dalam film
horor, penonton dapat melihat tubuh diubah, bermutasi, dipotong,
dipenggal, dibakar, atau dihancurkan untuk memberikan pengalaman
mendalam dan meningkatkan ketegangan pengalaman pemutaran.
Body horror sebagai sub-genre telah ada selama hampir 70 tahun,
dan definisi paling dasarnya mengacu pada horor pada tubuh dan
bagaimana mereka berubah karena penyakit, eksperimen, penyebab
supernatural, atau ritual (Baker, 2000). Reyes mendefinisikan body
horror sebagai “keadaan jasmani yang tidak normal, dan serangan
terhadap tubuh” (Rapoport, 2020: 620), yang sejalan dengan konteks
body horror dalam Impetigore. Di Indonesia, hal serupa sudah terlihat
sejak tahun 1980-an, kebanyakan berfokus pada perusakan dan
degenerasi tubuh perempuan, yang mengindikasikan seperti apa
pandangan sinema Indonesia tentang tubuh perempuan pada saat
itu. Di antara begitu banyak perspektif tentang genre horor, penelitian
ini mengacu perspektif horor Robin Wood berdasarkan sudut
pandang psikoanalitik Freudian, yang melihat genre ini sebagai genre
uncanny, yaitu sesuatu yang akrab namun asing dan menakutkan
(Wood, 2003). Aspek uncanny dalam Impetigore mengacu pada
tubuh tanpa kulit dan tubuh yang dikuliti. Jay McRoy menyatakan,
“kulit, selaput yang memisahkan kita dari objek lain, berfungsi dalam
film horor ‘sekaligus sebagai titik kontak, tempat perlawanan, dan
metode pemindahan’ dari dalam ke luar” (Dudenhoeffer, 2014:
3). Ketika bagian dalam ditampilkan di layar tanpa bagian luar,
kecemasan, dan ketakutan akan hal-hal yang tidak wajar muncul.
Transformasi kulit sebagai selaput tipis menjadi wayang untuk
menampung fungsi mistis tertentu meningkatkan rasa ngeri terkait
tubuh.

Konsep mistifikasi tercermin melalui teori objektifikasi, yang


secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “melihat dan/atau
memperlakukan seseorang, biasanya perempuan, sebagai objek”

/ 62
(Papadaki, 2019), khususnya yang bersifat seksual. Namun, Impetigore

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


tidak mengobjektifikasi perempuan secara seksual, tetapi secara
mistik, khususnya ketika tubuh perempuan dilihat sebagai objek yang
membawa sifat supernatural tertentu. Mistifikasi perempuan dan
tubuhnya semacam ini hampir menjadi andalan dalam genre horor
Indonesia saat dalam banyak film horor dari periode yang berbeda,
perempuan hampir selalu cenderung membawa aura mistis. Fakta
bahwa sebagian besar monster terkenal di film horor Indonesia
adalah hantu atau arwah perempuan membuktikannya; misalnya
kuntilanak, sundel bolong, wewe gombel, Si Manis Jembatan
Ancol, Hantu Casablanca, Nyi Blorong atau Nyi Roro Kidul. “Ketika
perempuan ditampilkan dalam film horor, kesan sensualitas perlahan
memudar digantikan oleh kesan mistis yang membuat penonton
selalu menebaknebak tokoh perempuan yang muncul dalam film
tersebut adalah sosok hantu” (Tiwahyupriadi & Ayuningtyas, 2020:
121). Secara metaforis, hal itu sesuai dengan ideologi patriarki
dominan yang mendasari masyarakat Indonesia yang terus-
menerus berusaha untuk menundukkan posisi perempuan dengan
merepresentasikan mereka dalam film sedemikian rupa, seperti yang
dikemukakan Sen, pada rezim Orde Baru antara tahun 1966 hingga
1998 dengan ideologinya yang melihat perempuan normatif sebagai
istri dan ibu daripada sebagai perempuan karir atau mampu menjalani
kehidupan produktif mandiri” (dikutip dalam Hanan, 2017: 246).

Metafora tersebut diperkuat dengan pertunjukan wayang sebagai


bagian penting dari film. Adegan wayang adalah referensi langsung
ke media hiburan dan tradisional sebagai oposisi dari filmfilm baru
dan modern. Secara tradisional pertunjukan wayang kulit sering
dipandang sebagai bahasa simbol kehidupan spiritual, hal ini sering
disebut sebagai tuntunan moral bagaimana seharusnya manusia
hidup dan memperlakukan orang lain (Soetarno, 2011: 301). Dengan
demikian, kehadiran pertunjukan wayang di layar tidak hanya
memperkuat aspek mistis film, tetapi juga menandakan tema yang
mendasari konflik gender dan tradisional vs modern secara simbolis.

Diskusi
Ada sejumlah riset dan buku yang membahas sub-genre body

/ 63
horror sejak masa keemasannya di tahun 1980-an. Beberapa artikel
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

terbaru yang sejalan dengan penelitian ini di antaranya adalah


Cruz (2012) yang berpendapat bahwa body horror adalah horor
biologis yang meliputi hybrid, metamorphoses, mutasi, aberrant
sex dan zombification (Rapoport, 2020). Dia melihat bagaimana
penulis wanita menggunakan fiksi horor untuk mengungkap dan
menormalkan diskusi tentang tubuh wanita dalam budaya populer.
Senada dengan itu, Impetigore juga mencoba menantang mistifikasi
tubuh perempuan melalui tokoh utamanya. Revert (n.d.), dalam
diskusinya tentang The Fly karya Cronenberg dan Tetsuo: The Iron
Man karya Tsukamoto berpendapat bahwa metamorfosis tubuh
lakilaki dalam film merupakan proyeksi dari krisis identitas dalam
masyarakat. Impetigore berbicara tentang pergeseran konstan
identitas Indonesia kontemporer yang berhubungan dengan
tradisional dan modern. Ada juga beberapa tesis yang membahas
tentang body horror yang menggunakan konsep Kristeva tentang
the abject, misalnya Rocha (2017) yang membahas beberapa film
body horror dalam konteksnya dalam membangkitkan rasa jijik dan
abject. Chabot (2013) melihat film body horror klasik Hollywood
sebagai bentuk perlawanan politik dalam tesisnya, dan Bagwell
(2014) membahas Videodrome karya Cronenberg sebagai simbol
kecemasan sosial.

Body horror dalam Impetigore mungkin mengingatkan penonton


pada Tobe Hooper’s 1984 Texas Chainsaw Massacre dengan
kehadiran tubuh yang dikuliti, keluarga yang gila, dan final girl. Bahkan,
adegan Rahayu yang melarikan diri di bagian akhir film sangatlah
mirip: ketika Rahayu berhenti dan menaiki truk, dia berteriak lega
mengetahui bahwa dia berhasil menjauh dari desa terkutuk itu. Tapi
di situlah kesamaan kedua film berhenti karena Impetigore memiliki
alur cerita asli yang khas Indonesia. Ini adalah salah satu karakteristik
pembuat film muda Indonesia, yang, seperti dikatakan Barker (2019:
84), “telah berhasil menggabungkan fitur-fitur horor global dengan
kiasan, ikonografi, dan referensi yang bergema secara lokal.” Meski
film ini dibuka dalam latar metropolitan dengan segala sifat globalnya,
Impetigore mengusung kiasan Jawa yang kental melalui ikon wayang,
rumah adat Jawa, bahasa sehari-hari, dan kepercayaan kejawen yang

/ 64
mendominasi keseluruhan narasi.

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Sang Penantang Gender

Film ini berkisah tentang sang protagonis, Rahayu (diperankan oleh


Tara Basro), seorang pekerja wanita kelas bawah berusia 20 tahun
yang mencoba keluar dari kemiskinan. Ketika dia hampir kehabisan
uang, dia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Dia
tidak pernah tahu mengapa orang tuanya meninggalkannya, tetapi dia
tahu bahwa mereka memiliki properti di kampung halamannya, yang
dapat mengubah nasibnya. Rahayu (lihat gambar 1) digambarkan
sebagai seorang wanita lajang, periang, pekerja keras, dan mandiri,
yang berjuang untuk bertahan hidup dari cengkeraman kejam
kehidupan metropolitan dan kemudian dari pembunuh penduduk
desa yang masih percaya takhayul.

Gambar 1: Pemeran utama wanita, Rahayu: “Mau beli BH?”

Tangkapan layar di atas menggambarkan adegan di pasar di


mana Rahayu mengadu nasib dengan menjual pakaian wanita.
Meski adegannya singkat, ia dengan santai menawarkan bra
kepada karakter lain (sekaligus ke arah penonton). Adegan singkat
ini menunjukkan perubahan signifikan terkait bagaimana tubuh
perempuan ditampilkan dalam film-film horor Indonesia kontemporer,
sekaligus menunjukkan bahwa ia adalah karakter perempuan
non-tradisional. Dalam kebanyakan film, saat bra ditampilkan di
layar, hal itu selalu mengisyaratkan seksualitas karena bra tersebut
selalu teraosiasikan dengan payudara wanita. Maka, ketika Rahayu

/ 65
memisahkan bra dari konteks tubuh perempuan, tindakannya secara
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

simbolis menghilangkan konteks seksual dari bra tersebut dan


mengubahnya menjadi sebuah objek umum.

Ada pergeseran peran gender yang signifikan melalui penggambaran


Rahayu. Sepanjang narasi, tidak ada dialog tentang cinta, laki-laki,
atau pernikahan yang menekankan kemandiriannya. Bahkan dalam
genre horor, tokoh perempuan biasanya digambarkan sedang
menjalin hubungan atau memiliki kekasih. Dengan demikian,
absennya sosok laki-laki dominan yang biasanya melindungi
tokoh utama perempuan menandakan pergeseran peran gender
tradisional. Seperti yang terlihat pada gambar di atas, bidikan close-
up Rahayu menggambarkan dirinya apa adanya, tanpa make-up,
tatanan rambut yang bagus atau pakaian mewah yang memperkuat
karakternya sebagai wanita mandiri dan pekerja keras.

Dalam contoh lain, film ini menggambarkan isu-isu tabu seperti seks
dan visual yang vulgar tanpa membuatnya terlihat tidak senonoh atau
kasar. Pada adegan pembuka, Ratih dan Dina yang bekerja sebagai
petugas pintu tol, sedang berbicara satu sama lain melalui ponsel, dan
Rahayu mengeluh kepada Dini bahwa tetangganya memanggilnya
perek (kata gaul untuk pelacur) karena dia selalu pulang larut
malam. Menariknya, Rahayu tidak keberatan disebut perek jika dia
memang perek, padahal dia bukan. Pembicaraan kemudian beralih
ke bagaimana enaknya menjadi perek, bekerja hanya sekali di malam
hari dan mendapatkan banyak uang. Dialog kemudian bergeser
ke pembahasan ukuran penis. Dini mengatakan bahwa dia bisa
membedakannya dan mengklaim bahwa Rahayu tidak akan pernah
mengerti karena dia masih perawan. Seluruh dialog diucapkan
dengan santai seolah-olah topiknya tidak terlalu penting bagi
mereka. Dialog-dialog adegan pembuka ini secara tidak langsung
mencerminkan dinamika peran gender dalam masyarakat Indonesia
kontemporer ketika kedua perempuan secara terbuka membicarakan
seks di depan umum (kepada penonton) yang biasanya berada di
ranah laki-laki. Topik vulgar seperti itu belum pernah terdengar di film-
film horor populer Indonesia lainnya, atau setidaknya tidak dibicarakan
secara terbuka oleh para tokoh perempuannya.

/ 66
Contoh kedua terkait dengan visualisasi yang vulgar ketika Rahayu

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


sedang buang air kecil dengan santai dengan kamera yang
mengikutinya ke dalam kamar kecil. Adegan tersebut melambangkan
bagaimana Rahayu mengklaim tubuhnya sebagai miliknya ketika
sebagian tubuh Rahayu diekspos tetapi tidak dalam konteks seksual.
Dalam film horor populer arus utama Indonesia, kemunculan tubuh
perempuan, terlebih ketika dia membuka pakainnya, hampir selalu
bersifat seksual, namun adegan ini tidak mengandung unsur seksual
sama sekali, namun mengungkapkan petunjuk penting ketika Rahayu
secara tidak sengaja menemukan sebilah jimat di dalam paha
dalamnya (gambar 2). Dengan demikian, selain memberikan petunjuk
bagi penonton, adegan tersebut melambangkan upaya untuk
memisahkan tubuh perempuan dengan seksualitas, khususnya dalam
film horor populer.

Gambar 2: Rahayu mengeluarkan jimat dari paha dalamnya

Namun, ketika Rahayu tiba di desa tempat asalnya, ia menemukan


peran perempuan yang paling konservatif sebagai istri dan pengasuh
anak. Semua perempuan di desa digambarkan tunduk, pasif dan
terikat pada peran tradisionalnya, kecuali Ratih, seorang janda muda,
dan Nyi Misni, sosok matriarkal. Rahayu harus menghadapi sosok
kepala desa, Ki Saptadi, seorang dalang terkenal setempat. Meskpun
Ki Saptadi terlihat sebagai sosok dominan, namun ibunya, Nyi Misni,
seorang praktisi ilmu hitam adalah sosok yang mengatur segalanya.
Nyi Misni menyembunyikan fakta bahwa Rahayu adalah putri kandung

/ 67
putranya. Belakangan terungkap bahwa Ki Saptadi berselingkuh
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

dengan ibunda Rahayu.

Desa Harjosari menyimpan misteri menyeramkan yang melibatkan


orang tua Rahayu. Misteri juga terkait dengan pertunjukan wayang,
yang merupakan acara penting dan spiritual bagi penduduk desa.
Adanya keyakinan takhayul dan orang-orang superstitious yang
tinggal di daerah pedesaan yang hampir terisolasi mencerminkan
latar konvensional sinema horor Orde Baru, ketika daerah
pedesaan dan orang-orangnya diasosiasikan dengan superstisi,
keterbelakangan— tidak berpendidikan dan tradisional—sedangkan
yang baik, terpelajar, dan logis ada di orang-orang yang tinggal di kota
besar. Ketika seorang yang datang dari kota seperti Rahayu datang ke
desa, bentrokan tidak dapat dihindari karena Rahayu diyakini sebagai
kunci kutukan di desa tersebut.

Dalam banyak film horor Indonesia, perjumpaan ini seringkali


mengalegorikan konflik antara yang modern/baru dan tradisional/
lama. Namun, kemiripannya dengan sinema horor Orde Baru berakhir
di situ, karena Impetigore masih memiliki alur cerita yang kontras
dengan alur cerita horor tradisional. Berbeda dengan tipikal film
horor kontemporer Indonesia ketika anak muda dari kota datang ke
pinggiran kota yang dianggap mistis dan kemudian mereka bertemu
dengan hal-hal gaib, Rahayu di Impetigore awalnya adalah bagian
dari orang-orang yang tinggal di desa, yang kemudian dibawa ke
kota ketika dia masih kecil dan kembali ke kampung halamannya
untuk mengklaim warisannya. Tanpa sepengetahuannya, penduduk
setempat ternyata mencarinya sebagai “anak perempuan yang
hilang”, dan mereka membutuhkan kulitnya untuk mengangkat
kutukan desatersebut.

Menjelang akhir cerita, Rahayu dibantu oleh Ratih berhasil


mengetahui apa yang terjadi di desa tersebut, juga dibantu
oleh roh tiga anak perempuan yang menjadi korban ilmu hitam.
Kolaborasi antara Rahayu sebagai perempuan muda urban, Ratih
sebagai penduduk desa yang sederhana, serta arwah dari tiga
anak perempuan menjadi poin menarik yang ditawarkan film ini.

/ 68
Mereka mewakili kaum terpinggirkan, dalam hal ini adalah tokoh

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


perempuan muda, yang harus menghadapi musuh yang jauh lebih
kuat. Rahayu adalah seorang yatim piatu yang berjuang untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kehidupan kota yang
kejam dan menjadi minoritas di desa. Ratih adalah seorang janda
muda yang mengetahui dari Rahayu bahwa suaminya telah dibunuh
di kota setelah mencoba membunuh Rahayu sementara ketiga
hantu tersebut menjadi korban ritual ilmu hitam oleh dalang laki-laki
yang sakti. Penggambaran arwah gentayangan dalam film ini tidak
lazim karena di hampir semua film horor Indonesia kontemporer,
arwah atau hantu yang gelisah menjadi antagonis utama yang harus
dikalahkan. Namun, ketiga roh anak perempuan tidak membahayakan
siapa pun; pada kenyataannya, mereka bahkan tampak tak berdaya.
Meski mereka adalah karakter minor, namun keberadaan mereka
dalam film sangatlah signifikan. Sutradara jelas memahami perlunya
kemunculan hantu dalam film horor karena “hantu tetap menjadi kunci
alam gaib dan terus memegang kuat imajinasi populer di masyarakat
dan layar TV di seluruh nusantara ” (Bubandt, 2017: 103). Selain itu,
“mereka terus memainkan peran penting dalam masa pascakolonial…
arwah orang mati tetap ada di mana-mana” (Bräunlein & Lauser,
2016: 1) di negara-negara Asia Tenggara. Ada rasa persaudaraan
yang kuat dalam kolaborasi yang berpusat pada Rahayu. Meski
Ratih tahu suaminya meninggal karena Rahayu, ia tetap bersedia
membantunya. Selanjutnya, meskipun para hantu mengetahui
bahwa Rahayu telah tumbuh menjadi wanita muda normal karena
kematian mereka, mereka membantu Rahayu dengan menyuruhnya
menyatukan tulang mereka yang terkubur dengan kulit mereka untuk
mengangkat kutukan tersebut. Kolaborasi ini menekankan ciri khas
Anwar dalam menggambarkan yang lemah, yang bukan siapa-siapa,
yang terpinggirkan sebagai pahlawan yang juga merupakan cara
untuk memberi mereka suara untuk menantang yang mapan dan kuat
dalam konteks ini, otoritas patriarkal/tradisional.

Adegan penting lain yang menandakan tantangan terhadap konflik


gender terjadi di akhir film. Setelah mengetahui realitas kutukan
tersebut, Ki Saptadi yang merasa bersalah menggorok lehernya
sendiri di depan ibunya, yang kemudian mengikuti aksinya. Tidak

/ 69
lazim bagi seorang tokoh patriarki mengakui kesalahannya dan
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

bertanggung jawab, apalagi bunuh diri. Dalam plot tradisional, sosok


patriarki biasanya adalah pemulih keteraturan, tetapi dalam kasus ini,
dia hanyalah korban dari ketidaktahuan dan kepercayaan takhayulnya.

Mistifikasi tubuh perempuan tidak berakhir dengan kematian Nyi


Misni karena dalam akhir film, Nyi Misni bangkit dari kematian dan
kembali ke desa sebagai monster pemakan bayi. Film diakhiri
dengan jeritan histeris panjang seorang wanita hamil yang tiba-
tiba kehilangan bayinya dan menyadari bahwa seorang wanita
tua menakutkan sedang memakan bayi di depannya. Salah satu
interpretasi untuk adegan ini adalah bahwa Anwar mungkin
mengisyaratkan film baru tentang monster ini, tetapi dari perspektif
konflik gender, adegan ini menegaskan kembali penaklukan
perempuan dengan menggambarkan mereka sebagai yang tidak
diinginkan atau monster yang sering muncul di banyak film Indonesia
lainnya. film horor. Penggambaran Nyi Misni sebagai perempuan tua
misterius yang mempraktikkan ilmu hitam mungkin mengingatkan
penonton akan konsep tradisional dukun. Dalam konteks ini, peran
Nyi Misni sebagai antagonis dan monster adalah contoh lain dari
mistifikasi tubuh perempuan.

Skinned Performance dari Mistifikasi Tubuh


Dalam Impetigore, kulit menjadi bagian penting yang tidak dimiliki
oleh desa terkutuk itu. Karena kutukan tersebut, setiap pasangan
setempat tidak dapat melahirkan bayi normal karena semuanya
lahir tanpa kulit dan langsung dibunuh. Dengan demikian, kulit di
sini melambangkan masa depan yang dapat melestarikan cara
hidup tradisional mereka. Kulit Rahayu diyakini sebagai masa depan
desa karena transformasi kulitnya menjadi wayang dipercaya akan
mengangkat kutukan.

Kulit dan transformasinya juga ditorehkan dengan narasi konflik


gender. Kulitnya harus merupakan kulit perempuan dan ketika diubah
menjadi wayang kulit, gerakannya dikendalikan oleh dalang laki-laki
dalam narasi pilihannya untuk dipertunjukkan sebagai tontonan.
Selain itu, film ini menampilkan perempuan-perempuan desa yang

/ 70
digambarkan seperti “mesin reproduksi” karena banyak dari mereka

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


yang digambarkan sedang hamil. Ketika mereka melahirkan bayi yang
tidak normal, tokoh laki-laki yang dominan akan membunuhnya. Para
perempuan itu tidak memiliki suara atau hak untuk membela bayi
mereka; mereka tunduk dan tidak berdaya melawan otoritas patriarki.

Akar permasalahan dari konflik gender di film adalah ketika seorang


tokoh laki-laki yang berkuasa memiliki nafsu birahi terhadap
perempuan yang bukan istrinya yang kemudian berujung pada
kutukan. Nafsu selalu datang dari melihat kulit, atau kecantikan luar,
seperti yang terlihat dari tindakan Ki Donowongso, ayah non-biologis
Rahayu, yang menghamili pembantunya, Nyi Misni. Kemudian, dia
melihat Nyai Shinta yang cantik dan juga bernafsu padanya dan
akhirnya menikahinya. Ki Saptadi, anak haram Ki Donowongo,
memiliki nafsu birahi pada Nyai Shinta dan perselingkuhan mereka
melahirkan Rahayu. Nafsu birahi sebatas kulit ini berakhir ketika Nyi
Misni mengutuk Rahayu yang terlahir tanpa kulit. Hal ini mendorong
Ki Donowongso untuk melakukan ritual setan dengan menguliti tiga
gadis kecil setempat dan mengubah kulit mereka menjadi wayang,
dan secara mistis, Rahayu secara bertahap ditutupi dengan kulit.
Penduduk desa yang mencurigai kecurangan Ki Donowongso lalu
membunuhnya, dan Rahayu diselamatkan oleh pembantu rumah
tangga yang membawanya ke kota. Dari situ, tujuan warga desa
setempat adalah membawa kembali penyebab kutukan tersebut,
Rahayu, ke desa untuk dikuliti. Narasi mengungkap “gender, pada
intinya, [adalah] hubungan kekuatan struktural yang bersandar pada
seperangkat perbedaan utama antara kategori orang, menghargai
beberapa atas yang lain” (Mazurana & Proctor, 2013: 2). “Nilai” dari
Rahayu di sini didasarkan pada kulitnya, dan nilai perempuan lain di
desa itu hanya sebatas mesin reproduksi sementara sosok laki-laki
menguasai segalanya.

Monstrositas badani di Impetigore tidak dieksploitasi secara terbuka,


karena hanya ada tiga adegan penting saat kulit dan yang tanpa kulit
terekspos. Yang pertama adalah saat Nyi Misni menjemur kulit Dini
di bawah sinar matahari, yang kedua yaitu saat Nyi Misni menipiskan
dan menghaluskan kulitnya untuk dijadikan wayang dan yang ketiga

/ 71
saat Rahayu dan Ratih bertemu dengan Tole, manusia tanpa kulit
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

yang tinggal sendiri di hutan. Pengulitan ketiga gadis cilik ini tidak
ditampilkan di layar tetapi penonton dapat melihat wayang sebagai
produk akhir yang terbuat dari kulit gadis-gadis tersebut.

Pengulitan perempuan diperlihatkan sebagai semacam pertunjukan


ritual ketika korban digantung terbalik dengan ember tepat di bawah
kepalanya untuk menampung darah saat tenggorokannya digorok
(lihat gambar 3). Adegan ini terjadi saat Dini yang dikira Rahayu
sedang mempersiapkan ritual. Kesalahan itu baru disadari warga
ketika Nyi Misni, sang pembuat wayang, mengatakan bahwa mereka
telah menggorok leher gadis yang salah karena kutukan itu tetap ada
bahkan setelah Ki Saptadi mementaskan wayang dengan wayang
baru yang terbuat dari kulit Dini. Pengambilan kamera seperti yang
terlihat pada gambar di bawah ini memberikan petunjuk tentang
kematian dini tokoh Dini ketika posisi pisau terlihat sejajar dengan
leher Dini sebelum kemudian tenggorokannya dipotong.

Gambar 3: Dini digantung terbalik untuk persiapan ritual

Gambaran di atas, yang muncul dua kali dengan Rahayu dalam


posisi yang sama di akhir cerita, juga menjadi referensi metaforis
tentang bagaimana kehidupan kedua perempuan ini jungkir balik
ketika mereka memutuskan untuk mengunjungi desa tersebut.
Posisi terbalik juga melambangkan konflik gender dan benturan
antara nilai tradisional lama dan nilai modern baru yang diwakili

/ 72
oleh kedua perempuan tersebut. Kedatangan dua perempuan

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


metropolitan, mandiri, dan nontradisional secara metaforis dipandang
sebagai ancaman bagi masyarakat patriarki desa yang dipimpin
oleh Ki Saptadi. Ketika penduduk desa mencari Rahayu, mereka
menyebutnya sebagai “gadis kota”, yang lebih menekankan dikotomi
kota/desa. Pada saat yang sama, penduduk setempat telah lama
menunggu kembalinya Rahayu sebagai “anak hilang” yang diyakini
sebagai penyebab kutukan tersebut. Kedua perempuan itu kemudian
dipandang sebagai mangsa, atau dengan kata lain, “perempuan
non-tradisional” harus dikorbankan demi kelangsungan tradisi. Fakta
bahwa Rahayu lahir di desa dan kemudian kembali ke sana secara
sukarela karena membutuhkan sesuatu darinya juga melambangkan
keterkaitan yang telah terjalin lama antara modern dan tradisional
yang sedikit banyak mencerminkan kondisi aktual masyarakat
Indonesia kontemporer ketika dikotomi modern/tradisional
tercampur.

Adegan setelah kematian mengerikan Dini diikuti dengan proses


pembuatan wayang. Pertama, kulitnya dijemur, terlihat saat Nyi Misni
menjemur kulit Dini yang masih segar di depan rumahnya (gambar 4).
Latar belakang Jawa yang kental terlihat jelas pada gambar dengan
rumah joglo (rumah tradisional Jawa) yang menjulang di belakang,
dan Nyi Misni sebagai sosok perempuan dominan ditempatkan
di tengah dalam shot tersebut untuk menekankan kekuatannya.
Pemilihan kulit payudara yang diekspos, selain memberikan
kemudahan identifikasi bagi penonton, juga untuk mempertegas
mistifikasi tubuh perempuan secara non-seksual; tampilan payudara
dengan cara ini tentu saja tidak mengarah pada seksualitas, namun
menimbulkan kengerian.

Gambar 4: Nyi Misni menggantung kulit Dini

/ 73
Adegan kedua adalah saat Nyi Misni menipiskan dan menghaluskan
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

kulit Dini yang sudah kering sebagai langkah selanjutnya


sebelum dijadikan wayang (lihat gambar 5). Lagi-lagi, Nyi Misni
menjadi titik sentral bidikan yang menekankan peran pentingnya
dalam keseluruhan peristiwa yang terjadi di desa tersebut. Dia
menghaluskan kulit untuk menghilangkan daging atau rambut yang
tersisa sebelum mengeringkannya lagi untuk kedua kalinya. Selain
memberikan informasi kepada khalayak umum tentang proses
pembuatan wayang, adegan tersebut ingin menggarisbawahi nilai
kulit dalam film ini.

Gambar 5: Nyi Misni menghaluskan kulit Dini

Kulit tersebut diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan wayang


yang indah (lihat gambar 6) yang akan terlihat hidup di atas panggung
begitu dalang memainkannya. ‘Pertunjukan kulit’ dalam tiga
tangkapan layar di atas yang menekankan proses pembuatan wayang
menandakan mistifikasi tubuh perempuan yang diperlakukan sebagai
objek mistis. Ini juga secara simbolis menunjuk pada konflik gender
ketika upaya yang kuat untuk menaklukkan dan mengontrol posisi
perempuan.

/ 74
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Gambar 6: Wayang sebagai produk akhir terbuat dari kulit Dini

Wayang Mistik
Impetigore memperkuat unsur superstisinya dengan memasukkan
pertunjukan tradisional Jawa yaitu pertunjukan wayang kulit, sebagai
aspek penting dari film. Wayang dikenal bersifat simbolis, mewakili
sifat orang-orang Jawa. Meskipun film tersebut tidak secara
eksplisit menyebutkan lokasi desa tersebut, namun kostum, nama,
pementasan wayang, dan dialek yang digunakan dalam film tersebut
semuanya menunjukkan bahwa lokasi tersebut adalah sebuah tempat
fiksi di Jawa Tengah. Berlatar belakang nilai-nilai tradisional Jawa,
film ini sangat mengingatkan penonton pada otoritas patriarki lama
rezim Orde Baru dengan kepercayaan kejawennya, yang secara halus
tercermin melalui kepercayaan penduduk desa. Kejawen merupakan
falsafah Jawa yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan
diwujudkan dalam simbol dan ritual (Prakoso & Wilianto, 2020: 165).
Tujuan hidup orang Jawa adalah menemukan dan menciptakan
keseimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos (Mulyani,
2015: 2-3). Kejawen tidak terlepas dari ilmu kebatinan, yang disebut
kebatinan kejawen yang mengandung falsafah hidup, seni, budaya,
tradisi, ritual, budi pekerti, dan kebajikan orang Jawa (Ulya, 2019:
2). Seorang praktisi kejawen tingkat tinggi perlu mencegah dirinya
menyalahgunakan keterampilan untuk melakukan ilmu hitam/
mistisisme, seperti yang digambarkan dalam film ini. Tokoh antagonis,
Nyi Misni, menggunakan ilmu hitam untuk membalas dendam pada
tuan laki-lakinya, Ki Donowongso, yang memperkosanya. Kutukan
menimpa putri tuannya yang lahir tanpa kulit. Belakangan diketahui

/ 75
bahwa putrinya adalah Rahayu, sang protagonis. Sebagai imbalannya,
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

sang guru melakukan ilmu hitamnya untuk menyembuhkan Rahayu


dengan menyembelih tiga gadis kecil setempat yang kulitnya diubah
menjadi wayang yang digunakan sang guru selama pertunjukan
wayang kulit di desa. Pertunjukan wayang dikenal sebagai media
untuk menarik kekuatan atau roh nenek moyang untuk menangkal
kejahatan atau nasib buruk atau, dalam hal ini, untuk mencegah roh
gentayangan dari membalas dendam atau menahan sihir tertentu.
Untuk melindungi Rahayu, dia menorehkan jimat yang diselipkan di
bawah kulit paha putrinya. Namun, kutukan masih tetap ada di desa
yang mengakibatkan semua bayi lahir tanpa kulit, dan penduduk desa
percaya bahwa satu-satunya cara untuk menghilangkan kutukan
tersebut adalah dengan menguliti Rahayu dan mengubah kulitnya
menjadi wayang. Dalam setiap ada kelahiran di desa tersebut, Ki
Saptadi selalu hadir untuk mengecek apakah bayi yang baru lahir
memiliki kulit atau tidak. Dia secara pribadi menenggelamkan bayi
tanpa kulit itu, yang diklaim sebagai tindakan belas kasihan.

Kulit menjadi motif utama film ini karena peristiwa yang terungkap
berkisar pada ketiadaan/keberadaan kulit. Halberstam berpendapat
bahwa “…kulit berfungsi sebagai bahan yang memisahkan bagian
dalam dari luar” (Dudenhoeffer, 2014: 3), bahwa ketika bagian dalam
menjadi bagian luar seperti bayi tanpa kulit, mereka berubah menjadi
uncanny atau monster; dengan demikian, menenggelamkan mereka
dianggap tindakan yang tepat. Kulit atau bagian luar menjadi aspek
yang sangat signifikan dalam cerita yang dapat mengembalikan
kenormalan dan keteraturan kembali. Itu menjelaskan mengapa
ayah Rahayu dan penduduk desa rela melakukan apa saja demi
kulit. Dalam masyarakat yang percaya takhayul dan sebagian besar
tidak berpendidikan, kelainan seperti bayi tanpa kulit tidak pernah
dilihat sebagai masalah medis tetapi mistik, sehingga memberi
tekanan lebih berat pada masyarakat. Di bawah otoritas patriarki, fisik
perempuan juga menjadi perhatian besar, mengingat keistimewaan
mereka, termasuk kulit, merupakan investasi untuk menjamin
kehidupan tradisional sebagai istri dan ibu. Seperti halnya wayang
yang ciri utamanya adalah kulit, begitu pula perempuan. Tanpa kulit,
wayang tidak akan berjiwa dan tidak lengkap. Tanpa kulit mulus dan

/ 76
cantik, wanita akan kesulitan mencari pasangan.

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Wayang secara tradisional terbuat dari kulit kerbau, berasal dari awal
abad ke-11. Keberadaan wayang yang terbuat dari kulit manusia tetap
menjadi mitos, meski ada yang percaya itu ada. Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa sebuah desa kecil bernama Kedakan di
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, konon memiliki satu wayang
kulit yang terbuat dari kulit manusia yang dianggap sebagai benda
keramat. Wayang itu diwariskan dari satu generasi dalang ke generasi
berikutnya, dan hanya dipentaskan pada acara-acara khusus seperti
bulan Syawal atau Safar Jawa (Dananjaya, 2020). Namun, tidak ada
yang tahu mengapa dan bagaimana kulit seseorang berakhir menjadi
wayang. Fakta bahwa wayang buatan manusia bukanlah mitos
membawa aura realistik pada film ini yang mengangkat horornya.

Dalam film, wayang dari kulit manusia yang baru harus digunakan
dalam pertunjukan ritual agar kekuatan mistiknya berlaku, karena
itu Ki Donowongso melakukan pertunjukan wayang mistik setelah
dia selesai membuat wayang dari kulit perempuan. Narasi yang
dipilih adalah Banjaran Jarasanda. Narasi wayang ini bercerita
tentang seorang raja dengan istri kembarnya. Setelah bertahun-
tahun tidak memiliki anak, kedua istri tersebut akhirnya hamil,
namun masing-masing hanya mengandung setengah dari bayinya
(Salim et al., 2020: 45). Narasi tersebut seakan-akan merefleksikan
kehidupan Ki Donowongso sendiri saat dia tidak memiliki anak
setelah bertahun-tahun menikah. Ketika istrinya akhirnya hamil, dia
melahirkan seorang bayi tanpa kulit. Namun setelah pertunjukan, kulit
Rahayu berangsur-angsur tumbuh dan menjadi gadis normal yang
menandakan keberhasilan ritual tersebut. Penggambaran seorang
dalang laki-laki yang dihormati namun mandul sangat menunjukkan
tantangan terhadap otoritas patriarki yang dalam hal ini tidak mampu
memberikan keturunan.

Dengan demikian, kehadiran wayang kulit manusia merupakan


bukti kuat adanya aspek supranatural meskipun wayang itu sendiri
tidak menunjukkan kekuatan yang nyata dalam film tersebut. Yang
menarik adalah penggunaan kulit gadis cilik untuk membentuk

/ 77
wayang. Secara alami, perempuan muda memiliki kulit yang lebih
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

halus meskipun tidak ada aturan tentang jenis kulit manusia yang
digunakan untuk wayang. Ayah Rahayu melakukan ilmu hitam untuk
“memindahkan” kulit gadis kecil itu ke Rahayu. Kulit sebagai “bagian
luar” dipisahkan dari tubuh untuk ditransformasikan menjadi objek
yang membuat kulit menjadi “bagian dalam” sekaligus “bagian
dalam”dari wayang.

Dalang adalah pekerjaan yang didominasi laki-laki dan sangat


dihormati. Memang ada beberapa dalang perempuan, namun
kemampuan mereka diragukan karena sikap skeptis masyarakat
terhadap mereka. Cara dalang mengontrol wayang dan pemilihan
narasi adalah metafora langsung bagaimana patriarki mengontrol
“panggung” dan memperlakukan perempuan sebagai bawahan.
Memang, “Budaya Jawa jika disandingkan dengan budaya lain
memiliki rekam jejak kelam dalam memposisikan perempuan. Seperti
yang terjadi di sebagian besar budaya, perempuan diposisikan
sebagai kelas dua di bawah laki-laki” (Ardiani, 2018: 1). Subordinasi
ini juga terlihat dalam narasi wayang ketika tokoh laki-laki selalu
digambarkan lebih kuat dari tokoh perempuan. Dengan demikian,
seluruh jagat pementasan wayang dan desa Hardjosri berkisar
pada melanggengkan status quo dan merendahkan perempuan
sebagai kaum terpinggirkan. Namun, film ini berhasil menantang
dominasi tersebut melalui beberapa peristiwa seputar pertunjukan
wayang. Pertama, pilihan narasi wayang yang disebut Banjaran
Jarasanda menyoroti raja yang tidak berdaya yang tidak dapat
memiliki keturunan yang normal. Kondisi ini juga tercermin dari Ki
Donowongso yang mandul, yang kemudian dibunuh oleh Ki Saptadi.
Ki Saptadi sendiri, sebagai dalang yang disegani, menggorok
lehernya sendiri ketika mengetahui kebenaran. Dengan demikian,
kematian semua otoritas laki-laki dapat secara metaforis ditafsirkan
sebagai tantangan terhadap dominasi patriarkal yang terus-menerus.

Kesimpulan
Mistifikasi tubuh (kulit) perempuan menjadi premis film yang melihat
tubuh atau bagiannya sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang
mistis/spiritual. Mistifikasi tubuh diperkuat melalui bagaimana kulit

/ 78
perempuan ditransformasikan menjadi karakter wayang yang spiritual

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


dan mistis. Kulit, melalui adegan mengerikan, merepresentasikan
mistik permukaan dan, saat kulit diubah menjadi wayang dan esensi
manusia menjadi skin deep atau hanya sedalam kulit. Dengan kata
lain, esensi karakter perempuan terbatas pada kecantikan (kulit) dan
aspek reproduksinya.

Wacana gendered monstrosity dalam film ini sangat dalam dan


paradoks ketika kulit perempuan yang dipinjam itu dimistifikasi dan
dikutuk, namun sekaligus diinginkan karena diyakini membawa
kenormalan dan daya pikat. Secara metaforis, pemanfaatan citra
tubuh mistik dalam Impetigore melalui transformasi kulit tubuh
perempuan juga menandakan sifat perempuan yang diinginkan/
mengancam dalam konteks relasi gender dalam masyarakat
patriarkal. Tubuh perempuan yang mengancam secara simbolis
“dinetralkan” ketika bagiannya diubah menjadi wayang dan kemudian
dikendalikan oleh dalang laki-laki.

Namun, film ini juga menantang konstruksi gender tradisional yang


muncul di banyak film horor Indonesia kontemporer. Penggambaran
Rahayu sebagai karakter non-tradisional menjadi simbol perlawanan
terhadap kekuatan patriarki dan masyarakat yang percaya takhayul
ketika ketangguhan dan akalnya mencegahnya untuk dirusak dan
diubah menjadi wayang. Rahayu juga mewujudkan kewanitaan yang
kuat melalui kolaborasi yang tidak biasa dengan seorang janda
setempat, Ratih dan tiga arwah gadis. Perempuan yang terpinggirkan
ini mematahkan kutukan dan otoritas kuat yang mengendalikan
kehidupan penduduk desa. Jika film horor tradisional biasanya
memperlakukan hantu sebagai ancaman, Impetigore menampilkan
mereka sebagai korban. Abnormalitas menjadi ancaman sampai
menghilangkan yang abnormal dianggap normal, bahkan dipandang
sebagai tindakan belas kasihan. Situasi ini merupakan alegori tentang
bagaimana kenormalan merupakan sebuah konstruksi sosial, bahwa
ketika ada sesuatu di luar konstruksi tersebut, ia akan disingkirkan
atau ditolak.

/ 79
Melalui mistifikasi tubuh perempuan dan pertunjukan wayang, film
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

ini berhasil meneguhkan sekaligus menantang konflik gender yang


terus berlangsung. Karakter Rahayu menjadi simbol perlawanan
terhadap wacana keganjilan gender sedangkan karakter Nyi Misni
mewujudkannya, mula-mula secara metaforis ketika dia masih
hidup dan kemudian secara harfiah ketika dia mati dan berubah
menjadi monster. Namun, pada saat yang sama, Nyi Misni juga
melambangkan kekuatan matriarki ketika ia secara licik berhasil
mengambil alih kekuasaan patriarki di desa tersebut melalui ilmu
hitam. Pertunjukan wayang melambangkan patriarki Jawa tradisional
yang sering menundukkan posisi perempuan. Yang menarik, peran
tokoh laki-laki dibuat tidak penting, seperti yang terlihat pada tokoh
Ki Saptadi, semua lakilaki penduduk setempat, dan Ki Donowongso.
Ki Satpadi, seorang dalang yang dihormati, dan penduduk desa
menjadi “boneka” bagi Nyi Misni yang lebih dominan. Ki Donowongso,
ayah non-biologis Rahayu yang juga seorang dalang terkenal
yang disegani, secara harfiah dibuat mandul ketika dia tidak bisa
menghamili istrinya. Selain itu, anaknya Rahayu yang terlahir tanpa
kulit membuatnya malu sebagai sosok yang dianggap sakti.

Tidak seperti kebanyakan narasi horor Indonesia kontemporer


tentang arwah gentayangan yang membalas dendam atas kematian
mereka, ketiga hantu gadis itu hanya ingin bersatu kembali dengan
kulit mereka dan membantu sang protagonis dalam prosesnya.
Di satu sisi, kehadiran mereka tidak menimbulkan rasa takut,
tetapi simpati. Tokoh Ratih, janda setempat, juga melambangkan
perlawanan terhadap dominasi laki-laki ketika dia memutuskan
untuk membantu Rahayu meskipun dia tahu risikonya jika ditemukan.
Tindakannya menunjukkan bahwa dia menantang otoritas atau norma
yang diyakini semua orang. Kesimpulannya, Impetigore bukanlah
film horor yang sederhana; namun film ini mengusung isu yang lebih
dalam, tidak setipis misitifikasi kulit perempuan yang digambarkan.

/ 80
Referensi

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Anwar, Joko, dir. The Forbidden Door, 2009; Jakarta: Lifelike Pictures, 2009,
Netflix.
A Copy of My Mind, 2015; Venice: CJ Entertainment, Lo-Fi Flicks,
Prodigihouse, 2015. Netflix. -. Satan’s Slave, 2017; Jakarta: Rapi Film, CJ
Entertainment, 2017, Netflix.
Impetigore. 2019; Jakarta: BASE Entertainment, Rapi Films, CJ Entertainment,
Ivanhoe Pictures, 2019, Prime Video Amazon.
Gundala, 2019: Indonesia: Screenplay Films, Bumilangit Studios, Legacy
Pictures, Ideosource Entertainment, 2019. Netflix.
Ardiani, Seli Muna. “Dalang Perempuan dalam Arus Islamisasi: Studi
terhadap Dalang Perempuan Wayang Purwa di Tulungagung”. Bachelor
Thesis, IAIN Tulungagung, 2018.
Awaludin and Shahab, Ali. Dir. Beranak dalam Kubur. 1971; Jakarata: Produksi
Film Negara, 1972, DVD.
Bagwell, Daniel Steven. “Filmic Bodies as Terministic (Silver) Screens:
Embodied Social Anxieties in Videodrome”. Master’s Thesis, Wake Forest
University, 2014.
Barker, Thomas. Indonesian Cinema after the New Order: Going Mainstream.
Hong Kong: HKU Press, 2019.
Bräunlein, Peter, J. “Introduction: ‘Cinema Spiritualism’ in Southeast Asia
and Beyond: Encounter with Ghosts in the 21st Century.” In Ghost Movies in
Southeast Asia and Beyond: Narratives, Cultural Contexts, Audiences, edited
by Peter J. Bräunlein and Andrea Lauser, 1-39. Leiden: Brill, 2016.
Bubandt, Nils. “Spirits as Technology: Tech-gnosis and the Ambivalent
Politics of the Invisible in Indonesia.” Contemporary Islam: Dynamics of
Muslim Life 13 No. 1 (2017): 103-120.
Accessed February 25, 2021. https://link.springer.com/article/10.1007/s11562-
0170391-9 Chabot, Kevin. “Bodies without Borders: Body Horror as Political
Resistance in Classical Hollywood Cinema.” Master’s Thesis, Carleton
University, 2013.
Cruz, Ronald Allan Lopez. “Mutations and Metamorphoses: Body Horror is
Biological Horror.” Journal in Popular Film and Television, 40 (2012): 160-168.

/ 81
Accessed March 9, 2021. https://doi.org/10.1080/01956051.2012.654521
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Cuaca, Jevin. “Penggambaran Seksualitas Perempuan dalam Film


Perempuan Tanah Jahanam.” Bachelor Thesis, Widya Mandala Surabaya
Catholic University, 2021.
Dananjaya, Lutfi, “Mitos Wayang Kulit Manusia pada Film Perempuan Tanah
Jahanam,” Kelana Nusantara (blog), May 14, 2020, https://kelananusantara.
com/mitos-wayangkulit-manusia-pada-film-perempuan-tanah-jahanam/
Dediana, Arinda. “Analisis Semiotika Roland Barthes pada Representasi
Maskulinitas Perempuan dalam Film Perempuan Tanah Jahanam.” Bachelor
Thesis, Universitas Bakrie, 2020.
Dudenhoeffer, Larrie. Embodiment and Horror Cinema. New York: Palgrave
Macmillan, 2014.
Fredy, Mochammad and Haristiani, Nuria. “The Classification of Swear Words
in the Movie Perempuan Tanah Jahanam by Joko Anwar: A Sociolinguistic
Study.” Advances in Social Science, Education and Humanities Research,
509 (2020): 436-442. Accessed March 7, 2021. https://doi: 10.2991/
assehr.k.201215.069
Guttman, Hannah. The Evolution of Indonesian Horror Cinema: From
the New Order to Post-Reformasi Film and Television, Academia.
February 27, 2021.
https://www.academia.edu/25061542/The_evolution_of_Indonesian_
horror_cinema_F rom_the_New_Order_to_Post_Reformasi_Film_and_
Television_2016_
Hanan, David. Cultural Specificity in Indonesian Film: Diversity in Unity.
Gewerbestrasse: Palgrave MacMillan, 2017.
Mazurana, Dyan & Proctor, Keith. Gender, Conflict and Peace (World
Peace Foundation at the Fletcher School), 2013. https://sites.tufts.edu/wpf/
files/2017/04/Gender-Conflict-andPeace.pdf
Mulyani, Hesti. “Recollection Ajaran Mistik Islam-Kejawen dalam Teks Serat
Suluk Maknarasa.” Jurnal Ikadbudi, 4 (2015):1-13. Accessed March 12, 2021.
doi: https://doi.org/10.21831/ikadbudi.v4i10
Nadilah. “Daya Tarik Film Perempuan Tanah Jahanam terhadap Kepuasan
Penonton Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana

/ 82
Angkatan 2016.” Bachelor Thesis, Universitas Esa Unggul, 2020.

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Papadaki, Evangelia Lina. “Feminist Perspectives on Objectification.” In
Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2019. https://plato.stanford.edu/
entries/feminism-objectification/#:~:text=Objectification%20is%20a%20
notion%20central,occurring%20i n%20the%20sexual%20realm
Prakoso, Bintang Padu and Willianto, Herman. “Penerapan Konsep Kejawen
pada Rumah Tradisional Jawa.” Arteks: Juirnal Teknik Arsitektur, 5 (2020):
165-172. Accessed March 12, 2021. doi: 10.30822/arteks.v5i2.219
Prambors. “Film Joko Anwar, ‘Perempuan Tanah Jahanam,’ wakili Indonesia
di Oscar 2021.” Accessed March 7, 2021. https://www.pramborsfm.com/
entertainment/film-jokoanwar-perempuan-tanah-jahanam-wakili-indonesia-
di-oscar-202
Rapoport, Melanie. “Frankenstein’s Daughters: On the Rising Trend of
Women’s Body Horror in Contemporary Fiction.” Publishing Research
Quarterly, 36 (2020): 619-633. Accessed March 9, 2021. https://doi.
org/10.1007/s12109-020-09761-x
Revert, Jordi. The horror Body: Transgressing Beyond the Anatomy’s
Boundaries, Academia. 9 March 2021.
https://www.academia.edu/17130147/The_horror_bodytransgressing_
beyond_the_a natomy_s_boundaries
Rocha, Shaula Schneik. “Screning Disgust: The Emergence of Body Horror in
Modern Cinema.” Master’s Thesis, Texas State University, 2017.
Salim, Rizki Sulaiman, et.al. “Komodifikasi Kesenian Wayang Kulit dalam Film
Perempuan Tanah Jahanam Perspektif Marxian.” Intelektiva: Jurnal Ekonomi,
Sosial & Humaniora, 1 No. 12 (2020): 37-48. Accessed February 14, 2021.
https://jurnalintelektiva.com/index.php/jurnal/article/download/195/137
Soetarno. “Makna Pertunjukan Wayang dan Fungsinya dalam Kehidupan
Masyarakat Pendukung Wayang.” Dewa Ruci: Jurnal Pengkajian dan
Penciptaan Seni, 7 No. 2 (2011): 300-332. Accessed January 29, 2021. https://
jurnal.isi-ska.ac.id/index.php/dewaruci/article/view/1019/1011
Tiwahyupriadi, Diki & Ayuningtyas, Yulia. 2020. “Indonesian Horror Film:
Deconstruction of Repetitive Elements in Indonesian Urban Legend for
Cultural Revitalization, Creativity, and Critical Thinking.” Paper presented at

/ 83
International Conference on Art, Design, Education, and Cultural Studies,
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Malang, East Java, Indonesia, October 11-12, 2019.


https://doi.org/10.18502/kss.v4i12.7589
Ulya, Munrosyidatul. “Mistik Kejawen dalam Novel Chandikala Kapuranta
Karya Sugiarta Sriwibawa.” Bachelor Thesis, Universitas Negeri Semarang,
2019.
Wercholewski, Serena. “Skinned: From Surgical Horror to Body Horror.”
Offscreen, 23 No. 45 (2019). Accessed January 4, 2021. https://offscreen.
com/view/skinned
“What is Kejawen.” Indoindians, January 17, 2019, https://www.indoindians.
com/what-iskejawen/World Peace Foundation. 2013. Gender, Conflict, and
Peace. Somerville, Massachusetts: World Peace Foundation at The Fletcher
School.
Wood, R. Hollywood from Vietnam to Reagan…and Beyond. New York:
Columbia University Press: 2003.
Wulandari, Aisyah Indri & Islam, Muh. Ariffudin. “Representasi Makna Visual
pada Poster Film Horor Perempuan Tanah Jahanam.” Barik: Jurnal S1 Desain
Komunikasi Visual 1 No.1 (2020): Accessed March 7, 2021.
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/JDKV/article/view/35620

/ 84
/ 85
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Melihat Jenderal dari Bawah:
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Analisis Struktur Naratif dan Sinematografi Film


Autobiography
Nurul Mizan Asyuni

Dalam perfilman Indonesia, khususnya film panjang yang hadir di


industri “arus utama”, tokoh jenderal sudah sering dimunculkan.
Ada yang menempatkan jenderal sebagai tokoh utama, ada pula
yang hanya sekadar sebagai tokoh pendukung. Janur Kuning (1980)
(Soeharto) dan Jenderal Soedirman (2015) (Soedirman) adalah dua
di antara banyak film yang menempatkan jenderal sebagai tokoh
utamanya. Di sisi lain, Habibie dan Ainun (2012) adalah salah satu
contoh yang menempatkan jenderal (Wiranto dan Sutrisno dalam
film) sebagai tokoh pendukung.

Dari sejumlah film jenderal – termasuk yang tidak disebutkan di atas


– umumnya ada yang biopik, ada pula yang fiksi. Ada yang bergenre
perang, ada yang drama, ada yang menggabungkan keduanya, dan
ada yang dikemas dalam bentuk dokumenter. Namun, semuanya
memiliki latar waktu yang nyaris serupa: Kemerdekaan dan Orde
Baru. Ada yang dibuat sesuai dengan masanya, ada yang dibuat
jauh setelah masanya. Dalam film-film yang bertokoh jenderal ini,
kita hanya bisa menarik sedikit kesimpulan tentang penokohan
jenderal yang ditampilkan. Jenderal sebagai prajurit yang berani
dan penyayang seperti Soeharto dalam Janur Kuning, atau kuat
dan tabah seperti Jenderal Soedirman dalam Jenderal Soedirman.
Autobiography (2023 1 karya Makbul Mubarak hadir menambah daftar
film yang mengadopsi tokoh jenderal. Berbeda dengan pola di atas,
film ini justru membawa kebaruan penokohan dan premis cerita.

1
“[T]he search for implicit meanings should not leave behind the particular and
concrete features of a film. This is not to say that we should not interpret films. But we
should strive to make our interpretations precise by seeing how each film’s thematic

/ 86
Autobiography menghadirkan Purna sebagai mantan jenderal

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


yang penuh dengan kompleksitas. Di film ini, sosok jenderal justru
dilihat dari sudut pandang Rakib (pembantunya) dan tokoh-tokoh
pendukung. Mengambil latar tempat Bojonegoro dan waktu pada
tahun 2017, film ini merefleksikan sebuah dampak kekerasan dan
kekuasaan di masa lalu. Seperti yang dikemukakan kritikus film Budi
Irawanto, bahwa Autobiography adalah interpretasi segar tentang
sejarah yang penuh dengan kekuasaan yang didirikan melalui
tindakan kekerasan di Indonesia. 2 Bahkan, Makbul Mubarak justru
tergolong halus untuk memperlihatkan dampak-dampaknya. Melalui
sinematografi yang didukung dengan narasi sederhana, Makbul
berpuisi dalam mise-en-scene yang ditampilkan.

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang wacana yang dihadirkan


dalam Autobiography, kita perlu melihat bagaimana struktur naratif
yang dibangun dan bagaimana elemen sinematografi mendukung
narasi tersebut. Karenanya, untuk melacak wacana, sebaiknya kita
tidak hanya melihat berdasarkan interpretasi sepihak; wacana tidak
hadir secara serampangan.

Dalam Film Art: An Introduction, David Bordwell dan Kristin Thompson


menjelaskan ketika kita menginterpretasi film, elemen sinematografi
dan struktur naratif tidak boleh kita abaikan.3

Karena itu, tulisan ini dimulai dengan mencoba melihat bagaimana


kedua elemen yang spesifik dan konkret itu bekerja dan saling terkait
satu sama lain membentuk wacana. Mari kita mulai.

Berkenalan

Autobiography dimulai dengan menampilkan Rakib yang terpaksa


menggantikan Amir, ayahnya, menjadi pembantu yang juga
menyambi sopir untuk Purna. Aktivitas Rakib seperti pembantu pada

2
“[F]ilm ini [Autobiography] merupakan tafsir generasi baru atas riwayat panjang
kekuasaan yang dibangun lewat kekerasan di negeri ini [Indonesia].” (Irawanto, 2023)
3
Film ini saya tonton di CGV. Untuk kebutuhan analisis, saya mengunduh torrent-nya.

/ 87
umumnya. Rakib juga harus mengantar Purna setiap saat ke lokasi
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

kampanye dan ke tempat-tempat lain yang ingin Purna kunjungi.


Karena itu, kita akan melihat bagaimana interaksi kedua tokoh itu
yang akhirnya membangun kedekatan emosional yang kompleks.
Dari majikan-pembantu perlahan-lahan bertransformasi menjadi
hubungan ayah-anak, dan akhirnya diakhiri oleh kematian Purna di
tangan Rakib (korban-pembunuh).

Menonton film ini sama dengan berkenalan dengan Rakib dan Purna.
Namun, cara kita berkenalan dengan Rakib berbeda dengan cara kita
mengenal Purna. Kita akan dengan mudah mengetahui latar belakang
Rakib ketimbang Purna. Di sinilah Makbul Mubarak memainkan
pengelolaan informasi tentang kedua tokoh sentralnya.

Kita akan mengenal Rakib melalui pertanyaan Purna: “Anaknya


Amir?”, “Bungsu?”, “Kakakmu pernah pulang?”. Secara langsung
akan dijawab “Iya, Pak” atau “Belum” oleh Rakib. Purna juga bercerita
sedikit tentang Rakib: “Pertama kali saya ketemu kamu, kamu masih
kecil.” Di sisi lain, perkenalan dengan Purna dilakukan secara visual
dan bertahap. Pada menit 04.23, kita akan diperlihatkan Purna yang
memandang sebuah foto di dinding kamarnya. Perlahan-lahan, ketika
Rakib membuka gorden kamar, kita akan melihat dengan jelas bahwa
foto itu adalah foto muda Purna memakai seragam TNI. Memasuki
menit 12.11, barulah kita tahu bahwa mantan jenderal yang tidak suka
dengan kopi ini bernama Purnawinata. Pada menit 25.15, setelah Amir
mengetahui kedatangan Purna, ia berbisik, “Kib, jangan gampang
percaya.”

Dari sini kita bisa melihat pola penginformasian sebagai strategi


naratif Makbul. Rakib diperkenalkan secara eksplisit. Sebaliknya,
Purna justru diperkenalkan dengan cara yang implisit, simbolik, dan
bahkan bertahap. Kita bisa menarik beberapa kesimpulan awal.
Pertama, Makbul mencoba membangun kedekatan penonton kepada
Rakib dengan memperlihatkan kondisi sekeliling Rakib termasuk
interaksinya dengan Purna. Kedua, dengan informasi-informasi
yang implisit tentang Purna, Makbul menciptakan jarak dengan
penontonnya. Ketiga, dari keduanya kita dapat mengasumsikan

/ 88
bahwa sudut pandang dominan di sini adalah Rakib ketimbang Purna.

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Untuk memeriksa itu, kita perlu melihat aspek sinematografinya.

Gelap-hening

Pertama-tama, kita menyaksikan bagaimana interaksi dua karakter


ini ditonjolkan dalam suasana hening dan gelap. Hening, sebab film
ini tidak banyak menampilkan percakapan. Ada 19 adegan dari 79
adegan yang saya catat tidak menghadirkan percakapan.4 Enam pulu
adegan lainnya

meanings are suggested by the film’s total system. In a film, both explicit and implicit
meanings depend closely on the relations between narrative and style.” (Brodwell dan
Thompson, 2008: 62)

menghadirkan percakapan yang tidak berlangsung lama. Di luar dari


percakapan, kita hanya mendengar suara latar (non-diegetic) dalam
7 adegan. Suara ini mewakili perasaan Rakib dan Purna. Namun,
perasaan Rakiblah yang paling sering direpresentasikan. Kita hanya
mendengar suara non-diegetik Purna pada adegan 17 (vandalisme)
ketika Purna marah lantaran spanduk kampanyenya dirusak.
Berbeda dengan Purna, suara non-diegetik yang dihadirkan untuk
Rakib justru pada momen ketakutan dan ketegangan yang ia
rasakan. Pada adegan 18 (Rakib menemukan botol bir), 32 (“Kamu
tunggu di luar, Kib!” kata Purna), 33 (Rakib menunggu di teras), 34
(Rakib memeriksa gudang dan Agus sudah terkapar), dan 35 (Rakib
mengangkat Agus ke mobil) adalah adegan yang diiringi suara non-

4
Berdasarkan pencatatan saya, berikut ini merupakan 79 adegan (scene) dalam
Autobiography: (1) Kedatangan Purna | (2)
“Siapa bilang saya minum kopi?” | (3) Purna dalam bingkai emas | (4) Memasang
genset | (5) Pemasangan spanduk | (6)
“Bagus,” kata Purna | (7) Agus dan surat ibunya | (8) Rakib dan Purna makan di lantai II
Aula | (9) Rakib menabrak pagar masjid
| (10) “Kata maaf bisa menjadi hadiah,” kata Purna | (11) “Jangan gampang percaya,”
kata Amir | (12) “Anakmu baik banget

/ 89
diegetik untuk mewakili ketakutan Rakib. Perasaan takut Rakib dari
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

rentetan adegan ini mencerminkan ketakutannya pada Purna (adegan


18, Rakib menemukan botol bir pecah) dan perasaan bersalah
terhadap Agus yang dipukuli oleh Purna. Sedangkan pada adegan
67 (Rakib mempersiapkan senjata) menonjolkan ketegangan yang
dirasakannya. Ketegangan ini sejalan dengan aksi Rakib menembak
Purna.

Selain keheningan, film ini juga membangun ketegangan melalui


pencahayaannya. Menariknya, pencahayaan di rumah Purna dan
di lokasi lainnya berbeda. Di dalam rumah Purna, pencahyaan
minim walaupun di siang hari. Dinding yang dicat keabu-abuan
mempertegas suasana gelap di rumah Purna. Di luar rumah Purna,
terik matahari justru membuat mise-en-scene-nya terang yang
memberikan perbedaan yang signifikan dengan pencahayaan di
dalam rumah Purna. Begitu juga di dalam rumah Agus, pencahayaan
cukup terang walaupun di dalam rumah. Pencahayaan yang kontras
ini terlihat jelas ketika kita melihat tiap adegan siang hari di dalam
mobil Purna. Mise-en-scene dalam mobil menunjukkan kontras
pencahayaan antara interior yang gelap dengan pemandangan luar
yang terang.

sama aku,” kata Purna | (13) Rakib diberikan seragam sersan | (14) Rakib dan Purna
bermain catur | (15) Rakib belajar menembak | (16) Rakib dan Purna menembak
Burung | (17) Vandalisme | (18) Rakib menemukan botol bir pecah | (19) “Keluarkan!!!”
kata Purna | (20) “Mana berani kamu dulu ngomong seperti ini sama saya?”
kata Purna | (21) Rakib menutup pagar dan berpikir | (22) “Bapak mau tahu siapa
pelakunya?” kata Rakib | (23) “Bantu aku yah!” kata Rakib | (24) Rakib dan Purna
memakan mie instan | (25) Minghisap ganja | (26) “Namanya Agus, dia sekolah di SMA
Gondang,” kata teman Rakib |
(27) “Sersan, itu yang pakai topi merah,” kata penjual | (28) Rakib mengikuti Agus | (29)
“Ini kamu yang bikin?” kata Rakib | (30)
Batu | (31) “Kita ngobrol di gudang,” kata Purna | (32) “Kamu tunggu diluar, Kib!” kata
Purna | (33) Rakib menunggu di teras |
(34) Rakib memeriksa gudang dan Agus sudah terkapar | (35) Rakib mengangkat
Agus ke mobil | (36) Perjalanan membawa Agus ke rumah sakit | (37) Rakib
menunggu, “Kamu keluarganya?” tanya suster | (38) Rakib masuk ke rumah | (39)

/ 90
Rakib yang tidak bisa tidur | (40) Rakib dan Purna membersihkan darah Agus |

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


(41) Purna berolahraga dan Rakib membersihkan rumah | (42) Rakib makan | (43)
Innalillahi wa Innailahi Rojiun. Kematian Agus | (44) Rakib dan Purna menuju tauziah
| (45) Rakib dan Purna di rumah Agus | (46) Purna melaksanakan salat jenazah dan
tauziyah | (47) “Tenang, nak!” kata Purna | (48) Rakib berangkat menuju ke kuburan
Agus | (49) Rakib dalam perjalanan menuju kuburan Agus | (50) Rakib memandang
kuburan Agus | (51) Rakib dalam perjalanan pulang | (52) Video Call | (53) “Lusa malam
jam 11, kamu ke terminal” | (54) Rakib mengemas pakaian | (55) “Kamu orang baik,
bukan?” kata pak tentara | (56) “Gak gini caranya, jangan cuman mikirin diri sendiri!”
| (57) Rakib dan tentara rebutan tas | (58) “Siap! Laksanakan!” | (59) “Kib?” Purna
mengintip ke kamar Rakib | (60) Rakib yang duduk sendiri | (61) Purna yang sendiri
di balkon | (62) Purna memandikan Rakib | (63) “Yang penting sehat,” kata Amir | (64)
Rakib menangis, lalu tersenyum | (65) Rakib duduk sendiri di kamarnya | (66) Purna
latihan pidato | (67) Rakib mempersiapkan senjata | (68) Rakib dan Purna berkaraoke |
(69) Rakib dan Purna dalam perjalanan pulang | (70) Vandalisme II | (71) Purna mencari
pelaku | (72) “Tembak dari depan,” kata Purna | (73) Rakib berjalan pulang sendiri |
(74) Rakib yang duduk lemas di balik meja catur | (75) “Bawa masuk ke dalam,” kata
polisi | (76) “Mereka bilang mereka pemburu,” kata polisi | (77) “Saya ingin minum
kopi”, perintah Rakib | (78) “Sudah siap,” kata polisi | (79) “Hormaaatt, gerak!” teriak
pemimpin upacara.

Film ini cukup sering menggunakan teknik medium-shot ketimbang


close-up, wide-shot, dan long shot. Namun, baik itu wide-shot,
medium shot, close up, dan long shot, ditujukan untuk mempertegas
dominasi Purna dan beban psikologis tokoh lainnya, khususnya Rakib.
Pada menit 13.24, wide shot dari punggung Purna memperlihatkan
masyarakat yang duduk selagi Purna berpidato di atas panggung.
Pada menit 40.14, medium-shot dari sisi kiri Purna memperlihatkan
aparatus kepolisian– yang adalah “anak buah” Purna – bersandar
di kursi dan menunduk ketika Purna berbicara dengan gestur
membusungkan badan. Pada 1.02.51, close-up menyorot dari
pergelangan tangan dan bergerak perlahan menuju wajah Rakib. Kita
bisa melihat tetesan keringat Rakib di sini. Adegan ini terjadi setelah
Rakib mengantar Agus ke rumah sakit lantaran dipukuli Purna.

Sampai di sini, kita bisa melihat bagaimana strategi visual dan auditif
membangun ketegangan dalam film ini. Selain itu, kita tahu ada

/ 91
ketakutan yang dirasakan Rakib dan masyarakat terhadap sosok
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Purna. Namun, karena konsistensinya menggunakan alur linear dalam


film ini, kita tidak pernah tahu penyebab ketakutan itu. Dari minimnya
percakapan yang ditampilkan, kita tidak mendapatkan petunjuk
secara gamblang tentang masa lalu Purna. Bahkan ketika Amir
mengatakan “jangan gampang percaya”, kita tidak mendapatkan
informasi yang lengkap tentang itu. Mengapa Rakib harus skeptis
terhadap Purna, tidak dijelaskan oleh Amir. Apa yang terjadi di masa
lalu Amir sampai dia harus mengatakan itu, juga tidak diceritakan.
Selain itu, kita menemukan kejanggalan yang lain tentang
Purna. Melalui alur yang linear, konteks percakapan lebih banyak
menggambarkan keadaan “sekarang” daripada “dulu”. Secara
konsisten, kita hanya mendengar kata “dulu” dan “akan” dari
percakapan Purna. “Dulu” dilekatkan pada pernyataan Purna
tentang masa lalu Rakib (04.03) dan kepala kepolisian yang dibantu
oleh Purna: “Mana berani dulu kamu bilang begitu sama saya.”
(40.08). “Akan” dilekatkan pada kondisi desa yang menjadi maju jika
infrastrukturnya baik, “Infrastruktur yang baik akan membuat desa ini,
daerah ini, akan maju.” (16.47).

Berdasarkan kejanggalan ini, Purna lebih mengetahui tentang kondisi


tokoh-tokoh yang lain. Konteks “akan” yang dikatakan Purna, kita bisa
lihat bahwa itu hanya strategi kampanye Purna untuk membuat PLTA
diterima oleh masyarakat. Kita bisa abaikan itu sejenak, sedangkan
konteks “dulu” perlu kita pikirkan baik-baik. Sebab yang tampak di sini,
Purna ditempatkan sebagai karakter yang lebih tahu dari Rakib dan
masyarakat. Selain “dulu”, point of view juga diolah oleh Makbul untuk
memperlihatkan kepada penonton betapa Purna serba tahu.

Dari penjelasan di muka, Rakib adalah sorotan utama film ini.


Beberapa kali kita akan diperlihatkan sudut pandang Rakib melalui
eye-line-match, misalnya pada menit 3.40 saat pandangannya
mengarah ke Purna, dan over the shoulder shot, misalnya pada menit
(1.58) yang menampilkan tontonan Rakib. Namun, ketika memasuki
menit 37.41, ketika Rakib menemukan sobekan spanduk Purna di
dalam botol sebagai petunjuk untuk menemukan pelaku perusaknya,
ia justru disorot sembari memasukkan sobekan itu ke dalam

/ 92
kantongnya. Pada menit 38.03, Purna malah menyuruh Rakib untuk

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


mengeluarkan isi kantongnya. Di sini kita sukar menebak mengapa
Purna bisa tahu isi kantong Rakib. Kita bisa simpulkan bahwa sorotan
pada Rakib adalah point of view Purna.
Pola yang sama juga terjadi pada menit 1.19.03, ketika Rakib
mengemas barangnya untuk melarikan diri. Kendati pandangan
kamera terhalang oleh kipas dan benda lainnya di sekitarnya, Rakib
terlihat memasukkan barangnya satu demi satu ke dalam tas.
Sayangnya, rencana pelarian Rakib diketahui oleh Purna. Sekali lagi,
entah mengapa bisa diketahui. Dan lagi-lagi, kita bisa simpulkan
bahwa pandangan kamera yang terhalang tersebut adalah point of
view Purna.

Pola tersebut tidak berlaku pada Purna, walaupun point of view yang
dominan adalah Rakib. Pada menit 34.01, Rakib dan Purna memegang
senapan. Purna mengarahkan bidikan Rakib ke arah sasarannya. Lalu,
bersama-sama, mereka menarik pelatuknya. Adegan penembakan
tidak disorot hingga selesai. Ketika mereka mengambil ancang-
ancang untuk menembak, cutaway mengambil alih. Kita disuguhkan
tiga mayat burung tergeletak di bangku belakang mobil. Burung itu
diberi alas kain putih yang sudah berbercak darah.

Pada menit 56.55, Purna dan Agus “berbicara” di gudang. Rakib tidak
diperbolehkan untuk ikut masuk. Tidak ada cutaway di sini. Namun,
yang disorot adalah Rakib yang sedang menunggu di teras. Kita tidak
diperlihatkan apa yang terjadi di “ruang penghakiman” itu. Beberapa
detik setelahnya, Purna keluar dan meminjam cas HP Rakib. Dengan
segera Rakib mengintip ke dalam gudang. Hal yang pertama Rakib
lihat adalah tetesan darah Agus.

Berbeda dengan kedua adegan tersebut, pada 1.38.24 kita dapat


melihat kaki Purna tertembak. Beberapa menit setelah itu, kita melihat
dengan jelas bagaimana Rakib menembak Purna tepat di dadanya.
Over the sholder shot memperlihatkan Purna yang telah bergelimang
darah.

/ 93
Seperti inilah pengelolaan informasi yang dimainkan oleh Makbul.
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Deretan pola yang dikelola oleh Makbul membimbing kita pada satu
pembahasan penting lainnya.

Panoptikon dan Kritik atas Kekuasaan

Dalam bukunya, Discipline and Punishment, Michael Foucault


mengkritik bagaimana cara kerja kekuasaan dan normalisasi pada
masyarakat bekerja. Proses penghukuman yang terjadi di Eropa di
masa lampau adalah objek kajiannya. Temuan Foucault tidak hanya
tentang prosesnya, tapi juga transformasinya. Dari semula tubuh
disiksa dan dibunuh di hadapan publik, berubah menjadi tubuh
dipenjarakan menjadi kurungan pribadi.5 Kurungan pribadi ini, kata
Foucault, adalah sebuah bentuk proses reformasi “jiwa”. Tubuh bukan
lagi menjadi objek penyiksaan, tapi soul sang tubuh. Karena itu, jiwa
disiksa untuk membangkitkan jiwa yang baru. Lebih jauh lagi Foucault
menjelaskan skema pembentukan sang jiwa.
In organizing “cells,” “places,” and “ranks,” the disciplines create complex spaces
that are at once architectural, functional and hierarchical. It is spaces that provide
fixed positions and permit circulation; they carve out individual segments and
establish operational links; they mark places and indicate values; they guarantee
the obedience of individuals, but also a better economy of time and gesture.
They are mixed spaces: real because they govern the disposition of buildings,
rooms, furniture,

but also ideal, because they are projected over this arrangement of
characterizations, assessments, hierarchies. (Foucault, 1995: 148)

Pengaturan ruang penjara yang kompleks ini menciptakan hierarkis-


arsitektural. Konsep “atasbawah”, “jinak-liar”, dan “baik-buruk”
kemudian diterapkan dalam bangunan-bangunan penjara. Pengawas
penjara ditempatkan di gedung tinggi tepat di tengah sel tahanan

5
“During the 150 or 200 years that Europe has been setting up its new penal systems,
the judges have gradually, by means of a process that goes back very far indeed,
taken to judging something other than crimes, namely, the “soul” of the criminal.”
(Foucault, 1995: 19)

/ 94
yang dibuat melingkar. Sebuah konsep panoptikon yang membuat

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


sang jiwa merasa diawasi. 6 Dari kerasnya hukuman di masa lampau
berubah menjadi pendisiplinan yang merupakan konsep hukuman
yang lunak.

Sejalan dengan itu, Foucault memperluas kategorisasi “penjara”


berpanoptik ini. Sebab penghukuman sang jiwa ini yang semula hanya
diterapkan di penjara malah menjurus ke mana-mana. Hierarkis-
arsitektural panoptik diterapkan di gedung-gedung pemerintahan,
di sekolah-sekolah, bahkan di rumah-rumah. Konsekuensinya,
masyarakat, kita, dan bahkan Rakib di desa imajiner Makbul adalah
sang jiwa yang didisiplinkan.

Rakib dilatih seperti seorang prajurit yang mengikuti resimen.


Didisiplinkan dengan cara diberi baju seragam sersan oleh Purna
dan diawasi secara ketat. Dan akhirnya, tidak diperbolehkan
untuk berhenti kerja bahkan untuk melarikan diri. Rumah Purna
dan mobil Purna yang divisualisasi dan ditata gelap oleh Makbul
merepresentasikan penjara yang kelam. Point of view Purna terhadap
Rakib ketika mengemas barang dan menyembunyikan sobekan
spanduk, tidak lain adalah sebuah sudut pandang panoptik yang
direpresentasikan oleh sudut pandang Purna.

Dengan menempatkan Purna sebagai karakter serba tahu dan


menempatkan penonton sebagai spektator yang penuh pertanyaan,
Makbul menyadarkan kita tentang sebuah praktik kekuasaan yang
hadir tidak hanya di penjara-penjara atau di Autobiography, tapi
juga di sekitar kita. Lebih jauh lagi tentang praktik kekuasaan, seperti
Focault, Makbul juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan tersebut
bisa langgeng di desa imajinernya dan juga di semesta kita.

6
“The exercise of discipline presupposes a mechanism that coerces by means of
observation”. (Foucault, 1995: 170)

/ 95
Pertautan
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Makbul secara konsisten berangkat dari hal-hal kecil. Untuk


menunjukkan kritiknya terhadap kekuasaan dan panoptik ini. Makbul
merangkai cerita yang tidak jauh dari sekeliling kita. Dengan Makbul
merepresentasikan pola kuasa atas tubuh dalam hubungan ayah dan
anak, Makbul menyadarkan kita tentang cara kerja kekuasaan melalui
kopi. Sekali lagi, Makbul mengandalkan pengelolaan informasi. “Kopi”
tidak muncul secara serampangan di film ini. Makbul mengelolanya
secara terstruktur. Mari kita rinci alurnya:

1. Purna dengan sarkasmenya, “Siapa bilang saya minum kopi?”


(05.39)
2. Agus membacakan surat ibunya yang berisi permohonan untuk
tidak menggusur kebun kopinya (15.00)
3. Rakib bermain catur bersama Purna (29.44)
4. Purna melatih Rakib menembak (31.41)
5. Purna dan Rakib menembak burung (34.01)
6. Titik balik Rakib: memutuskan untuk mencari pelaku perusak
spanduk Purna (41.41)
7. Rakib mulai bersikap intimidatif: Rakib menyuruh Agus
mengambil batu di kakinya lantaran menghalangi geraknya untuk
mengendarai mobil (53.55)
8. Agus dipukul oleh Purna (56.55)
9. Shalat jenazah untuk mendiang Agus (1.09.48)
10. Rakib memutuskan untuk menjadi imigran agar jauh dari Purna
yang akhirnya gagal (1.22.21)
11. Purna memandikan Rakib (1.25.13)
12. Rakib menyusun rencana untuk membunuh Purna (1.30.24)
13. Rakib menembak Purna (1.40.44)
14. Upacara pemakaman jenderal (1.44.39)
15. Rakib mengatakan “Saya mau kopi”
16. Penghormatan kepada Rakib (1.48.32)

Petunjuk kopi ini membimbing kita pada pertautan (parallelism)

/ 96
yang dihadirkan Makbul. 7 Sebuah hubungan yang teratur dalam

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


seni perfilman yang mempertegas kesamaan yang dapat terlacak
di struktur naratif dan sinematografinya. Seiring dengan pertautan
ini, Makbul juga menciptakan pembalikan plot (plot twist). Kopi-
upacara kematian lalu dibalik upacara kematian-kopi, sebuah
pembalikan yang mengisyaratkan tragedi. Pembalikan plot ini juga
diiringi dengan visualisasi. Di awal kedatangan Purna, long shot
menampilkan Rakib berlari ke arah Purna (2.45). Setelah Rakib
menembak Purna, long shot menampilkan Rakib dengan senapan
mendekat ke arah mise-en-scene (1.41.45).

Dari rentetan alur ini, kita tahu bahwa Rakib yang merasa diintimidasi,
diawasi, dan bahkan dipenjarakan mencoba untuk lepas dari jeratan
Purna. Kendati upaya melarikan dirinya digagalkan, Rakib akhirnya
memutuskan untuk membunuh Purna. Kematian Purna memberikan
kebebasan pada Rakib. Meskipun Rakib tampaknya justru terjerumus
untuk melanggengkan kekuasaan itu. Makbul menggunakan kisah
tragis ini dengan metode pertautan dan pembalikan plot agar kita
melihat betapa sulit untuk lepas dari jeratan kekuasaan. Bagi Makbul
dan seperti itulah adanya, kekuasaan bersifat terstruktur dan sirkulatif.
Terpaut dalam sistem ekonomipolitik dan akan diteruskan dari
generasi ke generasi.

Otobiografi

Banyak yang bingung tentang siapa sosok yang menjadi “oto” dalam
film biografi ini. Kebingungan itu tidak akan terjawab di tulisan ini. Kita
bisa mengidentifikasi alasan orang bertanya seperti itu. Rakib adalah
sorotan utama di film ini tapi kita menonton ini bukan untuk mengenal
Rakib, melainkan Purna. Sebab sepanjang film ini kita justru mencoba
mengenal Purna lebih jauh. Selain itu, kita tidak bisa mengakses isi
pikiran Purna, justru Rakiblah yang bisa kita akses. Namun, di sisi lain,
kita secara tidak sadar melihat mis-en-scene yang merupakan point

7
“Such similarities are called parallelism, the process whereby the film cues the
spectator to compare two or more distinct elements by highlighting some similarity.”
(Brodwell dan Thompson, 2008: 67)

/ 97
of view Purna. Terakhir, Autobiography sebagai judul memberi kesan
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

“oto” pada person yang hadir di semestanya. Lagi-lagi, pengelolaan


informasi Makbul membuat para penonton kebingungan.
Terlepas dari itu, Autobiography justru hadir bukan sebagai
otobiografi melainkan sebagai kritik atas film-film biopik, khususnya
di Indonesia. Sebagaimana kebanyakan film biopik acuh pada

fakta sejarah dan terjerumus untuk kepentingan sepihak.8 Selain itu,


menurut George F. Custen, narasi biopik justru membuat penonton
merasa bahwa dunia baik-baik saja berkat perubahan yang diciptakan
oleh seorang tokoh yang kuat. 9 Ini dikondisikan oleh film biografi, baik
Indonesia maupun Hollywood klasik yang menjadi objek kritik Custen,
hanya berfokus pada narasi tentang tokoh dan kepribadiannya yang
membuat mayoritas penonton kagum dan simpati. Dan ini juga terjadi
pada film biopik Indonesia yang menempatkan jenderal sebagai
tokoh utama, khususnya film biopik-nyaris-fiksi yang lahir dari rahim
Orde Baru.

Sebagai fiksi yang disematkan judul Autobioraphy, film ini menampik


narasi tersebut. Makbul menampilkan keseharian tokoh-tokoh
yang juga dapat kita temukan di film biografi. Namun, melampaui
itu, Makbul menunjukkan kompleksitas setiap tokoh-tokohnya
sejalan dengan sinematografinya. Pengaturan gelap-terang yang
ditempatkan di lokasi tertentu, masyarakat yang ditampilkan marah
menggebu-gebu lalu seketika itu juga menunduk lesu, Rakib yang
patuh tiba-tiba memberontak, dan Purna yang pemarah tersenyum
di hadapan anaknya.

8 “Is it possible to capture the essence of a life? The biographical picture, or biopic, is a

troublesome genre. Often cavalier in its handling of historical fact and mired in its own
sense of self-importance”. (Vidal, 2014: 1-2)
9
Ibid. h. 5.

/ 98
Daftar Pustaka

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Bordwell, David dan Kristin Thompson. 2008. Film Art: An Introduction. Edisi
Kedelapan. New York: McGraw-Hill.
Foucault, Michel. 1995. Discipline and Punish: The Birth of the Prison.
Diterjemahkan oleh Alan Sheridan. New York: Vintage Books.
Irawanto, Budi. 2023. “Autobiography: Kekerasan yang Tak pernah Purna”.
https://budiirawanto.com/autobiography-kekerasan-yang-tak-pernah-
purna/. Diakses tanggal 25 Mei 2023.
Mubarak, Makbul (Sutradara & Skenario). 2023. Autobiography [Film].
Indonesia.
Vidal, Belén. 2014. “introduction: the biopic and its critical contexts”. Dalam
Tom Brown dan Belén Vidal, ed. 2014. The Biopic in Contemporary Film
Culture, h. 1-32. New York:
Routledge.

/ 99
You and I: Bukti Kemenangan Seni atas AI
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Moses Parlindungan Ompusunggu

Judul film : You and I


Sutradara : Fanny Chotimah
Genre : Dokumenter
Durasi : 72 menit
Rumah produksi : KawanKawan Media
Tahun : 2020

“Kita sedang memasuki zaman sungguh edan, di mana banyak hal


yang biasanya dikerjakan tangan manusia akan segera diambil alih
mesin,” tulis Nathan J.

Robinson, editor majalah progresif Amerika Jacobin, setelah


mencoba kemampuan sebuah aplikasi kecerdasan buatan (AI)
pencipta gambar1. “Kekuatannya sungguh menakjubkan,” lanjutnya.

Dan yang “menakjubkan” itu telah menebarkan kecemasan


di kalangan seni. Seniman resah karena karya-karya mereka
dipakai untuk menyuplai data pelatihan mesin AI tanpa seizin
mereka. Seniman juga risau lapangan pekerjaan mereka akan
diserobot mesin. “Dalam ekonomi kapitalis, ketika setiap orang
menggantungkan kelangsungan hidup pada nilai kemampuan
mereka di pasar, penurunan masif pada nilai keahlian akan
menciptakan penderitaan meluas,” tulis Robinson.

Kecemasan-kecemasan tersebut bergabung dengan kekhawatiran


lain soal keberlangsungan dari unsur-unsur yang selama ini jadi
kekuatan seni. Dan jika ada satu unsur seni yang paling perlu
dicemaskan keberlangsungannya setelah kemunculan karya-
karya AI, itu adalah intimasi antara audiens dan objek seni. Intimasi
esensial dalam seni karena ia membuat sebuah karya berkesan bagi
audiensnya, menerbitkan empati, dan menggerakkan perenungan. Ia
menjadikan seni sebagai sebuah pengalaman merasuk — paripurna.
Kita merasa tersedot ke dalam lanskap sebuah lukisan, misalnya,

/ 100
manakala kita merasa dekat dan familier dengan kontennya.1

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Dalam konteks seni dan AI, bandingkan intimasi dengan unsur
estetika, misalnya. Perintahkan AI penghasil gambar Midjourney
untuk membuat ilustrasi apokaliptik bergaya Frida Kahlo atau Gustav
Klimt, kamu bisa dapatkan aset visual dengan cita rasa keindahan
yang diharapkan: estetika Klimt atau Kahlo. Cita rasa kepengarangan
(authorship), untuk menyebut unsur seni lain, juga bisa terasa dari
soneta yang anda perintahkan untuk ditulis dalam gaya
Hemingway oleh ChatGPT.

Tapi soal intimasi, belum ada yang bisa mengalahkan capaian


karya seni yang lahir dari proses lapangan nyata. Dan untuk contoh
bagaimana proses lapangan mendalam bisa menghasilkan seni yang
intim, sinema nonfiksi bisa memberikannya.

Terlepas dari stereotip atas dokumenter sebagai produk sinema yang


datar dan kering, perfilman nonfiksi diam-diam telah menumpukan
daya pukaunya pada intimasi. Seperti kata Gianfranco Rosi, seniman
dokumenter kenamaan asal Italia 2: “Film-film saya bermula ketika
jurnalisme menyudahi tugasnya. Saya memulai perjalanan saya saat
judul-judul berita menggemparkan tak lagi dibicarakan, dengan
itu saya mencoba mencari sesuatu yang sangat personal. Sebuah
pertemuan, sebuah intimasi yang melebihi berita pengungkapan
biasa.”

Dalam pernyataannya itu, Rosi memang merujuk ke sinemanya


sendiri: film-film dokumenter observasional yang berinvestasi di
pengamatan keseharian manusia atau sekelompok masyarakat,

1
Nathan J. Robinson, “The Problem With AI Is the Problem With Capitalism”,
(https://jacobin.com/2023/03/ai-artificial-intelligenceart-chatgpt-jobs-capitalism,
diakses pada 15 Mei 2023)

2
Scott Roxborough, “Gianfranco Rosi on How He Became a ‘One Man Crew to
Make ‘Notturno’” (https://www.hollywoodreporter.com/news/oscars-20 -italy-
notturnogianfranco-rosi, diakses pada 4 April )

/ 101
seperti Fire at Sea3 (2016) dan, yang paling terakhir dan ambisius,
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Notturno4 (2021). Namun Rosi bisa dibilang menuntun kita ke hal yang
lebih luas: film-film yang secara umum meminta kesabaran penonton,
lantaran minimnya kesegeraan dan struktur cerita yang jelas seperti
dalam film-film fiksi tradisi Hollywood umum. Pelan tapi pasti,
sinema penuntut kesabaran tersebut menghadirkan intimasi yang
membuatnya berkesan dan menerbitkan empati penonton.

You and I, dokumenter panjang terbaik Festival Film Indonesia


2020 dari sutradara Fanny Chotimah, adalah satu dari sedikit
sinema penuntut kesabaran yang pernah dibuat orang Indonesia.
Di situ Fanny menyuguhkan sebuah sajian sinema emosional yang
menyentuh penontonnya pelan-pelan. Lewat potret keseharian dua
protagonisnya, film ini membangun narasi dan menciptakan berbagai
suasana hati secara perlahan. Intimasi antara kedua tokoh inilah yang
lambat-laun menghasilkan intimasi antara film dan audiensnya.

Tulisan berupa anatomi ini hendak menelusuri You and I sebagai


suatu karya seni yang berhasil menghadirkan intimasi lewat
proses lapangan nyata dan intensif — bukan hasil dari sekadar
memerintahkan mesin untuk membuatkan kita sesuatu. Di tengah
hiruk-pikuk soal keberlangsungan cipta-karsa manusia di hadapan
AI, You and I adalah sebuah pengingat penting tentang kemenangan
yang otentik atas yang mekanis.

Garis Besar Anatomi Ini

You and I dipromosikan sebagai kisah hidup sepasang sahabat


lanjut usia, Kaminah dan Kusdalini. Mereka bertemu di penjara ketika
keduanya ditangkap tahun 1965 karena dituduh menjadi simpatisan

3
Peter Bradshaw, “Fire at Sea review - masterly and moving look at the migrant
crisis”, (https://www.theguardian.com/film/2016/jun/09/fireat-sea-review-masterly-
and-moving-look-at-the-migran t-crisis, diakses pada 8 April 2023)
4
Simran Hans, “Notturno review - a poetic critique of war in the Middle East”,
(https://www.theguardian.com/film/2021/mar/07/not turno-review-gianfranco-rosi-
middle-east-war-iraq-syri a-kurdistan-lebanon, diakses pada 8 April 2023)

/ 102
Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Berangkat dari premis berbau politis-historis itu, seorang sineas
bisa saja menggarap filmnya menjadi sebuah karya ekspositoris
musiman — layaknya laporan jurnalisme video mendalam tentang
isu tahanan politik (tapol) 1965 tiap akhir September yang penuh
wawancara dengan subjek-subjeknya. Atau bisa juga lewat sinema
nonfiksi sensasional terkait topik serupa — seperti dwilogi The Act of
Killing5 (2012) dan The Look of Silence6 (2014) dari sineas berpaspor
Amerika-Inggris Joshua Oppenheimer. Namun Fanny memilih
mengedepankan tensi pelan dan liris lewat observasi kehidupan
sehari-hari kedua eks tapol.

Hasilnya: sebuah studi mengagumkan tentang memori, masa


tua, keterpinggiran, waktu, dan — seperti yang telah disinggung
di awal — kasih sayang mendalam. Tema-tema abstrak tersebut
dirangkum kamera yang konsisten mempertontonkan intimasi antara
Kaminah dan Kusdalini, entah lewat sentuhan, pandangan mata,
atau percakapan sehari-hari. Konsistensi tersebut dibangun secara
perlahan dan dapat dirasakan sejak tiga rangkaian adegan
(sequence) awal di paruh pertama You and I.

You and I juga membuktikan bagaimana sinema nonfiksi, lewat


penggarapan yang pas, dapat menghadirkan naik-turun emosi
seperti yang dilakukan sang sepupu, film fiksi. Untuk mencapai ini,
Fanny memaksimalkan penggunaan suspensi dan kesenyapan.
Kekuatan dramatis ini kentara di paruh kedua film, terutama di tiga
rangkaian adegan yang secara kronologis mengisahkan Kusdalini
saat dirawat di rumah sakit dan setelah pulang ke rumah.

5
Steven Boone, “The Act of Killing”,
(https://www.rogerebert.com/reviews/the-act-of-killin g-2013, diakses pada 8 April
2023)
6
Glenn Kenny, “The Look of Silence”
(https://www.rogerebert.com/reviews/the-look-of-sile nce-2015, diakses pada 8 April
2023)

/ 103
Paruh Pertama Film
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Rangkaian Adegan 1: Lahirnya Intimasi

You and I dibuka oleh layar hitam yang diiringi suara-suara khas
sekitar permukiman, seperti riuh-rendah percakapan orang dan
petikan kicau burung. Beberapa detik kemudian, layar hitam berganti
menjadi sebuah bidikan (shot) dua perempuan lanjut usia di dalam
sebuah ruangan rumah. Kamera menunjukkan dua perempuan itu,
Kaminah dan Kusdalini, sedang membicarakan sebuah foto dan
memposisikan keduanya di bagian kanan sepertiga frame.

Meski keduanya sama-sama perempuan lansia, ada beberapa hal


yang membuat mereka berbeda. Dan di tengah berbagai perbedaan,
mereka tetap tidak terpisahkan. Misalnya, Kusdalini diperlihatkan
sedang duduk, sementara Kaminah berdiri di sebelah kanannya.
Kemudian, keduanya mengenakan daster bermotif bunga dengan
warna dasar dan warna pola berbeda satu sama lain. Kusdalini lebih
banyak bertanya, contohnya memastikan beberapa nama yang
sepertinya ia telah lupa, entah masih hidup atau tidak. Dan Kaminah
rajin menjawabnya, seperti guru penyabar menanggapi rentetan
pertanyaan muridnya.

Intimasi antara keduanya juga mulai disajikan di rangkaian adegan


pertama ini. Tepatnya, ketika kamera menunjukkan Kaminah berdiri
sembari menumpukan tangan kirinya pada bahu kanan Kusdalini.
Setelah Kaminah menjawab soal nama-nama yang ditanyakan
Kusdalini, perempuan yang kedua kemudian bertanya, “Kowe ra lali
malahan yo?” (Kamu ternyata nggak lupa, ya?). Kaminah mendekati
Kusdalini, menepuk pelan ubun-ubunnya, dan menjawab, “Yo, ora,
wong aku waras og” (Ya, nggak, lah. Aku kan waras). Keduanya
lalu tertawa. Momen kehangatan itu berujung pada Kaminah yang
meletakkan kedua telapak tangan dan wajahnya di ubun-ubun
Kusdalini, seperti pemuka agama memberkati jemaatnya.

Salah satu kunci keberhasilan sebuah film adalah kemampuannya


dalam menerbitkan empati penonton. Rangkaian adegan ini berperan

/ 104
penting dalam penerbitan empati tersebut. Kaminah diperlihatkan

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


sebagai tokoh yang lebih aktif dibandingkan Kusdalini, sehingga
menerbitkan empati kepada Kaminah sebagai pihak yang sepertinya
lebih berperan sebagai “pengurus” daripada pihak yang “diurus”.
Sebaliknya, empati kepada Kusdalini adalah kepekaan terhadap pihak
“diurus” dalam jalinan intimasi sepasang manusia yang hidup bersama
hingga tua. Fanny kemudian mempertahankan ciri utama ketokohan
keduanya ini di sepanjang film.

Dalam rangkaian adegan pembuka tersebut, Fanny perlahan


meletakkan pondasi untuk penjabaran tema-tema kunci You and I. Hal
ini memandu penonton untuk larut dalam perjalanan emosional para
tokoh. Tema memori ditunjukkan lewat kegiatan melihat-lihat foto. Lalu
tema keterpinggiran kaum lansia terasa melalui komposisi kamera
Fanny: dua orang perempuan tua secara visual diposisikan di bagian
pojok kanan frame, yang mayoritasnya menunjukkan lanskap ruang
rumah dan beberapa perabotan. Selanjutnya, tema waktu terasa
dalam percakapan kedua tokoh, yang menyinggung soal masa lalu
dan kehidupan masa kini dari kawan-kawan lama mereka.

Semua keakraban dan kedekatan yang terasa dalam pembuka


tersebut menciptakan sebuah kesan kuat: kehidupan mereka berdua
(sepertinya) dilandasi kasih sayang alamiah dan resiprokal.

Arsip sebagai Jembatan Intimasi

Sebelum rangkaian adegan kedua film, Fanny menyuguhkan rentetan


informasi tekstual dan visual sebagai pengenalan formal terhadap
kehidupan Kaminah dan Kusdalini.

Teks menuliskan Kaminah bertemu Kusdalini di penjara saat


Indonesia dihembalang konflik sosial politik tahun 1965. Kala itu,
jutaan orang terduga simpatisan PKI dibunuh dan dibui. Keduanya
dituduh sebagai aktivis komunis lewat kegiatan paduan suara.
Kaminah lebih muda 4 tahun dari Kusdalini, namun ia lebih lama
dipenjara (7 tahun) dibandingkan dengan Kusdalini (2 tahun). Setelah
keluar dari bui, Kaminah “tidak diakui oleh keluarganya”, namun diajak

/ 105
tinggal bersama oleh Kusdalini dan neneknya. Untuk menyambung
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

hidup, mereka berdagang makanan dan kerajinan tangan. Keduanya


tinggal bersama sejak itu.

Fanny menggunakan arsip dengan bijak dalam penghubung ini. Hal


tersebut mempertahankan emosi yang telah dia bangun di rangkaian
adegan kesatu film.

Foto-foto di bagian penyambung ini punya peran serupa dengan


rangkaian adegan pertama, yaitu memberikan kesan tentang
bersatunya dua individu. Pertama-tama, Fanny memasang dua
foto hitam putih memudar yang menunjukkan keduanya saat belia.
Momen kebersamaan keduanya terekam dalam dua foto terakhir,
yang menunjukkan keduanya duduk bersebelahan. Di foto pertama,
Kaminah dan Kusdalini berpose mengenakan kebaya bermotif
kembar dan riasan sanggul yang bentuknya kelihatan identik satu
sama lain. Foto kedua juga menunjukkan keduanya berpose -- kali
ini berwarna. Di foto itu, masing-masing tokoh dibalut daster tanpa
lengan dengan motif bunga dan warna berbeda. Pose ini mirip
dengan apa yang diperlihatkan Fanny di pembuka film. Bedanya,
kali ini giliran Kaminah yang duduk di foto, dirangkul Kusdalini yang
berdiri. Waktu ibarat berulang — dan You and I bermula saat masa lalu
berakhir.

Rangkaian Adegan 2: Intimasi dalam Dunia Sehari-hari

Rangkaian adegan kedua film melanjutkan perkenalan perlahan


kepada Kaminah dan Kusdalini yang telah dimulai di rangkaian
adegan pertama.

Dalam sebuah pengungkapan kronologis, intimasi penolong-ditolong


antara keduanya semakin kuat terasa di sini. Pertama, kamera
memperlihatkan Kaminah sedang memasak. Selanjutnya, Kaminah
menyuguhkan hidangannya kepada Kusdalini, yang sedang duduk
sambil membaca buku. Setelah memberikan makanan, Kaminah
mengambilkan obat untuk sahabatnya.
Saat penonton sepertinya mulai akrab dengan keseharian masa

/ 106
kini Kaminah dan Kusdalini, Fanny senantiasa mengingatkan bahwa

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


drama dan observasi mendetail di You and I menjadi berarti karena
masa lalu para tokoh.

Rangkaian adegan ini memutar kembali sejarah manakala Kusdalini,


setelah disuguhi makanan oleh Kaminah, berceloteh pendek tentang
buku yang dibacanya. Penonton tidak diberitahu buku apa yang
Kusdalini baca, namun ia menyebutkan soal Gerwis (Gerakan Wanita
Sedar) -- organisasi perempuan cikal bakal Gerwani (Gerakan Wanita
Indonesia). Gerwani sendiri dekat dengan PKI7 di tahun 1950-an
hingga meletusnya peristiwa 1965.

Perlu ditekankan pula, rangkaian adegan ini ditempatkan setelah


penghubung berupa teks berlayar hitam tentang masa lalu keduanya.
Dengan cara itu, tanpa kuliah panjang lebar atau analisa seorang
sejarawan, empati terhadap keduanya sebagai tapol tersisihkan tetap
terjaga, selain dari empati terhadap keduanya sebagai sepasang
sahabat yang hidup bersama hingga tua.

Kedalaman emosi sebuah karya observasi seperti You and I tidak


hanya muncul dari sekadar penyuguhan interaksi sehari-hari para
tokohnya. Ia menjadi kuat lewat penggambaran dunia para tokoh,
yaitu soal bagaimana mereka berinteraksi dengan masyarakat sekitar
dan ruang hidup mereka. Fanny mulai mengenalkan dua hal tersebut
kepada penonton di rangkaian adegan ini.

Satu adegan di rangkaian adegan ini menunjukkan tetangga Kaminah


dan Kusdalini yang bertandang ke rumah mereka untuk meminta
kerupuk. Setelah memberikan kerupuk, Kaminah menolak bayaran
dari tetangganya itu. Biasanya mungkin kerupuk itu dibayar. Kaminah
lalu menjelaskan kepada Kusdalini kenapa ia menolak dibayar. Alasan
Kaminah, tetangga itu telah banyak membantu mereka sehari-hari.
Ruang hidup Kusdalini dan Kaminah diperkenalkan lewat kamera

7
Yuliawati dan Prima Gumilang, “Gerwani, PKI, dan Kemelut Politik di Belakang Su-
karno”, (https://www.cnnindonesia.com/nasional/201609300 70733-20-162250/ger-
wani-pki-dan-kemelut-politik-dibelakang-sukarno, diakses pada 13 Februari 2023)

/ 107
yang mulai banyak memperlihatkan situasi luar-dalam rumah
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

mereka. Di momen Kaminah memasak, kamera menyuguhkan situasi


dapur rumah, dengan dinding bata tak bercat dan pintu kayu yang
kulitnya telah mengelupas di sana-sini. Saat Kaminah ke luar rumah
untuk menjemur keset, kamera mengikutinya dari belakang sambil
memperlihatkan situasi bagian belakang rumah itu. Di situ, ada
sejumlah bagian dinding dengan cat permukaan yang telah luber dan
bolong-bolong. Sebuah isyarat bangunan terlantar.

Penggambaran ini mengesankan keduanya telah lama hidup di


tengah kesederhanaan dan keterbatasan. Di tengah lanskap keropos
dimakan waktu, ketika masa lalu senantiasa berputar kembali,
Kaminah dan Kusdalini seakan-akan terus bernegosiasi dengan
sejarah dalam keseharian mereka. Hal tersebut semakin kentara
diperlihatkan di rangkaian adegan ketiga film.

Rangkaian Adegan 3: Konteks (dan Kekuatan) sebuah Intimasi

Sejarah menempatkan masa lalu sebagai objek narasi yang bisa


dikendalikan oleh kelompok-kelompok pemilik privilese. Hak istimewa
itu dapat berupa kekuatan politik -- dimiliki rezim penguasa. Atau juga
kekuatan intelektual -- dimiliki mereka yang terlatih secara profesional
untuk meneliti, menarasikan, dan mengkontekstualisasikan masa lalu:
para sejarawan.

Jika keduanya diibaratkan sebagai dua lingkaran dalam sebuah


diagram venn, irisan yang timbul adalah sajian sejarah yang bisa
jadi bias, menyudutkan, dan meniadakan kesempatan pihak-pihak
terpinggirkan untuk berpledoi -- terlepas dari bersalah atau tidaknya
mereka secara hukum.

Rangkaian adegan ketiga You and I membimbing penonton untuk


memasuki masa lalu dari kacamata pihak terpinggirkan dalam
dinamika sejarah kekerasan HAM 1965: para penyintas itu sendiri.
Kaminah dan Kusdalini menjadi bagian darinya. Rangkaian adegan ini
menunjukkan bagaimana keduanya saling menguatkan ketika mereka
menengok kembali masa lalu itu.

/ 108
Kamera membuka rangkaian adegan ketiga You and I dengan

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


menunjukkan Kaminah dan Kusdalini sedang duduk di tepi jalan.
Untuk pertama kali sejak awal film, keduanya mengenakan setelan
kembar: celana panjang hitam dan blus biru. Adegan ini berlangsung
selama 20 detik dalam kamera statis, seakan memberikan
kesempatan pada penonton untuk masuk lebih dalam ke intimasi
keduanya. Keseragaman dan durasi statis yang relatif lama tersebut
menciptakan sebuah antisipasi adem-ayem terhadap hal serius yang
akan muncul setelahnya.

Kaminah dan Kusdalini rupanya mengenakan setelan kembar untuk


mendatangi sebuah persamuhan penyintas 1965. Setelah momen
statis 20 detik di tepi jalan, film dilanjutkan dengan perjalanan
keduanya menuju ke rumah tempat pertemuan. Interaksi penolong-
ditolong yang disuguhkan sejak awal film terus dipertontonkan di
adegan ini. Kaminah membantu Kusdalini yang kepayahan untuk
masuk ke angkot. Setelah turun dari angkot, Kaminah memandu
Kusdalini berjalan kaki menuju ke tempat pertemuan. Keduanya bak
sepasukan yang merapatkan barisan sebelum bertempur. Dalam
rangkaian adegan ini, pertempuran itu adalah sebuah retrospeksi.

Di rangkaian adegan ini, untuk pertama kali pula You and I


menyinggung kelompok penguasa -- pihak yang di awal disebut
sebagai pemilik privilese dalam penyampaian sejarah -- di pusaran
masa lalu-masa kini kedua tokoh. Pemimpin rapat berkata,
pemerintah sedang bimbang antara menggali kuburan-kuburan
massal korban pembantaian 1965 atau tidak. Ia menyebut YPKP
(Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966) sebagai
penyuplai data kuburan massal tersebut. Meskipun adegan ini tidak
memberikan keterangan waktu pelaksanaan rapat, penonton yang
mendalami isu penyintas 1965 mungkin akan langsung teringat pada
gembar-gembor isu itu di tahun 2016. (Perekaman You and I sendiri
dimulai tahun 2016, ujar Fanny dalam sebuah berita Kompas.com8

8
Firda Janati, “Produksi Film Dokumenter You and I Butuh Waktu 4 Tahun”,
(https://www.kompas.com/hype/read/2021/04/13/1 71715466/produksi-film-
dokumenter-you-and-i-butuhwaktu-4-tahun?page=all, diakses pada 13 April 2023)

/ 109
tanggal 13 April 2021 tentang film ini).
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Kala itu, sejumlah media mewartakan bagaimana para penyintas


1965 kerap diintimidasi9karena “stigma sebagai simpatisan komunis
masih melekat pada korban.” Juga di tahun 2016, beberapa organisasi
masyarakat, seperti Pemuda Pancasila dan Front Pembela Islam
(yang terakhir disebut dibubarkan pemerintah pada 2020), meneror
dan membubarkan10 sebuah pertemuan penyintas 1965 yang dihelat
YPKP. Momen pertemuan yang dihadiri Kusdalini dan Kaminah
menjadi menarik jika disangkutkan dengan kejadian tersebut.
Secara singkat, adegan ini setidaknya dapat menggambarkan
jalannya sebuah pertemuan yang, mengacu pada pemberitaan 2016,
rawan diganggu teror dan intimidasi. Omongan Rosi di awal tulisan,
tentang film yang “bermula saat jurnalisme menyudahi tugasnya”,
mendapatkan representasi visualnya di momen ini.

Dalam mempertontonkan retrospeksi tersebut, kamera dengan


piawai menunjukkan kontrasnya sikap Kaminah dan Kusdalini.
Sepanjang perjalanan menuju ke tempat pertemuan, Kusdalini
terlihat ceria dan kerap berceloteh. Di satu adegan, Kusdalini bahkan
jahil mengeluarkan tangan kirinya dari jendela angkot. Ia tetap
melakukannya meski para penumpang melarangnya karena bahaya.
Sembari meletakkan tangannya di luar jendela, Kusdalini tersenyum
dan tertawa kecil. Ia seakan bahagia untuk sebuah kemenangan
kecil atas keterbatasan dan masa lalu kelam yang tak lekang dari
realitas terkininya. Sebaliknya, Kaminah diam sepanjang perjalanan.
Air mukanya serius, mengisyaratkan sebuah ketegangan sebelum
sebuah pertempuran emosional bernama retrospeksi di pertemuan
yang akan ia hadiri.

9
Kristian Erdianto, “YPKP: Korban 1965 Kerap Mendapat Intimidasi dan Teror
dari Aparat”, (https://nasional.kompas.com/read/2016/05/09/160 12661/YPKP.
Korban.1965.Kerap.Mendapat.Intimidasi. dan.Teror.dari.Aparat, diakses pada 15 April
2023)
10
Hendri F. Isnaeni, “Pertemuan Penyintas 1965 Dibubarkan Kelompok Anti-
Demokrasi”, (https://historia.id/politik/articles/pertemuan-penyint as-1965-
dibubarkan-kelompok-anti-demokrasi-vQXda/ page/1, diakses pada 16 April 2023)

/ 110
Paruh kedua film

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Rangkaian Adegan 1: Lahirnya Suspensi

Dalam 30 menit pertama, You and I mengenalkan intimasi


Kaminah dan Kusdalini lewat beberapa kegiatan berbeda yang nyaris
tanpa kesenyapan dan suspensi. Sebaliknya, paruh kedua film, yang
mengambil sekitar setengah jam kedua, banyak diisi keduanya.

Penggunaan kesenyapan dan suspensi tersebut kemudian setidaknya


berperan dalam tiga hal. Pertama, menunjukkan konflik yang dialami
masing-masing kedua tokoh. Kedua, menceburkan penonton lebih
dalam ke perjuangan keduanya menghadapi konflik tersebut. Ketiga,
menghadirkan intimasi yang lebih dalam lagi di antara Kaminah dan
Kusdalini. Hasilnya adalah sebuah bukti bagaimana dokumenter
dapat menghadirkan drama, selayaknya film fiksi yang secara
tradisional bertumpu pada plot dramatis.

Paruh kedua ini lebih banyak mengisahkan hidup Kusdalini di rumah


sakit dan setelah ia pulang, yang disampaikan di tiga rangkaian
adegan pertamanya.

Rangkaian adegan pertama di paruh kedua dibuka dengan sebuah


kegiatan yang bikin penasaran. Kaminah mengemas beberapa
barang, ditemani seorang perempuan dan seorang laki-laki. Dua
orang itu sebelumnya tidak pernah muncul di film. Meskipun identitas
mereka tidak disuguhkan, keberadaan mereka di adegan ini krusial
dalam hal keberlanjutan cerita. Setelah ia mengingatkan Kaminah
untuk membawa jaket, perempuan itu berkata, “Soalnya kamu nanti
akan tidur di lantai.” Tidak ada informasi soal ke mana Kaminah akan
pergi; lantas buat apa ia mengemas barang? Mengapa Kaminah
disebut akan “tidur di lantai”? Momen ini tidak menunjukkan Kusdalini
sama sekali; lantas ada di mana dia?

Suspensi. Inilah yang terjadi di adegan di atas. Kata “suspensi”


sendiri diartikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai
“pelaksanaan penundaan atau penangguhan sesuatu untuk

/ 111
sementara”11. Dalam pembangunan cerita film, suspensi adalah
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

elemen penting. Ada banyak definisi suspensi dalam studi sinema.


Untuk kepentingan tulisan ini, pengertian yang ditulis di situs web
studiobinder.com12 -sebuah sumber belajar daring yang mumpuni
soal dasar-dasar perfilman -- bisa jadi pengarah:

“Suspensi berasal dari akar kata kerja ‘tahan’ atau menunda sesuatu.
Kita tahu bahwa sesuatu akan terjadi, tetapi kita tidak tahu kapan dan
bagaimana. Kecemasan atau tensi inilah yang mempertahankan daya
tarik sebuah film bagi penonton-mereka ingin tahu apa yang akan
terjadi setelahnya!”

Suspensi di adegan tersebut diselesaikan dengan cepat. Saat


Kaminah menaiki becak dan menaikkan barang-barangnya, ada
tetangga yang bertanya, “Kus di rumah sakit?”, dan kemudian diiyakan
Kaminah. Melalui penyelesaian ini, Fanny memberikan petunjuk untuk
apa yang akan terjadi setelahnya di film, yaitu interaksi antara Kaminah
dan sahabatnya di rumah sakit. Di sana, Kaminah meninggalkan zona
aman dan nyamannya -- rumah -- untuk menghampiri sosok yang
membuat zona itu aman dan nyaman baginya: Kusdalini.

Lewat dua adegan itu, Fanny sekaligus menunjukkan bentuk


dukungan lingkungan sekitar Kaminah dan Kusdalini.
Kebanyakan pemberitaan media, seperti yang disinggung di awal,
mengabarkan soal hidup eks tapol yang marjinal dan dihantui
intimidasi. Momen ini memberikan sejumput pengetahuan baru:
ada dukungan sosial masyarakat yang bahu-membahu menolong
para penyintas 1965. Momen di dua adegan itu juga mengharukan,
mengingat Kaminah sebelumnya berkata kepada Kusdalini di paruh

11
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
“suspensi”,
(https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/suspensi, diakses pada 10 Mei 2023)
12
Brent Dunham, “Elements of Suspense - Building
Suspense with Film Technique”,
(https://www.studiobinder.com/blog/elements-of-sus pense/, diakses pada 16
Februari 2023)

/ 112
pertama film, bahwa “banyak orang yang tidak suka

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


dengan kita berdua.”

Sebuah kelas ahli dari Fanny untuk pembuat film dokumenter, tentang
menghadirkan kejutan dalam struktur penceritaan.

Rangkaian Adegan 2: Puncak Intimasi

Jika Fanny menumpas rangkaian demi rangkaian adegan di You and


I dan hanya menyisakan rangkaian adegan kedua di paruh kedua
film, dokumenter ini bahkan akan tetap menjadi sajian yang sangat
menyentuh. Hal ini lantaran begitu terstrukturnya penempatan
suspensi dan kesenyapan di sini.

Dalam tulisan ini, kesenyapan merujuk pada keadaan saat para tokoh
tidak banyak bergerak dan/atau tidak banyak saling berinteraksi
verbal. Momen reflektif bagi penonton, dan bisa jadi pula, reflektif bagi
tokoh yang difilmkan.

Satu adegan di rangkaian adegan ini menunjukkan Kusdalini tidur di


ranjang rawatnya, sementara Kaminah duduk bersila di lantai sebelah
ranjang. Sebuah momen untuk Kaminah menikmati kesenyapan? Bisa
jadi, ini yang hendak diungkapkan Fanny lewat kameranya, mengingat
sebelum adegan ini Kaminah ditunjukkan begitu sibuk mengurus
sahabatnya yang sakit. Misalnya, menyuapi Kusdalini, mengolesinya
dengan minyak telon, dan mengusap pipi sahabatnya yang kondisinya
terlihat semakin lemah itu.

Saat Kaminah duduk, untuk beberapa saat ia memandang ke arah


ranjang, sebelum akhirnya lebih banyak menunduk. Ia lalu melipat
tangan, mengisyaratkan bahwa ia sedang berdoa. Adegan ini
berlangsung sepanjang nyaris semenit dan tanpa potongan. Tiga
kali lebih lama dari kesenyapan saat keduanya duduk di tepi jalan
sebelum menuju ke pertemuan penyintas 1965. Kesenyapan di
adegan ini mengajak penonton untuk merefleksikan peran Kaminah
sebagai penjaga, perawat, dan pendoa utama untuk sahabatnya.
Juga sebuah momen untuk menduga-duga, seberapa mendalam

/ 113
pengaruh dari sakitnya Kusdalini pada hidup Kaminah?
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Soal suspensi, ia amat mencengkeram emosi di rangkaian adegan ini.


Dalam sebuah adegan sepanjang hampir dua menit tanpa potongan,
kamera menunjukkan Kaminah sedang mencoba menyuapi
Kusdalini. Sebelum momen ini, penonton telah melihat kepayahan
Kusdalini dalam meneruskan hidup. Bicaranya tidak terdengar jelas,
menggerakkan tubuh pun terlihat seperti perjuangan amat berat.
Di adegan ini, Kusdalini terlihat sukar untuk sekadar membuka
mulut ketika disuapi Kaminah. Di sisi lain, Kaminah terlihat pantang
menyerah. Ia terus mencoba menyuapkan nasi ke mulut sahabatnya.
Akan berhasilkah Kaminah? Akankah Kusdalini membuka mulutnya,
sekadar untuk menerima suapan nasi dari Kaminah?

Hingga adegan selesai, percobaan Kaminah tidak berhasil. Namun


bukan akhir adegan ini yang membuatnya menjadi sangat berarti.
Adegan ini menjadi berarti karena menunjukkan perjuangan Kaminah
dalam menghadapi tantangan. Sebuah kulminasi emosi yang
sekaligus merangkum tema-tema besar film ini: kasih sayang tak
bersyarat, perjuangan merawat memori, dan rapuhnya usia.

Di tengah kesenyapan dan suspensi di atas, rangkaian adegan ini


menunjukkan interaksi verbal Kaminah dan Kusdalini yang semakin
emosional. “Ingat-ingat aku,“ ujar Kaminah sembari mengelus ubun-
ubun Kusdalini. “Lakukan untuk aku,” ujar Kaminah saat ia mengipasi
sahabatnya. Di dua momen itu, ada satu kalimat yang diucapkan
Kaminah dua kali: “Kita hanya berdua, tidak ada orang
lain.”

Rangkaian Adegan 3: Tangan-Tangan yang Saling Mendekap

Kusdalini akhirnya pulang ke rumah. Duduk di kursi roda di lobi


rumah sakit, wajah Kusdalini terlihat lebih cerah dibandingkan saat ia
dirawat di ranjang pasien. Akankah penonton mendapatkan kembali
keseharian hidup ceria di rumah seperti di paruh pertama film?

/ 114
Kaminah dan Kusdalini memang bersatu lagi di kehidupan di rumah.

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Kaminah juga tetap berperan sebagai “pengurus”, dan Kusdalini yang
“diurus”. Selain dari dua karakteristik itu, rangkaian adegan ketiga di
paruh kedua You and I benar-benar berbeda dari momen-momen
domestik di paruh pertama film. Perbedaan paling kentara, rangkaian
adegan ini murni mengambil tempat di kasur. Tempat Kusdalini
ditunjukkan hingga adegan terakhirnya di film.

Di atas kasur, keduanya saling bertukar kata. Kamera memainkan


emosi penonton lewat penggunaan beberapa jenis sudut pandang
bidik (angle).

Awalnya kamera menggunakan sudut pandang bidik lebar,


menunjukkan secara penuh ruang yang ditempati keduanya. Kaminah
berbaring di kiri Kusdalini. Ia mengipasi sahabatnya sambil menopang
tubuhnya sendiri dengan posisi tangan menyiku di atas kasur.

Tatkala sudut pandang bidik kamera semakin mendekat, penonton


disuguhkan percakapan-percakapan dengan emosi yang semakin
intens. “Aku pergi dulu ya,” ujar Kusdalini yang berbaring telentang.
“Temani aku, jangan ke mana-mana,” balas Kaminah di kirinya.

Permainan emosi semakin intens manakala kamera semakin


mendekati keduanya, memusat pada tangan-tangan keduanya yang
menyatu. Di adegan itu, Kaminah memijit Kusdalini, menggenggam
tangan ringkih sahabatnya. Sebuah gestur yang menguatkan
persepsi bahwa perpisahan akan menjadi sebuah ujian mahaberat
bagi Kaminah.

Pergerakan kamera dan penggunaan kesenyapan yang piawai


kemudian menutup rangkaian adegan ini. Dari bidikan sangat dekat
yang menunjukkan tangan-tangan Kaminah dan Kusdalini, sudut
pandang bidik kamera agak melebar di adegan terakhir. Meski
demikian, intensitas emosi tetap terjaga, bahkan lebih reflektif.
Hal ini disebabkan adanya kesenyapan, seperti saat kamera
menunjukkan Kusdalini yang berbaring sambil berkata-kata, namun
tidak terdengar jelas isinya. Ia lalu menutup mata dan Kaminah hanya

/ 115
memandang di sebelah kiri. Ditopang tangan, posisi kepala Kaminah
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

tidak sejajar dengan kepala Kusdalini. Yang “diurus” menutup mata,


yang “mengurus” hanya menatap.

Tatapan yang dapat diartikan sebagai sebuah upaya merelakan,


lantaran Kusdalini tiada setelah rangkaian adegan ini.

Refleksi

Akhir You and I yang terbuka memberikan ruang kepada penonton


untuk merenungi pergulatan batin Kaminah setelah melewati rentetan
kegetiran. Kaminah tetap menjalani rutinitas rumahannya, seperti
memasak dan menjemur baju. Namun wajah Kaminah amat datar,
menimbulkan pertanyaan: sejauh apa ia menyikapi kehilangan?

Mungkin, akan ada (dan bisa jadi telah ada di diri Kaminah) sebuah
dilema memaknai kenangan yang pernah dituliskan Rivai Aipin,
penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dibui di Pulau
Buru selama 14 tahun setelah peristiwa 1965, di puisi monumentalnya
Elegi13:

Ah, kenangan padamu akan terus memburu, menakutkan seperti


bayang di pondok seloyongan, bila pelita telah dipasang
Tapi penuh kasih, seperti Bapa yang mengulurkan tangan
Dan kau kembali, seperti di hari-hari dulu ketika kau dan ini bumi
masih mendegupkan hidup

Dan soal “Mendegupkan hidup”: bukankah ini juga hasil dari intimasi
yang diletupkan sebuah karya seni?

You and I dan intimasinya yang luar biasa memang dibuat dan hadir
ke masyarakat sebelum dunia diliputi kegelisahan soal perkembangan
pesat AI, seperti sekarang ini. Namun untuk mencari tahu apa yang
hingga saat ini tidak bisa dihadirkan AI -- seperti intimasi yang

13
Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Aipin, Tiga Menguak Takdir (Jakarta: Balai
Pustaka, 2013), hal. 19.

/ 116
dihasilkan karya seni berbasis proses lapangan mendalam --

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


You and I adalah film yang masih sangat relevan sebagai alat
perenungan.

Fanny membutuhkan waktu 4 tahun14 untuk menggarap You and I,


mulai dari merekam kehidupan Kaminah dan
Kusdalini hingga pascaproduksi. Tanpa ada proses lapangan
mendalam dan intensif semacam itu, rasanya mustahil Fanny
dapat mendekatkan penonton kepada kehidupan Kaminah dan
Kusdalini yang luar biasa, lewat sejumlah strategi penceritaan
seperti menciptakan suspensi hingga menyusun alur cerita yang
menyuarakan kepentingan kelompok terpinggirkan. Semuanya
menyatu menjadi sebuah “kekuatan menakjubkan” yang lebih
digdaya dari reka-cipta mesin.

Medium menonton: Bioskop Online

14
Firda Janati, loc.cit.

/ 117
Voyeurism, Alkohol, dan Kuil Minerva:
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Sebuah Kritik atas Film Penyalin Cahaya

Wregas Bhanuteja

Film : Penyalin Cahaya


Medium : Netflix
Durasi : 130 menit
Rilis : 13 Januari 2022 (Netflix)
Sutradara : Wregas Bhanuteja
Pemain : Shenina Cinnamon, Chicco Kurniawan, Lutesha,
Jerome Kurnia, Lukman Sardi

Awal mula Penyalin Cahaya adalah adegan teater Medusa. Ini


adalah cara Wregas Banuteja, sang sutradara, untuk foreshadow
keseluruhan cerita film, sekaligus menekankan mitologi Medusa dari
sisi yang tidak umum. Sisi krusial yang menjadi ethical standpoint film
ini. Hampir di seluruh film, Wregas menggambarkannya dengan lihai,
halus tapi provokatif. Selama ini oleh media, karakter Medusa selalu
digambarkan mengerikan dan penuh teror. Wregas ingin menampar
audiens dengan sisi lain Medusa yang lain. Menampar dan memberi
efek tatapan Medusa, membuat orang mematung.

Coba kita lihat bagaimana Medusa ditempatkan di media seni


masa kini. Clash of The Titans, Percy Jackson, hingga video games
seperti God of War menggambarkan Medusa sebagai monster
saja. Dengan rambut ular, Medusa adalah sosok pengganggu yang
wajib dibunuh. Setelah itu, kepalanya dimanfaatkan sebagai senjata
untuk membunuh monster lain. Sebuah lingkaran kekerasan. Hampir
tidak ada penggambaran sisi lain dari kisah Medusa. Padahal di
"Metamorphoses", puisi naratif ditulis oleh Ovid di tahun 8 Masehi,
ada sisi yang lebih pelik. Bagian cerita itu seringkali diabaikan. Dunia
lebih suka melihat Medusa sebagai teror.

/ 118
Introduksi Medusa dan Mitologi dalam Penyalin Cahaya

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Medusa di "Metamorphoses" punya kisah yang sudah banyak orang
tahu. Perempuan cantik yang disihir oleh Minerva jadi memiliki rambut
ular. Rambut ularnya bisa mengubah siapa saja menjadi batu saat
menatap matanya langsung. Minerva menyihir Medusa karena marah,
melihat Poseidon menggauli Medusa di kuilnya. Padahal, dia sudah
tahu kalau kenyataannya Poseidon yang memaksakan birahinya
ke Medusa. Alih-alih membantu dan membela Medusa, Minerva
menjadikannya monster. Dunia juga memperlakukan Medusa seperti
itu, kecuali di Penyalin Cahaya.

Patung Medusa di Kuil Artemis di Corfu, Yunani. Kuil ini dibangun 580 tahun sebelum
Masehi. Ada ular menempel di tubuh Medusa, tidak hanya di kepalanya.

Minerva membuat Medusa jadi monster, menjauhinya dari masyarakat


sekaligus membungkamnya. Dengan begini, Medusa tidak bisa
bersuara ke siapa-siapa, karena orang keburu kaku jadi patung saat
menatapnya. Pembungkaman dan pembatasan gerak Medusa ini
pun jadi inspirasi Helen Cixous. Dalam esainya berjudul ‘The Laughter
of Medusa’, dia meminta perempuan tidak lagi hanya membaca
tapi juga menulis. Tidak lagi diam atau hanya mendengar, tapi juga
bersuara. Perempuan tidak patut ditakuti, sebagaimana manusia takut
atas Medusa. Perempuan berhak memiliki hak atas tubuhnya sendiri,

/ 119
bersuara mengenai dirinya sendiri. Cixous secara provokatif minta
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

perempuan terus bergerak. Suryani (Shenina Cinnamon), atau Sur,


sebagai karakter utama tidak pernah diam di Penyalin Cahaya.

Sur mengalami penderitaan yang sama dengan Medusa. Dengan


memadukan kisah Medusa dengan latar seni tradisonal Jawa,
Wregas mau berkata kalau kisah klasik dari jaman Yunani juga relevan
dengan situasi di negeri ini. Wregas menancapkan nyawa Medusa ke
dalam diri Sur. Simbolisasi itu tergambar ketika Sur disorot sinar yang
keluar dari prop kepala Medusa, lalu dibujuk berkali-kali untuk minum,
dan akhirnya Sur mau menenggak minuman keras. Dan, di adegan ini
kisah inti dari Penyalin Cahaya mulai bergerak.

Di adegan ini saja, ada beberapa hal menarik yang bisa dibahas.
Pertama, soal Medusa itu sendiri. Penggunaan prop kepala Medusa
menjadi kunci cerita. Saat kepala itu menyorot ke Sur, di situ adalah
adalah simbol atas ‘penyerahan peran’. Momen tersebut menjadi
momen ketika peran Medusa teater sudah selesai, berpindah ke Sur,
Medusa baru di film ini. Terjadi perpindahan imaji saat Medusa yang
teatrikal dan mengerikan menjadi Medusa versi Wregas. Medusa
yang bersuara, seperti yang menjadi semangat Cixous.

Transformasi cerita pun terjadi. Adegan ini memulai pola bercerita


yang menggembungkan pertanyaan demi pertanyaan. Gaya tutur
juga bergerak, perlahan-lahan menjadi mencekam. Dari sekadar
drama remaja di kampus yang kelihatan normal, berubah menjadi
seperti kisah detektif tema whodunnit. Dari Sur yang kalem, menjadi
Sur yang tidak pernah ingin diam. Sebuah cerita ketika setiap
halaman demi halaman dibuka, ada kenyataan dan kejadian baru
lain ditemukan. Mengerucut pada satu pertanyaan inti: siapa sih
pelakunya?

Elemen lain adalah soal minuman keras, yang juga menjadi alat untuk
plot film ini melaju. Kawan-kawan Sur membujuk dia untuk minum,
hingga akhirnya Sur terbawa suasana dan ikut-ikutan mabuk. Minum
minuman keras, dianggap bukan kebiasaan baik di Indonesia. Bahkan
dianggap tabu. Tetapi di beberapa wilayah, minuman keras seperti

/ 120
Sopi atau Moke diapresiasi dan sempat jadi komoditas, seperti di

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


NTT. Di Bali, Arak Bali bahkan dijadikan Warisan Budaya Takbenda RI
oleh Kemendikbudristek di tahun 2022.

Perlakuan berbeda juga terjadi di film, ketika peminum bisa


dipandang dan diperlakukan berbeda-beda. Oleh kawan jadi teman
pesta, oleh pihak berwenang di sini adalah kampus, peminum adalah
aib. Sur boleh mabuk bersama kawan-kawannya di ruang pesta,
tetapi tidak boleh terlihat mabuk oleh otoritas kampus. Dua wilayah
beda, dua perlakuan beda. Ada masyarakat yang membujuknya
mabuk, ada masyarakat yang membencinya mabuk. Ada masyarakat
yang memaklumi dia mabuk bahkan menolongnya untuk pulang
dengan aman, tapi ada yang tidak suka dan malah berusaha
mencabut beasiswanya.

Sur harus menghadapi masyarakat yang tidak suka atas tindakannya.


Pemberi beasiswa merasa Sur telah mencoreng reputasi dirinya
dan kampus. Tidak boleh ada penerima beasiswa yang memiliki
coreng seperti ini. Sur adalah peminum, pemabuk. Sur adalah bagian
dari mereka yang membuat statistik peminum alhokol se-Indonesia
jadi 0.33 liter per tahun. Ibaratnya, di mata otoritas kampus, angka
itu terlalu besar untuk negara santun seperti Indonesia. Indonesia
harusnya memiliki angka 0 absolut, jika orang-orang seperti Sur tidak
ada. Maka, Sur tidak layak dibela.

/ 121
Adegan ini memang kuat dan jadi episentrum cerita. Begitu
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

pentingnya, adegan ini diulang lagi nyaris persis di tengah-tengah film.


Adegan itu direka ulang dalam bentuk rekaman CCTV yang ditonton
ramai-ramai. Akhirnya, Sur sadar kalau dia sendiri yang membuat
swafoto mabuknya tersebar. Ramai-ramai rekaman itu ditonton,
ramai-ramai juga Sur dianggap ngaco. Puncaknya muncul cemoohan
sebagai suara latar, “Sur .. Sur ...” Memanggil tapi mencemooh, cara
yang khas dilakukan orang Indonesia.

Adegan ketika Sur lemas karena mengetahui kejadian sebenarnya lewat rekaman
CCTV. Adegan ini terjadi pas di setelah satu jam film berjalan dan film menyisakan 60
menit lagi.

Adegan ini memang menarik. Karena, kita jadi bisa menangkap


kejadian sebenarnya, sekaligus menyadari bahwa pengejaran
Sur yang menuduh Tariq ternyata hanya red herring. Wregas
bahkan secara sengaja menempatkan adegan ini persis di tengah
film. Perhatikan adegan di satu jam lima menit film berjalan, film
menyisakan satu jam 5 menit lagi. Itu adalah adegan saat Sur tahu
kalau dia tidak mengenakan kaos terbalik saat mabuk. Titik balik film
ke babak baru, fase cerita baru.

Tubuh Film: Membaca Tema Problem Kekerasan Seksual

Pada bagian tulisan ini berikutnya, akan ada beberapa pembahasan


soal Rama (Giulio Parengkuan) si predator dari berbagai aspek.

/ 122
Penggambaran atau pembahasan kekerasan seksual di bagian

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


berikut akan cukup mendalam dan berpotensi untuk memicu.

Di fase baru ini, motivasi Sur pun berubah. Dia tidak lagi perlu
mengkhawatirkan soal beasiswa. Sur pun sadar, tidak hanya ada
dua arah cahaya menyorotinya dari sudut berbeda. Sudut pertama
adalah kawan-kawan pestanya, yang menganggap mabuk adalah
biasa. Bagian dari selebrasi. Sudut lain adalah dari otorita kampus,
mengatakan mabuk adalah aib. Sorot ketiga datang dari sudut gelap,
dari sorot mata si Predator, yang ikut membujuk Sur untuk minum,
menyaru, serta menunggu waktu untuk memangsa Sur.

Kekerasan seksual yang dilakukan Rama si Predator memang


menganggu. Dia diam-diam membuka pakaian dan memotret tubuh
Sur. Voyeurisme yang dilakukan dengan kekerasan seksual ini tidak
berhenti di situ. Rama mempertontonkan foto tersebut ke khalayak
luas, tanpa penontonnya sadar itu apa, sebagai bagian dari prop
teater. Ini bahkan sudah ada di menit-menit awal film. Penonton sudah
menyaksikan bukti korban kekerasan seksual tanpa tahu apakah itu
sebuah bukti atau bukan. .

Persoalan kekerasan seksual di Penyalin Cahaya juga menarik,


karena Wregas sendiri memilih modus operandi ala Rama ini bukan
tanpa alasan. Seperti bagaimana dia menyelipkan Medusa agar bisa
menimbulkan diskusi, pemilihan voyeurisme ini juga memiliki efek
sama. Wregas bisa saja memasukkan adegan yang lebih brutal, demi
efek dramatis. Tentu itu memancing emosi, namun sepertinya Wregas
mau memberi pesan lain. Pesan di mana kekerasan seksual dalam
spektrum apapun tidak boleh dibela.

Dalam hukum Indonesia, penyusunan hukum soal kekerasan


seksual memang masih berlangsung dan alot. Sampai kritik film ini
ditulis, RUU TPKS yang tadinya bernama RUU PKS masih dalam
pembahasan. RUU tentu itu memiliki semangat yang sama dengan
Sur. De Beauvoir melihat bahwa perempuan dan laki-laki memiliki
perbedaan biologis. Karena itu, perannya di masyarakat itu berbeda
tetapi bukan direndahkan apalagi diobyektifikasi. Dari perspektif ini,

/ 123
maka kekerasan seksual juga harus diatur dalam definisi-definisi yang
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

lebih jelas, salah satu tujuan dibuatnya RUU TPKS. Hal ini agar pelaku
kekerasan seksual dari berbagai spektrum perlu diadili.

Pemilihan voyeurisme yang diderita oleh Sur sebagai modus


operandi si predator juga menjadi bagian dari dilema para penjaga
Kuil Minerva, pihak otoritas kampus. Mereka sampai mengorbankan
Sur, karena di sini tindakan Rama masih bisa ditoleransi oleh oleh
otoritas kampus. Mereka melakukan itu demi keagungan Kuil Minerva,
agar tetap mengirim teater Mata Hari ke Kyoto, mementaskan
matinya Medusa. Di film ini, kematian Medusa dihadirkan dengan
menghancurkan nama baiknya.

Mencampurkan voyerisme ke dalam seni juga menjadi tema yang


layak menjadi perbincangan. Dalam konteks lain, Wregas menyentil
karya seni yang bersinggungan kejahatan. Apakah etis sebuah karya
seni menampilkan obyek atau menggunakan metode yang berada
di area abu-abu atau malah melanggar hukum. Lebih ekstrim lagi,
apakah karya di mana pelaku kejahatan terlibat di sebuah karya
seni, masih perlu kah diapresiasi. Untuk yang terakhir ini, ironisnya,
film Penyalin Cahaya ikutan terimbas berkaca pada kejadian tidak
mengenakkan yang diungkapkan setelah film ini dirilis.

Metode abu-abu dalam seni memang bukan tidak pernah terjadi. Di


tahun 2013, karya fotografi Arne Svenson berjudul ‘The Neighbors’
di mana dia memamerkan potret warga New York yang sedang di
dalam apartmen di Manhattan dari kejauhan memancing kontroversi.
Masalahnya, dia mengambil foto tanpa persetujuan dari obyek
fotonya. Para obyek foto pun mengadukan ini ke pengadilan dengan
alasan pelanggaran privasi. Namun, Svenson memenangkan kasus ini
dan tidak dikenai dakwaan apapun.

Kasus ini masih menjadi perbincangan sampai hari ini. Apakah seni
bisa mengalahkan privasi. Dalam keputusan Pengadilan Banding
Mahkamah Agung New York, Svenson tidak bersalah karena
digunakan untuk alasan seni. Foto yang diambil pun diambil dengan
metode yang tidak melanggar hukum, dan obyek foto ada di ruangan

/ 124
terbuka, terlihat dari luar meski ada di dalam ruangan. Namun, para

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


obyek foto memiliki pandangan yang berbeda. Mereka merasa ada
pelanggaran privasi di situ. Mereka tidak pernah meminta untuk
difoto, meski ada di tempat yang bisa difoto dari mana saja, apalagi
untuk dijadikan obyek fotografi yang dipertontonkan ke publik.
Perbedaan mencolok dari yang dilakukan Svenson dengan predator
di Penyalin Cahaya adalah si predator tidak ada di batas abu-abu.
Walau sama-sama memanfaatkannya sebagai obyek seni. Rama si
predator dengan sengaja melanggar kuasa tubuh Sur dan korban-
korbannya. Dia membuka baju mereka tanpa mereka sadar, dan
mengabadikannya dalam foto. Ini adalah bentuk kerendahan si
predator. Rendah tapi serasa dirinya tinggi. Berani ketika korban
dalam posisi lemah.

Tema soal pelanggaran privasi kebetulan juga dimainkan oleh


Wregas dalam konteks lain di film ini. Tidak hanya soal kemerdekaan
atas tubuh Sur yang dilanggar si predator, Sur sendiri juga
melakukan pelanggaran privasi. Saat di toko sewa komputer, Sur
mengambil data orang-orang demi menelusuri siapa yang menjadi
pelaku. Pelanggaran privasi ini cukup ironis. Sur menjadi Vigilante,
seperti Batman menyadap warga Kota Gotham demi menemukan
keberadaan Joker di The Dark Knight (2008).

Vigilantisme Sur tentu bukan menjadi tindakan yang dibenarkan.


Two wrongs don’t make a right. Sur mengambil tindakan salah untuk
membuka tindakan yang lebih salah lagi, dan menghentikan gerakan
si predator. Namun, tentu kejahatan Sur tidak sebanding dengan apa
yang dilakukan 200 lebih warga desa yang ramai-ramai membunuh
Akku Yaddav si pemerkosa di Nagpur tahun 2004. Tapi, semangatnya
sama yaitu menghentikan pelaku kekerasan seksual dengan cara
apapun, memakai cara ilegal jika terpaksa.

Tindakan vigilantisme Sur dimainkan dengan baik oleh Wregas,


mengaburkan batas-batas etika, dan mempertanyakan apakah
tindakan salah bisa diambil untuk mengungkap tindakan salah.
Dalam konteks Medusa, ini paralel dengan sihir Medusa itu sendiri.
Dalam lukisan Medusa karya Peter Paul Rubens di 1618, Medusa

/ 125
digambarkan terpenggal dengan wajah kaku namun ular-ularnya
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

terlihat masih hidup. Peter melukis ini, mencampurkan kengerian


dan keindahan sekaligus, dengan tujuan mau menceritakan sihir
Apatropaik, sihir jahat yang digunakan untuk melawan sihir jahat.

Dalam kisah Perseus, kepala Medusa yang sudah dipenggal


digunakan sebagai apatropaik, digunakan untuk membuat monster
laut mematung. Kisah ini memang lebih legendaris dari kisah
tragis Medusa. Dunia lebih suka dengan imaji Perseus memegang
kepala putus Medusa. Di film Clash of Titans (2010), juga terang-
terangan posternya memperlihatkan Perseus dengan ekspresi
heroik memegang kepala Medusa yang sudah terpenggal. Narsisme
seorang maskulin yang meruntuhkan seorang perempuan.

Peter Paul Rubens melukis ini di tahun 1618. Oleh Peter, Medusa digambarkan
sebagai simbol sihir. Sihir apotropaik, yaitu sihir jahat yang digunakan untuk melawan
kejahatan. Sur merapal sihir apatropaik demi menghentikan kejahatan.

Sigmund Freud dalam esai berjudul "Medusa’s Head" (1922)


mengatakan bahwa laki-laki takut dengan ular di kepala Medusa.
Tapi, akhirnya ketakutan itu hilang karena ular tersebut mengingatkan
si laki-laki kepada penis. Karena penis bisa disunat, makan ular
di Medusa juga bisa dipotong. Maka akhirnya Perseus berani
memenggal Medusa, karena mereka sama-sama punya penis,
meski bentuknya berbeda. Di film, Perseus gadungan juga pun tidak

/ 126
takut dengan Sur yang kini ditemani korban lain, saudara-saudara

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Gorgonnya. Teori Freud juga menjawab kenapa Rubens dan seniman
lain hanya mau memosisikan Medusa sebagai monster, sebagai sihir
jahat.

Ular di kepala Sur memang bukan ular harfiah. Ular itu adalah
kekuatan untuk gigih bersikeras untuk mengejar pelaku. Secara
simbol, ular itu juga hadir dalam diri Sur. Hadir dalam warna hijau yang
nyaris selalu melekat di tubuh Sur sepanjang film. Hijau adalah warna
yang sudah secara tradisional menempel di karakter ular, seperti
warna ular di lukisan Rubens. Seperti warna selendang Badarawuhi di
mitologi modern, KKN di Negeri Penari yang bisa menjelma menjadi
ular.

Hijau selain warna ular, juga merupakan simbol atas sifat alam itu
sendiri. Simbol kedamaian, seperti melihat rumput terbentang atau
hutan yang menutupi Bumi saat belum disentuh peradaban. Di buku
“Greek Color Theory and the Four Elements” tulisan J.L Benson,
dalam tradisi Yunani Kuno, jika diintrepretasikan secara metaforis,
hijau bisa digambarkan sebagai kecantikan atau kedamaian alam. Di
sisi lain, hijau juga identik dengan teror, warna ular. Ular yang selalu
dipersepsikan sebagai hewan yang mengerikan.

Jika berkaca ke cerita-cerita khas Indonesia, hijau memang melekat


pada teror. Selain itu, hijau juga tidak jarang dilekatkan pada karakter
mistis yang mengerikan. Nyi Roro Kidul adalah contoh mitos yang
menggambarkan perempuan menakutkan di laut selatan, siap
memangsa siapa saja yang memakai pakaian dengan warna
favoritnya: hijau. Di media film, Nyi Roro Kidul tidak jarang ditampilkan
sebagai sosok menyeramkan, salah satunya seperti Kutukan Nyai
Roro Kidul (1979). Sosok Badarawuhi menjadi simbol horor terkini,
juga dibarengi penggambarannya sebagai siluman ular hijau yang
mengerikan dan menebar teror.

Hijau yang merupakan warna kedamaian tapi sekaligus warna teror


terasa sekali sebagai tone Penyalin Cahaya, jelas sekali terlihat baik
dari dominasi warnanya juga dari materi promo mereka. Karakter

/ 127
warna hijau yang ambigu ini pas dengan ambiguitas atau ironi yang
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

sering muncul di film ini. Sebagai contoh, Sur yang menggunakan sihir
apotropaik, padahal dia sedang menyuarakan kebenaran. Ayah Sur
(Lukman Sardi) bisa protektif di satu sisi, malah tidak mau melindungi
anaknya saat momen krusial. Dan, masih banyak lagi.

Hijau ini juga menjadi warna dominan ketika Sur harus membuat
klarifikasi kalau apa yang viral selama ini tidak benar. Ambiguitas
menempel di karakter-karakter di adegan tersebut. Rama si Predator
mengenakan jubah hijau, tidak jelas dia penjahatnya atau bukan saat
itu. Anggun (Dea Panendra) memakai jubah hijau, tidak jelas apakah
dia masih mendukung Sur atau tidak. Dan, Sur masih mengenakan
hijau, entah dia membawa kedamaian atau menebar teror seperti
siluman ular.

Meski sudah dihakimi, Sur tidak berhenti bergerak. Kali ini dia dibantu
dua saudara Gorgon lain, Tariq (Jerome Kurnia) dan Farah (Lutesha).
Sur bersemangat untuk menyebar ketakutan lagi, kali ini fokus kepada
yang melanggar kuasa tubuhnya. Tidak hanya si predator, tetapi ke
mereka yang jadi pendukung tindakan menjijikannya. Semangat yang
sama juga dinyalakan dalam film The Accused (1988), dengan tokoh
utama Sarah Tobias diperankan Jodie Foster. Bahkan Sarah Tobias
juga mengejar mereka yang membiarkan perkosaan terhadap dirinya
terjadi. She takes no prisoner.

Sarah Tobias di The Accused juga seperti dirasuki roh Medusa.


Tapi, tentu Medusa yang sudah diberi diwanti-wanti oleh Helen
Cixous. Wanti-wanti yang mengatakan, dengan bersuara atau
menulis, perempuan bisa melawan. Di sini seperti mau bilang bahwa
perempuan bisa melawan dengan cara lebih tenang. Tidak perlu
membuat laki-laki menjadi patung, tetapi melalui cara yang ada
dan diterima masyarakat. Di The Accused cara itu adalah lewat
pengadilan.

Lewat adegan demi adegan yang intens, konsisten dengan tone


film dari awal, akhirnya Sur dan saudara-saudara Gorgonnya pun
konfrontasi dengan pelaku. Fakta terbuka, dan segala pertanyaan

/ 128
terkait kejadian ini terjawab. Sayangnya, Penyalin Cahaya yang sudah

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


bergerak dengan amat dinamis, terjun ke antiklimaks yang cukup
mengecewakan.

Epilog

Konfrontasi Rama alias Perseus gadungan alias si Predator dengan


Medusa dan saudara-saudara Gorgon memang tidak terlihat
meyakinkan. Sebagai plot, kedatangan Perseus untuk mengambill
bukti kejahatannya menunjukkan kekuatan seorang antagonis.
Kekuatan Perseus itu tidak bisa disentuh. Sudah digambarkan di
adegan-adegan sebelumnya, di sini dikuatkan lagi. Sayangnya,
beberapa hal di dalam adegan ini malah terlihat menggelikan.

Seperti punya plot armor, Perseus bisa melenggang bebas setelah


membakar bukti. Padahal, lebih dari satu jam film ini menggambarkan
Sur amat hati-hati dengan bukti. Dia bahkan mendokumentasikan
segalanya. Dia selalu antisipasi. Durasi antara ditemukannya bukti
itu sampai Perseus gadungan datang juga tidak singkat. Tidak ada
penjelasan kenapa Sur bisa tidak sempat backup bukti yang amat
krusial ini. Mungkin ini saatnya penonton diminta menangguhkan
rasionalitasnya. Sepanjang film Penyalin Cahaya menantang otak
kita untuk berpikir dan memakai rasionalitas untuk menilai agar tidak
mengulangi kesalahan Minerva. Namun, ironisnya di adegan akhir,
penonton malah diminta untuk mematikan rasionalitasnya.

Tidak hanya itu, monolog Perseus kelihatan seperti penyair kelas


bawah mendaraskan puisi murahan. Bait demi bait dibuat tidak
saksama, bahkan terkesan serampangan. “Kalian semua hanya
akan diam. Diam mematung seperti patung.” Tentu seorang Rama
yang notabene penulis teater juara bisa membuat syair lebih baik
dari itu. Lagi-lagi sebuah ironi, ketika sepanjang film Penyalin Cahaya
disusun dengan dialog dan tata sinema yang rapi, adegan ini terlihat
kebalikannya.

Penurunan tidak hanya terjadi di situ saja. Belum puas dengan


antiklimaks di adegan sebelumnya, Wregas kembali memberikan efek

/ 129
yang sama di ending. Kuat di bagian-bagian awal, film malah kurang
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

greget di bagian terakhir. Dari adegan fogging seperti tidak ada jeda,
langsung ke adegan Sur dan Farah ke kampus untuk mengambil
mesin foto kopi. Tidak ada penjelasan kenapa mereka memutuskan
untuk memakai mesin foto kopi. Adegan itu terjadi begitu saja.

Setelah sepanjang film, berbagai simbol dibuat untuk menggerakkan


film, pemilihan mesin foto kopi untuk dijadikan konklusi malah
membuat film ini stagnan. Mesin foto kopi memang punya makna
untuk menduplikasi dokumen, dan di sini dokumen yang penting
adalah barang bukti. Lalu, apa yang membuat mesin foto kopi
lebih kuat pengaruhnya ketimbang saat bukti tersebut viral secara
daring sebelumnya. Mesin foto kopi itu memiliki jangkauan terbatas,
menduplikasi dengan detil yang jauh berkurang, dan buang-buang
kertas. Dalam kata lain, mesin foto kopi itu media yang usang.

Adegan akhir ini memang disutradari dengan baik. Namun, karena konteks ceritanya
tidak begitu kuat, adegan ini malah terlihat dibuat tanpa melalui keputusan matang.
Terburu-buru.

Menggunakan mesin foto kopi, kopiannya disebar-sebar ke seluruh


kampus, tentu bikin penonton yang sudah diajak kritis sepanjang film
bertanya-tanya. Memangnya orang mudah tergerak dengan baca
kertas fotokopian. Toh bukti yang disebar juga sama dengan saat
tersebar via daring. Kenapa seolah begitu mudahnya anak kampus
tergerak dengan gestur simbolis nan seremonial ini. Padahal informasi

/ 130
yang ditebar di situ berantakan, tidak runut dan malah berisiko pesan

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


tidak tersampaikan dengan baik. Berbeda ketika bukti pelecehan viral
via daring. Wregas jumping the shark, melakukan perubahan drastis
yang tidak masuk akal dan merusak integritas cerita itu sendiri.
Memang, saat bukti tersebar dan menjadi viral, itu malah dijadikan
senjata balik oleh otorita kampus untuk menyudutkan Sur. Tetapi,
bukankah itu bisa jadi momen bagi Wregas untuk bermain dengan
Apotropaik sihir Medusa. Ketika senjata itu malah digunakan lagi
oleh Sur untuk menyerang Rama dan bahkan pihak kampus. Kali ini
dengan strategi dan kekuatan yang berbeda.

Dalam permasalahan kekerasan seksual, korban bersatu kadang


tidak cukup. Di Penyalin Cahaya, pesan itu tersampaikan jelas. Dalam
kenyataannya, bersuara bersama-sama korban tidak akan cukup.
Selalu perlu pihak lain yang dilibatkan, agar bisa mengalahkan
kekuatan yang dimiliki oleh si predator. Pesan ini seperti luput
disampaikan Wregas. Walau tidak wajib, atau mungkin sedikit
tergambar di karakter kawan dari Ibu Sur, memasukkan pesan ini tidak
ada salahnya untuk menimbulkan harapan.

Jika Sarah Tobias di film The Accused meminta dukungan Kathryn


Murphy, Sur dan para korban memang perlu meminta dukungan dari
pihak-pihak lain. Pihak-pihak yang bisa mengatasi dari berbagai sisi.
Jika di film ini Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 eksis, pihak-
pihak tersebut adalah pihak yang bisa memberikan konseling, pihak
yang bisa memberikan advokasi, dan pihak yang bisa memberikan
layanan kesehatan. Jika di dunia Penyalin Cahaya peraturan itu tidak
ada, masih banyak ide dari kejadian lain. Bantuan media misalnya.

Media menjadi salah satu cara kuat untuk mengangkat kasus


kekerasan seksual. Kasus yang kerap dikubur dengan berbagai cara
oleh pelaku. Dalam Season 6, episode 5 Patriot Act with Hassan
Minhaj, Hassan menegaskan bahwa media berperan penting
mengungkap kasus kelam yang tidak terangkat ke permukaan. Dalam
episode yang berjudul Why the News Industry is Dying, bukan media
besar seperti CNN yang mengangkat ini, tetapi media lokal atau
independen. Hassan mau menyorot bahwa media telah mati karena

/ 131
media besar lebih suka mengangkat berita sensasional, bukan kasus
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

yang harusnya lebih perlu diangkat ke permukaan. Salah satunya


kasus pelecehan seksual yang dilakukan R Kelly, pertama kali dan
secara aktif selalu diangkat oleh The Chicago Sun-Times.
Di Indonesia, sejalan dengan semangat media lokal di Amerika,
media independen juga menjadi corong dibukanya kasus kekerasan
seksual yang dikubur. Salah satu yang cukup menggetarkan adalah
ketika Project Multatuli membuka kasus pencabulan anak di Luwu
Timur ketika kasus seolah sedang ditutupi asap fogging. Media
tersebut mengangkat kasus pelik itu, mengeluarkannya dari asap,
menggemakannya di media sosial, dan menjadi berita nasional. Lewat
media, sebuah permasalahan bisa disampaikan dengan lebih luas,
lebih ada konteks, dan bisa memancing diskusi sekaligus kemarahan
atas pihak yang mencoba menutupinya.

Secara keseluruhan memang Penyalin Cahaya merupakan film yang


memiliki pesan kuat dan disampaikan dengan amat baik. Sayangnya
memang mesin foto kopi yang di tengah film jadi senjata kuat untuk
plot, karena mengarahkan Sur pada sebuah kesimpulan kalau dia
adalah korban, malah lemah ketika digunakan lagi di akhir film. Atau,
mungkin Wregas sengaja untuk menciptakan ambiguitas film ini,
seperti warna hijau itu sendiri. Foto kopi bisa simbol kuat karena
membuka fakta, tapi juga simbol lemah karena tidak menyelesaikan
problem dari yang diderita Sur dan korban-korban lain.

/ 132
/ 133
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Qodrat Dan Iblis Yang Tidak Pernah Mati
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Paulus Heru Wibowo Kurniawan

Naratif Perlawanan terhadap Iblis

Pada tahun 1999, Seno Gumira Ajidarma pernah merilis sebuah buku
kumpulan cerpen yang berjudul Iblis Tidak Pernah Mati. Buku itu berisi
15 buah cerpen yang pernah ditulisnya di berbagai media massa.
Namun, dalam cerpen sebanyak itu, tidak dijumpai satupun kata
iblis yang dipergunakan sebagai judul cerpen. Kata iblis baru dapat
ditemukan dalam salah satu cerpen yang berjudul "Patung". Cerpen
ini menceritakan sebuah patung kusam yang teronggok di sebuah
pertigaan. Konon, dua ratus tahun lalu, patung ini adalah seorang
lelaki yang setia menanti kekasihnya, seorang pendekar wanita yang
sedang memburu iblis. Dengan samurainya, wanita itu berencana
untuk menebas dan menenteng kepala iblis sebagai hadiah
perkawinan mereka. Akan tetapi, selama masa penantian itu, sang
wanita ternyata tidak pernah datang untuk menjumpainya. Kesetiaan
yang ditunjukkan lelaki itu selama bertahun-tahun tampak sia-sia.
Ia ternyata menanti sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Bagaimana
mungkin iblis bisa mati? Bukankah iblis memang tidak pernah mati?
Ujar banyak orang.

Kedua pertanyaan retorik itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang


juga sering kita dengar sampai hari ini ketika kita menyaksikan aksi
kejahatan yang semakin marak di lingkungan kita, menyaksikan
perang yang terus berkecamuk, atau menyaksikan aksi korupsi yang
dilakukan beberapa pejabat publik. Melalui teks agama Monotheisme,
kita memang telah ditunjukkan bahwa iblis adalah sang pendusta
dan sumber dari segala kejahatan. Ia membawa perseteruan dan
perpecahan antara manusia dan Tuhan dan antarsesama manusia.
Pada abad pertengahan, iblis juga dituduh sebagai penyebab
terjadinya Black Death, pandemi menakutkan yang telah mematikan
dua pertiga populasi di Eropa. Sampai saat ini, citra iblis yang
bobrok itu pun tidak berkurang di tengah perkembangan budaya

/ 134
populer yang semakin marak. Dalam film horror, iblis dilawan dan

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


dimusnahkan. Namun, iblis memang tidak pernah mati sepenuhnya.

Kendati begitu, selalu saja tersedia begitu banyak naratif yang


berkisah mengenai sejumlah orang yang berusaha mati-matian untuk
mengalahkan iblis. Dalam naratif film horor, misalnya, dikenal tokoh
protagonis perempuan yang disebut Carol J Clover sebagai The
Final Girl dalam bukunya, Men, Women, and Chainsaws: Gender in
the Modern Horror Film (1992). Istilah tersebut mengacu pada satu-
satunya tokoh protagonis perempuan yang mampu bertahan hidup
setelah iblis yang menjadi musuh utama dalam naratif ia kalahkan di
akhir cerita. Menurut Clover, istilah The Final Girl itu mulai diterapkan
dalam film-film horor Hollywood pada tahun 1970-an, terutama dalam
subgenre film slasher seperti Helloween (1978). Namun, pada tahun
2014, Jess Hicks, seorang pengamat film horror dari Northeast Ohio,
dalam artikelnya yang berjudul “Marliyn Burns : The First Final Girl,”
menyatakan bahwa film slasher pertama yang menampilkan konsep
The Final Girl itu adalah Texas Chainsaw Massacres (1974) melalui
tokoh Sally Hardesty.

Tidak dapat dimungkiri bahwa konsep mengenai The Final Girl itu
semakin disukai dan berkembang dalam film-film horror kontemporer.
Alasannya, tokoh-tokoh The Final Girl menghancurkan stereotype
bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan korban yang
paling potensial. Tokoh-tokoh The Final Girl menunjukkan bahwa
tokoh perempuan dapat menjadi pahlawan tangguh yang dapat
menghancurkan musuh atau iblis yang paling menakutkan. Dengan
begitu, konsep mengenai The Final Girl ini memberikan inspirasi yang
sangat positif, terutama kepada penonton perempuan.

Beberapa film horor Indonesia yang diproduksi setelah tahun 2000


ternyata mengadaptasi konsep The Final Girl dalam naratifnya seperti
film Kuntilanak (2006), Rumah Dara (2009), Air Terjun Pengantin
(2009), Sebelum Iblis Menjemput (2018), dan Perempuan Tanah
Jahanam (2019). Para tokoh The Final Girl digambarkan sebagai
satu-satunya perempuan yang mampu bertahan hidup sampai akhir
cerita setelah mengalahkan dan memusnahkan iblis yang membunuh

/ 135
teman dan keluarganya. Kehadiran The Final Girl itu menghadirkan
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

potensi-potensi naratif yang lebih segar dalam industri film horor


Indonesia. Hal demikian semakin menguat setelah film Perempuan
Tanah Jahanam (2019) yang disutradarai Joko Anwar memenangkan
beberapa penghargaan di kancah film internasional dan diminati oleh
para penonton baik dari dalam maupun luar negeri.

Qodrat, Assuala, dan Jafar

Namun, pada tahun 2022, di tengah semakin maraknya konsep The


Final Girl dalam film horor Indonesia, muncullah film horror yang
berjudul Qodrat (2022) yang disutradarai oleh Charles Gozali. Film ini
menarik perhatian publik karena film ini pertama-tama menawarkan
pendekatan religi sebagai dasar naratifnya. Dalam film itu, dikisahkan
bagaimana tokoh yang bernama Qodrat memperoleh kesempatan
kedua dari surga untuk membasmi kejahatan yang dihadirkan iblis
Assuala. Sejak awal digambarkan bahwa iblis Assuala ini memang
begitu alot untuk dikalahkan. Assuala bahkan sanggup membuat
Qodrat depresi dan frustasi. Qodrat merasa bahwa ia tidak dapat
menyelamatkan jiwa Alif, anak semata wayangnya, dari Assuala yang
merasukinya.

Dengan sadis, iblis itu memutar kepala Alif sehingga mati secara
mengenaskan di dalam pelukan Qodrat. Akibatnya, Qodrat yang
sebenarnya memiliki karomah atau anugerah untuk melakukan ruqyah
mulai bersikap dingin dan acuh tak acuh pada doa dan ibadah kepada
Allah. Ia didera oleh rasa bersalah karena tidak dapat menyelamatkan
anaknya. Kendati begitu, Assuala tidak hanya berhenti menyiksa
dan merusak mental Qodrat. Di penjara, melalui seorang sipir yang
dirasuki iblis itu, Qodrat bahkan nyaris mati karena digantung Assuala
dengan rantai besi yang besar. Akan tetapi, dalam kondisi kritis,
Qodrat justru menemukan jalan pencerahan. Ia menemukan mukjizat
dan sekaligus hidayah untuk kembali bangkit dari keterpurukannya.
Hal itu berarti bahwa ia sanggup bangkit lagi untuk bertempur
dengan Assuala, sang iblis terkutuk.

/ 136
Namun, pada kenyataannya, lawan dari Qodrat memang

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


bukan hanya Assuala, iblis yang hadir dalam rupa roh. Qodrat
baru mengetahui bahwa Jafar, sahabatnya di pesantren, telah
menyalahgunakan ajaran agama sebagai kedok untuk memperkaya
diri sendiri. Jafar sebenarnya telah lama menyangkal Allah dan
memilih untuk menghamba kepada iblis yang bisa memberikan
harta dan kekuasaan kepadanya. Ia hanya menjadikan pesantren
sebagai sebuah jebakan bagi para penduduk yang membutuhkan
bantuannya. Sejak awal kehadirannya di pesantren yang berada
di desa Kober, Qodrat sudah mencurigai ada hal yang salah dengan
praktik pengajaran pesantren yang diterapkan Jafar sebagai
pengganti Kiai Rochim, gurunya yang sedang berada dalam kondisi
koma.

Bagi Qodrat, bukanlah sebuah kebetulan jika tanah-tanah desa Kober


semakin kering sehingga tidak ada satupun tanaman yang dapat
tumbuh di atasnya. Bukanlah sebuah kebetulan jika semakin banyak
orang yang kerasukan iblis dan bahkan berujung pada kematian
yang tragis. Dampak dari situasi ini adalah munculnya sikap saling
curiga antartetangga yang tidak terelakkan sehingga berkembang
kondisi yang sungguh mencekam. Dalam situasi demikian, celakanya,
semua penduduk terlanjur bertopang dan percaya pada Jafar dan
murid-murid pesantrennya sebagai pembawa ruqyah, penyembuh,
dan pelepas kekuatan jahat. Mereka tidak sadar bahwa bantuan yang
diberikan Jafar itu membuat mereka menjadi semakin miskin dan
menderita. Untungnya, Qodrat berhasil membongkar topeng Jafar
dan pengikutnya dengan cepat.

Dari Fenomena Ruqyah sampai Imperatif Kategoris

Kendati dalam film Qodrat nafas religi Islam terlihat begitu kental
melalui sejumlah doa pengusiran setan yang berasal dari ayat-ayat
Al-Qur’an, film ini sebenarnya tidak sedang menghadirkan dirinya
sebagai film dakwah. Film ini, menurut hemat saya, justru sedang
mencari formula dan struktur narasi film horor yang berpijak pada
ajaran dan tradisi ruqyah yang sesuai dengan ajaran Islam. Berkaitan

/ 137
dengan dinamika kehidupan sosiologi masyarakat Indonesia, film
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Qodrat sebenarnya sedang berusaha merespon fenomena ruqyah


massal yang terjadi beberapa tahun terakhir di dalam masyarakat.

Tidak dapat dimungkiri bahwa media sosial seperti YouTube,


Instagram, atau Tik Tok membuat fenomena ruqyah itu tidak lagi
dipahami sebagai tuntunan dan edukasi pengetahuan iman, tetapi
telah terlanjur dipahami sebagai tontonan dan hiburan yang lepas
dari konteks ajaran Islam. Seolah-olah praktik ruqyah begitu mudah
dilakukan dan pemberi ruqyah seolah-olah tidak membutuhkan
persiapan dan pengolahan jasmani, mental, dan rohani yang
serius. Hal demikian terlihat berbeda dengan apa yang ditunjukkan
film Qodrat. Dalam film itu khalayak ditunjukkan betapa Qodrat
memerlukan kesiapan jasmani, mental, dan spiritual yang mumpuni
untuk menghadapi dan mematahkan tipu daya iblis Assuala yang
sangat kuat. Berulang kali, Assuala menyerang mental Qodrat
dengan selalu menghadirkan bayangan Alif, anaknya yang mati di
pelukannya agar Qodrat lemah. Berulang kali pula, iblis itu menggoda
Qodrat untuk mengkhianati Allah. Namun, Qodrat tidak gentar atau
runtuh. Imannya kepada Allah yang Maha Agung telah bulat dan Allah
menjadi benteng dan kekuatannya dalam menghadapi kejahatan
yang ditebarkan baik Assuala maupun Jafar.

Selain sebagai sebuah kritik sosio-religi dalam kehidupan masyarakat,


film ini secara diam-diam juga menawarkan pembacaan ontologis
mengenai siapa iblis dan siapa manusia pada zaman sekarang.
Pembacaan ini tentu saja berkaitan dengan filsafat. Dalam tradisi
Filsafat Barat modern, iblis memang hanya menjadi alat argumentasi.
Berbeda dengan pemikiran para filsuf Abad pertengahan yang
memandang iblis sebagai musuh spiritual yang aktif menggoda dan
mempengaruhi manusia agar melanggar perintah-perintah Allah,
dalam pemikiran filsuf modern seperti Immanuel Kant, misalnya, iblis
dipergunakan sebagai alat retorika untuk menyampaikan kontras
antara kebaikan moral dan kecenderungan manusia untuk melanggar
prinsip moral. Dalam tulisannya yang berjudul Religion within the
Boundaries of Mere Reason (1793), iblis yang yang dipergunakan
sebagai sarana retorika ini disebut Kant sebagai iblis praktis,

/ 138
sedangkan iblis yang dipahami filsuf Abad Pertengahan disebut

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


sebagai iblis teoretis. Iblis praktis cenderung melakukan pelanggaran
terhadap prinsip-prinsip moral demi kepuasan dan keuntungan
pribadi.

Bagi Kant, manusia memiliki kebebasan moral dan sekaligus


tanggung jawab moral untuk melawan kecenderungan iblis praktis
dalam dirinya. Karena itu, manusia harus bertindak berdasarkan
imperatif moral yang universal, yang disebut Kant sebagai Imperatif
Kategoris. Dalam film ini, kita sebenarnya melihat kontras yang begitu
tajam antara Qodrat dan Jafar, bukan Qodrat dan Assuala. Qodrat
berusaha menjalankan prinsip Imperatif Kategoris pada penduduk
Desa Kober, sedangkan aksi Jafar justru bertentangan dengan prinsip
itu. Qodrat memperlakukan semua penduduk sebagai tujuan, bukan
sebagai alat. Ia tidak hanya menolong, tetapi juga mempertaruhkan
nyawanya bagi Yasmin dan anak-anaknya dari gangguan Assuala
yang hendak menghancurkan mereka. Sementara itu, Jafar justru
memperlakukan penduduk Desa Kober, termasuk keluarga Yasmin
sebagai sapi perahan bagi pundi-pundinya. Ia menggunakan
penduduk sebagai sarana untuk mencari kepuasan sendiri. Dalam hal
ini, wajah Jafar tampak begitu serupa dengan Assuala yang begitu
keji. Dalam istilah yang dipergunakan Kant, Jafar merupakan bagian
dari Volk von Teufeln (rakyat iblis) yang memiliki kecenderungan
menuju kejahatan dan ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip moral.

Pemihakan Qodrat kepada para penduduk Desa Kober yang


menderita tidak digerakkan oleh keinginan untuk dipuja atau
diidolakan sebagai hero. Akan tetapi, pemihakan yang dilakukan
Qodrat itu didasarkan kebebasan moral dan tanggung jawab moral
untuk memilih tindakan yang sesuai dengan prinsip moral. Di tengah
trauma masa lalu yang masih membayangi dirinya, Qodrat tidak
berusaha untuk mematikan kebebasan moral dan tanggung jawab
moralnya. Di dalam dirinya sendiri, Qodrat telah berhasil mengalahkan
kecenderungan iblis prakstis sehingga ia dapat bertindak
berdasarkan Imperatif Kategoris yang dimaksud Kant. Heroisme
yang ditampilkan Qodrat itu, menurut hemat saya, menjadi semacam
pengingat bagi penonton masa kini bahwa setiap manusia perlu

/ 139
bertindak sesuai dengan aturan moral dengan memperjuangkan
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

martabat dan nilai setiap individu. Heroisme yang ditampilkan Qodrat


itu dengan tegas menolak perlakuan Assuala dan sekaligus Jafar
yang menjadikan manusia sebagai objek yang mudah dirasuki dan
diperalat demi ambisi dan dendam pribadi.

Social Allegory dan Perubahan Sosial dalam Masyarakat

Dalam konteks industri film horor nasional, saya memiliki


pengharapan agar naratif film Qodrat dapat menjadi salah satu model
dan template kreatif yang dapat membantu kelahiran tema-tema
film horror lainnya dengan berbagai inovasi yang lebih menarik. Perlu
dicatat bahwa sampai saat ini, film horor adalah genre film yang paling
fleksibel bekerja sama dengan genre-genre film lainnya. Sayangnya,
selama bertahun-tahun, sejumlah film horor Indonesia cenderung
menampilkan tema ikonografi hantu yang begitu stereotipik. Naratif
film horor Indonesia yang ditampilkan pun selalu berbasis pada
upaya penceritaan kembali sosok hantu agraris ikonik seperti
Kuntilanak yang selalu berulang dan eksploitatif. Hal demikian seolah-
olah membuktikan bahwa sirkulasi produksi dan reproduksi yang
berkaitan erat dengan konsep mengenai transmedia intertekstualitas
yang dapat menghadirkan pengalaman naratif yang berbeda-beda
belum sepenuhnya dipahami industri film horor Indonesia. Namun,
hal mendesak yang kiranya dapat dipertimbangkan saat ini adalah
memproduksi film-film horror yang tidak sekadar berorientasi
pada hiburan, melainkan pada sejumlah pengalaman manusia
yang bersifat sosial dan eksistensial. Pengalaman yang bersifat etis,
filosofis, teologis, sosiologis, psikologis, dan bahkan ideologis pun
dapat dihadirkan melalui film horror. Sejumlah pengalaman itu dapat
dimungkinkan hadir bila film horror sungguh dirancang sebagai
alegori sosial (social allegory) yang mendekatkan para penontonnya
dengan realitas keseharian yang dihadapinya.

Saya pikir, film Qodrat bisa hadir sebagai salah satu referensi naratif
yang dapat menawarkan social allegory dalam khazanah film horror
Indonesia kontemporer. Tentu saja, hal itu tidak berarti bahwa naratif
film Qodrat adalah satu-satunya naratif yang dapat menjadi juru

/ 140
bicara bagi perlawanan terhadap kejahatan kemanusiaan yang

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


terjadi setiap waktu. Naratif film ini juga perlu memperhatikan secara
serius pelibatan anak-anak dan perempuan yang selalu diposisikan
secara stereotipik sebagai korban dalam naratif film horror. Para
pembuat film horor pada hari ini memerlukan upaya yang sangat
serius untuk menemukan ekspresi naratif yang mampu membaca
perubahan sosial yang sedang terjadi di dalam masyarakat. Dengan
begitu, film horor tidak lagi hanya berbicara soal iblis yang berupaya
merasuki atau menghancurkan jiwa manusia. Film horor bukanlah
sekadar film mengenai iblis yang marah dan ketakutan-ketakutan
yang disebabkannya, melainkan film mengenai manusia dan
kemanusiaannya yang begitu rapuh. Dalam teks naratif apapun, iblis
mungkin tidak pernah mati. Namun, melestarikan kepercayaan itu
sebagai mitos yang tidak berubah justru akan membuat kita bagai
patung yang kusam yang teronggok dalam penantian yang sia-sia.

/ 141
Melacak Pengaruh Estetika Realisme
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Atambua 39° Celsius

Bintang Panglima

MENGAPA ATAMBUA?

Teori realisme dan neorealisme memiliki pengaruh besar dalam


skema sinema global. Film-film neorealisme Italia yang terkenal
seperti Rome Open City (1945), The Bicycle Thief (1948), dan Paisan
(1946) telah memberikan pengaruh yang kuat pada sinema AS,
seperti yang terlihat dalam film The Killer of Sheep (1978) karya
Charles Burnett, dan bahkan sinema India, seperti film Panther
Panchali (1955) karya Satyajit Ray. Namun, di Indonesia, bahasan
tentang pengaruh sinema neorealisme Italia terhadap sinema
nasional masih jarang dilakukan.

Pengaruh neorealisme di Indonesia sering dikaitkan dengan film


Darah dan Doa (1950) karya Usmar Ismail, terutama dalam hal
penggunaan aktor nonprofesional. Namun, menurut Jurnal Footage
(2011), penggunaan aktor nonprofesional dalam Darah dan Doa
tidak bermaksud untuk menciptakan otentitas seperti dalam sinema
neorealisme Italia. Sebaliknya, pemilihan aktor non-profesional
dalam film tersebut disebabkan oleh kendala-kendala teknis, seperti
masalah biaya dan ketersediaan aktor profesional pada masa itu.

Film Atambua 39° Celsius (2012), garapan sutradara Riri Riza dan
produser Mira Lesmana dari rumah produksi Miles Films, merupakan
sebuah karya yang menarik dan efektif dalam mengangkat realita
sosial di perbatasan Timor Leste dan Indonesia pasca-referendum
1999. Salah satu keunikan film ini terletak pada pendekatan realis
yang digunakan, di mana bahasa Tetun (bahasa daerah Atambua)
menjadi bahasa utama yang digunakan oleh para karakter, dan aktor
non-profesional asal Atambua dipilih untuk memerankan peran-peran
tersebut.

/ 142
Dalam proses pembuatan film ini, Riri Riza benar-benar terjun ke

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


lapangan, menciptakan dasar yang kuat untuk penggambaran yang
autentik. Naskah film dikirimkan ke Atambua selama satu bulan
untuk diterjemahkan ke bahasa Tetun, dan selama 14 hari syuting
dilakukan dengan semangat gerilyawan, melibatkan kru yang tidak
terlalu banyak. Pendekatan ini menciptakan hasil yang luar biasa,
menghadirkan realita sosial yang mencengangkan bagi penonton
(layartancep.id). Dalam film Atambua 39° Celsius, Riri Riza dan timnya
berhasil menghadirkan gambaran yang mendalam dan menarik
tentang kehidupan masyarakat di perbatasan yang jarang
dieksplorasi dalam sinema Indonesia.

Film Atambua 39° Celsius merupakan kasus yang unik. Saya merasa
bahwa dibandingkan dengan beberapa film Indonesia lainnya yang
hanya mengadopsi beberapa elemen subtil sebagai bentuk inspirasi
dari neorealisme Italia, seperti penggambaran realita sosial dalam
Eliana, Eliana (2002, Riza) dan Puisi Tak Terkuburkan (2000, Nugroho),
film Atambua 39° Celsius (2012, Riza) memiliki kesan yang lebih kuat
dan terlihat secara jelas terinspirasi secara signifikan dari neorealisme
Italia.

Melihat bagaimana film Atambua 39° Celsius berusaha menciptakan


kesan realisme, saya mulai mempertanyakan konsep estetika
dari realisme itu sendiri. Apakah sebuah film dapat sepenuhnya
memperlihatkan realitas tanpa adanya unsurunsur pengaturan?
Meskipun film ini mengimplementasikan berbagai elemen
perencanaan seperti staging, skenario, dan pemotongan adegan,
yang pada dasarnya dapat menghambat kesan realitas, tetapi sulit
untuk menyangkal bahwa film Atambua 39° Celsius masih mampu
memberikan kesan realis yang kuat.

Seperti pembuat film neorealis di Italia, Atambua 39° Celsius berhasil


menciptakan kesan estetika yang “terkesan” tidak direncanakan.
Dalam film ini, kamera dibawa langsung ke lokasi alami, merekam
manusia lokal yang memerankan karakter dengan sangat dekat
dengan realitas kehidupan sehari-hari.

/ 143
Selain itu, dibandingkan dengan film-film lain karya Riri Riza, seperti
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Laskar Pelangi (2008) dan Gie (2005), film Atambua 39° Celsius
belum pernah mendapatkan kajian yang memadai sebelumnya
(atau setidaknya sulit diakses). Ini merupakan hal yang disayangkan
mengingat keunikan film ini jika dibandingkan dengan karya-karya
Riza lainnya atau bahkan film-film Indonesia pada tahun 2010-an.
Terlebih lagi, dengan adanya keberadaan film ini di platform digital,
harapannya kajian ini dapat memicu diskusi yang lebih mendalam
tentang Atambua 39° Celsius, serta mendorong bahasan lebih lanjut
tentang realisme dalam film-film Indonesia.

REALISME: ESTETIKA ATAU ONTOLOGI?

Sebelum membahas bagaimana teori realisme diterapkan dalam


sebuah film tertentu, penting untuk memahami konsep dasar dari
teori realisme itu sendiri. Dalam sejarah teori film, realisme berada
dalam periode yang dikenal sebagai teori film klasik, yang berbeda
secara radikal dengan pandangan formalis tentang film sebagai seni.
Para teoretisi realis melihat film sebagai representasi dari realitas itu
sendiri, dengan penekanan pada materi atau konten film daripada
bentuknya, yang berseberangan dengan pandangan formalis.

Ketika mempertimbangkan potensi artistik film terhadap kualitas


materi, saya merasa bahwa para realis tidak melihat film sebagai
seni. Mereka melihat film hanya sebagai penangkap realitas atau
lebih sederhananya, sebuah mekanisme mesin. Tradisi realis muncul
pada akhir dekade 40-an, diprakarsai oleh para teoritisi realis seperti
Siegfried Kracauer, yang memandang medium film sebagai bentuk
pemulihan realitas fisik. Namun, menurut pandangan saya, tokoh
yang paling berpengaruh dalam memandang film realis sebagai
bentuk estetis adalah Andre Bazin, seorang filsuf dan kritikus film asal
Prancis.

Bazin adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam perkembangan


teori realisme. Pendekatan dan pandangannya terhadap film sangat
unik dan komprehensif. Tulisan-tulisannya tentang realisme penuh
dengan analisis teoritis yang beragam, dengan merujuk pada

/ 144
berbagai bidang ilmu seperti kimia, kelistrikan, geologi, psikologi,

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


fisika, sastra, filsafat, dan agama.

Dalam pandangan Bazin terhadap sinema dan kekuatannya,


ia menganggap bahwa kualitas utama sinema terletak pada
kemampuannya untuk merepresentasikan realitas sebagaimana
adanya. Dalam esai yang luar biasa berjudul “Ontology of
Photographic Image”, Bazin membandingkan kemampuan sinema
dalam menangkap realitas dengan cara manusia memumikan jasad
manusia. Analogi ini digunakan oleh Bazin untuk menggambarkan
bahwa film dan mumifikasi memiliki motivasi psikologis yang sama,
yaitu untuk menjaga keutuhan kondisi tubuh dari kerusakan akibat
waktu yang berlalu.

Berdasarkan analogi film dengan mumifikasi yang diajukan oleh


Bazin, saya melihat bahwa Bazin lebih menganggap film sebagai
ekspresi manusia dalam merepresentasikan realitas dengan
sejujur-jujurnya. Menurut Bazin, ini adalah “dorongan universal” yang
mendorong kita untuk menciptakan karya yang menjadi representasi
tubuh manusia.

Fokus Bazin terletak pada dorongan psikologis manusia untuk


menciptakan, yang berada di luar dorongan artistik atau estetis.
Dalam esai Ontology, Bazin memberikan pengantar tentang cara
pandangnya terhadap film sebagai representasi realitas. Dia secara
mendalam membahas kualitas ini secara teoritis dan ontologis, tanpa
terlalu memasuki aspek spesifik mengenai bagaimana sebuah karya
film dapat sepenuhnya merepresentasikan realitas.

Ini membuat saya berpikir, bagaimana sebenarnya tampilan sebuah


film yang realis? Lebih spesifik lagi, apa yang membuat sebuah film
memiliki kualitas estetis yang membangun kesan realis? Menentukan
estetika realisme merupakan tugas yang sulit, bahkan bagi Bazin.
Seiring dengan perkembangan sinema, terdapat banyak film yang
berhasil menciptakan tampilan yang realistis dengan cara-cara dan
pendekatan yang berbeda-beda.

/ 145
Dalam pembahasan ontologisnya, Bazin pernah menggunakan
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

film Citizen Kane (1941) karya Orson Welles sebagai contoh untuk
menerapkan teori realisnya dengan pendekatan yang lebih estetis
dan teknis. Saya menemukan pendekatan ini menarik karena Bazin
tidak hanya memuji aspek naratif atau tema film tersebut, tetapi ia
lebih fokus pada kualitas sinematografi yang menurutnya efektif
dalam merepresentasikan realitas. Salah satu konsep yang dia
tekankan adalah profondeur de champ, yang merupakan gabungan
antara deep focus dan long-take.

Profondeur de champ, dalam kata sederhana, mengacu pada


kemampuan untuk menjaga kejernihan objek dalam jarak pandang
yang dalam dan pengambilan gambar yang panjang tanpa
mengorbankan fokus. Penggunaan teknik ini memberikan kesan
bahwa semua elemen dalam frame memiliki kesamaan pentingnya,
serta memberikan kedalaman yang kuat pada gambar.

Konsep profondeur de champ memberikan kebebasan kepada


penonton untuk melihat apa yang mereka inginkan, seolah-olah
berada dalam realitas itu sendiri. Konsep ini menjadi salah satu aspek
menarik dan sering digunakan dalam merangkum gagasan Bazin.
Namun, jika kita melihat tulisan-tulisan Bazin yang lain, kita akan
menemukan bahwa profondeur de champ bukanlah satu-satunya
kriteria yang digunakan oleh Bazin dalam mengamati estetika
realisme dalam film. Ia lebih berperan sebagai batu loncatan untuk
membahas aspek estetis lain yang lebih mendalam dan intens.

Dalam konteks pendidikan film, seringkali terjadi kekeliruan dalam


menilai nilai estetika film realis. Banyak yang salah menganggap
bahwa penggunaan teknik seperti deep focus dan long take secara
otomatis mencerminkan realisme yang sejati. Saya kemudian
menemukan sebuah esai menarik karya Bazin berjudul “William
Wyler, or the Jansenist of Directing,” saat ia menganalisa karya-karya
sutradara Amerika, William Wyler, dan membahas pandangannya
tentang estetika realisme.

/ 146
Dalam esai tersebut, Bazin menganggap estetika realisme sebagai

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


cara untuk menggambarkan dunia dengan “mereproduksi
pengalaman fisiologis/mental tertentu dari persepsi alam, atau
mencari pendekatan yang mampu memberikan kesan yang sama.”
Dengan kata lain, Bazin tidak memandang bahwa realisme hanya
dapat dicapai melalui teknik deep focus dan long take.

Estetika realisme dikupas dengan lebih intens oleh Bazin dalam


pembahasannya tentang neorealisme Italia. Bagi Bazin, neorealisme
Italia adalah gerakan sinema yang paling penting pada zamannya.
Bahkan dalam beberapa esainya yang membahas gerakan ini,
neorealisme dipandang sebagai manifestasi estetis dari pandangan
realis Bazin. Dalam esai ini seakan-akan Bazin mengoreksi dirinya
sendiri. Di dalamnya, Bazin menyatakan bahwa realisme dalam
sinema lebih merupakan pilihan estetis daripada sekadar produk
ontologis, sebagaimana telah diajukan dalam esai Ontology.

Dalam esainya, Bazin memandang estetika realisme sebagai alat yang


dapat diatur dengan cermat untuk menciptakan sebuah pandangan
dunia yang bebas dan luas. Dalam analisanya tentang film The
Bicycle Thief (1948), Bazin mengungkapkan bahwa tanpa “aktor,
cerita, dan set, estetika ilusi realitas yang sempurna muncul ketika
‘sinema’ tidak lagi ada” (Bazin, 60). Dengan ini, Bazin menekankan
bahwa estetika realisme dapat dikendalikan secara saksama untuk
menciptakan kesan atau ilusi dari realitas itu sendiri. Bagi Bazin,
film-film neorealisme Italia dianggap sebagai bentuk paling baik dari
pengendalian estetika ini.

Dalam menyelami tulisan Bazin mengenai neorealisme Italia, sebuah


gerakan sinema yang estetikanya dipandang sebagai manifestasi
teori-teorinya tentang realisme dalam film, saya menyimpulkan tiga
kriteria utama Bazin dalam melihat estetika realisme tersebut;
Pertama, penggunaan aktor non-profesional atau non-aktor dalam
film. Menurut Bazin, penting untuk menghindari memasukkan aktor
profesional ke dalam peran yang sudah sering mereka perankan.
Menurutnya, penonton tidak perlu dibebani dengan prakonsepsi
tertentu.

/ 147
Dalam hal pemilihan pemeran, Bazin berpendapat bahwa aktor
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

harus dipilih secara organik, dengan mempertimbangkan kesesuaian


mereka dengan karakter yang dimainkan, bukan popularitas
mereka sebagai aktor maupun selebriti. Bagi Bazin, kesesuaian
karakter dengan aktor sangatlah penting, baik dari segi fisik maupun
kesesuaian kehidupan aktor dengan karakter yang dimainkannya
(Bazin, 24).

Kriteria kedua adalah pengambilan gambar di lokasi asli, atau yang


disebut oleh Bazin sebagai natural setting. Bagi Bazin, penggunaan
lokasi asli dibandingkan dengan lokasi buatan di studio sama
pentingnya dengan penggunaan aktor nonprofesional dibandingkan
dengan aktor profesional. Bazin melihat penggunaan lokasi asli
membuat film terhindar dari kesan kaku, seperti halnya yang terlihat
dalam film yang menggunakan pencahayaan di studio.

Selain dua aspek tersebut, Bazin juga melihat bahwa film neorealisme
kerap menggali kondisi kelompok terpinggirkan dan kelas pekerja
bawah. Karakter dalam film-film neorealisme Italia sering kali
mengeksplorasi kehidupan sederhana dan menjadi konflik utama
dalam perjalanan hidup mereka.

Oleh karena itu, tiga elemen yang Bazin anggap menciptakan estetika
realisme adalah: 1. Penggunaan aktor non-profesional, 2. Pengambilan
gambar langsung di lokasi, dan 3. Subyek film adalah kelompok
terpinggirkan.

Oleh karena itu dalam esai ini, saya akan membahas serta
menguraikan tandatanda realisme berdasarkan elemen estetika
realisme yang disimpulkan dari berbagai tulisan Andre Bazin tentang
realisme ke dalam materi durasi 89 menit film Atambua 39° Celcius
(2012) karya sutradara Riri Riza.

PENGGUNAAN NON-AKTOR

Neorealisme mengubah sistem studio secara total. Dari pemindahan


lokasi syuting dari studio ke jalanan, hingga pergeseran fokus

/ 148
utama dari penulisan dan desain produksi ke pencarian momen

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


pengambilan gambar yang jujur dan on location. Perbedaan yang
paling mencolok antara film neorealisme dan film studio adalah
penggunaan non-aktor atau aktor non-profesional. Dalam esai Bazin
yang membahas estetika film realis, serta beberapa esai tentang
gerakan neorealisme Italia, Bazin sering memuji film-film yang
menggunakan non-aktor untuk peran-peran sentral.

Dalam esai “An Aesthetic of Reality”, Bazin menyatakan preferensinya


terhadap non-aktor tidak berarti menolak penggunaan aktor
profesional, tetapi menolak sistem bintang Hollywood. Menurut Bazin,
aktor profesional bisa digunakan jika mereka memiliki fleksibilitas
dalam menanggapi mise en scène dan pemahaman karakter yang
baik. Dengan kata lain, Bazin tidak menolak penggunaan aktor
profesional, tetapi menolak sistem bintang Hollywood yang dapat
membatasi imajinasi penonton dengan prakonsepsi.

Alam film Atambua 39° Celsius, semua karakter, baik protagonis


maupun pendukungnya, diperankan oleh aktor non profesional.
Misalnya, ada karakter bernama Ronaldo Bautista, seorang sopir bus
antarkota yang terpisah dari keluarganya di Timor Timur. Perannya
diperankan oleh Petrus Beyleto, seorang pria asli Timor yang
kehidupannya sangat mirip dengan karakter yang diperankannya.
Begitu juga dengan Gudino Soares, yang memerankan anak laki-laki
Beyleto, yaitu Joao Bautista.

Menariknya, hingga saat ini, Beyleto dan Soares belum pernah


tampil dalam film sebelumnya. Jadi, ketika penonton melihat mereka
berakting dalam film Atambua 39° Celsius, mereka tidak memiliki
prakonsepsi atau perbandingan. Ini sesuai dengan visi Bazin tentang
penggunaan aktor non profesional dalam film realis. Baginya,
prakonsepsi terhadap aktor yang sudah terkenal justru membebani
penonton.

Namun, di sisi lain, ada Putri Moruk, seorang perempuan asal Timor,
yang telah memerankan peran dalam dua film lain setelah Atambua
39° Celsius, yaitu Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara (2016) dan Empu

/ 149
(2020). Menurut Bazin, hal ini bisa menimbulkan prakonsepsi dalam
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

pikiran penonton mengenai gambaran Moruk melalui dua karakter


lain yang pernah diperankannya.

Secara keseluruhan, kesan menonton Atambua 39° Celsius menjadi


semakin menarik karena kehadiran aktor non profesional yang begitu
menyatu dengan karakter yang mereka perankan. Sementara itu,
pengalaman sebelumnya yang dimiliki oleh beberapa aktor dapat
memberikan dimensi tambahan dalam pemahaman penonton
terhadap karakter yang mereka perankan.

Hal ini sungguh menarik, karena urutan tahun rilis dalam filmografi
sang aktor kini kehilangan relevansinya. Aksesibilitas film tidak lagi
terbatas pada bioskop semata, melainkan telah meluas secara luas.
Oleh karena itu, penonton kini memiliki kebebasan untuk menonton
filmografi seorang aktor secara acak atau non-kronologis.

Pada masa itu, ketika Bazin menulis esainya dan memberikan


perspektifnya mengenai konsep ini, fenomena menonton filmografi
aktor secara tak berurutan jarang terjadi seperti sekarang. Film
hanya dapat ditonton ulang jika penonton memiliki akses ke arsip
atau jika studio menginisiasi pemutaran ulang di bioskop. Namun,
jika “Atambua 39° Celcius” adalah film pertama yang seseorang
tonton dengan aktor Putri Moruk, maka ilusi realisme akan tercipta
dengan sangat efektif. Pasalnya, penonton sama sekali tidak memiliki
pembanding untuk membentuk prakonsepsi mengenai penampilan
setiap aktor.

Dengan demikian, keberadaan penonton yang dapat menyusun ulang


filmografi aktor sesuai keinginan mereka memberikan kebebasan dan
keunikan tersendiri. Ini adalah perubahan menarik dalam dinamika
menonton film, yang telah mengubah cara kita menghargai dan
menginterpretasikan karya seni perfilman.

Perihal kedekatan atau kesejajaran realita aktor dengan realita


yang direpresentasikan karakter dalam film juga menjadi aspek
yang menarik. Namun, sayangnya, informasi yang kita miliki tentang

/ 150
kehidupan Petrus Bayleto, Gudino Soares, dan Putri Moruk di

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


luar film Atambua 39° Celcius hanya terbatas pada fakta bahwa
mereka adalah warga lokal Timor dan belum pernah terlibat dalam
dunia akting sebelumnya. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa
penggunaan aktor non profesional dalam film ini tidak hanya terbatas
pada tiga karakter tersebut. Lebih dari puluhan aktor pendukung
dan background actor juga diperankan oleh warga lokal yang
menghidupkan suasana film ini.

Penggunaan aktor non-profesional dari warga lokal adalah praktik


yang umum dilakukan oleh sutradara Riri Riza dalam film-filmnya
yang mengangkat kehidupan masyarakat pedalaman. Contohnya,
dalam film Laskar Pelangi (2008), sepuluh anak pesisir Belitung dipilih
untuk memerankan siswa SD Muhammadiyah. Begitu pula dalam
Sokola Rimba (2013), yang mengisahkan kisah Butet Manurung,
masyarakat suku Orang Rimba menjadi aktor anak-anak dalam film
tersebut. Meskipun menggunakan aktor non-profesional dalam
pemain ansambel, sutradara tetap menggabungkannya dengan aktor
profesional.

Dalam film Laskar Pelangi, beberapa aktor ternama seperti


Lukman Sardi, Cut Mini, Ario Bayu, Mathias Muchus, Alex Komang,
dan Teuku Rifnu Wikana berperan penting. Begitu pula dalam
Sokola Rimba, Prisia Nasution dan Rukman Rosadi, sebagai aktor
profesional, memegang peran integral dalam film tersebut. Seperti
yang diungkapkan oleh Bazin, kehadiran aktor yang telah lama
berkecimpung di dunia seni peran memberikan pengaruh terhadap
keseluruhan penampilan para aktor dalam film.

Namun, film Atambua 39° Celcius menarik perhatian karena tidak


melibatkan aktor profesional atau terkenal dalam pemeranannya.
Hal ini menjadi keunikan utama dari film ini jika dibandingkan dengan
film-film lain karya Riri Riza. Keputusan ini memberikan kesan yang
berbeda bagi penonton, di mana karakter-karakter dalam film seolah-
olah menyatu menjadi satu dengan aktornya tanpa ada prasangka
sebelumnya.

/ 151
Riri Riza menyadari hal ini dan memilih aktor non-profesional untuk
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

memerankan semua tokoh dalam film Atambua 39° Celcius sebagai


representasi dari realitas dengan jujur, tanpa membebani penonton
dengan prasangka sebelumnya. Selain itu, pemilihan aktor non-
profesional yang merupakan bagian dari warga lokal juga merupakan
upaya Riri Riza untuk menciptakan keaslian dan realisme dalam film
tersebut.

PEREKAMAN LANGSUNG DI LOKASI

Setting dalam film merujuk pada unsur-unsur dalam bingkai yang


menggambarkan ruang, tempat, dan waktu. Penggunaan setting
alami atau direkonstruksi dalam studio memainkan peran penting
dalam estetika realisme menurut Bazin. Dalam analisanya tentang
gaya pengarah Vittorio De Sica dalam esai “De Sica: Metteur en
Scene”, Bazin menyebutkan bahwa setting alami memiliki tingkat
kepentingan yang sama dengan penggunaan aktor non-profesional.
Setting alami mampu menghindari kesan plastik yang sering muncul
dalam pencahayaan dan susunan setting di studio.

Menurut Bazin, setting dan aktor perlu saling berpadu, menciptakan


harmoni atau ketidakharmonisan yang membentuk karakter film.
Pengambilan gambar on location memberikan kesan autentik dan
realistis pada film-film neorealistik Italia, sementara lokasi dan ruang
menjadi karakter yang terhubung erat dengan betapa fotogenik
pelataran kota tersebut.

Kata fotogenik yang digunakan Bazin menjadi kunci yang menarik


di sini. Dalam KBBI, fotogenik merujuk pada manusia yang
penampilannya menghasilkan potret yang menyenangkan. Namun,
dalam definisi lain, terjadi generalisasi saat istilah ini tidak lagi
hanya terpaku pada seorang individu. Merriam Webster Dictionary
mendefinisikan photogenic sebagai sesuatu yang “cocok untuk difoto
terutama karena daya tarik visualnya”. Oleh karena itu, daya tarik visual
tidak selalu berhubungan dengan keindahan yang bersifat relatif,
melainkan pesona atau nilai yang terdapat dalam hal tersebut. Hal ini
adalah mengapa Bazin menyebutkan bahwa bahkan bagian kumuh

/ 152
kota Italia merupakan suatu hal yang fotogenik.

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Kembali kepada objek bahasan, Atambua 39° Celcius mencatat
dengan detail semua adegan yang terdapat dalam film di lokasi
aslinya di kota Atambua. Sebagai ibu kota Kabupaten Belu di provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT), kota Atambua memiliki sejarah yang
menarik. Pada tahun 1999, Atambua menjadi tempat penampungan
penting bagi para pengungsi dari Timor Timur (kini Timor Leste).
Secara geografis, kota Atambua dikelilingi oleh perbukitan, sehingga
dataran yang rata di kota ini cukup sedikit. Selain itu, Atambua juga
memiliki banyak lahan hijau yang belum terjamah oleh pembangunan,
serta pantai dan danau yang menawan.

Memahami kompleksitas sejarah dan geografi kota Atambua, bisa


dipahami mengapa Riza memilih untuk melakukan pengambilan
gambar secara langsung di lokasi tersebut. Hasilnya adalah penonton
seolah-olah diangkut secara langsung ke lokasi itu, tanpa adanya
elemen buatan yang dapat muncul jika pengambilan gambar
dilakukan di studio. Dengan menggabungkan aktor non-profesional
yang berasal dari tempat yang digambarkan dalam film, tercipta
rasa kesatuan antara karakter dan latar. Kedua elemen ini saling
melengkapi dan membangun penggambaran yang lebih jujur dan
autentik.

Salah satu keuntungan dari melakukan pengambilan gambar di


lokasi, seperti yang ditegaskan oleh Bazin, adalah fleksibilitas yang
lebih besar yang diperoleh oleh sutradara dalam mengambil gambar
(Bazin, 30). Hal ini terbukti jelas dalam film Atambua 39° Celcius. Riza
tidak terlihat terbatas oleh pembatasan-pembatasan yang biasanya
ada di dalam studio. Terdapat banyak adegan yang lebih dinamis
dalam pergerakan kamera, serta pemanfaatan lokasi yang telah ada
sebagai pelengkap.

Ketika Bazin menulis esai yang menjelaskan hal ini, pembuat film
neorealis Italia menghadapi kendala dalam merekam gambar dan
suara secara bersamaan di lokasi alami. Menurut Bazin, meskipun
keterbatasan ini disebabkan oleh keterbatasan teknis pada waktu

/ 153
itu, hal ini secara langsung dapat menghilangkan esensi realisme
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

itu sendiri. Namun, masalah ini tidak ditemui oleh Riri Riza dalam
pembuatan film Atambua 39° Celcius. Pada masa produksi film
tersebut, perekaman suara telah dilakukan secara digital, sehingga
menjadi lebih praktis, bahkan saat dilakukan di kota pedalaman.

Kemajuan teknologi dalam pembuatan film memungkinkan adegan


interior, yang pada masa neorealisme Italia sulit direalisasikan karena
batasan pencahayaan, juga tidak lagi menjadi masalah dalam
pembuatan film Atambua 39° Celcius. Kemajuan ini telah diprediksi
oleh Bazin jauh sebelum alat yang memadai ditemukan. Dalam
esainya yang berjudul “An Aesthetic of Reality,” ia mencatat bahwa
“kemajuan teknis di masa depan akan memungkinkan pembuat
film untuk menghadapi sifat-sifat yang lebih nyata” (Bazin, 30).
Mengenai masalah pengambilan gambar interior yang realistis, Bazin
mengatakan bahwa semakin lama, pengambilan gambar interior akan
bergantung pada peralatan yang rumit dan kompleks. Baginya, hal
ini wajar karena “beberapa ukuran realitas harus dikorbankan demi
mencapainya.”

Namun, hal ini tidak menjadi masalah besar dalam film Atambua
39° Celcius, karena film tersebut didominasi oleh adegan eksterior
yang diambil dengan pencahayaan alami dari matahari. Penggunaan
cahaya alami memberikan nuansa otentik pada latar, membuat
gambar terlihat seperti kehidupan nyata. Bagi Bazin, pencahayaan
hanya memainkan peran kecil dalam mengekspresikan realisme,
karena permainan pencahayaan yang rumit biasanya dilakukan di
dalam studio, sedangkan pengambilan gambar dilakukan langsung
di lokasi. Oleh karena itu, fokus utamanya adalah bagaimana cahaya
matahari ditangkap secara autentik.

Penggunaan lokasi asli dan pencahayaan alami dalam film Atambua


39° Celcius sangat terlihat. Riza menggunakan kedua elemen ini
sebagai perangkat untuk menggambarkan latar secara visual yang
lebih realistis. Penggunaan lokasi nyata tidak hanya menguntungkan
dari segi realisme, tetapi juga memperkuat hubungan saling
melengkapi antara setting alami dengan karakter-karakter yang

/ 154
diperankan oleh penduduk lokal.

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


SUBJEK FILM ADALAH KELOMPOK TERPINGGIRKAN

Dalam beberapa esai yang membahas neorealisme Italia secara


historis, Bazin menegaskan bahwa keadaan sosial yang tercerabut
oleh perang merupakan faktor utama dalam membentuk estetika
neorealisme Italia. Meskipun berbentuk fiksi, Bazin mengamati bahwa
film-film Italia memiliki “kualitas dokumenter” yang erat dengan
realitas sosial yang mereka gambarkan. Representasi yang autentik
terhadap realitas menjadi ciri khas dari film-film Italia pada era
tersebut.

Dalam esai berjudul Tout film est un documentaire social atau “Every
Film is a Social Documentary” yang diterbitkan pada Juli 1947, Bazin
menyatakan bahwa sinema, dalam arti tertentu, tidak bisa berbohong,
dan setiap film dapat dianggap sebagai sebuah dokumen sosial. Bagi
Bazin, film memiliki potensi sebagai alat dokumentasi yang mampu
menggambarkan sensibilitas massa. Film dapat merepresentasikan
kondisi sosial dengan jujur dan efisien.

Pandangan Bazin ini selaras dengan tradisi neorealisme Italia yang


autentik dalam berusaha menggambarkan sensibilitas masyarakatnya
di masa perang. Konteks politik di kota-kota Italia pada masa itu
terkait dengan situasi pascakejatuhan fasisme dan dampak buruk
perang yang membuat negara terpecah, hancur, dan mengalami
kebangkrutan ekonomi. Industri film Italia sendiri mengalami
kemunduran akibat hancurnya infrastruktur dan peralatan produksi
akibat perang. Film-film neorealisme pada periode ini mengangkat
isu-isu yang dekat dengan realitas sosial mereka, seperti kemiskinan,
kehidupan sehari-hari, dan pengangguran.

Film Atambua 39° Celcius mengangkat isu-isu yang serupa.


Di tanggal 30 Agustus 1999, pelaksanaan referendum Timor
Timur dilaksanakan. Pada hari pelaksanaan, situasi relatif aman,
namun satu hari setelah itu, terjadi kerusuhan di berbagai tempat.
Sejarah mencatat sekitar 1.400 orang menjadi korban tewas dan

/ 155
menyebabkan 300.000 orang harus mengungsi ke kota Atambua
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

(Deutsche Welle).

Film Atambua 39° Celcius mengangkat isu-isu yang serupa. Pada


tanggal 30 Agustus 1999, referendum Timor Timur digelar. Saat itu,
situasinya relatif aman, namun hanya dalam satu hari setelahnya,
kerusuhan meletus di berbagai daerah. Dalam catatan sejarah, korban
tewas mencapai sekitar 1.400 orang dan sekitar 300.000 orang
terpaksa mengungsi ke kota Atambua (Deutsche Welle).

Film Atambua 39° Celcius sendiri mengisahkan 15 tahun setelah


referendum tersebut, ketika Ronaldo dan anaknya Joao adalah dua
dari ratusan ribu migran yang berpindah ke Atambua. Sementara itu,
istri Ronaldo dan anak perempuannya tetap tinggal di Liquica, Timor
Leste. Di Atambua, mereka hidup dalam keadaan miskin. Ronaldo
bekerja sebagai sopir bus antarkota, tetapi dipecat akibat masalah
alkohol. Sementara itu, Joao, yang kini telah dewasa, bekerja sebagai
tukang ojek. Latar sosial ini secara otomatis mencakup semua aspek
yang terkait dengan kondisi karakter dalam cerita.

Berdasarkan video di balik layar yang dipublikasikan oleh Miles


Films (00:11– 02:21), sutradara Riri Riza dengan tegas menekankan
“perpecahan sosial” sebagai fokus utama dalam menggambarkan
situasi sosial di Kota Atambua. Karakter-karakter dalam film ini
merepresentasikan beragam warga Atambua yang terdampak oleh
perpecahan tersebut, dan cara mereka bereaksi terhadap kondisi
yang ada.

Penggambaran perpecahan secara realistis dalam film Atambua


39° Celcius mencerminkan pendekatan neorealisme Italia dalam
menggambarkan hal yang serupa. Baik dalam film ini maupun dalam
neorealisme Italia, perhatian utama diberikan pada sensitivitas warga
yang menghadapi masa-masa sulit, baik secara sosial maupun
ekonomis. Namun, yang membedakan keduanya adalah konteks dari
perpecahan yang disajikan.

/ 156
MENGILHAMI KAJIAN PENGARUH ESTETIKA REALISME

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Memikirkan film-film modern Indonesia lain yang mungkin memenuhi
kriteria estetika realisme Bazin dengan sangat pas, seperti Atambua
39° Celcius, merupakan tantangan yang cukup kompleks bagi saya.
Hal ini disebabkan oleh terbatasnya kajian mengenai pengaruh
realisme maupun neorealisme dalam perfilman Indonesia, serta
minimnya kajian mendalam mengenai film Atambua 39° Celcius itu
sendiri. Namun, sebagai penulis, saya berharap bahasan ini dapat
menjadi motivasi dan pendorong bagi dunia kajian film Indonesia
untuk lebih mengkaji film-film dan topik-topik yang selama ini jarang
dibicarakan.

Saya percaya bahwa film-film seperti Atambua 39° Celcius memiliki


potensi yang besar untuk menjadi subjek bahasan yang menarik
dan bermanfaat dalam konteks studi film. Dengan menganalisis
aspek-aspek realisme dalam film tersebut, kita dapat memperluas
pemahaman kita tentang perkembangan perfilman Indonesia dan
memberikan wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana estetika
realisme dapat berperan dalam konteks lokal.

Hasil bahasan ini juga mengungkapkan bahwa puluhan tahun setelah


Bazin memperkenalkan konsep estetika realisme, teori tersebut tidak
hanya berpengaruh pada film-film modern di Eropa dan Amerika
Serikat, tetapi juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam perfilman
ndonesia. Hal ini membuktikan bahwa diskusi dan pemahaman
tentang estetika realisme perlu diperluas dalam lingkup budaya yang
beragam.

Sebagai penggemar film dan peminat kajian film, saya berharap


bahwa hasil bahasan ini dapat membuka pintu bagi lebih banyak
bahasan yang berfokus pada film-film Indonesia yang memadukan
elemen-elemen realisme dengan narasi yang kuat. Dengan demikian,
kita dapat menggali potensi kreatif dan artistik perfilman Indonesia
lebih dalam lagi, serta meningkatkan apresiasi terhadap keunikan dan
kekayaan budaya yang tergambar dalam film-film tersebut.
Dengan semakin banyaknya bahasan dan kajian tentang film-film

/ 157
Indonesia yang berani mengeksplorasi estetika realisme, saya
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

yakin bahwa kita dapat melihat perkembangan yang lebih baik


dalam perfilman Indonesia. Saya berharap bahwa hasil bahasan
ini dapat mendorong para sineas dan pengamat film untuk terus
mengembangkan dan mendalami pengetahuan tentang realisme
dalam konteks perfilman Indonesia.
--------
Film Atambua 39° Celcius tersedia dalam kanal Disney+ Hotstar di sini

DAFTAR BACAAN
Bazin, André. “An Aesthetic of Reality: Cinematic Realism and the Italian
School of the Liberation.” What Is Cinema?, First, vol. 2, University of California
Press, 2004, pp. 16–40.

---. “Every Film Is a Social Documentary.” Film Comment, vol. 44, no. 6, 2008,
pp.
40–41.

---. “The Evolution of the Language of Cinema.” What Is Cinema?, vol. 1,


Amsterdam University Press, 2005, pp. 23–40.

Deutsche Welle. “Memperingati 20 Tahun Referendum Timor Timur.” dw.com,


30 Aug. 2019, www.dw.com/id/memperingati-20-tahun-referendum-timor-
timur/a50223772.

Footage, Jurnal. “Darah Dan Doa: Cita-Cita Filem Nasional Indonesia*.” Jurnal
Footage, 30 Mar. 2011, jurnalfootage.net/v4/darah-dan-doa-cita-cita-filem-
nasionalindonesia.

Mellya, Mira Febri. “‘Atambua 39° Celsius’: Trauma Dari Perbatasan.”


Perbatasan, 23 Mar. 2012, www.perbatasanindonesia.com/2012/12/
atambua-39-celsius-traumadari.html

/ 158
Miles Films. “‘Atambua 39 Derajat Celsius’ Di Balik Layar 3.” IdFilmCenter,

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


uploaded by IdFilmCenter, 8 Nov. 2011, www.indonesianfilmcenter.com/
filminfo/detail/619/atambua-39-derajat-celcius.

Noor Iffandy, Arief. “Atambua 39 Derajat Celsius.” Layartancep.Id, 10 Nov.


2012, layartancep.id/review-detail-186-artikel.html.

/ 159
Tilik Dan Perempuan Dalam Perjalanan:
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Yang Tersesat Antara Bibir, Barbar Dan Beber

Anindita Siswanto Thayf

“Tidakkah sudah tiba saatnya ada film Indonesia yang berperspektif


perempuan?” (Sita Aripurnami, Sosok Perempuan dalam Film
Indonesia)

Sekali waktu seorang pengamat film berharap bisa menyaksikan


hadirnya filmfilm Indonesia dengan peran perempuan yang benar-
benar realistis. Adalah aktivis perempuan, Sita Aripurnami, yang
menuliskannya dalam esai Sosok Perempuan Dalam Film Indonesia
untuk majalah Prisma No.5. Tahun XIX, 1990, sebagaimana dikutip
di atas. Baginya, gambaran perempuan dalam dunia film kala itu
dan kenyataan yang ada sungguh berbeda dan mengecewakan.
Harapannya, perempuan hendaknya dimunculkan dalam film
sebagaimana adanya, “kehidupan perempuan yang nyata, yang
sehari-hari.” (Ismail, Taufik, dkk, 2003: 470)

Tulisan Aripurnami merupakan hasil pengamatannya perihal


bagaimana perempuan dimunculkan dalam film-film Indonesia pada
masa itu. Tulisan tersebut juga ditujukan untuk melanjutkan beberapa
pengamatan yang ada tentang hubungan antara film Indonesia dan
citra perempuan beberapa tahun sebelumnya. Pengamatan yang
dirujuk Aripurnami adalah tulisan di majalah Prisma No.7, Juli 1981
karya Krishna, juga makalah-makalah yang dibacakan dalam pekan
film Komite Film DKJ pada tahun 1986 dan 1988 oleh Myra Diarsi
dan Dewi Matindas, Citra Wanita Dalam Film Nasional: Dieksploitir—
Benarkah? (1986), Sosok Diri Perempuan dalam Perfilman Indonesia
(1986), Keluarga dan Wanita Dalam Film Indonesia (1988).

Tergerak oleh tujuan yang kurang lebih sama, saya pun menyusun
tulisan ini demi melihat bagaimana film Indonesia masa kini
memandang perempuan sekaligus mencoba mencari jawaban atas
pertanyaan Sita Aripurnami. Bedanya, alih-alih membandingkan
beberapa film dalam jangka waktu tertentu, saya hanya akan memilih

/ 160
satu film tentang perempuan yang pernah sangat viral berkat apa

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


yang ditawarkannya, yang sungguh kebetulan sejalan dengan apa
yang dicari-cari oleh Aripurnami: “... film yang menampilkan kehidupan
perempuan yang nyata, yang sehari-hari.” Ialah sebuah film pendek
berjudul Tilik (2018) yang saya tonton di Youtube.

Perempuan dan Perjalanan

“Akan sampai kapankah film Indonesia menggambarkan persoalan


perempuan dengan begitu sederhana?” Demikian Aripurnami
melemparkan satu pertanyaan penting di ujung tulisannya.
Pertanyaan ini dipantik oleh kesimpulan Krishna dan Myra Diarsi
bahwa peran perempuan yang diterima dalam film-film Indonesia
paruh awal tahun 1980-an hanyalah peran perempuan menikah, tapi
tidak sebaliknya. Perempuan yang mencoba mandiri justru akan
dikutuk. Adapun Dewi Matindas memberikan setitik harapan baru
lewat hasil pengamatannya. Menurutnya, citra perempuan yang lebih
positif dan kuat sudah mulai bermunculan dalam film-film Indonesia
menjelang akhir tahun 1980-an.

Sementara itu, dengan memusatkan perhatiannya pada film-film yang


lahir antara tahun 1988 dan 1990, Aripurnami mendapati bahwa para
kreator film ternyata masih menganggap masalah semua perempuan
adalah sama dan sederhana, yaitu masalah cinta. Pendangkalan
sudut pandang ini membuat karakter perempuan, secerdas, sekuat
atau semandiri apapun, akan tampak rapuh dan lemah. Peran
perempuan yang tegar, berkarakter kuat, dan sejajar dengan laki-
laki hanya ditemukannya dalam satu film: Tjoet Nyak Dhien. Hasilnya,
Aripurnami menyimpulkan bahwa film Indonesia masih memandang
persoalan perempuan dengan setengah hati.

Kini, abad telah berganti. Waktu tiga dasawarsa lebih telah mengubah
dunia dan banyak hal di dalamnya berkat bantuan teknologi.
Perubahan dan percepatan terjadi di mana-mana, termasuk dalam
dunia sinema. Film telah menemukan bentuk, tema, bahkan media
baru. Maka, dikenallah film jenis mokumenter, film bertema feminis
atau gender, hingga film-film pendek yang diputar di Youtube.

/ 161
Kekritisan dan kesadaran akan banyak hal juga berbiak di mana-
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

mana, termasuk tentang perempuan. Ironisnya, cara masyarakat


memandang persoalan perempuan tidak pernah berubah, justru
kian kreatif diskriminatifnya. Ia tidak lagi hanya sekadar disederhakan,
tapi juga dikerdilkan. Persoalan perempuan diibaratkan persoalan
seseorang yang sakit parah. Si pasien hanya perlu pergi ke
rumah sakit atau tempat praktik dokter demi mendapatkan obat.
Masalahnya, persoalan perempuan bukanlah penyakit. Ia hanya bisa
dipahami oleh perempuan itu sendiri, bukan oleh orang lain di luar dari
dirinya.

Masyarakat selalu menempatkan perempuan dalam perjalanan


buntuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Padahal masyarakat itu sendiri, lewat sistem patriarki yang diwariskan,
justru yang menciptakan persoalan untuk perempuan yang berpusat
pada empat tuntutan peran sosial yang sudah dikonstruksikan
baginya. Perempuan dituntut untuk menjadi anak perempuan
ayahnya, menjadi saudara perempuan dari abangnya, menjadi istri
bagi suaminya dan menjadi ibu untuk anaknya

Jadilah perempuan selalu berada dalam perjalanan di sepanjang


hidupnya demi mencapai tujuan-tujuan yang bukan ditentukan
oleh dirinya sendiri, melainkan orangorang di sekitarnya. Mulai dari
perjalanan untuk membuktikan diri sebagai anak perempuan dan istri
yang berbakti, perjalanan mencari cinta dan mengejar jodoh, hingga
perjalanan menjadi ibu dan calon bidadari penghuni surga yang
pantas. Perempuan dibuat percaya bahwa setibanya di tujuan maka
jawaban atas persoalannya bakal teratasi.

Di dunia nyata, masyarakat akan memastikan perempuan melakukan


perjalanannya dengan berbagai trik dan cara. Di semesta sinema,
para kreator filmlah yang akan membuat perempuan menempuh
perjalanan tersebut untuk kepentingan mereka, entah dengan
membawa nama perempuan sambil berkeliling negeri seperti
yang dilakukan politikus Amerika Serikat, Matt Walsh, dalam film
dokumenternya What is a Woman? (2022) atau membuat film tentang
perempuan yang seolah berpihak kepada perempuan, dengan

/ 162
menyuarakan persoalan perempuan, tapi menciptakan peran utama

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


perempuan berkarakter kuat yang penuh stigma, sebagaimana yang
dilakukan Wahyu Agung Prasetyo lewat film Tilik.

Realitas Perempuan dalam Semesta Tilik

Tilik dibuka dengan sebuah adegan ketika sekelompok perempuan


berjilbab sedang melakukan perjalanan menggunakan truk. Mereka
berdiri berhimpitan di tempat ketika sapi-sapi biasanya berdiri saat
hendak dibawa ke pasar ternak atau rumah jagal: bak belakang truk.
Sebuah film Jepang berjudul Riaru Onigokko (2015) karya Sion Sono
juga menyajikan adegan pembuka yang nyaris serupa. Serombongan
siswi sekolahan sedang melakukan perjalanan dengan menggunakan
bus. Bedanya, gadisgadis muda ini menikmati perjalanan sambil
duduk di kursi masing-masing dengan nyaman. Persamaannya,
kendati ibu-ibu Tilik melakukan perjalanan sosial demi membesuk Bu
Lurah di rumah sakit dan siswi-siswi Jepang melakukan perjalanan
wisata sekolah, semua perempuan ini digambarkan seragam oleh
para kreator. Bahwa baik perempuan Indonesia maupun perempuan
Jepang sama-sama mesti ribut jika sedang berkumpul. Penormalan
karakter perempuan semacam ini sering ditemukan dalam banyak
film hingga seolah-olah begitulah realitas perempuan di kehidupan
sehari-hari.

Marshall McLuhan, dalam Understanding Media, The Extensions


of Man (1964) berujar bahwa pada dasarnya melalui film kita
menggulung kenyataan dalam sebuah gulungan untuk kemudian
mempergelarkannya kembali sebagai sebuah karpet fantasi yang
ajaib (Budiman, 2002: 68). Sebagai “kenyataan yang digulung”, film
jelas menunjukkan sifat sebagai sebuah replika. Ada sebentang
kehidupan yang sengaja direkam, dipotong, dipilih, disunting, dan
dijejalkan ke dalam bingkai gulungan film, sebelum kemudian
“dihidupkan” kembali di atas sebentang layar. Di sisi lain, sebagai
komoditas seni budaya, film jelas merupakan semesta hasil konstruksi
kreatornya berdasarkan nilai-nilai tertentu yang dianutnya, seperti
selera, identitas, dan ideologi.

/ 163
Begitupun, sejatinya karya seni memang harus berani menafsirkan
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

realitas. Itulah mengapa, oleh Albert Camus, seni disebut sebagai


pemberontakan. Ia bisa menolak dunia karena sesuatu yang tidak
ada di dalamnya dan/atau karena ia justru berada di dalamnya. Seni
tidak bisa pula disapih dari kepentingan ideologi seniman atau
kreatornya. Maka ketika seorang kreator memilih untuk mengukuhkan
realitas dunia maskulin dalam karyanya, pada saat yang sama pula dia
menunjukkan ideologinya sebagaimana yang diperlihatkan Wahyu
Agung Agung lewat film Tilik.

Tilik hadir pertama kali di halaman kantor Dinas Kebudayaan Daerah


Istimewa Yogyakarta (DIY) pada pertengahan bulan Oktober 2018,
sebelum kemudian diunggah di salah satu media sosial sekaligus
“televisi dan bioskop” portabel sejuta umat: Youtube, pada tanggal
17 Agustus 2020. Dibagikan oleh rumah produksi Ravacana Film asal
Yogyakarta, Tilik berdurasi setengah jam lebih pendek daripada rata-
rata durasi film bioskop pada umumnya. Persisnya, 32 menit 34 detik.
Tilik termasuk satu dari sedikit film Indonesia yang menggunakan
bahasa daerah (dalam hal ini bahasa Jawa-Yogyakarta) sebagai
bahasa pengantar utama. Hingga hari ini, Tilik masih bisa ditonton
gratis secara global dan mencatatkan total jumlah penonton sebanyak
28 juta meskipun termasuk film berteks terjemahan (dalam bahasa
Indonesia secara otomatis).

Dalam kanal Youtube rumah produksinya, yang bergabung dengan


Youtube sejak 10 Juni 2016 dan hanya memiliki 469.000 subscribers,
Tilik tercatat sebagai video produksi terpopuler mereka dengan
rekor penonton yang sulit dilampaui. Kepopuleran inilah yang
kelak mendorong kelahiran Tilik the Series (2023) atau serial web
Indonesia produksi MD Entertainment dan Ravacana Films, lima tahun
kemudian.

Titik awal kelahiran Tilik bermula ketika Dinas Kebudayaan Daerah


Istimewa Yogyakarta (DIY) membuat Kompetisi Pendanaan
Pembuatan Film 2018 untuk kategori film fiksi dan dokumenter
berdurasi 24 menit hingga 40 menit. Kepada kreator film yang hendak
mengikuti kompetisi tersebut, panitia penyelenggara menetapkan

/ 164
empat indikator penilaian:

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


a. Ruang, antara lain: geografis, sosial, ataupun budaya
b. Karakter manusia di Yogyakarta antara lain: cara manusia hidup,
bersosialisasi dan bertahan di Yogyakarta
c. Penguasaan atmosfir sosial-budaya di Yogyakarta
d. Ketepatan memilih isu tematik untuk diangkat ke dalam film.
(www.budaya.jogjaprov.go.id/agenda/detail/723-kompetisi-
pendanaapembuatan-film-2018)

Pada akhirnya, kompetisi ini menghasilkan tujuh film hasil pendanaan


yang terdiri dari lima film fiksi dan dua film dokumenter, termasuk
Tilik. Keberuntungan film ini juga terus berlanjut karena belakangan
terpilih sebagai pemenang untuk Kategori Film Pendek Terpilih
pada Piala Maya 2018 dan menjadi Official Selection JogjaNetpac
Asian Film Festival (JAFF) 2018 dan Official Selection World Cinema
Amsterdam 2019 (www.urbanasia.com/entertainment/penghargaan-
film-tilik-pialamaya-2018-hingga-cinema-amsterdam-2019).
Keistimewaan beruntun tersebut jelas menandakan bahwa Tilik
bukan sekadar film pendek biasa. Piala dan label terpilih yang
dikoleksinya kian mengesahkan bahwa pesan yang dibawa film ini,
termasuk kebutuhan yang hendak dipenuhi dan wacana yang hendak
dibangunnya, adalah hal yang dianggap penting untuk didukung
dan disebarluaskan oleh pihak-pihak tertentu kepada penonton dan
masyarakat.

Dalam bahasa Jawa, kata tilik bermakna membesuk atau menjeguk


seseorang yang terkena musibah, sakit atau meninggal dunia. Tilik
telah menjadi salah satu budaya khas Jawa yang masih bertahan
kuat, terutama di daerah kampung dan pedesaan, hingga sekarang.
Film Tilik berkisah tentang sesuatu yang tampak sederhana.
Serombongan ibu-ibu hendak membesuk Bu Lurah di rumah sakit
yang cukup jauh dari desa mereka.

Menumpang truk, lika-liku perjalanan rombongan ini diikuti kamera


hingga tiba di tujuan. Namun, jika dikulik lebih jauh, sesungguhnya
Agung tengah membuat perempuan-perempuan dalam semesta Tilik
melakukan perjalanan yang bukan sesederhana membesuk orang sakit.

/ 165
Film Tilik lebih dari sekadar sebuah narasi yang, mengutip ucapan
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

kreatornya dalam wawancara dengan Vice.com pada 19 Agustus


2020,”... [sesuatu yang] bisa relate ke banyak masyarakat Indonesia,”
(www.vice.com/id/article/m7j4gv/filmpendek-tilik-peraih-piala-maya-
2018-dan-karakter-bu-tejo-viral-karena-tayang-gratisdi-youtube)–
alasan yang membuat film ini sangat viral dan mendapat sorotan
masyarakat luas, bahkan pujian atas kerealistisan perempuan tokoh
utama ceritanya. Ada sesuatu yang tidak disadari, dan perlu dikuak,
dari film yang konon mengusung gagasan tentang hak perempuan
untuk berbicara, berpendapat dan menentukan pilihan hidup ini.
Yaitu, Tilik justru mengarahkan penonton untuk menerima pewajaran
stigma perempuan sekaligus kian mengukuhan hegemoni kuasa
maskulin atas perempuan.
Pembuktian atas hal tersebut akan dipaparkan pada bab-bab berikut.

Bibir dan Otonomi Perempuan

“Dia [perempuan] yang bisa menjaga lidahnya akan mendapatkan


[laki-laki] jodohnya.“ (Ursula, film The Little Mermaid, 1989)

Kita hidup di dunia maskulin. Dalam dunia semacam ini, peran


perempuan sudah ditentukan oleh laki-laki, begitu pula aturan-aturan
dan nilai-nilai yang dipegang dan dipercayai perempuan. Dalam Tilik,
miniatur dunia maskulin itu tersaji jelas, berikut pesan-pesannya yang
disampaikan secara halus dan rapi dengan bersembunyi di balik riuh
rendah suara ibu-ibu yang tengah bergosip dalam kewajaran obrolan
seharihari.

Sebagai pendiri dunia maskulin, laki-laki menginginkan perempuan


memiliki citra sebagaimana yang terangkum dengan baik lewat
peran kanca wingking. Tidak hanya berlaku di Jawa, secara umum,
perempuan diharapkan, juga selalu dituntut, untuk menunjukkan
femininitasnya, patuh, dan, yang pasti, menjadi pendukung yang
sempurna untuk laki-laki sebagaimana tokoh utama, Bu Tejo.
Sebaliknya, kepada perempuan yang menentang atau berdiri di luar
pagar nilai-nilai sosial dan moral yang sudah ada, dengan enteng bakal
dicap negatif sebagaimana yang dialami tokoh Dian dan Bu Lurah.

/ 166
Bu Tejo adalah istri Pak Tejo dan berasal dari keluarga dengan

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


tingkat ekonomi di atas rata-rata warga desanya. Hal ini tergambar
jelas dari pameran perhiasan emas di tangan dan jari Bu Tejo, yang
sesekali sengaja dipamerkannya saat tengah bercakap dengan
siapapun. Kemapanan ekonomi Pak Tejo juga membuatnya berniat
mencalonkan diri sebagai lurah, yang didukung penuh oleh Bu Tejo
dengan mulai bergerilya mengumpulkan simpati dan merekrut calon
anggota tim sukses sang suami dengan caranya sendiri.

Dian adalah seorang perempuan muda yang belum menikah dan


baru saja bekerja di kota. Dian berasal dari keluarga miskin yang
hanya menyandarkan hidup dari hasil sawah yang sedikit. Sejak kecil,
dia telah ditinggalkan oleh sang ayah sehingga harus berjuang hidup
hanya bersama ibunya. Keterbatasan ekonomi membuat Dian hanya
bisa bersekolah hingga SMA dan memutuskan bekerja selepas itu.
Tokoh Dian telah menjadi sumber obrolan ibu-ibu penumpang truk
sejak awal film. Dia tidak berhenti disalahkan atas keburukan maskulin
bapak-bapak dan om-om, termasuk sopir truk, Gotrek, yang tertarik
kepadanya hanya karena satu alasan. Dian memiliki wajah yang cantik.

Gotrek: Yang jadi lurah, Dian saja, bagaimana?


Ibu-ibu: Ya, Allah. Janganlah!
Gotrek: Bapak-bapak pasti milih semua.
Ibu-ibu: Astagfirullahaladzim!
Bu Tejo: Amit-amit! Kampung kita bisa hancur...

Sejak zaman dahulu, tubuh perempuan selalu dianggap mengandung


bahaya sosial yang dapat mengancam masyarakat. Tidak hanya
menyimpan pesona yang mampu memikat hati dan mata, ia
juga diyakini memancarkan seksualitas yang sanggup menyihir,
mengontrol dan menempatkan laki-laki di bawah kekuasaannya.
Jadilah perempuan dianggap makhluk berbahaya. Semakin menarik
fisiknya maka semakin berbahaya perempuan itu. Pun, keburukan
pasti akan menyertainya sebagaimana yang diamini oleh Phytagoras
bahwa jika laki-laki berhubungan dengan prinsip-prinsip kebaikan
maka perempuan berhubungan dengan prinsip-prinsip keburukan
(Beauvoir, 2003: 287). Kesan sarat bias gender inilah yang kemudian

/ 167
melahirkan stigma negatif terhadap perempuan.
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Bu Tejo: Eh, Yu Sam. Kira-kira, menurutmu, Dian itu pakai susuk atau
tidak. Kayaknya pakai deh, ya. Ya, kan?
Yu Sam: Bisa iya, bisa tidak. Dian kan memang dasarnya sudah cantik.
Jelas banyak orang yang suka, kan.

Di bawah dominasi maskulin, perempuan dipaksa menanggalkan


otonomi dirinya. Tubuhnya akan selalu menjadi bahan penilaian
dan penghakiman orang lain, entah melalui perkataan maupun
pandangan. Tubuh perempuan pun sengaja dikurung dengan
aturan-aturan androsentris yang dipasang diam-diam oleh laki-laki
sebagai pihak pemegang otoritas dan dijaga baik-baik secara ketat
oleh perempuan pendukungnya. Bagi perempuan yang menolak
mematuhi aturan tersebut, ada hukuman yang bakal diterimanya.
Tubuh merupakan produk sosial yang mesti tunduk pada konstruksi
sosial yang berlaku, dalam hal ini tatanan dunia maskulin. Akibatnya,
cara pandang atas tubuh perempuan dan tubuh laki-laki berbeda.

Tubuh perempuan mesti selalu dipandang sebagai obyek dan kerap


dilekati stigma sesuai pandangan maskulin, mulai dari ujung rambut
hingga ujung kaki.

Dalam Tilik, hanya ada dua perempuan yang bibirnya berpoles lipstik
merah terang: Bu Tejo dan Dian. Bibir berlipstik merah adalah simbol
penaklukan sekaligus sensualitas. Dengan lipstik, kedua perempuan
ini sesungguhnya telah ditandai oleh kreatornya serupa dua boneka
yang siap dimainkan dan dihadap-hadapkan. Dua perempuan
ini mewakili pihak perempuan pendukung dan pihak perempuan
pemberontak; ibu-ibu penumpang truk, termasuk Bu Tejo, dan Dian.
Untuk menandai perbedaan posisi keduanya, penampilan kedua
belah pihak ini dibuat berbeda seratus delapan puluh derajat. Ibu-ibu
penumpang truk tampil berjilbab dan berpakaian tertutup, sementara
Dian tampil dengan setelan kerja berupa rok mini dan rambut panjang
tergerai. Dengan memanfaatkan pengetahuan umum masyarakat,
kreator sengaja menggunakan tanda-tanda keagamaan demi
menunjukkan perbedaan tingkat moral perempuan secara halus

/ 168
dan rapi. Alhasil, penampilan Dian adalah bahan penghakiman yang

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


empuk bagi ibu-ibu penumpang truk, khususnya Bu Tejo.

Bu Tejo: Ada yang bilang kalau kerjanya Dian keluar masuk hotel gitu,
lho. Terus ke mall sama cowok segala. Kerjaannya apa, ya?
Sementara itu, Bu Lurah yang tidak pernah ditunjukkan
sosoknya di sepanjang film berada pada posisi yang tidak
jauh berbeda dari Dian. Dia berdiri berseberangan dengan
ibu-ibu penumpang truk hanya gara-gara statusnya sebagai
orang tua tunggal. Meskipun mempunyai posisi penting
dalam masyarakat, yaitu sebagai Bu Lurah, tapi statusnya
sebagai janda membuat fisiknya sertamerta menjadi bahan
penilaian dan penghakiman.

Bu Tejo: Bu Lurah itu kan sudah sakit-sakitan terus. Kasihan lho, Bu


Lurah. Sudah itu hidupnya sendiri. Punya anak satu saja
nggak jelas gitu. Anak cowoknya itu, gitu, kan? ... Lagian
sudah waktunya desa kita punya lurah yang cekatan gitu, lho.
Tapi nggak single. Kalau single, buat ngurus hdupnya sendiri
saja berat.

Dalam semesta Tilik, perempuan tidak dibebaskan dari kebutuhan


akan laki-laki. Perempuan harus menerima posisinya sebagai kanca
wingking atau pendamping laki-laki, yang merupakan sang subyek
nan absolut. Dari apa yang diomongkan ibu-ibu penumpang truk
sepanjang jalan, tersirat jelas bahwa perjalanan tersebut bukan
hanya bertujuan untuk menjeguk Bu Lurah, tapi untuk menyampaikan
satu pesan bahwa sejauh apapun dan ke mana pun perempuan
melangkah maka garis akhirnya mestilah pernikahan.

Perempuan seperti Dian harus melengkapi takdirnya sebagai


perempuan dengan menikah, kecuali dia akan berakhir seperti Bu
Lurah, perempuan tua sakit-sakitan. Sakit Bu Lurah seolah kutukan
karena gagal menggenapi takdirnya sebagai kanca wingking
sehingga dia pun ditempatkan pada kondisi benar-benar tidak
berdaya dan hanya bergantung pada anak laki-lakinya.
Dengan menikah, perempuan tidak hanya akan mengakui dominasi

/ 169
laki-laki, tapi juga mendapatkan status istimewa dalam masyarakat
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

dan jika jatuh sakit tidak akan sendirian. Dalam adegan penutup Tilik,
berlatar sebuah mobil di tempat parkir Rumah Sakit, sang kreator
menyisipkan usaha terakhirnya untuk menstabilisasi perempuan
sebagai obyek.
Dian: Mas, sepertinya aku sudah tidak sanggup lagi hidup sembunyi
seperti ini...
Mantan suami Bu Lurah: Tenangkanlah pikiranmu. Kamu harus sabar.
Percayalah kepadaku.

Film ditutup dengan adegan Dian menyandarkan kepalanya di bahu


si bapak sebagai bentuk pengakuannya atas dominasi laki-laki.
Pelajaran penting yang didapat Dian dari perjalanan ke rumah sakit
adalah bahwa untuk menjadi perempuan, dia harus menyerahkan diri.

Barbar

“Tahukah kau kenapa perempuan itu masih hidup? Kerena zombie


makan otak, dan perempuan tidak memilikinya sama sekali.”
(Tallahassee dalam film Zombieland, 2009)

Aristoteles barangkali akan tertawa jika menonton Tilik dan mendapati


ada rombongan perempuan yang melakukan perjalanan dengan
meniru cara rombongan sapi. Dia mesti akan mengulangi pernyataan
misoginisnya bahwa perempuan adalah perempuan dengan sifat
khusunya yang kurang berkualitas. “Kita harus memandangnya
sebagai.... suatu ketidaksempurnaan alam.” (Beauvoir, 2016: vii).

Sistem patriarki mengajarkan masyarakat untuk mendudukkan


perempuan di bangku warga kelas dua. Dalihnya, perempuan berfisik
lemah, berjiwa rapuh dan tidak mumpuni dalam banyak hal. Alasan
sebenarnya, laki-laki adalah si dominan yang menjadikan dirinya
subyek yang absolut sehingga perempuan, yang merupakan si
terdominasi dan sosok yang lain bagi laki-laki, dipaksa menerima
apapun yang diberikan kepadanya: tempat yang lebih rendah.

/ 170
Semesta Tilik adalah semesta laki-laki. Tatanan yang berlaku

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


di dalamnya jelas tatanan maskulin. Meskipun sebagian besar
pemainnya adalah perempuan yang bercerita tentang persoalan
perempuan, tapi perspektif yang digunakan film ini adalah perspektif
laki-laki. Ini terlihat dari bagaimana cerita Tilik dibangun dengan latar
ibu-ibu yang berdiri di bak belakang truk sebagai penumpang. Untuk
tempat yang sangat tidak pantas dan berbahaya itu, mereka justru
membayar kepada sopir truk.

Bu Tejo: Kenapa sih kita tidak naik bus? Malah naik truk
Yu Ning: Bus yang biasanya lagi dipakai semua. Tidak bisa kalau
dadakan. Ini saja alhamdulillah ada truknya Gotrek bisa
dadakan.
Bu Tejo: Tahu gitu kan aku bisa nelfon temannya bapaknya anak-anak
yang punya bus jadi tidak susah kayak gini
Yu Ning: Namanya juga darurat, Bu. Kalau nggak mau naik truk, nggak
apaapa, kok. Yang penting kita cepat sampai sana, sampai
rumah sakit. Terus mastiin keadan Bu Lurah. Kasihan Bu
Lurah. Siapa yang jaga di rumah sakit? Ngga punya siapa-
siapa. Ngga ada suami. Anak satu aja kayak gitu.

Kendati Yu Ning berkata kepada Bu Tejo bahwa dia mempunyai


pilihan untuk tidak ikut naik truk, tapi Agung, kreator Tilik, tetap
memaksanya seolah tidak pernah ada tulisan peringatan di
belakang truk bahwa kendaraan jenis ini tidak mengangkut orang.
Agung sengaja menempatkan rombongan ibu-ibu dalam kondisi
kebergantungan simbolik dengan meminjam suara Yu Ning dan
memaksanya membuat justifikasi. Dia juga tidak memberikan Bu Tejo
pilihan lain. Tidak memberikan kesempatan kepada Bu Tejo untuk
menyuarakan protesnya sejak awal film. Yang terjadi malah Bu Tejo
tampak menikmati perjalanan tersebut layaknya sebuah perjalanan
piknik dengan bus wisata. Tangkapan zoom kamera dari arah depan
menunjukkannya dengan jelas sejak awal film hingga adegan bus
melewati sebuah perempatan dan sopir Gotrek membunyikan
klakson: wajah Bu Tejo tetap sumringah dan ceria bergosip di
sepanjang jalan.

/ 171
Mendekati ujung film, peran Yu Ning yang hanya sebagai instrumen
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Agung barulah terkuak ketika kondisi darurat yang dijadikannya


alasan menumpang truk ternyata tidak terbukti. Di hadapan teman-
temannya, Yu Ning merasa bersalah. Sebaliknya, Agung lepas dari
salah; sepenuhnya tetap dibenarkan menempatkan ibu-ibu itu di bak
belakang truk layaknya binatang ternak.

Kedekatan perempuan dengan alam, seperti tubuhnya yang


dipandang memiliki sifat-sifat alam (lekuk sungai, kematangan buah-
buahan, tanah yang menanti digarap), membuatnya dianggap masih
memiliki sifat-sifat jalang kebinatangan. Sesuatu yang liar dan mesti
dijinakkan. Sebab, perempuan adalah betina. Berada di bak truk
membuat ibu-ibu ini tidak lebih dari barang-barang simbolik: sesuatu
yang harus diantar oleh sopir truk ke tujuan seperti tebu ke pabrik
gula atau sapi ke pasar ternak.

Namun, perempuan jelas bukan benda, apalagi binatang, tapi ketika


dia diletakkan di belakang truk maka tentu saja itu berarti posisinya
direndahkan. Penempatan ini merupakan bagian dari pereduksian
perempuan. Seberani dan sehebat apapun seorang perempuan,
seperti Bu Tejo, dia mesti selalu dipastikan gagal untuk menegaskan
statusnya sebagai subyek, meskipun di atas truk.

Dalam Tilik, penyebabnya adalah karena perempuan tidak memiliki


sumber daya tertentu sebagaimana yang dimiliki laki-laki (Gotrek dan
Pak Tejo). Perempuan juga dianggap tidak memiliki kualitas-kualitas
yang mampu membuatnya berhak atas posisi yang lebih tinggi, salah
satunya adalah sifat perempuan yang dipandang barbar.

Memang, tidak ada kata “barbar” yang muncul dalam dialog Tilik,
tapi ia muncul dalam bentuk aksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) memaknai “barbar” sebagai “tidak beradab”. Adapun Tesaurus
Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko, menyandingkan kata
“barbar” dengan “biadab, keji, liar, primitif; vulgar.” Dari sejarahnya,
pemaknaan kata “barbar” yang kita kenal saat ini telah melenceng
jauh dari pengertian awalnya. Kendati begitu, kata “barbar” masih
menyimpan logika penaklukan yang tidak berubah di baliknya.

/ 172
Dalam sebuah adegan, Yu Ning dan Bu Tejo sedang bertengkar

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


gara-gara pembicaraan Bu Tejo tentang Dian yang dianggap fitnah
oleh Yu Ning. Perempuan itu kemudian menyindir Bu Tejo sebagai
tukang pamer. Marahlah Bu Tejo, pertengkaran pecah. Selama
beberapa menit, keduanya saling tarik urat, mengabaikan klakson
Gotrek yang berbunyi sebagai pertanda agar para penumpang
gelapnya segera berjongkok demi menghindari polisi. Keduanya
tetap bersitegang meskipun ibu-ibu lain di sekitar mereka telah
berjongkok. Pertengkaran keduanya baru berhenti ketika truk tiba-
tiba berhenti pula.

Seorang polisi lalu lintas memberhentikan truk, memberi peringatan


pada Gotrek, dan hendak menilangnya. Merespon hal itu, dari balik
bak truk, ibu-ibu mulai berteriak-teriak, tidak terima.

Bu Tejo: Ini keadaannya darurat, Pak. Tolonglah, Pak. Nuraninya itu,


lho, dipakai, Pak. Empatinya itu, lho. .... Apa mau saja telpon
saudara saya yang polisi. Bintangnya lima berjejer. Berani
nggak, Pak?
Polisi: Ibu-ibu ini paham aturan, kan?
Bu Tejo: Pokoknya kami mau jenguk Bu Lurah! Titik! Bapak kalau
ngeyel, saya gigit, lho! Udah ayo, Bu! Kita turun saja.
Ibu-ibu: AKu udah gemes banget. Bapak ini maunya apa, sih?!
Bu Tejo: Mau digigit apa gimana?! Jadi orang itu yang pedulilah.

Berbondong-bondong, ibu-ibu mulai melompat turun dari truk dan


hendak menyerang Pak Polisi. Pada akhirnya, truk akhinya dibiarkan
kembali melakukan perjalanan setelah polisi ditinggalkan sendirian
sambil menenteng beberapa plastik berisi buah dan pemberian
ibu-ibu.

Adegan tersebut seolah hendak mengukuhkan apa yang telah


menjadi pengetahuan umum masyarakat saat ini seputar kekuatan
perempuan, khususnya ibu-ibu atau emak-emak. Bahwa ibu-ibu
adalah jenis perempuan yang tidak terkalahkan sebagaimana
yang ditunjukkan oleh meme-meme sarat bias gender yang
menyebarkan hastag the power of emak-emak. Ironisnya, itu bukan

/ 173
sanjungan. Kemenangan Bu Tejo dan ibu-ibu serombongnnya dalam
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

menjinakkan Pak Polisi tidak bisa dilihat sebagai kesuperioritasan


perempuan atas laki-laki. Apa yang dilakukan ibu-ibu ini malah
menunjukkan kualitas rendah perempuan sebagaimana yang
dipercayai laki-laki selama ini. Bahwa perempuan benar bersifat
pemaksa, teatrikal, tidak tahu aturan, dan barbar sehingga pantas
ditaklukkan.

Dalam adegan lain, kualitas rendah perempuan yang irasional dan


mudah percaya tahayul juga ditunjukkan secara gamblang.
Yu Ning: Bu Tejo ini kenapa. Kok diam saja? Tadi sudah tidak
mau membantu mendorong truk, sekarang cuma diam. Jangan-
jangan benar tadi uang yang diberi ke Gotrek tidak berkah.... Mana
ngomongin Dian punya susuk segala. Itu pasti yang bikin truk Gotrek
mogok.

Dalam dua adegan lainnya, kreator menempatkan kamera sedemikian


rupa untuk menghasilkan karikatur perempuan. Pertama, dari
sebentang sawah nan luas, kamera mengambil long shoot ke
arah truk yang berhenti di kejauhan. Ceritanya, Gotrek hendak
memberikan kesempatan kepada Bu Tejo yang sedang kebelet
untuk berkemih di persawahan. Namun, melihat keadaan sekitar, Bu
Tejo mengajukan protes keras. Selama beberapa saat, truk berhenti
di tengah latar pemandangan alam nan hijau dan langit biru yang
membentang damai, tapi suara Bu Tejo yang melengking-lengking
sebagai bunyi latar memberi kesan seakan suara perempuan memiliki
kekuatan mengoyak semesta.

Adegan kedua, truk tiba-tiba mogok dan Gotrek memberitahu


ibu-ibu bahwa truk perlu didorong. Kamera menyorot dari arah
depan atas, mengambil gambar pucuk kepala ibu-ibu (kecuali dua
orang yang berjalan mengikuti dari belakang: Bu Tejo dan Bu Tri)
yang bahu-membahu mendorong truk—tanpa tangan-tangan yang
terlihat— sambil mengeluarkan suara seriuh dengungan lebah
selama beberapa saat hingga akhirnya truk bisa berjalan kembali.
Pengambilan gambar dengan sudut kamera seperti ini membuat
kesan seolah-olah kekuatan suara ibu-ibulah yang menyebabkan

/ 174
truk bisa berjalan kembali. Inilah salah satu pesan yang hendak

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


disampaikan Agung lewat perjalanan perempuan dalam semesta
Tilik.

Bahwa sesungguhnya perempuan hanyalah karikatur ciptaan laki-laki.

Beber dan Penindasan Gender

“Gerry, aku ini perempuan. Kami tidak mengatakan apa yang kami
inginkan! Tapi, kami berhak marah kalau kami tidak mendapatkannya.
Itulah yang membuat kami sangat menarik!” (Lydia dalam film Sliding
Doors, 1998)

Tilik lebih dikenal sebagai film pembawa pesan anti hoaks. Oleh
kreatornya, pesan tersebut dianggap perlu diusung di tengah
era digital seperti sekarang sehingga, “... menjadi rentan, menjadi
penting kenapa film ini harus diproduksi sekarang,” ujar Agung dalam
salah satu tayangan Youtube Revacana Films sebagaimana dikutip
Kompas.com (www.kompas.com/hype/read/2020/08/20/211657166/
film-tilik-berisipesan-lawan-hoaks-dari-masyarakat-di-era-digital).
Oleh penontonnya, Tilik diapresiasi sebagai film yang berhasil
menunjukkan realitas perempuan yang sesungguhnya.

“Ketika ibu-ibu di truk terlihat lebih natural daripada artis ftv,” puji @
tinalestary8466 dalam tayangan Tilik di Youtube.

“Bu Tejo adalah realita yang sangat sering ditemui...,” ungkap akun @
kirdessurya1296

“Perbanyak film nasional yang natural dan apa adanya kultur kita,”
sanjung @natalia3224.

“Tujuan dari adanya karya seni adalah untuk menghibur dan dinikmati.
Dan saya adalah salah satu penonton film pendek ini yang terhibur
dan menikmatinya,” tulis Oliviana Senja Novita dalam tulisan opininya
berjudul “Tilik” Adakah Nilai Edukasinya? (www.hayamwuruk.
org/2020/09/opini-tilik-adakah-nilai-edukasinya.html) Demikianlah

/ 175
dukungan yang diberikan masyarakat kepada Tilik, yang ironisnya
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

sebagian besar adalah perempuan. Para penonton perempuan


ini seolah tidak merasa ada yang salah dengan perspektif Tilik
dalam memandang perempuan. Menutup mata dengan makna
sesungguhnya film ini dan dan ideologi yang berusaha disusupkan
sang kreator ke dalamnya. Yang menjadi persoalan utama film ini
bukan masalah siapa yang menggosip atau apakah itu sudah sesuai
kenyataan atau tidak. Hal yang penting untuk dipertanyakan adalah
mengapa peran itu diberikan kepada perempuan? Mengapa cara
yang dipilih sang kreator untuk menyebarkan pesan anti hoaks harus
dengan bergosip— bukankah hoaks juga bisa menyebar melalui cara
lain? Mengapa perempuan yang dipilih untuk bergosip, bukan laki-
laki—bukankah laki-laki pun sering melakukannya, seperti di warung-
warung kopi? Siapa yang akan menilai perempuan lewat peran ini?
Siapa yang sebenarnya berbicara di balik riuh rendah suara ibu-ibu
itu?

Dalam bingkai maskulin, perempuan merupakan makhluk domestik.


Di rumah, perempuan mempunyai lebih banyak waktu luang, entah
setelah menyelesaikan beberapa tugas atau sambil menunggu
suatu tugas selesai. Di sela-sela itulah perempuan mengembangkan
semacam “kemampuan membunuh waktu”, salah satunya
menggosip.

Dari perspektif sejarah, kata “gosip” adalah kata yang tumbuh


melenceng dari makna asalnya. Ia adalah kata yang dikonstruksi
hingga bermakna sebagaimana yang dikenal sekarang. Dalam
bukunya Perempuan dan Perburuan Penyihir, Silvia Federici
memaparkan bahwa kata “gosip” berasal dari istilah Inggris Kuno
“Tuhan” (God) dan “Saudara” atau sesorang yamg mempunyai garis
kekerabatan (Sibb). Dari jejak kata ini pada sastra Inggris Abad
Pertengahan, kata “gosip” semula bermakna “orang tua baptis”.

Memasuki Inggris era modern, kata “gosip” mengacu kepada sahabat


atau orang yang menemani seorang perempuan kala melahirkan,
yang bukan bidan. Kata “gosip” lantas mulai sering dipakai sebagai
istilah “teman perempuan” tanpa konotasi yang merendahkan

/ 176
(Federici, 2020: 58).

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Kini, kata “gosip” telah menjadi simbol penindasan gender. Ia seolah
hanya milik perempuan—dan itu dianggap sebagai kelaziman.
Itulah mengapa sebuah acara infotainment televisi memilih ikon
bibir berlipstik merah demi merujuk pada jenis informasi yang
disampaikannya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gosip berarti


“obrolan tentang orang-orang lain; cerita negatif tentang seseorang;
pergunjingan.” Meskipun makna kata ini sesungguhnya netral, tapi
sentimen masyarakat patriarki terhadap perempuan berkarakter
kuat dan menonjol membuat kata tersebut sering digunakan untuk
menandai perempuan yang suka berbicara.

Sistem patriarki memberikan otoritas yang sangat besar kepada


laki-laki dan menempatkan dirinya di atas perempuan. Laki-laki pun
bekerja keras untuk selalu mengontrol perempuan di manapun dia
berada. Dengan demikian, ketika kreator Tilik memilih Bu Tejo sebagai
penggosip utama dalam film tersebut, alasannya sudah jelas adalah
untuk melestarikan peran eksklusif laki-laki.

Hanya ada empat sosok laki-laki yang hadir dalam Tilik: Gotrek si
sopir, Pak Polisi, Fikri anak Bu Lurah dan si bapak mantan suami
Bu Lurah. Keempatnya mempunyai peran sebagai pemegang
otoritas. Merekalah perpanjangan tangan Agung, sang kreator.
Hierarki kekuasaan keempat tokoh ini terlihat lewat kepatuhan dan
ketergantungan tokoh-tokoh perempuan yang berinteraksi dengan
mereka.

Sebaliknya, adalah wajar jika perempuan seperti Bu Tejo, Yu Ning, Yu


Sam, dan Bu Sri suka bergosip, menyebarkan fitnah dan memercayai
berita internet tanpa peduli benar atau salah.

/ 177
Bu Tejo: Informasi internet itu benar. Ada fotonya. Ada gambarnya.
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

...
Bu Tri: Kalau menurutku, informasi tentang Dian itu berguna, Bu
Tejo.
Bu Tejo: Pinter berarti.
Bu Tri: Kalau hidupnya Dian berantakan, itu masalahnya dia. Yang
penting jangan merusak keluarga org lain
Yu Ning: Lah iya kalau informasinya benar. Kalau salah?
Bu Tri: Namanya internet itu bikinannya orang pintar. Nda mungkin
salah.
Ada-ada saja. Ya, kan, Bu Tejo?
Bu Tejo: Kalau bodoh ya nggak mungkin bisa bikin internet, lah
....
Bu Tejo: Makanya, Yu Ning, rajin-rajin baca berita dari internet, dong...
Biar kalau dajak ngomong nyambung.
...
Yu Sam: Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.
Bu Tejo: Aku ini tidak fitnah. Aku cuma pengen jaga-jaga aja... Jaga-
jaga kalau Dian itu emang perempuan nakal. Tukang godain
suami kita.
Yu Sam: Kalau gitu bisa jadi benar.
...
Bu Tejo: Jadi nyebarkan kabar yang ga jelas itu termasuk fitnah atau
tidak?
Ibu-ibu: Ya, ngga tau deh.

Sebab, dalam pandangan masyarakat patriarki, karakter perempuan


terbentuk berdasarkan apa yang didiktekan oleh oleh hormon dan
perasaannya. Wajarlah jika perempuan selalu ribut, selalu berbicara,
mudah menilai dan menyimpulkan segala sesuatu tanpa berpikir,
serta tidak memahami fakta dan akurasi, juga akan mengatakan apa
saja yang dilihat, didengar dan dirasakannya tanpa pikir panjang.
Masuk akal pula jika perempuan rentan terhasut berita palsu, bahkan
menyebarkan fitnah, karena mudah terbawa perasaan dan malas
menggunakan otaknya untuk berpikir sulit. Sebab, sebagaimana
yang diyakini M.de Montherlant, “Akan jauh lebih mudah untuk
menganggap dirinya [laki-laki] seorang pahlawan ketika menghadapi

/ 178
perempuan (dan perempuan itu dipilih untuk kepentingannya).

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


(Beauvoir, 2016 )

Simpulan

Realitas adalah sesuatu yang memang benar terjadi, tapi itu tidak
selalu mesti sesuatu yang benar untuk dibiarkan terus terjadi, apalagi
diterima begitu saja sebagai sebuah kewajaran tanpak dikritisi.
Menyadari ini, setiap seniman atau kreator yang berdiri di hadapannya
mestilah bersikap kritis dengan tidak menerimanya begitu saja,
kecuali bagi dia yang merasa punya kepentingan atas realitas
tersebut.

Tilik jelas menyediakan slot durasi yang lebih banyak untuk


perempuan, tapi ini tidak menjadikannya film yang berpihak pada
perempuan. Agung menjadikan sebagian besar perempuan dalam
film tersebut sebagai penggosip; sebuah instrumen. Ibu-ibu yang
ribut mengobrol tentang sesuatu yang tidak penting untuk dikatakan,
demikian menurut laki-laki. Perempuan yang hanya bisa bersuara
tanpa memberikan keuntungan apapun sesudahnya. Sebuah peran
yang menunjukkan kebodohan intelegensi feminin dan sangat mudah
diidentikkan sebagai kebiasaan perempuan, padahal menggosip
bukanlah sesuatu yang ujug-ujug terjadi.

Sementara itu, usaha untuk menaikkan derajat single parent lewat


tokoh Bu Lurah lebih terlihat sebagai pengukuhan atas pandangan
patriarki yang menolak memperlakukan perempuan setara dalam
bidang politik. Bu Lurah dianggap pantas dilengserkan dari jabatanya
dengan menggunakan kondisinya. Sebagai pembenar argumen,
ketidakmampuan Bu Lurah mengurus diri sendiri hingga jatuh
sakit, juga menjaga anak laki-lakinya dengan baik sehingga dekat
dengan perempuan ‘tidak benar’, dianggap akan berdampak pada
kemampuannya mengurus warga. Dengan kata lain, perempuan
dipandang tidak pantas memegang jabatan politik hanya karena
kelemahankelemahan yang dimilikinya.

/ 179
Sebagai film yang tidak mau repot-repot menengok ke belakang, alur
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

cerita Tilik yang terus maju seolah menolak memberi kesempatan


kepada Dian untuk tampil ke depan dan berbicara langsung kepada
penonton. Karakter Dian dibentuk hanya berdasarkan asumsi orang
lain, yang jelas tidak berpihak kepadanya dan serba negatif.
Sementara itu, sehubungan dengan peran penggosip, kendati
ada pula laki-laki yang menggosip, tapi yang pasti laki-laki dalam
Tilik adalah laki-laki yang, mengutip ucapan Bu Tejo, “... langsung
kerja, nggak kebanyakan ngomong.” Inilah gambaran seksisme
yang terdapat dalam film Tilik, yang kian mengekalkan pandangan
maskulinnya.

Di akhir perjalanan film ini, apa yang tertinggal dari Tilik, selain kesan
dari pemandangan alam Yogyakarta dan sekitarnya, adalah rasa getir
dari karikatur perempuan dalam bingkai potret maskulin. Sepertinya,
tiba saatnya untuk menyadari bahwa tidak semua film berperspektif
perempuan benar-benar akan berdiri di sisi perempuan. Inilah
realitas. ***

DAFTAR PUSTAKA

Beauvoir, Simone. 2003. Second Sex: Fakta dan Mitos Yogyakarta: Pustaka
Promothea.

Beauvoir, Simone. 2016. Second Sex: Kehidupan Perempuan. Yogyakarta:


Narasi, Pustaka Promothea.

Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit


Kanisius
Federici, Silvia. 2020. Perempuan dan Perburuan Penyihir. Yogyakarta:
Penerbit Independen.

/ 180
Ismail, Taufik, dkk. 2020. Horison: Esai Indonesia 2. Jakarta: Horison.

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Situs Internet:
“Kompetisi Pendanaan Pembuatan Film 2018”. Budaya,jogjaprov.go.id,
1 Januari 2018, https://www.budaya.jogjaprov.go.id/agenda/detail/723-
kompetisi-pendanaa-pembuatanfilm-2018

“Penghargaan Film Tilik, Piala Maya Hingga Cinema Amsterdam


2019”. Urbanasia.com, 20 Agustus 2020, https://www.urbanasia.com/
entertainment/penghargaan-film-tilik-piala-maya-2018hingga-cinema-
amsterdam-2019.

“Ngobrol Bareng Sutradara Film ‘Tilik’ yang Membuat Netizen Murka Pada
Sosok Bu
Tejo”. Vice.com, 19 Agustus 2020, www.vice.com/id/article/m7j4gv/film-
pendek-tilik-peraih-piala-maya-2018-dankarakter-bu-tejo-viral-karena-
tayang-gratis-di-youtube

“Film Tilik Berisi Pesan Lawan Hoaks dari Masyarakat di Era Digital”. Kompas.
com,
20 Agustus 2020, www.kompas.com/hype/read/2020/08/20/211657166/
film-tilik-berisi-pesan-lawanhoaks-dari-masyarakat-di-era-digital

”Tilik Adakah Nilai Edukasinya?”, lpmhayamwuruk.org, September 2020,


www.lpmhayamwuruk.org/2020/09/opini-tilik-adakah-nilai-edukasinya.html
Media Sosial:
Films, Ravacana. “Tilik” Youtube, 17 Agustus 2020, https://youtu.be/
GAyvgz8_zV8

/ 181
Mudik: Terasing dan Hilang dalam Ritual yang Karib
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Fajar Martha

Cinta bikin kita tua


Dan lekas lupa
Hanya berdebar sebentar di lebaran
Dan mengulangnya lagi tahun depan
(“Pulang Kampung” - Gunawan Maryanto)

Tatkala ritual telah menjadi sekadar tradisi maka ia rentan kehilangan


esensi. Redundansi adalah musuh spiritualitas di dunia yang semakin
kehilangan ruang-ruang hangat. Agaknya kita bisa menyepakati hal ini
dan lewat Mudik, sutradara Adriyanto
Dewo mengajak kita mempertanyakan esensi tradisi tahunan
masyarakat Indonesia ini.

Mudik adalah peristiwa sosial skala besar yang lekat dengan cara
orang Indonesia berislam, yang dipicu urbanisasi masif sejak dekade
1970an. Ia juga melibatkan atau terkait dengan peristiwa-peristiwa
lain seperti takbir keliling, sungkeman, bagi-bagi angpau, ziarah kubur,
pamer baju atau kendaraan anyar, hingga reuni bertajuk Syawalan.
Islam tak menjadi entitas tunggal karena ia melebur dengan kondisi
kemasyarakatan di berbagai daerah.

Kata “mudik” dapat kita kelompokkan dalam keranjang bernama


kemeriahan kolektif. Namun, mengingat film ini digarap oleh Adriyanto
Dewo, penonton musti mengantisipasinya dengan hati yang lapang
dan terbuka.

Film produksi tahun 2019 ini pasti berbeda dengan Mencari Hilal
(Ismail Basbeth). Sama-sama film perjalanan yang dilakukan
menjelang Lebaran, Mencari Hilal riuh dengan simbol-simbol Islam
dan narasi perlawanan terhadap apa yang salah (di mata pembuat
film) dalam cara kita beragama dan bermasyarakat.

/ 182
Mudik dimulai dengan ketidaksiapan Aida (diperankan dengan amat

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


prima oleh Putri Ayudya) sebelum memulai perjalanan ke kampung
halaman Firman (Ibnu Jamil), suaminya.

Tidak ada baju koko atau mukena baru. Tidak ada oleh-oleh untuk
saudara di rumah. Tidak ada makanan apa pun untuk bekal di
perjalanan. Baju-baju Aida kemas ke dalam koper dengan merawak.
Bahkan, Aida tak mempersiapkan dirinya dengan layak. Ia tak
memulas kosmetik jenis apa pun di wajahnya.

Raut wajah Aida dan Firman kumal, rambut keduanya pun kusut
masai. Mudik mereka jalani dengan enggan sembari menyeret
masalah pelik yang selama ini mengintai. Tatkala percakapan pertama
mereka adalah pertengkaran, perihal keadaan yang amat remeh,
penonton pun paham bahwa tak ada yang Islami dari mudik yang
mereka jalani.

Tak ada simbol Islam apa pun yang mereka bawa dan kenakan
sepanjang perjalanan (kecuali kerudung, yang Aida kenakan
sekenanya di satu adegan singkat). Islam dan keislaman mengitari
mereka, namun sama sekali tak mereka sentuh. Tidak ada
percakapan mengenai rencana sahur atau berbuka puasa.

Sepanjang perjalanan hanya sekali mereka salat, itu pun hanya Firman
yang melakukan. Ironisnya: salat justru menyingkap kotak pandora
yang selama ini Firman tutup rapatrapat. Alih-alih membawa berkah,
salat justru mengantar musibah.

Mudik Lebaran dari segi pelibatan jumlah manusia mengalahkan


festival Diwali di India, dan hanya bisa disaingi tradisi chunyun, yang
dilakukan orang-orang Cina sebelum Imlek. Tradisi mudik tak dikenal
atau dijalankan umat muslim di negeri asalnya (Hijaz).

Mudik memang bukan ritual peribadatan agama Islam, tapi siapa yang
berani menyangsikan signifikansi sosiokulturalnya di masyarakat kita?
Kegagalan menangani mudik dapat menjadikan presiden negara ini
sasaran tembak kritik oposisi.

/ 183
Mudik, yang sejatinya amat karib bagi umat Islam Indonesia, yang
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

sangat disikapi dengan sukacita, menjadi penyebab keterasingan


Aida dan Firman. Salah satu esensi kedirian mereka hilang, dan
mereka pun kehilangan satu sama lain dalam film yang gagal tayang
di bioskop karena pandemi ini.

Perempuan yang bersolidaritas dalam senyap

Sepanjang kiprahnya di perfilman, tema perjalanan acap menjadi


bingkai kekaryaan Adriyanto Dewo. Dalam film pendek Menunggu
Warna, kedua tokohnya digambarkan berbahagia di akhir film,
dalam adegan perjalanan sepeda motor. Dalam One Night Stand,
yang tayang dua tahun setelah Mudik, hubungan Ara dan Lea
bertransformasi seiring perjalanan spontan yang mereka jalani. Pun
dalam Tabula Rasa, yang melejitkan nama Adriyanto, diawali dengan
hijrahnya tokoh Hans dari Serui ke Pulau Jawa untuk berkarier di
dunia sepakbola.

Ketiga film di atas menyuguhkan sensasi kelat-manis (bittersweet)


sepanjang film, yang membedakan mereka dengan Mudik. Dalam film
ini, Adriyanto ingin mengajukan gugatan-gugatan kecil dengan subtil.
Menariknya, ide penggarapan Mudik diawali kegelisahan Adriyanto
terhadap tingkat kecelakaan lalu lintas yang tinggi setiap mudik
Lebaran.

Dalam Mudik, kecelakaan lalu lintas bertransformasi sebanyak tiga


kali. Pertama ia sekadar lewat dalam siaran berita televisi (di rumah)
dan radio (dalam mobil). Kedua, kecelakaan hadir langsung di depan
mata Aida dan Firman, kala menyaksikan korban di bahu jalan. Ketiga,
seperti menampik dua isyarat tersebut, mereka sendiri yang menjadi
penyebab kecelakaan.

Di paruh pertama film, walau kerap digerogoti kecerewetan dan


kemurungan Aida, Firman tampak sebagai suami yang memegang
kendali. Ia menampakkan otoritasnya atas Aida lewat bahasa tubuh
dan intonasi bicara. Namun itu hanya sementara. Walau gestur dan
kata-katanya memampangkan kuasa, ia toh luluh oleh keinginan Aida

/ 184
untuk menengok dan mengurus Sugeng, yang tewas karena Aida

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


tabrak. Patut kita ingat juga, Aida-lah yang memegang kemudi mobil
saat kecelakaan terjadi—sementara Firman tidur.

Pada akhirnya mereka memutuskan untuk bertanggung jawab.


Sementara Firman sibuk bersawala dengan para pemuka kampung
(yang seluruhnya laki-laki), Aida diam-diam mengupayakan
perdamaian kepada Santi (Asmara Abigail), istri mendiang Sugeng.

Mulanya tentu tak mudah. Sugeng adalah TKI yang sudah lima
tahun tak pulang kampung. Nahas, Santi-lah yang memohon
kepada si suami untuk pulang di Lebaran kali ini. Kematian
Sugeng meninggalkan kesedihan bagi tiga orang yang seluruhnya
perempuan: Santi, Gendis (anak perempuan mereka yang berusia 8
tahun), dan ibu Sugeng.

Desa Sugeng berada di kawasan pegunungan kapur yang tandus


dan tentu saja miskin. Itulah mengapa Sugeng bekerja sebagai
buruh migran, atau bagaimana para pemuka kampung bersemangat
meminta 30 juta rupiah kepada Firman sebagai kompensasi kematian
Sugeng.

Dengan lihai, Adriyanto menunjukkan bahwa para perempuanlah


yang mencari nafkah di desa tersebut. Walau para perempuan cuma
duduk di luar pendopo saat musyawarah, walau Santi tak pernah
dihadirkan saat para pemuka desa bernegosiasi dengan Firman,
kaum hawa menopang kehidupan melalui kerja-kerja nyata nan
samar. Lebih tepatnya menjadi samar berkat kerja kamera yang
dinakhodai sinematografer Vera Lestafa (yang juga perempuan).

Hal itu setidaknya tergambar dalam dua adegan. Pertama saat Aida
mencari Santi di rumahnya, di mana ia memapasi seorang perempuan
yang sedang menjemur singkong di belakang rumah. Kedua, adegan
dua perempuan yang berjalan menggotong hasil bumi saat rembuk
kedua di pagi hari.

/ 185
Plot menjadi semakin intens saat Aida berhasil membujuk Santi untuk
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

meninggalkan desa. Para pemuka pun berang karena kehilangan


kesempatan mendapat rezeki nomplok. Santi menyerang balik,
mengatakan bahwa motif mereka cuma uang, tanpa memedulikan
keadaan keluarga Sugeng.

Para pemuka desa yang tidak puas baru bisa teratasi ketika disodori
Aida uang (yang jumlahnya tak sesuai dengan kesepakatan). Kita bisa
melihat ekspresi wajah Firman saat penyerahan amplop itu terjadi. Ia
tak mengetahui dua keputusan Aida: keputusan membayar pemuka
desa dengan uangnya sendiri dan kesepakatan yang ia buat dengan
Santi.

Di sekujur film kita disuguhkan para lelaki yang berdebat (Firman


versus pemuka desa, Firman versus Agus), namun nasib mereka
justru dikendalikan para perempuan yang bersolidaritas dalam
senyap.

Kenyataan ini turut mencitrakan bagaimana para lelaki, yang tampak


tangguh, rasional dan tegas, justru kehilangan otoritas di ranah
domestik—di lingkup sosial terkecil. Tak peduli lelaki tersebut berasal
dari kota ataupun tinggal di desa.

Otoritas Rapuh Para Lelaki

Seiring bertambah usia kita dituntut untuk memainkan banyak peran.


Lebaran adalah festival teater bertema pemujaan terhadap imaji
keluarga ideal. Saat Lebaran, kita berperan sebagai anak sekaligus
istri/suami sekaligus ibu/bapak sekaligus keponakan sekaligus tante/
paman sekaligus tetangga sekaligus pemudik secara simultan.

Anda tentu familiar dengan lelucon Lebaran mengenai pertanyaan


para tante soal kapan kita lulus kuliah, kapan menikah, kapan
memiliki anak, dan seterusnya? Di balik lelucon tersebut, ada standar
kemasyarakatan tertentu yang dipaksakan. Di balik kegeraman anak-
anak muda terkait pertanyaan di atas, ada resistensi terhadap norma-
norma sosial yang telanjur baku dan beku.

/ 186
Adriyanto mengkritik hal tersebut melalui tokoh Agus (Yoga Pratama),

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


sahabat Sugeng. Dalam Mudik, ia dua kali menggugat Firman:
mengapa membiarkan mobil dikemudikan Aida? Di mata Agus tak
seharusnya pekerjaan berat seperti itu dilakukan perempuan.

Namun, seiring bergulirnya film, karakter Agus mengalami


transformasi penting. Kemiskinan membuatnya tergiur dengan
“muslihat” Santi, bahwa Aida-Firman dapat mencarikannya pekerjaan
di Jakarta. Otoritasnya sebagai warga desa sekaligus sahabat korban
serta merta lenyap. Ia tak lagi pongah dan kematian Sugeng seperti
telah lama berlalu.

Otoritas maskulin yang rapuh tentu saja sangat tercermin dari


karakter Firman. Ia gagal bernegosiasi dengan pemuka desa. Ia, yang
telah membayar dua petugas polisi demi membantunya bernegosiasi,
menelan kenyataan pahit ketika mereka tak hadir saat musyawarah
kedua. Mereka bahkan tidak merespons panggilan telepon dan
pesan yang ia kirim.

Sebagai suami ia gagal menjalankan tugas sebagaimana kepala


keluarga lain: membawa keluarganya berkumpul dengan sanak
saudara di kampung saat Lebaran.

Solidaritas senyap yang Aida dan Santi lakukan begitu mujarab


menyelesaikan masalah, atau setidaknya separuh masalah. Sebab
kematian Sugeng adalah berkah-dalam musibah bagi Santi. Ia selama
ini berselingkuh dengan Agus, sampai-sampai mengandung anak
kawan suaminya itu.

Tak hanya dua lelaki yang masih hidup, otoritas Sugeng pun hancur in
absentia. Suami macam apa yang tega meninggalkan istri, anak dan
ibu di kampung tanpa sekali pun pulang selama lima tahun? Lelaki
macam apa yang membiarkan istrinya dibuahi lelaki lain?

Ketika Santi berkata “sekarang aku mesti bilang apa sama orang
kampung?” kala didekap Aida, sesaat lagi dia justru bersiasat
dengan pembunuh suaminya: Agus musti “dijebak” agar mau diajak

/ 187
menemui orang tua Santi. Ia ternyata memaksa Sugeng pulang agar
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

kehamilannya tak mengundang kecurigaan siapapun.

Alasan apa pun takkan membenarkan perselingkuhan. Tetapi lima


tahun adalah waktu yang teramat lama. Tak ada jaminan Sugeng tidak
melakukan hal yang sama, atau bahkan lebih bejat, di perantauan.

Aida berhak iri pada Santi, yang berhasil meraih kebahagiaan di


akhir film. Rahim Santi sehat belaka sehingga bisa membahagiakan
tak cuma satu, bahkan dua lelaki—tak seperti Aida. Tapi ternyata di
pengujung film keduanya berpelukan dengan erat. Walau tak shalat
Ied, Aida menemukan momen epifaninya di adegan ini.

Lantas Aida melanjutkan perjalanan seorang diri. Menuju entah. Tanpa


Firman.

Sama-sama Bangsat dan Tak Selamat

Di sebagian besar film-film perjalanan (road movie) Indonesia, para


tokoh utama bepergian untuk memecahkan masalah. Dalam Mencari
Hilal, Mahmud berkhidmat menjadi muslim yang kafah dengan
menyaksikan hilal seperti waktu di pesantren dulu. Putranya, Heli,
menemani Mahmud demi memenuhi permintaan sang kakak, yang
berjanji mengurus paspor Heli agar bisa berangkat ke Nikaragua.

Yusuf dan Ambar dalam 3 Hari untuk Selamanya (Riri Riza) melakukan
perjalanan darat ke Yogyakarta untuk memecahkan masalah Ambar,
yaitu menghadiri pernikahan kakaknya. Pun Me vs Mami (Ody C.
Harahap), saat Mami dan putrinya, Mira menjenguk nenek yang
sedang sakit di Padang.

Mudik berbeda. Firman dan Aida pulang kampung saat rumah


tangga mereka diombangambing masalah. Masalah tersebut, alih-
alih diberesi, hanya disapu alakadarnya dan disembunyikan di bawah
karpet.

Pulang tak selamanya menentramkan. Ada sekitar 123 juta pemudik

/ 188
di Lebaran tahun 2023. Maka beruntunglah mereka yang

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


menjalaninya dengan hati yang lapang. Walau tahu bahwa setelah
bermaaf-maafan, kita akan kembali saling bertengkar dan berbantah-
bantahan. Setidaknya, hati yang lapang tak memikul beban serta
awan pekat. Alangkah indahnya bila mudik tak menjadi sekadar harus,
namun suatu hal yang diperlukan bagi yang menjalankan.

Bila memiliki keturunan adalah hal yang penting bagi Firman


dan keluarganya, Aida tidak pantas dibohongi. Kegalauan Aida
mempunyai justifikasi. Di mata masyarakat, perempuan yang ideal
adalah yang mampu memberikan keturunan. Ideal sama artinya
dengan berfungsi. Aida serta jutaan perempuan lain merasa gagal
sebagai manusia, karena tak berfungsi laiknya perempuan lain. Jika
sudah begini, cinta saja sering tak cukup.

Maka benarlah Gunawan Maryanto dalam puisi yang penggalannya


saya taruh di awal tulisan. Pulang kampung cuma memanjang-
manjangkan luka. Aida dan Firman, sepanjang film, seperti meminjam
satu bait lagi dari puisi almarhum:

“Sudahlah, kita bangsat, sama-sama tak selamat.” []

/ 189
Rindu Dendam di Layar Lebar: Machoisme, Trauma,
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

dan Rekonsiliasi

Anton Kurnia

“Love perhaps the most powerful of all antipolitical forces.”


—Hannah Arendt

“Revenge is an act of passion; vengeance of justice.


Injuries are revenged; crimes are avenged.”
—Samuel Johnson

“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng yang bisa ngapain aja tanpa takut
mati.” —Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Di negeri kita sejarah film alias “gambar idoep” bermula sejak akhir
abad ke-19. Pada 5 Desember 1900, pukul tujuh malam, diputar
sebuah film di satu rumah di Tanah Abang yang kemudian dikenal
sebagai The Roijal Bioscope. Itu terjadi “hanya” lima tahun setelah
gambar bergerak pertama di dunia diputar di Café de Paris pada 28
Desember 1895 oleh Lumiere bersaudara. Sebagai perbandingan,
publik Italia baru dapat menikmati seni film pada 1905.

Sementara itu, seperti diungkap Misbach Yusa Biran dalam Sejarah


Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa (2009), film cerita pertama karya
“bangsa Hindia”, Loetoeng Kasaroeng, yang pembuatannya didukung
Bupati Bandung Wiranatakusumah, diputar perdana di bioskop Elita,
Bandung, pada 31 Desember 1926.

Sebagai cabang seni yang lahir belakangan, film tumbuh dengan


menyerap penemuan-penemuan yang telah dan tengah terjadi, baik
sains, teknologi, maupun seni—termasuk fotografi, kinetografi, dan
fonografi. Hasilnya adalah sebuah karya seni yang paling mendekati
kehidupan; rangkaian gambar bergerak yang bisa ditonton orang
banyak dalam satu waktu dan berpotensi memengaruhi opini, emosi,
bahkan idealisme khalayak.

/ 190
Itu sebabnya, dalam perkembangannya film kerap digunakan sebagai

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


alat propaganda yang efektif (Totot Indrarto, “Film: Dari Italia sampai
Hindia Belanda”, dalam Merayakan Film Nasional, 2017). Misalnya,
seperti yang dilakukan Nazi dalam Perang Dunia Kedua seturut
adagium yang dipopulerkan Hitler: “Kebohongan yang diulang-ulang
akan menjadi kebenaran”.

Fenomena film sebagai alat propaganda dalam sejarah nasional


kita antara lain mewujud dalam Pengkhianatan G 30 S/PKI (1984)
arahan Arifin C. Noer. Film itu digunakan rezim Orde Baru (Orba)
untuk menyuburkan fobia terhadap komunisme dan ikut andil dalam
penggelapan sejarah tragedi 1965. Selama belasan tahun hingga saat
diktator Soeharto dijatuhkan pada Mei 1998, setiap malam tanggal
30 Oktober film itu wajib diputar di TVRI sebagai alat propaganda
pemerintah untuk menyampaikan “kebenaran” versi mereka.

Dalam film itu, misalnya, “orang kuminis” digambarkan sangat


brutal menyiksa para jenderal Angkatan Darat di Lubang Buaya.
Hasil autopsi tim dokter mengungkap bahwa itu tidak benar. Tokoh
Ketua PKI D.N. Aidit yang diperankan Syu’bah Asa digambarkan
merokok dengan asap tebal memenuhi ruangan di sebuah rapat
gelap. Padahal, faktanya Aidit bukanlah perokok. Di sisi lain, film itu
sama sekali tak menyebut soal pembantaian ratusan ribu orang
yang dituduh komunis atau “kiri” oleh tentara dan massa sebagai
kelanjutan tragedi pembunuhan para jenderal di Jakarta (Hermawan
Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang
Terlupakan, 2010).

Selama puluhan tahun tragedi itu ditutup-tutupi dalam sejarah resmi


versi penguasa, dipaksa dilupakan secara sistematis lewat apa yang
disebut Milan Kundera sebagai organized forgetting. Kebenaran
tentang peristiwa kelam itu dikaburkan oleh propaganda dusta.

Sementara itu, seperti di bidang sastra saat buku para sastrawan kiri
masuk daftar hitam, dalam konteks perfilman nasional peristiwa 30
September 1965 juga berimbas pada pemberangusan karya para
sineas kiri yang tergabung di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)

/ 191
seperti Bachtiar Siagian, Basuki Effendi, dan Kotot Sukardi hingga
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

nyaris tak berjejak (Adrian Jonathan Pasaribu, “Mempertanyakan Film


Nasional”, dalam Merayakan Film Nasional, 2017).

Melawan Lupa, Menyingkap Trauma

Setelah rezim Soeharto tumbang pada 1998, sejumlah upaya untuk


mengungkap tragedi 1965 dan kasus-kasus kekerasan negara
terhadap rakyat yang kerap terjadi pada masa Orba dilakukan oleh
banyak pihak, termasuk dengan media film. Film menjadi bagian dari
upaya melawan lupa.

Sebab, film adalah cabang seni visual yang dapat mengungkap


banyak hal secara lebih “kasat mata”—termasuk derita keluarga para
korban pembunuhan.

Salah satu di antaranya adalah film dokumenter Senyap (2014)


karya Joshua Oppenheimer yang membuka mata kita akan kekejian
yang pernah terjadi di negeri ini. Sayangnya, Lembaga Sensor Film
kemudian malah melarang film Senyap diputar untuk umum karena
dianggap “berpotensi memunculkan benih konflik, menimbulkan
ketegangan sosial politik dan melemahkan ketahanan nasional, tidak
sesuai dengan norma kesopanan umum, menanamkan sikap dan
perilaku kebencian, serta menebarkan kebencian”.

Begitulah, alih-alih diakui secara terbuka oleh negara, apalagi


meminta maaf kepada korban dan keluarga mereka, tragedi berdarah
kerap ditutup-tutupi—seperti hubungan gelap atau perselingkuhan
dalam rumah tangga.

Salah satu film mutakhir yang berani menyentuh soal-soal tabu adalah
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) garapan Edwin.
Film itu antara lain menampilkan adegan perundungan seksual
oleh oknum tentara dan menyinggung kasus pembunuh misterius
(“petrus”) pada pertengahan 1980-an yang bisa digolongkan sebagai
state crime—kejahatan oleh negara yang membunuh para preman
melalui extra judicial killing (eksekusi mati tanpa melalui proses hukum

/ 192
terlebih dahulu) secara sistematis dengan dalih menjaga ketertiban

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


dan keamanan masyarakat. Soal ini juga muncul sekilas dalam film
Pengabdi Setan 2: Communion (2022) karya Joko Anwar.

Setelah melahirkan Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) yang kritis
sekaligus puitis, tetapi kemudian lebih banyak menggarap film-film
yang cenderung “aman” secara politis seperti Posesif (2017) dan
Aruna dan Lidahnya (2018), Edwin kembali melontarkan kritik sosial
yang keras lewat Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.

Film yang diluncurkan di Locarno Film Festival pada Agustus 2021


dengan judul Vengeance is Mine, All Others Pay Cash untuk konsumsi
internasional ini segera menarik perhatian saya. Namun, saya baru
sempat menontonnya di Solo Square XXI, Surakarta, pada Desember
2021. Setelah film ini masuk kanal digital Netflix, saya menontonnya
sekali lagi pada Mei 2023—khusus untuk keperluan penulisan esai ini.

Film produksi Palari Films ini dibuat berdasarkan novel Eka Kurniawan
yang berjudul sama. Novel Eka dituturkan dengan berlumur humor
kelam seraya menggemakan kembali khazanah bacaan populer lokal
dari masa lalu, semacam cerita silat Kho Ping Hoo, cerita erotis Enny
Arrow, dan cerita horor Abdullah Harahap. Semua itu menjadi bacaan
lazim generasi yang tumbuh pada 1980-an dan 1990-an, berlatar
suasana represif rezim militeristis Soeharto. Edwin menggaungkan
kembali semua itu lewat skenario yang dia tulis bersama Eka
Kurniawan dalam sebuah sinema yang mengingatkan saya pada film-
film laga dari masa 1980-an saat sensor ketat Orba merajalela.

Di awal film tertera keterangan latar tempat dan waktu secara


eksplisit: “Bojongsoang, 1989”. Bojongsoang adalah nama sebuah
kampung di pinggiran Bekasi. Itu juga nama tempat di berbagai
daerah di Jawa Barat. Dalam bahasa Sunda, “bojong” berarti “tanah
yang menjorok ke sungai”, sedangkan “soang” berarti “angsa”. Kata-
kata dan penamaan itu mencitrakan suasana satu tempat di kawasan
perdesaan. Perlu dicatat pula bahwa nama salah satu karakter
di film ini adalah Iwan Angsa (diperankan Yudi Ahmad Tajudin),
yakni lelaki yang menemukan Ajo Kawir saat bayi di kebun pisang

/ 193
dan memungutnya sebagai anak. Sementara, tahun 1989 adalah
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

masa ketika rezim Orba yang otoritarian tengah berada di puncak


kekuasaannya.

Latar zaman kalabendu itu menghidupkan film ini yang sesungguhnya


sebuah kisah cinta yang brutal, berbalut adegan aksi, kekerasan, dan
erotika. Penonton seolah ditarik masuk ke dalam tahun 1980/1990-an,
lengkap dengan wardrobe, pernak-pernik detail, iringan musik (lagu
dangdut dan pop lawas), bahkan dialognya—meskipun ini kadang
terdengar janggal di telinga karena terkesan seperti bahasa Indonesia
yang kaku di buku-buku sekolah.

Tak hanya cerita cinta yang gelap (dark romance), film ini juga
menyinggung banyak hal: kerumitan hubungan lelaki-perempuan,
kesehatan mental, premanisme, kekejaman aparat negara, kekerasan
terhadap anak, serta penindasan kepada perempuan.

Perempuan yang Berani Melawan

Alur film sepanjang 1 jam 15 menit ini sesungguhnya tak berbeda


jauh dengan novelnya meski dengan beberapa perubahan signifikan,
antara lain pada bagian akhir cerita. Pangkalnya adalah tragedi yang
menimpa Ajo Kawir (Marthino Lio), seorang lelaki jago berkelahi dan
kebutkebutan. Ajo mengalami impotensi sejak masih bocah karena
disiksa dua lelaki tegap berambut cepak, Codet dan Kumis (Lukman
Sardi dan Eduwart Manalu), yang disebut-sebut sebagai anggota
ABRI alias tentara.

Mereka dia pergoki tengah memperkosa seorang perempuan


bernama Rona Merah (Djenar Maesa Ayu) yang menderita gangguan
jiwa akibat suaminya menjadi korban “petrus”. Ajo yang tertangkap
tengah mengintip disuruh ikut memperkosa Rona Merah. Sejak itulah
Ajo menderita impotensi akibat trauma psikis. Penisnya tak bisa lagi
ereksi. Tragedi itu digambarkan bertepatan dengan gerhana matahari
yang terjadi pada 11 Juni 1983. Gerhana tersebut adalah kejadian
faktual historis, tetapi menjadi penanda simbolis dalam film ini.

/ 194
Berikut ini adalah cuplikan dialog sarat informasi antara Ajo Kawir kecil

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


dan Tokek kecil di atas sepeda yang melaju ke rumah Rona Merah
untuk mengantarkan rantang makanan menjelang gerhana matahari
dan tragedi itu:

Ajo Kawir (mengemudikan sepeda): “Iwan Angsa sudah bilang


ke suami Rona Merah untuk menyeterika tatonya. Belum selesai
dikerjain, keburu di-dor petrus.”
Tokek (berdiri di boncengan sepeda): “Petrus… Pe-nem-bak
mis-te-ri-us.”

Tragedi itu juga menghantui sahabat Ajo, Tokek (Sal Priadi), yang
merasa bersalah karena ikut mengintip aksi cabul tersebut. Namun,
Tokek lolos dari perundungan karena keburu melarikan diri.

Aneka upaya dilakukan Ajo Kawir untuk menyembuhkan “si burung”


yang tak mau “hidup”, termasuk mendatangi Mak Jerot (Christine
Hakim), pelacur tua penuh pengalaman. Tetapi, semua sia-sia belaka.

Masalah jadi pelik saat kemudian Ajo Kawir saling cinta dengan Iteung
(Ladya Cheryl), tukang pukul Pak Lebe yang berhasil dikalahkan Ajo
Kawir dalam duel seru. Walau mereka akhirnya menikah, Iteung yang
terobsesi penis akibat dilecehkan gurunya saat bocah, terpaksa
berselingkuh dengan Budi Baik (Reza Rahadian) yang berbudi buruk
meski dia tetap mencintai suaminya setengah mati. Iteung pun hamil
akibat perbuatan Budi. Rasa kecewa dan dendam akibat dikhianati
istri dilampiaskan Ajo Kawir dengan membunuh orang yang tak ada
sangkutpaut dengan urusan pribadinya. Akibatnya, Ajo dihukum bui.

Setelah bebas, dia menjalani hidup sebagai sopir truk antarkota yang
berumah di atas roda, serupa lirik lagu Metallica yang populer pada
1990-an: “Rover, wanderer, vagabond, call me what you will ... Where I
lay my head is home. Wherever I may roam …”

Kehidupan Ajo Kawir sebagai sopir truk kargo ditemani kenek


bernama Mono Ompong (Kevin Ardilova) menjadi kisah tersendiri

/ 195
yang unik, liar, dan digambarkan dengan detail mencekam, termasuk
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

adegan kebut-kebutan seru di jalan raya berujung pertarungan


biadab dalam sebuah duel maut layaknya pertunjukan gladiator
zaman Romawi.

Judul film ini sesungguhnya diambil tulisan di bak belakang truk yang
disopiri Ajo Kawir. Bak belakang truk-truk antarkota memang lazim
digambari dan terkadang dibubuhi kalimatkalimat lucu, misalnya
“Pulang malu, gak pulang rindu” atau “Lupa namanya, ingat rasanya”.
Ini merupakan fenomena tersendiri yang menarik diteliti.

Di truk ini pula Ajo bertemu dengan sosok Jelita (Ratu Felisha),
perempuan buruk rupa, tapi bertubuh indah, yang memainkan peran
misterius dalam film ini. Menjelang kisah berakhir, Jelita membunuh
tokoh antagonis Paman Gembul (Piet Pagau) yang baru selesai
memancing di tepi laut. Penonton yang jeli dengan simbol-simbol
tersirat zaman Orba tentu akan segera memahami nuansa humor
satire adegan ini.

Pada titik inilah Ajo menemukan kearifan hidup dan berhasil


menerima keberadaan “si burung” yang tak mau bangun, bahkan
berdamai dengannya. Cinta berkuasa dan mengalahkan segalanya.
Seperti apa yang dinyatakan Hannah Arendt, “Love perhaps the most
powerful of all antipolitical forces.” Ajo Kawir pun kemudian pulang
menemui istri yang telah lama dia tinggalkan untuk menuntaskan
rindu.

Namun, saat akhirnya Ajo bertemu Iteung dan meminta maaf


kepadanya, Iteung yang sebelumnya masuk bui karena membunuh
Budi Baik dijemput polisi karena membunuh dua bajingan yang telah
menyebabkan suaminya impoten. Demi cinta, Iteung menuntaskan
dendam yang terkubur bertahun-tahun justru saat Ajo Kawir sendiri
sudah berdamai dengan hidupnya.

/ 196
Kritik atas “Machoisme”

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Saya memandang film ini sebagai suara lain yang bertutur tentang
kaum pinggiran (penganggur, preman, tukang pukul, pembunuh
bayaran, sopir cabutan, pelacur, calo, orang sakit jiwa, narapidana) yang
hidup dalam lumpur dunia, tertindas kenyataan hidup dan kekacauan
sebuah rezim yang sakit. Film ini juga bisa dibaca sebagai sebuah kritik
atas machoisme, khususnya pada masa berkuasa rezim Orba yang
bersandar pada militerisme serta tatanan sosial yang patriarkis.
Machoisme atau machismo bisa diartikan sebagai gagasan
yang dikaitkan dengan “a strong sense of masculine pride or an
exaggerated masculinity” (kesombongan maskulin yang dilebih-
lebihkan) dan ditandai dengan dominasi agresi dan kekerasan yang
diasosiasikan sebagai “kejantanan” atau “kekuatan” (Aida Hurtado,
Beyond Machismo, 2021).

Dalam kultur masyarakat semacam ini, peran lelaki amat dominan,


sedangkan kaum perempuan kerap diremehkan dan hanya dijadikan
objek seksual atau taklukan laki-laki. Machoisme ini secara luas
merajalela di tengah kultur masyarakat Indonesia pada masa
berkuasa rezim militer Orde Baru antara 1966-1998 dan terus
bergema hingga kini.

Penonjolan machoisme ini tampak jelas dalam film Seperti Dendam,


Rindu Harus Dibayar Tuntas yang antara lain digambarkan lewat
adegan perkelahian sadis yang dikaitkan dengan simbol “kejantanan”.
Namun, dalam film ini, fenomena itu dikritik dengan kontrawacana
yang dibalut satire cerdas dan humor gelap.

“Aku tidak berurusan dengan perempuan,” kata tokoh Ajo Kawir


kepada Iteung saat mereka pertama kali bertemu. Kalimat itu
menunjukkan bahwa Ajo menganggap remeh Iteung yang
menantangnya berkelahi hanya karena Iteung seorang perempuan.
Tokoh Ajo Kawir merepresentasikan simbol lelaki yang kehilangan
“kejantanan” (impoten) dan itu merupakan aib besar dalam dunia di
mana maskulinitas dipuja-puja meski dia jago berkelahi dan “tidak
takut mati”. Itu sekaligus menjadi pangkal alur cerita film ini bergerak

/ 197
dari awal hingga akhir.
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Kredo yang diucapkan narator di bagian awal film setelah adegan Ajo
Kawir menang adu ketangkasan sepeda motor yang amat berbahaya
berbunyi sebagai berikut: “Hanya orang yang enggak bisa ngaceng
yang bisa ngapain aja tanpa takut mati.”

Ajo begitu terobsesi agar penisnya bisa ereksi. Digambarkan setelah


Ajo bertemu lagi dengan Iteung di pasar malam dalam suasana
romantis setelah di pertemuan pertama mereka baku pukul, Ajo
memuaskan Iteung dengan jari-jemarinya dalam sebuah adegan
erotis yang cukup berani, tetapi Ajo berkelit saat Iteung menawarkan
untuk balas memuaskannya. Ajo tidak ingin Iteung mengetahui bahwa
dia impoten. Adegan itu disusul dengan adegan Ajo merancap
dengan sabun di jamban terbuka, berupaya membangkitkan
penisnya, dan berkata setengah putus asa, “Burung, kau harus
bangun!”

Kedua gambaran di atas mengisyaratkan betapa machoisme dan


virilitas menjadi elemen penting dalam wacana yang dibangun dalam
film ini. Penis yang ngaceng atau ereksi (simbol kejantanan) adalah
segalanya. Seakan-akan, tanpa penis yang ereksi, hidup tiada lagi
berarti bagi seorang lelaki—dalam hal ini Ajo Kawir yang pemberani
dan tidak takut mati.

Dalam salah satu adegan, digambarkan Ajo merutuk di depan Tokek


saat putus asa karena impotensinya tak kunjung sembuh, “Aku ingin
menghajar orang!”

Ini menunjukkan Ajo berkelahi untuk melampiaskan rasa frustrasinya


karena “si burung” yang tak mau bangun. Rasa rendah diri karena
“tidak jantan” (impoten) membuatnya mencari kompensasi dengan
aktivitas yang menunjukkan simbol “kejantanan” (berkelahi). Hal ini
lalu dimanfaatkan oleh tokoh Paman Gembul, seorang jenderal yang
memiliki dendam kepada tokoh si Macan. Dia membujuk Ajo agar
bersedia membunuh Macan, padahal Ajo tidak punya persoalan
pribadi dengan Si Macan.

/ 198
Sebagai sosok lelaki di dalam kultur machoisme, Ajo juga pantang

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


menunjukkan emosi lembut dan sayu seperti rindu dan sedih karena
itu dianggap lemah dan “tidak jantan”. Mantranya adalah “Boys don’t
cry”, “Hanya perempuan dan banci yang menangis”, atau dalam
kata-kata Ajo sendiri, “Aku tidak suka perasaan ini: rindu,” ujarnya
kepada sahabatnya Tokek terkait perasaan yang dipendamnya
kepada Iteung. Padahal, kepekaan perasaan sesungguhnya
manusiawi. Lelaki yang menangis itu normal. Sama normalnya
dengan perempuan yang marah.

Dalam adegan lain, machoisme yang menjurus pada toxic masculinity


ini disisipkan dengan cerdas (sehingga menjengkelkan akal sehat)
dalam adegan pelecehan seksual oleh Codet kepada Rona Merah.
Sebelum memperkosa Rona Merah, Codet memandikan perempuan
yang jarang mandi itu seraya berkata, “Aku tak pernah sebaik ini
kepada siapa pun. Aku tidak pernah memandikan anakku.”

Dalam kultur machoisme, kerja-kerja domestik seperti memandikan


anak, menyapu, atau mencuci piring bukanlah bagian lelaki. Itu
dianggap pekerjaan yang hanya layak dilakukan oleh perempuan
karena mengotori citra dan wibawa lelaki macho. Lelaki macho
pantang mengerjakan kerja domestik rumah tangga yang dipandang
sepele. Urusan lelaki adalah hal-hal yang dicitrakan penting dan hebat
seperti mencari duit atau berkelahi.

Sementara, karakter Iteung yang diperankan dengan amat baik oleh


Ladya Cheryl adalah representasi perlawanan perempuan di dalam
sebuah dunia yang didominasi kaum lelaki sebagai kontrawacana
terhadap machoisme. Iteung mencari nafkah sebagai tukang
pukul (bodyguard), lalu sebagai sopir pertunjukan akrobat motor
“tong setan” di pasar malam— keduanya pekerjaan berbahaya
yang dicitrakan hanya pantas dikerjakan oleh lelaki di dalam logika
machoisme. Namun, Iteung yang berpenampilan lembut, tapi berjiwa
tangguh, melabrak semua pakem itu dan memberontak terhadap
sekat-sekat gender yang mengungkung.

/ 199
Dalam hubungan perempuan-lelaki pun Iteung tidak mau didikte oleh
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

“norma” bahwa perempuan berada di pihak yang pasif dan submisif.


Iteung tak segan “nembak duluan” (menyatakan cinta). “Jadilah
kekasihku,” kata Iteung kepada Ajo pada satu malam di bawah
siraman hujan saat mendatangi lelaki itu di rumahnya.

Selain itu, menarik bagi saya melihat bagaimana di film ini sosok
tentara seperti Si Kumis yang terbiasa menggunakan kekerasan
digambarkan takluk di tangan seorang perempuan. Ini sebuah
tindakan subversif yang cerdas. Cara brutal Iteung membunuh Kumis
dengan menyiksanya terlebih dulu menggunakan mata pancing
sebelum mematahkan lehernya dengan dingin mengingatkan saya
pada adegan sadistis dalam film-film Kim Ki-duk, terutama The Isle.

Namun, sekadar catatan minor, saat Iteung membunuh Kumis dan


Codet, dialog yang dia sampaikan keliru. Dia mengatakan soal “malam
jahanam saat kau memperkosa Rona Merah”, padahal dalam adegan
kilas balik, peristiwa itu digambarkan terjadi pada saat gerhana
matahari, artinya siang hari. Memang saat itu gelap, tetapi gelap tidak
selalu berarti malam, bukan? Tentu saja ini bukan kesalahan Iteung,
melainkan kealpaan penulis skenario.

Buat saya, Iteung adalah tokoh protagonis utama yang sesungguhnya


di dalam film ini, bukan Ajo Kawir. Dia ditampilkan sebagai perempuan
tangguh yang tak mau menyerah begitu saja pada penindasan dan
keterbatasan.

Aspek “rindu yang harus dituntaskan” dalam film ini direpresentasikan


sosok Ajo Kawir yang bertahun-tahun memendam kangen di dalam
penjara dan di jalanan. Sementara, Iteung adalah manifestasi aspek
“dendam yang harus dibayar tuntas” melalui pembunuhan oknum
aparat bejat yang menjadi sumber trauma berkepanjangan. Dalam
konteks ini, Iteung seakan-akan mengamini pernyataan penyair
Samuel Johnson berikut, “Revenge is an act of passion; vengeance of
justice. Injuries are revenged; crimes are avenged.”

/ 200
Sementara itu, terkait trauma sejarah masa silam, sesungguhnya yang

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


kita rindukan bukanlah pembalasan dendam, melainkan pelurusan
masalah dan permintaan maaf dari mereka yang bersalah. Setelah
itu, barulah bisa dilakukan rekonsiliasi secara damai. Bukankah untuk
melakukan rekonsiliasi, terlebih dulu harus ada pengakuan atas
kesalahan?

Sayangnya, seperti tersurat dalam film ini, ketimbang menyadari


kekeliruan dan menjalin rekonsiliasi dengan para korban, banyak
pelaku kejahatan di masa silam lebih suka mengubur dalam-dalam
dan melupakan masa lalu mereka seolah-olah itu tak pernah terjadi.
Jangankan meminta maaf seperti Ajo Kawir, mengakui kesalahan saja
enggan. Apalagi untuk mempertanggungjawabkan semuanya
di depan hukum dan berani menghadapi segala konsekuensinya.

/ 201
Profil Komite Film
Dewan Kesenian Jakarta
periode 2020-2023
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Ekky Imanjaya
(Ketua)

Ekky Imanjaya, Ph. D adalah peneliti, kritikus film Indonesia, dan dosen
tetap di Prodi Film Universitas Bina Nusantara. Ekky menjadi jurnalis
sejak 1999 hingga 2007, berawal dari majalah Suara Hidayatullah dan
tabloid Aliansi Keadilan. Fokus meliput dan menulis seputar film mulai
tahun 2000 di situs daring Astaga!Layar. Sebagai akademisi, Ekky
menulis di beberapa jurnal ilmiah dalam dan luar negeri, termasuk
Asian Cinema, Cinemaya, Jump Cut, Plaridel, dan Cine-Excess.
Ekky rajin mempresentasikan makalahnya, termasuk di salah satu
konferensi kajian film dan media terbesar di dunia, yaitu SCMS (2015)
dan MECCSA (2015).

Saat di Inggris, Ekky membuat kolaborasi dan kegiatan seputar


kajian perfilman, seperti Workshop on Indonesian Cinema dan
London Indonesian Film Screenings tahun 2013 (bersama Ben
Murtagh) dan 2015 (bersama Ben Murtagh, Tito Imanda, Eric Sasono).
Bersama Diani Citra, Kandidat Doktor di Universitas Colombia,
New York, dia menulis “Dissecting the Female Roles in Indonesia’s
Post Authoritarian Cinema: A Study of Demi Ucok by Sammaria
Simanjuntak” dalam buku Women Indonesian Filmmakers yang
disunting Yvonne Michalik (2013).

Pada tahun 2022, Ekky menerbitkan buku karya disertasinya berjudul


The Real Guilty Pleasures : Menimbangulang Sinema Eksploitasi
Transnasional Orde Baru. Ia juga menerbitkan buku 99 Film Madani

/ 203
bersama Hikmat Darmawan. Saat ini Ekky merupakan dosen tetap
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Jurusan Film Binus University, Board Madani International Film


Festival, dan Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta periode
2021-2023.

Agni Ariatama
(Anggota)

Pernah menempuh pendidikan di Jurusan Sinematografi Fakultas


Seni Rupa dan Desain IKJ, menjadi profesional di beberapa film
dokumenter, iklan, video musik, hingga film cerita layar lebar
sebagai Pengarah Fotografi. Melanjutkan pendidikan S1 di Fakultas
Film Televisi IKJ dan S2 Penciptaan Seni di Institut Seni Indonesia
Surakarta dengan karya “Awirota”. Menjadi kamerawan bawah air
dengan bergabung dengan TVRI Diving Club, senang terlibat dengan
organisasi dari remaja hingga masuk ke dalam Karyawan Film dan
Televisi (KFT). Pernah menjadi Sekretaris Jenderal dan Ketua bidang
Penelitian di KFT serta menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta
periode 2015-2019. Memiliki kepedulian kepada kepada Profesi
Seni dengan mengajar di beberapa sekolah seni. Agni Ariatama
pernah menjabat Wakil Rektor 1 bidang Akademik IKJ (2016-2020).
Sejak 2010 terlibat dalam mengembangkan Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia bidang film, TV, dan multimedia, hingga
menjadi Dewan Pengawas Badan Perfilman Indonesia (2017-2021).
Saat ini Agni adalah Presiden Sinematografer Indonesia/ Indonesia

/ 204
Cinematographers Society (ICS), anggota KFT, Wakil Ketua 2 Dewan

Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023


Kesenian Jakarta 2019-2023, anggota Komite Film Dewan Kesenian
Jakarta periode 2020-2023, dan tetap mengajar di Institut Kesenian
Jakarta.

Hikmat Darmawan
(Anggota)

Kritikus, kurator, dan peneliti di bidang budaya populer dengan


spesialisasi komik, film, dan sastra. Pada 2010, ia menjadi peneliti
di Asian Public Intellectuals Fellowship Program dan melakukan
penelitian jurnalistik tentang globalisasi subkultur manga di Jepang,
Thailand, dan Indonesia. Bersama Pabrikultur, ia mengkurasi dan
menyelenggarakan pameran komik di Jakarta, Frankfurt, Brussel dan
London. Hikmat Darmawan adalah co-founder toko buku Blooks,
Jakarta Selatan. Ia merupakan anggota dewan dalam Madani
International Film Festival, Wakil Ketua 1 Pengurus Harian dan anggota
Komite Film Dewan Kesenian Jakarta periode 2020–2023.

/ 205
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Shuri Mariasih Gietty


Tambunan (Anggota)

Shuri Mariasih Gietty Tambunan, PhD, adalah dosen di Program Studi


Inggris, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
sejak 2007. Selain mengajar di Prodi S1 Inggris FIB UI, Gietty juga
mengajar di program pascasarjana Ilmu Susastra di Peminatan
Cultural Studies. Pada 2013, Gietty menyelesaikan studi S3-nya
di Departement of Cultural Studies, Lingnan University, Hong Kong,
setelah sebelumnya memperoleh gelar Master of Arts di University
of Groningen, Belanda, pada 2010 dan Magister Humaniora di FIB
UI pada 2007 dalam bidang Cultural Studies. Bidang penelitian yang
ditekuni adalah permasalahan arus budaya populer di Asia seperti
film, drama televisi, musik populer, praktik kuliner dan media sosial.
Gietty juga didapuk sebagai anggota Komite Film Dewan Kesenian
Jakarta periode 2020–2023.

/ 206
/ 207
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Kerabat Kerja
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Komite Film Dewan Kesenian Jakarta periode 2020-2023


Ekky Imanjaya
Agni Ariatama
Hikmat Darmawan
Shuri Mariasih Gietty Tambunan

Dewan Juri Akhir


Eric Sasono
Seno Gumira Ajidarma
Yulia Evina Bhara

Juri KAFEIN
Debby Dwi Elsha
Dyah Ayu Wiwid Sintowoko
Erina Adeline Tandian
Hariyadi
Heri Purwoko

Pengolah Program Komite Film DKJ


Christy Ratna Gayatri

Project Manager
Poetra R. Harindra

Assistant Project Manager


Rukita Widodo

Koordinator Operasional
Devi Sarjani

/ 208
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Koordinator Teknis
Anies Wildani

Koordinator Publikasi
Nadilla Izzati

Media Sosial
F. Sena Pamudya

Desainer Grafis
Dita Safitri

Fotografer
Andi Maulana, Sendie Nurseptara S.

Videografer
Carlos William

/ 209
Ucapan Terima Kasih
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Debby Dwi Elsha

DKJ Fest 2023

Dyah Ayu Wiwid Sintowoko

Eric Sasono

Erina Adeline Tandian

Hariyadi

Heri Purwoko

KAFEIN

Kineforum

PT Jakarta Propertindo

Seno Gumira Ajidarma

Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki

Yulia Evina Bhara

/ 210
/ 211
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Dokumentasi Foto
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Malam Anugerah
Sayembara Menulis Kritik Film
2023

Ekky Imanjaya, Ketua Komite Film memberi sambutan pada Malam Anugerah Sayembara
Menulis Kritik Film DKJ, yang menjadi bagian dari Malam Penutupan DKJ Fest 2023. Rabu, 5 Juli
2023, Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.

Pengumuman 10 Terbaik Sayembara Menulis Kritik Film DKJ.

/ 212
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
31 Besar yang hadir di zoom, live ditampilkan di Graha Bhakti Budaya,

Pengumuman Juara 3 Sayembara Menulis Kritik Film DKJ.

/ 213
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Pemberian simbolik hadiah juara ke-3 Sayembara Menulis Kritik Film DKJ. Pemberian hadiah
oleh Juri Kafein, penerima hadiah diwakilkan oleh Harry Purwanto, Ketua Komisi Program DKJ.

Pengumuman Juara 2 Sayembara Menulis Kritik Film DKJ.

/ 214
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Pemberian simbolik hadiah juara ke-2 Sayembara Menulis Kritik Film DKJ. Pemberian hadiah
oleh Ketua Komite Film DKJ, Ekky Imanjaya, penerima hadiah diwakilkan oleh Shuri Mariasih
Gietty Tambunan, Anggota Komite Film DKJ.

Juara pertama Sayembara Menulis Kritik Film DKJ, Catra Wardhana, hadir di dalam zoom.

/ 215
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023

Pemberian simbolik hadiah juara ke-1 Sayembara Menulis Kritik Film DKJ. Pemberian hadiah
oleh Ketua DKJ, penerima hadiah diwakilkan oleh Hikmat Darmawan, Wakil Ketua 1 DKJ dan
Anggota Komite Film DKJ.

Foto bersama para pemenang.

/ 216
Sayembara Menulis Kritik Film DKJ 2023
Foto bersama penerima Karya yang Menyentuh Perhatian Juri, Moses Parlindungan
Ompusunggu.

Pembacaan pertanggungjawaban Dewan Juri Akhir, diwakili Eric Sasono.

/ 217
www.dkj.or.id

Anda mungkin juga menyukai