Anda di halaman 1dari 7

Nyonya Andini

Suasana dalam rumah tak berbeda jauh dengan di luar. Masih dibungkus kesunyian yang pekat.
Kendati demikian, harus kuakui rumah ini sangat bersih. Lantai marmernya tampak mengkilap
dipeluk cahaya mentari dari jendela. Bulan di atas kuburan. Penggalan sajak Sitor Situmorang itu rasanya
tepat mencerminkan rumah ini. Siapa pun pasti setuju dengan kecantikan dan keanggunannya. Rumput hijau
yang melapisi halaman tampak terawat. Aneka pot berbagai ukuran berisi bunga warna warni ditaruh dengan
rapi. Beberapa menempati halaman, sisanya menghuni teras dan menempel manis di dinding beranda. Namun,
aroma kesunyian juga begitu kental. Bayangkan, selain suara desir angin serta cericit murai batu yang digantung
di pojok, nyaris tak ada denyut kehidupan yang terasa dari rumah ini.

Aku menekan bel. Tak lama seorang perempuan setengah baya keluar dari pintu depan dan berjalan tergopoh-
gopoh. Ah, rupanya ada orang juga di dalam, gumamku.

”Cari siapa dek?” tanya perempuan itu.

”Nyonya Andininya ada, Bu?”

”Oh, Nyonya ada di dalam. Silahkan masuk. Adek udah ditunggu.” Ia lalu membuka pagar. Aku tiba-tiba
mengernyitkan dahi. Dari mana Nyonya Andini tahu bahwa orang yang barusan memencet bel adalah perawat
yang tempo hari dihubunginya? Apa ia punya indera keenam? Atau jangan-jangan ia adalah dukun yang
kebetulan sedang sakit? Pikiranku mendadak liar. Akan tetapi, begitu kusorot sebuah CCTV yang bertengger di
sudut pagar, aku jadi merasa geli. Aih, kayaknya aku kebanyakan nonton film horor deh, batinku.

Suasana dalam rumah tak berbeda jauh dengan di luar. Masih dibungkus kesunyian yang pekat. Kendati
demikian, harus kuakui rumah ini sangat bersih. Lantai marmernya tampak mengkilap dipeluk cahaya mentari
dari jendela. Perabotan seperti kursi, meja, dan lemari tak dihinggapi debu sama sekali. Dan Nyonya Andini
agaknya adalah seorang penikmat seni. Terbukti dengan padatnya ruangan ini dengan beberapa lukisan artistik
serta barang-barang antik seperti guci, patung, dan ukiran-ukiran yang kutaksir bernilai ratusan juta atau
mungkin miliaran rupiah.

”Maaf ya sedikit menunggu, tadi saya ke kamar mandi sebentar.” Suara lembut dari arah sebuah kamar tiba-tiba
menyentak kekagumanku yang sedang khusyuk menyimak satu lukisan abstrak yang tampak lebih menonjol di
antara lukisan lain. Seorang perempuan tua terlihat duduk di kursi roda dan dituntun oleh ibu yang membuka
pagar tadi.

”Oh, ga  apa-apa kok, Bu. Saya juga sedang asyik mengamati karya-karya seni yang terpampang di sini.”

”Kamu suka sama lukisan itu?”

”Eh, iya suka, Bu. Saya memang tidak begitu memahami seni. Tapi kayaknya ini lukisan yang paling unik dan
yang paling mahal ya, Bu?”

”Itu lukisan suami saya.” Senyum Nyonya Andini mengembang menjawab pertanyaanku. Senyum itu
memunculkan barisan gigi yang tampak bersih, utuh dan persis seputih susu. Kini kutahu, tak hanya rumah yang
diurus dengan sempurna, Nyonya Andini juga sangat telaten merawat gigi-giginya. Terlebih di usinya yang
kutebak sudah menyentuh angka 60 tahun itu. Entah sudah berapa biaya yang dikeluarkannya demi
kemaslahatan gigi-gigi tersebut. Mereka yang kaya raya tingkahnya memang sering diluar nalar kaum jelata.

”Oh ya? Wah, suami ibu keren sekali! Pasti ibu sangat bangga dengannya.”

”Tentu saja, hanya dia yang mampu melunakkan hati seorang Andini yang keras kepala, Ha-ha-ha.” Tawanya
terdengar begitu renyah di telinga. Beberapa waktu kemudian, aku menarik obrolan kami ke munculnya gangren
yang merongrong salah satu tungkainya. Luka ini menyebabkan jari-jarinya menghitam dan membusuk. Alasan
inilah yang membuat Nyonya Andini menghubungiku beberapa hari lalu. Aku adalah seorang juru rawat yang
khusus menangani masalah luka dan bersedia dipanggil ke rumah.
Sembari kubereskan borok yang bergetah nanah di kakinya, Nyonya Andini menuturkan sudah sejak lama ia
memang mengidap diabetes. Penyakit kronis yang selalu jadi biang kerok lambatnya luka untuk sembuh.
Kondisi yang bermula dari gaya hidupnya yang tidak selektif dalam memilih makanan yang dikonsumsi. Ia
mengaku sangat menggandrungi makanan manis, terutama donat. Saking fanatiknya, ia bisa melahap habis dua
sampai tiga kotak donat dalam sehari. Di samping pola makannya yang tidak teratur, ia juga menerangkan kalau
ia sangat jarang sekali melakukan olah tubuh. Padatnya pekerjaan bagai lebah yang mengerubungi sarang tak
menyisakan celah sedikit pun baginya untuk sekedar berolahraga. Setiap hari Nyonya Andini harus berkutat
dengan laptop, bertemu klien, rapat, serta kunjungan kerja yang membuatnya tak ubahnya setrika yang mondar-
mandir ke sana ke mari.

”Wah, sepertinya saya sedang mengobati orang penting nih,” ujarku menggodanya sambil terus memainkan
pinset serta gunting dalam kubangan nanah yang menganga dan tak hentinya menguapkan aroma tak sedap.
Bahkan, sehelai masker yang kurekatkan di hidung tak sanggup membendung betapa semerbaknya luka gangren
ini.

”Oh ya, Bu. Kalau boleh saya tahu. Kenapa Ibu tidak memilih rawat inap di rumah sakit saja?” sambungku.

”Saya tidak betah di sana. Dokter-dokter itu terus menyuruh agar kaki ini diamputasi saja. Saya tidak maulah.
Lagi pula di sini jauh lebih nyaman. Seperti kata Godbless, lebih baik di sini, rumah kita sendiri.” Ia tertawa
riang. ”Berada di sini saya merasa lebih hidup. Saya merasa lebih dekat dengan suami saya.”

Aku tersentak. Kuhentikan menggarap gangren ini sejenak. Dengan kening mengerut kupandang wajah Nyonya
Andini lekat-lekat. Sepertinya ia sudah menduga kebingungan yang kutodongkan di hadapannya. Tak lama
Nyonya Andini menjelaskan bahwa suami yang amat dicintainya telah meninggal dua tahun lalu. Sebagian
karya seni di rumahnya merupakan buah kreativitas suaminya, sebagian lagi dibelinya ketika mereka berlibur ke
luar kota atau luar negeri. Lukisan abstrak yang sempat membuatku berdecak kagum sebelumnya menurut
penuturan Nyonya Andini adalah karya terakhir suaminya. Burung murai batu yang menggantung di atas teras
adalah peliharaan suaminya. Setiap burung itu mengoceh, Nyonya Andini merasa seperti sedang diajak
berkomunikasi oleh suaminya. Baginya, murai batu itu seperti tukang pos yang menghantarkan pesan suaminya
dari surga melalui kicauannya.

”Ia begitu menggilai seni. Ia menghidupkan seni dan hidup dari seni itu sendiri. Makanya, saya memilih dirawat
di rumah. Dengan terus memandang semua karya seni ini saya merasa bisa terus dekat dengannya,” tutur
Nyonya Andini mengenang suaminya.

”Wah, saya sampai terharu, Bu.”

”Oh ya, kamu belum menikah?”

”Kalau tidak ada kendala dalam waktu dekat saya akan menikah, Bu.”

”Nah, nanti kamu juga pasti merasakan betapa dahsyatnya cinta seorang istri kepada suaminya.”

”Ah, Ibu bisa aja.” Kami lalu tertawa bersama. Seusai membalut kakinya dengan elastis perban, aku kemudian
pamit pulang.

***

Hari terus bergulir. Sudah hampir sebulan aku berkutat dengan borok dan bau busuk yang menusuk hidung dari
kaki Nyonya Andini. Aku bersyukur perkembangan lukanya menunjukkan hasil yang positif. Rona wajah
Nyonya Andini juga berangsur cerah dari yang semula tampak pucat seperti mayat. Demikian pula dengan
hubunganku dengan Nyonya Andini, ia terlihat begitu nyaman dengan kehadiranku. Sehingga tak merasa
sungkan lagi menceritakan semua tentang dirinya. Dulu ia adalah seorang pejabat di pemerintahan. Selama
menjabat, ia sering melayani tamu yang berdatangan dari dalam maupun luar daerah. Sebaliknya, ia juga sering
melakukan kunjungan kerja ke luar daerah. Kesibukan Nyonya Andini rupanya tidak sampai di situ, ia juga
harus mengurus bisnis restoran dan propertinya yang beroperasi di beberapa tempat. Tak ayal, rutinitas yang
menghimpit tersebut membuatnya jarang berada di rumah.
”Terus suami ibu gimana?” Tanyaku setelah menyesap secangkir teh hangat di teras depan. Usai menyelesaikan
pekerjaanku. Kami memang selalu berbincang-bincang santai, kadang di ruang tamu, kadang juga di teras
depan.

”Dia tidak pernah mempersoalkannya. Bahkan selalu mendukung karier yang saya tekuni. Kami itu bisa
dibilang pasangan yang unik. Jika lazimnya seorang suamilah yang sering keluar rumah, dalam kasus kami
justru si istrilah yang lebih aktif bergerilya di luar rumah. Lagi pula profesi suami saya tidak membebaninya
untuk keluar rumah. Di sini, ia sering menghabiskan hari-harinya untuk membaca, menulis dan melukis. Hanya
sesekali saja ia keluar untuk memenuhi undangan seminar atau sekedar menghirup udara segar.”

Obrolan santai di antara kami terus mengalir di beranda. Nyonya Andini ternyata sangat ramah, hal ini bertolak
belakang dengan gosip yang kudengar dari penjual pulsa di dekat komplek perumahannya yang berujar bahwa
Nyonya Andini adalah orang yang sombong. Apalagi beliau juga sudah jarang terlihat berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh warga setempat. Nyonya Andini menerangkan bahwa kondisi
kesehatannya memang memburuk beberapa tahun belakangan ini.

Terlebih selepas kepergian suaminya, kepergian satu-satunya orang yang paling dicintainya itu membuatnya
ditimpa depresi. Ia jadi kehilangan fokus, hingga kurang berhati-hati saat memotong kuku di jari-jari kakinya.
Dari sini lah awal luka gangren yang dialami Nyonya Andini. Kadar glukosa darahnya yang terus meninggi
serta ditopang oleh depresi menjadikan luka di kakinya belum sembuh hingga kini.

Nyonya Andini juga mengaku semenjak pensiun dari jabatannya di pemerintahan, orang-orang berangsur
meninggalkannya. Apalagi dengan kondisi borok beraroma busuk yang masih terpeta jelas di kakinya, teman-
temannya merasa jijik dan tidak ada yang bersedia menjenguknya. Di rumah itu, Nyonya Andini hanya hidup
berdua dengan pembantunya. Pembantunya juga tidak sepanjang hari ada bersamanya. Usai menunaikan tugas
memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan pekerjaan rutin lainnya, pembantunya juga mesti pulang ke
rumahnya sebelum Maghrib tiba.

Nyonya Andini sebetulnya sudah berulang kali menawarkan kepada pembantunya agar memboyong
keluarganya tinggal bersamanya saja di rumah itu. Namun, pembantunya selalu menolak karena suaminya tidak
memberi izin. Selain merasa sungkan, suaminya itu juga beralasan tidak ingin keberadaannya malah merepotkan
Nyonya Andini. Keputusan yang ditanggapi dengan bijak oleh Nyonya Andini, meski di relung hatinya
terdalamnya tetap menyimpan kekecewaan. Padahal ia berharap agar rumah itu menjadi semarak dengan
kehadiran keluarga pembantunya beserta anak-anaknya. Di kota itu Nyonya Andini tidak punya kerabat, semua
sanak saudaranya berada jauh di luar kota, bahkan ada yang di luar negeri. Lantas bagaimana dengan anak
Nyonya Andini sendiri?

Nah, pertanyaan itu pernah terlintas di benakku. Sejauh aku mengenal Nyonya Andini lewat rangkaian
percakapan yang kami jalin, tak pernah sekali pun ia membicarakan perihal anaknya. Malah aku semakin
penasaran tatkala di rumah itu hanya kudapati foto Nyonya Andini beserta suaminya saja, tanpa adanya sosok
anak seperti layaknya foto keluarga yang menghiasi dinding rumah orang-orang kebanyakan. Aku merasa
Nyonya Andini seperti menutupi soal anaknya. Aku sempat ingin menanyakan hal itu, tetapi aku urungkan
karena takut menyinggung perasaannya. Hingga pada suatu waktu, karena didorong oleh rasa penasaran yang
semakin bergejolak, akhirnya kuberanikan diri menanyakannya.

”Oh ya, Bu. Kalau boleh saya tahu anak itu bagaimana kabarnya?”

Nyonya Andini hanya tersenyum tipis dan menjawab, ”Kalau ia hidup, mungkin ia akan seusiamu sekarang.”

”Oh, saya minta maaf, Bu. Saya tidak bermaksud untuk….”

”Tidak apa-apa.”

Sejak saat itu aku tidak mau lagi mencari tahu soal anak Nyonya Andini.

***
Sudah dua minggu aku tidak merawat borok kaki Nyonya Andini. Sebelumnya aku sudah meminta izin untuk
tidak menangani lukanya selama dua minggu ini. Dikarenakan aku pulang kampung untuk menjenguk ibuku
yang sedang sakit. Setelah itu aku juga tengah sibuk mengurus proses pernikahanku yang akan digelar dalam
waktu dekat. Tidak lupa aku turut mengundang Nyonya Andini untuk hadir di pesta pernikahanku nanti.

”Ibu harus sembuh supaya bisa hadir di pesta pernikahanku nanti ya!”

”Oh, tentu saja. Nanti saya akan menyumbangkan beberapa buah lagu untukmu,” Nyonya Andini cekikikan.

Ia tampak bersemangat, apalagi menurut perhitunganku setidaknya sebulan perawatan lagi lukanya akan segera
sembuh. Dan untuk sementara, aku mengalihkan pekerjaanku dengan Nyonya Andini kepada seorang teman
sesama perawat luka selama aku pergi.

Aku terus memacu sepeda motorku. Dua minggu tak bertemu Nyonya Andini, tak kusangka membuatku dilanda
rindu. Sosok Nyonya Andini sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Ah, tak sabar rasanya ingin kembali
mendengar segala celoteh dan perkembangan kondisi borok di kakinya.

Memasuki pintu gerbang komplek, kusaksikan banyak mobil terparkir di sisi jalan. Di beberapa titik juga
kutemukan aneka papan bunga dengan hiasan warna warni. Sepertinya ada yang baru saja ditimpa kemalangan,
pikirku. Aku tidak begitu memperhatikan isi dari papan bunga tersebut. Kuhiraukan saja sambil melengos
menuju rumah Nyonya Andini. Namun, mendekati rumah Nyonya Andini kerumunan orang-orang dan
kendaraan kian membludak. Mayoritas berbusana serba hitam. Perasaanku mulai tidak enak. Sepeda motor
kutinggalkan. Kemudian aku mengarahkan langkah ke sebuah papan bunga yang berdiri persis di sebelah pintu
pagar rumah Nyonya Andini. Kupandangi lekat-lekat isi papan papan bunga tersebut.

”Turut berduka cita atas meninggalnya Nyonya Andini Suryanegara.”

Dunia seketika gelap. Jantungku bagai dipenuhi pasukan pemberontak yang sedang melakukan perlawanan.
Kurasakan nadiku berdenyut sederas-derasnya, seperti berlomba-lomba membawa pesan kesedihan. Aku
terkulai lemas. Dengan langkah gontai kuseret langkah ini melewati kerumunan pelayat menuju teras depan dan
masuk ke ruang utama. Di hadapanku sekarang tengah terbaring jasad Nyonya Andini. Perempuan tangguh dan
ceria yang dalam beberapa bulan terakhir ini menjadi pasienku. Kupandangi sosok yang sudah kuanggap
sebagai Ibu itu. Kini ia terbujur kaku dibalut kain kafan. Wajahnya tampak seteduh beringin. Ada aura
kegembiraan yang tergambar di sana. Agaknya Nyonya Andini sudah menemukan kebahagiaannya di surga
bersama suami yang amat dicintainya. Namun, tetap saja airmataku terus saja meleleh membasahi pipi. Kupeluk
Nyonya Andini dengan pekik tangis yang menggema di udara.

Para pelayat berangsur meninggalkan pemakaman. Tapi aku tetap duduk merenungi nisan Nyonya Andini. Isak
tangis masih merembes di pipiku. Saat itulah kurasakan sebuah tangan menyentuh pundakku secara perlahan.

”Seminggu ini kondisi Nyonya Andini ngedrop. Gula darahnya meningkat drastis. Ia tiba-tiba terkena serangan
jantung.”

Suara itu berasal dari pembantu Nyonya Andini. Ia menerangkan bahwa dalam seminggu itu Nyonya Andini
terus memikirkanku. Ia juga menuturkan Nyonya Andini sering menanyakan kapan aku akan datang lagi.
Nyonya Andini begitu merindukanku katanya. Pembantu itu juga menambahkan bahwa kehadiranku ke rumah
itu adalah saat-saat paling membahagiakan dalam hidupnya sepeninggal suaminya. Nyonya Andini pun
menyesali keputusannya di masa lalu untuk tidak menginginkan adanya seorang anak dalam biduk rumah
tangganya.

”Eh, maksudnya gimana, Bu?” Pernyataan pembantunya sedikit menyengat lamunanku.

”Lho, Ibu pikir Nyonya Andini sudah menceritakannya. Nyonya Andini katanya adalah seorang feminis. Ibu
sendiri sebetulnya juga tidak begitu paham apa itu feminis. Yang jelas Nyonya Andini pernah mengungkapkan
kalau ia sepakat dengan suaminya untuk tidak menginginkan kehadiran seorang anak dalam hidupnya. Ia
beralasan sudah cukup berbahagia membina kehidupan rumah tangga berdua saja dengan suaminya. Nyonya
Andini juga tidak ingin konsentrasinya dalam karir terpecah dengan urusan mengasuh anak. Namun, belakangan
semenjak suaminya meninggal, Nyonya Andini mulai menyadari betapa pentingnya sosok anak dalam
hidupnya. Terlebih untuk menemaninya di usia senja.”

Aku hanya terdiam mendengar penuturan pembantunya itu.

”Tapi ada kabar baik untukmu, Dik. Sebelum meninggal Nyonya Andini telah memberikan wasiat jika seluruh
hartanya akan diwariskan kepadamu. Nyonya Andini sudah menganggapmu sebagai anaknya. Ini juga sebagai
bentuk terima kasihnya karena selama beberapa bulan ini telah merawatnya dengan sepenuh hati.”

Aku mengernyitkan dahi. Bingung harus bahagia atau sedih. Sejenak kuberpikir. Kemudian kurogoh tas yang
melingkar di pundak untuk mengambil gawai. Kuketik sebuah pesan untuk calon suamiku.

”Bang, kayaknya aku berubah pikiran. Alangkah baiknya kalau kita memiliki anak saja.” Tak berapa lama
pesanku lalu dibalas singkat dengan sebuah emoticon senyum darinya.

***

Bang Harlen adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Kota Payakumbuh dan besar di kota
Padangsidimpuan. Merupakan alumnus kampus Universitas Sumatera Utara. Mengawali karier kepenulisannya
sejak aktif menulis di blog pribadinya. Lelaki yang bernama lengkap Hady Kurniawan ini sudah menerbitkan
buku kumpulan puisi berjudul Kopi dan Panggelong. Selain menulis, kegiatannya adalah menggeluti komunitas
literasi bernama Pojok Aksara yang berdomisili di kota Padangsidimpuan.

Source : Bang Harlen, kompas.id


Tugas Teori Sastra Menganalisis Cerpen
Judul Cerpen : Nyonya Andini
Refrensi Cerpen : BANG HARLEN, kompas.id

1. PENDAHULUAN
Di dalam cerpen Nyonya Andini, mengangkat sebuah tema Penyeselan, yang
menceritakan masa-masa bahagia disaat ada suami tercintanya, masa kecil dengan
keluarga, hingga masa Nyonya Andini menderita diabetes dan penyakit Gangren di
kakinya. Dari penyakit ini lah membuat Nyonya Andini membutuhkan perawat yang
merawat penyakit gangrenya, banyak cerita yang disampaikan Nyonya Andini.
Hingga membuat kepercayaan Nyonya Andini sepenuhnya percaya kepada si
Perawat, sampai memberikan harta warisan nya kepada Perawat, di detik-detik
hembusan nafas terakhirnya.
2. PEMBAHASAN
a. Tema
Penyesalan
b. Plot : Maju Mundur
Menceritakan kehidupan Nyonya Andini yang menderita penyakit Gangren,
hingga dirawat dirumah oleh perawat, darisana Nyonya Andiri menceritakan
kepada si Perawat tentang karir, keluarga, suaminya, hingga di titik ini
Nyonya Andini tidak mempunyai siapa-siapa, keadaan Nyonya Andini
semakin parah hingga akhirnya meninggal. Nyonya Andini memberikan harta
warisan nya kepada si Perawat.
c. Setting
1. Tempat : Ruang tamu rumah Nyonya Andini
2. Waktu : Disaat mengobati kaki Nyonya Andini
3. Suasana : Bahagia dan Sedih
4. Benda : Alat medis, lukisan, dan kursi.
3. SIMPULAN
Kesimpulan di dalam cerpen Nyonya Andini, Nyonya Andini memiliki cerita yang
sangat manis di dalam hubungan percintaanya dengan suami yang sangat romantis,
karir Nyonya Andini yang sangat bagus. Hingga dari sana saya dapat memetik
hikmah didalam hidup jika mengejar cita-cita karir harus dengan serius, agar bisa
merasakan kesuksesan dalam karir. Di lain sisi Nyonya Andini memiliki kekurangan
pada bagian waktu buat keluarga, kerabat, sahabat, dan teman. Dari tidak ada waktu
buat keluarganya, mengajarkan saya untuk lebih menghargai waktu dengan keluarga,
kerabat, sahabat, dan teman agar kedepanya jika kita membutuhkan sesuatu ada
rujukan yang harus kita hampiri.

Anda mungkin juga menyukai