Anda di halaman 1dari 4

Belahan Dada di Badan Truk

Cerpen Ismawati As-Saofy


Konon, masa itu batu juga bisa bicara. Sama seperti manusia. Ia menjadi teman baik
setiap orang. batu mempunyai naluri kemanusiaan yang tinggi. Saat bersimpati ia bisa
membelah diri menjadi kecil. Saat marah, ia bisa memanggil batu-batu besar lainnya untuk
menggelindingkan diri saat lawannya kebetulan lewat di sebuah jalan. Dengan begitu, batu
bisa menghancurkan kepala siapapun. tapi batu tak pernah salah. Yang akan salah tetap
manusia. Meski batu punya dendam yang teramat besar.
Bukan. Bukan cerita tentang batu pendendam yang menarik. Ada cerita yang lebih
menarik dari itu. Konon, masa itu adalah masa paling sakti karena batu bisa bicara, juga masa
paling berkabung karena salah seorang penduduk tengah kehilangan cahaya hidupnya. Cerita
batu kemudian tak didengar lagi. tak ada yang ingin mendengar batu. Maka sejak itu batu rela
ditempel di rumah-rumah penduduk untuk menjadi pendengar yang baik. Sampai sekarang
orang-orang masih berbicara dengan batu, tapi seperti yang diketahui, batu begitu pendendam
hingga ia tak pernah lagi mau berbicara.
Cerita yang menjadi sorotan itu datang dari seorang bernama Lanung. Ia laki-laki
yang paling tak pernah punya masalah di sebuah kampung tak benrnama itu. Keberadaannya
mungkin juga tak pernah dihiraukan. Dulu, setiap orang hanya tertarik dengan batu yang bisa
berbicara sama seperti manusia. Tapi sejak Lanung tiba-tiba berteriak—yang kemudian
membuat seisi kampung terheran-heran—batu tak pernah lagi didengar.
“Istriikuuu.... istriku diambil jin. Istrikuuuu” Begitu luar biasanya teriakan Lanung
hingga suaranya terdengar sangat parau. Dengan teriakan seluarbiasa itu, seluruh kampung
segera berkumpul di tempatnya.
“Istrimu? Istri yang mana?” Seorang tetangga bertanya kaget
“Yang mana? Sejak kapan kamu punya istri?” tetangga lainnya bertanya kebingungan
“Kamu warga kampung sini? Seorang lainnya benar-benar bingung.
Lanung tak menjawab. Ia terhuyung ke tanah sambil meneriakan istrinya yang
diambil jin. Seluruh warga telah mencoba menenangkannya. Bahkan ada yang berusaha
menggendongnya agar tak lagi berguling-guling di tanah. Tapi usaha tiap warga sia-sia.
Lanung tak juga mau diam. Ia tetap meneriakkan istrinya yang dibawa lari jin.
“Istriku dibawa jin ke arah barat. Katanya mau ke kota. Tolong kejar dia. Tolong
kejar” katanya meronta-ronta seperti anak kecil.
“Nung. Kamu ini tidak gila kan?” seorang warga yang kesal meneriakinya.
“Iya. Sepertinya saya sudah gila” Lanung menjawab seenaknya.
Warga saling melihat dengan tatapan aneh. Ia tahu jawaban orang waras tak segila itu.
Meski tahu Lanung masih waras, tapi mereka semua masih kebingungan. Jangankan istri,
teman hidup saja tak ada. Ia hanya sebatang kara tinggal di rumah yang ditinggalkan kedua
orang tuanya. Meski buta, ia yang mengurusi rumahnya sendiri mulai dari membersihkan
rumah, menanak sayur, melipat baju dan seluruh pekerjaan ibu rumah tangga lainnya.
“Meskipun saya buta, tapi saya tidak tuli. Tidak bisu. Tidak bodoh” Raungannya kini
telah hampir memecah gendang telinga para warga. Seluruh warga mengerubungi rumahnya
yang sempit.
“Lihat saja. Rumah saya selalu bersih. Selalu rapi. Makanan di balik tudung saji selalu
penuh dan enak-enak. Saya buta. Kalau pun bisa menyapu ya hanya sekadarnya. Rumah saya
tetap terawat seperti ini karena istri saya yang tiap hari dengan telaten membersihkannya.”
Para warga melayangkan pandangan di setiap sudut rumah. Ada yang merunduk melihat
kolong dipan yang bebas dari debu, ada yang melihat langit-langit rumah yang terbebas dari
sarang laba-laba, bahkan ada yang mengecek tudung saji yang isinya penuh dengan makanan
yang lezat dan banyak.
“Lanung tidak berbohong. Rumahnya benar-benar rapi” bisik seorang tetangga pada
tetangga lainnya.
“Benar. Lanung tidak bohong. Di bawah tudung saji sangat banyak makanan enak dan
sangat banyak. Saya malah mencicipinya. Benar-benar lezat. Saya mungkin tak bisa masak
selezat itu” Kata tetangga lainnya.
Suara kasak-kusuk semakin gaduh. Para tetangga mempertanyakan kebenaran
perkataan Lanung. Kalau memang benar ia telah punya istri, kenapa sekalipun tak ada warga
yang melihatnya untuk sekedar keluar beli sayur di pak Soleh. Bukan kah pak soleh satu-
satunya tukangs ayur di kampung mereka? Dari mana istri Lanung mendapatkan sayur
sebanyak itu tiap hari? Kalaupun akan ke pasar, istrinya pasti akan melewati perumahan
penduduk, mengingat rumah lanung terletak di tengah-tengah perkampungan.
“Saya tidak bohong. Istri saya sangat cantik. Pasti kalian pernah melihatnya. Tapi
kalian tak tahu dia istriku” Lanung tak henti-hentinya menangis. Tangisannya bukan
membuat orang iba, tapi membuat tiap yang mendengarnya menutup telinga karena pekak.
“Bagaimana kamu bisa melihat istrimu? Kamu buta, Nung” Seorang gadis berteriak
padanya.
“Kamu yang berbicara pasti Oneng. Perawan tua yang belum punya kekasih. Saya
tahu orang cantik dari suaranya. Suaramu tak indah sama sekali. Pasti rambutmu keriting,
gigimu jarang, bibirmu tebal dan kantung matamu besar” Lanung menjelaskan sambil terisak.
Para warga makin bingung. Apa yang dikatakan Lanung tak meleset sedikit pun.
Oneng memang gadis yang tak kunjung dipersunting laki-laki. Selain memiliki kontur wajah
yang buruk, ia juga senang berbicara. Laki-laki di kampung ini tak senang dengan wanita
yang cerewet. Jadilah ia perawan tua. Tapi warga tak tahu Lanung tahu dari mana. Kasak-
kusuk makin ramai. Tentang istri Lanung, dan tebakan Lanung yang tak meleset sedikitpun.
***
Beberapa hari telah lewat. Suara tangisan Lanung tak juga surut. Kampung itu
menjadi pengap dengan suara tangisan Lanung. Tak henti-hentinya ia memanggil istrinya
yang katanya diculik jin. Bahkan katanya istrinya sudah dinikahi jin. Sulit sekali untuk tak
mempercayai dia. Sudah beberapa hal yang ia ungkapkan selalu benar. Para warga sekarang
mulai resah. Jangan-jangan memang benar ada jin dikampung mereka.
Para ibu-ibu makin resah karena suami-suami mereka banyak yang keluar kampung
sampai larut untuk ke kota mengantar barang menggunakan truk-truk besar. Para ibu-ibu
sampai membuat posko di balai desa untuk tidur bersama. mereka takut jin menculik mereka
juga.
“Kita bantu Lanung mencari istrinya saja. Kalau benar ia diculik jin, siapa tahu jinnya
belum jauh dari sini. Kota kan cukup jauh. Ada kemungkinan jinnya akan tersesat sebentar di
hutan, atau istrahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan” Seorang ibu paruh baya
mencetuskan ide.
“Kita kan tidak tahu rupa istri si Lanung itu. Kalau pun kita cari ke kota, kita harus
punya fotonya. Biar gampang dicari” Ibu lainnya menimpali.
“Kalau begitu lekas kita ke tempat Lanung. Jangan lupa panggil Karto. Nanti biar kita
bayar dia. Yang penting kampung kita kembali aman dari jin dan raungan Lanung. Agar kita
semua bisa kembali ke rumah masing-masing” semua ibu-ibu di posko mengangguk.
Malam itu juga para ibu-ibu membagi tugas. Ada yang memanggil Lanung. Ada yang
memanggil Karto si pelukis, dan ada yang mengumpulkan uang warga untuk membayar
Karto. Tak lama setelah semuanya bergerak, orang-orang yang dibutuhkan telah berkumpul
di posko. Tentu yang paling menyebalkan adalah Lanung. Ia tak bosan juga menangis.
“Ayo bang Karto. Langsung saja wawancarai Lanung. Biar urusan cepat selesai”
“Nung, Istrimu itu apa?” Karto memulai pembicaraannya
“Manusia lah. Masak hantu!”
“Ya, siapa tahu. Saya kan hanya bertanya. ini murni untuk lukisan saya yang akan
saya buat. Ya kalau hantu, kan kakinya saya samarkan. Gitu”
“Jangan ludahi saya” Lanung sesengukan lagi
“Iya sudah. Lupakan. Sekarang bagaimana rupanya?”
“Cantik. Cuanntik sekali ”
“Nung, Kalau kau ke dokter mengeluh sakit, terus kalau ditanya sakit apa lantas kau
jawab sakit sekali, di gamprat kau, Nung!”
“Ya. Terus maumu apa, To?” Lanung masih menangis.
“Maksudku rupanya bagaimana? Bentuk wajahnya bagaimana? Matanya bulat atau
sipit, bibirnya tebal atau tipis, bodinya kerempeng atau montok. Gitu”
“Mana ku tahu. Aku kan buta, To. Yang ku tahu dia punya buah dada yang buesar
sekali. Kemana-mana buah dadanya pasti terlihat sedikit di ujung kerah bajunya. Di belahan
dadanya aku sering tidur lelap. Pokoknya buah dadanya yang paling ku ingat” Karto
mengangguk-angguk sedangkan para ibu sibuk kasak-kusuk kesal.
“Lalu posisi yang membuatmu paling terangsang?” Karto berbisik pada Lanung.
“Tidak tahu. Dari posisi putingnya yang ke samping agak ke bawah, nampaknya dia
sedang dalam posisi serong dengan kaki di silangkan.”
“Yayaya..” Karto sibuk membuat sketsa istri Lanung sedangkan ibu-ibu masih kasak-
kusuk kesal.
Malam sudah mulai larut. Lukisan karto hampir selesai. Banyak ibu-ibu yang sudah
terlelap dan melupakan jin penculik. Lanung masih setia menunggu Karto yang melukis
untuknya. Setelah sekian lama menunggu. Karto selesai dengan lukisannya. Pada kanvas
berukuran sedang itu tergambar seorang wanita dengan kulit sawo matang sedang dalam
posisi setengah berbaring menghadap ke kiri, tangannya memangku kepalanya yang bulat.
Sesuai gambaran dari Lanung, buah dada wanita itu muncrat keluar dari baju yang juga
sangat ketat. kakinya bersilang bagai menahan napsu birahi yang sudah memuncak. Saat
kanvas itu dihadapkan pada Lanung, Lanung tersenyum dan berkata pas. Semua orang
kemudian memandang Lanung. Lanung hanya tertawa cekikian untuk kemudian menangis
lagi. ibu-ibu segera resah lagi mendengar tangisan itu. Ibu-ibu segera lupa keanehan Lanung
yang mengatakan lukisan itu sudah tepat seperti istrinya, padahal Lanung buta sejak lahir.
Karena malam sudah larut, para suami pulang ke rumah masing-masing untuk
kemudian menemui istri-istri mereka. Namun karena seluruh rumah kosong tanpa penghuni,
para suami segera datang ke balai desa. Para suami kebingungan melihat istri-istri mereka
berkumpul disana. Namun lebih bingung lagi melihat seorang buta dan seorang pelukis
ditengah istri-istri mereka.
Untuk memecah kebingungan. Seorang istri bercerita apa yang terjadi. Setelah para
suami mendengar. Hati mereka tentram kembali. Para suami kemudian melihat lukisan istri
Lanung. Para suami terkesima. Bukan karena kemampuan Karto melukis. Namun karena
keindahan buah dada dari wanita yang digambar Karto.
Para suami kemudian meminta karto melukis wanita yang serupa pada badan truk-
truk mereka. Katanya, ini adalah bentuk dukungan untuk Lanung. Di kota-kota besar, lukisan
itu akan dilihat banyak orang karena truk mereka akan melewati banyak tempat. semakin
banyak yang melihat, semakin cepat istri Lanung ditemukan. Sejak saat itu, semua orang
yang memiliki truk menggambar truknya dengan gambar seorang wanita cantik dan buah
dadanya yang besar.
Begitulah cerita yang menarik itu. Cerita tentang apakah istri Lanung ditemukan tak
pernah ada. Tak pernah dipikirkan. Bahkan keberadaan Lanung kembali tak di perhitungkan
banyak orang.

Cincin Jupiter. 25 Desember 2015

Anda mungkin juga menyukai