Anda di halaman 1dari 23

TUGAS SOSIOLOGI SASTRA

Sosiologi Pengarang dalam Cerita Pendek Pandea Karya Arianto Adipurwanto: Perspektif
Warren dan Wellek

DISUSUN OLEH

NAMA : ISMAWATI

NIM : I2H022013

SEMESTER : DUA

Program Magister Pendidikan Bahasa Indonesia


Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Mataram
2023/2024
BAB 1
1.1. PENDAHULUAN
Karya sastra tidak pernah datang dari ruang kosong. Apalagi karya sastra sangat
bergantung pada pengarangnya. Dalam hal ini pengarang mempunyai hendel penuh dalam
menentukan bagaimana cerita itu akan dimulaikan dan dituntaskan. Apa yang pengarang tulis
tentu tidak bisa di tampik merupakan apa yang pernah pengarang alami baik dalam dunia nyata
atau dunia imajiner.
Pengalaman-pengalaman itu, jika seorang yang mempunyai naluri sastra, pasti akan
sangat berguna dalam proses penciptaan karya sastranya. Oleh karenanya pengalam-pengalaman
pengarang yang di alami melalui interaksi interaksi dengan berbagai sumber dapat
mempengaruhi karya sastra yang dihasilkan.
Aranto Adipurwanto merupakan penulis muda yang berasal dari KLU (Kabupaten
Lombok Utara). Ia datang dari pengalaman hidup yang menyakitkan. Kaya akan budaya-budaya
yang telah dikenalya. Juga tidak terlepas dari pengalaman-pengalaman pribadi yang menjadi batu
loncatan perjalanan hidupnya.
Secara kasat mata, jika pernah bertemu dengan penulis secara lansgung, kesan pertama
kita pasti mengarahkan bahwa ia datang dari keluarga yang terpelajar, menengah ke atas. Hal ini
didukung dengan penampilannya yang selalu rapi, tutur katanya yang selalu teratur, juga
perilakunya yang selalu terukur.
Namun dalam karya-karyanya, ia lebih banyak menulis tentang hal-hal sederhana dengan
latar tempat yang sangat sederhana serta komplik yang biasa saja. Namun dari kesederhanaannya
itu muncul pertanyaan besar, apa yang melatarbelakangi ia begitu detail menggambarkan
kesederhanaan dalam ceritanya? Setetelah banyak berdiskusi dan mencari tahu, ternyata apa
yang selama ini kita lihat sangat berbanding terbalik dengan latar belakang sosialnya di daerah
aslinya.
Sosiologi sastra membuka gerbang kemungkinan pencarian latar belakang pengarang
tersebut. Melalui perspektif Warren dan Wellek yang menyebutkan jika dalam karya sastra,
sosiologi pengarang sangat menentukan bagaimana karya sastra itu dihasilkan. Ia terlepas dari
penampilan luar penulis. Menurutnya, ada empat aspek yang perlu kita gali jika ingin
menemukan sosiologi pengarang secara utuh pada sebuah karya sastra. Diantaranya Latar
belakang sosial pengarang, Ekonomi Pengarang, Ideologi Pengarang, dan integrasi
sosialpengarang.
Poin-poin di atas bisa didapatkan melalui pencarian biografi penulis, juga lebih
disarankan untuk informasi secara langsung dari penulis maka dapat dilakukan wawancara
mendalam. Hal ini agar penelii juga dapat menangkap apa-apa yang tak dituliskan dalam biografi
penulis karya sastra.
Dengan latar belakang di atas, maka peneliti ingin mengetahui bagaiman sosiologi
pengarang Ariaonto Adipurwanto dalam Cerita Pendeknya yang berjudul Pandea menurut
perspektif Warren dan Wellek.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah sosiologi pengarang dalam cerita
pendek Pndea karya Arianto Adipurwanto
1.3. Tujuan Penelitin
Tujuan penelitin ini adalah untuk mengetahui sosiologi pengarang Arianto Adipirwanto dalam
Cerita pendeknya yang berjudul Pandea.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Sosiologi Sastra


Sosiologi sastra merupakan teori sastra yang menganalisis suatu karya sastra didasarkan
dalam hubungan kemasyarakatanya. Karya sastra juga dianggap sebagai ekspresi pengarang.
Landasan dalam teori ini adalah sosiologi sastra. Penelitian sosiologi sastra lebih banyak
memberikan perhatian kepada sastra nasional, sastra modern, khususnya mengenai novel.
Roucek dan Warren (2009: 18) sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara
manusia dalam kelompok-kelompok. Penelitian tersebut banyak diminati oleh penulis yang ingin
melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra
adalah penelitian suatu karya sastra terhadap hubunganya terhadap masyarakat, yakni
masyarakat sebagai pembaca karya sastra, masyarakat sebagai pencipta karya sastra, dan
penerimaan masyarakat terhadap suatu karya sastra.
Penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang
dengan kehidupan sosial, baik aspek bentuk maupun isi karya sastra. Sosiologi sastra adalah ilmu
tentang hubungan kelompok dalam kehidupan manusia. Tujuan sosiologi sama dengan ilmu
sosial lainnya, tetapi seseorang melihat kejadian sosial dengan caranya sendiri. Dari pemahaman
materi dan budaya masuk ke dalam esensi pembentukan, kerjasama dan kehidupan semua
golongan (Bouman dan Wahyuningtyas dalam Santoso, 2011: 20). Soekanto (dalam Santosa dan
Wahyuningtyas, 2011: 21) menunjukkan bahwa sosiologi berfungsi untuk memahami perilaku
manusia, karena peran kehidupan manusia berpengaruh oleh subsistem sosialnya.
Pada dasarnya subsistem sosial meliputi individu atau elemen individu dalam masyarakat
dan kehidupan yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut. Endraswara (2011: 26) sosiologi sastra,
dengan menyatukan dua disiplin ilmu sosiologi dan sastra yang berbeda. Yang sangat 5
diperhatikan ialah posisi dominannya dalam analisis, sehingga tujuan yang diharapkan dapat
tercapai secara maksimal. Dalam sosiologi sastra, konsep yang berhubungan dalam sastra harus
sangat jelas, sedangkan konsep yang berkaitan dengan sosiologi memainkan peran yang paling
melengkapi. Jika peneliti lebih spesifik, mereka akan menjadi lebih peka, dan akan ada sosiologi
puisi, sosiologi novel, sosiologi drama, dan lain-lain.
Metode sastra yang mempertimbangkan aspek sosial ini disebut sosiologi sastra, yang
menggunakan analisis tekstual untuk mengetahui strukturnya, yang kemudian digunakan untuk
memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang fenomena sosial di luar sastra (Damono
dalam AlMa’ruf dan Nugrahani, 2017: 99). Wellek dan Werren (2014: 3) menunjukkan bahwa
sastra adalah aktivitas kreatif dan karya seni. Karya sastra pada dasarnya tercipta dari realitas
kehidupan masyarakat yang terjadi dan dibuat oleh pengarang untuk dinikmati, dipahami, dan
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Dalam kaitannya dengan sosiologi sastra, Wellek dan Warren (1956) mengemukakan tiga
paradigma pendekatan dalam sosiologi sastra. Pertama, sosiologi pengarang. Inti dari analisis
sosiologi pengarang ini adalah memaknai pengarang sebagai bagian dari masyarakat yang telah
menciptakan karya sastra. Oleh karena itu, pemahaman terhadap pengarangnya menjadi kunci
utama dalam memahami relasi sosial karya sastra dengan masyarakat. Kedua, sosiologi karya
sastra. Analisis sosiologi ini berangkat dari karya sastra. Artinya, analisis terhadap aspek sosial
dalam karya sastra dilakukan dalam rangka untuk memahami dan memaknai hubungannya
dengan keadaan sosial masyarakat di luarnya. Ketiga, sosiologi pembaca. Kajian pada sosiologi
pembaca ini mengarah pada dua hal yaitu kajian pada sosiologi terhadap pembaca yang
memaknai karya sastra dan kajian pada pengaruh sosial yang diciptakan karya sastra.

B. Pengertian Cerpen
Burhan 
Menurut Burhan (2012) cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali
duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam. suatu hal yang kiranya tidak mungkin
dilakukan dalam sebuah novel. Burhan juga menyebutkan bahwa panjang cerpen itu bervariasi.
ada cerpen yang pendek ada juga cerpan yang panjang. 
Kosasih 
Menurut Kosasih, cerpen adalah karangan pendek berbentuk prosa. Di dalam cerpen itu
sendiri menceritakan sebuah kisah, kehidupan tokoh yang penuh pertikaian, memuat peristiwa
yang mengharukan ataupun menyenangkan. Termuat pula kesan agar tidak mudah dilupakan. 
Jacob 
Menurut Jacob (2001) cerpen adalah fiksi pendek yang selesai dibaca dalam sekali
duduk. cerita pendek hanya memiliki satu arti, satu krisis dan satu efek untuk pembacanya.
Pengaran cerpen hanya ingin mengemukakan suatu hal secara tajam. 
Tarigan 
Cerpen menurut Tarigan cerpen merupakan cerita pendek yang panjang ceritanya sekitar
5.000 kata. Atau sekitar 17 halaman kuarto spasi rangkap yang dari isinya memfokuskan pada
cerita dirinya sendiri (si tokoh).
Stanton 
Stanton menjelaskan lebih spesifik teknis penulisan cerpen. Cerpen yang baik adalah
cerpen yang dibuat secara padat. bagian dalam cerpen memuat tindakan-tindakan dan memiliki
karakter secara bersamaan. 
Sumardjo 
Menurut Sumardjo, pengertian cerpen adalah cerita yang membatasi diri dalam
membahas salah satu fisiknya dalam objek terkecil. Maksud pendek yang dimaksud Sumardjo
bukan masalah jumlah lembarannya, tetapi lebih menekankan pada panjang halaman dan ruang
lingkupnya. Jadi penulisan cerpen ruang lingkupnya dibatasi. Meskipun dibatasi, tetap cerita
tersebut berkesan. 
The LIang & A. Widyamartaya 
The Liang dan A. Widyamartaya yang mendefinisikan cerpen sebagai cerita khayal
berbentuk prosa yang pendek. Cerpen umumnya ditulis dibawah 10.000 kata. Tujuan dari cerpen
itu sendiri untuk menghasilkan kesan kuat yang memuat unsur-unsur drama.
Sayuti 
Menurut Sayuti pengertian cerpen memiliki unsur yang sama, yaitu memuat alur cerita,
judul, tokoh cerita, sudut pandang, latar cerita, dan memuat tema. Sedangkan untuk masalah
pemilihan bahasa menjadi kunci daya tarik cerpen. Oh iya, Sayuti juga menyebutkan bahwa
cerpen memiliki satu konflik, satu klimaks dan satu konflik saja, tidak lebih. Terkait dengan ide
yang diangkat, cerpen umumnya diangkat dari realitas sosial dan budaya.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Sosiologi Pengarang dalam Cerita Pendek Pandea Karya Arianto Adipurwanto:
Perspektif Warren dan Wellek
Sosiologi sastra merupakan ilmu interdispliner yang berbicara sosiologi dan sastra.
Karena berhubungan dengan sosiologi yang mana merupakan satu cabang ilmu yang
menggambarkan keberadaan manusia di dalam masyarakat, maka sosiologi sastra bersifat
reflektif. Sifat reflektif ini merupakan pencerminan dari kehidupan suatu masyarakat. Karena
sebuah karya sastra merupakan gambaran kecil suatu kehidupan, maka tidak bisa dipungkiri
bahwa dalam sebuah karya sastra, sedikit maupun banyak telah terkontaminasi oleh pikiran
pengarang. Pikiran pengarang merupakan refleksi pengalaman hidup pengarang. Hal tersebut
yang membuat idealisme pengarang dalam membuat suatu karya tak bisa dihindari.
Melalui alur pikir itulah, terlahir sudut pandang sosiologi pengarang dalam tujuannya
untuk mengetahui seperti apa keberadaan pengarang di dalam karya sastra yang diciptakannya.
Dalam perspektif Warren dan Wellek, konsep sosiologi pengarang dalam kajian sosiologi sastra
meliputi beberapa hal. Antara lain :
1. Latar Belakang Sosial Pengarang
Latar belakang sosial pengarang tentunya dapat mempengaruhi karya sastra yang dibuat
oleh pengarang, sehingga latar belakang sosial pengarang tidak bisa dilepaskan dengan
karya sastra yang diciptakannya. Latar belakang sosial pengarang meliputi kehidupan
pengarang sebagai makhluk sosial, seperti riwayat pendidikan, interaksi sosial dengan
lingkungan tempat tinggalnya, interaksi sosial melalui pekerjaan, garis keturunan,
kebiasaan atau hobinya, dan lain-lain.
Menurut Wellek dan Warren (2014:101) biografi pengarang merupakan
sumber utama, tetapi bisa meluas ke tempat lingkungan sosial pengarang tinggal dan
berasal, serta dengan mengumpulkan data tentang latar belakang sosial, latar belakang
keluarga, dan posisi ekonomi pengarang. Dalam makalah ini, penulis berkesmatan
mewawancarai secara langsung melalui teks pengaran cerita pendek Pendea, sehingga setiap
detail ulasan menjadi terang.
Arianto Adipurwanto merupakan anak pertama dari pasangan suami istri yang sederhana
di pelosok Kabupaten Lombok Utara. Ia lahir di salah satu pelosok hutan Utara di Lelenggo.
Masa kecilnya ia lewati dengan sangat sederhana. Jauh dari kata berkecukupan. Orang tuanya
hanya mengandalkan penghasilan dari kebun kopi yang tak setiap hari bisa menjadi uang.
Namun ia mengaku tenang dan damai tinggal di hutan karena jauh dari hiruk pikuk persoalan
manusia. Seperti pada penggalan wawacara sebagai berikut :
“Saya hidup di hutan pada masanya, bebrapa tahun di masa awal hidup saya. Di situ
mengelola kebun, yang ada kopinya. Dan merasakan pengalaman didatangi pendea, seringkali
dan hampir selalu saat musim kopi. Kemudian, sebab sesuatu dan lain hal, saya pindah dari
hutan itu dan tinggal di desa, kampung di bukit, tak terlalu kota tapi juga tak terlalu pelosok.
Kenangan tentang pendea ini sering Ibu saya kenang; seringkali dikenang dengan pahit.
jadi jika ditanya saya hidup di lingkungan macam apa? Saya bruntung bisa hidup di dua
jenis lingkungan yg cukup berbeda. Pertama di hutan itu, yg kerap dilabeli dengan sebutan2
udik, kolot, kotor, dan sebutan2 negatif lainnya. Tapi kemudian saya hidup di desa, di tempat
yang lebih hilir, menyaksikan cara berbagai persoalan yg tak kalah peliknya, misalnya pada
persoalan kemiskinan, dan sebnrnya diam-diam juga membayangkan kehidupan lain, yakni
kehidupan di hutan, yg jauh dari mana-mana sebagai yang lebih ideal dan tenang. “
(Wawancara 19 Feb 2023)
Dalam pengakuan Ari di atas, tersurat dengan jelas bahwa Arianto Adipurwanto
merupakan seorang anak yang tumbuh dalam keserhanaan untuk lebih halus menyebut
kemisikinan. Hal ini juga tergambar jelas dalam cerita pendeknya Pandea yang telah diterbitkan
di Koran harian Suara NTB seperti pada beberapa kutipan berikut
“Asap membubung dari tungku, merayap di badan kocor hitam
basah; Naq Capiq terlalu terburu-buru memasukkan air ke dalamnya.
Matanya perih, tapi kayu bakar yang dijejalkan di lubang tungku itu tidak
juga mau menyala.
Naq Capiq duduk di atas dedampar, matanya tertuju pada asap
yang terus keluar di depannya, tapi pikirannya mengembara jauh, pada
biji-biji kopi yang sudah dipetik dan telah diberikan kepada setiap mereka
yang datang. Kemudian pada Naq Tangkur yang duduk di berugaq.
Kutipan di atas menggambarkan kehidupan yang sangat sederhana. Disebutkan sebuah
latar dapur yang masih menggunakan tungku kayu sebagai alat memasaknya. Secara umum
tungku kayu tidak lagi digunakan di kota. Karena keberadannya telah digantikan dengan kompor
gas, atau bahkan sebagian orang sudah menggunakan kompor listrik. Di kota, meski dalam
kategori warga miskin, sulit kita temukan yang masih menggunakan tungku kayu. Hampir bisa
dikatakan seluruhnya sudah beralih menggunakan kompor gas. Sekurang-kurangnya kompor
minyak. Satu-satunya masyarakat yang masih menggunakan tungku kayu sebagai perapian
hanyalah mereka yang tinggal di dekat penghasil kayu. Yaitu hutan, atau setidaknya desa yang
berada di pelosok. Hal meyakinkan lainnya adalah terdapat asap yang terus mengepul tanda api
dalam tungku gagal dinyalakan. Pada kutipan tersebut, latar social pengarang sangat terlihat
dalam karyanya. Pengarang yang hidup di tengah hutan sejak kecil tahu betul cara
menggambarkan dan mendrtamatisiasi adegan menyalakan api pada tungku kayu tersebut.
2. Sumber Ekonomi Pengarang
Sumber ekonomi pengarang lebih banyak digantungkan dari honor menulis. Bisa
dikatakan bahwa sehari-hari pekerjaan pengarang adalah menulis. Meski saat ini sedang bekerja
di Dikbudpora, namun Arianto Adipurwanto tetap menulis hampir ditiap kesempatan. Seperti
pengakuannya pada wawancara 19 Februari 2023 yang lalu
“Sejauh ini sih pendapatan saya banyak bertumpu pada menulis, ma. Mengandalkan
honorarium dari karya-karya yang terbit. Sekarang saya bekerja di dikbudpora, namun jika
ditanya posisi kegiatan menulis dalam kehidupan saya? Menulis bisa dikatakan sebagai
kegiatan saya yang utama, bahkan hampir satu-satunya. Karena di kantor, yang tak memiliki
kegiatan apa-apa karena imbas covid, saya hanya menghabiskan waktu saya untuk menulis.”
Menurutnya, menulis adalah salah satu healing yang sangat mudah dilakukan untuk
menyalurkan hal-hal yang tidak secara langsung bisa tersalurkan dalam kehidupan, sehingga saat
menulis, kejujuran-kejujuran yang tak bisa keluar melalui suara dikeluarkan melalui cerita
dengan alur-alur yang di sulut ingatan-ingatanya tentang emosi tersebut. Bisa dikatakan, bahwa
menulis tak hanya sekedar mata pencahariannya yang utama, meski sebenarnya ia juga sedang
bekerja di Dinas. Namun lebih jauh menulis dapat terus menjaga kemurnian hatinya. Seperti
closing statmentnya saat membahas tentang matapencaharian utamanya
” Dan, sastra adalah jalan terbaik bagi saya untuk menjadi berbeda; untuk tak menjadi
orang kebanyakan. Sastra menampung hal-hal paling jujur tentang diri kita; yang paling buruk
sekalipun”(Wawancara 19 Februari 2023)
Pun juga Pandea, selain berhasil terbit di Koran lokal Suara NTB, juga telah di ulas pada
sebuah esai Sastrawan NTB kenamaan Kiki Sulistyo dengan judul esai “Di Depan Cermin
Prismatis” yang juga telah terbit di Koran yang sama. Selain itu Pandea juga telah dibukukan
melalui sehimpun buku kumpulan cerpen Arianto Adipurwanto yang berjudul “BUGIALI”, serta
sudah dirayakan pembedahan bukunya beberapa kali oleh Komunitas Akar pohon pada 22 Maret
2019, oleh yayasan Pasir Putih, KLU pada 15 Februari 2020 dan yang terbaru pada Kelas
Inspirasi SMAN 1 PEMENANG dengan tajuk “Menggali Bugiali” pada 19 Januari tahun lalu.
3. Ideologi Pengarang
Menurut Dijk (dalam Saraswati, 2003:120), ideologi pengarang berhubungan dengan
kepercayaan atau gagasan, baik sosial, politik dan ide-ide yang digunakan bersama
dengan kelompok atau gerakan sosial tertentu. Sementara itu, menurut Saraswati
(2003:121) ideologi merupakan sesuatu yang sifatnya abstrak sehingga sulit bila dipaksa
masuk ke dalam novel. Novel mencoba untuk menghadapi pengalaman secara akrab dan
dekat, sementara. Ideologi pada hakikatnya bersifat umum. Ideologi merupakan tantangan
utama bagi novelis yang harus memusatkan segala keterampilan dan kecerdasannya
untuk mengatasi barang abstrak itu agar bisa masuk ke novel yang di tulisnya
Menurut I Gede Bangun Pradana (2017) pada artikelnya yang berjudul 20 Macam
Ideologi di Dunia, ideologi Sosialisme atau sosialis adalah paham yang bertujuan
membentuk negara kemakmuran dengan usaha kolektif yang produktif dan membatasi
milik perseorangan. Sosialisme dapat mengacu kebeberapa hal yang berhubungan
dengan ideologi atau kelompok ideologi, sistem ekonomi dan Negara, sehingga secara
ringkas ideologi sosialisme adalah rasa perhatian, simpati dan empatiterhadap individu dan
individu lainnya tanpa memandang status. Sistem ekonomi sosialisme sebenarnya
cukup sederhana. Semua aspek ekonomi dianggap sebagai milik bersama, tapi bukan
berarti harus dimiliki secara sepanuhnya secara bersama, semua aspek ekonomi boleh
dimiliki secara pribadi masing-masing, dengan syarat boleh digunakan secara Sosialis
mirip dengan gotong-royong
Menurut Reno Wikandaru dan Budhi Cahyo (2016) dalam jurnalnya yang berjudul
“Landasan Ontologis Sosialisme” bahwa sosialisme beranggapan kepemilikan bersama
merupakan cara hidup yang paling baik dengan sedikithak milik atau tidak ada hak milik
sama sekali. Sosialisme tidak menyukai adanya hak milik pribadi karena hak milik
pribadi membuat manusia egois dan menghancurkan keselarasan masyarakat yang
alami. Sosialisme menginginkan pengorganisasian produksi oleh negara sebagai saran
untuk menghapus kemiskinan dan penghisapan orang kecil.
Sosialisme menyerukan persamaan hak bagi semua lapisan, golongan, dan kelas
masyarakat dalam menikmati kesejahteraan, kekayaan dan kemakmuran. Sosialisme
menginginkan pembagian keadilan dalam ekonomi. Tugas negara adalah mengamankan
sebanyak mungkin faktor produksi untuk kesejahteraan seluruh rakyat, dan bukan terpusat
pada kesejahteraan pribadi. Sosialisme menganggap bahwa negara adalah lembaga di atas
masyarakat yang mengatur masyarakat tanpa pamrih. Sosialisme menganggap bahwa
kapitalisme memiliki sifat yang jahat, yaitu: kapitalisme menghasilkan sistem kelas;
kapitalisme adalah sistem yang tidak efisien; dan kapitalisme merusak sifat manusia
karena cenderung membuat orang berlaku kompetitif, tamak, egois, dan kejam. Nilai-
nilai utama dalam sosialisme adalah kesamaan, kerja sama, dan kasih sayang. Produksi
dilakukan dengan dasar kegunaan dan bukan untuk mencari keuntungan semata-mata.
Persaingan yang kompetitif digantikan dengan perencanaan. Setiap orang bekerja demi
komunitas dan memberi kontribusi pada kebaikan bersama sehingga muncul kepedulian
terhadap orang lain. Sosialisme berpendapat bahwa kodrat etis manusia adalah baik, sifat
kodratinya adalah bersifat sosial dan menganggapbahwa ada harmonitas atau keselarasan
dalam tatanan masyarakat
Arianto Adipurwanto dalam Pandea menggambarkan ideologinya yang sosialis—meski
sedikit pelik—lewat kebimbangan Naq Capiq dan Maq Cakol saat tak bisa memberikan biji kopi
kepada Naq Tangkur. Meski kopi sudah tak ada sebutirpun, namun ia tak ingin melukai hati nak
Capiq dengan mengatakan tidak ada kopi lagi. Ia terus berusaha mencari kopi di kebunnya walau
hanya sebutir. Seperti dalam kutipan berikut :
“"Tidak mungkin kita biarkan Naq Tangkur pulang tanpa bawa apa-apa,
dia sudah membawa barang sebanyak ini." Kata Naq Capiq sambil melihat
suaminya yang berdiri di depan.
"Cobalah ke kebun, mungkin masih ada yang belum dipetik." Naq Capiq
meminta kedua kalinya, kali ini dengan lebih pelan. Ia sadar yang selalu datang
itu adalah keluarganya, dan ia tidak ingin berdebat tentang itu.
Meski bisa dengan mudah mengatakan tidak, namun suami istri yang hidup sederhana
tersebut tetap tidak ingin mengatakan itu ke tamu yang sebenarnya tak di undang itu. Ia tak mau
melukai hati saudaranya itu meski ia juga dalam keadaan yang serba kesulitan. Pandangan
sosialis tersebut dikonfirmasi juga melalui wawancara dengan penulisnya. Penulis secara
gambling mengatakan ia hidup di kondisi yang sebenarnya tidak berada di mana-mana namun
menuntutnya untuk berada pada salah satunya. Yang penulis tekankan hanya ia nyaman dengan
kehidupan yang tidak saling menjatuhkan, tidak saling menyakiti dan tidak memandang buruk
orang lain. Pandangan seperti itu sangat identic dengan ideologi sosialis sebagaimana yang telah
di urai pada bagian sebelumnya. Pandangannya tentang hidup yang damai diutarakan secara
gambling pada wawancara tempo hari yang lalu.
Pandangan-pandangan ini, barangkali terbantu oleh kedudukan saya dan keluarga, ma.
Saya tak sepenuhnya ada di mana-mana. Saya bukan asli penduduk di kampung saya sekarang
(karena saya asli dari hutan). Termasuk dalam hal agama, sy juga menjadi bagian dari
minoritas, karena agama ayah saya, saat ia kecil adalah Buddha. Hal-hal ini membuat saya
lebih mudah bersimpati; pada mereka-mereka yang terpinggirkan dalam prgaulan sosial.”
4. Integrasi sosial Pengarang
Integrasi sosial pengarang merupakan keterlibatan pengarang dalam kehidupan sosialnya,
sejauh mana pengarang terlibat dalam masyarakat sekitarnya. Menurut Wellek dan Warren
(dalam Saraswati, 2003:15) pengarang dapat dibedakan menurut kadar integrasi mereka dalam
proses sosial. Pada karya-karya pop, kadar ini tinggi. Akan tetapi, pada karya-karya
Bohemianisme, karya poete maudit, dan karya pengarang yang menekankan kebebasan
berkreasi, kadar ini kecil, bahkan mungkin tercipta “distansi sosial” yang ekstrem. Jadi, dapat
disimpulkan pengarang yang sosialnya tinggi akan lebih sering berbaur dengan masyarakat
dan lingkungan sosialnya, sebaliknya dengan pengarang yang sosialnya rendah akan jarang atau
bahkan membatasi diri dengan lingkungan sosialnya. Integrasi social inilah yang banyak
mempengaruhi karya pengarang. Karena diakui atau tidak, refleksi dari interaksi dalam
masyarakat membantu pengarang lebih atraktif dalam membuat dan menemukan alur dialog
sesuai dengan norma yang terdapat pada masyarakat pada umumnya.
Pandea sedikit banyak menggambarkan refleksi integrasi pengarangnya dalam beberapa
setting. Seperti saat Maq Cakol berbicara pada istrinya Naq Capiq bahwa musim kopi tahun ini
keluarganya banyak yang datang. Bahkan disebutkan setiap hari keluarga baik dari pihak Maq
Cakol atau Naq Capiq selalu datang Mendea. Tersurat pada dialog berikut :
"Lalu kita harus bagaimana, kopi benar-benar sudah habis.
Bayangkan, setiap hari keluargamu datang. Kita sendiri tidak dapat
belanja sepeser pun dari hasil kopi musim ini. Semua habis untuk orang."

Setiap musim kopi, mereka selalu resah. Seringkali orang yang
datang mendea hanya mendapatkan sedikit kopi. Karena terlalu banyak
orang yang datang, juga karena memang kopi lagi berbuah sedikit. …
Penggalan cerita di atas menunjukan bahwa pasangan suami istri sederhana itu sudah
terbiasa menerima banyak tamu dari desa. Yang artinya interaksi social sesama sanak saudara
masih dibangun dengan baik meski tinggal di tengah hutan. Selain itu, wawancara yang
dilakukan juga menyuratkan hal demikian. Bahwa penulis Arianto Adipurwanto merupakan
masyarakat yang membaur dengan sekitarnya. Meski pada satu waktu akan menarik diri dari
apa-apa yang tidak disetujuinya dengan kebiasaan sebagian masyarakat.
“Saya hidup di tengah-tengah masyarakat. Saya berbaur, tapi di sisi lain juga saya
bergelut. Saya memiliki sejumlah pandangan yang kerap membuat saya merasa bukan bagian
dari masyarakat itu; saya berada di luarnya. Misalnya saat mendengar orang-orang di sekitar
saya mencemooh kehidupan orang-orang yang posisinya lebih atas, yang disebut lebih udik,
atau yang minoritas, saya segera berada di luar; saya menolak sikap seperti itu.
Arianto secara umum menegaskan bahwa ia selalu berbaur dengan masyarakat. Integrasi
sosialnya dengan masyarakat cukup tinggi, meski dalam beberapa ideologinya bersebrangan
dengan sebagian masyarakat. Namun karena integrasi mengacu pada pembauran bersama
masyarakat, maka secara tidak langsung terlepas dari ideology apa yang di anut seseorang.
Selain itu, Arianto juga menegskan aktif berdiskusi kesenian bersama komunitas-komunitas yang
ada di Mataram sekali waktu, dan banyak waktu lainnya di kediamannya di KLU.
Integrasi social pengarang yang tinggi dapat memengaruh karya seseorang. Semakin
tinggi tingkat integrasi sosial, semakin timbul kepekaan kepada pembaca untuk lebih detail
menjelaskan kejadian-kejadian dalam alur cerita, khususnya yang berkaitan dengan
pengungkapan perasaan atau penggambaran setting suasana dalam cerita. Seperti terdapat dalam
kutipan berikut :
"Sebenarnya mau ke sini sama Man Luh, tapi sudah seminggu dia sakit.
Kakinya bengkak. Mungkin kambuh sakitnya yang dulu itu. Susah hidup di desa,
semua-semua harus dibeli. Kalau di sini enak banyak daun yang bisa dijadikan
sayur, ndak usah beli lauk."
Kata-kata Naq Tangkur itu membuat Naq Capiq semakin resah. Ia ingat
barang bawaan itu. Ia berpikir Naq Tangkur mengharapkan akan mendapat kopi
yang banyak. Dan uang yang digunakan untuk membeli barang bawaan itu bisa
kembali.
Penggalan cerita di atas menggambarkan kepekaan seorang Naq Capiq atas cerita yang
disampaikan Naq Tangkur. Meski tak diutarakan secara langsung oleh Naq Tangkur, namun Naq
Capiq mengetahui maksud dari perkataan Naq Tangkur tersebut adalah mengharapkan biji kopi
yang banyak agar setimpal dengan barang yang dibawakan oleh Naq Tangkur kepada Naq Capiq.
Kepekaan social semacam itu mustahil di dapatkan melalui cara lain selainberintergasi
social yang tinggi. Karena semakin tinggi tingkat integrasi seseorang dengan orang lainnya,
maka semakin berkesempatan banyak orang tersebut dapat mengetahui seluk beluk perangai
manusia lainnya. Sehingga kepekaan social Arianto itu dituangkan pada karyanya Pandea.
BAB IV
KESIMPULAN :
Hasil analisis dari penelitian Sosiologi Pengarang dalam Cerita Pendek Pandea Karya
Arianto Adipurwanto: Perspektif Warren dan Wellek ini menyimpulkan bahwa :
1. Latar belakang social pengarang yaitu Arianto Adipurwanto datang dari keluarga yang tinggal
di tengah hutan dengan latar ekonomi rendah. Latar belakang orang tuanya buta huruf dan tidak
bisa berbahasa Indonesia. Hal itu menyebabkan salah satu karya ceita pendeknya “Pandea”
menggunakan latar tempat dan latar kejadian yang sederhana sesuai dengan kehidupannya di
hutan dulu.
2. Sumber Ekonomi Pengarang adalah menulis, meski disebagian waktu bekerja di Dinas di
KLU, namun jika pekerjaan dinasnya sedang longgar, ia selalu menghabiskan dengan menulis.
Sehingga ia menyimpulkan bahwa sebenarnya pekerjaan utamanya mengandalkan honor dari
menulis dari Koran ke Koran.
3. Ideologi Pengarang. Ideology Arianto Adipurwanto lebih mengarah ke ideology Sosialis.
Yangmana ia tidak tahan melihat ketidakadailan salah satunya pada tingkat norma-norma agama
yang di anut seseorang. Ia tak nyaman dengan masyarakat yang menganggap satu pihak lebih
tinggi dengan yang lainnya. Ia mengutarakan bahwa semua orang adalah sama baiknya, maka
patut diperlakukan dengan adil. Dalam cerita Pandea ideologi pengarang tersurat saat Naq Capiq
dan suaminya merasa bersalah jika tidak memberikan Naq Tangkur bii kopi, meski sebenarnya
tidak ada lagi biji kopi di kebunnya.
4. Integrasi Sosial Pengarang cukup tinggi, hal ini dibuktikan dengan kepiauan pengarang
menangkap emosi-emosi seseorang. Kepekaan terhadap emosi seseorang dapat dipelajari salah
satunya interaksi sosial. Juga penulis aktif dalam beberapa komunitas menulis dan diskusi-
diskusi dengan sesame seniman hampir setiap waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MeddPress.
Saraswati, E. 2003. Sosiologi Sastra Pemahaman Awal. Malang: Bayu Media.
Wellek, R. & Warren, A. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia
Lampiran :

PENDEA

Asap membubung dari tungku, merayap di badan kocor hitam basah; Naq Capiq
terlalu terburu-buru memasukkan air ke dalamnya. Matanya perih, tapi kayu bakar yang
dijejalkan di lubang tungku itu tidak juga mau menyala.
Naq Capiq duduk di atas dedampar, matanya tertuju pada asap yang terus keluar di
depannya, tapi pikirannya mengembara jauh, pada biji-biji kopi yang sudah dipetik dan
telah diberikan kepada setiap mereka yang datang. Kemudian pada Naq Tangkur yang
duduk di berugaq.
Naq Capiq berdiri, mengeluarkan satu persatu barang bawaan Naq Tangkur: lima
ikan tongkol besar, seikat besar kangkung yang sudah layu, tiga bungkus tauge yang
dibungkus dengan plastik putih, dari luar tampak tetes-tetes air menempel di plastik itu,
empat bungkus krupuk sapi diikat dengan tali rapia warna merah, dan yang paling bawah
dua sabun GIV dan sabun cuci dengan bungkus warna biru dengan gambar sayap di salah
satu sisinya.
Mulut Naq Capiq komat-kamit menghitung harga barang-barang itu, setelah semua
barang itu dikeluarkan lalu ia memasukkannya kembali. Membiarkannya di tempat yang
tadi dan duduk di atas dedampar untuk kedua kalinya. Api di tungku sudah menyala. Ia
melihat api yang menjilat-jilat badan kocor itu. Jelaga semakin bertambah tebal.
Ia berdiri lagi, kali ini hanya memandang barang bawaan itu. Ia duduk di atas meja
tepat di samping bakul kecil tempat barang itu diletakkan, kemudian ia mendekat ke
dinding, dari lubang dinding ia dapat melihat Naq Tangkur sedang menisik rambutnya
dengan tangan kanannya. Wajah Naq Tangkur penuh harap. Melihat itu, pikiran Naq Capiq
langsung tertuju ke suaminya yang pergi beberapa menit yang lalu.
Daun bambu basah hampir saja membuat Maq Cakol jatuh, dengan sigap ia
keluarkan parang yang terselip di pinggangnya, menetak dengan geram daun bambu itu,
tanah coklat berloncatan ke punggung kakinya. Seekor cacing terputus dan bergerak cepat
di tanah, tapi ia tidak menghiraukannya. Ia teruskan perjalanan, karung kehitaman bekas
kulit kopi diseret di atas rerumputan.
Maq Cakol menengadahkan wajah, menatap dahan-dahan pohon kopi yang tumbuh
dengan tidak wajar. Beberapa dahan bengkok dan ditahan oleh dahan yang lain, tidak
sedikit juga yang patah sampai daunnya menjuntai ke tanah. Di salah satu dahan,
tergantung penggaet dari bambu, di ujung bawahnya ada lubang tempat tergantung tali
serupa gelang. Biasanya ia akan memasukkan telapak kaki kanannya di tali itu,
menginjaknya kuat-kuat ke tanah sementara tangannya memetik buntutan-buntutan kopi
yang membulat seperti kepalan tangan.
Ia berjalan dari utara ke selatan, kemudian balik lagi tapi ia tidak mendapatkan
sebiji pun, semua benar-benar sudah habis dipetik. Ia berhenti, menarik parang dari
pinggangnya dan menetak dengan keras pohon kopi di dekatnya. Dua ulat kuning tua jatuh
ke atas rumput dan langsung membulat. Ia putus asa, tidak ada kopi lagi untuk diberikan
kepada mereka.
Naq Capiq keluar dengan segelas kopi, asap lembut keluar dari gelas itu. Bergoyang
pelan karena gerakan kakinya. Naq Tangkur menatapnya. Ia meletakkan gelas itu di depan
Naq Tangkur dengan sedikit keras, hingga kopinya tumpah dan jatuh di permukaan piring
alasnya. Menyembunyikan kembang mawar yang menghias permukaan piring itu. Lalu Naq
Capiq duduk dengan bersandar di salah satu tiang. "Ndak ada sedaq."
"Ndak biasa pake sedaq, di rumah ya begini-begini," kata Naq Tangkur sambil
perbaiki cara duduknya. "Dia ke mana Man Luh tadi?"
Naq Capiq tidak langsung menjawab, ia melihat ke arah jalan yang tadi dilalui
suaminya, lalu, "Mungkin pergi mandi," kata Naq Capiq bohong.
Naq Tangkur mengangkat gelas kopi di depannya, meniup dua kali dan menyeruput
sampai menimbulkan suara. Kedua jari tangan Naq Capiq berjalinan, basah. Sebelum pergi
tadi, suaminya masuk ke dapur, tidak lama setelah ia masuk membawa barang bawaan Naq
Tangkur. "Kita sudah tidak punya kopi lagi," kata Maq Cakol, dan ia cepat menjawab, "Cari
ke kebun, mungkin ada pohon yang belum kita petik buahnya."
Maq Cakol meyakinkan dengan suara ditekankan, "Tidak ada, yang kemarin itu aja saya
lebih banyak memungut kopi yang jatuh, makanya dapat segitu." Mendengar itu, Naq Capiq
duduk di atas meja bambu. Berpikir.
"Tidak mungkin kita biarkan Naq Tangkur pulang tanpa bawa apa-apa, dia sudah
membawa barang sebanyak ini." Kata Naq Capiq sambil melihat suaminya yang berdiri di
depan.
"Lalu kita harus bagaimana, kopi benar-benar sudah habis. Bayangkan, setiap hari
keluargamu datang. Kita sendiri tidak dapat belanja sepeser pun dari hasil kopi musim ini.
Semua habis untuk orang."
"Cobalah ke kebun, mungkin masih ada yang belum dipetik." Naq Capiq meminta
kedua kalinya, kali ini dengan lebih pelan. Ia sadar yang selalu datang itu adalah
keluarganya, dan ia tidak ingin berdebat tentang itu.
"Seandainya kemarin kamu mau saya ajak pulang ke rumah ibu, mungkin kita tidak
perlu susah lagi."
Mendengar itu, Naq Capiq mengangkat wajahnya. "Musim kopi tahun lalu kita ke
rumah ibu, pulang-pulang, kopi banyak yang hilang dan kamu mengamuk salahkan saya."
"Pelankan sedikit, suaramu bisa didengar dan jangan buat kita semakin malu." Maq
Cakol langsung keluar, mengambil parang yang ia selipkan di atap, mengambil karung yang
sudah berwarna kehitaman di pojok rumah.
Naq Capiq tahu suaminya marah, tapi ia tidak tahu lagi harus melakukan apa. Ia
melangkah ke belakang, mengambil kayu bakar, mencuci kocor dan memasukkan air
segayung ke dalamnya. Dadanya bergemuruh, tangannya gemetaran, membuat air tidak
masuk sepenuhnya, tapi keluar merayapi badan kocor.
Otot tampak menonjol keluar dari lengan Maq Cakol ketika dengan sekuat tenaga ia
memangkas habis pohon jelatang yang membuat betisnya gatal dan memerah. Karung di
tangan kirinya yang belum juga terisi dikibaskan ke kiri dan ke kanan, mengusir nyamuk
yang semakin banyak mengerumuninya. Keringat sudah mulai menetes dari dahinya,
menyusup ke sela-sela bulu alisnya, sebenarnya ia sudah putus asa, tapi ia tidak mungkin
membiarkan tamunya pulang tanpa membawa apa-apa.
Sudah merupakan kebiasaan di tempat tinggal mereka, setiap musim kopi, selalu
ada keluarga dari desa datang berkunjung, mereka datang membawa segala macam barang
yang susah didapatkan di hutan. Pendea-pendea itu datang tanpa pernah ada undangan
sebelumnya, cukup membawa sesuatu dan mereka akan punya alasan untuk tidak malu
berkunjung.
Setiap musim kopi, mereka selalu resah. Seringkali orang yang datang mendea
hanya mendapatkan sedikit kopi. Karena terlalu banyak orang yang datang, juga karena
memang kopi lagi berbuah sedikit.
Bagaimanapun resahnya mereka, tidak pernah seberat yang mereka temui musim
ini. Biji kopi sedikit dan orang datang mendea hampir setiap hari. Aneka barang dibawa
sampai-sampai tidak habis dimakan dan hanya dibuang pada akhirnya. Musim ini mereka
benar-benar tidak merasakan ketenangan, selalu saling menyalahkan. Hari ini, Naq
Tangkur datang tepat ketika mereka baru selesai berbicara tentang itu, mereka sudah
berniat untuk menutup jebak, tapi mereka tidak menduga Naq Tangkur datang sepagi itu.
"Sebenarnya mau ke sini sama Man Luh, tapi sudah seminggu dia sakit. Kakinya
bengkak. Mungkin kambuh sakitnya yang dulu itu. Susah hidup di desa, semua-semua
harus dibeli. Kalau di sini enak banyak daun yang bisa dijadikan sayur, ndak usah beli
lauk."
Kata-kata Naq Tangkur itu membuat Naq Capiq semakin resah. Ia ingat barang
bawaan itu. Ia berpikir Naq Tangkur mengharapkan akan mendapat kopi yang banyak. Dan
uang yang digunakan untuk membeli barang bawaan itu bisa kembali.
Semua pohon telah diperiksa, tapi tidak ada sebiji pun yang Maq Cakol dapatkan.
Pulang tanpa membawa apa pun membuat langkahnya menjadi terasa berat.
Naq Capiq yang sudah lama menunggu, akhirnya dikagetkan oleh suaminya yang
datang dari arah jebak. Ia berjalan dengan langkah berat, tidak ada karung di tangannya.
Melihat itu, Naq Capiq langsung turun dan mengajak suaminya masuk ke dapur.
"Benar-benar ndak dapat?"
"Semua pohon sudah saya periksa. Semuanya. Tapi memang yang kemarin itu yang
terakhir. Sekarang sudah tidak ada lagi."
"Bagaimana ini?" Naq Capiq mulai gelisah.
Maq Cakol duduk di dekat istrinya. Asap tipis keluar dari ujung kayu yang terbakar
di bibir tungku. "Kita minta Naq Tangkur.." Maq Cakol tidak melanjutkan kata-katanya. Ia
ingin mengusulkan sesuatu tapi ia tahu itu tidak mungkin dan ia lebih memutuskan untuk
diam. Naq Capiq sudah tahu apa yang suaminya ingin sampaikan, ia sudah menyiapkan
kata-kata untuk menentang usul suaminya, tapi Maq Cakol diam dan Naq Capiq akhirnya
memilih diam juga.
"Kalau saja kemarin kita jadi pulang," kata Maq Cakol lagi. Dan Naq Capiq meledak,
"Pikirkan yang sekarang. Naq Tangkur mau kita kasih apa? ini bukan sepenuhnya salahku."
Naq Capiq sengaja mengeraskan suaranya. Ia berharap Naq Tangkur mendengar kata-
katanya. Dari seminggu yang lalu, ia sudah lelah menghadapi kesusahan demi kesusahan,
hanya karena tamu yang tidak diundang, yang datang membawa segala apa yang tidak
sepenuhnya ia inginkan.
“Pelankan suaramu setan! Saya robek mulutmu nanti!” bentak Maq Cakol, matanya
melotot. “Kamu keluar sekarang dan beritahu keluargamu, kita sudah tidak punya kopi lagi
untuk mereka. Sumpah! Saya akan pindah dari tempat ini. Dari dulu tidak lain yang kita
susahkan. Kopi, kopi terus.”
“Saya kira tinggal di hutan bisa buat kita bahagia. Tapi ternyata sama saja dengan
hidup di desa. Tidak ada ketenangan di mana pun kita berada. Saya mau pulang, tinggal
bersama ibu seperti dulu,” Naq Capiq terisak.
“Sekarang kamu berkata begini, dari dulu saya ajak kamu pergi. Saya benar-benar
muak!” Maq Cakol mengambil barang bawaan Naq Tangkur dan dengan keras ia
melemparkan barang bawaan itu ke atas tungku, membuat abu di tungku itu beterbangan.
“Besok kita akan pulang ke rumah ibumu! Sekarang keluar dan katakan pada keluargamu
tidak ada lagi yang bisa kita berikan.” Naq Capiq ingin keluar tapi ia hanya mampu
menggeser tubuhnya mendekati dinding. Sambil terisak, ia mengintip keluar dari lubang
dinding dan seketika tubuhnya terasa dingin. Pandangan Naq Tangkur tepat mengarah ke
matanya.*
2. TANGKAPAN LAYAR EDISI WAWANCARA

Anda mungkin juga menyukai