Anda di halaman 1dari 18

Tuhan Maha Tahu, Tapi Sabarlah!

Oleh: Leo Tolstoy—Leo Tolstoy

Di kota Vladimir, hiduplah seorang saudagar muda yang bernama Ivan Dimitrich
Aksionov. Ia memiliki sebuah rumah dan dua buah toko.
Aksionov adalah seorang pria tampan berambut pirang keriting, penuh canda dan gemar
menyanyi. Ketika masih sangat muda ia suka minum-minum dan bikin ribut kalau mabuk. Tapi
setelah menikah ia pun berhenti minum, kecuali sesekali saja.
Pada suatu musim panas Aksionov akan berangkat ke Pasar Malam Nizhny, dan ketika
berpamitan dengan keluarganya, istrinya berkata, “Ivan Dimitrich, jangan berangkat hari ini.
Aku telah bermimpi buruk tentangmu.”
Aksionov tertawa dan menyahut, “Kau khawatir kalau sesampainya di sana nanti, aku
akan berfoya-foya.”
Istrinya menjawab, “Aku tak tahu apa yang kukhawatirkan, yang kutahu hanyalah bahwa
aku telah bermimpi buruk. Dalam mimpi itu kulihat setelah kau pulang dari kota dan membuka
topi, seluruh rambutmu telah ubanan.”
Aksionov tertawa. “Itu pertanda baik,” ujarnya. “Lihat kalau sampai aku tidak menjual
habis semua barang-barangku, dan membawakanmu oleh-oleh dari sana.”
Maka iapun berpamitan kepada keluarganya dan berangkat dengan kereta kudanya.
Ketika baru setengah perjalanan ia berjumpa dengan seorang saudagar kenalannya, dan
merekapun menginap di losmen yang sama malam itu. Mereka menikmati teh bersama dan
setelah itu berangkat ke tempat tidur di ruang yang bersebelahan.
Bukanlah kebiasaan Aksionov untuk tidur sampai larut, dan karena ingin berangkat
ketika hari masih dingin, ia membangunkan kusirnya sebelum fajar dan menyuruhnya
menyiapkan kuda. Kemudian ia pergi ke tempat pemilik losmen yang tinggal di sebuah pondok
di belakang, membayar sewanya dan melanjutkan perjalanan.
Setelah berjalan kira-kira sejauh dua puluh lima mil, ia menyuruh berhenti untuk
memberi makan kuda. Aksionov beristirahat sejenak di gang losmen, lalu ia beranjak ke serambi
depan dan sambil menyuruh untuk memanaskan samovar, iapun mengeluarkan gitarnya dan
mulai memainkannya.
Tiba-tiba sebuah troika mendekat dengan bunyi lonceng yang bergemerincing, seorang
perwira turun diikuti oleh dua orang prajurit. Ia mendatangi Aksionov dan mulai menanyainya,
tentang siapa dia dan kapan dia datang. Aksionov menjawab semua pertanyaannya, dan
berkata,”Bersediakah Anda minum teh bersama saya?” Tapi sang perwira tetap meneruskan
menanyainya.
“Di mana Anda menginap tadi malam? Apakah Anda sendirian ataukah bersama seorang
saudagar yang lain? Apakah Anda berjumpa dengan seorang saudagar yang lain pagi ini?
Kenapa Anda tinggalkan losmen itu sebelum fajar?”
Aksionov heran kenapa ia ditanyai dengan semua pertanyaan itu, namun iapun
menceritakan juga semua yang telah dialaminya, lalu menambahkan, “Kenapa Anda menanyai
saya berulang-ulang begitu seakan-akan saya ini seorang pencuri atau perampok saja? Saya
sedang dalam perjalanan bisnis, dan tidak perlu menginterogasi seperti itu.”
Kemudian sang perwira sambil memanggil para prajurit berkata, “Saya adalah perwira
polisi di distrik ini, dan saya menanyai Anda karena saudagar yang menginap bersama Anda
semalam telah ditemukan dalam keadaan tewas dengan leher tergorok. Kami harus memeriksa
barang-barang Anda.”
Merekapun memasuki rumah. Para prajurit dan perwira polisi tadi membuka
kopor-kopor Aksionov dan menggeledahnya. Tiba-tiba sang perwira menarik sebilah pisau dari
sebuah tas sambil berseru, “Pisau siapa ini?” Aksionov yang melihat sebilah pisau bernoda
darah ditarik dari tasnya menjadi takut.
“Bagaimana ada darah di pisau ini?”
Aksionov berusaha menjawab namun dengan susah payah hanya mampu berucap
dengan terbata-bata:
“A-ku ti-dak ta-hu. Bu-kan mi-lik-ku.”
Kemudian sang perwira polisi berkata, “Pagi ini saudagar itu ditemukan di atas ranjang
dengan leher tergorok. Andalah satu-satunya orang yang dapat melakukannya. Rumah itu
dikunci dari dalam dan tak ada orang lain di sana. Pisau bernoda darah ini berada di dalam tas
Anda, lagi pula sudah jelas kelihatan dari wajah dan sikap Anda! Katakan bagaimana Anda
membunuhnya, dan berapa banyak uang yang Anda curi?”
Aksionov bersumpah bahwa dirinya tidak melakukan hal itu. Dia tidak berjumpa lagi
dengan saudagar itu sejak mereka usai minum teh bersama, dia tidak punya uang selain
delapan ribu rubel miliknya sendiri, dan bahwa pisau itu bukan miliknya. Tapi suaranya pecah,
wajahnya pucat, dan dia pun gemetar ketakutan seakan-akan memang bersalah.
Sang perwira polisi memerintahkan anak buahnya untuk mengikat Aksionov dan
memasukkannya ke dalam kereta. Ketika mereka mengikat kedua kakinya jadi satu dan
menghempaskannya ke dalam kereta, Aksionov berdoa dengan membuat isyarat tanda salib
dengan tangannya dan menangis. Uang dan barang-barangnya disita, ia dikirim ke kota terdekat
dan ditahan di sana. Penyelidikan tentang dirinya dilakukan di Vladimir. Para saudagar dan
penduduk lain di kota itu mengatakan bahwa dulunya ia memang suka minum-minum dan
membuang-buang waktu percuma, namun dia adalah orang baik. Kemudian sidang
pengadilanpun digelar: ia dituduh telah membunuh seorang saudagar dari Ryazan dan
merampoknya sebanyak dua puluh ribu rubel.
Istrinya putus asa dan tidak tahu apa yang harus dipercaya. Anak-anaknya masih kecil,
yang seorang malah masih menyusu. Sambil membawa mereka semua, ia berangkat ke kota di
mana suaminya ditahan. Mulanya ia tidak diijinkan menjumpai suaminya, namun setelah
memohon dengan amat sangat, iapun mendapatkan ijin dari para pejabat dan diantar menemui
suaminya. Ketika melihat suaminya memakai seragam tahanan dan dirantai, dikurung bersama
para pencuri dan penjahat—wanitu itupun jatuh pingsan dan tidak sadar-sadar sampai
beberapa lama. Setelah siuman ia menarik anak-anaknya ke dirinya dan duduk di samping
suaminya. Diceritakannya tentang keadaan di rumah, dan menanyakan apa yang menimpa
suaminya. Pria itupun menceritakan semuanya. Lalu sang istri bertanya, “Apa yang dapat kita
perbuat sekarang?”
“Kita harus mengajukan permohonan kepada Tsar agar tidak membiarkan orang yang
tidak bersalah binasa.”
Istrinya mengatakan bahwa ia telah mengajukan permohonan itu kepada Tsar, tapi tidak
dikabulkan. Aksionov tidak menjawab namun hanya tampak putus asa.
Kemudian istrinya berkata, “Ternyata bukan tak ada artinya aku dulu bermimpi
rambutmu ubanan. Masih ingatkah? Seharusnya kau tidak berangkat pada hari itu”. Dan sambil
membelai rambut suaminya iapun berkata, “Vanya, sayang, katakanlah yang sejujurnya kepada
istrimu ini. Apakah memang bukan kau yang melakukannya?”
“Jadi kaupun mencurigaiku!” sahut Aksionov, dan sambil membenamkan wajahnya ke
dalam telapak tangan, iapun menangis. Lalu datanglah seorang prajurit yang mengatakan
bahwa sang istri dan anak-anaknya harus pergi. Aksionovpun mengucapkan selamat tinggal
kepada keluarganya untuk yang terakhir kalinya.
Ketika mereka telah pergi, Aksionov mengingat-ingat percakapan tadi, dan ketika
terkenang bahwa istrinyapun ikut mencurigainya, ia berkata pada dirinya, “Tampaknya hanya
Tuhan saja yang tahu kebenaran ini, hanya kepada-Nya kita berdoa dan minta ampun.”
Dan Aksionovpun tidak lagi mengajukan petisi dan berharap banyak, ia hanya berdoa
kepada Tuhan.
Aksionov dijatuhi hukuman cambuk dan dikirim ke pertambangan. Iapun dicambuk
dengan cemeti, dan setelah luka-luka cambukan itu sembuh, ia dibawa ke Siberia bersama para
pekerja paksa lainnya.
Selama dua puluh enam tahun Aksionov hidup sebagai seorang pekerja paksa di Siberia.
Rambutnya berubah menjadi seputih salju, janggutnyapun tumbuh panjang, tipis, berwarna
abu-abu. Semua keceriaannya punah, ia selalu menunduk, berjalan perlahan, sedikit bicara, dan
tak pernah tertawa, namun sering berdoa.
Di dalam penjara Aksionov belajar membuat sepatu boot, dan memperoleh sedikit uang
yang dibelikannya buku Kehidupan Orang- Orang Saleh. Ia membaca buku itu ketika terdapat
cukup cahaya di dalam penjara. Dan setiap hari Ahad di dalam gereja penjara ia membaca
pelajaran-pelajaran serta ikut menyanyi dalam paduan suara karena suaranya masih bagus.
Para pejabat penjara menyukai Aksionov karena kepatuhannya, dan teman-teman
sesama napi pun menghormatinya. Mereka menjulukinya dengan sebutan “Kakek” dan “Orang
Saleh”. Kalau mereka ingin mengajukan permohonan kepada para pejabat penjara tentang hal
apa saja, mereka selalu mengangkat Aksionov sebagai juru bicaranya. Dan manakala terjadi
keributan di antara sesama napi, mereka datang kepadanya untuk memutuskan perkara yang
benar.
Tak ada berita yang sampai kepada Aksionov dari rumahnya, bahkan iapun tak tahu
apakah istri dan anak-anaknya masih hidup.
Suatu hari sekelompok tahanan kerja paksa baru didatangkan ke penjara. Sorenya, para
napi lama mengerumuni rekan-rekannya yang baru itu dan menanyai mereka: dari kota atau
desa mana saja mereka berasal dan dihukum karena perbuatan apa. Di tengah-tengah istirahat,
Aksionov duduk di dekat para pendatang baru itu dan ikut mendengarkan dengan roman muka
putus asa atas apa yang diucapkan.
Salah seorang di antara pekerja paksa baru itu adalah seorang pria berumur enam puluh
tahunan berperawakan tinggi kekar dan berjenggot lebat terpangkas rapi, ia sedang bercerita
kepada yang lainnya kenapa dirinya ditahan.
“Baiklah, teman-teman,” ujarnya, “aku hanya mengambil seekor kuda yang sedang
diikat di pengeretan. Lalu aku ditahan dan dituduh atas pencurian. Telah kukatakan bahwa aku
mengambilnya supaya bisa cepat pulang ke rumah, kemudian melepasnya pergi. Lagi pula,
pengendaranya adalah temanku sendiri. Dengan demikian aku bilang, ‘Itu tidak apa-apa’. Tapi
mereka mengatakan, ‘Tidak. Kau telah mencurinya’. Tapi bagaimana dan kapan aku mencurinya
mereka tak dapat menunjukkannya. Dulu, pernah sekali aku memang sungguh-sungguh berbuat
salah, dan seharusnya berdasar hukum sudah berada di sini sejak lama, tapi ketika itu aku tidak
tertangkap. Kini aku dikirim kemari tanpa alasan sama sekali…. Eh, tapi itu cuma bohong yang
kuceritakan kepada kalian. Aku pernah ke Siberia sebelumnya namun tidak tinggal lama.”
“Dari mana asalmu?” tanya seseorang.
“Dari Vladimir. Keluargaku berasal dari kota itu. Namaku Makar, dan mereka juga
memanggilku Semyonich.”
Aksionov mengangkat kepalanya dan berkata, “Katakan padaku, Semyonich, apakah kau
tahu sesuatu tentang keluarga saudagar Aksionov dari Vladimir? Apakah mereka masih hidup?”
“Tahu tentang mereka? Tentu saja. Keluarga Aksionov kaya, meskipun ayah mereka
berada di Siberia, tampaknya seorang pendosa juga seperti kita! Lalu bagaimana dengan Anda
sendiri, Kek? Bagaimana Anda bisa sampai di tempat ini?”
Aksionov tidak ingin menceritakan kemalangannya. Ia hanya mendesah dan berkata,
“Karena dosa-dosaku maka aku berada di dalam penjara selama dua puluh enam tahun ini.”
“Dosa-dosa apa?” tanya Makar Semyonich.
Namun Aksionov hanya berkata, “Yah… aku memang layak mendapatkannya!”
Ia tak ingin berkata lebih banyak, namun teman-temannya memberitahukan kepada
para pendatang baru itu bagaimana Aksionov bisa sampai ke Siberia. Bagaimana seseorang
telah membunuh seorang saudagar, lalu menyelipkan pisaunya ke dalam barang-barang
Aksionov, dan Aksionovpun secara tidak adil telah dijatuhi hukuman.
Ketika Makar Semyonich mendengar semua ini, ia memandangi Aksionov, dan berseru
sambil menepuk-nepuk lututnya sendiri, “Wow, sungguh luar biasa! Sangat luar biasa! Tapi
betapa cepatnya kau menjadi tua, Kek!”
Yang lainnyapun menanyainya kenapa ia begitu terkejut, dan di manakah ia pernah
melihat Aksionov sebelumnya, namun Makar Semyonich tidak memberikan jawaban. Ia hanya
berkata, “Ini luar biasa bahwa kita akan bertemu di sini, hai budak-budak!”
Kata-kata ini membuat Aksionov bertanya-tanya apakah pria ini tahu siapa
sesungguhnya yang dulu membunuh sang saudagar, maka iapun berkata, “Semyonich,
barangkali kau pernah mendengar kejadian itu, atau mungkin kau pernah melihatku sebelum
ini?”
“Apakah aku pernah mendengarnya? Dunia ini penuh dengan desas-desus. Tapi
peristiwa itu sudah lama sekali dulu, dan aku telah lupa apa yang kudengar.”
“Barangkali kau pernah mendengar siapa yang membunuh saudagar itu?” tanya
Aksionov.
Makar Semyonich tertawa dan menjawab, “Dia itu pastilah orang yang di dalam tasnya
ditemukan pisau tersebut! Kalaulah  ada orang lain yang meletakkannya di sana, maka ada
ungkapan: ‘Dia bukan pencuri sampai tertangkap’, bagaimana ada orang yang bisa meletakkan
sebilah pisau di dalam tasmu yang berada di bawah kepalamu? Pastilah akan membuatmu
terbangun.”
Ketika Aksionov mendengar kata-kata ini, ia merasa yakin bahwa orang inilah yang telah
membunuh saudagar itu. Iapun bangkit dan pergi. Sepanjang malam itu Aksionov terbaring
dalam keadaan jaga. Dia merasa sangat sedih, dan berbagai bayangan muncul di benaknya. Ada
bayangan istrinya saat ia meninggalkannya untuk pergi ke pasar malam. Dia melihat wanita itu
seakan-akan hadir: wajah dan matanya muncul di hadapannya, ia mendengar bicara dan
tawanya. Lalu ia melihat anak-anaknya, masih kecil-kecil ketika itu, yang seorang mengenakan
mantel mungil sedangkan yang satunya lagi masih menyusu di dada ibunya.
Lalu ia pun mengenang dirinya sendiri kala itu: muda dan ceria. Ia ingat ketika duduk
bermain gitar di beranda losmen itu, di mana dirinya ditangkap. Betapa dulu ia tak pernah
merasa susah.
Di benaknya ia melihat tempat di mana dirinya dicambuk, sang algojo, orang-orang yang
berdiri di sekelilingnya, rantai-rantai itu, para pekerja paksa, semua dua puluh enam tahun
kehidupannya di penjara, dan usia tuanya yang prematur. Mengenang semua itu membuatnya
sangat sedih hingga ingin rasanya bunuh diri.
“Dan semua ini karena perbuatan bajingan itu!” batinnya. Dan kemarahannya sangat
besar kepada Makar Semyonich sehingga ia ingin sekali melakukan balas dendam, walaupun
dirinya sendiri harus hancur karenanya. Ia terus mengulang-ulang doa sepanjang malam itu,
namum tetap tidak bisa merasa tentram. Selama siang harinya ia tidak mau berada di dekat
Makar Semyonich, ataupun melihat ke arahnya.
Dua pekan berlalu seperti itu. Aksionov tak dapat tidur tiap malamnya, dan begitu
menderita sehingga tak tahu apa yang harus dikerjakan.
Suatu malam ketika sedang berjalan-jalan di sekitar penjara ia melihat seonggok tanah
terlempar keluar dari bawah salah satu dipan bersusun tempat tidur para napi. Iapun ber henti
untuk mengamati apakah itu gerangan. Tiba-tiba Makar Semyonich merangkak keluar dari
bawah dipan tadi dan memandang ke atas kepada Aksionov dengan ketakutan. Aksionov
berusaha berlalu tanpa memandang ke arahnya, tapi Makar Semyonich mencengkeram
lengannya dan mengatakan kepadanya bahwa ia telah menggali sebuah lubang di bawah
dinding, membuang tanahnya dengan cara memasukkannya ke dalam sepatu boot-nya yang
tinggi, lalu membuangnya setiap hari ke jalan ketika para napi sedang digiring untuk bekerja.
“Pokoknya kau diam saja, Pak Tua. Dan kaupun akan ikut keluar juga. Kalau kau sampai
berkicau maka mereka akan mencambukku sampai mati, tapi sebelum itu aku akan
membunuhmu lebih dulu.”
Aksionov bergetar marah ketika memandang musuhnya. Ia merenggutkan tangannya
seraya berkata, “Aku tak ingin meloloskan diri. Dan kaupun tak perlu membunuhku, kau telah
membunuhku sejak lama! Tentang melaporkan perbuatanmu ini, aku boleh melakukannya atau
tidak, Tuhanlah yang memberi petunjuk.”
Pada hari berikutnya ketika para napi digiring ke pekerjaan mereka, patroli tentara
melihat salah seorang napi sedang membuang tanah dari sepatu boot-nya. Penjara tersebut
digeledah dan terowongan itupun ditemukan. Sang gubernur datang dan menanyai semua napi
untuk mencari tahu siapa yang telah menggali lubang itu. Mereka semua menyangkal
mengetahui hal tersebut. Orang-orang yang tahupun tidak mau mengkhianati Makar
Semyonich, karena tahu bahwa ia akan dicambuk sampai hampir mati.
Akhirnya sang gubernur berpaling kepada Aksionov yang diketahuinya sebagai seorang
yang jujur, dan berkata, “Kau adalah seorang tua yang bisa dipercaya, katakan padaku, di depan
Tuhan, siapa yang telah menggali lubang itu?”
Makar Semyonich berdiri dengan lagak seakan-akan tidak begitu peduli, dia memandang
kepada sang gubernur dan hanya melihat sekilas ke arah Aksionov. Bibir dan tangan Aksionov
bergetar, dan untuk beberapa lama ia tak dapat mengucapkan sepatah katapun. Ia membatin,
“Mengapa aku harus melindungi orang yang telah menghancurkan hidupku? Biar dia membayar
apa yang telah kuderita ini. Tapi bila aku bicara, mereka mungkin akan mencambuknya sampai
mati, dan barangkali kecurigaanku ini bisa saja salah. Lagipula, apa untungnya bagiku?”
“Baiklah, Pak Tua,” ulang sang gubernur, “katakan padaku yang sejujurnya: siapa yang
telah menggali di bawah tembok itu?”
Aksionov melihat sekilas ke arah Makar Semyonich, dan berkata, “Aku tak dapat
mengatakannya, Tuan. Bukanlah kehendak Tuhan agar aku mengatakannya! Lakukan saja apa
yang Anda inginkan atas diriku ini, aku berada di tangan Anda.”
Bagaimanapun sang gubernur telah berusaha, Aksionov tidak mau berkata lebih banyak
lagi, dan perkara itupun akhirnya dianggap selesai.
Malamnya ketika Aksionov berbaring di dipannya dan mulai terlelap, seseorang
mendatanginya secara diam-diam dan duduk di atas dipannya. Iapun memandang dengan
tajam menembus kegelapan dan mengenali Makar Semyonich.
“Apa lagi yang kamu inginkan dariku?” tanya Aksionov. “Kenapa kamu datang ke sini?”
Makar Semyonich diam.
Maka Aksionovpun duduk dan berkata, “Apa maumu? Pergilah, atau akan aku
panggilkan penjaga!” Makar Semyonich membungkuk ke dekat Aksionov lalu berbisik, “Ivan
Dimitrich, maafkan aku….”
“Untuk apa?” tanya Aksionov.
“Akulah sebenarnya yang dulu membunuh saudagar itu dan menyembunyikan pisaunya
di dalam barang-barangmu. Aku sebetulnya bermaksud membunuhmu juga, namun kudengar
ada ribut-ribut di luar, maka kusembunyikan pisau itu ke dalam tasmu dan melarikan diri lewat
jendela.”
Aksionov terdiam, dan tak tahu apa yang harus dikatakannya. Makar Semyonich
beringsut dari dipan itu dan berlutut di atas tanah.
“Ivan Dimitrich,” katanya memohon, “maafkanlah aku. Demi kasih Tuhan, maafkanlah
aku. Aku akan mengaku bahwa akulah yang telah membunuh saudagar itu, dan kaupun akan
dibebaskan dan bisa pulang ke rumahmu.”
“Mudah saja bagimu bicara begitu,” ujar Aksionov, “tapi aku telah menderita karena
ulahmu selama dua puluh enam tahun ini. Ke mana lagi aku hendak pergi sekarang? Istriku
sudah meninggal, dan anak-anakku pun sudah tak ingat lagi kepadaku. Aku tak bisa pergi ke
mana-mana lagi….”
Makar Semyonich tidak bangkit, tapi justru membentur-benturkan kepalanya ke lantai.
“Ivan Dimitrich, maafkan aku!” tangisnya. “Ketika mereka mencambukku dengan cemeti dulu,
tidaklah seberapa berat menanggungnya dibandingkan melihatmu seperti saat ini. Bahkan
kaupun telah mengasihaniku, dengan tidak mengatakannya kepada mereka siang tadi. Demi
Kristus, ampuni aku, aku memang brengsek!” Dan iapun terisak-isak. Ketika Aksionov
mendengarnya menangis terisak-isak begitu, iapun ikut menangis. “Tuhan akan
mengampunimu,” katanya. “Mungkin aku seratus kali lebih buruk daripadamu.”
Dan dengan kata-kata ini hatinyapun terasa ringan dan terang, kerinduan kepada rumah
pun hilang. Ia tak ada keinginan lagi meninggalkan penjara itu, namun hanya mengharap agar
saat-saat terakhirnya segera tiba.
Terlepas dari apa yang telah dikatakan Aksionov, Makar Semyonich tetap mengakui
kesalahannya. Tapi ketika perintah pembebasan atas dirinya dikeluarkan, Aksionov baru saja
wafat.

LEO TOLSTOY (1828-1910), Orang Rusia. Di masa mudanya ia pernah bergabung di


dalam dinas militer Tsar, namun setelah menikah ia menetap dan mengurusi para petani
penggarap tanah milik keluarga Yasnaya Polyana. Di sanalah lahir anak-anaknya, juga
novel-novel terbaiknya: Perang dan Damai dan Anna Karenina. Ia anti kekerasan, mencintai
kesederhanaan dan kasih. Karena berani menyampaikan pendapat dan bertindak sesuai dengan
keyakinannya, ia pun dikucilkan oleh Gereja Orthodox Rusia. Namun kini ia dianggap sebagai
salah seorang tokoh puncak sastra dan seorang manusia yang saleh.
Seorang Petani—Fyodor Dostoyevsky

Ini adalah Senin Paskah. Udara terasa hangat dan langit tampak biru, tetapi aku terjebak dalam
kemuraman. Aku berkeliling menjelajahi sudut-sudut halaman penjara, menghitung jeruji di
dalam pagar besi yang kokoh. Sebetulnya aku tidak sungguh-sungguh ingin menghitung jeruji.
Aku melakukannya lebih karena kebiasaan saja.
Hari itu adalah hari “liburan” keduaku di penjara. Inilah hari-hari saat seorang narapidana tidak
perlu bekerja. Kebanyakan di antara para narapidana itu memilih mabuk-mabukan dan
berkelahi. Yang lainnya bernyanyi keras-keras, lagu-lagu yang menjijikkan. Semua ini berakibat
buruk kepadaku. Aku bahkan merasa sakit. Aku tidak pernah tahan dengan pesta-pesta yang
dilakukan orang-orang jelata ini. Di dalam penjara, pesta-pesta itu bahkan lebih mengerikan lagi
daripada yang terjadi di luar sana.
Pada masa liburan, para sipir tidak merasa perlu berepot-repot memeriksa para narapidana.
Mereka sepertinya berpikir bahwa para narapidana harus diberi kesempatan untuk menikmati
saat bersenang-senang sekali dalam setahun. Kalau tidak, keadaan di sini akan menjadi lebih
buruk lagi sepanjang waktu.
Aku berjalan melewati seorang narapidana Polandia, Miretski. Seperti juga aku, ia dipenjara
karena alasan politis. Ia memandangiku dengan tatapan muram, dengan kilatan di matanya dan
bibir bergetar. “Aku membenci para pelanggar hukum ini!” desisnya kepadaku dengan suara
rendah. Lalu ia berlalu melewatiku. Aku kembali ke selku meskipun aku baru meninggalkannya
15 menit yang lalu.
Saat aku melewati salah satu lorong penjara, enam narapidana kekar memukuli seorang lelaki
bernama Gazin. Mereka memukulinya dengan begitu keras sehingga seekor unta pun bisa mati
dengan sebuah pukulan seperti itu. Kemudian, saat aku kembali melewati lorong itu, kulihat
Gazin tengah berada di luar, kedinginan. Seorang lelaki tinggi besar terbaring di sebuah bangku
di salah satu sudut bangsal. Ia terbalut sehelai selimut dan setiap orang yang melewatinya
berjalan perlahan. Mereka semua tahu, Gazin bisa tewas karena penganiayaan seperti itu.
Aku membaringkan diriku di bangkuku sendiri, memejamkan mata dan meletakkan tangan di
bawah kepalaku. Aku menyukai istirahat dengan cara seperti itu. Tak seorang pun akan
mengganggu orang yang sedang tidur dan itu memberiku kesempatan untuk melamun dan
berpikir. Tetapi hari ini aku merasa sulit melamun. Jantungku berdegup amat kencang tanpa
henti. Dan kata-kata Miretski masih terus menggema di telingaku, “Aku membenci para
pelanggar hukum ini!”
Setelah beberapa lama aku mampu melupakan keadaan di sekitarku. Aku segera terhanyut
dalam kenangan-kenanganku. Selama empat tahun masa hukumanku di penjara, aku selalu
memikirkan masa laluku. Dalam kenanganku, aku seakan ingin kembali menjalani kehidupanku
yang dahulu.
Hari ini, untuk alasan tertentu, aku tiba-tiba saja teringat sepenggal waktu di awal masa kanak-
kanakku. Pada suatu hari di bulan Agustus itu, aku baru berumur sembilan tahun. Matahari
bersinar cerah di atas kampung kami meski desir angin masih terasa dingin. Musim panas
hampir berlalu. Tak lama lagi kami harus hijrah ke Moskow. Di sana kami harus menghabiskan
musim dingin dengan mengikuti pelajaran-pelajaran berbahasa Prancis yang membosankan.
Aku merasa menyesal bahwa kami harus meninggalkan kampung.
Aku pergi ke luar untuk menghabiskan sepanjang siang itu dengan menikmati suasana pinggiran
kampung. Tak lama kemudian aku berjalan di tepi semak belukar yang rimbun memanjang
hingga ke hutan terdekat. Dari situ aku bisa mendengar seorang petani sedang membajak
ladang di lereng sebuah bukit. Ia pasti tak sampai 30 meter jauhnya dariku. Kudanya mungkin
merasa ladang itu kering sehingga sulit baginya untuk menarik bajak. Aku bisa mendengar
petani itu berteriak, “Ayo cepat! Ayo cepat!”
Aku mengenal hampir semua petani di kampung kami, tetapi aku tidak tahu siapakah petani
yang sedang membajak itu. Tentu saja, sebetulnya tidak masalah siapa pun yang sedang
membajak. Aku pun sedang sibuk dengan kegiatanku sendiri. Di semak-semak itu aku
menemukan sebatang kecil dahan pohon hazel. Aku menggunakannya untuk menemukan
kumbang dan serangga-serangga lainnya. Sebetulnya aku sedang mengumpulkannya.
Beberapa jenis kehidupan liar di sana sangat indah. Aku menyukai kadal kecil yang lincah,
tubuhnya berwarna merah dan kuning dengan bintil-bintil hitam. Aku takut pada ular. Tetapi di
sana jumlah ular lebih sedikit daripada kadal yang bersembunyi di semak belukar. Dan di sana
juga tak banyak dijumpai jamur. Untuk mendapatkan jamur, kita harus berani memasuki hutan
—dan ke sanalah aku menuju.
Tak ada apa pun di dunia ini yang lebih kucintai daripada hutan. Hutan mengandung jamur-
jamur dan tumbuhan beri liar, kumbang dan burung, landak dan tupai. Aku teringat hangatnya
dan aroma lembap dedaunan busuk. Bahkan saat kutulis kisah ini, aku masih bisa mencium
wewangian hutan itu. Kenangan seperti ini akan menetap sepanjang hidup.
Tiba-tiba saja, dalam keheningan yang mematikan, aku mendengar sebuah seruan keras.
Seseorang baru saja berteriak, “Serigala! Serigala!” Aku langsung ikut berteriak sekuat-kuatnya.
Lalu aku bergegas ke luar dari hutan itu. Aku mendapati diriku berlari lurus ke arah si petani
yang sedang membajak ladang.
Ia petani dari kampung kami. Namanya Marey. Usianya sekitar 50 tahun. Agak gempal dan lebih
tinggi dari lelaki kebanyakan. Ia memiliki jenggot tebal berwarna cokelat gelap. Aku
mengenalnya, tetapi hingga hari itu aku biasanya tak banyak bercakap-cakap dengannya. Ketika
ia mendengar teriakanku, ia menghentikan kudanya. Aku meraih bajak kayunya dengan sebelah
tangan dan kerah bajunya dengan tanganku yang lain. Ia bisa melihat betapa ketakutannya aku.
“Ada serigala di dalam sana!” jeritku, terengah-engah dan kehabisan napas. Ia melihat
berkeliling untuk beberapa saat, hampir tak percaya kepadaku. “Di mana serigalanya?”
tanyanya. “Seseorang berteriak, ‘Serigala! Serigala!’ tadi,” ucapku tergagap.
“Tidakkah Anda mendengarnya?”
“Di sana! Tak ada serigala di sekitar sini,” ujarnya. Ia berusaha menenangkanku. “Kau baru saja
berkhayal, Nak. Siapakah yang pernah mendengar tentang serigala di sekitar sini?”
Namun, sekujur tubuhku gemetar. Menurutku aku pasti sangat pucat saat itu. Ia menatapku
dengan senyuman cemas.
“Betapa ketakutannya diri mu,” katanya seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Jangan takut.
Oh, betapa malangnya, kau! Nah, sudahlah.”
Akhirnya kusadari juga bahwa memang tak ada serigala di tempat itu dan aku hanya
melamunkan teriakan itu saja. Sekali dua kali sebelumnya aku juga pernah melamunkan
teriakan seperti itu—dan tidak hanya tentang serigala. Saat beranjak dewasa, aku tidak lagi
melamunkan teriakan-teriakan semacam itu lagi.
“Baik lah, saya akan pergi sekarang,” ujarku, memandanginya dengan tersipu.
“Larilah, Nak. Aku akan mengawasimu,” sahutnya.
Lalu ia menambahkan, “Janganlah mencemaskan apa pun. Semuanya akan baik-baik saja.”
Aku pergi dan berlalu, berbalik melihat ke arahnya setiap beberapa meter. Sambil berjalan
pulang, Marey berdiri tegak di dekat kudanya dan mengawasiku. Ia mengangguk kepadaku
setiap kali aku berbalik memandangnya. Aku merasa sedikit malu pada diriku sendiri, tetapi aku
masih agak ketakutan sampai aku tiba di rumah. Di sana, kengerian yang sebelumnya kurasakan
sepenuhnya hilang saat kulihat anjingku berlari ke arahku.
Dengan anjingku di sisiku, aku tidak lagi merasa ketakutan. Sekarang, aku berpaling ke belakang
untuk melihat Marey terakhir kali. Aku tidak bisa lagi melihat wajahnya dengan jelas. Namun,
entah bagaimana aku yakin bahwa ia masih mengangguk dan tersenyum lembut kepadaku. Aku
melambai ke arahnya dan ia membalas lambaian tanganku.
Kejadian itu sudah lama berlalu, tetapi tiba-tiba saja semua itu kembali kuingat seluruhnya. Aku
tidak tahu mengapa, tetapi aku bisa mengingat setiap detailnya. Untuk beberapa menit
berikutnya, pikiranku kembali ke saat-saat di masa kanak-kanakku itu.
Ketika aku pulang ke rumah hari itu, aku tidak menceritakan apa pun tentang “petualanganku”.
Lagi pula, kejadian itu tidak benar-benar bisa disebut petualangan dan dengan cepat aku sudah
melupakan semua hal tentang Marey. Kapan pun aku kebetulan bertemu dengannya, aku
bahkan tidak bercakap-cakap dengannya. Kami tidak lagi membicarakan tentang serigala atau
hal-hal lain.
Sekarang, dua puluh tahun kemudian, aku berada di dalam penjara Siberia. Betapa anehnya
bahwa aku tiba-tiba saja teringat kejadian hari itu dengan sangat jelas! Tidak satu detail pun
yang terlupakan. Tentu saja ini berarti kenangan tentang hal itu selama ini tersembunyi di
dalam benakku tanpa kusadari. Kenangan itu kembali kuingat karena aku memang ingin
mengingatnya kembali. Sekarang aku yakin bahwa aku tidak akan pernah bisa melupakan
kelembutan dan senyum petani itu, juga caranya menganggukkan kepalanya kepadaku.
Tentu saja, setiap orang akan melakukan kebaikan serupa untuk menenangkan seorang anak
kecil. Tetapi ada sesuatu yang berbeda yang terjadi dalam pertemuan itu. Jika aku adalah
anaknya sendiri saat itu, ia mungkin tak akan memandangiku dengan pandangan penuh kasih
yang begitu hangat. Dan apakah yang membuatnya seperti itu?
Marey adalah salah seorang buruh tani kami. Sebagai seorang buruh tani, ia adalah harta benda
keluargaku. Aku adalah anak majikannya. Tak seorang pun tahu betapa ia pernah bersikap
teramat baik kepadaku. Tak ada seorang pun yang akan memberinya hadiah atas apa yang telah
dilakukannya kepadaku. Apakah ia memang begitu mencintai anak-anak?
Ternyata memang ada orang-orang seperti itu. Tak diragukan lagi. Pertemuan kami saat itu
bertempat di sebuah ladang yang sepi. Tak ada orang lain yang menyaksikan perasaan-perasaan
manusiawi yang halus dari seorang petani Rusia yang kasar.
Saat aku bangkit dari bangkuku dan melihat ke sekitar, perasaanku tentang para nara pidana
lainnya telah berubah. Tiba-tiba saja, karena sebuah keajaiban, semua rasa benci dan amarah
lenyap dari hatiku. Aku berjalan berkeliling penjara, memandangi wajah-wajah yang kutemui.
Aku menatap seorang petani yang sedang meneriakkan lagu pemabuk dengan amat nyaring. Ia
juga, pikirku, mungkin petani yang sejenis dengan Marey. Aku tak mungkin melihat hingga ke
dalam hatinya, bukan?
Malam itu aku bertemu dengan Miretski lagi. Lelaki malang! Ia tidak memiliki kenangan apa pun
tentang Marey atau petani lain. Ia tidak memiliki pendapat lain tentang orang-orang ini, kecuali,
“Aku benci para pelanggar hukum ini!” Ya, keadaan seperti ini menjadi lebih sulit bagi Miretski
daripada bagiku. ***

Fyodor Dostoyevsky (1821–1881) adalah pengarang terkemuka Rusia. Cerita di atas


diterjemahkan Atta Verin dan Anton Kurnia dari The Peasant Marey dalam Great Short Stories
from Around the World, Golden Books, Kuala Lumpur, 1995.

Injil Marcus, Oleh: Jorge Luis Borges (Argentina)

Cerita ini berlangsung di peternakan La Colorada, di sebelah selatan kotapraja Junín, pada
akhir Maret, 1928. Tokoh utamanya seorang mahasiswa kedokteran bernama Baltasar
Espinosa. Sementara ini kita bisa bayangkan dia seperti pemuda kebanyakan di Buenos Aires,
tanpa ada keistimewaan apa pun dari padanya selain kebaikan hatinya yang teramat sangat
serta kecakapannya bicara di muka umum yang membuatnya memperoleh beberapa
penghargaan sewaktu di sekolah Inggris di Ramos Mejía. Dia tidak suka debat, dan lebih senang
jika lawan bicaranya yang benar ketimbang dirinya. Walau dia menggemari permainan peluang
dalam setiap pertandingan yang diikutinya, dia itu pemain yang buruk sebab dia tidak senang
jika dia yang menang. Kecerdasannya yang luas tak terarahkan. Pada usia 33 tahun, nilainya
masih belum mencukupi untuk lulus, pada satu mata kuliah—mata kuliah yang paling tidak
diminatinya. Ayahnya, yang seorang ateis (seperti lazimnya pria pada masa itu),
mengenalkannya pada ajaran Herbert Spencer[1]. Namun ibunya, sebelum pergi ke
Montevideo, pernah memintanya untuk mengucapkan Doa Bapa Kami[2] dan membuat tanda
salib setiap malam. Sampai bertahun-tahun, dia tidak pernah memenuhi janji itu.
Espinosa bukannya lemah semangat. Pernah dia bertukar tinju dengan sekelompok
mahasiswa teman-temannya yang berusaha memaksanya supaya ikut demonstrasi kampus,
walau itu lebih karena apati ketimbang marah. Diam-diam dia punya pendapat sendiri, atau
pemikiran, yang meragukan: dia tidak begitu peduli pada Argentina namun khawatir jika orang-
orang di belahan lain bumi menyangka negaranya itu diduduki bangsa Indian; dia memuja
negara Prancis namun merendahkan masyarakatnya; dia meremehkan orang-orang Amerika
namun tak memungkiri kenyataan bahwa di Buenos Aires pun ada gedung-gedung tinggi seperti
di negara tersebut; dia yakin gaucho[3] dataran adalah penunggang yang lebih baik ketimbang
koboi dari bukit atau gunung. Sewaktu sepupunya, Daniel, mengajaknya menghabiskan musim
panas di La Colorada, dia langsung mengiyakan—bukan karena dia memang menyukai
pedesaan, melainkan lebih untuk menyenangkan diri dan juga lebih gampang bilang iya
ketimbang mengarang alasan jika bilang tidak.
Bangunan utama di peternakan itu besar dan agak terbengkalai. Tempat tinggal
mandornya, yang bernama Gutre, berada di dekat situ. Keluarga Gutre terdiri dari tiga orang: si
ayah, seorang anak lelaki yang luar biasa kasar, serta seorang anak perempuan yang tidak jelas
bapaknya. Mereka jangkung, tegap, dan kerempeng, dengan rambut kemerahan dan wajah
yang menampakkan keturunan Indian. Mereka sedikit sekali bicara. Istri si mandor sudah
meninggal bertahun-tahun yang lalu.
Di pedesaan itu, Espinosa mulai mempelajari hal-hal yang baru diketahuinya, bahkan yang
tak pernah terduga olehnya—misalnya saja, orang tidak boleh mencangklong kuda saat
mendekati perkampungan, dan orang tidak pergi berkuda kecuali ada keperluan khusus.
Lambat laun, dia dapat mengenali burung dari bunyinya.
Beberapa hari kemudian, Daniel harus pergi ke Buenos Aires untuk membereskan
transaksi ternak. Urusan ini paling tidak makan waktu seminggu. Espinosa, yang sudah jemu
mendengar keberuntungan Daniel yang tiada habisnya dengan para wanita serta perhatian
berlebihan sepupunya itu pada tetek-bengek mode pria, memilih tinggal di peternakan dengan
buku-buku kuliahnya. Tapi hawa panas tak tertahankan, sekalipun saat malam. Pada suatu
subuh, guntur membangunkan Espinosa. Di luar, angin mengguncang pepohonan cemara
Australia. Sambil mendengarkan tetesan hujan lebat yang pertama-tama itu, Espinosa
bersyukur pada Tuhan. Seketika udara dingin berpusar. Petang itu sungai Salado meluap hingga
bantaran.
Esok harinya, sambil memandangi ladang yang kebanjiran dari serambi bangunan utama,
Baltasar Espinosa berpikir bahwa metafora yang membandingkan pampa dengan lautan itu tak
sepenuhnya salah—setidaknya, tidak pada pagi itu—meski W. H. Hudson[4] menyatakan bahwa
lautan tampaknya lebih luas sebab dipandang dari geladak kapal dan bukan dari kuda ataupun
ketinggian mata.
Hujan tak berhenti. Keluarga Gutre, dengan dibantu atau malah diganggu oleh Espinosa,
si penduduk kota, menyelamatkan sebagian ternak yang baik kondisinya, namun banyak juga
yang mati tenggelam. Ada empat jalan menuju La Colorada; semuanya terendam oleh air. Pada
hari ketiga, saat rumah si mandor terancam bocor, Espinosa mempersilakan keluarga Gutre
mengisi ruangan di dekat gudang perkakas, di belakang bangunan utama. Mereka semua pun
menjadi dekat. Mereka makan bersama di ruang makan yang besar. Percakapan menjadi sulit.
Keluarga Gutre, yang tahu banyak soal pedesaan, kesulitan menjelaskan itu pada Espinosa.
Pada suatu malam, Espinosa bertanya pada mereka jikalau penduduk desa masih ingat
akan serangan Indian pada masa komando perbatasan berada di Junín. Mereka bilang iya, tapi
mereka mungkin akan menjawab begitu juga jika ditanya tentang pemenggalan kepala Charles
I. Espinosa ingat perkataan ayahnya bahwa hampir semua kejadian mengenai usia lanjut yang
tercatat di pedesaan sebetulnya karena silap ingat atau tak kenal tanggal. Para gaucho biasanya
tak tahu tahun kelahiran mereka pun nama orang tua mereka.
Di rumah itu, rupanya tak ada bahan bacaan selain sekumpulan majalah Farm Journal,
sebuah buku petunjuk kedokteran hewan, sebuah edisi mewah epik rakyat Uruguay Tabaré,
sebuah buku History of Shorthorn Cattle in Argentina, sejumlah kumpulan cerita detektif atau
erotis, dan sebuah novel baru berjudul Don Segundo Sombra. Espinosa, yang ingin
menjembatani kesenjangan yang tak terelakkan usai makan malam, membacakan beberapa
bab novel itu pada keluarga Gutre, sebab tak seorang pun di antara mereka yang dapat
membaca atau menulis. Sial benar, si mandor dulunya penggembala ternak, dan tindak-tanduk
si tokoh utama, yang juga penggembala ternak, tidak membangkitkan minatnya. Si mandor
bilang pekerjaannya ringan. Para penggembala selalu bepergian dengan seekor kuda beban
yang membawakan apa pun yang mereka butuhkan. Andaikan ia bukan seorang penggembala,
ia tak akan pernah menjumpai tempat-tempat yang luas sekali seperti Laguna de Gómez, kota
Bragado, dan sebaran keluarga Núñez di Chacabuco. Di dapur ada gitar; para buruh peternakan,
sebelum waktu terjadinya cerita ini, suka duduk-duduk berkumpul. Seseorang akan
menyetemkan alat musik itu tanpa tahu cara memainkannya. Acara itu disebut pesta gitar.
Espinosa, yang jenggotnya telah tumbuh, mulai menghabiskan waktu di depan cermin
untuk mematut-matut penampilan barunya. Dia tersenyum membayangkan, sekembalinya di
Buenos Aires, dirinya akan membikin jemu teman-temannya dengan cerita tentang banjir
Salado. Anehnya, dia merindukan tempat-tempat yang jarang dan tak akan pernah
dikunjunginya: ujung Jalan Cabrera yang mana di situ ada sebuah kotak surat; salah satu singa
semen di gerbang Jalan Jujuy, beberapa blok dari Plaza del Once; serta sebuah ruangan bar tua
yang lantainya berubin, yang di mana persisnya itu dia juga tidak yakin. Baik ayah maupun
saudara-saudaranya sudah tahu dari Daniel bahwa dia tengah terisolasi—secara etimologis,
kata itu tepat sekali—oleh air bah.
Ketika sedang melihat-lihat isi rumah itu, masih terkurung oleh limpahan banjir, Espinosa
menemukan sebuah Injil berbahasa Inggris. Di antara halaman-halaman kosong di belakang
buku, ada tulisan tangan keluarga Guthri—demikian nama asli mereka—yang menunjukkan
garis silsilah mereka. Mereka berasal dari Inverness[5]; sampai di Dunia Baru, mestilah sebagai
buruh kebanyakan, pada awal abad kesembilan belas; dan menikahi warga Indian. Kronik itu
terputus pada 1870-an, saat mereka tak lagi tahu cara menulis. Setelah beberapa generasi,
mereka sudah lupa bahasa Inggris; bahasa Spanyol pun, saat Espinosa mengenal mereka, sudah
kacau balau. Mereka tak punya keyakinan agama, namun dalam darah mereka masih hidup,
bagaikan jejak samar, fanatisme keras pengikut Calvin serta takhayul Indian pampa. Espinosa
menyampaikan temuan itu pada mereka, tapi mereka acuh tak acuh.
Ketika sedang membolak-balik halaman jilid, jemarinya menyibak permulaan Injil Santo
Markus. Sekalian berlatih menerjemahkan, mungkin juga untuk mencari tahu apakah keluarga
Gutre mengerti, Espinosa memutuskan untuk mulai membacakan teks itu pada mereka setelah
makan malam. Dia terkejut karena mereka terpikat dan mendengarkannya dengan penuh
perhatian. Barangkali huruf-huruf emas pada sampulnya menampakkan suatu wibawa pada
buku itu. Keyakinan itu masih mengalir dalam darah mereka, pikir Espinosa. Teringat pula
olehnya bahwa bergenerasi-generasi manusia, sepanjang masa yang tercatat, selalu
menceritakan dan menceritakan kembali dua kisah[6]—yaitu tentang sebuah kapal yang hilang
saat menyusuri lautan Mediterania demi sebuah pulau yang didambakan, serta tentang tuhan
yang disalib di Golgota. Sambil mengingat-ingat pelajaran deklamasi sewaktu bersekolah di
Ramos Mejía, Espinosa bangkit saat hendak menyampaikan parabel.
Keluarga Gutre melahap cepat-cepat sarden dan daging panggang mereka supaya tidak
menunda pembacaan Injil. Si domba piaraan, yang dihiasi si gadis dengan pita biru kecil, terluka
akibat seutas kawat berduri. Untuk menghentikan pendarahan, ketiganya hendak mencobakan
jaring laba-laba pada luka si domba, namun Espinosa mengobati hewan itu dengan beberapa
butir pil. Rasa terima kasih mereka atas pengobatan itu membuat Espinosa takjub. (Karena tak
memercayai mereka pada mulanya, dia bersembunyi di balik salah satu bukunya yang berharga
240 peso.) Sementara pemilik tempat itu sedang tidak ada, Espinosa yang mengambil alih dan
memberi petunjuk secara malu-malu, yang dengan segera dipatuhi. Keluarga Gutre, yang
seakan kebingungan tanpa dirinya, suka mengikutinya dari ruangan ke ruangan dan sepanjang
serambi yang mengitari rumah itu. Sementara dia membaca untuk mereka, dia memerhatikan
bahwa diam-diam mereka memunguti remah-remah yang dijatuhkannya di meja. Pada suatu
malam, dia mendapati mereka tak sadar sedang membicarakan dirinya dengan hormat, dalam
sepatah dua patah kata.
Setelah menjelaskan Injil Santo Markus, dia ingin membacakan tiga Injil lainnya, tapi si
ayah memintanya untuk mengulang yang telah dibacanya, supaya mereka dapat lebih
memahami itu. Espinosa merasa mereka itu seperti anak-anak. Mereka lebih senang dengan
pengulangan ketimbang sesuatu yang baru atau variatif. Malam itu—tak mengherankan—dia
memimpikan Banjir; hantaman angin ribut pada Bahtera membangunkan dirinya, dan dipikirnya
barangkali itu guntur. Sebenarnya itu hujan yang tadinya sudah reda lalu turun lagi. Hawanya
dingin sekali. Keluarga Gutre memberi tahu Espinosa bahwa badai telah meruntuhkan atap
gudang perkakas, dan mereka akan menunjukkan itu pada dia saat tiang-tiangnya sudah
diperbaiki. Bagi mereka, dia bukan lagi orang asing, sehingga mereka memperlakukannya
secara istimewa, hampir memanjakannya malahan. Mereka tak senang kopi, tapi bagi Espinosa
selalu tersedia secangkir kecil kopi yang diberi gula.
Pada Selasa muncul badai baru. Kamis malamnya, Espinosa terbangun oleh ketukan pelan
pada pintunya, yang—untuk jaga-jaga saja—selalu dikuncinya. Dia bangkit dari kasur dan
membuka pintu itu. Ada si gadis. Dalam gelap dia hampir tak dapat melihat gadis itu. Tapi dari
langkah kakinya, dia tahu gadis itu tak mengenakan alas kaki, dan sebentar kemudian, di
tempat tidur, mestilah si gadis sudah bertelanjang bulat sejak dari tempat asalnya. Gadis itu tak
memeluknya atau berucap sepatah kata pun. Ia berbaring saja di sisinya sambil menggigil. Itu
kali pertama ia mengenal seorang pria. Sebelum pergi, gadis itu tak menciumnya. Espinosa
tersadar bahwa dia bahkan tak tahu nama si gadis. Karena suatu sebab yang tak ingin
ditelusurinya, dia memutuskan bahwa sekembalinya ke Buenos Aires dia tak akan memberi
tahu siapa pun mengenai kejadian itu.
Hari berikutnya seperti hari-hari sebelumnya saja, selain si ayah bicara pada Espinosa dan
bertanya jika Kristus telah membiarkan Dirinya dibunuh demi menyelamatkan semua umat
manusia di muka bumi. Espinosa, yang seorang ateis namun merasa bertanggung jawab atas
apa yang telah dibacakannya pada keluarga Gutre, menjawab, “Ya, untuk menyelamatkan
semua orang dari Neraka.”
Lantas Gutre bertanya, “Apa itu Neraka?”
“Suatu tempat di dasar bumi di mana jiwa-jiwa dihanguskan.”
“Dan para prajurit Roma yang melakukan penyaliban—apakah mereka juga
diselamatkan?”
“Ya,” ujar Espinosa, yang ilmu agamanya agak kabur.
Sejak mula dia khawatir kalau-kalau si mandor menanyakan soal kejadian semalam
dengan anak perempuannya. Setelah makan siang, mereka memintanya untuk membacakan
bab-bab terakhir sekali lagi.
Sore itu Espinosa tidur yang lama. Tidurnya tidak nyenyak, sebab terganggu oleh
hantaman palu yang bertalu-talu dan firasat samar-samar. Menjelang malam, dia bangun dan
keluar menuju serambi. Ucapnya, seakan sedang menyuarakan pikirannya keras-keras,
“Banjirnya sudah surut. Tidak akan lama lagi.”
“Tidak akan lama lagi,” ulang Gutre, seumpama gaung.
Ketiganya mengikuti Espinosa. Sambil berlutut di muka jalan berbatu, mereka memohon
berkatnya. Lalu mereka mencacinya, meludahinya, dan mendesaknya menuju bagian belakang
rumah. Si gadis menangis. Espinosa mengerti apa yang menantinya di balik pintu. Saat mereka
membukanya, dia melihat sepotong langit. Seekor burung berkicau. Burung kutilang[7],
pikirnya. Gudang itu tanpa atap; mereka telah merubuhkan tiang-tiangnya untuk membuat
salib.[]

Catatan:
[1] Filsuf dan sosiolog berkebangsaan Inggris (1820-1903)
[2] Doa yang diajarkan Yesus kepada para pengikutnya (Matius 6:9-13)
[3] Sebutan bagi koboi di kawasan pampa Amerika Selatan, biasanya merupakan
keturunan Spanyol-Indian
[4] William Henry Hudson (1841-1920), lahir di Argentina dari kedua orang tua
berkebangsaan Amerika. Ia pindah ke Inggris pada 1869 dan menghabiskan sisa hidupnya di
sana. Beberapa bukunya menceritakan tentang Argentina.
[5] Sebuah desa di barat laut Skotlandia
[6] Kisah pertama adalah Odisseia karangan Homer, yang menceritakan tentang
petualangan Odisseus; kisah kedua adalah penyaliban Yesus di Golgota.
[7] Dalam karya seni sering ditunjukkan bayi Yesus tengah memegang seekor
burung goldfinch (semacam kutilang). Menurut legenda, burung itu yang mencabuti duri dari
kening Kristus saat di Golgota.

Kucing di Tengah Hujan—Hemingway (Amerika)

Hanya ada dua orang Amerika di hotel itu. Mereka tidak mengenal siapa pun yang mereka
jumpai di tangga saat mereka meninggalkan atau pulang ke kamar mereka. Kamar mereka di
lantai dua menghadap laut. Ia juga menghadap taman dan monumen perang. Ada pohon-
pohon palem besar dan bangku-bangku di taman itu. Ketika cuaca bagus, selalu ada pelukis di
sana bersama kuda-kuda penyangga kanvasnya. Para pelukis menyukai palem-palem yang
menjulang dan warna cerah hotel yang menghadap taman dan laut. Orang-orang Italia datang
dari tempat-tempat jauh untuk melihat monumen perang. Ia terbuat dari perunggu dan
berkilau diguyur hujan. Sekarang sedang hujan. Hujan menetes dari pohon-pohon palem.  Air
menghadirkan genangan-genangan di jalan setapak berkerikil. Laut menciptakan garis
memanjang di tengah hujan, yang bergulung ke arah pantai dan pecah di sana, dan
menciptakan kembali garis memanjang di tengah hujan. Motor-motor meninggalkan alun-alun
di samping monumen perang. Di seberang alun-alun seorang pelayan berdiri di pintu kafe
memandangi alun-alun yang kosong.
Si istri Amerika berdiri di jendela memandang ke luar. Di luar, tepat di bawah jendela kamar
mereka, seekor kucing meringkuk di bawah salah satu meja hijau yang kehujanan. Kucing itu
berusaha meringkuk sekecil mungkin agar tidak tepercik air hujan.
“Aku akan turun dan mengangkat kucing itu,” kata perempuan itu.
“Biar aku saja,” suaminya menawarkan diri dari ranjang.
“Tidak, aku saja. Kucing malang itu berlindung di bawah meja.”
Si suami melanjutkan membaca, berbaring dengan dua bantal penyangga di bagian kaki
ranjang.
“Jangan sampai kebasahan,” kata lelaki itu.
Si istri turun dan pemilik hotel berdiri dan membungkuk saat ia melintasi ruang kantor. Meja
orang itu di bagian paling dalam ruangan kantornya. Ia lelaki berperawakan sangat tinggi.
“Il piove,” kata perempuan itu. Ia menyukai si penjaga hotel.
“Si, si, Signora, brutto tempo. Cuacanya buruk sekali.”
Ia berdiri di belakang mejanya di bagian dalam ruangan kantor yang remang. Perempuan itu
menyukainya. Ia menyukai kesungguhan orang itu dalam menerima segala jenis keluhan. Ia
menyukai penampilannya yang bermartabat. Ia menyukai caranya menawarkan bantuan. Ia
menyukai cara orang itu menghayati dirinya sebagai penjaga hotel. Ia menyukai paras tuanya
yang muram dan tangannya yang besar.
Dengan perasaan suka kepadanya, perempuan itu membuka pintu dan memandang ke luar.
Hujan kian deras. Seorang lelaki berjas hujan sedang menyeberangi alun-alun menuju kafe.
Kucing itu mestinya ada di samping kanan. Perempuan itu bisa berjalan di sepanjang teritisan.
Saat ia berdiri di ambang pintu, sebuah payung terbuka di belakangnya. Rupanya seorang
pelayan mengikutinya saat ia keluar dari kamar.
“Anda tidak boleh kebasahan,” perempuan itu tersenyum, bicara dalam bahasa Italia. Tak pelak
lagi, penjaga hotel itulah yang mengirimkan perempuan ini.
Dipayungi oleh pelayan itu, si istri berjalan di atas setapak berkerikil sampai ia tiba di bawah
jendela kamarnya. Meja itu ada di sana, hijau cerah dibasuh hujan, tetapi si kucing sudah pergi.
Ia tiba-tiba merasa kecewa. Pelayan mengamatinya.
“Ha perduto qualque cosa, Signora?” 
“Ada kucing di situ,” kata perempuan Amerika itu. 
“Seekor kucing?” 
“Si, il gatto.” 
“Seekor kucing?” pelayan itu tertawa. “Seekor kucing di tengah hujan?” 
“Ya,” katanya, “di bawah meja.” Kemudian, “Oh, aku sangat menginginkannya. Aku
menginginkan seekor kucing kecil.”
Ketika berbicara bahasa Inggris, muka si pelayan menegang. 
“Mari, Signora,” katanya. “Kita harus kembali ke dalam. Anda akan kebasahan.”
“Kurasa begitu,” kata perempuan Amerika.
Mereka kembali menyusuri setapak berkerikil dan masuk ke pintu. Pelayan tetap di luar
menutup payung. Saat perempuan Amerika melewati kantor, si padrone membungkuk dari
mejanya. Ada sesuatu yang terasa begitu kecil dan mengkerut di dalam diri perempuan itu.
Si padrone membuatnya merasa sangat kecil dan pada saat yang sama sangat penting. Sesaat ia
merasakan dirinya sungguh amat penting. Ia melangkah ke tangga. Ia membuka pintu kamar.
George di atas ranjang, membaca.
“Kau dapatkan kucing itu?” tanyanya seraya meletakkan buku. 
“Ia sudah pergi.” 
“Aneh ke mana ia pergi,” katanya, melepaskan pandangannya dari bacaan.
Perempuan itu duduk di ranjang. “Aku sangat menginginkannya,” katanya. “Aku tidak tahu
kenapa aku sangat menginginkannya. Aku menginginkan kucing malang itu. Tidak enak jadi
seekor kucing di luaran sana di tengah hujan.”
George membaca lagi. Perempuan itu berpindah dan duduk di depan cermin meja rias,
mengamati dirinya sendiri dengan sebuah cermin kecil. Ia meneliti wajahnya sendiri, mula-mula
satu sisi, kemudian sisi yang lain. Kemudian ia meneliti bagian belakang kepala dan lehernya.
“Bukankah bagus menurutmu jika amu memanjangkan rambutku?” tanyanya, meneliti
wajahnya lagi. George mengangkat muka dan melihat bagian belakang leher istrinya, potongan
rambutnya pendek seperti anak lelaki. 
“Aku suka seperti itu.”
“Aku bosan dengan ini,” katanya. “Aku bosan sekali berpenampilan seperti laki-laki.” 
George mengubah posisinya di ranjang. Ia tidak memperhatikan istrinya sejak perempuan itu
memulai pembicaraan. “Kau terlihat manis sekali,” katanya. Perempuan itu memasukkan
cermin kecilnya di laci dan melangkah ke jendela dan memandang ke luar. Hari mulai gelap.
“Aku ingin memanjangkan rambutku dan mengikatnya di punggung sehingga aku bisa
merasakannya,” katanya. “Aku ingin mempunyai kucing yang bisa kupangku dan mendengkur
saat kubelai.”
 “Yeah?” kata George dari ranjang.
“Dan aku mau makan dengan perabotan makanku sendiri dan lilin di meja makan. Dan aku ingin
membiarkannya tumbuh apa adanya dan aku ingin menyisir rambutku di depan cermin dan aku
menginginkan seekor kucing dan aku menginginkan pakaian-pakaian baru.”
“Oh, tutup mulutmu dan carilah bacaan,” kata George. Ia membaca lagi. Istrinya memandang
ke luar jendela. Sudah betul-betul gelap sekarang dan hujan masih membasuh pohon-pohon
palem.
“Bagaimanapun, aku menginginkan kucing,” katanya. “Aku menginginkan kucing. Aku
menginginkan kucing sekarang. Kalaupun aku tidak bisa memanjangkan rambutku atau
mendapatkan kesenangan yang lainnya, aku bisa memelihara kucing.”
George tidak mendengarkan. Ia terus membaca bukunya. Istrinya memandang ke luar dari
jendela ke arah cahaya yang mulai menerangi alun-alun. Seseorang mengetuk pintu. 
“Avanti,” kata George. Ia melongok dari balik bukunya.
Di ambang pintu berdiri si pelayan. Ia mendekap seekor kucing besar berwarna coklat
kehitaman yang tampak meronta hendak turun. 
Diterjemahkan oleh A.S. Laksana

Anda mungkin juga menyukai