Anda di halaman 1dari 5

Lagu Malam Seekor Anjing 

Cerpen: Indra Tranggono 


Sumber: Kompas, Edisi 05/28/2006 

Aku sempat melihat ekor gerakan sesosok bayangan melintas di


samping rumah. Tempias cahaya lampu taman membantu mataku untuk
melihat sosok itu melompat pagar rumah tuanku. Namun, hujan yang
turun deras membuat malam makin kelam, hingga aku kehilangan jejak
orang yang mencurigakan itu. Kuedarkan pandanganku. Tapi, orang itu
terlalu sigap menyelinap.

Aku mencoba menakutinya dengan menggonggong sangat keras.


Kuharap orang itu panik, dan kabur dengan sendirinya. Tapi aku
kecewa. Beberapa gonggongan panjang yang kulepas tak mendapatkan
reaksi apa-apa. Malam tetap terbungkus kesunyian. Dan aku merasa
menggigil sendirian. Jejak bedebah itu tak kulihat lagi. Aku pun bergidik.
Bayangan kengerian mengepungku: orang itu menjeratku dengan kawat
baja dan mengantarkan tubuhku di penjual tongseng, seperti ratusan
bahkan ribuan kawan-kawanku.

Kantuk yang menggelayut di mataku keempaskan. Tatapan mataku


terus kebelalakkan. Begitu orang itu tampak, akan langsung kuterkam.
Gigi dan taringku rasanya sudah tidak sabar mengoyak urat nadi di
lehernya. Awas! Waspadalah hei bedebah!

Aku menggonggong lagi. Sangat keras. Kukatakan, aku sangat tidak


senang kepada tamu yang tidak sopan, yang datang malam-malam dan
menambah pekerjaaanku. Semestinya aku sudah tidur, bermimpi bisa
bertemu dengan Moli, anjing tetangga yang lama kutaksir itu. Aku
sangat ingin bercinta dengannya, dalam mimpiku malam ini. Tapi cita-
cita itu telah digugurkan oleh orang yang tidak tahu diri itu. Dasar tidak
manusiawi!

Mendadak kudengar sebuah benda jatuh di depanku. Kuamati.


Ternyata segumpal daging sapi segar. Aku sangat hafal baunya. Tuanku
setiap pagi dan sore memberiku daging seperti itu. Si pelempar itu
mungkin menduga aku langsung menyantap daging itu. Aku tersenyum
masam. Daging itu hanya kulihat lalu kutinggalkan. Aku bukan anjing
bodoh yang tidak bisa membedakan mana daging segar dan mana
daging penuh racun. Orang itu juga terlalu meremehkan. Dia mengira
aku bisa diakali hanya dengan segumpal daging. Bukannya sombong.
Pengalamanku menjadi anjing belasan tahun membuat aku sangat
terlatih untuk membedakan mana pemberian yang tulus dan mana
pemberian yang basa-basi, penuh pamrih bahkan ancaman. Melihat
caranya memberikan daging saja aku sudah sangat tersinggung. Betapa
orang itu tak punya sopan santun. Aku memang sangat mengharap
pemberian orang, tapi aku bukan pengemis. Meskipun anjing, aku tetap
punya harga diri. Martabat anjing harus kujunjung tinggi.

Mungkin orang itu kecewa, melihat aku acuh tak acuh. Tapi dia tidak
menyerah. Ini usaha yang sangat kuhargai. Ia melemparkan lagi
segumpal daging. Kali ini lebih besar. Namun, aku hanya menatapnya
sebentar, lalu berlalu. Aku memang sengaja mengaduk-aduk
perasaannya, biar dia kecewa dan mengurungkan niat buruknya untuk
mencuri. Sengaja kupakai cara yang lebih manusiawi agar tidak jatuh
korban. Aku tak ingin lagi melihat ada maling babak belur bahkan mati
dihajar massa gara-gara tertangkap. Aku sangat sedih dengan nasib
manusia yang celaka itu, meskipun hal itu membuat aku bersyukur:
ternyata menjadi anjing seperti aku jauh lebih beruntung daripada
menjadi orang miskin. Sungguh, aku mensyukuri rahmat ini.

Lama tak ada reaksi. Aku menduga orang itu kecewa, lalu pergi begitu
saja. Diam-diam aku pun bersyukur, malam ini ada orang telah
mengurungkan niat jahatnya. Bagiku ini sebuah prestasi. Meskipun aku
ini hanya anjing, binatang yang sering dicerca dan dinistakan, aku toh
masih punya niat baik.

Namun, kebanggaan yang diam-diam menggumpal dalam rongga


dadaku itu, akhirnya pudar. Ketika aku mengitari rumah tuanku, aku
melihat orang itu duduk di pojok halaman di bawah pohon rambutan.
Aku mundur beberapa langkah, siap-siap melawan jika orang itu
menyerangku. Kepada sesama anjing, aku bisa menduga niatnya. Tapi
kepada manusia? Ah, hati manusia tak bisa dijajaki. Penuh misteri.
Mereka bisa saja menyimpan rapi kekejaman di balik senyum
ramahnya. Aku harus waspada. Awas!

Orang itu tetap saja diam. Aku mencoba mendekat. Ia tetap diam.
Kuberikan gonggongan lirih, seperti berbisik. Tapi dia memberikan
isyarat agar aku diam. Aku pun menurut. Kudekati dia. Kuamati orang
itu. Dari tempias cahaya lampu, tampak wajahnya lebih tua dari usianya,
penuh kerut-merut. Melihat urat-uratnya, ini pasti orang susah! Urat
orang susah sangat tidak teratur dan membentuk garis yang serba
melengkung. Aku tahu itu, karena dulu, aku cukup lama bergaul dengan
para gelandangan yang mendiami gubuk-gubuk di pinggir sungai,
sebelum aku dipungut sebagai anjing piaraan tuanku.
 
Ya, Tuhan, dia menangis. Baru kali ini kulihat ada calon maling begitu
cengeng. Tapi sebentar… tangisnya sangat dalam. Ya sangat dalam. Dan
tanpa sadar aku jadi terharu (baru kali ini ada anjing yang terharu).
Tapi, aku selalu waspada. Siapa tahu itu tangis buaya. Bisa saja diam-
diam ia menyimpan pisau, dan siap dihunjamkan di perutku. Maka,
kuambil jarak beberapa depa. Kulihat apa reaksi selanjutnya. Orang itu
tetap asyik dengan tangisnya. Ia menyebut empat anaknya yang tidak
bisa bayar sekolah dan hendak dikeluarkan gurunya. Ia menyebut anak
gadisnya yang kini harus dirawat di rumah sakit karena diperkosa oleh
tetangganya. Ia menyebut nama istrinya yang hamil lagi (untuk yang
terakhir ini aku terpaksa tidak bisa terharu).

Semula kupikir dia sengaja menjual iba kepadaku. Bukankah


kebanyakan manusia itu tukang main drama yang ujung-ujungnya
hanya menelikung pihak lain? Tapi, sebagai anjing yang terbiasa
membedakan mana yang tulus dan mana yang basa-basi, aku berani
menyimpukan bahwa kesedihan orang ini cukup meyakinkan. Entah
kenapa, naluriku memaksaku berpikiran begitu.

Aku pun mulai menimbang-nimbang untuk memberikan kebebasan


orang ini bisa masuk rumah tuanku, mengambil sedikit barang-barang
agar tangis anak istrinya berhenti. Kukibaskan ekorku, mengenai
kakinya. Dia memandangku. Kulihat sumur penderitaan yang begitu
dalam dan gelap. Tangannya mengelus-elus kepalaku. Kubalas sentuhan
itu dengan kibasan ekorku yang menyentuh kakinya. Rupanya ia
tanggap. Ia pelan-pelan bangkit, menyiapkan berbagai peralatan, ada
besi pengungkit, drei, pukul besi, alat pemotong besi, alat pemotong
kaca, linggis kecil dan masih banyak yang lain. Ternyata perlengkapan
maling jauh lebih lengkap dan canggih daripada bengkel. Aku terharu
sekaligus bangga dengan usahanya untuk menjadi maling beneran.
Maling pun tetap harus serius, agar tidak konyol dicincang massa.

Pelan-pelan ia menyelinap pepohonan. Hujan turun makin deras. Aku


terpejam dan tidak ingin membayangkan apa yang dilakukan orang itu
di rumah tuanku. Diam-diam aku merasa berdosa atas
pengkhianatanku, namun aku juga berdoa semoga orang itu selamat.
Yang kubayangkan hanyalah tangis anak istrinya di rumahnya

Tidak lebih dari lima menit, orang itu telah keluar membawa
bungkusan. Aku hanya berdoa semoga saja dia bukan maling yang rakus
dan hanya mencuri arloji, hand phone, atau benda lainnya. Dengan
langkah yang gagah, ia menjumpaiku. Tangannya mengelus-elus
kepalaku. Segaris senyuman kini terpahat di bibirnya. Aku menunduk.
Perasaanku campur aduk. Tiba-tiba kesedihanku pun jebol. Aku
menangis dengan suara ringkikan kecil. Orang itu merasa serba salah. Ia
merengkuh tubuhku dan hendak memangku aku. Tapi aku menolak
dengan halus. Ia mencoba memberiku segumpal daging. Dengan bahasa
isyarat, ia meyakinkan bahwa daging itu murni, bukan seperti yang
dilemparkannya sebelumnya. Tapi aku merasa kehilangan selera
makan.

Tiba-tiba kudengar kegaduhan dari dalam rumah tuanku. Istri tuanku


menjerit-jerit histeris, sambil menyebut kalung berliannya yang hilang.
Suaminya berteriak-teriak sambil berlari keluar, diiringi letusan
senapan yang membabi buta. Kata "maling" diteriakkan berulang-ulang.
Aku memukul kaki orang itu dengan ekorku, dan berharap ia segera
berlari. Ia tampak panik, dan canggung. Mungkin ia merasa berat
berpisah denganku. Tapi aku terus memaksanya untuk segera lari. Aku
sangat panik. Kulihat tuanku berlari makin mendekati tempat
pertemuan kami. Senapannya terus menyalak. Aneh, maling itu tetap
diam. Aku memaksanya lari. Tapi ia hanya berlindung di balik pohon
rambutan. Sial, muncul kilat. Tempat kami mendadak terang dalam
sekejap. Kontan tuanku langsung melepas timah panas. Orang itu
tumbang, rebah ke tanah. Muncrat darah merah dari dadanya. Aku
menggonggong sangat keras. Aku marah kepada tuanku yang sangat
kejam. Tapi tuanku justru mengelus-elus kepalaku. Dia merasa bangga
punya anjing piaraan yang telah menyelamatkan hartanya dari jarahan
maling malang itu. Aku menggonggong makin keras. Makin keras,
hingga orang-orang pun keluar rumah. Mereka mengelu-elukan aku.
Hampir tak ada yang peduli dengan mayat maling malang itu yang
membujur kaku… Mata maling itu tetap saja melotot, seperti
menatapku. Terus menatapku. Aku masih mendengar tangisnya, tangis
anak dan istrinya. Tangis itu sangat panjang dan dalam, penuh
kesunyian.

Yogyakarta 2006

Anda mungkin juga menyukai