Mungkin orang itu kecewa, melihat aku acuh tak acuh. Tapi dia tidak
menyerah. Ini usaha yang sangat kuhargai. Ia melemparkan lagi
segumpal daging. Kali ini lebih besar. Namun, aku hanya menatapnya
sebentar, lalu berlalu. Aku memang sengaja mengaduk-aduk
perasaannya, biar dia kecewa dan mengurungkan niat buruknya untuk
mencuri. Sengaja kupakai cara yang lebih manusiawi agar tidak jatuh
korban. Aku tak ingin lagi melihat ada maling babak belur bahkan mati
dihajar massa gara-gara tertangkap. Aku sangat sedih dengan nasib
manusia yang celaka itu, meskipun hal itu membuat aku bersyukur:
ternyata menjadi anjing seperti aku jauh lebih beruntung daripada
menjadi orang miskin. Sungguh, aku mensyukuri rahmat ini.
Lama tak ada reaksi. Aku menduga orang itu kecewa, lalu pergi begitu
saja. Diam-diam aku pun bersyukur, malam ini ada orang telah
mengurungkan niat jahatnya. Bagiku ini sebuah prestasi. Meskipun aku
ini hanya anjing, binatang yang sering dicerca dan dinistakan, aku toh
masih punya niat baik.
Orang itu tetap saja diam. Aku mencoba mendekat. Ia tetap diam.
Kuberikan gonggongan lirih, seperti berbisik. Tapi dia memberikan
isyarat agar aku diam. Aku pun menurut. Kudekati dia. Kuamati orang
itu. Dari tempias cahaya lampu, tampak wajahnya lebih tua dari usianya,
penuh kerut-merut. Melihat urat-uratnya, ini pasti orang susah! Urat
orang susah sangat tidak teratur dan membentuk garis yang serba
melengkung. Aku tahu itu, karena dulu, aku cukup lama bergaul dengan
para gelandangan yang mendiami gubuk-gubuk di pinggir sungai,
sebelum aku dipungut sebagai anjing piaraan tuanku.
Ya, Tuhan, dia menangis. Baru kali ini kulihat ada calon maling begitu
cengeng. Tapi sebentar… tangisnya sangat dalam. Ya sangat dalam. Dan
tanpa sadar aku jadi terharu (baru kali ini ada anjing yang terharu).
Tapi, aku selalu waspada. Siapa tahu itu tangis buaya. Bisa saja diam-
diam ia menyimpan pisau, dan siap dihunjamkan di perutku. Maka,
kuambil jarak beberapa depa. Kulihat apa reaksi selanjutnya. Orang itu
tetap asyik dengan tangisnya. Ia menyebut empat anaknya yang tidak
bisa bayar sekolah dan hendak dikeluarkan gurunya. Ia menyebut anak
gadisnya yang kini harus dirawat di rumah sakit karena diperkosa oleh
tetangganya. Ia menyebut nama istrinya yang hamil lagi (untuk yang
terakhir ini aku terpaksa tidak bisa terharu).
Tidak lebih dari lima menit, orang itu telah keluar membawa
bungkusan. Aku hanya berdoa semoga saja dia bukan maling yang rakus
dan hanya mencuri arloji, hand phone, atau benda lainnya. Dengan
langkah yang gagah, ia menjumpaiku. Tangannya mengelus-elus
kepalaku. Segaris senyuman kini terpahat di bibirnya. Aku menunduk.
Perasaanku campur aduk. Tiba-tiba kesedihanku pun jebol. Aku
menangis dengan suara ringkikan kecil. Orang itu merasa serba salah. Ia
merengkuh tubuhku dan hendak memangku aku. Tapi aku menolak
dengan halus. Ia mencoba memberiku segumpal daging. Dengan bahasa
isyarat, ia meyakinkan bahwa daging itu murni, bukan seperti yang
dilemparkannya sebelumnya. Tapi aku merasa kehilangan selera
makan.
Yogyakarta 2006