Anda di halaman 1dari 24

TUGAS

KUMPULAN CERPEN
BAHASA INDONESIA

Dibuat Oleh :
Nama : MOHAMAD FAREL APRIONGGO
Kelas : X Askep 3
No. Absen : 19

SMK CITRA BANGSA MANDIRI


PURWOKERTO
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-
Nya, kami telah dapat menyusun kliping “Kumpulan Cerpen”. Penyusunan kliping
Kumpulan Cerpen ini merupakan kewajiban kami sebagai siswa untuk memenuhi tugas
kami memperhatikan materi yang ditugaskan oleh Guni pengampu mata pelajaran Bahasa
Indonesia.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu
penyusunan kliping ini, terutama Guru pengampu mata pelajaran, teman kelas, dan orang
terdekat yang memberi semangat, dengan bantuan mereka penyusunan kliping ini bisa
terselesaikan.
Kami menyadari kliping kami ini masih jauh dari sempurna, masih banyak kekurangan
dalam penyusunan kliping ini tidak lain karena masih sedikitnya sumber daya yang kami
miliki. Maka kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan
kliping ini serta tugas-tugas penyusunan kliping kami yang selanjutnya. Kami senantiasa
menanti saran dan masukkan demi perbaikan dimasa datang selamat belajar semoga Allah
SWT meridhoi kita semua. Aamiin.

Purwokerto 19 Oktober 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................................ i
Kata Pengantar................................................................................................................ ii
Daftar Isi......................................................................................................................... iii
Kumpulan Cerpen
1. Cerpen “Cerita di Balik Pintu”......................................................................... 1
2. Cerpen “Tukang Tulis Puisi”............................................................................ 4
3. Cerpen “Papi”................................................................................................... 7
4. Cerpen “Gadis Perahu”..................................................................................... 12
5. Cerpen “Pelajaran Minum Kopi”...................................................................... 16
Penutup........................................................................................................................... 20
Daftar Pustaka................................................................................................................. 21

iii
KUMPULAN CERPEN

Cerpen 1
Cerita di Balik Pintu
(Karya Herumawan PA. Dikliping tanggal 2 Juni 2015 dalam kategori Arsip Cerpen, Cerita
Remaja, Koran Lokal, Minggu Pagi)

“TRAUMA ternyata dapat mengubah hidup seseorang.” Itu yang aku lihat dari
perempuan yang sudah seminggu ini tinggal di rumahku.
***
SEPERTI malam-malam lalu, aku menemukannya meringkuk di pojok kamar. Butir-butir
keringat deras tampak membasahi bajunya. Rambut poninya tak teratur lagi.
Aku menepuk bahunya perlahan. Mencoba membangunkannya kembali pada kenyataan.
Sejurus kemudian dia tergagap. Seperti kebingungan, menengok kanan dan kiri. Meski
sudah seminggu berada di rumahku namun sepertinya dia belum juga terbiasa.
“Hei, bangun, sekarang sudah pukul setengah enam pagi,” kataku mengingatkan.
Dia hanya tersenyum sekilas. Memperbaiki posisi duduknya. Lalu mencari sesuatu di
tumpukan kertas yang berserakan. Aku yang berdiri di dekatnya langsung tahu apa yang
dia cari. Handphone. Benda yang selalu saja hilang dari pandangannya namun dengan
mudah kutemukan.
“Ini,” kataku sambil mengulurkan handphone-nya. Dia mengucap terima kasih.
“Kalau sudah selesai, segera siap-siap. Temani aku ke pasar. Manusia butuh makan, kan?”
kataku lagi.
Mendengarku berkata begitu, dia pasti tertawa.
***

NESA. Sebuah nama yang singkat. Hanya itu yang aku tahu, selebihnya aku tak tahu
banyak tentang latar belakang ataupun pekerjaannya. Dia bilang pekerjaan sebagai penulis
lepas. Entah itu surat kabar atau internet, aku tak begitu memperhatikan.

1
Aku mengenalnya ketika kami sama-sama menghadiri sebuah seminar. Saat itu, kami
hanya berbincang sedikit. Setelahnya tak kusangka akan bertemu lagi dengannya di
rumahku.
Aku memang menyewakan rumah. Istilahnya berbagi kamar. Karena kehidupanku sendiri
tak cukup menutup semua kebutuhan. Maka, kusewakan rumah untuk tinggal bersama.
Aku terkejut ketika Nesa datang ke rumah. Dia berkata ingin tinggal bersama denganku.
Lalu kukatakan semua peraturan rumah dan dia menyetujuinya.
Ketika kutanyakan apa kebiasaan atau ada yang tak bisa digangu gugat untuknya, dia
hanya tersenyum dan berkata:
“Aku hanya tidak suka jika tidur dalam keadaan pintu tertutup. Dan aku mohon izin
menutup lubang kunci pintu dengan lakban.”
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Aku hanya tidak suka,” jawabnya singkat.
Kupikir karena itu rahasia maka aku tak bertanya lebih lanjut. Esok harinya aku tahu
kenapa dia tidak bisa tidur dalam keadaaan pintu tertutup. Karena aku menemukannya
meringkuk di pojok kamar dengan keadaan seperti orang yang habis dikejar perampok.
Keringat dingin mengalir membasahi bajunya.
Mulanya tentu aku takut. Namun kucoba membangunkannya, setidaknya aku tahu bahwa
dia masih mampu diajak komunikasi. Dan memang setelah itu dia tersadar. Seperti biasa
meski agak sedikit linglung. Aku bergegas mencari air putih untuk menenangkannya.
Aku ingat hari itu hari Rabu. Hari di mana aku terlambat kerja karena mendengarkan cerita
masa lalunya.
***
NESA sering bercerita bahwa dia punya kehidupan masa kecil yang bahagia. Kehidupan
yang biasa. Ayah ibunya hidup rukun. Dia juga punya kakak laki-laki yang jaraknya tak
terpaut jauh. Lalu tibalah masa di mana hidupnya merasakan tragedi. Ayahnya meninggal
dan itu membuat ibunya harus bekerja apa saja.
Lalu ada seorang lelaki yang memperistri ibunya. Namun ternyata dia seorang lelaki
penipu dan membuat hidupnya tak kunjung membaik. Di bulan yang entah ke berapa,
ibunya terlibat pertengkaran dengan ayah tirinya. Dan dengan segera membuat wajah sang
ibu lebam di sana sini.
Nesa yang waktu itu berusia remaja merasa ketakutan dan hanya bisa menangis. Ibunya
selalu menyuruhnya masuk ke dalam kamar. Menutup pintunya. Meski begitu Nesa selalu
dapat melihat sekilas bagaimana ibunya mendapatkan pukulan-pukulan dari ayah tirinya
lewat lubang kunci pintu.
Sampai akhirnya sang kakak tak mampu lagi meredam amarah. Ketika ayah tirinya
memukuli ibunya untuk kesekian kali, sang kakak menghujamkan pisau dapur ke arah ayah
tirinya. Nesa menyaksikan semua itu meski di dalam kamar. Polisi dan warga berdatangan.
Kasusnya lumayan ramai dibicarakan karena itu kota kecil di mana gosip bisa terasa fakta.

2
Sang kakak masuk penjara dengan hukuman percobaan pembunuhan. Nesa dan ibunya
pergi mengungsi di pinggiran kota bersama sang nenek. Hidupnya tak semudah yang
kubayangkan. Dari cerita Nesa, terkadang aku berpikir bagaimana dia masih tersenyum
menghadapi kenyataan pahit hidupnya.
***
NESA yang tadinya kuanggap sebagai seorang mansuia yang biasa ternyata menyimpan
luka yang tak kubayangkan sebelumnya. Aku berusaha memahami kelakuannya. Namun
tetap kusarankan dia untuk pergi ke psikiater agar mendapatkan penanganan sebelum
terlalu serius. Dan jika aku berkata begitu, dia selalu menjawab dengan senyuman.
Lambat laun, aku tak menghiraukan lagi masa lalu Nesa. Dia malah sudah kuanggap
seperti adikku sendiri. Aku tak lagi kikuk untuk menceritakan kisah hidup dan juga
hubungan asmara dengan Fadli, pacarku.
Meski kadang trauma Nesa kambuh ketika aku tak sengaja menutup pintunya karena takut
ada tikus yang masuk ke dalam kamar. Namun, aku tak mempermasalahkannya lagi.
Bahkan sudah terbiasa menghadapinya.
Hari ini aku bertengkar dengan Fadli pacarku di ruang tamu. Aku tak tahu jika Nesa ada di
dalam kamar. Karena pintunya tertutup.
Aku tak terima mendapati SMS mesra dari wanita lain di handphone-nya. Lalu memakinya
dengan kata-kata yang tak pernah kuucapkan. Dia balas menamparku. Dua kali.
Sepersekian detik kemudian, kulihat sesosok perempuan berlari ke arah Fadli. Sambil
mengacungkan pisau dapur, dia meneriakkan kata yang tak jelas. Fadli tak sempat
menghindar. Tubuhnya roboh seketika.
Aku menangis sesenggukan melihat Fadli diam selamanya.
“Kamu… kamu…” Kataku tergagap, sembari kulihat Nesa tersenyum puas. Pisau dapur
dilemparkannya begitu saja ke lantai. Seolah trauma masa lalu tak lagi menguasainya.
Nesa tampak berjalan mendekatiku. Ingin aku berlari keluar rumah lalu berteriak meminta
tolong sekencangnya. Namun ketakutan yang teramat sangat membuat tubuh ini tak bisa
aku gerakkan. Mulutku terasa terkunci. Entah apa yang akan dia lakukan kepadaku, aku
hanya bisa pasrah.

[] Yogyakarta, 5 Mei 2015


Herumawan Prasetyo Adhie, Pringgokusuman GT II Yogyakarta 55272
Rujukan:
Disalin dari karya Herumawan Prasetyo Adhie
Pernah tersiar di surat kabar “Minggu Pagi” pada 31 Mei 2015

3
Cerpen 2
Tukang Tulis Puisi
(Karya Salman Rusydie Anwar. Dikliping tanggal 2 Juni 2015 dalam kategori Arsip
Cerpen, Koran Lokal, Minggu Pagi)

DI kamar kosnya yang sempit malam itu, dia kembali menulis puisi. Sudah tak terhitung
berapa banyak puisi yang sudah dihasilkan selama beberapa tahun terakhir ini. Beberapa di
antara puisinya sudah dipublikasikan di media-media massa. Tetapi, berapapun honor yang
dia terima, selalu tidak pernah bertahan lama. Hari di mana ia menerima honor, di hari itu
juga honornya selalu habis tak tersisa.
“Tidak kau simpan sebagian?” tanya pacarnya.
“Untuk apa?”
“Siapa tahu berguna untuk hari depanmu.”
Dia tertawa getir. Lalu mendesah. Seperti ingin melepas sebuah beban yang selama ini ia
simpan. Kemudian dia tertawa lagi.
“Kenapa tertawa?”
“Haruskah perlu alasan untuk tertawa?”
“Hah, kambuh! Aku tak mau berdebat. Sekarang temani aku.”
“Ke mana?”
“Toko kosmetik. Cepatlah, sebentar lagi tutup.”
Dasar perempuan.
***

SEBENARNYA dia malas bangun pagi itu. Semalam dia menulis puisi hingga larut
sepulang menemani pacarnya dari toko kosmetik. Namun kegaduhan pagi hari di dapur ibu
kosnya yang berdempetan dengan kamarnya, mau tak mau memaksanya membuka mata.
Dia menggeliat seperti kucing. Gemeretap tulang-tulangnya terdengar bagai ada sesuatu
yang rontok dalam dirinya. Dalam hidupnya.

4
Sejenak dia menatap ke dinding. Ada dua ekor cecak di sana. Dia tersenyum. Lalu seperti
menemukan ide baru untuk menulis puisi. Tapi sayangnya, ide itu lenyap seiring
terciumnya bau masakan lewat lubang-lubang kecil pada dinding triplek yang menjadi
pemisah antara kamarnya dengan dapur ibu kosnya. Dia merasa lapar. Tapi….
Kring. Pacarnya menelepon.
“Pasti baru bangun,” tebak pacarnya di ujung sana dengan suara ketus.
“Ya.”
“Semalam nulis puisi lagi? Sampai jam berapa?”
“Jam tiga.”
“Busyet! Giliran sama puisi bisa duduk berjam-jam. Coba giliran duduk sama aku. Maunya
lekas-lekas saja. Apa sih yang bisa dibanggakan dari puisi-puisimu itu?”
“Hei! Kau tak bisa….”
“Ah, sudah sudah. Lekas mandi. Terus temeni aku lagi.”
“Ke mana?”
“Toko kosmetik semalam.”
“Hah, mau apa lagi?”
“Aku lupa beli lipgloss.”
Huff.
Sejak pacarnya selalu meledek kebiasaannya menulis puisi, dia sebenarnya sedih. Sedih
karena dia berpikir betapa malangnya perempuan yang tidak bisa lagi menikmati indahnya
puisi.
Padahal perempuan-perempuan dulu banyak yang begitu takjub dengan puisi. Mereka
begitu bangga bila kekasihnya pandai mennulis puisi. Mereka merasa terhormat kalau bisa
menjadi pendamping hidup seorang penyair yang mampu melahirkan puisi-puisi penuh
daya sihir. Itulah sebabnya dia memilih menjadi penulis puisi. Harapannya, akan ada
seorang perempuan yang bisa membanggakan dirinya, menghormatinya, memberinya
tempat yang layak sebagai lelaki romantis.
“Ini zamannya salon dan shoping, Bung. Bukan zamannya puisi. Bila kau bisa memberi dia
dua hal itu, kau baru akan dihargai,” seloroh temannya suatu waktu.
“Betapa piciknya kalau begitu.”
“Sayangnya, kau tak bisa katakan itu sama pacarmu. Kecuali kau ingin jadi sasaran jurus-
jurus karatenya itu.”
Temannya tertawa.
Namun tak peduli seberapa naifnya pandangan orang-orang –terutama perempuan,
terutama pacarnya– terhadap puisi, dia sudah bertekad tidak mundur dari keputusan yang
sudah dia buat. Dia berjanji terus menulis puisi. Gairahnya menulis puisi tak akan bisa
dibendung oleh apapun. Termasuk ledekan pacarnya sendiri.
Lihat, dinding triplek di dalam kamar kosnya penuh dengan tulisan puisi. Campur baur
tema puisi yang dia tulis. Tak pernah teratur. Tak pernah jelas. Seperti menggambarkan
putaran nasib yang melemparnya ke sana-ke mari.

5
Bertumpuk-tumpuk kertas di dalam kamar kosnya yang sempit, semuanya juga penuh
dengan puisi. Bahkan slip belanjaan pacarnya dia simpan dengan rapi. Halaman kosong di
belakang slip itu, juga penuh dengan puisi.
Dengan puisi aku bernyanyi.

Dia mengagumi bait puisi itu meski lupa siapa pengarangnya. Atau mungkin dia memang
tidak pernah mengingat siapa-siapa selain menulis puisi dan menulis puisi. Atau mungkin
otaknya sudah mulai rusak karena sering mengalami benturan dengan yang namanya
kesedihan, terutama saat dia lapar sementara jarang sekali puisinya dimuat koran. Atau
mungkin dia sedih ketika pacarnya datang dan minta uang jajan, sementara di dalam
dompetnya hanya ada tumpukan slip belanjaan yang penuh dengan puisi-puisi usang.
Dengan puisi aku bernyanyi

Ah! Bait puisi itu lagi yang muncul di kepalanya. Aih! Bau masakan dari dapur ibu kosnya
itu lagi yang melintas-lintas di dalam hidungnya. Dia memegangi perutnya yang tiba-tiba
terasa perih. Lapar. Tapi kemudian tangannya meraih sebuah buku tulis yang penuh dengan
puisi-puisi. Dia ingat, seminggu yang lalu dia pernah menulis puisi tentang orang-orang
yang lapar.
Dengan perut setipis papan yang kenyang oleh angin dan harapan….

Dia menikmati puisinya. Dia menghayati puisinya. Saat seperti itu, dia seperti menemukan
apa yang disebutnya momentum puitik sehingga dia bisa membaca puisi-puisinya dengan
penghayatan total layaknya penyair besar sedang tampil di atas panggung. Inilah
kenikmatan yang tidak bisa dipahami oleh pacarnya. Perempuan ahli karate yang gila
kosmetik itu. Benar-benar perempuan sialan.
Dia bangkit dan membaca puisinya;
Akulah puisi yang sesungguhnya. Kau yang tak bisa lebur dalam keindahan rasa dan kata-
kataku, silakan pergi.
Menyingkirlah sejauh-jauhnya.

“Songong lu! Kalau gue pergi, lu bisa mati kelaparan dodol. Gue tungguin dari tadi,
ternyata lu sibuk baca puisi sendiri.”
Itu suara pacarnya. Sudah berdiri di depan pintu kosnya. (k)

[] Kebumen, 2015
Rujukan:
Disalin dari karya Salman Rusydie Anwar
Pernah tersiar di surat kabar “Minggu Pagi” pada 31 Mei 2015

6
Cerpen 3
Papi
(Karya Yuditeha. Dikliping tanggal 25 Mei 2015 dalam kategori Arsip Cerpen, Koran
Lokal, Minggu Pagi)

SIANG ini aku sampai Solo, kota yang selalu membuat hatiku bergetar. Banyak
kenanganku yang tertinggal di sini, baik kenangan buruk maupun baik. Sekilas kulihat kota
ini sudah kembali benar-benar berseri. Maksudku tidak seperti pada saat aku tinggalkan 17
tahun yang lalu. Kini, jalan Slamet Riyadi sudah kembali asri.
Sampai perempatan Gendengan, papa membelokkan mobil ke kiri, sejurus ke arah
lapangan Kota Barat. Setelah itu sebentar saja kami telah melewati daerah Pasar Nongko.
Haiku semkin bergetar, terlebih saat mobil kami berhenti di depan rumah yang kami
tempati dulu. Seorang ibu telah menyambut kami di teras rumah. Sebelum turun aku
sempat bertanya pada mama.
“Apa itu Ibu Ani, Ma?”
“Ya, kamu pangling, ya?”
“Wajahnya tidak berubah, masih cantik seperti dulu.”
“Selamat datang, Bu, pak,” kata Bu Ani sambil menyalami mama dan papa.
“Siang, Bu Ani,” salamku
“Apakah ini, Meme?” tanya Bu Ani sembari menyalamiku. “Kamu cantik sekali, Sudah
berapa tahun kita tidak bertemu, ya?”
“Tujuh belas tahun, Bu.”
“Ya. Waktu itu kamu masih SMP.”
Lalu kami masuk rumah. Memasuki rumah itu, jantungku serasa berdetak lebih cepat,
secepat pikiranku yang kini telah tertuju pada masa silam. Hal itu pula yang jadi alasanku
untuk menolak ajakan papa dan mama setiap kali mereka pergi ke Solo. Seingatku, setelah
tragedi duluitu, papa dan maam sudah lima kali ke sini, untuk sekadar menyambangi rumah
dan tilik Bu Ani. Barulah yang keenam ini, aku bersedia ikut. Karena aku merasa sudah
siap menghadapinya.
Tidak terasa, senja telah melingkupi kota Solo. Aku baru saja selesai mandi dan kini sudah
duduk santai di depan TV untuk melihat film drama serial kesukaanku. Benar kata orang,

7
kalau sudah terlanjur mengikutinya, setiap hari akan terus dibuat penasaran dengan
kelanjutan ceritanya. Sehingga setiap sore mau tidak mau harus memaku diri di depan TV
untuk menyaksikan. Aku bisa menangis, hanya karena mengikuti jalan ceritanya., padahal
kebanyakan peristiwanya seringkali tidak masuk akal. Sembari menunggu filmnya mulai,
kembali pikiranku mengenang kisahku tujuh belas tahun lalu.
***

TIDAK kusadari sebelumnya, Pak Damar tetangga baruku, yang belum ada satu tahun
tinggal persis di samping rumahku, ternyata seorang guru di SMP di mana akhirnya aku
sekolah. Sebelumnya aku sudah sering bertemu dengannya, bahkan bisa dibilang hampir
setiap sore kami bertemu. Pertemuan-pertemuan kami itu tidak sengaja terjadi di belakang
rumah. Aku memelihara beberapa anggrek di belakang rumah, dan setiap sore aku
menyiraminya. Sedangkan Pak Damar biasanya sedang menulisa di belakang rumahnya.
Mata kami kadang beradu pandnag lalu melempar senyum. Meskipun kami belum pernah
bicara tetapi jujur, aku menyukai sinar matanya yang teduh dan senyumnya yang
menawan. Begitulah penilaianku, seorang gadis yang baru masuk SMP.
Samping belakang rumah kami dibatasi sebuah pagar pembatas setinggi orang, dan di
pagar itu ada sebuah pintu tembus. Papa sering melewati pintu itu jika ada keperluan
bertemu dengan Pak Damar. Tapi aku sendiri belum pernah membukanya apalagi
melewatinya. Namun begitu, aku dan Pak Damar masih bisa bertemu meski hanya dari
balikpagar. Dari perjumpaan-perjumpaan itulah akhirnya aku jadi terbiasa dengan tatap
mata dan senyumnya.
Pada saat aku tahu ternyata dia jadi guruku di SMP, aku merasa senang. Sejak saat itu aku
tidak lagi hanya bisa memandang mata dan senyumnya saja, tapi kami juga sering
berbincang. Dari situlah aku mulai mengenal sosok Pak Damar lebih dekat. Kurasakan,
semakin hari kami semakin akrab. Perasaanku selalu nyaman jika bersamanya.
Pak Damar sudah berkeluarga. Istrinya sangat baik, namanya Bu Ani. Suatu kjali aku
pernah diajak papa berkunjung ke rumahnya dan berkenalan dengan istrinya. Katanya
mereka juga sudah punya anak seumuranku, laki-laki dan tinggal bersama simbahnya di
desa. Pak Damar orangnya pendiam. Sebenarnya cara mengajar Pak Damar biasa saja, tapi
entah mengapa aku tidak merasakan bosan jika Pak Damar mengajar, mungkin karena ia
selingi dengan cerita, maklumlah karena dia seorang penulis puisi dan cerita, dan kabarnya
dia juga pandai melukis.
Kedekatanku dengan Pak Damar kian hari kian erat. Sejujurnya aku sendiri memang
merasa senang dengan kedekatan itu, hingga suatu hari aku punya permintaan padanya.
“Aku boleh memanggil Pak Damar, papi?”
“Mengapa? Bukankah kamu sudah punya Papa?”
“Tidak bolehkah, aku punya Papa sekaligus Papi?”
“Boleh saja. Tapi bukan karena kamu membenci Papamu, kan?”
“Bukan. Aku kagum Pak Damar. Aku sayang Pak Damar.”

8
Sejak aku menganggapnya papi, setiap hari aku ingin bersama dia.
Ada kerinduan yang sangat jika sehari saja tidak bertemu dan berbincang dengannya.
Akhirnya aku sangat suka bersekolah, dan aku benci jika sekolah libur. Papa dan mama
sempat heran karena hal ini.
Satu lagi kejadian yang aku sukai, jika papa dan mama berhalangan mengantarku ke
sekolah atau menjemputku pulang sekolah, dengan begitu aku bisa membonceng Pak
Damar. Sama halnya yang terjadi di bulan Mei. pagi itu pihak sekolah mengumumkan
semua siswa dipulangkan pagi. Menurut keterangan, hari itu akan ada demonstrasi
serempak. Akhirnya aku benar-benar pulang bersama Pak Damar.
“Meme, pegangan ya,” kata Pak Damar tiba-tiba.
“Ya, pi,” kataku singkat.
Aku memegang pinggang Pak Damar. Hatiku merasakan ada perasaan yang aneh. Aku
belum paham benar apa itu. Tidak seperti perasaan antara anak dan papinya. Aku
merasakan hatiku tidak menentu, bahkan Pak Damar yang berbicara terus mengenai
keadaan yang sedang terjadi, tidak begitu aku dengarkan. Tapi ketika sekilas aku
perhatikan kata-katanya, aku jadi merasa ngeri.
Katanya, akan ada gerakan demonstrasi mahasiswa besar-besaran masalah ekonomi negara.
Hal itu dipicu dengan kenaikan harga minyak, akhirnya semua harga barang naik. Tanpa
sadar rasa takut tiba-tiba menjalar ke diriku hingga tak sengaja aku melingkarkan tanganku
di pinggang Pak Damar dan emerbahkan kepalaku ke punggungnya.
“Meme, ngantuk?” tanya Pak Damar.
Aku tidak menjawabnya. Aku terdiam seribu bahasa. Hanya hangat tubuh PakDamarlah
yang membuatku nyaman. Dan setelah itu rasanya cepat sekali kami sampai di depan
rumah.
Menjelang sore hari, Pak Damar menemui kami lewat pintu tembus itu. Pak damar
menganjurkan kami pindah ke rumahnya. Menurut informasi, aksi para demonstran tiba-
tiba berganti jadi aksi para perusuh dan sudah tidak terkendali. Dari mereka telah ada yang
mendekati daerah Pasar Nongko. Mereka membakar dan menjarah sebagian toko-toko
milik keturunan Tionghoa.
Belum selesai Pak Damar bicara, rumah kami sudah dibuka paksa segerombolan orang
yang sangat beringas. Sedetik kemudian rumah kami telah terbakar. Kami seperti
mematung menyaksikan kebrutalan itu. Tubuhku menggigil. Papa dan mama histeris dan
aku ditinggal sendirian. Secepat kilat Pak Damar menyambar tubuhku. Aku dipeluknya erat
sekali. Lagi-lagi pelukan itu membuatku nyaman. Tapi bersamaan dengan itu sebuah kayu
yang cukup besar jatuh persis pada posisi kami berdua. Kayu itu mengenai kepala Pak
Damar. Kepala Pak Damar mandi darah, dan akhirnya jatuh tersungkur menimpa tubuhku.
Aku menangis sekeras-kerasnya. “Papiiiii!”
***
“ME, ini diminum dulu, kata Bu Ani membuyarkan lamunanku.
“Oalah, Bu Ani, tidak usah repot-repot, nanti aku ambil sendiri.”

9
“Tidak apa-apa, kan tidak tiap hari Ibu bisa melayani Meme.”
“Bu Ani, sebentar. Jangan pergi dulu, duduk di sini dulu,” kataku pada Bu Ani.
“Ada apa, Me?”
“Bapak dimakamkan di mana, Bu?”
Kulihat wajah Bu Ani yang semula kelihatan bersemangat mendadak jadi meredup.
“Maaf ya Bu, bukan maksud Meme membuat Bu Ani sedih,” kataku kemudian.
“Tidak apa-apa kok, Me.”
“Aku ingin ke makam Bapak, Bu.”
“Kok kamu ya masih ingat Bapak to, Me?”
“Bu Ani gimana, masak ya aku lupa.”
“Besok, Ibu antar ke sana.”
“Makasih ya, Bu.”
“Oya, ibu mau mengenalkan seseorang padamu. Nias, ke sinilah.”
Aku terkejut, melihat orang yang dipanggil Bu Ani itu, rasanya seperti sudah kukenal
dengan baik, terutama saat aku melihat tatap mata dan senyumnya. Mata dan senyum itu
persis dengan mata dan senyum Pak Damar.
“Namanya Nias. Anak ibu yang dulu tinggal bersama simbahnya di desa.”
Tidak lama kemudian ibu Ani permisi ke dapur hendak melanjutkan memasak,
meninggalkan kami berdua. Perbincanganku bersama Nias semakin membuat perasaanku
kalang kabut. Peristiwa dmei peristiwaku bersama Pak Damar seperti kembali terurai satu
persatu dalam lamunanku. Bagaimana aku bisa melupakannya? Banyak kenangan indahku
bersamanya. Paling tidak, begitulah yang kurasakan.
Pagi berikutnya aku diantar Bu Ani ke makam Pak Damar. Setelah membersihkan di
sekitar makam, kami berdoa. Selesai berdoa aku belum mau beranjak dari pusaranya.
“Bu Ani, aku ingin sendiri di sini sebentar.”
“Baik, Me. Aku tunggu di mobil saja, ya?”
“Baik, Bu. Makasih.”
Lama aku terdiam sendiri di makam itu. Tidak kuasa kutahan, air mataku jatuh juga.
“Papi, aku ayang Papi. Pelukan yang selalu emmbuatku nyaman. Tapi aku tidak ingin
pelukan yang terakhir itu, karena pelukan itulah yang membuat Papi pergi selamanya. Aku
berkenan dekat dengan Papi karena hati. Papi tentu tahu, hati tidak bisa berbohong jika hati
sudah berkehendak. Aku tidak pernah menanyakan sesuatu karena aku tidak ingin
bertanya. Yang penting aku sayang papi. Akutidak menuntut karena aku tidak berhak
menuntut. Dana ku menyadari semua perbedaan itu.”
***
SAMPAI juga waktunya kami harus kembali keJakarta, kata papa dan mama biarlah toko
dan rumah itu terus diurus Bu Ani dan Nias. Sebelum kami meninggalkan rumah itu, tiba-
tiba Bu Ani memintaku menunggu sebentar. Setelah masuk rumah, Bu Ani mendekatiku
dan menyerahkan sesuatu padaku, ada dua barang, yang satu kecil dan lainnya besar. Kata
Bu Ani, barang itu kepunyaan Pak Damar yang mungkin dimaksudkan untukku.

10
Penasaran dengan kedua barang itu, dalam perjalanan aku membukanya. Yang besar
ternyata sebuah lukisan wajahku semasa SMP karya Pak Damar, dan yang kedua sebuah
buku kumpulan puisi karya Pak Damar, berjudul Sajak Buat Meme. Tak bisa aku tahan
lagi, air mataku jatuh untuk yang ke sekian kali, dan bersamaan itu, lagu lama dari
Kerispatih yang berjudul Mengenangmu mengalun pelan di radio mobil papa. (k) []

Yuditeha (Yudi Setiawan): aktif di Komunitas Sastra Alit Surakarta, tinggal di jaten
Karanganyar Surakarta.
Rujukan:
Disalin dari karya Yuditeha
Pernah tersiar di surat kabar “Minggu Pagi” pada 23 Mei 2015

11
Cerpen 4
Gadis Perahu
(Karya Muhammad Saleh. Dikliping tanggal 25 Mei 2015 dalam kategori Arsip Cerpen,
Cerita Remaja, Koran Lokal, Minggu Pagi)

“GADIS perahu?”
Yasir menoleh, ia mulai tertarik mendengar ceritaku. Gadget yang sedari tadi sibuk ia
mainkan segera dietakkan di meja dan menatap antusias, sambil mengubah posisi duduk
untuk mendengar ceritaku. Ia sedikit merapat.
“Aku jadi penasaran, siapa sih gadis yang bisa membuatmu jadi kayak orang gola. Kadang-
kadang bisa senyum-senyum sendirian. Haha….”
Aku menenegus kesal dengan candanya sambil menoyor kepalanya.
“Aku juga tak tahu siapa dia sebenarnya. Makanya aku menamainya gadis perahu. Yang
jelas dia gadis yang manis,” pujiku seraya menghayalkan senyumannya ketika waktu itu
tanpa sengaja mata kami bersitatap dalam. Ia lalu menunduk dan tersipu.
“Emang kalian ketemu di mana?”
“Pasar terapung. Ia bersama seorang perempuan yang mungkin Ibunya menjual buah dan
sayuran,” jelasku. Aku menarik secangkir jus jeruk dan meminum sedikit. Aku menunggu
reaksi Yasir.

Pasar terapung yang ada di Muara Sungai Kuin memang menjadi pasar kebanggaan warga
Banjarmasin. Banyak orang luar kota, bahkan bule yang sengaja datang menyaksikan
keunikannya. Mereka rela bangun pagi-pagi demi melihat cara bertransaksi jual beli yang
unik sampai aneka dagangan yang bervariasi yang tak kalah dengan pasar tradisional yang
ada di darat. Bahkan, pasar ini sering diliput media-media nasional juga mancanegara.

“Jadi di pasar terapung juga ada gadis penjual yang cantik?” Yasir menyangsikan ceritaku.
Memang kebanyakan yang berjualan adalah ibu-ibu, bapak-bapak dan nenek-nenek.

12
Aku hanya mengangkat bahuku. Aku tahu, Yasir tak akan percaya sampai ia melihat
sendiri dengan dua bola mata besarnya. Tipe cowok yang selalu ingin dikasih bukti.
Kasihan cewek kalau sampai pacaran dengannya.
“Besok kita ke sana?”
Aku menggeleng. “Besok kita ada kuliah pagi. Jadi tak mungkin ke sana.”
“Kalau begitu siang-siang kita ke sana,” Yasir makin memaksa
“Haha… dasar oon.. Pasar terapung kalau siang sudah pada bubar.” Aku berhasil membuat
Yasir manyun dan kesal.
***
“ALDRI!”
Seseorang memanggil namaku di belakang. Dari suaranya jelas ia seorang perempuan,
tetapi aku tak mengenali suaranya.
“Ya….” Aku berbalik ke arah suara. Dia seorang gadis. Berambut panjang dan berkulit
putih. Di kedua sisi pipinya menampakkan lubang kecil yang membuat senyumnya
semakin menawan. Aku terkesima sesaat. Dan otakku mulai mencari-cari di mana telah
menyimpan wajahnya. Dia seperti tidak asing lagi di ingatanku.
Tantri. Cewek teman facebook-ku. Cewek yang selalu suka kasih komentar atau sekadar
like pada setiap statusku. Kini ia ada di hadapanku. Aku tak menyangka bisa bertemu
dengannya di dunia nyata.
Ia dari Bandung dan terpaksa harus pindah kuliah demi tetap bersama kedua orangtuanya.
Ayah dan ibunya tidak yakin meninggalkan anak semata wayang tanpa pengawasan di
tengah kota yang serba mengusung kebebasan. Ayahnya dipindah tugas ke Banjarmasin.
“Sebenarnya ayahku yang meminta dipindahkan ke sini. Ia asli orang Banjar dan ingin
menghabiskan sisa hidupnya di tanah kelahirannya. Keluarga besar Ayah masih banyak di
sini,” jelasnya ketika aku harus bertanya kenapa tidak tetap kuliah di Bandung saja.
“Oya, bagaimana kalau kita foto dulu. Aku ingin kirim ke instagram dan update status
kalau kita udah ketemu.” Tantri langsung mengalihkan topik pembicaraan. Memang
kurang asyik membahas masalah keluarga saat baru bertemu seperti ini.
Tantri mengeluarkan Android dari dalam tasnya. Menekan halus pada layar beberapa kali,
dan kamera belakang dengan resolusi tinggi ‘menembak’ dan merekam wajah kami.
“Aku boleh ikut nggak?” Yasir yang dari tadi diam langsung ikut beraksi. Merapikan baju
dan rambutnya, serta memaang gaya sok cool.

“Iya, boleh. Tapi setelah ini ya.” sela Tantri lembut.


Yasir mundur teratur dan kembali duduk ke kursinya. Aku cekikikan melihatnya.
Klik… klik… klik…

Kami berpose berbagai gaya dan latar. Foto-foto khas anak muda. Yasir melongo seakan
tak percaya kalau aku juga bisa sedikit narsis.

13
Ketika Tantri menggeser beberapa foto untuk mencari foto-foto kami yang diambil
barusan, aku seperti mengenali foto seseorang.
“Coba balikkan ke foto yang tadi,” pintaku dengan pandnagan tajam menatap layar ponsel.
“Ini?”
“Iya, foto yang ini.”
Belum sempat aku melihat dengan jelas dan seksama. Tiba-tiba ada panggilan masuk.
Tantri lekas mengangkatnya. Seketika wajahnya pias dan cemas.
***
AKU, Yasir dan Tantri setengah berlari di koridor Rumah Sakit Ulin Banjarmasin. Kami
langsung menuju ruang ICU. Gadis perahu yang selama iniingin sekali aku ketahui
tentangnya ternyata sepupunya Tantri.
“Dia masih kritis,” jawab Ayah Tantri, ketika anak kesayangannya menghambur dengan
berbagai pertanyaan yang menyiratkan kecemasan.
Dua orang yang duduk di kursi di dekat kami menunjukkan gurat sedih yang begitu dalam.
Aku yakin, mereka orangtua gadis perahu itu. Gadis itu dalam kondisi kritis akibat
kecelakaan motor yang menimpanya. Aku dan Yasir hanya bisa diam, dan gelisah. Tantri
sudah tak mampu menahan lelehan kesedihan. Aku ingin menguatkan, walaupun masih
terasa canggung.
Krak…!

Seorang perawat keluar dari ruang ICU. Perempuan berbaju putih itu tergopoh-gopoh
mendekat ke arah kami. Napasnya tidak teratur akibat diburu waktu.
“Gadis itu kehilangan banyak darah. Ia memerlukan golongan darah A. Rumah Sakit ini
kehabisan stok darah, karena tadi pagi juga ada pasien bernasib sama dengannya. Kami
memang sudah mengirim orang untuk mencari darah di rumah sakit lain, ettapi dokter
khawatir akan kehabisan waktu menolongnya. Apa ada di antara kalian yang bergolongan
darah A?” Tanpa jeda perawat itu langsung menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Ia
menunggu jawaban dan reaksi kami.
Kami semua saling pandang. Yasir langsung menyenggol bahuku, dengan dagunya ia
memberi tanda. Aku menarik napas dalam, dan emmbisikkan sesuatu pada Tantri.
***
KONDISI mulai membaik, namun dokter masih belum mengizinkan pulang.
Perkembangan kesehatannya masih harus dipantau dokter. Untunglah, waktu itu nyawanya
masih bisa diselamatkan. Sang pahlawan telah mendonorkan darahnya. Aku sangat
bersyukur, bisa melihat kembali senyuman manisnya ketika pertama kali melihatnya.
“Mereka tampak sangat akrab,” bisik Tantri.
“Ya…” Aku mengangguk pelan.
Ada rasa yang menelusup dalam hatiku. Entah rasa macam apa yang kurasakan ini. Sulit
kujelaskan. Semenjak Yasir mendonorkan darahnya untuknya, mereka seperti punya ikatan

14
batin. Darah yasir telah mengalir dalam tubuh gadis itu. Apa pun yang menjadi bahan
obrolan mereka selalu nyambung. Mereka selalu tertawa riang.
Tiba-tiba ada sentuhan halus di jemari tanganku. Kumelirik Tantri. Ia terseyum.
“Semoga kita berdua juga bisa seakrab mereka.”
Aku hanya menjawab dengan senyuman. Tantri menggenggam erat tanganku.
Kualihkan pandangan apda gadis yang sudah mulai menemukan harapan itu. Ah, kenapa
aku baru bisa mengetahui namanya setelah kecelakaan. Semuanya sudah terlambat, hatinya
sepertinya sudah bertaut pada Yasir.
Sarah. begitulah nanti aku akan memanggil si gadis perahu.

Muhammad Saleh kelahiran Abung Kalsel, 03 Juni 1985, tinggal di Bawan Bukat barabai
Hulu Sungai Kalimantan Selatan.
Rujukan:
Disalin dari karya Muhammad Saleh
Pernah tersiar di surat kabar “Minggu Pagi” 24 Mei 2015

15
Cerpen 5
Pelajaran Minum Kopi
(Karya Bayu Pratama. Dikliping tanggal 19 Mei 2015 dalam kategori Arsip Cerpen, Koran
Lokal, Minggu Pagi)

AKU kira secangkir kopi akan menjadi hal yang baik untuk sekarang ini. Sebuah ruangan
yang ramai. Orang-orang sedang sibuk dengan dirinya sendiri, termasuk aku yang berharap
mendapatkan secangkir kopi.
Sudah satu jam aku menunggu. Aku kira itu membuatku tidak sabaran, gelisah dan bosan.
Kebosanan adalah alat yang ampuh menurutku. Dia membunuhmu dari dalam, perlahan
dan pasti. Bagian menyebalkannya, kau tidak akan mati.
Di belakangku orang-orang duduk dengan rapi. Tapi mereka sangat berisik menuruku. Aku
berpikir, kenapa mereka tidak memesan sesuatu? Kopi misalnya.
Di sebelah kiri, dekat meja pelayan, seorang pria duduk dengan rapi di depan mesin
ketiknya. Tapi dia belum mengetik apa pun. Mungkin kepalanya sedang kosong. Atau
karena sesuatu yang ingin ditulisnya sebenarnya belum terjadi? Atau mungkin karena
alasan yang lain.

Aku semakin gelisah. Beberapa kali aku mengubah cara duduk. Aku kira aku juga
berkeringat. Ada sapu tangan di kantung celanaku. Tatapan pelayan yang ada di depanku
membuatku merasa semakin gugup. “Pelayan sialan,” kataku dalam hati. Aku bersandar
dengan pasti. Walaupun aku tidak menyukai tatapannya, aku biarkan tatapannya itu
memasuki mataku. Mungkin setelah dia menemukan ketidakpedulian di sana, dia akan
berhenti.

Brak! Suara pintu ruangan terbuka. Seorang pria dengan tampilan serba putih — kecuali
rambut dan sepatunya yang berwarna hitam mengkilat- masuk ke dalam ruangan.

16
Rambutnya klimis, sedikit terlalu mengilap menurutku. Di tangan kanannya dia menenteng
sebuah koper yang warnanya sama seperti rambut dan sepatu yang dipakainya. Sedikit
tergesa-gesa, dia duduk di sebelahku.
“Aku hampir mati bosan menunggumu.”
“Ada yang hilang. Aku harus mencarinya dulu agar semuanya siap.”
“Sebenarnya aku ingin marah. Untung saja kau berdandan seperti kopi yang kebanyakan
krim.”
“Kopi?” Dia bertanya padaku. Aku kira dia kebingungan. Seperti, kenapa kopi?/kau
minum kopi?/ dari sekian banyak minuman yang bisa kau pesan, kopi?
Dia membuka koper yang dibawanya. Mengeluarkan beberapa lembar kertas, dan
menaruhnya di depanku. Aku kiraitu adalah tanda dia ingin agar aku membaca tulisan yang
ada di kertas-kertas itu. Menurutku ini akan menjadi hal yang penting. Tapi aku sedang
tidak berselera. Dengan gerakan malas aku menggeser kembali kertas-kertas itu. Sebagai
tanda agar dia saja yang membacanya. Dia hanya diam, melihatku lurus.
Brak! Suara pintu ruangan terbuka lagi. Aku tidak pernah menyangka siapa yang datang.
Dari sekian banyak kemungkinan yang ada di dunia ini, seorang pria dengan jas berwarna
coklat masuk ke dalam ruangan. Dari raut wajah dan warna rambutnya yang hampir
semuanya putih kau akan menduga berapa usianya. Pria yang masuk itu adalah musuhku.
Dia duduk di meja sebelah. Di sebelahnya duduk seorang yang memaki pakaian serba
hitam, jas, kemeja, celana, dan sepatu. Aku kira dia sempat melirik ke arahku. Dan itu
membuatku merasa agak kesal.
Berkacamata dan dengan wajah yang tidak ramah sama sekali, seorang pelayan –sepertinya
yang paling senior– mulai berbicara dengan pelayan yang lain. Sesaat dia mengumumkan
sesuatu. Suaranya mengisi seluruh ruangan. Membuat semua orang yang ada di ruangan ini
diam.Kecuali aku, pria di sebelahku, musuhku, dan pria di sebelahnya.
Aku melirik ke meja sebelah, tempat musuhku itu duduk. Dia dan orang di sebelahnya
terlihat tenang. Aku tahu, diam-diam musuhku itu juga tahu aku ada di ruangan yang sama
dengannya, saat ini. Aku tahu, diam-diam dia juga melirikku. Dia tertawa terkekeh. Aku
tahu itu, walaupun aku tidak mendengar suara tertawanya. Dan aku membenci itu.
“Lihat ke meja sebelah.Tapi jangan langsung, perlahan saja. Dia datang juga,” kataku pada
pria di sampingku, sedikit berbisik.
“Aku tahu. Dia pasti akan kalah kali ini.”
Sebenarnya aku tidak peduli. Tentang kalah dan menang. Perselisihan kami sudah terlalu
lama untuk dapat aku ingat kembali asal-mulanya. Seingatku semua masalah di dunia ini
berasal dari satu hal: persetujuan. Apakah kami pernah setuju?
“Aku merasa semakin muak. Kenapa dia juga datang? Aku benar-benar butuh secangkir
kopi rasanya.”
“Jangan mengeluh. Setelah semua ini beres, kau dan aku akan minum kopi. Sebelumnya,
baca dan plajari dulu berkas-berkas ini.”

17
Pria di sebelahku perlahan menggeser lagi kertas-kertas yang ditaruhnya di depanku. Aku
agak sedikit malas. Maka kertas itu aku geser lagi ke arahnya. Kemudian dengan sedikit
mengerang –atau apa pun bunyi yang dia keluarkan dari mulutnya– dia menggeser lagi
kertas-kertas itu ke arahku. Aku melihatnya dengan malas.
Dreet! Suara kursi bergeser di lantai. Tiba-tiba pria di sebelah musuhku terjaga dari
duduknya. Dia melangkah ke tengah ruangan, tepat ke depan meja pelayan, dan mulai
berbicara di sana. Dia berhasil mendapat perhatian dari semua orang, kecuali dariku, dan
dari pria di sebelahku tentunya.
“Lihat apa yang dia lakukan,” kataku pada pria di sebelahku.
“Kenapa kau selalu mengeluh. Dia hanya sedang berdiri di tengah ruangan dan
menyampaikan sesuatu. Apa masalahnya?”
“Aku kira karena tidak ada kopi di sini.”
“Kopi?” Dia bertanya padaku. Nadanya sama persis dengan pertanyaan pertamanya ketika
pertama kali aku menyinggung masalah kopi.
“Kenapa? Apa ada masalah dengan kopi?”
Dia hanya diam. Pertanyaanku malas untuk ditanggapinya, mungkin seperti itu. Dia
menghela napasnya sejenak. Kemudian kembali sibuk merapikan benda apa pun yang ada
di dalam kopernya.
Aku rasa aku penasaran. Kenapa tidak ada yang memesan secangkir kopi, dan
meminumnya.
“Kau, tak bisa minum kopi?”
“Bukannya tidak bisa. Hanya saja aku tidak suka, karena rasa pahitnya itu.”
“Kau akan terbiasa,” timpalku sekadarnya. Aku merasa ada yang menggangguku. Dan aku
malas memikirkan hal apa itu.
“Pelajari saja berkas yang aku berikan itu, sebentar lagi waktunya mulai. Lagi pula, kenapa
aku harus terbiasa dengan sesuatu yang tidak aku sukai? Aku kira kopi bukan hal yang
perlu kita bicarakan saat ini.”
“Kopi sama seperti hidup. Sudah pahit sejak awal dia diciptakan. Hanya saja kau bisa
menambahkan banyak krim atau gula jika kau mau. Tapi rasanya tidak akan seenak kopi
sederhana dengan sedikit gula, tanpa krim tentu saja. Aku hanya sedang merasa tidak
tenang, dan aku merasa aku butuh kopi.”
“Aku di sini untuk membantumu. Apa kau bisa berhenti membahas kopi? Baca saja berkas-
berkas ini.”
Tangannya menggeser sedikit kertas-kertas yang ada di depanku, lebih dekat denganku
lagi. Aku tahu ini penting. Tapi rasanya-rasanya aku tidak peduli.
“Kau butuh mengerti situasi ini lebih rumit dari yang kau pikirkan,” sambungnya
kemudian.
“Aku kira kau dan dua orang di meja sebelah butuh pelajaran minum kopi,” timpalku
dengan malas lagi. Dengan sedikit gerakan aku menggeser lagi kertas-kertas yang ada di
depanku ke arahnya.

18
Dia hanya diam. Aku kira dia menatapku dengan pasrah. Orang-orang masih sibuk dengan
dirinya masing-masing. Pria dengan mesin ketik yang duduk di dekat meja pelayan belum
juga menulis sesuatu. Aku kira dia belum menemukan apa yang akan ditulisnya. Atau
mungkin yang ingin ditulisnya belum terjadi? Atau mungkin karena hal lain.
Aku mengangkat tangan. Sebagai tanda ingin memesan. Pelayan yang sebelumnya
membuatku kesal dengan tatapannya melihat ke arahku lagi.
“Pesan kopi satu. Tolong gulanya dipisah,” kataku sambil sedikit berteriak.
Beberapa wartawan tiba-tiba datang. Blitz kamera membuatku silau. Aku mengira-ngira
apa aku tiba-tiba terkenal karena memesan secangkir kopi? Orang-orang menjadi ribut.
Pelayan tidak bergerak sedikit pun dari tempat duduknya. Bukannya membuat pesananku,
pelayan itu malah memukul-mukulkan palu yang ada di dekatnya, meminta semua orang
yang ada di ruangan ini untuk tenang.Musuhku yang duduk di meja sebelah tertawa
terbahak-bahak. Aku tidak peduli. Pria dengan mesin ketik yang duduk di sebelah kiri ulai
menulis sesuatu. (k)

[] Mataram, 23 Maret 2015


*) Bayu Pratama: lahir di Aiq Dewa Lombok Timur, 2 Mei 1994.Mahasiswa Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Mataram.
Rujukan:
Disalin dari karya Bayu Pratama
Pernah tersiar di surat kabar “Minggu Pagi” 17 Mei 2015

19
PENUTUP

Cerpen atau Cerita Pendek sering sekali kita temukan diberbagai media massa bahkan
dipelajaran sekolah. Walaupun sudah sering sekali mendengarkata Cerpen atau Cerita
Pendek namun ternyata masih banyak juga yang belum terlalumemahami apa itu
Pengertian Cerpen dan apa saja ciri-ciri cerpen.
Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpenadalah salah satu bentuk prosa
naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan
karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek
yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra, seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan
insight secara lebih luas dibandingkan denganfiksi yang lebih panjang.
Penulis berharap para pembaca tidak hanya membaca makalah ini dengan iseng-
iseng,tetapi pembaca mau mempelajari isi dari makalan ini untuk pengetahuan atau
penngamalan didalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam pendidikan.
Pembaca diharapkan untuk dapat mengambil kebaikan-kebaikan yang terdapat dalam
Kumpulan Kliping ini, serta bisa mengamalkannya dalam kehidupan. Pembaca juga
diharapkan untuk dapat memberikan pengarahan apabila dalam Kumpulan Kliping ini
masih terdapat kekurangan atau kesalahan, guna untuk memberikan motifasi kepada
penulis.

20
DAFTAR PUSTAKA

https://klipingsastra.com/id/kumcer/2015/06/cerita-di-balik-pintu.html
https://klipingsastra.com/id/kumcer/2015/06/tukang-tulis-puisi.html
https://klipingsastra.com/id/kumcer/2015/05/papi.html
https://klipingsastra.com/id/kumcer/2015/05/gadis-perahu.html
https://klipingsastra.com/id/kumcer/2015/05/pelajaran-minum-kopi.html
https://www.academia.edu/5160511/MAKALAH_CERPEN

21

Anda mungkin juga menyukai