Anda di halaman 1dari 25

Tukar Tubuh 3

Fear Street - Tukar Tubuh Switched Bagian 3

Akhirnya aku naik ke bus. Pintunya menutup di belakangku. Sopir bus memutar kemudi dan bus
menggelinding menjauhi trotoar.

Aku mengintai ke belakang melalui pintu kaca. Kedua polisi itu masih di tempat mereka berjaga-jaga di
samping pintu sekolah. Mereka tidak melihatku.

Kupalingkan kepalaku kembali ke depan, melihat ke sopir bus, seorang tua berwajah merah dan bermata
biru, yang melirikku dengan curiga. "Bukannya kau seharusnya sekolah?" tanyanya, melambatkan bus di
lampu merah.

"Saya"saya sakit," aku berdusta. "Saya..." Aku baru sadar tidak punya uang kecil. Hanya uang yang
kujejalkan ke saku jins tadi.

"Stop!" teriakku. "Berhenti!"

Si sopir bus mengerutkan kening, tapi mau juga menghentikan bus di tepi jalan.

"Saya"lebih baik saya turun di sini," kataku terbata-bata.

Ia membuka pintu. Aku melompat turun ke jalan. "Maaf!" seruku. Tapi ia telah menutup pintu bus.

Bus itu bergemuruh pergi. Lalu aku memandang berkeliling. Aku berada satu blok dari gedung sekolah.
Cukup jauh untuk lepas dari mata kedua polisi tadi.

Tapi bagaimana sekarang"

Aku masih tetap perlu bicara dengan Margie atau Hannah.

Aku tidak bisa menghabiskan seluruh hidupku dengan terus-menerus lari dari kedua polisi itu, pikirku
dalam hati dengan sedih. Aku harus menemukan Lucy. Dengan cepat!

Aku berjalan perlahan-lahan kembali ke gedung sekolah sambil berpikir keras. Aku tidak tahu apakah
ada polisi juga di pintu belakang. Sambil berjalan sepanjang pagar tanaman yang tinggi, aku pergi ke
belakang gedung sekolah.

"Hei"sedang apa kau di sini?"

Aku menjerit kaget. Ketika menoleh ke samping kulihat seorang ibu membawa slang penyiram tanaman.
"Sedang apa kau di halaman rumahku?"
"Maaf," jawabku. "Saya mau ke sekolah."

"Ini bukan jalan pintas!" katanya ketus.

Aku cepat-cepat menerobos sela-sela tanaman pagar keluar ke jalan.

Kulihat pintu belakang juga dijaga. Dua polisi lain berjaga-jaga di pintu seberang tempat parkir murid.

Aku lari menyeberang jalan dan merapat ke dinding tinggi sepanjang stadion sepak bola. Aku istirahat
sebentar di sana mengatur napasku.

Kudengar bel pertama berbunyi. Anak-anak sudah ada di dalam semua sekarang, kecuali seorang anak
lelaki yang ngebut mendayung sepedanya ke tempat penyimpanan sepeda.

Sambil tetap berlindung di bayangan dinding pagar, aku maju beberapa langkah ke belakang sekolah.
Aku bisa melihat kedua polisi itu dengan jelas. Mereka menggeleng-geleng, bicara dengan kening
berkerut.

Menyerah. Pasti mereka berniat menangkapku waktu aku muncul di sekolah. Tapi sekarang mereka
kecewa dan menyerah.

Aku benar. Kuperhatikan mereka melangkah pergi dari pintu belakang sekolah. Mereka pergi ke depan,
mungkin bergabung dengan kedua teman mereka.

Kutunggu beberapa saat sampai aku yakin mereka tidak kembali. Lalu aku berlari secepat-cepatnya ke
gedung sekolah.

Aku punya rencana. Rencana untuk menemui Margie.

Kubuka pintu belakang dan aku merunduk masuk. Aku berdiam beberapa detik sampai mataku terbiasa
dengan cahaya redup di koridor. Sepi. Semua orang sudah masuk ke kelas.

Bel kedua berbunyi ketika aku merayap ke ruang olahraga, di balik tikungan koridor di sebelah kanan.
Kubuka pintunya dan cepat- cepat aku masuk.

Tak seorang pun ada di sana. Ruang olahraga sudah seperti oven panasnya pagi-pagi begini. Ketika
menoleh ke bangku di atas, kulihat salah satu ujung spanduk GO, TIGERS lepas dari pakunya. Ujung
spanduknya jatuh menyentuh deretan bangku paling atas.

Sepatu ketsku berdecit di lantai ketika aku berlari ke tempat ganti pakaian untuk wanita. Jam pelajaran
keempat Margie olahraga. Sama seperti aku.

Aku bermaksud sembunyi di ruang ganti sampai saat itu.

Lalu akan kutarik Margie ke samping dan kuajak bicara berdua saja. Akan kupaksa dia mengatakan di
mana Lucy.
Kubuka pintu ruang ganti dan melangkah masuk. Ruang ganti terasa lebih sejuk dibanding ruang
olahraga. Terdengar bunyi tik-tak tetesan air di kamar mandi.

Di mana aku bisa sembunyi"

Aku cepat-cepat melangkah melewati bangku-bangku kayu dan lemari-lemari gelap. Seseorang telah
meninggalkan sepatu olahraga hitam di lantai, membuatku tersandung.

Di dinding belakang ada lemari peralatan. Pintunya agak terbuka. Kubuka lebar-lebar dan kuintip ke
dalamnya.

Kosong. Ketika aku memandang ke bawah kulihat seekor tikus mati di lantai. Tapi setelah aku
memicingkan mata melihatnya baik-baik, ternyata hanya setumpuk debu.

Kudengar suara-suara. Di belakangku di pintu ruang ganti. Cepat-cepat aku masuk ke lemari dan
menutup pintunya dari dalam.

Aku melangkah mundur di dalam kegelapan sampai punggungku merapat ke dinding belakang lemari.
Udara terasa pengap dan bau. Kubiarkan pintunya agak terbuka sedikit. Sekarang kudengar lebih jelas
suara-suara. Suara anak-anak perempuan yang kukenal, kaki-kaki melangkah, loker-loker dibuka.
Mereka sedang ganti baju. Mata pelajaran pertama mereka hari ini olahraga.

Aku harus menunggu lama, pikirku sambil menghela napas tanpa bersuara. Tapi tidak akan sia-sia kalau
aku berhasil menemui Margie dan memaksanya menceritakan padaku tentang Lucy.

Pelan-pelan kuturunkan tubuhku, aku duduk di lantai lemari. Tanganku menyentuh tumpukan debu tadi.
Kusapu jauh-jauh.

Aku tahu takkan ada orang yang membuka pintu lemari dan menemukanku disini. Tidak ada alasan bagi
siapa pun untuk masuk ke lemari ini.

Pintu-pintu loker berdentam tertutup. Ruang ganti semakin sunyi ketika cewek-cewek itu keluar ke
ruang olahraga. Kudengar gedebak-gedebuk bola basket. Miss Hawkins meniup peluitnya.

Kusandarkan punggungku ke dinding, kupejamkan mata, dan kubiarkan diriku perlahan-lahan ditelan
kegelapan. Hawa di dalam lemari mulai terasa panas dan lembap. Tapi aku tidak berani keluar. Selalu
saja ada cewek keluar-masuk ruang ganti begitu mata pelajaran dimulai.

Aku masih sanggup menunggu sampai mata pelajaran keempat, kuyakinkan diriku sendiri.

Dan saat-saat menunggu itu bisa kugunakan untuk berpikir. Berpikir tentang Lucy, mengapa dia sampai
hati membunuh tiga orang yang paling disayanginya. Mengapa dia sampai membenciku begitu rupa.
Mengapa dia menjebakku untuk menanggung semua perbuatannya.

Jam demi jam berlalu. Cewek-cewek ganti pakaian dan main basket, lalu ganti pakaian lagi dan kembali
ke kelas mereka.
Tapi aku masih belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku itu. Sepertinya jawabannya
jauh di luar jangkauan akalku, di balik dinding kabut tebal. Dan semua usahaku sia-sia saja untuk
menyingkirkan kabut tebal itu.

Ketika bel jam pelajaran keempat akhirnya berdering, kutepis semua pikiran yang membingungkan itu,
dan aku bangkit berdiri. Kudengarkan baik-baik suara cewek-cewek yang masuk ke ruang ganti, suara
yang sudah sangat kukenal.

Kudengar Margie bercanda dengan dua cewek lain. Sangat dekat. Begitu dekat sehingga kalau mau aku
bisa membuka pintu lemari, mengulurkan tanganku, dan merenggutnya.

Tapi aku menunggu. Margie selalu lambat berganti baju, selalu paling belakangan meninggalkan ruang
ganti. Kuharap hari ini pun dia akan berlambat-lambat seperti biasa. Aku ingin bicara dengannya tanpa
selusin cewek lain memperhatikan kami.

Kedua telapak tanganku menekan ke pintu lemari, aku bersiap-siap melenting ke luar. Kudengarkan
baik-baik. Aku harus menangkapnya sebelum dia keluar ke ruang olahraga.

Jantungku mulai berdegup kencang. Suara-suara seakan bercampur menjadi satu di telingaku. Kucoba
menutup telingaku dari semua suara itu kecuali suara Margie.

Sebuah jeritan melengking membuatku terlonjak kaget.

Kudengar beberapa jerit ketakutan lagi. Suara gerakan kaki. Teriakan-teriakan. Suara langkah orang-
orang berlarian.

Ada apa" Apa penyebab keributan itu"

Aku membuka pintu lemari lalu melompat ke luar.

Kulihat sekelompok cewek berpakaian olahraga. Ekspresi mereka tegang ketakutan.

Mereka ternganga menatap seorang cewek di lantai. Seorang cewek tergeletak di lantai ruang ganti.

"Margie?" teriakku.

Ya. Itu memang Margie. BAB 17 AKU mendesak ke tengah cewek-cewek itu. Tak seorang pun
memperhatikanku. Mereka semua menatap ke Margie.

Margie mengangkat tubuhnya sedikit untuk memegang betis kirinya. Wajahnya meringis kesakitan.
"Auw, aduh!" jeritnya. "Kakiku kram, sakit sekali!"

"Alasan, padahal kau cuma tak mau main," kata seorang cewek bercanda. "Kau tak mau keringatan
karena ada acara foto sekelas hari ini."

Semua orang tertawa. Tertawa tegang.

"Kau benar-benar bikin aku takut, menjerit seperti itu tadi," kata anak lain.
"Aku sendiri ketakutan," Margie mengerang, mengurut betisnya. "Tapi sudah lumayan sekarang."

Aku mundur selangkah. Lalu selangkah lagi.

Belum ada yang tahu aku ada di situ. Mereka semua sibuk memperhatikan Margie. Dua cewek
membantunya berdiri. Margie berjingkat-jingkat ke bangku kayu, lalu duduk.

Aku menyelinap masuk lagi ke lemari.

Kudengar peluit Miss Hawkins dari ruang olahraga.

"Sudah, sana," kata Margie. "Aku sudah tak apa-apa. Nanti aku nyusul."

Nasibku baik, pikirku. Memang sudah waktunya aku bernasib baik.

Kutunggu sampai yang lain pergi semua. Lalu cepat-cepat aku keluar. "Hai, Margie."

Margie yang sedang membungkuk mengusap-usap betisnya, tersentak. "Nicole...!" Wajahnya terlihat
terkejut. "Kau di sini?"

Aku bergerak ke depannya, siap-siap menghalanginya kalau dia berniat lari. Aku berdiri bertolak
pinggang. "Di mana Lucy?" tanyaku. Suaraku serak tersendat.

"Hah?" Margie pura-pura tidak mendengar pertanyaanku.

"Aku harus cari Lucy," kataku sambil mengertakkan gigi. "Aku tak main-main, Margie. Kau tahu Lucy ada
di mana, dan aku ingin tahu. Aku harus cari dia untuk bertukar tubuh kembali."

Margie bangkit berdiri. Meringis kesakitan. Kelihatannya kram di kakinya masih belum hilang.

"Nicole"duduk dulu," katanya pelan. Tangannya melambai ke bangku. Aku tidak bisa membaca arti
ekspresi wajahnya. Takut" Atau sedang berpikir" Mencari jalan bagaimana menghalangiku menemukan
Lucy"

"Aku tak ingin duduk," kataku dingin. "Aku ingin mencari Lucy. Sekarang juga. Aku ingin keluar dari
tubuhnya ini, Margie. Dan kau harus menolongku."

Margie menggigit bibir bawahnya. Matanya yang gelap bertumbukan dengan mataku. Kulihat ia
menelitiku, ingin tahu seberapa seriusnya aku.

Aku sangat memerlukan bantuannya. Aku sudah hampir putus asa, marah, takut, panik, semua
bercampur jadi satu. Mendadak saja tanpa kusadari, kata-kata keluar dari mulutku.

"Margie, dia mengajakku ke hutan," kataku, sambil memegang lengan Margie. "Dia membawaku ke
Tembok Pertukaran. Kami saling bertukar tubuh. Dia sudah cerita semuanya padamu, kan" Dia cerita?"

Margie tidak menjawab. Dia masih terus menatapku. Kulihat dia sedang berpikir keras.
"Tapi dia tak cerita tentang pembunuhan-pembunuhan itu," aku meneruskan, masih memegangi lengan
Margie. "Dia tak cerita dia membunuh kedua orangtuanya dan Kent. Itulah sebabnya kenapa aku harus
mendapatkan tubuhku kembali. Kau mengerti" Kau mengerti sekarang kenapa kau harus menolongku?"

Kulihat Margie menelan ludah, tenggorokannya bergerak-gerak. Dia melepaskan lengannya dari
peganganku. "Tembok Pertukaran?" gumamnya.

"Akan kubawa kau ke sana," kataku. "Akan kuperlihatkan padamu. Akan kubawa kau ke tempat kami
bertukar tubuh. Tapi sesudah itu..."

Matanya menyipit. "Nicole, kalau aku setuju pergi denganmu, maukah kau berjanji sesuatu padaku?"
tanyanya lembut dan pelan-pelan, seperti sedang bicara pada anak kecil.

"Janji?" tanyaku curiga. Aku tidak percaya padanya. Dia sudah satu kali membantu Lucy kabur. "Janji
apa?"

Ia mengusap-usap betisnya. "Kalau aku pergi denganmu ke Tembok Pertukaran, maukah kau kembali ke
sini denganku" Maukah kau kembali ke sini, dan menunggu di sini sampai aku memanggil orangtuamu
ke sini?"

"Tidak!" buru-buru aku menjawab. "Aku tak bisa menemui orangtuaku sampai kudapatkan tubuhku
kembali. Aku harus tahu di mana Lucy berada! Kau tak bisa menyembunyikannya dariku lagi!"

Mulutnya ternganga. Tapi dia tidak menjawab.

"Kau tahu di mana Lucy?" jeritku, habis kesabaranku. "Tahu?"

"Y-ya," dia mengaku. "Tapi, Nicole..."

Pintu ruang ganti terbuka. Kudengar suara-suara. Langkah-langkah kaki.

Sambil menjerit pendek aku menyelinap masuk lagi ke lemari. Aku bermaksud menarik pintu hanya
sampai hampir tertutup dan meninggalkan sedikit celah. Tapi aku menariknya terlalu keras dan pintu
tertutup dengan suara klik.

Suara-suara di luar lemari tidak terdengar jelas. Aku tidak bisa mendengar kata-kata yang diucapkan.
Mungkin seseorang datang untuk melihat bahwa Margie tidak kurang suatu apa.

Saatnya sangat tidak menguntungkanku, pikirku pahit, mencoba menenangkan jantungku yang
berdebar. Margie baru saja mulai mengaku bahwa dia tahu di mana Lucy berada. Dia sudah hampir
memberitahuku di mana aku bisa menemui Lucy.

Kutekankan telingaku ke pintu lemari, kudengarkan baik-baik.

Apakah Margie memberitahu cewek yang baru datang itu tentang aku" Apakah dia menyuruh cewek itu
memanggil Miss Hawkins" Apakah dia merencanakan untuk mengurungku di dalam lemari ini dan
memanggil orangtuaku"
Jangan. Tolong jangan lakukan itu! aku berdoa dalam hati. Tolong, Margie, jangan khianati aku seperti
yang dilakukan Lucy.

Kutekankan telingaku lebih rapat ke pintu lemari, kucoba mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

Tapi ruangan sudah sunyi sekarang.

Apakah cewek itu sudah pergi"

Aku membuka pintu lemari, mendorong pelan-pelan, mengintap ke luar.

"Tidak!" Aku menjerit parau ketika melihat Margie. Tergeletak di lantai lagi.

BAB 18 KALI ini bukan karena kakinya kram.

Kulihat genangan darah yang masih mengalir melebar di sekitar tubuhnya.

Kulihat kepalanya pecah terhantam. Tulang tengkoraknya retak. Pipinya hancur. Satu mata remuk
tertutup.

Kulihat besi bulat untuk tolak peluru di lantai di sampingnya. Berlumur darah.

Dan aku tahu Lucy sudah beraksi lagi.

Lucy menyelinap ke ruang ganti dan membunuh Margie. Menghancurkan kepalanya dengan besi tolak
peluru.

Meremukkannya. Meremukkannya lalu pergi.

Seluruh tubuhku bergidik dan gemetar tak terkendali. Dengan susah payah kualihkan pandanganku dari
pemandangan mengerikan itu.

Lucy, tega-teganya kau"

Pertanyaan itu tergores di benakku.

Bagaimana bisa kau melakukan pembunuhan berdarah dingin seperti ini"

Peluit Miss Hawkins melengking di luar menyentakkan diriku. Kuangkat mataku melihat ke pintu ruang
ganti.

Orang akan mulai masuk ke sini. Orang akan melihatku. Orang akan menemukan diriku berdiri di dekat
tubuh Margie yang remuk.

Aku berbalik, melawan rasa panikku.

Ruang ganti itu punya dua pintu. Yang satu menuju ke ruang olahraga. Yang lain keluar ke gang.

Aku tidak punya pilihan. Aku berbalik dan cepat-cepat keluar ke gang.
Di depan pintu aku berhenti, melihat ke kanan-kiri.

Tak ada siapa-siapa di sana.

Aku menarik napas dalam-dalam lalu mulai berlari. Aku harus keluar dari gedung ini tanpa terlihat siapa
pun.

Aku lari secepat mungkin. Hampir-hampir terbang.

Aku berdoa tak ada orang datang dari belokan dan mengenaliku.

Tolong, tolong"biarkan aku pergi!

Beberapa detik kemudian aku menghambur keluar dari pintu belakang dan lari menyeberangi tempat
parkir murid. Aku tidak menghentikan lariku sampai aku berada dua blok dari gedung sekolah.

Lalu aku terjatuh kecapekan di tengah rumput tinggi di sebidang tanah kosong. Rusukku terasa sakit,
puncak kepalaku berdenyut-denyut, aku duduk dengan mulut ternganga, terengah-engah seperti anjing,
keringat mengalir di pipiku.

Lucy mengikutiku. Ia mengikutiku ke mana pun aku pergi.

Kesadaran itu muncul di otakku. Seluruh tubuhku terasa dingin bagai diguyur air es.

Kenapa tidak kusadari itu sebelumnya"

Aku pergi ke tempat Kent. Dan dia membunuh Kent.

Aku pergi menemui Margie. Dan dia membunuh Margie.

Tanpa sadar, aku melonjak berdiri. Kulingkarkan kedua tanganku di depan mulut dan aku berteriak,
"Lucy"di mana kau?" suaraku serak.

Tak ada yang menjawabku. "Lucy"kau bisa melihatku" Kau lihat aku?" teriakku. "Aku tahu kau ada di
sini! Di mana kau, Lucy?"

Tak ada jawaban. Aku duduk lagi di rumput.

Kepalaku pusing. Aku sangat takut dan kesepian.

Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.

Aku berjalan tanpa arah seharian itu. Aku bahkan tidak ingat ke mana saja aku pergi atau apa saja yang
kupikirkan.

Apakah siang tadi atau malam ini aku sudah makan" Aku tak ingat.

Saat hari gelap kutemukan diriku di tembok kelabu di hutan Fear Street. Aku tidak tahu mengapa aku
selalu kembali ke sini. Mungkin aku berharap Lucy akan muncul di sini juga.
Tentu saja itu tidak terjadi.

Aku bersandar ke tembok, dan sekali lagi jatuh tertidur lelap tanpa mimpi.

Waktu fajar menyingsing aku terbangun dengan seraut wajah di benakku. Wajah bundar
menyenangkan, wajah kepucatan dikelilingi rambut keriting kelabu.

Wajah nenek Lucy. Aku duduk dan meregangkan tubuhku. Seluruh tubuhku terasa kaku karena tidur di
tanah keras. Pakaianku terasa lembap karena embun pagi.

Pelan-pelan aku bangkit. Matahari rendah di atas pucuk pepohonan, bersinar terang, bulat, merah,
besar sekali. Udara masih terasa sejuk.

Senyum di wajah nenek Lucy masih terbayang di mataku.

Bila Lucy sedang bertengkar dengan orangtuanya"dan itu sering terjadi"dia selalu pergi ke rumah
neneknya, Nenek Carla. Lucy sangat dekat dengan neneknya.

Apakah Lucy sudah puas mengikutiku" pikirku. Setelah dia membunuh empat orang, apakah akhirnya dia
memutuskan untuk kabur jauh-jauh"

Aku ingat dia telah membawa seluruh pakaiannya dari lemari di kamarnya. Berarti dia bermaksud pergi
ke suatu tempat.

Dan tanah pertanian Nenek Carla rasanya tempat yang paling masuk akal untuk ditujunya.

Tentu saja kalau Lucy pergi ke sana, Nenek Carla akan melihat tubuhku dan mengira aku yang datang.
Tapi ia takkan terlalu heran dengan kunjunganku.

Beberapa kali, waktu libur tahunan, Lucy dan aku berlibur di sana. Nenek Carla sudah seperti nenekku
juga.

Sambil berjalan keluar dari hutan, aku berusaha mengingat-ingat nama kota kecil tempat tanah
pertanian Nenek Carla.

Conklin. Nama itu tercetus dalam benakku. Ya. Conklin.

Kurogoh saku jinsku, kukeluarkan uang yang kuambil dari rumah kemarin. Seluruh tabunganku.

Aku menghitung uang itu sambil berjalan. Ya. Lebih dari cukup untuk membeli sarapan dan karcis bus ke
Conklin.

Di sudut jalan aku belok ke Mill Road. Kulihat Alma's, kedai kopi kecil di seberang jalan. Aku akan
membersihkan diriku di kamar kecilnya. Lalu sarapan. Dan langsung ke stasiun bus.

Aku menyeberang jalan. Harapanku timbul kembali.

Aku punya perasaan kuat. Aku punya perasaan tak lama lagi akan menemukan Lucy.
*********************************************

Bus ke Conklin baru berangkat pukul dua siang. Lalu sopirnya harus berhenti mengganti ban yang
kempes beberapa kilometer di utara Waynesbridge.

Sementara bus berguncang-guncang di jalan luar kota yang sempit dari satu kota pertanian kecil ke kota
pertanian kecil lain, aku mulai gugup dan semakin gugup.

Apa yang harus kukatakan pada Nenek Carla"

Tentu saja aku harus berpura-pura jadi Lucy. Dia takkan mengerti kalau kuceritakan pertukaran tubuh
kami. Dan dia begitu renta, aku tidak ingin membuatnya terguncang hebat.

Maka aku akan pura-pura jadi Lucy. Dan aku akan tanya apakah Nicole datang ke sana.

Lalu setelah itu" tanyaku pada diri sendiri.

Apa yang akan dilakukan Lucy ketika tahu aku berhasil mengejarnya" Apakah dia akan lari lagi" Ataukah
dia akan mencoba membunuhku juga"

Sahabat karibku... Sambil menatap kehijauan tanah-tanah pertanian yang terhampar sambung-
menyambung sampai ke kaki langit, aku berpikir tentang Lucy, sahabat karibku. Sahabat karibku.
Sahabat karibku.

Kata-kata itu kuulang berkali-kali dalam hati sampai kehilangan arti.

Tanah pertanian Nenek Carla terletak tidak sampai setengah kilometer dari halte bus Conklin.
Kuperhatikan bus menggelinding pergi, lalu aku mulai berjalan di bahu jalan yang ditumbuhi rumput
hijau tebal.

Bunga-bunga liar tumbuh di bidang tanah di sebelah kiriku. Rumput-rumput tinggi melambai-lambai
tertiup angin sepoi-sepoi.

Sekelompok agas beterbangan naik bagaikan asap keperakan di depanku. Tanpa bersuara, agas-agas
itu"ribuan jumlahnya"terbang berpusar-pusar, bagaikan angin puting beliung.

Aku melangkah ke badan jalan untuk menghindari mereka. Beberapa saat kemudian gudang Nenek
Carla terlihat. Dulunya gudang itu dicat putih. Aku ingat bagaimana gudang itu berkilauan di bawah sinar
matahari ketika aku dan Lucy berlari masuk ke sana untuk bermain mendaki tumpukan jerami. Tapi
sekarang catnya sudah pudar dan mengelupas, warna papannya yang gelap mengintai dari celah-celah
lapisan cat.

Di belakang gudang terletak rumah pertanian tua itu. Putih, bertingkat dua, rumah itu terasa besar sekali
ketika aku dan Lucy masih kecil. Tapi sekarang terlihat kecil, kuno, dengan beranda belakangnya yang
terbuka dan jendela-jendelanya yang tertutup rapat.
"Lucy, ada di situkah kau?" gumamku ketika aku melangkahi pagar rendah dan berjalan menembus
rerumputan tinggi menuju halaman belakang rumah.

"Lucy, aku datang. Aku tahu kau akan kutemukan di sini."

Aku melangkah ke beranda belakang, lantai papan tua berderik-derik terinjak sepatu kets-ku. Aku
menuju ke dapur. Dan mengetuk pintunya keras-keras.

Bagian Tiga Berkumpul Lagi BAB 19 "OH, ya ampun! Halo!" Nenek Carla menjerit terkejut. Senyum
merekah di wajahnya yang bundar. Ia membuka pinta kasa dapur.

"Apa kabar, Nek?" seruku, memeluknya erat-erat.

Tubuh kecilnya terasa tipis, seakan mudah patah. Kulepaskan pelukanku dan aku melangkah mundur
untuk memandangnya.

Matanya yang kelabu kebiruan masih cemerlang seperti dulu. Tapi sinar wajahnya telah meredup. Dia
lebih kurus dan semakin mirip burung. Ia mengingatkanku akan burung-burung flamingo yang pernah
kulihat di suatu musim panas di Florida. Seperti burung flamingo yang warna pink-nya sudah memudar
menjadi putih tepung.

"Senang sekali aku melihatmu," katanya, sambil tersenyum. "Aku"aku betul-betul kaget." Ia menaruh
sebelah tangan di bagian dada daster biru mudanya.

Ia mengajakku masuk dan berjalan menduluiku ke meja dapur di dekat dinding. Langkah-langkahnya
lambat, satu per satu. Mungkin rematiknya sangat mengganggu.

Rumah itu bau ayam panggang. Kulihat sepanci besar sup sedang mendidih di atas kompor. Membuatku
teringat belum makan apa-apa sejak sarapan tadi pagi.

Aku menoleh, melihat Nenek Carla berdiri memegang sandaran kursi menatapku. Ia menggaruk
rambutnya yang keriting. "Coba kuingat-ingat... Kapan terakhir kali kau ke sini" Dua musim panas yang
lalu" Ya, kalau tak salah."

"Rasanya benar, Nek," kataku ragu. Aku memandang melewatinya ke bagian depan rumah. "Apakah
Nicole ada di sini?" tanyaku langsung.

"Apa?" Ia mengecilkan matanya memandangku.

"Apakah Nicole ada di sini?" kuulangi pertanyaanku. "Kata Nicole, mungkin dia mau ke sini mengunjungi
Nenek. Jadi saya pikir..."

Aku sama sekali tidak bisa membaca ekspresi wajah Nenek Carla. Bibir bawahnya bergerak-gerak. Dan ia
memandang padaku sambil berpikir.

Apakah Lucy muncul ke sini dengan tubuhku" pikirku sambil balik memandang wanita tua itu.
Apakah Lucy telah memperingatkannya supaya tidak memberitahuku bahwa dia ada di sini"

"Sini, duduklah," kata Nenek Carla, menarik kursi untukku. "Kapan kau berangkat dari Shadyside" Tadi
pagi?"

"Jam dua lewat sedikit," sahutku.

Ia melihat ke jam dinding di atas bak cuci piring. "Sudah hampir jam setengah enam sekarang. Kau pasti
kelaparan."

"Aku"aku memang agak lapar," sahutku.

"Duduklah," katanya lagi. "Untung aku masak sup sepanci. Biasanya aku tak masak banyak-banyak
karena cuma sendirian. Tapi hari ini..."

Kau masak sup sepanci besar karena Lucy ada di sini, batinku.

"Ayo, duduklah," desaknya.

Dengan patuh aku berjalan ke meja dapur dan duduk di kursi kayu bersandaran tinggi. Aku menoleh
ketika mendengar ia melangkah pergi dari dapur. "Nenek belum menjawab pertanyaanku," seruku.
"Apakah Nicole ada di sini?"

"Sebentar lagi aku kembali," katanya. "Nanti kita bicara."

Caranya mengatakan itu membuatku curiga. Sebersit rasa takut mengganjal di perutku.

Diam-diam aku berdiri dari kursi. Aku merayap ke gang, mengikutinya, sambil menempelkan punggung
rapat-rapat ke dinding.

Aku cuma beberapa meter dari ruang duduk ketika kudengar ia bicara di telepon.

Menelepon polisi. BAB 20 AKU kembali ke dapur. Yang pertama kali terpikir olehku adalah lari. Lari jauh-
jauh dari sini, dari tanah pertanian ini.

Tapi aku berhenti, berdiri mematung di gang.

Aku sudah lari sampai sejauh ini. Dan aku sudah lari terlalu lama.

Aku tak bisa terus-terusan lari.

Aku harus mendapatkan kembali tubuhku. Aku harus mendapatkan kembali kehidupanku.

Aku masuk ke ruang duduk tepat saat Nenek Carla menaruh pesawat telepon. Ia menoleh, kaget.
"Oh...!"

Aku menyerbunya dengan marah, kedua tanganku terkepal. "Kenapa?" tanyaku dengan suara bergetar.

Ia menatapku tanpa bicara. Kulihat rasa takut di matanya.


"Kenapa?" kuulangi pertanyaanku. Tubuhku mulai bergetar menahan marah. Aku mulai kehilangan
kendali.

"Tenang saja. Aku telepon minta bantuan," jawabnya. Ia mencoba mundur menjauhiku, tapi kuikuti.
Saat itu dia terlihat lebih kecil dan lebih lemah lagi, makin kelihatan seperti burung.

"Aku"aku percaya pada Nenek!" jeritku. "Aku selalu percaya pada Nenek. Kenapa Nenek telepon
mereka" Kenapa Nenek tak mau membantuku?"

Mata birunya menatapku. "Ayo duduk, kita bicara, ya?" ajaknya.

Duduk dan menunggu polisi menangkapku" Dan menahanku untuk pembunuhan yang tidak kulakukan"

Ajakannya yang lemah lembut justru membuatku makin marah. "Aku ke sini mau cari Nicole," kataku
pada wanita tua itu sambil mengertakkan gigi. "Nicole di sini, kan" Ya atau tidak?"

Nenek Carla tidak menyahut. Ia menggigit bibir bawahnya. Bibirnya sudah pucat tak berwarna, sepucat
wajahnya.

Matanya melirik ke jendela ruang duduk. Aku tahu ia menunggu datangnya mobil polisi.

Kuulurkan tanganku, kusambar kedua lengannya. "Katakan saja di mana Nicole," pintaku.
"Tolong"katakan di mana dia, lalu aku akan pergi. Aku janji akan pergi dan takkan kembali ke sini."

Pasti aku mencengkeram lengannya terlalu keras. Nenek Carla meringis kesakitan. Kulonggarkan
cengkeramanku, tapi tidak kulepaskan sama sekali.

Aku merasa, kalau kulepaskan cengkeramanku, ia akan menyelinap hilang. Lenyap begitu saja.
Meninggalkanku sendirian menghadapi polisi.

"Aku tak tahu di mana dia," sahut Nenek Carla, matanya masih tetap melirik jendela.

"Kenapa Nenek tidak terus terang saja?" jeritku.

Rasanya kudengar bunyi ban mobil di kerikil. Kulepas lengan kurus lemah itu. Kuputar tubuhku.

Fear Street - Tukar Tubuh Switched di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tidak punya pilihan. Aku harus lari. Nenek Lucy takkan menolongku"walaupun ia mengira aku Lucy.

"Tunggu! Kembali!" serunya memanggilku ketika aku lari ke belakang. "Tunggu!"

Tidak kuhiraukan panggilannya. Kudorong pintu dapur, lalu aku meloncat ke luar, ke halaman. Angin
lembut meniup tanaman jagung di ladang di belakang gudang.
Aku menoleh ke kiri, lalu ke kanan, mencari tempat sembunyi. Aku tahu tidak bisa lari jauh. Aku terlalu
capek. Aku terlalu lelah. Tidak sanggup lagi lari jauh-jauh.

Mataku terhenti di sumur batu tua di kanan gudang. Airnya sudah tercemar. Sumur itu sudah bertahun-
tahun tidak dipergunakan.

Bisakah aku sembunyi di dalamnya" Bergantungan di celah-celah dinding batunya"

Atau dengan merentangkan kedua tanganku menekan dindingnya keras-keras"

Tidak. Aku tak berani. Bagaimana kalau aku jatuh" Tercebur ke air kotor" Aku akan terbenam sebelum
sempat tertolong.

Bisakah aku sembunyi di ladang jagung"

Mungkin untuk beberapa saat. Tapi tanaman jagung itu tidak setinggi aku. Aku harus membungkuk dan
merangkak. Dengan mudah polisi akan menemukanku. Ladang terbuka tidak bisa lama-lama
menyembunyikanku.

Kudengar pintu mobil ditutup. Di samping rumah.

Bunyi itu memaksaku bergerak.

Aku lari menembus rerumputan tinggi ke gudang. Aku tidak punya pilihan. Mereka akan menggeledah
gudang. Tapi banyak tempat sembunyi di dalam. Aku bisa membenamkan diriku di tumpukan jerami.
Atau masuk ke lemari peralatan di belakang tempat penyimpanan traktor.

Kudengar sekali lagi pintu mobil ditutup. Bunyi itu seakan menyengatku, menegangkan otot kakiku,
membuat jantungku berdegup kencang.

Dengan lari secepat mungkin aku masuk ke gudang. Kakiku tergelincir jerami yang berserakan di lantai
gudang. Aku berhenti sebentar, membiasakan mataku dengan kegelapan di dalam gudang.

Hawa terasa sejuk. Aku menarik napas dalam-dalam. Sekali lagi. Udara terasa manis.

Banyak kenangan melintas di depan mataku, dipicu oleh bau gudang yang sangat kukenal ini. Begitu
banyak hari-hari menyenangkan, begitu banyak saat-saat menyenangkan.

Kutahan isak tangisku. Aku tahu tak ada waktu untuk bernostalgia. Cahaya kelabu menerobos masuk
dari jendela kotor di atasku. Di bawah cahaya remang-remang itu kulihat ikatan-ikatan jerami ditumpuk-
tumpuk tinggi di dinding gudang.

Aku bisa sembunyi di balik tumpukan jerami itu, pikirku.

Tapi pasti itu tempat pertama yang akan mereka periksa.

Aku maju lagi beberapa langkah lebih dalam. Aku berhenti ketika terdengar bunyi gemeresik. Bunyi
gesekan jerami kering.
Langkah kaki" Bukan. Mungkin tikus gudang, pikirku. Mataku mencari-cari tempat sembunyi. Kulihat
traktor tua Nenek Carla yang sudah berkarat di sudut. Aku bisa menyelinap di belakang traktor, pikirku,
meringkuk di balik ban belakangnya yang besar.

Tapi dengan mudah mereka akan menemukanku di sana.

Tumpukan jerami tetap tempat paling baik, pikirku. Setidaknya saat ini. Jerami itu akan
menyembunyikanku untuk sementara. Dan aku bisa mengintai polisi yang sedang mencariku dari
baliknya.

Jerami kering di lantai gemeresik terinjak sepatuku ketika aku berjalan ke tumpukan jerami itu. Aku
menyelinap ke balik tumpukan yang paling tinggi.

Dan membentur seseorang yang sedang sembunyi di sana.

"Oh!" tanpa bisa kutahan aku memekik kaget.

Lalu kukenali siapa dia. "Lucy!" jeritku. "Kau di sini!"

BAB 21 IA ternganga menatapku. Kami berpegangan. Tadinya aku sangat marah padanya. Tapi heran,
sekarang aku senang melihatnya.

Perburuan telah berakhir, pikirku. Tak perlu lagi aku lari.

Di bawah cahaya kelabu dari jendela di atas, kuperhatikan dia. Kuteliti wajahku. Tubuhku.

Ia memakai baju lengan panjang biru tua dan celana pendek putih. Pakaianku. Rambut cokelatnya
terurai melewati bahunya.

Kulingkarkan lenganku ke pinggangnya dan kupeluk dia erat-erat.

Kulepas pelukanku ketika dia tidak bereaksi, tidak membalas memelukku.

"Kau di sini," kataku lagi. "Akhirnya kutemukan kau."

Ia menyipitkan matanya"mataku"memandangku.

Dia masih belum mengucapkan apa-apa.

Aku masih dibanjiri emosi. Lusinan emosi sekaligus.

Aku marah, lega, senang, dan bingung" campur aduk.

"Lucy"kenapa?" akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutku. "Kenapa kaulakukan semua itu" Kenapa
mereka... kaubunuh" Dan kenapa kau lari dariku?"

Ia menunduk. "Tak bisa kujelaskan," bisiknya.


"Kau harus menjelaskannya!" jeritku. Dari balik tumpukan jerami aku mengintai pintu gudang. Tidak ada
tanda-tanda polisi masuk ke gudang. Belum.

"Kau harus menjelaskannya, Lucy!" kuulangi dengan suara bergetar. "Dan kita harus bertukar tubuh."

Ia menjawab dengan bergumam. Aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya. Ia masih mengelak
dari tatapanku.

"Aku mau kaukembalikan tubuhku," desakku. "Aku mau kita bertukar tubuh lagi"sekarang! Kau dengar?"

Akhirnya ia mengangkat wajah, menatapku dengan pandangan sedih dan dingin. "Kita tak bisa saling
mengembalikan tubuh," katanya pelan.

"Hah" Kenapa tak bisa?" tanyaku marah.

"Aku bukan Lucy," sahutnya. "Lucy bertukar tubuh denganku siang tadi. Namaku Nancy."

BAB 22 "KAU bohong," kataku, rasa marahku menjadi-jadi. "Kau bohong, Lucy."

Ia menggeleng. Air mata menggenangi matanya yang gelap.

"Aku tak percaya," kataku lagi. "Silakan menangis terus kalau kau mau. Aku tak bodoh. Kaukira aku
sebodoh itu mau percaya padamu?"

Dagunya bergerak-gerak. Butiran air mata besar-besar mengalir turun di pipinya. Dia tidak berusaha
menghapusnya.

"Tapi itu benar," bisiknya. "Terserah kau mau percaya atau tidak. Aku bahkan tak tahu namamu."

"Namaku Nicole," sahutku sambil mengertakkan gigi. "Tapi aku ada di tubuh Lucy. Dan kau ada di
tubuhku"Lucy."

Berulang-ulang kusebut nama itu dengan marah, kesal, jengkel.

"Lucy, Lucy, Lucy!"

"Stop!" pintanya. "Berhenti!" Ia menutupi kedua telinganya dan memejamkan mata.

"Lucy, Lucy, Lucy!"

Aku ingin merenggutnya, dan mengguncangnya, mengguncangnya keras-keras. Mengguncangnya


sampai dia mengaku sebagai Lucy.

"Aku bukan Lucy!" katanya lagi. "Aku Nancy. Lucy memaksaku bertukar tubuh. Dia memaksaku. Lalu
dia"dia mengambil tubuhku dan lari."

Lebih banyak lagi air mata mengalir turun di wajahnya. Seluruh tubuhnya mulai bergetar.
Aku mundur selangkah sambil memperhatikannya. Aku mulai percaya. "Kau"kau benar-benar bukan
Lucy?" tanyaku agak tergagap.

Ia menggeleng. Butiran air mata jatuh ke jerami di lantai gudang. "Dia memaksaku bertukar tubuh.
Sekarang apa yang harus kulakukan?"

Kudengar bunyi jerami terinjak. Injakan berat. Aku menengok, kulihat sesosok bayangan masuk gudang.

Polisi. "Kita harus sembunyi," bisikku.

Anehnya Nancy malah tersenyum. Matanya yang hitam bersinar.

"Ada polisi," bisikku. "Kita harus sembunyi."

Senyumnya melebar. Ia menggeleng. "Nicole, kau betul-betul goblok!" katanya. "Kau gampang ditipu!"

"Lucy!" jeritku.

Ia mengangguk dengan senyum kemenangan.

Dia telah menipuku. Tak ada orang bernama Nancy. Dia Lucy. Aku telah menemukannya.

Dengan marah kuulurkan tanganku untuk merenggutnya. Tapi dia mengelak ke samping. Lalu mulai lari.

"Hei"!" panggilku berbisik.

Kulupakan polisi. Kukejar Lucy.

Aku takkan membiarkannya lepas lagi.

Di bawah cahaya kelabu kulihat ia lari ke luar gudang. Kupercepat lariku. Aku hanya sepuluh atau dua
puluh langkah di belakangnya.

Dia lari ke arah sumur tua, sepatu ketsnya gedebak-gedebuk menapak tanah, rambut cokelatnya
berkibaran di belakangnya.

Jangkrik-jangkrik mengerik di sana-sini. Kudengar anjing melolong sedih di kejauhan.

Seakan-akan seluruh tanah pertanian mendadak hidup. Seolah-olah seluruh makhluk dan tumbuhan di
sekitarku menyuarakan kehebohan mereka.

Kusipitkan mataku di dalam gelap, pandanganku tidak lepas dari Lucy. Dia lari sekuat tenaga, hanya
beberapa meter dari sumur tua kini.

Apa yang akan dilakukannya" pikirku. Apakah dia mau sembunyi di sana"

Aku mencoba lari lebih cepat lagi untuk mengejarnya.

Tapi kudengar langkah-langkah kaki di belakangku.


Kudengar erangan. Napas berat. Lalu kurasakan tangan-tangan kuat menyergap kakiku.

"Ohhhh!" teriakku kaget ketika ditubruk dan diseret jatuh ke tanah.

"Lepaskan aku!" jeritku. "Aku tak bisa membiarkannya lepas lagi!"

Tapi kedua tangan kuat itu tidak membiarkanku bangkit.

Aku menyepak-nyepakkan kakiku, mengayun-ayunkan tanganku dengan panik. Tapi aku tak bisa
melepaskan diri.

Dengan menjerit marah aku berbalik menengok orang yang menangkapku.

Ketika kulihat wajahnya, aku tersentak, ternganga ketakutan.

"Kent!" suaraku serak. "Kent"tidak! Tak mungkin kau! Kau sudah mati! Kau sudah mati!"

Ia menyipitkan mata menatapku dingin. "Nicole, aku datang menjemputmu," katanya.

BAB 23 IA melepaskanku dan bangkit berdiri. Lalu mengulurkan tangannya membantuku berdiri.

Tangannya hangat. Napasnya memburu.

"Kent"kau sudah mati," gumamku. "Aku lihat sendiri. Kepalamu..." Kata-kata selanjutnya tersangkut di
tenggorokanku.

"Aku baik-baik saja," sahutnya pelan.

"Tidak," aku ngotot. "Aku ke rumahmu. Aku lihat kau. Aku lihat darah. Aku di sana."

Ia menaruh tangan di bahuku yang gemetar. "Ssstttt," bisiknya. "Tarik napas dalam-dalam, Nicole.
Tenangkan dirimu. Aku menyusulmu ke sini. Aku datang untuk menolongmu."

Kuikuti kata-katanya. Tapi aku tahu aku membutuhkan lebih dari sekadar napas dalam-dalam untuk
menenangkan diriku.

Aku sangat bingung, sangat takut. Aku punya banyak pertanyaan.

Bagaimana dia menemukanku"

Kenapa dia datang ke sini"

Siapa yang kulihat tergeletak mati di lantai rumah Kent"

"Kent...," kataku.

Tapi dia menaruh telunjuknya di bibirku. "Sssttt. Sudah, tak apa-apa," katanya. "Sudah tak apa-apa,
Nicole."
"Jadi kau tahu!" seruku. "Kau tahu aku dan Lucy bertukar tubuh?"

Ia mengangguk. "Ya, aku tahu semua itu," sahutnya. Dia merangkul pundakku. Lengannya terasa berat
dan kokoh. Terasa nyata.

Dia bukan hantu, pikirku, aku menatapnya, meneliti wajahnya yang tenang. Dia benar-benar ada di sini.
Dia masih hidup.

"Ayo kita masuk rumah," ajaknya, menuntunku melewati rerumputan tebal. "Ayo kita duduk di dalam.
Aku ingin membantumu, Nicole. Itu sebabnya aku menyusulmu ke sini."

"T-tapi Lucy...," gagapku.

Karena terkejut melihat Kent tadi, aku sampai melupakan Lucy.

Kuputar tubuhku ke arah sumur tua. Kulihat kepala Lucy muncul dari dalam sumur. Kulihat dua tangan
pucat berpegangan pada dinding batu kelabu di bibir sumur.

"Tolong!" teriak Lucy. "Nicole"cepat! Aku mau jatuh. Aku akan tercebur ke sumur!"

"Lucy...!" teriakku. Aku mulai berlari mendekatinya.

Tapi Kent merangkul pinggangku dan menarikku.

"Cepat!" teriak Lucy. "Cepat, Nicole! Aku"aku tak bisa pegangan lagi! Aku jatuh!"

Kepalanya lenyap di balik dinding sumur.

Kulihat satu tangan pucat tergelincir dari pegangannya di bibir sumur.

Aku harus menolongnya. Tapi Kent mengencangkan rangkulannya di pinggangku.

"Kent"kenapa kau ini?" jeritku. "Lepaskan aku! Lepaskan!"

"Biar saja dia tenggelam," bisiknya ke telingaku.

BAB 24 "KAU sudah gila?" teriakku.

Aku meronta-ronta, berusaha melepaskan diri.

"Nicole"cepat!" panggil Lucy, suaranya yang melengking ketakutan bergema di lubang sumur tua.
"Cepat, aku tak bisa pegangan lagi!"

"Biarkan dia tenggelam," kata Kent lagi dengan nada dingin tanpa emosi.

"Tapi dia temanku!" jeritku. "Dan dia di tubuhku! Dia akan membawa tubuhku tenggelam!"

Dengan sentakan panik kulonggarkan rangkulan Kent. Lalu dengan sekuat tenaga kusodokkan kedua
sikuku ke belakang.
Kudengar Kent berseru kaget ketika sikuku menyodok perutnya.

Ia mengerang kesakitan, rangkulannya terlepas.

Aku lari tersandung-sandung, jatuh berlutut. Melompat berdiri lagi.

"Lucy"aku datang! Tahan sebentar! Tahan!" seruku.

Aku lari menyeberang rerumputan, tanganku terulur ke depan seakan sedang meraihnya.

"Tahan dulu! Tahan!" teriakku.

Dengan jantung berdegup kencang aku sampai di sumur.

Kupegang tangannya. Ya. Pegang. Kena. Dan tangan itu menggelincir dari peganganku. Kuku merah
panjang-panjang mencakar telapak tanganku ketika tangan itu menggelincir dari peganganku.

Tangan itu lenyap dari pandangan. Aku menangkap udara hangat. Hanya udara.

Kudengar jeritan seram Lucy dari dalam sumur. Makin lama makin dalam. Jeritannya menggema.

Lalu suara tercebur. BAB 25 "LUCY! Lucy!" Aku bahkan tidak sadar meneriakkan namanya.

Aku membungkuk di bibir sumur, menengok ke dalam sumur, jauh, jauh, ke dalam kegelapan.

"Lucy! Lucy!" Sumur itu sangat dalam, sangat gelap.

Aku tidak bisa melihatnya. Tapi bisa kudengar cebar-ceburnya panik, kudengar teriakan-teriakan
ketakutannya.

Aku bisa membayangkan dia mengayun-ayunkan tangan dan kakinya berusaha agar tidak tenggelam.
Aku bisa membayangkan wajahnya tegang ketakutan megap-megap menghirup udara.

Airnya pasti dingin dan kotor sekali.

Aku bisa membayangkan tangannya menggapai dinding batu mencari pegangan. Tergelincir lagi.
Terlepas lagi.

Menggapai dan tergelincir. Memegang dan terlepas.

"Lucy! Lucy!" Kudengar ia meronta-ronta, kudengar cebar-cebur air, sementara ia berusaha agar tidak
tenggelam.

"Tolong aku! Nicole!"

Suaranya terdengar bergema bagai dari dalam gua. Jauh. Jauh sekali.

Hanya sekali itu dia berteriak memanggil.


"Lucy"aku di sini! Lucy"berenang terus! Lucy"jangan menyerah!" Sambil membungkuk di bibir sumur,
menatap ke dasar sumur, aku berteriak.

Tapi suaranya tidak terdengar lagi.

Dan bunyi cebar-cebur berhenti beberapa saat kemudian.

Dan aku masih menatap ke dasar sumur, merasakan dinginnya batu dinding sumur di pinggangku,
membungkuk lebih dalam, mendengarkan, mendengarkan.

Mendengarkan kesunyian yang mencekam.

Mendengarkan tenggelamnya.

Tenggelam membawa tubuhku.

Sahabat karibku. Tenggelam di dasar sumur tua dengan membawa tubuhku.

Aku terisak sementara tangan-tangan kuat memegang bahuku. Kent menarikku menjauh dari sumur.
"Kent"dia"dia...," isakku.

Ia memegangku erat-erat. Menarikku. "Aku tahu," bisiknya. "Nicole, aku tahu."

"Aku gagal menolongnya," isakku, seluruh tubuhku mulai gemetaran. "Aku tak berhasil menolongnya,
Kent. Aku tak melakukan apa-apa untuknya. Sama sekali."

"Aku tahu," katanya. "Aku tahu."

Ia memelukku erat-erat dan membimbingku menuju ke rumah.

Kami sedang menyeberangi halaman ketika Lucy melangkah keluar dari belakang semak-semak tinggi.

Rambutnya jatuh ke bahu, basah dan lengket berlumpur. Pakaiannya basah kuyup, celana pendek tenis
putihnya penuh lumpur.

Mulutku ternganga. Kucoba memanggil namanya, tapi suaraku tak mau keluar.

Lututku gemetar, kakiku lemas, dan aku hampir jatuh ke tanah. Tapi Kent memegangiku erat-erat,
seakan-akan ia sendiri berpegangan agar tidak jatuh.

Dengan pelan-pelan dan hati-hati Lucy melangkah menghampiri kami. Kedua tangannya menyibakkan
rambut basah dari wajahnya.

Di bibirnya yang pucat tersungging senyum paling aneh. Senyum puas. Senyum kemenangan.

"Lucy...!" akhirnya aku bisa bersuara. "Lucy"bagaimana kau bisa keluar?"

Aku ingin lari mendekat, memeluknya, menjerit gembira.


Tapi senyumnya yang dingin membuatku terhenti.

"Kau"kau bisa keluar! Kau di sini!" seruku.

Matanya menatapku. Tanpa bicara sepatah kata pun.

Tubuhku tak apa-apa, pikirku.

Pikiran memalukan, aku tahu. Harusnya keselamatan temanku yang kupikirkan. Tapi dengan
memandangnya"memandang tubuhku"mau tak mau aku memikirkan tubuhku.

Mau tak mau aku memikirkan tubuhku. Aku berpikir, Masih ada kesempatan aku dan Lucy saling
bertukar tubuh kembali. Masih ada kesempatan aku mendapatkan kembali tubuhku dari Lucy.

Ia bergerak cepat. Terasa olehku tangan Kent lepas dari bahuku ketika Lucy menubruk maju.

Kent berteriak terkejut ketika Lucy menangkap kepalanya dengan dua tangan.

"Kita bertukar, Kent," kata Lucy, suaranya tegang. "Kita bertukar, oke?"

Kent mencoba mundur. Tapi Lucy terlampau kuat baginya.

Sambil memegang erat-erat kepala Kent, Lucy memuntirnya keras-keras, merenggutnya lepas dari
tahunya dengan satu tarikan kuat.

BAB 26 TERDENGAR bunyi seperti barang robek ketika Lucy merenggut lepas kepala Kent.

Mata Lucy bersinar-sinar, senyumnya melebar di wajahnya, diacungkannya kepala Kent tinggi-tinggi.

Aku menjerit panjang dan seram, tidak percaya pada penglihatanku sendiri.

Kupejamkan mataku. Aku tidak sanggup melihat kepala tak bernyawa itu, membeku selamanya dengan
mata melotot ketakutan. Aku tidak sanggup memandang senyum sadis Lucy.

"Ayo bertukar!" jeritan nyaring Lucy melengking di malam gelap bagaikan sirene. "Ayo bertukar!
Ayo"ayo bertukar!"

Mataku tetap kupejamkan. Aku tidak ingin membukanya lagi.

"Ayo bertukar!" jerit Lucy. "Ayo, Nicole! Kau bertukar kepala dengan Kent"lalu aku bertukar denganmu!"

Tawanya yang bernada tinggi membuat seluruh tubuhku gemetaran.

Beberapa saat kemudian kudengar bunyi pintu mobil ditutup.

Kubuka mataku, kulihat dua lelaki keluar dari mobil hitam dan lari menyeberangi rerumputan tinggi. Dua
lelaki berjas kelabu.
Polisi Shadyside. Mereka lari ke sampingku. Masing-masing menangkap sebelah lenganku. Pegangan
mereka kencang tapi tidak menyakitkan.

Jantungku berdebur tak keruan. Napasku tertahan di kerongkongan. Aku tak mampu bicara, tak mampu
menjeritkan rasa takutku.

Kucari Lucy dan Kent dengan mataku. Tapi mereka telah lenyap.

Terdengar satu mobil lagi mendatangi rumah Nenek Carla. Aku menoleh. Mobil itu penuh orang.

Keempat pintunya terbuka berbarengan. Kulihat orangtuaku keluar dari mobil dan melihat ke arahku.
Lalu kulihat orangtua Lucy.

Tidak mati" Mr. dan Mrs. Kramer"tidak mati"

Lalu Kent keluar dari kursi belakang.

Mereka segera merubungiku, semua bicara bersama-sama.

Kedua lelaki berjas kelabu itu melangkah mundur ketika Mom memelukku, merangkulku erat-erat,
menangis, bahunya terguncang- guncang. Terasa olehku air mata ibuku yang hangat mengaliri wajahku.

"Nicole, Nicole," bisiknya menyebut-nyebut namaku, menekankan pipinya ke pipiku.

Setelah ia melepaskanku, ganti ayahku yang memelukku.

Kedua lelaki berjas kelabu itu berdiri tegang di sampingku.

Sambil berkedip-kedip membuang air mata, aku mencoba mengusir kebingungan di benakku.
Kupandang Mr. dan Mrs. Kramer serta Kent.

Tidak mati. Tidak dibunuh. Mereka masih hidup. Lalu kulihat Nenek Carla di tengah mereka.

"Kami minta maaf," Mom berkata padanya. "Kami betul-betul minta maaf Nicole datang mengganggu ke
sini. Kami kira Nicole sudah sembuh. Kami kira Nicole sudah melewati saat-saat itu."

Melewati saat-saat itu"

Apa maksud Mom" "Keadaan Nicole sudah membaik setahun belakangan ini," kata Mom pada Nenek
Carla. "Tak ada lagi mimpi-mimpi aneh. Tak ada halusinasi. Tak ada masalah jati diri."

Kugoyangkan kepalaku berkali-kali, kucoba menjernihkan otakku. Aku ingin bisa mengerti apa yang
dikatakan Mom, tapi sulit sekali.

Aku menoleh ke samping, kulihat Dad bicara pada Kent. "Kent, terima kasih telah memberitahu kami
tentang Nicole," kata Dad. "Dan kau baik sekali mau menyusulnya ke sini. Kami sudah minta tolong dua
dokter ini dari rumah sakit untuk mencari Nicole." Dad menunjuk kedua lelaki berjas kelabu itu. "Tapi
kami takkan menemukan Nicole tanpa bantuanmu."
Dari rumah sakit" Mereka bukan polisi"

Kent menggumamkan sesuatu, matanya memandang ke tanah. Aku tidak mendengar apa yang
dikatakannya.

Mereka semua bicara berbarengan. Sulit sekali mengikuti pembicaraan mereka.

Kulihat Nenek Carla menggeleng-geleng. "Kasihan, Lucy sudah meninggal tiga tahun lalu," katanya sedih.
"Kecelakaan mobil yang mengerikan...," suaranya mengambang. Lalu dia menghela napas.

"Nicole mulai mendapat halusinasi segera setelah Lucy meninggal," Mom menjelaskan padanya. "Dia
mulai melihat kematian-kematian mengerikan. Semua hanya ada di benaknya. Tapi semua itu seakan
nyata baginya."

Fear Street - Tukar Tubuh Switched di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ck, ck, ck." Nenek Carla menggeleng-geleng sedih.

Ibuku meneruskan, "Setelah Lucy meninggal, Nicole mulai suka bicara sendiri, seakan-akan bicara
dengan Lucy. Dan kadang-kadang... kadang-kadang..."

Kata-kata Mom tertahan di kerongkongan. Ia menelan-nelan ludah, melonggarkan kerongkongannya


yang tersumbat. "Bahkan kadang- kadang Nicole bersikap seolah-olah dia Lucy," katanya pada Nenek
Carla.

"Dia belum bisa menerima kenyataan bahwa Lucy telah tiga tahun meninggal," tambah Ayah dengan
sedih.

"Kalian akan bisa mendapatkan bantuan yang diperlukannya," sahut Nenek Carla lembut. "Dia akan
kembali seperti biasa. Aku yakin."

Mereka terus berbicara. Suara-suara mereka saling bercampur. Bagiku hanya merupakan bunyi.

Aku tidak begitu peduli apa yang mereka percakapkan. Aku senang sekarang.

Aku senang melihat mereka. Senang dan lega karena aku tidak perlu lari lagi. Senang melihat mereka
semua masih hidup dan tidak kurang suatu apa.

Senang sekali sehingga aku tidak melawan ketika kedua lelaki berjas kelabu itu membawaku ke mobil
mereka.

BAB 27 ITU semua terjadi hampir enam bulan yang lalu. Sekarang keadaanku sudah sangat baik.

Aku merasa jauh lebih baik. Mimpi-mimpi burukku sudah berhenti. Sudah berminggu-minggu aku tidak
pernah didatangi mimpi buruk. Tidurku nyenyak dan tenang. Seperti bayi.
Aku tidak lagi melihat pembunuhan-pembunuhan sadis. Aku sadar sekarang, semua itu hanya ada dalam
benakku, hanya halusinasi-halusinasi seram.

Tadinya semua itu terlihat nyata. Tadinya semua itu kukira nyata.

Tapi sekarang aku sudah tahu.

Halusinasi-halusinasi menyeramkan itu sudah lewat. Dan aku ingin mereka hanya tinggal sejarah.

Aku punya sikap positif. Belakangan ini aku merasa nyaman mengenai diriku sendiri.

Rasanya penyebab utama mengapa aku merasa tenteram adalah karena Lucy datang menemaniku
setiap hari.

Betul-betul sahabat karib. Tak sehari pun terlewatkan olehnya.

Itu sangat berarti bagiku. Melihat Lucy setiap hari di samping tempat tidurku benar-benar sangat
membantu mempercepat kesembuhanku.

Rasanya para dokter tidak lama lagi akan membolehkanku keluar.

Asyik kan, Lucy" Mungkin mereka akan membolehkanku kembali sekolah pada waktunya sehingga masih
sempat ikut ujian. Lalu kau dan aku akan lulus sama-sama.

Bagus sekali kan, Lucy"

Bagus sekali. Ya, kan" END

Anda mungkin juga menyukai