Anda di halaman 1dari 4

TUJUH

'permisi pak, kelas 10 ips 3 dimana ya?'

kalimat pertama yang ku ucapkan Ketika pertama memasuki gerbang sekolah, mungkin
beberapa orang bingung kenapa aku tidak tau dimana kelasku sendiri. 2 minggu yang lalu, Ketika
jadwal mpls hari pertama, aku pergi ke luar kota untuk mengikuti pertandingan selama dua minggu
oleh karena itu aku tidak mengetahui dimana kelasku berada.

Dua minggu berlalu, ternyata sekarang sudah hari ke 5 kegiatan belajar mengajar, aku
memasuki kelas pada hari senin, tanggal 7 juli.

“buka halaman 78”

guru yang langsung berbicara begitu setelah diam sejak memasuki kelas. Aku bingung, kenapa
halaman 77 dilewati, padahal pada halaman 77 adalah awalan materi bab kali ini. Setelah melihat
keadaan kelas, sepertinya hanya aku yang bingung disini. Aku pun mengabaikannya.

Dua minggu berlalu, makin ku sadari ada yang aneh pada angka 7 dan 77, seperti halaman
yang dilewati, angka 7 yang pantang disebut, dan lainnya, seakan tidak ada lagi angka 7 dan 77 di
dunia ini.

Tanggal 27 juli, ulang tahun seolah ini yang ke 77. Aku mulai berpikir, apakah angka 7 dan
77 dianggap tidak ada selama beberapa hari terakhir karena pada tanggal 27 akan memperingati ulang
tahun sekolah?

1 minggu berlalu, ternyata angka 7 dan 77 tetap dianggap tidak ada, aku pun memberanikan
diriku untuk bertanya tentang angka 7 kepada seorang guru yang sudah kenal lama denganku sebelum
aku memasuki sekolah ini.

“jangan, jangan sesekali membahas bahkan mencari tahu itu”

Itu adalah satu satunya kalimat yang terucap, sebelum ekspresi nya berubah menjadi datar dan
langsung pergi meninggalkan ku.

7 orang, hanya 7 orang yang tersisa di ruang jurnalistik sekarang, ruang jurnalistik yang
berada di bagian ujung sekolah ini memang terasa menyeramkan bagi Sebagian besar siswa, namun
bagi ku biasa saja. Aku orang ke 7 atau orang terakhir yang tertinggal dikelas ini, tepat pukul 18;40
adzan magrib dari masjid samping sekolah terdengar, aku pun memutuskan untuk sholat terlebih
dahulu di mushola sekolah. Sendirian? Iya aku sendirian, aku bukan tipe orang yang penakut, aku
malah bisa jadi termasuk orang yang sangat berani. Setelah sholat, aku mencari sepatuku yang tidak
ada di rak sepatu, padahal tadi aku sangat ingat, sepatuku aku taruh disitu.

Suara langkah seseorang terdengar, bagai seseorang yang terburu buru, aku melihat sepatuku
berjalan sendiri melewati lorong menuju ruang jurnalistik. Bukan rasa takut yang ku alami, namun
rasa kesal, berani beraninya seseorang mengerjaiku, aku berlari mengejar sepatu ku itu, namun entah
kemana berlarinya sepatu tersebut. Mendengar hpku yang terus terusan berbunyi karena ditelfon oleh
kakakku, aku pun tambah kesal dan memaksakan diri pulang tanpa sepatu.

Aku dikira berbohong dan bermimpi, ketika aku menceritakan sepatu ku hilang karena sepatu
ku berjalan sendiri, tanpa ada yang memakainya, dan jalan entah kemana. Aku ditertawakan oleh
kakak dan adikku dirumah, aku pun semakin kesal dan berniat berada disekolah hingga malam lagi
saat esok hari, untuk mencari siapa yang berani mengerjaiku tadi malam.

Sekarang tepat pukul 7 malam, aku masih berdiam disekolah, namun tidak ada satu hal pun
yang terjadi, bahkan sepatuku belum balik hingga saat ini. Aku memutuskan untuk pulang saat jam 8
tepat. Saat diparkiran, aku merasa ada yang aneh pada motorku, ternyata motorku tidak pada posisi
awal, aku berpikir, mungkin penjaga sekolah memindahkannya karena satu dan lain hal, tapi aneh,
motorku tidak hanya berpindah posisi, tapi lampu motorku nyala padahal kunci motor sedari tadi
masih berada dikantongku. Karena suasana semakin tidak enak, aku mengabaikannya dan bergegas
pulang dengan terburu buru.

Aku sudah mengabaikan angka 7 yang dianggap tidak ada dan sepatuku yang entah akan
Kembali kapan.. Namun aku semakin kesal, aku sudah tidak pernah lagi membahas angka 7 hingga
saat ini, tapi guru guru tetap menghantuiku dengan peringatan agar aku tidak mencari tahu tentang
angka 7. Sekarang, aku bertekat untuk mencari tahu lagi, untuk membuktikan bahwa angka 7 itu biasa
saja, kenapa harus diperlakukan seperti ini, mereka semua berlebihan.

Tepat tanggal 7 agustus pukul 7 malam, aku berjalan melewati ruang jurnalistik.
“hei, siapapun kamu, entah berhubungan dengan angka 7 atau tidak, intinya kembalikan sepatuku!”
teriakku dengan suara nyaring dan nada yang menantang. Aku benar benar menantang. Hanya dengan
cahaya enter hp, aku terus berjalan melewati Lorong Lorong kelas yang tidak memiliki lampu.

Baru selangkah aku masuk kedalam ruang jurnalistik, listrik seisi sekolah tiba tiba mati,
berbarengan dengan hpku yang ikut mati, padahal batrai hp ku masih full. Karna kesal , aku tetap
memsauki ruangan jurnalistik. Suara benda jatuh terdengar, aku terkejut namun aku tetap tidak bisa
melihat apa apa. Sekali lagi aku melangkahkan kaki, sekarang pintu tertutup sendirinya dengan keras,
aku terkejut kedua kalinya, namun aku mengabaikannya, aku lebih penasaran apa benda yang
terdengar jatuh tadi. Aku terus mencoba menghidupkan hpku karna aku merasa batrainya masih full,
sudah aku pukul pukul hpku, tetap saja tidak bisa menyala.
Lampu ruangan hidup dalam sekali kedip, mataku yang tadi fokus ke hp terkejut saat melihat
benda yang terjatuh tadi. Hanya mayat berlumur darah yang ku lihat sekarang. Saking terkejutnya,
jantungku serasa tidak berdetak lagi. Walau tidak ada satupun orang yang melihat, aku tetap merasa
tidak boleh terlihat takut. Sifat sok berani ku kembali muncul, aku mendekati mayat itu dan mencoba
melihat wajahnya secara dekat, wajahnya terasa familiar bagiku. Setelah itu aku menyadari, bahwa
ada tali yang terikat dilehernya, aku mencurigai bahwa mayat ini gantung diri.

Hpku tiba tiba menyala, aku membuka kamera dan mencoba memfoto mayat ini. Tiba tiba
hpku terhempas, seperti ada yang melemparnya.

“jangan berbuat apapun dan pergilah sekarang”

Kalimat itu terus terdengar ditelingaku, seseorang membisikkannya berulang ulang, meski aku sudah
berteriak untuk memintanya stop, namun kalimat itu terus dibisikkan kepadaku. Aku kesal, aku terus
mencoba memfoto mayat ini sebelum aku pergi dari sini, walau hpku terus terhempas. Dengan tidak
sampai 5 percobaan aku sudah berhasil mendapatkan fotonya. Aku tau, aku salah, namun aku tidak
perduli.

Aku menceritakan semuanya kepada seorang guru yang cukup dekat denganku, guru itu
langsung terlihat marah. Aku dimarahi habis habisan karena perbuatanku semalam. Berkali kali aku
meminta maaf, namun guru tetap memarahiku. Bukan rasa bersalah yang ku rasakan, namun rasa
marahku yang malah muncul. Aku bertekat untuk semakin menentang perkataan guruku tadi, aku
akan membuktikan bahwa hal ini tidak sebahaya itu.

Kembali aku ke ruang jurnalistik pada jam istirahat. Ruang jurnalistik terlihat bersih dan rapi,
seperti tidak ada kejadian apapun disini. Aku mendatangi seseorang yang ada disini yang juga anggota
jurnalistik, untuk bertanya apakah tadi ada yang membersihkan ruangan ini.

“tidak, aku baru saja membuka ruangan ini, karena aku yang memegang kunci ruangan ini” jawabnya.

Malam tiba, aku Kembali ke ruang jurnalistik. Keadaan sekarang persis seperti keadaan
kemarin malam, dimana ada sebuah mayat dengan darah yang banyak. aku hanya berdiam,
memikirkan sesuatu yang baru aku sadari. Kenapa mayatnya bercucuran darah? Padahal ada tali
dilehernya menandakan ia gantung diri, kalau pun lehernya diikat lalu disiksa, kenapa ia terjatuh dari
gantungan seperti talinya putus setelah gantung diri? Dan masih banyak lagi perntanyaan lainnya yang
muncul dikepalaku.

Tiba tiba ruangan berubah, seisi ruangan penuh seperti gudang, aku merasa seperti kembali ke
masalalu, dimana ruangan ini belum menjadi ruangan jurnalistik. Seseorang meneriakan satu nama
berkali kali dengan nada marah.

Anda mungkin juga menyukai