Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MEMBUAT CERPEN

NAMA : NAURA FADHILAH

KELAS : IX-A (9A)

NO. ABSEN : 25
INTRO THE DEEP

Tabung merah mengkilat inilah yang mereka cari. Aku tahu tiga orang dengan senjata api itu
mengincarku sejak aku keluar dari laboratorium. Awalnya mereka mengekor jauh di belakangku
seperti warga sipil tanpa dosa, namun kini mereka tak ragu lagi meluncurkan amunisi-
amunisinya untuk menghentikanku. Aku pun berlari secepat yang kubisa, melewati gang-gang
sempit yang gelap di antara gedung dan bangunan.

Aku telah menemukan suatu terobosan baru dam pengobatan depresi. Hasil penelitianku yang
telah berjalan sekian lama itu tersimpan di dalam tabung dengan kode '525300887039' yang
kubawa ini. Dengan tabung ini, aku akan bisa mengubah dunia ini menjadi tempat yang lebih
baik, tetapi jiks orang-orang itu mendapatkannya.

Suara tembakan terdengar menggaung dari belakangku. Aku berhasil menghindar dari peluru
yang melubangi dinding disampingku. Celaka! Aku harus lebih cepat.

Setelah beberapa kali berbelok dan menyesatkan diriku sendiri di dalam gang-gang kecil ini, aku
pun keluar ke jalan raya yang cukup sepi. Kurasa ini buruk. Kukira akan ada banyak orang yang
akan menghambat orang-orang itu, tetapi tak ada pejalan kaki yang berlalu lalang di trotoar ini;
hanya ada beberapa mobil-yang tak selenggang yang seharusnya. Aku pun mempercepat laju
lariku sambil menengok ke belakang beberapa kali. Aku harus segera menemukan tempat
untuk bersembunyi, atau setidaknya kembali menyusuri gang sempit.

Saat aku berada di depan sebuah taman kota yang sepi, sejenak aku berpikir untuk
bersembunyi di sana, tapi taman itu tidak mempunyai tempat yang cukup tersembunyi. Aku
pun mengurungkan niatku dan tetap berlari. Namun, saat sku hendak kembali fokus pada
jalanan, ekor mataku menangkap sesuatu. Di tengah taman itu, aku melihat seorang pria paruh
baya dan seorang laki-laki tanggung yang usianya sedikit lebih muda dariku--sepertinya mereka
ayah dan anak.
Aku tak sadar kalau kakiku berhenti.

Pria paruh baya itu duduk di kursi rodanya yang nyaman. Wajahnya tak bisa menyembunyikan
kebahagiaan saat anak lelakinya dengan bangga menunjukkannya sesuatu: sebuah medali dan
selembar kertas. Sang ayah tampak ingin sekali bangkit dari kursi rodanya dan memeluk erat
sang anak. Dan seolah anak itu mengetahuinya, ia segera memeluk ayahnya.

Suara tembakan sekali lagi memecah suasana. Meskipun tembakan itu meleset, aku pun secara
refleks menghindar dan melihat ke arah sumber tembakan. Mereka menemukanku. Bodoh!
Mengapa aku berhenti? Tanpa menunggu apa-apa lagi, aku segera berlari menjauh dari orang-
orang tersebut. Aku sempat melihat sekilas ke arah taman, tapi aku tak melihat tanda-tanda
keberadaan ayah dan anak itu lagi.

Di dekat perempatan, aku segera menyebrang ke ruas trotoar yang lain tanpa mempedulikan
lampu lalu lintas yang masih menyala hijau. Sebuah mobil yang melaju kencang hampir
menabrakku tanpa membunyikan klakson. Hampir saja! Setelah itu aku pun belok ke kanan.
Meskipun ruas jalan itu lebih ramai daripada yang lain, aku tak memperlambat tempo lariku.

Mataku menangkap sesuatu yang menarik perhatianku lagi. Di sebuah cafe di pinggir jalan,
tepatnya di tempat duduk outdoor, aku melihat seorang lelaki paruh baya yang lain. Ia duduk
termenung memandangi jalanan. Tunggu dulu, apakah itu....

"Ayah?" teriakku dengan lantang, kemudian berlari menghampirinya. "Apa yang kau lakukan
disini, ayah?"

Ayahku mengalihkan pandangannya dari jalan ke kedua mataku dengan perlahan. Wajahnya
terlihat lebih tua dari seharusnya dan tampak sangat lelah. Beliau tak menjawab pertanyaanku.

"Mengapa ayah ada disini? Ayo, ikut aku, yah, kita dalam bahaya!" aku meraih tangan ayah
yang lemas tanpa tenaga dan hendak menariknya, tapi kuhentikan karena beliau tidak bereaksi
sama sekali.

"Ada apa, yah?" tanyaku sekali lagi dengan panik. Mereka bertiga bisa muncul kapan saja.

Ayahku hanya diam membisu. Dan yang tidak kumengerti adalah bahwa beliau menatapku
lekat dengan tatapan kecewa yang mendalam.

Belum sampai aku mengeluarkan kata-kataku, suara tembakan sekali lagi terdengar; kali ini
mendengung penuh di telingaku. Untuk sepersekian detik, aku baru menangkap bahwa tepat di
dahi ayahku, sebuah peluru menembus dan membuatnya terjengkang. Semuanya terasa sangat
lambat. Yang bisa kudengar hanya dengungan senjata api yang tak mau pergi dari telinga ini,
bahkan hingga menghalangi suara teriakanku sendiri. Aku segera menghambur menuju ayahku
yang terbaring di trotoar depan cafe itu. Degup jantungku terasa semakin cepat dan nafasku
pun menjadi tersengal-sengal. Hawa panas segera menguasai tubuhku.

Aku pun segera bangkit dan duduk di kasurku. Kipas angin yang menempel di tembok tak
mampu menghalangi keringat dingin yang membasahi tubuhku. Untuk beberapa saat, nafas
dan detak jantungku masih belum kembali normal. Aku mencoba menenangkan diri dan
berusaha untuk rileks.

Meski hanya mimpi, wajah kekecewaan ayahku terbayang dengan jelas di dalam kamarku yang
gelap. Dan lagi, mengapa potongan ingatan masa laluku muncul dalam mimpi tersebut?

Pikiranku mendadak kembali ke rumah ini, dua tahun yang lalu. Aku masih ingat saat itu aku
pulang dari acara wisuda kelulusan sekolah dengan pakaian rapi dan jas hitam. Ayahku yang
duduk diatas kursi rodanya dan tak dapat hadir dalam acara itu menungguku di teras rumah.
Dengan bangga, aku menunjukkan sebuah medali yang kudapat karena aku menjadi lulusan
dengan nilai terbaik serta sebuah ijazah SMA. Ekspresi bangga ayahku bertambah saat aku
memberitahunya bahwa aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di sebuah
perguruan tinggi favorit. Terlebih lagi, aku yang merasa lebih senang karena usahaku selama ini
untuk membuat ayahku bangga akhirnya menjadi kenyataan.

Andai saja ibu masih ada di sini....

Ibuku meninggal saat berusaha membawaku lahir ke dunia. Aku hanya tahu ibuku lewat
penuturan ayah serta album foto yang ditunjukkan kepadaku. Album itu berisi banyak foto-foto
mereka berdus semenjak masih menjadi sejoli muda-mudi yang diikat cinta monyet hingga
diresmikan menjadi pasangan suami istri. Dan foto-foto tersebut, jelas sekali mereka adalah
pasangan paling bahagia di dunia.

Dan terkadang aku merasa bersalah karena telah merusak hubungan itu. Aku bahkan pernah
berharap aku saja yang menggantikan posisi ibu.

Ayah pun menjadi orang tua tunggal, tapi itu tak membuatnya menjadi sosok ayah yang tidak
bertanggungjawab. Beliau adalah ayah terbaik di dunia. Meskipun sibuk juga dengan
pekerjaannya, ayah mendidikku dengan sabar dan penuh kasih sayang. Ayah memang pergi ke
kantor saat pagi hari dan pulang di sore hari menjelang malam, tapi itu tak jadi penghalang bagi
kami untuk mempunyai waktu bersama. Hubungan kami sangat erat dan tak terpisahkan.

Dalam beberapa waktu, aku pernah melihat ayah seperti memandang sesuatu nan jauh disana.
Saat aku bertanya apakah ayah tidak mencari pendamping hidup yang baru, beliau menjawab,
"ayah akan tetap menjaga janji ayah, meskipun mungkin ibumu sudah tidak keberatan lagi."
Kejadian buruk menimpa kami lagi saat aku menginjak kelas 2 SMA. Dokter berkata bahwa ayah
terkena serangan stroke ringan yang tidak biasa karena kerusakan sel pada sumsum tulang
belakangnya. "Terapi mungkin bisa dilakukan, tapi tidak akan memberi banyak perubahan atau
bahkan tidak sama sekali," kata dokter itu padaku saat itu. Akhirnya, setelah beberapa hari
rawat inap, ayahku diperbolehkan pulang dengan kursi roda.

Pengobatan ayah tertutupi dengan asuransi perusahaan yang masih berlaku, tapi setelah itu
beliau dipensiunkan dini. Kami pun hidup dengan uang tunjangan yang diberikan setiap bulan.
Aku pernah berniat untuk bekerja di sela-sela waktu sekolahku, tapi entah bagaimana ayahku
tahu dan melarangku. "Jangan pikirkan masalah ekonomi! Pendidikanmu lebih berharga!"

Itulah yang membuatnya sangat senang ketika aku mendapat beasiswa, terlebih lagi sudah
mendapat sebuah kursi di perguruan tinggi. Beliau berpesan padaku bahwa apapun yang
terjadi, aku harus fokus pada pendidikanku dan tak perlu khawatir dengan masalah biaya
penghidupan.

Kata-kata ayah itu membuatku termotivasi penuh, hingga akhirnya....

Mataku perlahan mulai panas saat mengingat kejadian itu. Belum sampai setahun yang lalu,
ketika awal semester keempat pendidikanku, tugas yang harus diselesaikan menjadi lebih
banyak dari semester-semester yang lalu, sehingga mengharuskanku untuk pulang larut hampir
setiap harinya. Aku ingat saat itu hari kamis, aku beranjak dari kampus pukul sepuluh malam.
Saat aku pulang, rumahku sangat gelap. Aku pun segera masuk ke dalam dan berharap semoga
tidak terjadi sesuatu yang buruk pada ayahku.

Harapanku musnah.

Seusai aku menyalakan semua lampu rumah, aku melihat kursi roda ayah yang kosong berada
di dekat kamar mandi. Kursi itu menutupi pandanganku, seolah menyembunyikan tubuh ayah
yang terbaring di lantai kamar mandi dengan kepala penuh darah yang telah mengering.
Jantungku berdetak sangat keras hingga terasa sakit, dan tanpa menunda lagi aku membawa
beliau ke rumah sakit, meskipun terbesit pikiran bahwa semuanya sudah terlambat. Aku tak
peduli.

Duniaku runtuh saat itu juga ketika dokter mengatakan hal yang sebenarnya telah kuketahui
(dan kucoba untuk tolak). Awalnya aku berpikir bahwa semua ini salah dan ingin terbangun di
atas tempat tidurku, tapi aku tahu itu takkan pernah terjadi.

Aku menarik nafas panjang dan kembali ke kenyataan. Keringat seakan membuat pakaianku
basah kuyup. Aku berdiri dan menuju dapur, mendapati galon air sudah nyaris habis, aku pun
mengambil separuh dan meminumnya. Aku harus lebih berhemat karena sampai saat ini aku
masih mengandalkan tabunganku. Besok pagi aku akan membawa lagi surat lamaranku ke
instansi-instansi yang membutuhkan pegawai dengan ijazah SMA.

Maafkan aku, ayah. Aku tak bisa mengikuti pesanmu.

Semenjak kematian ayahku, aku tak bisa mempertahankan indeks prestasiku untuk tetap
berada pada batas tertentu, sehingga beasiswaku pun dicabut. Uang tunjangan perbulan
ayahku juga telah diberhentikan. Meskipun ayah masih memiliki tabungan dari gaji yang telah ia
kumpulkan, serta uangku yang berasal dari sisa beasiswa yang kusimpan sejak semester awal,
itu tak akan cukup untuk melanjutkan pendidikanku hingga lulus nanti. Daripada menghabiskan
tabungan, lebih baik aku segera mencari pekerjaan untuk menyambung hidup.

Tapi hingga saat ini, entah sudah ada berapa lowongan pekerjaan yang kutuju selalu
menolakku. Berkali-kali aku mengirim surat lamaran, berkali-kali pula aku mencetaknya lagi dan
lagi.

Andai saja aku bisa berbicara dengan ayah, bahkan jika itu hanya dalam mimpi....

Aku tahu ini konyol, tapi aku tetap saja membuka laptopku dan menghubungkannya ke
internet. Jari-jariku mengetikkan kata 'cara berbicara dengan orang mati di dalam mimpi' di
halaman awal Google. Hasil yang keluar adalah cara berkomunikasi dengan jin, cara melihat
makhluk halus dan segudang judul mistis irasional lainnya. Aku tersenyum miris kepada diriku
sendiri yang seperti orang frustasi dan kehilangan tujuan hidup.

Aku tak peduli dengan ejekanku sendiri dan mengganti keyword dengan 'cara mengendalikan
mimpi'. Awalnya sebuah blog dengan judul Lucid Dream menarik perhatianku. Aku pun
membaca artikel-artikel dalam blog itu. Kurasa aku menemukan titik terang. Yah, meskipun
lucid dream secara singkat adalah keadaan dimana kita sadar kalau kita berada di dalam mimpi,
tapi kita bisa mengendalikannya dan melakukan apa saja di dalamnya.

Aku berencana untuk memunculkan ayahku dan berbicara dengannya.

Dengan ketertarikan yang besar, aku pun segera mengumpulkan informasi tentang lucid dream.
Dini hari itu juga, aku segera beranjak tidur kembali untuk mempraktikkannya dengan teknik
'Wake Back to Bed', karena kebetulan aku juga usai terbangun dari tidur.

Hari itu aku terbangun tanpa sekelumit pun mimpi. Aku segera bersiap dan berangkat untuk
memberikan lamaran untuk yang kesekian kalinya. Aku berharap malam akan datang lebih
cepat sehingga aku dapat berlatih lagi.

Beberapa hari berlalu, pencarian pekerjaanku belum membuahkan hasil, namun aku semakin
mahir dalam kontrol mimpi. Aku mulai lancar saat masuk ke tahap sleep paralyze dan berdiri di
dalam kamarku sendiri di dunia mimpi. Awalnya aku sering terbangun setelah melakukan reality
check-tetap bernafas meskipun aku menutup hidung, memelintir jari tanpa merasakan sakit
dan melihat bayanganku yang tidak karuan di depan cermin, tetapi, setelah berulang kali
berlatih, akhirnya aku dapat bertahan dalam mimpi itu meskipun saat mengecek jariku sendiri,
aku tiba-tiba memiliki tujuh jari di tangan.

Hingga suatu ketika, merasa bahwa pengendalian diriku sudah cukup stabil di dalam mimpi, aku
mencoba untuk memproyeksikan ayahku agar beliau muncul di depanku. Aku berusaha dengan
sekuat imajinasiku, tapi tak juga berhasil, malahan aku terbangun karena kehilangan kontrol.

Pada praktek lucid dream selanjutnya, aku menggunakan teknik 'Dream Recall' di dalam mimpi,
aku mengingat-ingat lokasi mimpi dimana aku bertemu dengan ayahku dan perlahan
memvisualisasikannya, hingga kamarku pun berubah menjadi cafe outdoor seperti waktu itu.
Dengan cara ini, kemungkinan untuk bertemu ayahku lebih besar. Tetapi beliau tidak terlihat
dimana pun.

Hei, di mimpi ini aku 'kan menjadi seorang ilmuwan?

Di ujung perempatan, aku melihat tiga orang yang mengejarku tempo lalu. Mereka melambai-
lambai tabung merah mengkilat hasil penemuanku. Sekilas, kudapati kode yang tercetak di
permukaannya sedikit berbeda: 5253∞0¾703∞. Mereka pun segera berlari ke ujung jalan yang
lain dan menghilang diantara pejalan kaki lain.

Ini adalah pengalaman baru bagiku; aku dapat dengan sadar mengendalikan diriku sendiri di
dalam mimpi, terlebih lagi dapat mengendalikan mimpi ini sendiri, meskipun tidak semuanya.
Aku pun membuat alur cerita dengan mengejar para pencuri itu.

Aku mengimajinasikan sebuah holo-GPS yang dapat melacak dimana tabung itu berada. Di
hadapanku pun menyala sebuah piringan besar hologram yang berlukiskan denah kota timbul
melayang setinggi perut. Sebuah titik biru menunjukkan lokasiku dan hijau cerah berkelip-kelip
bergerak perlahan ke lantai atas di sebuah gedung. Kunonaktifkan display-nya dan segera
bergegas. Tabung itu disana!

Saat aku berhenti di depan gedung yang dimaksud, sesuatu terjadi. Gedung-gedung perlahan
bergeser dan mengubah tata kota. Semakin lama pergerakannya semakin cepat. Aku bahkan
terpaksa mengubah arah beberapa kali hingga kehilangan jejak di dalam kota yang seperti
labirin berubah-ubah ini. Kulihat display holo-GPS lagi--gedung itu bergerak semakin jauh
dariku.

Akan lebih mudah mencari jika lewat udara.


Itu dia! Aku segera memvisualisasikan sebuah sepatu yang dapat digunakan untuk melompat
dengan kekuatan tinggi. Sepatu bot yang tadinya kukenakan pun berubah menjadi sepatu sport
dengan alas tebal dan berbeda di beberapa sisi. Dengan kuda-kuda yang mantap, aku segera
melompat ke satu gedung dan menjadikannya pijakan untuk melompat dari gedung ke gedung.

Akhirnya aku sampai di atap gedung target. Kulihat lagi display-nya---tabung itu seharusnya
berada tepat di depanku di ujung lain atap gedung. Namun, hanya ada seseorang yang berdiri
mematung di sana. Ketika aku menghampirinya, pria bertopeng itu menodongkan pistol di
dahiku, dan tanpa ragu menembakkan isinya.

Seketika semuanya menjadi hitam dan aku kembali ke kamarku. Sebentar lagi matahari terbit.
Alih-alih mempersiapkan file-file yang harus kubawa untuk hari itu, aku mengingat kembali
semua hal yang telah kualami di dalam mimpi yang paling menarik yang pernah kualami.
Terkadang aku tersenyum sendiri sambil membenamkan wajahku ke bantal; itu dunia yang
sejak dulu kuinginkan!

Aku lalu mengambil selembar kertas dan mulai menggambar sebuah senjata yang dulu pernah
ada dalam imajinasiku: sebuah pistol yang dapat dilipat dan menjadi sebuah lightsaber
sekaligus. Tak pernah ada di dunia nyata, tapi setidaknya akan tercipta di dalam mimpi.
Menggambarnya terlebih dahulu akan jauh lebih mudah untuk divisualisasikan karena memori
tentang objek tersebut sudah terbentuk secara kompleks dalam pikiran.

Hari demi hari, aku mengabaikan surat lamaran yang berkali-kali ditolak itu dan menghabiskan
waktu di dalam dunis baru yang kuciptakan. Aku juga perlahan menenggelamkan tujuan
utamaku berlatih lucid dream untuk berbicara dengan ayah.

***

Aku mengendap-endap masuk lebih dalam di sebuah gedung tua sambil membawa 'gunblade'--
senjata ciptaanku itu. Aku segera berlindung di balik dinding saat tiga tembakan mengarah
padaku---tiga pencuri sialan itu. Menurut informasi, tabung penelitianku di sembunyikan di atap
gedung yang kurang lebih berlantai seratus ini.

Aku meraih granat listrik dari ikat pinggangku dan melemparnya ke titik persembunyian
mereka. Saat granat itu meledak menjadi semburan listrik yang liar, mereka melompat keluar,
dan saat itu pula lah aku melumpuhkan mereka dengan tiga tembakan sekaligus. Aku masuk
lebih dalam dan menghampiri lift yang ada; tidak berfungsi. Aku pun menuju ke atas lewat
tangga darurat.

Di sana aku disergap lebih banyak musuh lagi, dan aku dapat menumbangkan mereka dengan
gunblade mode pistol maupun pedang. Hingga pada lantai kesekian, aku dihadang oleh sesosok
monster hijau yang berpenampilan seperti Hulk. Tak hanya itu, pria bertopeng yang
membunuhku di beberapa mimpi sebelumnya juga terjun dari atas menghadangku.

"Pergilah, biar aku yang menghadapi ini," kata pria bertopeng itu. Aku sempat terkejut
mendengarnya, tapi kemudian aku melanjutkan perjalananku. Yah, pria bertopeng itu juga
bagian dari alam bawah sadar yang tak bisa kukendalikan, sama seperti entitas-entitas yang
menghalangiku. Sejenak, aku melihat pertarungan mereka yang sengit dari beberapa lantai di
atas mereka.

Sampai di tangga terakhir, aku berhenti sejenak, lalu kubuka pintu terakhir tangga darurat ini.
Atap gedung ini mempunyai landasan helikopter di tengahnya, dan di sana, berdirilah sesosok
dengan busana serba hitam. Entah mungkin karena proyeksi alam bawah sadarku yang liar,
sosok itu terlihat seperti Darth Vader, dengan suasana langit gelap yang mendukung.

"Di mana kau sembunyikan tabung itu?" tanyaku sambil mengaktifkan gunblade mode pedang
yang menyala putih.

"Mengapa tak kau cari tahu dengan melawanku?" sosok itu juga menarik lightsaber merah
menyala.

Aku berlari menghampirinya sambil melompat dan menyabetkan gunblade dengan sekuat
tenaga, tapi ia berhasil menangkisnya. Selanjutnya kami pun beradu pedang. Tapi entang
mengapa, gerakanku terasa melambat dan senjataku menjadi sangat berat. Meski demikian,
aku dapat menangkis serangan-serangan yang ia lancarkan.

Dalam kesempatan kecil itu, kutemukan titik yang tak terlindungi. Aku pun menghunuskan
senjataku yang berat dan menghujam tubuhnya. Sosok itu pun tumbang menjadi segumpal kain
hitam.

Tepat di tengah landasan helikopter, aku melihat sebuah pintu brankas bank yang besar entah
sejak kapan berada di sana. Dengan sekuat tenaga, aku memutar knop besinya yang besar dan
membukanya, lalu melompat masuk ke dalamnya.

Tempat itu sangat berbeda: padang rumput tak berujung dengan langit biru yang cerah dan
sedikit berawan. Aku bisa melihat perbedaannya dari lubang gelap yang menganga di antara
langit biru yang bersih. Di ujung sana, aku melihat sebuah exhibition case seperti pada museum.
Di dalamnya terdapat sebuah tabung merah mengkilat polos tanpa coretan kode apapun. Aku
berjalan mendekatinya, membuka kotak itu dan mengambilnya.

Saat aku berbalik, pria bertopeng itu berada tepat di hadapanku dalam posisi siap menyerang.
Aku secara refleks membelah topeng itu, dan menampakkan sebuah wajah yang telah lama ku
kenal: ayahku dengan penampilan seperti sebelum ia sakit, tapi luka di dahi yang menghitam
akibat tembakan terlihat sangat jelas. Tubuhku kini terasa seperti batu sepenuhnya, lalu ayah
menembakku dengan pistolnya.

Lagi-lagi aku terbangun karena tembakan, dan terlebih lagi pria bertopeng itu adalah ayahku!
Aku benar-benar tidak mengerti apa maksudnya, mengapa ayah melakukannya.

Seketika itu aku mengingat tujuan utama mengapa aku berlatih lucid dream yang sudah
tertimbun oleh mimpi-mimpi rekaanku sendiri yang sedemikian banyaknya: berbicara dengan
ayah.

Dalam mimpi-mimpi selanjutnya, aku berusaha keras untuk melakukan segala macam teknik
lucid dream untuk bertemu dengan ayah. Entah berapa mimpi yang telah kubangun, aku tak
pernah bertemu dengannya.

Hingga suatu ketika, aku berada di sebuah tepian hutan dengan sungai yang mengair damai.
Aku melihat ayah duduk di sebuah batu besar, memandangi sungai seolah tak tahu
kehadiranku.

Aku menghampirinya, tapi kami berdiam diri dalam waktu yang cukup lama.

Ayah menoleh padaku, tidak ada bekas luka tembakan apapun di dahinya, kemudian kembali ke
riak sungai. "Dengar, ayah tidak pernah marah atau pun kecewa padamu. Jangan jadikan itu
sebagai beban, apalagi rasa bersalah yang berlarut-larut."

"Tapi aku..." meskipun itu hanya mimpi, rasa berat di dada terasa cukup nyata. "Aku
membiarkan ayah sedirian di rumah, para tetangga menyalahkanku di belakang punggungku
atas kejadian itu, anak macam apa aku!" rasa berat itu perlahan naik ke tenggorokan. "Aku
bahkan belum sempat mengucapkan selamat tinggal."

Kulanjutkan lagi, "orang-orang itu hanya menganggapku sebagai nomor paling bawah hanya
karena aku hanya punya ijazah SMA untuk melamar pekerjaan. Aku tahu itu memang
peraturannya, tapi..." apa yang kukatakan barusan? Pikiranku bercampur aduk dan tak tahu
mana yang harus kukeluarkan terlebih dahulu. Aku tak bisa menahannya lagi, "mengapa ayah
harus pergi secepat ini? Ibu bahkan lebih cepat! Aku juga ingin deperti mereka yang
mempunyai keluarga yang lengkap. Mengapa aku harus bertahan hidup di dunia itu sedangkan
aku bisa mendapatkan semuanya disini, di dalam mimpi?"

Kurasa itu adalah teriakanku dari alam bawah sadar yang paling dalam. Aku tak bisa
mengontrolnya.

Ayah memandangku dengan teduh. "Kau tak seharusnya pergi lebih dalam dari ini. Ini bukan
dunia nyatamu. Di sini makhluk-makhluk tak hidup yang berasal dari alam bawah sadarmu
sendiri akan menertawakanmu. Semakin dalam kau menjelajahi alam ini, semakin jauh kau
akan tersesat." Beliau lalu melanjutkan, "kau juga masih belum melakukan pesan ayah."

"Fokus pada pendidikan? Beasiswaku telah dicabut sepeninggal ayah. Aku tak bisa melanjutkan
pendidikanku lagi..."

"Bukan hanya itu maksud ayah. Fokus pada pendidikan adalah apa yang kau jalani saat itu, dan
itu berarti tetap lakukan yang terbaik pada apapun yang kau jalani saat ini. Sekarang kembalilah
dan lakukan apa yang harus kau lakukan."

Ayah memberiku tabung merah mengkilat dengan kode '525300887039' itu kepadaku.
Perasaanku semakin bercampur aduk, tubuhku terasa kaku dan dadaku semakin sesak. Aku
menerima tabung itu sebelum semuanya berubah menjadi hitam dan ayah menghilang
digantikan oleh langit-langit. Di atas tempat tidurku, tanganku terangkat ke atas seperti
beberapa detik yang lalu di dalam mimpi. Aku juga baru menyadari bahwa pipiku basah.

Kata-kata ayahku memberiku sebuah kekuatan yang tak dapat ku jelaskan. Tak hanya itu,
tabung penemuanku itu seolah benar-benar mengobati depresiku.

Aku segera kembali ke berkas-berkas surat lamaran yang selama ini kubiarkan tergeletak begitu
saja.

Anda mungkin juga menyukai