Anda di halaman 1dari 4

Ujian Tengah Semester

Senin, 28 Oktober 2019

Farah Salsabila (1706073326)


Penulisan Populer

Dia Mengikutiku

Hari itu sudah sore menjelang malam. Matahari sudah tidak terlihat lagi di kaki langit.
Aku dan teman-temanku berpisah setelah sesi belajar yang kami lakukan di Perpusat pada
hari itu. Teman-temanku semuanya pulang ke rumah masing-masing, sementara aku harus
kembali ke FIB karena ada buku yang tertinggal di loker dan harus aku ambil untuk
mengerjakan tugas malam itu. Setelah kami berpamitan, aku langsung beranjak menuju FIB,
berjalan perlahan menyusuri jalan setapak Taman Firdaus yang mengarah ke sana. Keadaan
begitu sunyi dan kegelapan malam semakin menyelimuti sekelilingku setiap menitnya. Hanya
ada sedikit penerangan dari tiang lampu di sepanjang jalan itu, dan beberapa pohon belum
juga berhenti bergerak sedari tadi. Entah mengapa, jantungku mulai berdegup kencang
dengan setiap langkah yang aku ambil. Sesekali aku melirik ke kananku, tapi tidak berani aku
memutar kepala karena seperti ada yang menguntit dari belakang.

Kukeluarkan ponselku yang ada di saku celana untuk menyibukkan diri. Sial, aku
berkata dalam hati, sejak kapan ponselku mati? Aku ingat betul bahwa baterainya masih
tersisa 25% ketika berpisah dari teman-temanku. Tak tahu lagi bagaimana cara untuk
menenangkan diri, akhirnya aku menunduk sambil memainkan kuku-kuku jemariku. Jalan
setapak itu terasa begitu panjang dan aku masih merasa resah. Aku pun mempercepat gerak
langkahku agar bisa cepat sampai FIB. Aku berusaha untuk tetap mengontrol pikiranku,
kalau-kalau hal itulah yang menjadi sumber kegelisahanku. Aku alihkan pandanganku ke
depan dan bersyukur ketika menyadari bahwa halte Spekun ada di depan mata. Aku
menghembuskan napas lega yang sedari tadi ternyata telah aku tahan.

Tepat ketika aku hendak menyeberang jalan, sebuah suara dentangan terdengar
nyaring dari halte Spekun itu, dan tidak sedetik kemudian, sesuatu terbang melewati mata
kiriku, sesuatu yang kecil, dan ketika benda itu mendarat di aspal, benda itu berguling.
Sebuah batu kerikil? Siapa yang sedang bercanda dan melempariku dengan batu kerikil?
Kemudian sebuah pikiran terlintas di benakku, bulu kuduk seketika merinding. Tiba-tiba
terdengar dari belakangku suara samar-samar seseorang yang sedang tertawa kecil. Aku pun
langsung berlari sekencang mungkin menuju Gedung 9. Rasanya aku ingin menangis, tidak
pernah seumur hidup aku mengalami hal-hal ganjil seperti itu, bahkan pada hari-hari di mana
aku harus berada di UI hingga Gerbatama maupun Gerbang Kutek telah ditutup.

Aku terengah-engah sesampainya di depan loker Gedung 9. Di tengah mengatur


napasku ketika aku menyadari bahwa suasana begitu sunyi, sama seperti saat aku berjalan di
Taman Firdaus tadi. Tidak ada suara orang-orang yang biasanya sedang mengobrol, tidak ada
suara orang-orang yang biasanya sedang beraktivitas, padahal masih banyak mobil yang
terparkir di depan gedung dan di sekitar Tedun. Hari sudah semakin malam dan semuanya
semakin terasa ganjil. Aku bergegas mengambil bukuku dan mengemas barang-barangku,
kemudian kukeluarkan ponselku untuk segera memesan ojek online dari FIB ke Stasiun UI.

Aku melihat layar kaca itu yang hitam dan baru ingat bahwa ponselku mati. Aku ingin
teriak pada saat itu juga. Tertekan, marah, takut, semua bercampur aduk dalam diriku. Aku
tidak bisa memesan ojek online dan tidak ada pilihan lain selain naik Bikun ke Stasiun UI.
Langkahku terhenti tepat di pintu Gedung 9 yang mengarah ke Plataran. Ketakutan yang luar
biasa muncul ketika aku melihat banyak bayangan yang menari-nari dari sudut mata kananku.
Aku memutuskan untuk menunduk sambil berjalan cepat, walau tangan dan kakiku tengah
gemetaran. Aku terus menunduk melewati Gedung 2, melewati parkiran mobil dosen, hingga
melewati Pusat Studi Jepang. Beberapa mobil dan motor berlalu lalang di kanan jalan,
menandakan bahwa tidak semua orang kecuali diriku telah lenyap dari kampus ini, membuat
diriku merasa sedikit lebih tenang.

Tepat ketika aku mendongakkan kepala, suara tawa kecil itu terdengar kembali di
telingaku.

“Seruni… Seruni…” suara itu memanggil-manggil namaku.

“Tidak. Jangan lagi,” bisikku, “tolong jangan ganggu aku…”

Aku berlari lagi, secepat kaki ini bisa membawaku, namun suara itu terus
menghantuiku, bahkan ketika aku telah sampai dan duduk di halte Bikun. Lima detik, sepuluh
detik, suara itu tidak juga pergi. Aku bisa menggila di tempat jika aku tetap menunggu Bikun
yang tidak kunjung datang. Aku bangkit dan langsung menyebrang jalan, memutuskan untuk
tidak melewati jalan setapak dengan hutan lebat dan suram itu menuju stasiun. Meski aku
sudah berusaha menghindarinya, tetap saja pandanganku tak teralihkan dari hutan yang
mengarah ke stasiun. Tiba-tiba saja, pengelihatanku memburam sepersekian detik, kemudian
aku merasa berada di tempat yang tidak asing, namun aku tak tahu di mana. Sekelilingku
adalah pepohonan rimbun nan tinggi, gelap, dan mencekam. Entah apa yang terjadi, aku tak
tahu jalan menuju stasiun. Aku gelisah, ketakutan, dan aku tidak bisa menahan lagi tangis
yang sedari tadi aku tahan. Tiba-tiba saja terdengar suara hentakan sepatu dari sisi kananku.
Aku menoleh ke arahnya.

“Hey, Nak. Kenapa kau?”

Seorang bapak paruh baya yang mengenakan seragam PLK bertanya sambil menepuk
pundakku. Aku begitu lega ketika mengetahui bahwa aku masih berada di UI dan ada
manusia yang berada di dekatku. Aku sampai kehilangan kata-kata untuk menjawab
pertanyaannya itu. Menyadari hal tersebut, bapak itu melanjutkan, “Sudah-sudah, tenang saja.
Kau aman bersama saya.”

Bapak itu berusaha meyakinkan diriku, namun tatapannya terlihat kosong dan aneh. Ia
bertanya lagi, “Sedang apa kau di tengah hutan ini?”

Akhirnya aku pun dapat bersuara lagi, “Aku tidak tahu, tiba-tiba saja aku tersesat ke
sini, aku sedang menuju…”

Kalimatku terhenti ketika wajah bapak itu seketika berubah mengerikan. Sekujur
tubuhku bergetar begitu kencangnya sehingga aku tejatuh ke belakang. Mataku tidak bisa
kulepaskan dari entah makhluk apa yang ada di hadapanku itu, berbadan tinggi menjulang
dengan wajah hitam dan tidak berambut, dengan bentuk kepalanya yang absurd, matanya
yang merah keluar dari rongganya, dan kuku-kukunya yang tajam dan panjang mencapai
tanah. Suara napasnya serak dan tersengal-sengal, ia pun memancarkan bau amis darah
bercampur kotoran yang membuatku ingin muntah seisi perutku di saat itu juga.

Ketakutan bukanlah kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaanku ketika


makhluk itu mulai mendekatiku. Aku berusaha untuk berdiri, untuk berlari sejauh mungkin
dari makhluk itu, tapi kedua kakiku mengecewakanku. Mereka terlalu lemas dan aku tidak
mampu bergerak, satu-satunya hal yang bisa kuandalkan adalah kedua tanganku. Aku seret
diriku ke belakang, karena sangatlah mustahil untuk melawannya, bahkan dengan senjata
sekalipun. Hanya saja, meski aku telah berusaha untuk menjauh, ia tetap dengan mudahnya
menyusul diriku yang lambat. Dalam sepersekian detik, ia berada tepat di depanku.
Wajahnya terlalu mengerikan tetapi aku tidak bisa memalingkan mukaku, aku tidak bisa
memejamkan mata, aku bahkan tidak bisa berkedip. Makhluk itu merundukkan badannya,
jauhnya hanya beberapa inci dari wajahku. Aku tidak mengetahui apa yang terjadi
selanjutnya, tetapi saat ia membuka mulut busuknya itu yang dipenuhi gigi-gigi tajam,
pengelihatanku mulai kabur kembali, kemudian menggelap, hitam, dan membuta. Hal
terakhir yang dapat kurasakan adalah diriku yang perlahan menghilang ke dalam suatu
kehampaan.

Anda mungkin juga menyukai