BAHASA INDONESIA
Disusun Oleh :
M. Boyke Aria Wiratama
XII IPA 5
Dengan hormat,
Berdasarkan lowongan yang saya temukan dari internet, saya membuat permohonan
lamaran pekerjaan untuk menjadi Koordinator Pemasaran di perusahaan yang Bapak /
Ibu pimpin. Adapun data pribadi saya sebagai berikut :
nama : Mohammad Boyke Aria Wiratama,
tempat, tanggal lahir : Bandung, 21 April 2002,
jenis kelamin : Laki-laki,
agama : Islam,
pendidikan terakhir : SMP,
alamat : Pesona Ciwastra Village Blok I No. 4,
nomor telepon : 08795708749010.
Demikian surat lamaran ini saya buat sebenar-benarnya. Atas perhatian Bapak / Ibu,
saya mengucapkan terima kasih.
hormat saya,
Papan bertuliskan ‘SMA ANGKASA 2’ terpampang jelas di gapura bercat biru langit.
Tanpa menghiraukan Pak Rudi —satpam sekolah— yang menyapaku, aku mengarahkan
motorku menuju parkiran.
Kulangkahkan kaki jenjangku menjauhi parkiran menuju kelasku, XI IPS 3, yang berada
di lantai 2.
“Pagi, Zeva, sayang!!!” suara cempreng seorang laki-laki tak menghentikan langkahku.
“Hih! Sayang sayang, pala lu peang! Kayak gue pacar lo aja!” ketusku pada seorang siswa
sekelasku, Reno.
“Siapa bilang gue pacar lo? Gue, kan, calon imam lo,” kekeh Reno.
Bhuagh!!
Satu bogemanku mendarat mulus di pipi Reno.
“Cantik cantik kok hobi mukul sih? Kesian, nih, pipi gue…” ujar Reno sambil mengelus
pipinya dengan dramatis. Aku tak menghiraukan ocehan Reno dan segera berjalan
menuju kelas.
Aku merasa ada sesuatu yang janggal di tangga. Ada bercak berwarna merah darah yang
sudah kering berceceran, seperti meninggalkan jejak. Aku mengikutinya hingga berada
di anak tangga paling atas, depan kelasku, sepanjang koridor di lantai 2, tangga di sisi
lainnya, dan kembali ke lantai 1. Bercaknya belum hilang. Aku terus mengikutinya
hingga menuju ke arah kantin. Ketika aku tiba di kantin, bercaknya menghilang. Aku
memutuskan untuk kembali ke kelas.
‘Zeva!’
Aku menoleh ke belakang, kearah orang yang baru saja memanggilku. Aku mendapati
seorang siswi yang sepertinya siswi kelas XI IPA 1.
“Eh, lo manggil gue, ya?” tanyaku to the point.
“Boro-boro. Kenal lo aja kagak!” ucapnya lalu melenggang pergi. Aku tak
menghiraukannya dan segera menuju kelas.
Hhh! Udah kayak film horor aja! Perasaan gue doang, kok! Batinku.
“Zeva, lo tau gak, darah di koridor?” Rani dan Nina menghampiriku yang baru saja
mendaratkan pantatku di bangkuku.
“Ya. Kenapa, sih?” tanyaku balik.
“Kata kakel kelas XII, kita, tuh, diteror sama hantu anak kelas XI IPS 1 yang katanya
bunuh diri dengan loncat dari rooftop sekolah 3 tahun yang lalu!” papar Nina.
“Dia cuma ngaco kali! Emang hantu itu ada?” balasku.
“Aishh! Kalo kayak gini terus, sampe kambing bertelur juga kita gak bakalan tau!”
celetuk Rani.
“Terus, kita mau ngapain?” tanyaku.
“Ca—”
“Pagi, anak-anak!” ucapan Rani terpotong oleh kehadiran Bu Astrid, guru Matematika
kami yang—sangat— killer –sekali.
“Rani! Lo tadi mau ngomong apa?” tanya Nina sewaktu jam istirahat.
“Nah, jadi gini. Kalo kita mau cari tau kebenarannya, kita harus cari tau sendiri, kita lagi
diteror ato enggak,” papar Rani.
“Kita? Lo aja kali!” timpalku dan Nina. Rani hanya memanyunkan bibirnya kesal.
“Kantin, kuy!” ajak Nina.
“Kuylahh!” jawabku dan Rani.
‘Zev!’
Suara itu lagi! Aku berbalik, namun tidak ada orang. Karena di kelas ini hanya ada aku.
Sedangkan Rani dan Nina sudah diluar.
“Woi! Lo ngapain diem disitu?!” teriak Rani menyadarkanku dari lamunanku. Aku segera
menyusul Nina dan Rani dengan setengah berlari.
Agaknya itu siapa? Ahh! Hantu itu gak ada, Zeva! Batinku lagi.
‘Zeva!’ suara itu lagi! Aku terhenti di depan pintu kelas karenanya. Aku berusaha untuk
menghiraukannya. Tapi, aku tak bisa. Rasa penasaranku mengalahkan rasa gengsiku.
‘Zeva!’ datangnya dari tangga. Suara itu membawaku melewati tangga menuju lantai 3
sekolah dan berlanjut menuju rooftop sekolah.
‘Zev!’ aku terus melangkahkan kakiku menuju arah datangnya suara. Kulihat ada siswi
yang sepantaran denganku berdiri di tepi rooftop.
“Lo? Lo ngapain disitu? Ntar jatoh kelar idup lo!” teriakku pada siswi itu. Di badge
namenya tertulis ‘Amalia. A’. Nama yang pernah kudengar, tetapi sudah lama
terlupakan.
‘Mana bisa gue jatuh. Gue, kan, udah pernah!’ ujarnya dengan suara serak yang sedikit
samar.
‘Jangan diem disitu! Sini, dong!’ lanjutnya. Kakiku tanpa aba-aba menuruti
perkataannya. Aku terus berjalan dan tanpa kusadari aku telah sampai di tepi rooftop.
Begitu aku sampai di tepi, siswi itu menghilang. Aku langsung tersadar dan secara tidak
sengaja aku terpeleset. Aku ingin berteriak, namun suaraku hilang.
Bruukk!!
Pandanganku buram. Samar-samar aku mendengar beberapa siswa dan guru
memanggil namaku. Termasuk Nina dan Rani dengan terisak. Aku… Mati, ya?
Pandanganku mulai hilang dan… Gelap. Hanya ada kegelapan. Tak lama kemudian….
Bletakkk!
Sakit! Kulihat banyak pasang mata memerhatikanku, dan yang paling mengerikan
adalah sepasang mata tajam milik Bu Astrid.
Jadi, itu Cuma mimpi, ya?? Tapi, kok, nyata banget? Pikirku
“Zeva?! Kamu tidur di pelajaran saya lagi, ya?! Lari kamu keliling lapangan 10 kali!
Sekarang!” teriak Bu Astrid.
“Hoyoloh, Zev! Sapa suruh lo tidur di dikelas lagi?” ejek Sekar, teman sebangkuku. Aku
membalasnya dengan pandangan awas-lo-ya.
“Zeva! Harus berapa kali Ibu nyuruh kamu!” ujar Bu Astrid tiba-tiba.
Aku memutar bola mataku malas sebelum keluar kelas. Aku tidak melihat ada bercak
darah lagi, bahkan hingga aku turun menuju lapangan. Aku memulai hukumanku dengan
berlari—yang terlihat lebih seperti jogging.
Diputaran kedua, aku melihat seorang siswi yang sama seperti di dalam mimpiku. Ia
tersenyum miring padaku, lalu menghilang begitu saja. Aku sempat berhenti berlari
karenanya.
“Zeva!”
Aku melanjutkan lariku ketika mandengar suara Bu Astrid dari depan pintu kelasku.
Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-horor-hantu/mystery-deja-vu.html
Panggilan Tidak Dikenal
Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-horor-hantu/mystery-deja-vu.html
Nilai-Nilai
Kebahasaan
Konotasi
Deja vu, adalah ketika suatu suasana terasa familiar oleh orang yang
mengalaminya.
Struktur Cerpen
- Abtraksi
Dimulai dari paragraf satu :
“ Pagi yang cerah. Angin dingin bekas hujan semalam serasa menusuk kulitku yang
mengendarai motor Mio-ku tanpa jaket, menuju sekolahku. Aku tak menghiraukannya.
Aku terus melajukan motorku menuju SMA Angkasa 2 —sekolahku. “
Karena di paragraf tersebut menunjukkan kondisi dunia berdasarkan imajinasi sang
penulis.
- Orientasi
“ “Pagi, Zeva, sayang!!!” suara cempreng seorang laki-laki tak menghentikan langkahku.
“Hih! Sayang sayang, pala lu peang! Kayak gue pacar lo aja!” ketusku pada seorang siswa
sekelasku, Reno.
“Siapa bilang gue pacar lo? Gue, kan, calon imam lo,” kekeh Reno.
Bhuagh!!
Satu bogemanku mendarat mulus di pipi Reno. “
Karena di paragraf tersebut mulai ditampilkan tokoh-tokoh yang lain selain pemeran
utama.
- Komplikasi
“ Aku merasa ada sesuatu yang janggal di tangga. Ada bercak berwarna merah darah
yang sudah kering berceceran, seperti meninggalkan jejak. Aku mengikutinya hingga
berada di anak tangga paling atas, depan kelasku, sepanjang koridor di lantai 2, tangga
di sisi lainnya, dan kembali ke lantai 1. Bercaknya belum hilang. Aku terus mengikutinya
hingga menuju ke arah kantin. Ketika aku tiba di kantin, bercaknya menghilang. Aku
memutuskan untuk kembali ke kelas.
Karena di paragrafi ini menunjukkan mulai nya hal-hal yang tidak normal dalam cerita
tersebut yaitu bercak darah yang berada di tangga.
- Klimaks
“ “Lo? Lo ngapain disitu? Ntar jatoh kelar idup lo!” teriakku pada siswi itu. Di badge
namenya tertulis ‘Amalia. A’. Nama yang pernah kudengar, tetapi sudah lama
terlupakan.
‘Mana bisa gue jatuh. Gue, kan, udah pernah!’ ujarnya dengan suara serak yang sedikit
samar.
‘Jangan diem disitu! Sini, dong!’ lanjutnya. Kakiku tanpa aba-aba menuruti
perkataannya. Aku terus berjalan dan tanpa kusadari aku telah sampai di tepi rooftop.
Begitu aku sampai di tepi, siswi itu menghilang. Aku langsung tersadar dan secara tidak
sengaja aku terpeleset. Aku ingin berteriak, namun suaraku hilang. “
Karena di paragraf ini menunjukkan bahwa sang pemeran utama sudah mulau
penasaran terhadap suara yang memanggilnya. Hal tersebut merupakan pembalik alur
dalam cerita tersebut, sehingga suasana di rooftop sekolah itu sangat terasa tegang.
- Evaluasi
“ Bletakkk!
Sakit! Kulihat banyak pasang mata memerhatikanku, dan yang paling mengerikan
adalah sepasang mata tajam milik Bu Astrid. “
Karena paragraf ini menunjukkan bahwa sang pemeran utama bangun dari mimpi
buruk itu.
- Resolusi
“ Jadi, itu Cuma mimpi, ya?? Tapi, kok, nyata banget? Pikirku “
“Zeva?! Kamu tidur di pelajaran saya lagi, ya?! Lari kamu keliling lapangan 10 kali!
Sekarang!” teriak Bu Astrid.
“Hoyoloh, Zev! Sapa suruh lo tidur di dikelas lagi?” ejek Sekar, teman sebangkuku. Aku
membalasnya dengan pandangan awas-lo-ya.
“Zeva! Harus berapa kali Ibu nyuruh kamu!” ujar Bu Astrid tiba-tiba.
Karena di paragraf ini menujukkan bahwa si pemeran utama mulai menyadari bahwa
semua yang ia alami adalah mimpi buruk, sehingga masalah yang ia lalui hilang begitu
saja.
- Koda
Aku memutar bola mataku malas sebelum keluar kelas. Aku tidak melihat ada bercak
darah lagi, bahkan hingga aku turun menuju lapangan. Aku memulai hukumanku dengan
berlari—yang terlihat lebih seperti jogging.
Diputaran kedua, aku melihat seorang siswi yang sama seperti di dalam mimpiku. Ia
tersenyum miring padaku, lalu menghilang begitu saja. Aku sempat berhenti berlari
karenanya.
Karena paragraf ini menunjukkan bahwa si pemeran utama sudah keluar dari mimpi
tersebut, dan paragraf diatas menampilkan situasi yang berbeda. Paragraf ini juga
menunjukkan si pemeran utama melihat siswi yang sama persis dengan yang di
mimpinya. Hal ini menunjukkan bahwa cerite pendek tersebut merupakan cerita
bertema misteri.
NASKAH DRAMA
Persahabatan
Ibandi: “Din, Aku minta jawaban soal nomor 5 dan 6!”
Andine: “A dan C”
Yensieta: “Soalnya sulit sekali, masih banyak yang belum Aku kerjakan”
Mereka berempat saling contoh-menyontoh seperti siswa lainnya. Tapi tidak dengan
Budiman, ia terlihat rileks dan mengerjakan soal ujian sendiri tanpa Nyontek.
Budiman: “Nyontek atau pun memberi contek adalah hal buruk, yang dosa nya sama.
Aku tidak mau mencotek karena dosa, begitu pula memberi contek ke kalian. Maafin aku
ya..”
Aldiansyah: “Ya sudahlah, biarkan. Urus saja dirimu sendiri Bud, dan kami urus diri
kami sendiri.” (marah dan kesal)
Ibandi lalu mengeluarkan buku dari kolong bangkunya secara diam-diam, kemudian
melihat rumus dan jawaban di dalamnya. Lalu Yensieta menanyakan hasilnya.
Yensieta: “Bagaimana Ban? Ada tidak?
Kareana suara Ibandi yang agak terdengar keras, Guru pun mendengarnya dan
menghampiri mereka berempat.
Setelah itu Budiman keluar dari kelas dan menghampiri mereka. Kemudian Budiman
ikut berdiri hormat seperti yang lain.
Budiman: “Tidak, Aku ingin menjalani hukuman kalian juga. Kita sahabat kan? Aku ingin
kita bersama”
Lantas mereka semua menjalani hukuman dengan penuh canda dan tawa. Ternyata
persahabatan dapat menjadikan semuanya lebih baik.
Sumber : https://www.dosenpendidikan.co.id/contoh-naskah-drama/
Struktur Naskah Drama
Di dalam naskah drama tersebut hanya ada dialog dan epilog, karena tidak
ada prolog yang berbentuk narasi pada naskah tersebut. Dialog terletak pada
awal sampai sebelum narasi akhir. Epilog terletak pada narasi akhir yang isinya
“Lantas mereka semua menjalani hukuman dengan penuh canda dan tawa. Ternyata
persahabatan dapat menjadikan semuanya lebih baik.”
Unsur Intrinsik
Judul : Persahabatan
Tema : Pertemanan
Pengajar = Tegas
Alur : Maju
Unsur Ektrinsik
Nilai-Nilai
Kaidah Kebahasaan