Anda di halaman 1dari 12

Tabung merah mengkilat inilah yang mereka cari.

Aku tahu tiga orang dengan senjata api itu


mengincarku sejak aku keluar dari laboratorium. Awalnya mereka mengekor jauh di belakangku
seperti warga sipil tanpa dosa, namun kini mereka tak ragu lagi meluncurkan amunisi-amunisinya
untuk menghentikanku. Aku pun berlari secepat yang kubisa, melewati gang-gang sempit yang gelap
di antara gedung dan bangunan.

Aku telah menemukan suatu terobosan baru dalam pengobatan depresi. Hasil penelitianku yang
telah berjalan sekian lama itu tersimpan di dalam tabung dengan kode '525300887039' yang kubawa
ini. Dengan tabung ini, aku akan bisa mengubah dunia ini menjadi tempat yang lebih baik, tetapi
tidak jika orang-orang itu mendapatkannya.

Suara tembakan terdengar menggaung dari belakangku. Aku berhasil menghindar dari peluru yang
melubangi dinding di sampingku. Celaka! Aku harus lebih cepat.

Setelah beberapa kali berbelok dan menyesatkan diriku sendiri di dalam gang-gang kecil ini, aku pun
keluar ke jalan raya yang cukup sepi. Kurasa ini buruk. Kukira akan ada banyak orang yang akan
menghambat orang-orang itu, tetapi tak ada pejalan kaki yang berlalu lalang di trotoar

ini, hanya ada beberapa mobil—yang tak selengang yang seharusnya. Aku pun mempercepat laju
lariku sambil menengok ke belakang beberapa kali. Aku harus segera menemukan tempat untuk
bersembunyi, atau setidaknya kembali menyusuri gang sempit.

Saat aku berada di depan sebuah taman kota yang sepi, sejenak aku berpikir untuk bersembunyi di
sana, tapi taman itu tidak mempunyai tempat yang cukup tersembunyi. Aku pun mengurungkan
niatku dan tetap berlari. Namun, saat aku hendak kembali fokus pada jalanan, ekor mataku
menangkap sesuatu. Di tengah taman itu, aku melihat seorang pria paruh baya dan seorang laki-laki
tanggung yang usianya sedikit lebih muda dariku—sepertinya mereka ayah dan anak.

Aku tak sadar kalau kakiku berhenti.

Pria paruh baya itu duduk di kursi rodanya yang nyaman. Wajahnya tak bisa menyembunyikan
kebahagiaan saat anak lelakinya dengan bangga menunjukkannya sesuatu: sebuah medali dan
selembar kertas. Sang ayah tampak ingin sekali bangkit dari kursi rodanya dan memeluk erat sang
anak. Dan seolah anak itu mengetahuinya, ia segera memeluk ayahnya.

Suara tembakan sekali lagi memecah suasana. Meskipun tembakan itu meleset, aku pun secara
refleks menghindar dan melihat ke

Arah sumber tembakan. Mereka menemukanku. Bodoh! Mengapa aku berhenti? Tanpa menunggu
apa-apa lagi, aku segera berlari menjauh dari orang-orang tersebut. Aku sempat melihat sekilas ke
arah taman, tapi aku tak melihat tanda-tanda keberadaan ayah dan anak itu lagi.

Di dekat perempatan, aku segera menyeberang ke ruas trotoar yang lain tanpa mempedulikan
lampu lalu lintas yang masih menyala hijau. Sebuah mobil yang melaju kencang hampir menabrakku
tanpa membunyikan klakson. Hampir saja! Setelah itu aku pun belok ke kanan. Meskipun ruas jalan
itu lebih ramai daripada yang lain, aku tak memperlambat tempo lariku.
Mataku menangkap sesuatu yang menarik perhatianku lagi. Di sebuah cafe di pinggir jalan, tepatnya
di tempat duduk outdoor, aku melihat seorang lelaki paruh baya yang lain. Ia duduk termenung
memandangi jalanan. Tunggu dulu, apakah itu ...

“Ayah?” teriakku dengan lantang, kemudian berlari menghampirinya. “Apa yang kau lakukan di sini,
ayah?”

Ayahku mengalihkan pandangannya dari jalan ke kedua mataku dengan perlahan. Wajahnya terlihat
lebih tua dari seharusnya dan tampak sangat lelah. Beliau tak menjawab pertanyaanku.

“Mengapa ayah ada di sini? Ayo, ikut aku, yah, kita dalam bahaya!” aku meraih tangan ayah yang
lemas tanpa tenaga dan hendak menariknya, tapi kuhetikan karena beliau tidak bereaksi sama sekali.

"Ada apa, yah?" tanyaku sekali lagi dengan panik. Mereka bertiga bisa muncul kapan saja.

Ayahku hanya diam membisu. Dan yang tidak kumengerti adalah bahwa beliau menatapku lekat
dengan tatapan kecewa yang mendalam.

Belum sampai aku mengeluarkan kata-kataku, suara tembakan sekali lagi terdengar, kali ini
mendengung penuh di telingaku. Untuk sepersekian detik, aku baru menangkap bahwa tepat di dahi
ayahku, sebuah peluru menembus dan membuatnya terjengkang. Semuanya terasa sangat lambat.
Yang bisa kudengar hanya dengungan senjata api yang tak mau pergi dari telinga ini, bahkan hingga
menghalangi suara teriakanku sendiri. Aku segera menghambur menuju ayahku yang terbaring di
trotoar depan cafe itu. Degup jantungku terasa semakin cepat dan nafasku pun menjadi tersengal-
sengal. Hawa panas segera menguasai tubuhku.

Aku pun segera bangkit dan duduk di kasurku. Kipas angin yang menempel di tembok tak mampu
menghalangi keringat dingin yang keluar membasahi tubuhku. Untuk beberapa saat, nafas dan detak
jantungku masih belum kembali normal. Aku mencoba menenangkan diri dan berusaha untuk rileks.

Meski hanya mimpi, wajah kekecewaan ayahku terbayang dengan jelas di dalam kamarku yang
gelap. Dan lagi, mengapa potongan ingatan masa laluku muncul dalam mimpi tersebut?

Pikiranku mendadak kembali ke rumah ini, dua tahun yang lalu. Aku masih ingat saat itu aku pulang
dari acara wisuda kelulusan sekolah dengan pakaian rapi dan jas hitam. Ayahku, yang duduk di atas
kursi rodanya dan tak dapat hadir dalam acara itu menungguku di teras rumah. Dengan bangga, aku
menunjukkan sebuah medali yang kudapat karena aku menjadi lulusan dengan nilai terbaik serta
sebuah ijazah SMA. Ekspresi bangga ayahku bertambah saat aku memberitahunya bahwa
aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di sebuah perguruan tinggi favorit.
Terlebih lagi, aku yang merasa lebih senang karena usahaku selama ini untuk membuat ayahku
bangga akhirnya menjadi kenyataan. 2

Andai saja ibu masih ada di sini...

Ibuku meninggal saat berusaha membawaku lahir ke dunia. Aku hanya tahu ibuku lewat penuturan
ayah serta album foto yang ditunjukkan kepadaku. Album itu berisi banyak foto-foto mereka berdua
semenjak masih menjadi sejoli muda-mudi yang diikat cinta monyet hingga diresmikan menjadi
pasangan suami istri. Dari foto-foto tersebut, jelas sekali mereka adalah pasangan paling bahagia di
dunia.

Dan terkadang aku merasa bersalah karena telah merusak hubungan itu. Aku bahkan pernah
berharap aku saja yang menggantikan posisi ibu.

Ayah pun menjadi orang tua tunggal, tapi itu tak membuatnya menjadi sosok ayah yang tidak
bertanggung jawab. Beliau adalah ayah terbaik di dunia. Meskipun sibuk juga dengan pekerjaannya,
ayah mendidikku dengan sabar dan penuh kasih sayang. Ayah memang pergi ke kantor saat pagi hari
dan pulang

Di sore hari menjelang malam, tapi itu tak jadi penghalang bagi kami untuk mempunyai waktu
bersama. Hubungan kami sangat erat dan tak terpisahkan.

Dalam beberapa waktu, aku pernah melihat ayah seperti memandang sesuatu nun jauh di sana. Saat
aku bertanya apakah ayah tidak mencari pendamping hidup yang baru, beliau menjawab, “ayah akan
tetap menjaga janji ayah, meskipun mungkin ibumu sudah tidak keberatan lagi.”

Kejadian buruk menimpa kami lagi saat aku menginjak kelas 2 SMA. Dokter berkata bahwa ayah
terserang stroke ringan yang tidak biasa karena kerusakan sel pada sumsum tulang belakangnya.
“Terapi mungkin bisa dilakukan, tapi tidak akan memberi banyak perubahan atau bahkan tidak sama
sekali,” kata dokter itu padaku saat itu. Akhirnya, setelah beberapa hari rawat inap, ayahku
diperbolehkan pulang dengan kursi roda.

Pengobatan ayah tertutupi dengan asuransi perusahaan yang masih berlaku, tapi setelah itu beliau
dipensiunkan dini. Kami pun hidup dengan uang tunjangan yang diberikan setiap bulan. Aku pernah
berniat untuk bekerja di sela-sela waktu sekolahku, tapi entah bagaimana ayahku tahu dan
melarangku. “Jangan pikirkan masalah ekonomi, pendidikanmu lebih berharga!”
Itulah yang membuatnya sangat senang ketika aku mendapat beasiswa, terlebih lagi sudah
mendapat sebuah kursi di perguruan tinggi. Beliau berpesan padaku bahwa apapun

Yang terjadi, aku harus fokus pada pendidikanku dan tak perlu khawatir dengan masalah biaya
penghidupan.

Kata-kata ayah itu membuatku termotivasi penuh, hingga akhirnya...

Mataku perlahan mulai panas saat mengingat kejadian itu. Belum

Sampai setahun yang lalu, ketika awal semester keempat pendidikanku, tugas yang harus
diselesaikan menjadi lebih banyak dari semester-semester yang lalu, sehingga mengharuskanku
untuk pulang larut hampir setiap harinya. Aku ingat saat itu hari kamis, aku beranjak dari kampus
pukul sepuluh malam. Saat aku pulang, rumahku sangat gelap. Aku pun segera masuk ke dalam dan
berharap semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk pada ayahku.

Harapanku musnah.

Seusai aku menyalakan semua

Lampu rumah, aku melihat kursi

Roda ayah yang kosong berada

Di dekat kamar mandi. Kursi itu menutupi pandanganku, seolah menyembunyikan tubuh ayah yang
terbaring di lantai kamar mandi dengan kepala penuh darah yang telah mengering. Jantungku
berdetak sangat keras hingga terasa sakit, dan tanpa menunda lagi aku membawa beliau

Ke rumah sakit, meskipun terbersit pikiran bahwa semuanya sudah terlambat. Aku tak peduli.

Duniaku runtuh saat itu juga


Ketika dokter mengatakan hal yang sebenarnya telah kuketahui (dan kucoba untuk tolak). Awalnya
aku berpikir bahwa semua ini salah dan ingin terbangun di atas tempat tidurku, tapi aku tahu itu
takkan pernah terjadi.

Aku menarik nafas panjang dan kembali ke kenyataan. Keringat seakan membuat pakaianku basah
kuyup. Aku berdiri dan menuju dapur, mendapati galon air sudah nyaris habis, aku pun mengambil
separuh dan meminumnya. Aku harus lebih berhemat karena sampai saat ini aku masih
mengandalkan tabunganku. Besok pagi aku akan membawa lagi surat lamaranku ke instansi-instansi
yang membutuhkan pegawai dengan ijazah SMA.

Maafkan aku, ayah. Aku tak bisa mengikuti pesanmu.

Semenjak kematian ayahku, aku

Tak bisa mempertahankan indeks prestasiku untuk tetap berada pada batas tertentu, sehingga
beasiswaku pun dicabut. Uang tunjangan perbulan ayahku juga telah diberhentikan. Meskipun ayah
masih memiliki tabungan dari gaji yang telah ia kumpulkan, serta uangku yang berasal dari sisa
beasiswa yang kusimpan sejak semester awal, itu tak akan cukup untuk melanjutkan pendidikanku
hingga lulus nanti. Daripada menghabiskan tabungan, lebih baik aku segera mencari pekerjaan untuk
menyambung hidup.

Tapi hingga saat ini, entah sudah ada berapa lowongan pekerjaan yang kutuju selalu menolakku.
Berkali-kali aku mengirim surat lamaran, berkali-kali itu pula aku mencetaknya lagi dan lagi.

Andai saja aku bisa berbicara dengan ayah, bahkan jika itu hanya dalam mimpi...

Aku tahu ini konyol, tapi aku

Tetap saja membuka laptopku dan menghubungkannya ke internet. Jari-jariku mengetikkan kata
‘cara berbicara dengan orang mati di dalam mimpi’ di halaman awal Google. Hasil yang keluar adalah
cara berkomunikasi dengan jin, cara melihat makhluk halus dan segudang judul mistis irasional
lainnya. Aku tersenyum miris kepada diriku sendiri yang seperti orang frustasi dan kehilangan tujuan
hidup.

Aku tak peduli dengan ejekanku sendiri dan mengganti keyword dengan ‘cara mengendalikan
mimpi’. Awalnya sebuah blog dengan judul Lucid Dream menarik perhatianku. Aku pun membaca
artikel-artikel dalam blog itu. Kurasa aku menemukan titik terang. Yah, meskipun lucid dream secara
singkat adalah keadaan dimana kita sadar kalau kita berada di dalam mimpi, tapi kita bisa
mengendalikannya dan melakukan apa saja di dalamnya.
Aku berencana untuk memunculkan ayahku dan berbicara dengannya.

Dengan ketertarikan yang besar, aku pun segera mengumpulkan segala informasi tentang lucid
dream. Dini hari itu juga, aku segera beranjak tidur kembali untuk mempraktikkannya dengan teknik
Wake Back to Bed, karena kebetulan aku juga usai terbangun dari tidur.

Hari itu aku terbangun tanpa sekelumit pun mimpi. Aku segera bersiap dan berangkat untuk
memberikan lamaran untuk yang kesekian kalinya. Aku berharap malam akan datang lebih cepat
sehingga aku dapat berlatih lagi.

Beberapa hari berlalu, pencarian pekerjaanku belum membuahkan hasil, namun aku semakin mahir
dalam kontrol mimpi. Aku mulai lancar saat masuk ke tahap sleep paralyze dan berdiri di dalam
kamarku sendiri di dunia mimpi. Awalnya aku sering terbangun setelah melakukan reality check—
tetap bernafas meskipun aku menutup hidung, memelintir jari tanpa merasakan sakit dan melihat
bayanganku yang tidak beraturan di depan cermin, tetapi, setelah berulang kali berlatih, akhirnya
aku dapat bertahan dalam mimpi itu meskipun saat mengecek jariku sendiri, aku tiba-tiba memiliki
tujuh jari di tangan kanan.

Hingga suatu ketika, merasa bahwa pengendalian diriku sudah cukup stabil di dalam mimpi, aku
mencoba untuk memproyeksikan ayahku

Agar beliau muncul di depanku. Aku berusaha dengan sekuat imajinasiku, tapi tak juga berhasil,
malahan aku terbangun karena kehilangan kontrol.

Pada praktik lucid dream selanjutnya, aku menggunakan teknik Dream Recall. Di dalam mimpi, aku
mengingat-ingat lokasi mimpi di mana aku bertemu dengan ayahku dan perlahan
memvisualisasikannya, hingga kamarku pun berubah menjadi cafe outdoor seperti waktu itu.
Dengan cara ini, kemungkinan untuk bertemu ayahku lebih besar. Tetapi beliau tidak terlihat di
mana pun.

Hei, di mimpi ini aku ‘kan menjadi seorang ilmuwan?

Di ujung perempatan, aku melihat tiga orang yang mengejarku tempo lalu. Mereka melambai-
lambaikan tabung merah mengkilat hasil penemuanku. Sekilas, kudapati kode yang tercetak di
permukaannya sedikit berbeda: 525300247030. Mereka pun segera berlari ke ujung jalan yang lain
dan menghilang diantara pejalan kaki lain.

Ini adalah pengalaman baru


Bagiku, aku dapat dengan sadar mengendalikan diriku sendiri di dalam mimpi, terlebih lagi dapat
mengendalikan mimpi ini sendiri, meskipun tidak semuanya. Aku pun membuat alur cerita dengan
mengejar para pencuri itu.

Aku mengimajinasikan sebuah holo-GPS yang dapat melacak di mana tabung itu berada. Di
hadapanku

Pun menyala sebuah piringan besar hologram yang berlukiskan denah kota timbul melayang setinggi
perut. Sebuah titik biru menunjukkan lokasiku dan hijau cerah berkelip-kelip bergerak perlahan ke
lantai atas

Di sebuah gedung. Kunonaktifkan display-nya dan segera bergegas. Tabung itu di sana!

Saat aku berhenti di depan gedung yang dimaksud, sesuatu terjadi: gedung-gedung perlahan
bergeser dan mengubah tata kota. Semakin lama pergerakannya semakin cepat. Aku bahkan
terpaksa mengubah arah beberapa kali hingga kehilangan jejak di dalam kota yang seperti labirin
berubah-ubah ini. Kulihat display holo-GPS lagi—gedung itu bergerak semakin jauh dariku.

Akan lebih mudah jika mencari lewat udara.

Itu dia! Aku segera memvisualisasikan sebuah sepatu yang dapat digunakan untuk melompat dengan
kekuatan tinggi. Sepatu bot yang tadinya kukenakan pun berubah menjadi sepatu sport dengan alas
tebal dan berbeda di beberapa sisi. Dengan kuda-kuda yang mantap, aku

Segera melompat ke satu gedung

Dan menjadikannya pijakan untuk melompat dari gedung ke gedung.

Akhirnya aku sampai di atap gedung target. Kulihat lagi display-nyatabung itu seharusnya berada
tepat di depanku di ujung lain atap gedung. Namun, hanya ada seseorang yang berdiri mematung di
sana. Ketika aku menghampirinya, pria bertopeng itu menodongkan pistol ke dahiku, dan tanpa ragu
menembakkan isinya.
Seketika semuanya menjadi hitam dan aku kembali ke kamarku. Sebentar lagi matahari terbit. Alih-
alih mempersiapkan file-file yang harus kubawa untuk hari itu, aku mengingat kembali semua hal
yang telah kualami di dalam mimpi yang paling menarik yang pernah kualami. Terkadang

Aku tersenyum sendiri sambil membenamkan wajahku ke bantal: itu dunia yang sejak dulu
kuinginkan!

Aku lalu mengambil selembar kertas dan mulai menggambar sebuah senjata yang dulu pernah ada
dalam imajinasiku: sebuah pistol yang dapat dilipat dan menjadi sebuah lightsaber sekaligus. Tak
pernah ada di dunia nyata, tapi setidaknya akan tercipta di dalam mimpi. Menggambarnya terlebih
dulu akan jauh lebih mudah untuk divisualisasikan karena memori tentang objek tersebut sudah
terbentuk secara kompleks dalam pikiran.

Hari demi hari, aku mengabaikan surat lamaran yang berkali-kali ditolak itu dan menghabiskan
waktu di dalam dunia baru yang kuciptakan. Aku juga perlahan menenggelamkan tujuan utamaku
berlatih lucid dream untuk berbicara dengan ayah.

Aku mengendap-endap masuk

Lebih dalam di sebuah gedung tua sambil membawa gunblade—senjata Ciptaanku itu. Aku segera
berlindung di balik dinding saat tiga tembakan mengarah padaku—tiga pencuri sialan itu. Menurut
informasi, tabung penelitianku disembunyikan di atap gedung yang kurang lebih berlantai seratus
ini.

Aku meraih granat listrik dari ikat pinggangku dan melemparkannya

Ke titik persembunyian mereka. Saat granat itu meledak menjadi semburat listrik yang liar, mereka
melompat keluar, dan saat itu pulalah aku melumpuhkan mereka dengan tiga tembakan sekaligus.
Aku masuk lebih dalam dan menghampiri lift yang ada, tidak berfungsi. Aku pun menuju ke atas
lewat tangga darurat.

Di sana aku disergap lebih

Banyak musuh lagi, dan aku dapat menumbangkan mereka dengan gunblade mode pistol maupun
pedang. Hingga pada lantai kesekian, aku dihadang oleh sesosok monster hijau yang berpenampilan
seperti Hulk. Tak hanya itu, pria bertopeng yang membunuhku di beberapa mimpi sebelumnya juga
terjun dari atas menghadangku.
“Pergilah, biar aku yang menghadapi ini,” kata pria bertopeng itu. Aku sempat terkejut
mendengarnya, tapi kemudian aku kembali melanjutkan perjalananku. Yah, pria bertopeng itu juga
bagian dari alam bawah sadar yang tak bisa kukendalikan, sama seperti entitas-entitas yang
menghalangiku. Sejenak, aku melihat pertarungan mereka yang sengit dari beberapa lantai di atas
mereka.

Sampai di tangga terakhir, aku berhenti sejenak, lalu kubuka pintu terakhir tangga darurat ini. Atap
gedung ini mempunyai landasan helikopter di tengahnya, dan di sana, berdirilah sesosok dengan
busana serba hitam. Entah mungkin karena proyeksi alam bawah sadarku yang liar, sosok itu terlihat
seperti Darth Vader, dengan Suasana langit gelap yang mendukung.

“Di mana kau sembunyikan tabung itu?” tanyaku sambil mengaktifkan gunblade mode pedang yang
menyala putih.

“Mengapa tak kau cari tahu dengan melawanku?” sosok itu juga menarik lightsaber merah menyala.

Aku berlari menghampirinya sambil melompat dan menyabetkan gunblade dengan sekuat tenaga,
tapi ia berhasil menangkisnya. Selanjutnya kami pun beradu pedang. Tapi entah mengapa,
gerakanku terasa melambat dan senjataku menjadi sangat berat. Meski demikian, aku dapat
menangkis serangan-serangan yang ia lancarkan.

Dalam kesempatan kecil itu, kutemukan titik yang tak terlindungi. Aku pun menghunuskan senjataku
yang berat dan menghujam tubuhnya. Sosok itu pun tumbang menjadi segumpal kain hitam.

Tepat di tengah landasan helikopter, aku melihat sebuah pintu brankas bank yang besar entah sejak
kapan berada di sana. Dengan sekuat tenaga, aku memutar kenob besinya yang besar dan
membukanya, lalu melompat masuk ke dalamnya.

Tempat itu sangat berbeda: padang rumput tak berujung dengan langit biru yang cerah dan sedikit
berawan. Aku bisa melihat perbedaannya

Dari lubang gelap yang menganga

Di antara langit biru yang bersih.


Di ujung sana, aku melihat sebuah exhibition case seperti pada museum. Di dalamnya terdapat
sebuah

Tabung merah mengkilat polos tanpa coretan kode apapun. Aku berjalan mendekatinya, membuka
kotak itu dan mengambilnya.

Saat aku berbalik, pria bertopeng itu berada tepat di hadapanku dalam posisi siap menyerang. Aku
secara refleks membelah topeng itu, dan menampakkan sebuah wajah yang telah lama kukenal:
ayahku dengan penampilan seperti sebelum ia sakit, tapi luka di dahi yang menghitam akibat
tembakan terlihat sangat jelas. Tubuhku kini terasa seperti batu sepenuhnya, lalu ayah menembakku
dengan pistolnya.

Lagi-lagi aku terbangun karena tembakan, dan terlebih lagi pria bertopeng itu adalah ayahku! Aku
benar-benar tidak mengerti apa maksudnya, mengapa ayah melakukannya.

Seketika itu aku mengingat tujuan utama mengapa aku berlatih lucid dream yang sudah tertimbun
oleh mimpi-mimpi rekaanku sendiri yang sedemikian banyaknya: berbicara dengan ayah.

Dalam mimpi-mimpi selanjutnya, aku berusaha keras untuk melakukan segala macam teknik lucid
dream untuk bertemu dengan ayah. Entah berapa mimpi yang telah kubangun, aku tak pernah
bertemu dengannya.

Hingga suatu ketika, aku berada di sebuah tepian hutan dengan sungai yang mengalir damai. Aku
melihat ayah duduk di sebuah batu besar, memandangi sungai seolah tak tahu kehadiranku.

Aku menghampirinya, tapi kami berdiam diri dalam waktu yang cukup lama.

Ayah menoleh padaku, tidak ada bekas luka tembakan apapun di dahinya, kemudian kembali ke riak
sungai. "Dengar, ayah tidak pernah marah atau pun kecewa padamu. Jangan jadikan itu sebagai
beban, apalagi rasa bersalah yang berlarut-larut."

"Tapi aku..." meskipun itu hanya mimpi, rasa berat di dada terasa cukup nyata. "Aku membiarkan

ayah sendirian di rumah, para tetangga menyalahkanku di belakang punggungku atas kejadian itu,
anak macam apa aku!" rasa berat itu perlahan naik ke tenggorokan. "Aku bahkan belum sempat
mengucapkan selamat tinggal."
Kulanjutkan lagi, "Orang-orang

itu hanya menganggapku sebagai nomor paling bawah hanya karena aku hanya punya ijazah SMA
untuk melamar pekerjaan. Aku tahu itu memang peraturannya, tapi ..."Apa yang kukatakan barusan?
Pikiranku bercampur aduk dan tak tahu mana yang harus kukeluarkan terlebih dahulu. Aku tak bisa
menahannya lagi, "mengapa ayah harus pergi secepat ini? Ibu bahkan lebih cepat! Aku juga ingin
seperti mereka yang mempunyai keluarga yang lengkap. Mengapa aku harus bertahan hidup di
dunia itu sedangkan aku bisa mendapatkan semuanya di sini, di dalam mimpi?"

Kurasa itu adalah teriakanku dari alam bawah sadar yang paling dalam. Aku tak bisa mengontrolnya.

Ayah memandangku dengan teduh. "Kau tak seharusnya pergi lebih dalam dari ini. Ini bukan dunia
nyatamu. Di sini makhluk-makhluk tak hidup yang berasal dari alam bawah sadarmu sendiri akan
menertawakanmu. Semakin dalam kau menjelajahi alam ini, semakin jauh kau akan tersesat." Beliau
lalu melanjutkan, "kau juga masih belum melakukan pesan ayah."

"Fokus pada pendidikan? Beasiswaku telah dicabut sepeninggal ayah. Aku tak bisa melanjutkan
pendidikanku lagi..."

"Bukan hanya itu maksud ayah. Fokus pada pendidikan adalah apa yang kau jalani saat itu, dan itu
berarti tetap lakukan yang terbaik pada apapun yang kau jalani saat ini. Sekarang kembalilah dan
lakukan apa yang harus kau lakukan."

Ayah memberiku tabung merah mengkilat dengan kode '525300887039' itu kepadaku. Perasaanku
semakin bercampur aduk, tubuhku terasa kaku dan dadaku semakin sesak.

Aku menerima tabung itu sebelum semuanya berubah menjadi hitam dan ayah menghilang
digantikan oleh langit-langit. Di atas tempat tidurku, tanganku terangkat ke atas seperti beberapa
detik yang lalu di dalam mimpi. Aku juga baru menyadari bahwa pipiku basah.

Kata-kata ayahku memberiku sebuah kekuatan yang tak dapat kujelaskan. Tak hanya itu, tabung
penememuanku itu seolah benar-benar mengobati depresiku.

Kdla-Kald dyaliKU IWLEIIWEILKU SEDVUdil kekuatan yang tak dapat kujelaskan. Tak hanya itu, tabung
penememuanku itu seolah benar-benar mengobati depresiku.
Aku segera kembali ke berkas-berkas surat lamaran yang selama ini kubiarkan tergeletak begitu saja.

Anda mungkin juga menyukai