Anda di halaman 1dari 7

Hari ini berjalan seperti biasanya.

Aku dibangunkan alarm, mandi,


sarapan , lalu berangkat ke sekolah. Oh ya, aku lupa memperkenalkan
diri dan keluargaku.
Baiklah, namaku Thomas Abelano Roux, aku lahir di London,
Inggris tanggal 21 Januari 2001. Ayahku bernama Evrard Bertrand
Roux, lahir di Lyon, Prancis tanggal 26 September 1970. Ibuku bernama
Alfia Adonnica Diaz, lahir di Malaga, Spanyol tanggal 12 November
1975.
Aku mempunyai satu kakak laki-laki, namanya James Abellard
Roux, lahir di London, Inggris tanggal 13 Maret 1996. Dan satu adik
perempuan bernama Sara Abelia Roux, lahir di London, Inggris tanggal
3 Juni 2002.
Aku hanya mempunyai satu teman di sekolah, ck aku malas
menyebut namanya. Charles Brandon Murphy, kelahiran Brighton,
Inggris tanggal 7 Februari 2001. Dialah satu-satunya temanku, satu-
satunya orang yang benar-benar tulus berteman denganku. Yah
walaupun dia bisa dibilang agak begitu, tapi dia benar-benar temanku.
Aku dan Sara sekolah di Belgravia, aku kelas sebelas sedangkan
dia kelas sepuluh. Dan kakakku, dia kuliah di Croydon. Awalnya dia
ingin kuliah di Norwich, Namun Mom dan Dad menolaknya.

Tiga tahun yang lalu, saat aku baru kelas tujuh.


Flashback on
Kami sekeluarga sedang menonton TV di ruang keluarga. Tiba-
tiba kakak bersuara.
“Uhm... Mom, Dad. Aku ingin kuliah di luar London.”
“Di mana?” Tanya Mom.
“Norwich.”
“Apa? Norwich? Tidak. Tidak boleh. Itu terlalu jauh.” Tolak Dad.
“Benar. Dan juga bagaimana cara membiayai kuliahmu?” Kini Mom
bersuara.
“Aku bisa kuliah sambil bekerja.”
“Begini saja. Kau boleh kuliah di luar London. Tapi yang dekat saja dari
London.” Saran Dad.
“Okay. Bagaimana kalau di Croydon?”
“Tapi, apa kau yakin?” Tanya Mom.
“Yeah, Mom. Aku yakin”
“Baiklah. Jika itu sudah menjadi keputusanmu. Silakan. Kami
mengijinkanmu.” Kata Dad dan Mom mengangguk tanda setuju.
“Thanks Mom, Dad.” Katanya sambil tersenyum lebar.
“Tapi bagaimana denganku? Aku akan merindukan kakak.” Kata Sara.
Aku mengangguk menyetujui perkataan Sara.
“Ya. Kami akan sangat merindukan kakak.”
“Tenang. Setiap 2 pekan sekali aku akan pulang.”
“Promise?” Kata kami bebarengan.
“Yes, I’m promise.”
Flashback off

***

Akhirnya, waktu istirahat tiba. Kau tahu? Di kelas itu sangat


membosankan, apa lagi saat pelajaran Mrs. Tesla. Aku pernah
menceritakannya pada kalian, bukan?
Aku berjalan menuju kantin lalu membeli sekaleng soda. Kulihat
meja paling ujung ada Sara sedang membaca sebuah novel. Langsung
saja aku berjalan ke tempatnya dan duduk di hadapannya.
“Apa yang kau baca?” Tanyaku.
“Tulisan” Jawabnya sambil tetap fokus membaca.
Aku hanya menghela nafas. Sabar, dia adikmu.
“Di mana temanmu itu?”
“Di kelas. Katanya tidak mau ke kantin hari ini.”
Aku hanya manggut-manggut.
Tunggu. Padahal aku hanya minum sekaleng soda. Tapi kenapa
aku sudah merasa ingin pipis. Hft.. Lebih baik aku ke toilet.
“Aku pergi dulu.” Pamitku pada Sara.
Dia bergumam membalas perkataanku.

***

Saat di toilet, aku bertemu Jack dan tiga teman sialannya itu.
Kalian tahu apa yang mereka perbuat? Mereka membully murid lain.
Murid itu memakai kacamata dan alat bantu dengar. Mereka melepas
kacamata dan alat bantu dengar murid itu dengan paksa dan
melemparkannya. Lalu mereka memukuli dan menendang murid
tersebut hingga babak belur. Dan yang lebih parah, mereka memasukkan
kepala murid itu ke dalam toilet. Mereka sudah kelewat batas. Mereka
benar-benar keterlaluan.
“Hey, apa yang kalian lakukan padanya?”
“Bukan urusanmu.” Balas Jack ketus.
“Lepaskan dia atau kalian akan merasakan akibatnya.”
“Hey, ada yang mau jadi pahlawan di sini. Ha?” Balas Danny.
“Baiklah. Sepertinya aku tidak punya pilihan lain. Ayo.” Kataku sambil
memasang kuda-kuda.
Jordan lari ke arahku sambil melayangkan pukulannya. Dengan
cepat kuhindari pukulannya lalu memukul perutnya. Dia terjatuh di
lantai sambil mengaduh kesakitan. Cih, baru begitu saja sudah kesakitan.
Kali ini Danny mencoba menendangku namun dengan cepat aku
menangkisnya dan menendang tepat di kepalanya. Carlos meninjuku tapi
dengan sigap kupegang pergelangan tangannya lalu kupuntir ke
belakang punggungnya dan menekannya hingga terdengar bunyi ‘crack.’
“Keparat kau.” Jack berlari ke arahku lalu melompat sambil
melayangkan pukulannya.
Pukulannya tepat mengenai hidungku.Sial, kali ini aku tidak bisa
menangkisnya. Dia mencoba meninjuku lagi dan berhasil kutangkis.
Dengan cepat aku meninju wajahnya. Tepat mengenai hidungnya lalu
berdarah.
“You son of a bitch!” Geramnya lalu mencoba menendangku.
Dengan cepat aku menangkap kakinya lalu memukulnya dengan sikuku,
bermaksud mematahkan kakinya. Dia mengerang kesakitan. Akhirnya
aku melepaskannya.
“Asshole!” Katanya.
“Apa? Kau ingin merasakan tendanganku juga?”
Dia lalu segera membantu teman-temannya berdiri dan keluar dari toilet.
Aku mendekati murid yang dibully tadi. Dia tampak ketakutan.
“Kau tak apa?” Tanyaku.
“Y-ya.” Katanya sambil mengangguk.
Aku mengulurkan tanganku membantunya berdiri, kemudian dia
mengambil kacamata dan alat bantu dengarnya. Aku mengantarnya ke
kelasnya setelah dia mencuci kepalanya. Beruntung bajunya tidak basah
saat kepalanya dimasukkan ke toilet tadi oleh Jack sialan.
“Kau kelas berapa?” Tanyaku sembari berjalan mengantarnya.
“Sepuluh” Jawabnya.
Apa? Sepuluh? Jack dan dua temannya itu memang sialan. Hanya
berani dengan adik kelas.Kalian tahu? Jack dan temannya itu hanya
berani dengan adik kelas dan yang sepantaran dengan mereka. Mereka
tidak berani dengan kakak kelas.
“Kak? Kak Thomas?”
“Ah. Ya?”
“Ada apa? Kak Tom terlihat memikirkan sesuatu.”
“Ah tidak. Tunggu, kau tahu namaku?”
“ Semua orang di sekolah ini mengenal kakak.”
“Thomas saja. Jangan panggil aku kakak.” Aku memang risih dipanggil
‘kakak’.
Dia hanya mengangguk.
“Dan namamu?”
“Dalton”
Aku hanya manggut-manggut.
Setibanya di depan kelasnya, Dalton berterima kasih lalu masuk ke
kelasnya.

***
Aku dan Sara turun dari bis sekolah, lalu segera menuju pintu
rumah dan membukanya.
“I’m home” Kata kami bersamaan.
Sara segera masuk ke kamarnya sementara aku ke dapur untuk
memakan sesuatu.
“Thomas” Panggil Mom.
“Ya?” Jawabku sambil menoleh ke arah Mom.
“Mom dapat telepon dari sekolah, kepala sekolah bilang kau bertengkar
dengan empat murid dan salah dua dari mereka tangannya patah dan
kakinya retak. Benar?
Aku menghela nafas. “Mom. Mereka itu pembully. Mereka tadi sedang
membully adik kelas. Aku hanya membela murid itu. Aku benar, kan?”
“Sayang. Niatmu itu benar, tapi caramu yang salah.”
“Mom. Hanya cara itu yang bisa membuat mereka jera. Supaya mereka
tahu rasanya dipukuli dan dihajar. Itupun belum tentu bisa membuat
mereka kapok.”
Sara keluar dari kamarnya dan turun ke lantai bawah.
“Ada yang kulewatkan?” Kata Sara.
Mom menghela nafas. “Kakakmu bertengkar dengan empat murid yang
katanya pembully. Salah dua dari mereka kakinya retak dan tangannya
patah karena kakakmu.”
“Oh..”
“Kau sudah tahu?” Tanya Mom.
“Ya, Thomas sendiri yang menceritakannya padaku.”
“Thomas, mulai besok Mom tidak mau kau bertengkar lagi apapun
alasannya.” Pinta Mom.
“Baiklah. Tapi aku tidak janji.” Jawabku.
“Sekarang cepat mandi dan bersiaplah. Kita akan pergi setelah Dad
pulang.”
“Yeah..”

Anda mungkin juga menyukai