Anda di halaman 1dari 7

SEBUAH TAWARAN

Sejenak aku tertegun, kagum, dan tercengang, saat menatap seluruh bagian rumah yang
begitu besar. Lantai yang dilapisi permadani, dinding yang dihiasi lukisan kaligrafi, lampu
gantung warna keemasan, dan beberapa perabotan mahal terlihat begitu indah. Halaman depan
pun cukup luas. Paving blok tersusun rapi. Di kanan kiri tumbuh berbagai jenis tanaman hias
dengan bunga beraneka warna. Sebagian berada di dalam pot. Sungguh pemandangan yang asri.
Ada garasi yang sedikit terbuka di samping rumah. Dua mobil mewah terparkir di dalamnya.
Pak haji Somad memang terkenal sebagai orang terkaya dan terpandang di kampungku.
Beliau memiliki banyak tanah, rumah, dan ruko dimana-mana. Sebagian dikontrakkan atau
disewakan. Kekayaan yang dimiliki beliau seakan tak habis dimakan tujuh turunan. Buat orang
miskin seperti aku, itu hanya bisa ada dalam mimpi.
Tidak salah pula jika Pak haji Somad disebut lelaki hebat. Karena selain harta yang
berlimpah, beliau juga memiliki dua orang istri. Ibu Hajjah Khusnul, istri yang nomor satu dan
Ibu Hajjah Nafis, istri yang nomor dua. Dari kedua istri beliau itu pernah ada seorang anak yang
terlahir dari rahim Ibu Hajjah Khusnul. Tapi meninggal kala masih balita. Sampai sekarang
belum ada tanda-tanda, beliau bakal dikaruniai momongan.
Tak terasa sudah lebih dari tiga bulan, aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di
keluarga Pak Haji Somad. Pekerjaan yang dianggap rendah oleh kebanyakan orang ini terpaksa
harus aku jalani untuk menyambung hidup juga demi masa depan Rani, putriku semata wayang,
buah perkawinanku dengan almarhum Mas Mardi, suamiku.
Rani sekarang duduk di kelas tiga Madrasah Tsanawiyah. Sudah besar, cerdas, dan
cantik. Kata orang, wajahnya mirip denganku. Ia punya cita-cita ingin jadi sekretaris dan kerja di
kantoran, agar secepatnya bisa cari uang untuk kebutuhan keluarga. Aku terharu akan kemauan
kerasnya. Mulai saat ini, aku harus benar-benar giat mengumpulkan biaya untuk Rani, agar bisa
melanjutkan pendidikan kejuruan demi mewujudkan cita-citanya.
Sejak Mas Mardi suamiku meninggal dunia lima bulan yang lalu, aku harus siap jadi ibu
sekaligus ayah bagi putriku. Air mata ini tiada berhenti menetes, bila teringat kembali peristiwa
kematiannya yang begitu tragis. Kecelakaan akibat jatuh dari lantai enam sebuah gedung tinggi
ketika bekerja sebagai kuli bangunan di kota Surabaya, telah merenggut nyawa suamiku. Uang
santunan yang diberikan oleh pihak PT Jamsostek hanya cukup untuk menutupi biaya
pemakaman dan selamatan.Beruntung aku mendapatkan tawaran untuk bekerja di rumah Pak
Haji Somad. Sekalipun cuma jadi pembantu rumah tangga. Bagiku tak masalah. Yang penting
pekerjaanku halal dan berguna bagi orang lain. Lagi pula aku hanya memiliki ijazah SMP.
Dulu aku pernah melanjutkan sekolah sampai kelas sampai kelas dua SMA, namun
terpaksa harus berhenti karena orang tuaku tak sanggup lagi membiayai. Ayahku terkena stroke.
Tanah, rumah, dan ternak habis terjual untuk biaya pengobatan beliau. Mulai dari dokter di
rumah sakit, shinse, tabib, dukun, sampai pengobatan tradisional dan alternatif lainnya di
berbagai pelosok sudah didatangi. Bukannya sembuh, kondisi Ayah malah semakin parah. Beliau
meninggal setelah bertahan selama enam tahun melawan penyakitnya. Tak berlangsung lama,
Ibu pun menderita penyakit yang sama. Rupanya beliau tak sekuat Ayah. Ibu hanya mampu
bertahan sekitar empat tahun dan akhirnya menyusul kepergian Ayah menghadap Sang Khalik.
Sepeninggal Ayah dan Ibu, aku diasuh oleh Pakdhe dan Budhe. Perekonomian
keluarganya pun bisa dibilang minim. Mereka mempunyai empat orang anak. Untuk mencukupi
kebutuhan hidup, mereka harus membanting tulang menjadi buruh tani. Dengan bertambahnya
aku menjadi anggota keluarga, tentu menambah beban mereka. Agar bisa sedikit membantu
mereka, hari-hari kusibukkan dengan berjualan kue-kue keliling kampung. Hasilnya memang
tidak seberapa, tapi paling tidak aku sudah belajar mandiri.
Aku sempat minder karena kemiskinanku. Setiap kali ada laki-laki yang berusaha
mendekati, selalu mendapat penolakan dari orang tuanya, begitu tahu aku miskin. Adat Jawa
yang mementingkan bobot, bibit, bebet sebagai pertimbangan memilih jodoh masih menjadi
pegangan kuat. Hingga akhirnya aku bertemu dan menikah dengan mas mardi, pemuda desa
yang miskin seperti aku. Mungkin orang miskin selayaknya hanya pantas mendapatkan orang
miskin pula. Tapi bagiku, Mas Mardi itu sosok pria idaman. Selain ganteng, orangnya baik hati,
jujur, setia, pekerja keras, dan penuh tanggung jawab.
Dengan kerja keras pula, akhirnya kami bisa memiliki sepetak tanah dan rumah yang
sederhana. Cukup untuk berteduh dari panas dan hujan. Aku buka warung sembako kecil-kecilan
di rumah, sementara Mas Mardi kerja serabutan. Kadang jadi buruh tani, kuli panggul, atau kerja
di proyek sebagai kuli bangunan.
Hidup terasa lengkap begitu lahir putriku, Rani. Malaikat kecil yang semakin membuat
kami bersemangat dan pantang menyerah menghadapi hidup. Hari-hari dipenuhi canda dan tawa
disela-sela tingkah Rani kecil yang lucu dan menggemaskan.
Masa kecil putriku memang sangat dekat dengan almarhum ayahnya. Mas Mardi amat
besar perhatian dan kasih sayangnya kepada Rani. Ia sering menghibur, menceritakan dongeng
sebelum tidur, merawat dikala sakit, sampai mengantar Rani ke sekolah. Setiap pulang kerja,
yang pertama kali ditanyakan pastilah putrinya.
Karena kedekatan dengan ayahnya itulah yang menyebabkan Rani amat bersedih begitu
tahu Mas Mardi sudah berpulang. Berkali-kali ia menangis dan berteriak-teriak memanggil nama
ayahnya. Sementara aku sendiri tak ingat, sudah berapa kali tak sadarkan diri karena terpukul
mendengar berita kematian suamiku. Kami berdua benar-benar merasa kehilangan. Ayah
sekaligus suami tercinta yang menjadi tulang punggung keluarga kini sudah tiada.
Sekarang, aku dan Rani hanya bisa pasrah. Ikhlas atas semua yang sudah digariskan oleh
Yang Kuasa. Namun kadang aku merasa kalau Tuhan itu tidak adil kepadaku. Kenapa
kebahagiaan yang baru sekejap kami rasakan ini harus sirna begitu cepat. Ajal memang bisa
datang kapan saja. Tak peduli tua maupun muda, miskin ataupun kaya.
“Minah,”
Aku tersentak dari lamunan. Terdengar suara pak Haji Somad menyebut namaku.
“Kamu menangis?” kembali beliau bertanya seraya mendekat.
“Eh... tidak, Pak Haji,” jawabku sambil buru-buru menyeka air mata. Kulanjutkan
kembali pekerjaanku. Tinggal sedikit lagi lantai ruang tamu ini selesai aku sapu.
“Kamu tidak usah berbohong. Aku tahu, kamu pasti sedang teringat almarhum
suamimu.” Tiba-tiba beliau memegang bahuku. Aku rikuh. Aku merasa tidak enak. Dengan
sedikit beringsut, kucoba agak menjauhinya.
“Maaf, Pak Haji. Pekerjaan saya belum selesai,” sahutku sambil terus menggerakkan
sapu yang masih tergenggam di tangan. Pak Haji Somad pun menarik tangannya.
“Oh iya, sekarang Rani kelas berapa, Minah?”
“Kelas tiga Madrasah Tsanawiyah, Pak Haji,” dengan sedikit tertunduk, aku berusaha
menghindari tatapan mata beliau yang sejak tadi memperhatikanku.
“Wah, ternyata anakmu sekarang sudah besar. Berarti sebentar lagi Rani masuk
Madrasah Aliyah, khan?”
“Iya, Pak Haji. Tapi Rani maunya melanjutkan sekolah kejuruan. Katanya biar cepat
dapat pekerjaan.”
“Ouw begitu, ya bagus. Itu artinya Rani berpikir dewasa dan ingin cepat bisa membantu
orang tua,” ujar beliau sambil mengelus jenggot yang sudah mulai memutih. “Aku tahu, kamu
pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.”
“Iya begitulah, Pak Haji,” anggukku perlahan.
“Sebentar,” ucap Pak Haji Somad seraya melangkahkan kaki menuju ke dalam. Selang
beberapa menit kemudian, beliau keluar dengan menggenggam sebuah amplop tebal. Lalu
diserahkannya padaku. Sesaat aku tertegun dan terpaku.
“Ini apa, Pak Haji?”
“Ini ada sedikit uang yang bisa kau pergunakan untuk biaya sekolah Rani. Seandainya
masih kurang, kamu tinggal bilang.”
“Ta... ta... tapi, Pak Haji.”
“Sudah, tidak usah pakai tapi-tapian. Pokoknya terima saja.”
Belum sempat kuucapkan terima kasih, beliau sudah melangkah keluar menuju ke garasi.
Sesaat terdengar deru mobil yang makin lama makin menjauh.
Aku masih terdiam, bingung, dan terpana. Beberapa saat kemudian aku bergegas masuk
kamar pembantu. Kuhitung uang di dalam amplop tebal itu. Total semuanya ada sepuluh juta
rupiah. Seakan aku tak percaya. Rasanya belum lama aku bekerja, tapi Pak haji Somad sudah
memberikan bantuan uang sebanyak ini. Syukur alhamdulillah, ya Allah. Telah Kau berikan
hamba-Mu ini rezeki yang tak terduga. Aku gembira, tapi terbersit rasa curiga. Ada maksud
apakah dibalik kebaikan Pak Haji Somad ini? Ah, mungkin beliau memang seorang yang
dermawan dan gemar bersedekah.
Mentari hampir tenggelam di ufuk barat. Aku pulang dengan langkah yang ringan.
Seakan tanpa beban. Sesuai perjanjian, aku bekerja di keluarga Pak Haji Somad hanya sampai
jam lima sore. Aku harus membagi waktu buat anakku. Aku tidak ingin ia merasa kehilangan
perhatian.
Setibanya di rumah, Rani menyambutku dengan gembira. Ditunjukkannya beberapa
lembar kertas ulangan yang nilainya bagus-bagus. Rani memang cerdas. Semenjak Madrasah
Ibtidaiyah, ia tidak pernah mendapat nilai jelek dan selalu berprestasi. Aku amat bangga
kepadanya. Dialah harapanku satu-satunya.
Hari semakin larut. Sehabis shalat magrib dan makan bersama, kuceritakan perihal uang
pemberian Pak Haji Somad tadi siang kepada Rani. Seketika dipeluknya tubuhku dengan erat.
Kubalas ciuman di kening dan kedua pipi anakku dengan penuh kasih sayang. Kami larut dalam
keharuan. Puji syukur, ya Allah. Atas segala nikmat yang telah Engkau berikan. Malam ini
tidurku terasa pulas.
Keesokan harinya, aku kembali bekerja seperti biasa. Sehabis menyelesaikan pekerjaan
dapur, Ibu Hajjah Khusnul, istri tua Pak Haji Somad memintaku untuk memijat kakinya. Beliau
memang sering mengeluh karena merasakan pegal-pegal di sekitar persendiannya. Mungkin
terkena asam urat.
“Berapa usiamu sekarang, Minah?” tanya Ibu Hajjah sambil menatapku dalam-dalam.
“Tiga puluh dua tahun, Bu Hajjah.”
“Hm, kamu masih muda dan cantik.”
“Ah, Bu Hajjah bisa saja,” aku agak tersipu.
“Benar kok, Minah. Pasti masih banyak laki-laki yang mau sama kamu,” kali ini beliau
tampak serius memandangiku. Aku jadi grogi.
“Saya ini hanya seorang janda miskin, Bu Hajjah. Lagi pula anak saya sudah besar. Bagi
saya, masa depan Rani lebih penting.”
“Tapi bagaimana seandainya benar-benar ada yang berminat memperistri kamu?” Beliau
seakan mendesakku.
“Saya belum kepikiran mau menikah lagi, Bu Hajjah,” tegasku meyakinkan.
“Begini, Minah. Kalau kamu tidak keberatan, bersediakah kamu diperistri sama Bapak?
Maksudku jadi istri mudanya yang nomor tiga, begitu.”
“Apa, Bu Hajjah?” Aku sangat terkejut mendengar ucapan Ibu Hajjah Khusnul yang tak
pernah kuduga sebelumnya. Aku hampir-hampir tak percaya. Bagaimana mungkin? Jelas ini
sesuatu yang aneh dan janggal bagiku.
“Aku rela dimadu, Minah. Begitu pula dengan Ibu Hajjah Nafis, istri Bapak yang nomor
dua. Kami sudah sama-sama sepakat. Menurutku, kamu orangnya baik, jujur, dan salehah. Bapak
pasti setuju dengan pilihan ibu.”
Aku semakin berdebar. Perasaanku tak menentu. Mereka sudah kuanggap seperti orang
tuaku sendiri. Ya Allah, sanggupkah aku menjalaninya?
“Saya belum bisa menjawab sekarang, Bu Hajjah,” hanya ucapan itu yang sanggup keluar
dari bibirku.
Hari ini aku benar-benar dihadapkan pada pilihan yang sulit. Tak kusangka kedua istri
Pak Haji Somad bermaksud menjodohkan aku dengan suaminya. Aku tak habis pikir. Bagaimana
perasaan mereka? Pemahaman seperti apa yang terpatri di benak mereka? Apakah sikap rela
dimadu dianggap sebagai tindakan yang mulia? Ataukah wujud pengabdian wanita yang bernilai
ibadah? Lantas, bagaimana dengan pemikiran Pak Haji Somad sendiri? Apakah praktek poligami
yang dijalaninya benar-benar karena mengikuti sunnah rasul? Apa bukan karena terdorong oleh
keinginan biologis semata? Lantas, mau berapa banyak jumlah wanita yang ingin diperistri oleh
beliau? Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalaku.
Di ujung kebimbangan, akhirnya kuputuskan untuk menolak tawaran mereka. Walau
dengan dalih apapun. Banyak pertimbangan yang membuatku berat untuk menerima dan
menjalaninya. Aku memang orang miskin. Aku memang membutuhkan uang yang banyak untuk
bisa hidup sehari-hari dan membiayai pendidikan Rani. Tapi aku juga harus tahu diri. Tak
mungkin aku tega mengganggu kebahagiaan rumah tangga orang lain. Apa kata orang,
seandainya mereka tahu aku jadi istri muda Pak Haji Somad. Pasti mereka akan mencemooh dan
menuduhku sebagai orang miskin yang tak tahu diri. Orang melarat yang hanya mengejar
keuntungan, kekayaan, dan materi semata.
Dengan berat hati, aku pun terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaan. Uang yang
pernah aku terima tempo hari dari Pak Haji Somad dengan ikhlas aku kembalikan. Biarlah aku
bertahan dalam kondisi yang seperti ini, asal tak terbebani. Aku masih memiliki harga diri. Aku
harus nrimo ing pandum, pasrah keadaan sebagai orang miskin. Kembali berjualan kue-kue
keliling kampung, bagiku terasa lebih nyaman. Semoga masa depan kelak akan berubah lebih
indah. Amin

***

IDENTITAS PENULIS
Nama : TRI PURBO UTOMO
Alamat : Dsn. Truwili RT 01 RW 11
Ds. Dimoro, Kec. Toroh, Kab. Grobogan
58171

No. HP : 082138995052
Email : tripurwodadi06@gmail.com
Rekening BRI a.n. : PUJI RAHAYU
No. Rekening : 6024-01-007372-53-9

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI
1. Nama Lengkap : TRI PURBO UTOMO
2. Tempat, TanggalLahir : Grobogan, 29 Januari 1975
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Agama : Islam
5. Status : Menikah
6. Tinggi/BeratBadan : 168cm/70kg
7. Telepon/ HP : 082138995052
8. Email : tripurwodadi06@gmail.com
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. (1987) Lulus SDN 2 Sugihan
2. (1990) Lulus SMPN 2 Purwodadi
3. (1993) Lulus SMAN 1 Purwodadi
4. (2002) Lulus D2 STAIN Surakarta
5. (2012) Lulus S1 UNU Surakarta
KEMAMPUAN
1. Menguasai Komputer (MS Word, Excel, Powerpoint, Photoshop,CorelDrawdll)
2. Menguasai bahasa Inggris
PENGALAMAN KERJA
1. Mengajar di MI Sugihan
Periode :Juli 1999 s/d Oktober 2014
2. Staff Admin di SLB AB YPLB DanyangPurwodadi
Periode :Oktober 2014 s/d Desember 2014
3. Budidaya Jamur Tiram
Periode : Januari 2015 s/d sekarang

Anda mungkin juga menyukai