Anda di halaman 1dari 3

[RISA DWI ANDINI]

Pernahkah kalian terjebak dalam sebuah perasaan aneh dan logis di saat bersamaan?

Atau bangun dari tidur panjang namun masih bermimpi di saat bersamaan?

Itulah yang kurasakan saat melihat pria itu tiba di depan pintu rumahku saat ini.

"Permisi, Non. Saya Bahri, pembantu baru. Kemarin kata nyonya disuruh langsung
datang ke alamat ini," ujarnya sembari mengulurkan tangan.

"Oh iya pak. Saya Risa, anak ibu Ivanna yang punya rumah," balasku seraya
menyambut tangannya.

Harusnya tak kusambut tangan itu.

Harusnya kuusir pergi pria paruh baya itu sebelum menginjakkan kaki di rumah ini.

"Mohon bimbingannya, Non Risa," ucapnya dengan satu senyum menjijikkan.

Ya...

Saat aku menyambut tangannya.

Saat aku melihat senyum itu.

Semua sudah terlambat.

Namaku... Risa...

Dan ini adalah ceritaku.

Aku masih tak mengira pagi itu menjadi titik awal perubahan dalam hidupku. Saat aku
terbangun dari ranjangku rasanya semua begitu normal, sama seperti pagi-pagi yang
kulewati sebelumnya. Saat aku menuruni tangga, kudapati ibuku tengah memperbaiki
dasi papaku di ruang keluarga.

"Udah bangun, dek. Sarapan dulu sana!" ucap mama padaku.


Aku berjalan menuju ruang makan seraya menyalakan coffee maker. Bulir demi bulir
espresso tertuang ke dalam mug merah muda milikku. Kusantap dua potong pancake
buatan mama yang tersaji di meja makan bersamaan dengan kopi favoritku.

"Dek, kayaknya liburan depan papa ngga bisa lagi. Di kantor lagi banyak kerjaan. Nanti
papa ganti libur selanjutnya ya," ucap papa seraya ikut membuat segelas kopi di
belakangku yang sedang menyantap sarapan.

"Memangnya kapan papa pernah bisa?" jawabku ketus, kulihat sekilas mama terkesan
melirik kecewa papa yang berdiri di belakangku.

Sesaat papa mengelus pelan puncak kepalaku, menyeruput sedikit kopi miliknya, dan
mengecup pipi kiri mama sebelum melangkah pergi meninggalkan kami berdua.

Rasanya begitu sedikit kenangan tentangnya yang melekat dalam ingatanku selain dari
punggung lebarnya. Papaku--Hadi Brawijaya, sudah berkarir sebagai pialang saham
begitu lama, terlalu lama waktu yang dia habiskan dengan karirnya ketimbang
waktunya bersama aku dan mama.

Namun aku tak begitu mempermasalahkannya, aku tahu dia sibuk. Hanya saja tak bisa
kupungkiri ada rasa kecewa yang selalu muncul dalam lubuk hatiku saat dia tak bisa
menepati janjinya untuk liburan keluarga bersamaku dan mama.

Berulang kali dia berjanji....

Berulang kali aku percaya....

Dan berulang kali pula aku dibuatnya kecewa.

Perlahan semua menjadi rutinitas biasa bagiku tanpa kehadirannya.

"Dek, mama bisa minta tolong? Siang ini mama mesti ke Butik dulu, mau cek kiriman
yang baru datang bareng anak-anak. Harusnya sih sebentar aja, cuman kalau-kalau
pembantu barunya datang sebelum mama pulang, kamu tolong antar dia ke kamar
belakang dulu ya!" pinta mama.

Ah, aku baru ingat, siang ini pembantu baru itu datang. Sebenarnya sudah lama kami
berpikir untuk mempekerjakan pembantu buat mengurus rumah besar ini namun
karena mama sering di rumah, gagasan itu tak pernah terlaksana. Hingga kini, setelah
mamaku membuka butik baru, urusan rumah pun mulai keteteran, setelah mama mulai
kewalahan akhirnya papa pun meminta tolong pada salah satu jasa asisten rumah
tangga untuk dipekerjakan di rumahku.

"Sebentar aja ya, tapinya!" pintaku sedikit merengut, mama pun tertawa melihatnya.

"Iya dek, nanti mama langsung pulang kok," jawabnya seraya mengecup keningku.

Anda mungkin juga menyukai