Anda di halaman 1dari 3

Siluet Kenyataan

Oleh: Arya Hasa Kuswiratama


Ingatanku tentang beliau tidaklah banyak, hanya baju hijaunya yang kuingat serta
tongkat tofa yang selalu beliau bawa. Wajahnya pun tak dapat ku ingat, yang ada hanyalah
tubuh beliau yang terpampang sinar matahari sehingga menjadi siluet. Semakin kucoba untuk
mengingatnya, semakin buram pandanganku akan kenangan itu. Mungkin kenangan tidak
bisa memberikan jawaban yang pasti, namun aku percaya esok hari akan kutemukan jawaban
tersebut meskipun harus menempuh waktu yang sangat panjang.
Pagi ini tidak kudengar sama sekali bunyi gemericik air di sekitar rumahku bahkan
aroma asap dengan aroma yang harum tidak kucium karena biasanya aku merasakan dua hal
itu. Semenjak Ayah meninggalkan kami berdua, Ibuku membuka jasa cuci dan setrika baju di
kampung kami. Meskipun pendapatan yang ibu dapatkan tidak banyak namun, ibu masih bisa
membiayai anak semata wayangnya ini. Ku coba tuk memeriksa halaman belakang kami
tempat biasa ibu bekerja namun, tak terlihat keberadaan ibu sedikitpun.
Mungkin ibu sedang ke pasar. Gumamku dalam hati.
Ternyata dugaanku benar, ibu baru pulang dari pasar sambil membawa banyak sayur
dan bahan-bahan kebutuhan sehari-hari. Aku pun membantu beliau untuk membawa barangbarang tersebut dan terheran-heran karena jumlah barang belanjaan ibu yang banyak.
Ibu bagaimana bisa membeli sebanyak ini? Ibu dapat uang dari mana? tanyaku pada
ibu.
Alhamdulillah nak, kemarin ibu dapat uang arisan jadi ibu beli banyak dan juga kan
hari ini kamu ulang tahun. Jawab ibuku sambil tersenyum sambil memberikan sebuah kado.
Makasih ya bu tapi, gimana dengan kerjaan ibu? tanyaku kembali.
Ini kan hari Minggu, sesekali ibu libur ngga apa-apa kan? balas ibuku dengan
kembali tersenyum.
iya bu. Jawabku pada ibu sambil tersenyum.
Kemudian kami pun bergegas merapikan barang-barang yang dibeli oleh ibu. Ibu juga
membelikan bakso untuk makan siang kami. Setelah semuanya telah rapi, kami berdua pun

makan bersama di ruang tengah. Sambil makan ibu menceritakan kembali mengenai sesosok
Ayah yang selalu membuatku selalu penasaran saat ini. Ibu selalu bercerita bahwa saat aku
balita, Ayah bekerja sebagai Hansip. Meskipun saat itu pendapatan Ayah sangat kecil namun
keluarga kami tidak selalu merasa kekurangan. Bahkan ibu pun mengatakan bahwa Ayah
sangat rajin beribadah ke masjid dan selalu mengikuti kegiatan Talim di masjid. Kemudian
raut wajah ibu berubah menjadi sedih dan seakan tak kuasa melanjutkan cerita itu. Dengan
perlahan ibu menceritakan bahwa Ayah menjadi berubah 180 derajat semenjak Ayah sangat
bersemangat untuk berbisnis dengan temannya. Air mata ibu mulai mengalir ketika ibu
menceritakan bahwa Ayah dan Ibu sering bertengkar hingga akhirnya Ibu memutuskan pergi
dari rumah sambil membawaku dan pindah ke rumah yang kami tempati saat ini. Aku yang
mendengar cerita itu langsung memeluk ibu dan berusaha menenangkan beliau. Suasana haru
pun pecah ketika datang tukang pos ke rumah kami. Ketika kami buka kiriman tersebut,
ternyata kiriman tersebut berisi uang dan surat dari Ayah. Didalam surat itu terdapat ucapan
selamat ulang tahun dari Ayah kepadaku dan juga tertulis bahwa Ayah sangat merindukan
kami. Belum selesai kubaca, kertas itu pun dirobek oleh ibu. Ibu pun segera menuju tong
sampah depan rumah sambil membawa minyak tanah. Lalu ibu membakar surat dan uang
yang diberikan oleh Ayah. Entah bagaimana aku harus mengutarakan suasana yang terjadi
hari ini.
Keesokan paginya ketika aku akan berangkat ke sekolah, aku melihat tong sampah
yang kemarin digunakan Ibu untuk membakar kiriman dari Ayah. Kulihat bungkus yang
berisi alamat Ayah belum terbakar. Dengan cepat aku mengambilnya dan bergegas ke sekolah
sambil berharap Ibu tidak melihat apa yang aku lakukan. Ketika di sekolah aku benar-benar
tidak bisa konsentrasi belajar karena terus memikirkan alamat Ayah. Hingga seorang temanku
tahu akan alamat itu. Dia mengatakan untuk sampai ke sana aku harus menaiki angkutan
umum sebanyak dua kali. Aku pun senang sekali karena temanku bersedia menemaniku dan
aku juga merasa beruntung karena sekolahku pulang cepat. Sesampainya di rumah aku
meminta izin kepada ibuku untuk menginap di rumah temanku karena ada tugas kelompok.
Ibuku mengizinkannya karena beliau percaya padaku. Tak berapa lama temanku datang
menjemputku dan kami langsung berpamitan pada Ibuku. Terbesit rasa salah di hatiku karena
telah membohongi Ibuku namun, aku melakukan ini semua karena ingin mengetahui
kebenaran mengenai Ayahku.
Kami pun melakukan perjalanan ke kampung Ayahku tinggal dengan memakan waktu
2 jam. Kami sampai di kampung tersebut menjelang maghrib. Kami pun memutuskan untuk

sholat di masjid yang berada di kampung Ayahku. Setelah selesai menunaikan sholat maghrib
kami pun bertanya kepada salah satu warga di kampung tersebut. Orang itu memberikan kami
arah menuju rumah Ayahku namun orang itu juga mengatakan bahwa ketika maghrib seperti
ini rumah Ayahku pasti kosong karena sedang bekerja. Aku pun kemudian meminta tolong
pada orang itu untuk memberitahukan arah dimana tempat Ayahku bekerja. Kami pun segera
menuju kesana dengan bermodalkan obor karena ternyata kampung yang dulu pernah aku dan
Ibu tinggal masih minim listrik. Listrik pun ada hanya di masjid dan di beberapa rumah saja.
Sesampainya disana aku pun kaget karena pemandangan yang aku lihat. Terlihat rumah
dengan halaman luas namun masih minim lampu. Kulihat banyak sekali orang-orang sedang
berkerumun. Tak kusangka tempat itu merupakan tempat sabung ayam(adu ayam), bahkan
digabung dengan permainan-permainan judi. Aku pun tak bisa berkata-kata ketika ada
seseorang memanggil temannya dengan nama Ayahku. Kulihat dia sedang bergerak
sempoyongan sambil membawa botol minuman keras yang kuyakini orang itu adalah
Ayahku. Setelah aku melihat hal tersebut, segera ku balikkan badan dan mengajak temanku
pulang sambil berlinang air mata. Betapa sedih dan hancurnya hatiku melihat sesosok Ayah
yang seperti itu. Aku baru menyadari alasan Ibu membakar uang tersebut karena itu
merupakan uang haram yang berasal dari hasil sabung ayam dan judi. Aku pun pulang
dengan tubuh yang sangat lemas hingga temanku memegangku agar aku tidak jatuh. Dari
kejadian yang baru saja kualami, muncul sebuah tekad dihatiku bahwa ini yang pertama dan
terakhir aku melihat Ayah dan akan kulupakan semua tentangnya. Mungkin ini terdengar
kejam, namun ini adalah caraku agar aku dan ibuku dapat terus maju kedepan untuk
menjalani hidup yang lebih baik.
-SEKIAN-

Anda mungkin juga menyukai