Anda di halaman 1dari 82

Aku Bukan Wanita Bodoh

Orang biasa memanggilku Bu Amin, karena begitulah biasanya di lingkungan asrama militer seorang ibu
persit biasa di panggil sesuai nama sang suami.

Aku dengan senang hati membiarkan ijasah sarjanaku hanya menjadi penghuni lemari demi mengurus
kedua buah hatiku Aliya yang baru duduk di kelas tiga SD dan Radit si bungsu yang baru memasuki
PAUD. Ku curahkan segenap hidupku untuk mengurus keluarga kecilku tanpa sedikitpun mengeluh.

Sebagai seorang ibu rumahtangga sebisa mungkin aku harus pandai mengatur setiap rupiah yang di
berikan suami.

Aku dan suami hanya terpaut tiga tahun. Usiaku 36 tahun tiga tahun lebih muda di bawah usia suami.

Suamiku adalah seorang anggota TNI AD bertugas di salah satu satuan di timur Indonesia.

Sejak menikah tak.sekalipun aku meninggalkan suamiku saat bertugas. Ke manapun suamiku pergi aku
selalu ikut mendampingi. Meski berasal dari kota besar dan dari keluarga berada tapi sebisa.mungkin
aku beradaptasi dengan lingkungan tempat tugas suami di manapun itu.

Makan seadanya saat bahan makanan habis, bukan karena tidak punya uang tapi situasi dan
lokasi.tempat tugas suami yang sangat.terpencil dan jauh dari kota sehingga untuk membeli beraspun
butuh waktu berhari hari. Di saat seperti itu singkong dan pisang rebus atau pisang mentah.yang di
parut akan jadi makanan paling nikmat bagi kami. Tak sekalipun aku mengeluh. Bagiku berkumpul
dengan suami dan anak anak adalah nikmat yang tiada duanya. Bersama melewati suka duka susah
senang dengan selalu bersyukur.

Hingga suatu hari kabar gembira itu datang. Suamiku di dimutasikan ke daerah Jawa Barat. Tentu
saja.Aku sangat gembira mendengar berita ini.Itu artinya kami akan segera berkumpul lagi.dengan
keluarga besar yang ada di Jawa Barat. Dengan sukacita kami segera berkemas mengurus segala
keperluan untuk kepindahan nanti. Bayangan masa depan yang bahagia terbayang di pelupuk mata. Aku
tak akan capek lagi memarut singkong atau pisang setiap hari hanya untuk mengganjal perut. Aku tak
perlu capek berjalan berkali-kilo hanya untuk menemukan signal agar bisa menelpon keluarga. Ah yang
terbayang hanyalah keindahan hidup kembali di kota besar. Takkan ada kesulitan lagi.

"Kamu bahagia ya Bun sebentar lagi kita tinggalkan tempat ini." Suamiku menggodaku sambil mengelus
lembut kepalaku. Aku hanya tersenyum bahagia menatapnya. Laki-laki sempurna yang diberikan Tuhan
untukku. Sangat menyayangi keluarga, semoga seterusnya seperti itu. Doaku dalam hati.

Di iringi tangis haru dari masyrakat setempat kami pergi meninggalkan desa tempat suami mengabdi
sekian lama. Meski berat tapi aku bahagia. Saatnya kesusahan itu terlewati.

Dan di sinilah kami di tanah Pasundan kembali aku mengabdikan diri mendampingi Mas Amin bertugas.

Perlahan kami membangun rumah. Tabungan kami selama bertugas di luar Jawa cukup untuk
membangun rumah dan membeli kendaraan roda empat. Aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Hanya
bedanya di sini semua di jalani dengan segala kemudahan. Aku bisa mengantar anak ke sekolah dengan
kendaraan tanpa harus capek berjalan kaki di bawah terik matahari ataupun derasnya hujan. Semua itu
aku jalani dengan rasa syukur.

Tapi ternyata kebahagiaanku hanya sementara. Cinta dan kesetiaan yang kami bangun bertahun tahun
harus tergores dengan yang namanya penghianatan. Ya suamiku tergoda wanita lain. Dan yang lebih
menyakitkan lagi wanita itu adalah tetangga depan rumah kami. Berawal dari sebuah chat yang
membuka semua tabir perselingkuhan mereka.

Aku menangis sejadi-jadinya saat tau harga diriku jatuh cuma karena janda depan rumah. Aku akui
secara fisik aku jauh lebih cantik. Badanku langsung meski sudah beranak.dua. meski hidup bukan
bergelimang harta tapi untuk merawat wajah dan badan sudah jadi rutinitas setiap hari tentu saja
setelah urusan sebagai ibu rumahtangga selesai ku tunaikan.

Kepalaku pening memikirkan tingkah Mas Amin. Sebagai istri aku merasa sudah sempurna apalagi
sebagai ibu, untuk urusan wajah dan body aku masih menang telak atas janda depan rumah itu. Apa
yang membuat cinta suamiku harus berpaling aku tak habis pikir.

Sebagai manusia biasa wajar aku sakit hati. Ingin rasanya ku datangi wanita itu menjambaknya sepuas
hati memakinya atau meracuninya dengan sianida. Tapi itu terlalu bodoh dan hanya merugikan
saja,pikirku.

"Tidak Merry, yang kamu pikirkan itu bodoh. Masih ada cara cantik yang bisa kamu lakukan untuk si
Karin sang pelakor."

Puas menangis aku bangkit dari.tempat tidur. Untung anakku masih di sekolah dan si bungsu lagi tidur
jadi tidak perlu mereka tahu apa yang terjadi dengan ibunya.

"Sudahlah Bun kamu terima saja si Karin. Aku terlanjur mencintainya. Kalaupun aku tak bisa
menikahinya secara sah aku akan tetap menikahinya walau hanya nikah sirih." Lupa dia sebagai apa dia,
lupa dia kalau karir dan jabatannya jadi taruhan.

Ucapan suamiku tadi begitu sakit menusuk hatiku. Serasa lemas persendian. Berasa mimpi. Laki-laki
yang kupuja selama ini dengan enteng memintaku berbagi cinta dengan selingkuhannya. Ingin ku maki
sepuas hati atau ku cakar saja wajah Mas Amin tapi urung ku lakukan.

Percuma marah kepada orang yang lagi di mabuk asmara.

Aku berdiri di atas balkon rumah dan menatap rumah di depan milik si Karin wanita penggoda suamiku.
Wanita dengan tinggi kuperkirakan 150 cm dengan berat badan 60 kilogram ya aku ingat beratnya segitu
saat terakhir menimbang berat badan waktu aerobik bulan kemarin.

Kalau tak mau di sebut buntelan yah gajah duduk, rutukkuu dalam hati gemes membayangkan tingkah
dua orang yg lagi jatuh cinta seakan lupa akan usia. Usianya juga jauh di atasku tapi bisa membuat
suamiku lupa jalan pulang.

Ku edarkan pandanganku ke sekeliling rumah wanita itu. Mobil mewah dua unit berjejer manis di depan
rumahnya.

Toko bangunan di sebelahnya cukup ramai oleh pembeli. Ya itu toko milik si Karin. Pundi pundi uangnya
pasti mengalir dari situ. Belum dengan penghasilan sawahnya yang luas. Kelihatan dari perhiasannya
yang di pakai setiap hari menunjukan kalau wanita penggoda itu memang kaya raya meski terkesan
norak karena gelondongan emas yang melingkar dari leher sampai kaki. Apa itu yang membuat suamiku
kepincut? Harta wanita itukah?

Oalah...seandainya Mas Amin jatuh.Cinta cuma karena wanita itu kaya raya, betapa elfeelnya aku.
Seorang Mas Amin bisa berpaling ke wanita lain hanya karena harta? Aku ingat dua minggu lalu Mas
Amin pulang membawa sebuah mobil mewah keluaran terbaru, katanya di pinjemin teman karena
hujan. Tapi anehnya mobil itu tak pernah dibalikkan ke yang punya. Masa iya ada yang mau pinjemin
mobil selama itu.

Tiba tiba aku ingat sesuatu. Aku berlari ke lemari Mas Amin. Tergesa aku membuka laci
penyimpanan .Dan benar saja ada bukti pembelian mobil atas nama suamiku. Tak mungkin kalau itu
pakai uang suamiku. Selama ini aku yang pegang uang. Sudah pasti suamiku tak memiliki uang sebanyak
itu.

Aku terhenyak. Dalam hati aku mengumpat. Sangat geram aku di buatnya. Apalagi tak ada penyesalan
atau rasa bersalah sedikitpun. Tunggu ya Mas, kamu pikir aku wanita bodoh??.

Dalam hati aku bersyukur juga menjadi istri dari seorang anggota TNI. Bukan hal yang mudah bagi
seorang anggota TNI untuk selingkuh seenak dengkul. Ada aturan dan kamu tunggu aja Mas. Aku tak
akan mengemis cintamu tapi akan ku buat kamu dan selingkuhan itu menyesal seumur hidup. Aku tak
bisa memilikimu lagi tapi aku akan jadi bayangan yang kelak menghantui hidupmu selamanya.

Menangis dan meratapi nasib hanya sebuah kesia-siaan.

Aku harus kuat demi kedua buah hatiku. Aku akui cintaku untuk suamiku tak bisa diungkapkan lagi.
Sekian lama aku mendampinginya melewati kesulitan hidup, dan saat senangpun aku ingin tetap
bersama. Tapi apa mau di kata, cinta buta sudah menutup mata hati Mas Amin. Di hatinya sekarang lagi
bersemi bunga asmara, bisa jadi Mas Amin sedang mengalami puber kedua atau apalah itu, yang jelas
cinta terlarangnya sudah menutup akal dan logika Mas Amin.

Ku pandang wajah teduh kedua anakku yang lagi terlelap di buai mimpi. Dalam hati aku bimbang, apa
jadinya mereka kalau sampai kedua orangtuanya bercerai. Aku sadar aku tak punya penghasilan sendiri,
selama ini aku bergantung pada penghasilan suami. Andai aku dan Mas Amin cerai bagaimana nasib
kedua anakku nanti. Antara bimbang dan ragu aku mulai memutar otak. Untuk balik lagi berdampingan
seperti dulu rasanya tak.mungkin. Terlalu banyak luka yang menganga akibat ulah Mas Amin dan pelakor
itu. Apalagi saat mengingat ucapan Mas Amin agar aku mau menerima Karin sebagai maduku. Bukan
rasa penyesalan dan permintaan maaf yang ku dengar saat tau perselingkuhannya terbongkar, malah
sebaliknya Mas Amin meminta hal yang tak mungkin bisa aku penuhi.

Tak terasa air mataku menetes. Periiih...sakit. Itu yang ku rasa. Dalam relung hati yang paling dalam
sejujurnya aku menginginkan kehadiran Mas Amin. Aku ingin menumpahkan semua kesedihan dan luka
ini di pelukannya. Aku mendamba belaian lembut suamiku saat tahu aku marah. Memeluk, mengecupku
mesra dan menghujaniku dengan sejuta kata maaf, dan berbisik penuh harap memintaku tetap
bersamanya, melupakan semua yang terjadi, dan berjanji tak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Tapi apa yang terjadi, Mas Amin malah meninggalkan aku dengan setumpuk amarah yang terpendam,
emosi yang meluap-luap tanpa mau memberiku kesempatan mengeluarkan semua sesak yang ada.
Aku menghapus air mataku dengan gusar. Aku tak boleh begini terus. Bagaimanapun aku istri sahnya
Mas Amin. Penuh perjuangan aku lalui untuk bisa masuk menjadi bagian dari keluarga besar Persit.
Teringat masa-masa sulit saat pengajuan nikah militer. Capek dan sangat melelahkan. Di mulai dari
menghadap ke senior sampai ke komandan, tidaklah mudah. Butuh mental baja untuk mau di tempa
sebagai istri seorang prajurit. Sempat aku menyerah dan berniat mengundurkan diri. Tapi Mas Amin
selalu menguatkanku.

"Bertahanlah, sedikit lagi semua selesai dan kamu akan segera menyandang gelar nyonya Amin." Sambil
tertawa Mas Amin menggodaku, berharap aku terhibur dan tetap semangat menjalani semua aturan
dan tradisi pengajuan bagi calon istri prajurit. .

Sekarang semua perjuangan itu meluap begitu saja. Gara-gara pelakor jahanam semua impian yang
sudah ku rajut harus terurai lagi.

Aku berniat menelpon Mas Amin ketika terdengar pintu gerbang rumah Karin terbuka. Iseng aku
melongok. Dadaku bergemuruh, pemandangan depan rumah itu sungguh membuatku murka.

Tanpa sungkan lagi Mas Amin dan pelakor itu berpelukan tanpa takut kepergok. Emosikui membuncah.
Tanpa pikir panjang aku melangkah menuju rumah janda gatal itu.

Plaakkk...plaakk

Tamparan keras mendarat di pipi Mas Amin dan Karin. Entah kekuatan darimana tanpa sadar aku
menampar kedua manusia tak tau diri itu.

"Keterlaluan kamu Mas, gak punya malu udah tua tingkahnya kayak abege lagi kasmaran. Kamu juga
perempuan gak tau malu Karin, kamu tahu Mas Amin suamiku tapi tega kamu mau merebutnya dariku."
Sungguh aku tak.tahan lagi menahan gejolak amarah.

"Beraninya kamu Bun kamu gak menghargai aku sebagai suami,"

Mas Amin malah nyolot. Di.elus pipinya sambil meringis sama seperti Karin. Mukanya merah menahan
tangis. Aku menatapnya tajam. Mas Amin malah balik melotot marah ke arahku.

Aku tak peduli. Saat melihatnya berpelukan tadi luruh sudah rasa hormatku pada laki-laki yang masih
bergelar suamiku itu.

menjatuhkan harga dirimu Mas. Ingat ya Mas aku akan melaporkanmu ke komandan."Aku masih berapi-
api,sesak rasanya dada ini.

"Kamu berani?suamiku makin melotot.

"Kamu mau laporan aku trus anak-anakmu sanggup kamu kasih makan?Kalau aku di pecat aku masih
punya Karin tapi kamu? Anak-anak?."

Ya Tuhan, benar-benar laki-laki tak tahu malu dan tak punya harga diri. Dalam situasi seperti ini dia
malah memanfaatkan kelemahanku. Dalam hati aku membenarkan ucapannya. Kalau dia di pecat trus
anak-anak gimana. Tapi kalau terus bertahan lalu aku? Gimana perasaanku. Apa aku kuat hidup
selamanya dengan situasi seperti ini.
Aku bingung. Dengan gontai aku melangkah pulang ke rumah kami. Kejadian barusan benar benar sudah
menghapus separuh hatiku untuk Mas Amin. Rasanya tak ada gunanya lagi kalau aku memaksanya terus
bersama apalagi kembali mencintaiku seperti dulu. Ibarat benang yang putus meski bisa di sambung lagi
tapi akan menyisakan bekas yang tak sempurna lagi.

Baiklah Mas aku akan membiarkanmu terus terbang bersama janda gatal itu tanpa harus melepasmu.
Aku akan melepasmu saat waktunya tiba. Jangan pikir aku bodoh dan pasrah menerima nasib.

Bersambung.

Aku Bukan Wanita Bodoh

Jilid.....3

Setelah kejadian di rumah Karin Mas Amin makin menjauhiku. Setiap malam Mas Amin menghabiskan
malamnya di rumah Karin. Setiap hari sehabis pulang kerja Mas Amin hanya pulang berganti baju
kemudian pergi lagi ke rumah Karin dan akan kembali ke rumah keesokan harinya. Aku bagai tak ada di
rumah ini. Setiap masakan yang ku suguhi tak pernah di sentuh sedikitpun . Aku begitu nelangsa. Ku
habiskan malam-malam dengan bersujud pada-Nya. Berserah diri dan memohon petunjuk agar bisa
menjalani hidup ini dengan tenang.

Tingg..bunyi notifikasi WA di gawaiku berbunyi. Dengan malas aku mengambil gawai dan perlahan jari
ini memindai benda pipih tersebut.

Deg!!!

Kutahan air mataku biar tak tumpah di depan anak-anak. Aku bergegas masuk ke kamar. Menatap foto
yang di kirim Karin untukku. Foto mesra layaknya suami istri terpampang di mata. Dua makhluk
berlainan jenis kelamin yang tak tahu malu lagi berpose tanpa sehelai benangpun. Benar-benar sudah
putus urat malunya wanita jalang itu. Selama ini aku diam saja dan itu makin membuatnya merasa di
atas angin.

Sungguh kesabaranku habis. Kering sudah air mata. Takkan lagi ada air mata. Terlalu mahal air mata ini
kalau hanya untuk menangisi lelaki biadab seperti Mas Amin.
Baiklah Karin dan kau Mas Amin kita lihat siapa yang akan menangis selanjutnya. Aku tersenyum kecut.
Dasar bodoh, bisanya ngembat laki orang tanpa mikir kelanjutannya seperti apa. Apa dia lupa laki-laki
yang di peluknya itu bukan warga sipil yang bila ketahuan kedoknya hanya berakhir dengan jalan
damai, apa dia tak paham resiko yang bakal di terima lelaki pujaannya itu jika nanti kedok mereka
ketahuan komandan. Apa dia pikir uangnya bisa menyelesaiakn masalah. Baiklah Karin kalau uangmu
jadi senjatamu, akan ku pakai uangmu juga untuk mengobati sakit yang kau torehkan di hati ini.

Dengan ringan aku melangkah ke lemari baju milik Mas Amin. Ku ambil koper besar yang bertengger di
atas lemari. Tanpa beban aku membereskan semua baju dan barang-barang milik Mas Amin, semuanya
sempurna masuk koper .

Tanpa membangunkan kedua anakku aku berjalan perlahan ke rumah Karin. Rumah bak istana itu di
mataku seperti sebuah neraka baru buat Mas Amin .

Kupencet bel yang menggantung manis di depan rumah wanita pelakor itu. Tak butuh waktu lama si
janda gatal itu muncul dengan busana yang minim bahan.

"Hai Karin suamiku mana" tanyaku santai sambil bersandar ke pilar rumahnya dengan kedua tangan
melipat di dada. Karin yang melihatku terheran-heran, mungkin penampilanku hari ini di luar
prediksinya. Sepertinya Karin berharap aku akan datang dengan tangisan dan air mata di tambah drama
yang mendayu-dayu. Oh tidak Karin kalian berdua sudah membuatku menjelma jadi wanita bermental
baja hmmmm.

"Ada apa Beb," suara dari dalam rumah sangat kukenal. Aku tersenyum manis.

"Ini Mas barang-barang kamu, biar kamu ga perlu capek bolak balik aku bantuin deh."

Tanpa menunggu jawaban dua manusia laknat itu aku segera berlalu, tapi kemudian berbalik lagi,
menatap dua makhluk yang masih mematung itu mungkin terpesona dengan ulahku barusan.

"Karin ambil deh laki-laki ini untukmu, besok malam aku ke sini lagi ya kita buat kesepakatan dan jangan
coba-coba menghindar. Kamu Mas tunggu aku besok malam, tenang aja aku gak akan memintamu
kembali.

Dengan melangkah pasti aku keluar dari rumah mewah itu, rumah yang membuat Mas Aminku lupa
jalan pulang.
Malam itu aku selesaikan semua yang sudah ku rencanakan. Tak ada rasa sesal, aku mencoba berdamai
dengan keadaan. Mas Amin hanya jadi milikku di atas kertas. Biarlah yang penting aku tak boleh
terpuruk. Masih ada dua malaikat kecil yang membutuhkanku.

Malam ini aku boleh tidur dengan tenang. Semua sudah ku persiapkan. Besok pagi tujuanku hanya satu,
rumah mertua.

Bersambung...

Aku Bukan Wanita Bodoh

Jilid.....4

Melepasmu bukanlah hal yang mudah tapi memilikimu kembali seutuhnya adalah hal yang mustahil.

Berdamai dengan diri berdamai dengan keadaan demi masa depan sang buah hati. Tapi tak akan ku
biarkan hatiku nelangsa sendiri semntara dua makhluk tak tahu malu itu hidup tenang.

Hari ini kumantapkan hatiku, masalah ini harus selesai. Aku bersiap menuju rumah mertua.
Bagaimanapun sebagai orang tua mereka harus tahu kelakuan anaknya. Aku tak ingin menutup-nutupi
masalah ini dan menanggungnya sendiri.

Mobil akan segera ku jalankan saat gawaiku berbunyi. Sebuah nomor tak di kenal tertera di layar.
Dengan penuh tanda tanya aku menjawab panggilan itu.

"Hallo Asalamualaikum ."

"Walaikumsalam Merry." Suara wanita yang begitu riang terdengar dari seberang.
"Mer, aku Rani. Aku mencarimu ke mana-mana tau Mer, aku pikir kamu masih di luar Jawa tapi kemarin
aku lihat status kamu di medsos ternyata kamu sudah di Jawa Barat." Suara itu begitu bersemangat
sementara aku masih di liputi tanda tanya.

"Maaf Rani mana ya, aku lupa...."

"Duh Merry aku Rani teman kuliah kamu. Masa lupa ma sohib sekamar.."

"Waduh Raniiii kamu di mana, aku gak mungkin lupa dong maaf ya." Aku kegirangan. Setelah sekian
lama aku ketemu lagi dengan sahabat yang sudah seperti saudara.

"Aku mencarimu Mer, pengen ngajak kamu kerja bareng ma aku, kamu mau ya, ini masih di kotamu kok
Mer. Harus Mau yaaa.." Rani begitu semangat. Aku berpikir sejenak.

"Kerja apa ya Ran,"

"Duh Merry aku ajak kamu bergabung di perusahaan milik suamiku, tentu saja masih sesuai dengan
bidangmu. Ayolah, walau gaji kamu nanti gak sebesar dengan gaji di perusahaan tempat kerja kamu
yang dulu, toh ini kan dekat dengan rumah kamu, kamu gak perlu ninggalin anak dan suami kamu." Rani
begitu bersemangat di seberang telepon.

"Kita ketemuan dulu ya Ran, kamu ke rumah aja sekarang aku tunggu." Aku menutup telepon dan keluar
dari mobil. Sementara menunggu Rani aku menyiapkan cemilan ringan untuk menyambut sahabatku itu.

Setelah lulus kuliah kami terpisah, masing-masing dengan kesibukannya. Aku bekerja di sebuah
perusahaan yang bergerak dibidang property dan kemudian resign seminggu sebelum akad nikah.
Sementara Rani tak ada kabar lagi. Untung saja no teleponku semenjak kuliah tak pernah di ganti.
Sehingga memudahkan komunikasi dengan teman-teman semasa kuliah termasuk Rani.

Semoga ini petunjuk dari-Mu Ya Allah, saatnya mencari pundi-pundi rupiah. Harus bisa mandiri demi
anak-anak.
Suara bel di luar membuyarkan lamunanku. Itu pasti Rani. Benar saja sahabat semasa kuliah itu langsung
menghambur ke pelukannku. terdengar isakan pelan dari wanita tomboy itu. Aku mendorong bahunya
perlahan.

"Apa rasa kangen kamu begitu besar sehingga membuat sahabatku ini sampe berderai air mata begini?
Aku tersenyum menggodanya. Rani menggeleng.

"Aku tahu semuanya Mer. Aku tahu yang terjadi dengan rumah tangga kamu. Karin itu sepupu aku. Tak
sengaja kemarin aku berniat silahtuhrahmi dengan Karin tapi urung setelah melihat insiden kalian
kemarin. Aku melihat semuanya Mer. Rani tertunduk.

"Jadi kamu menawarkan aku pekerjaan karena kasihan dengan nasibku Ran? Aku menatap Rani sambil
tersenyum seolah aku baik-baik saja.

"Bukan gitu Mer aku tak mau kamu terpuruk . Aku tahu potensi kamu. Aku ingin kamu semangat seperti
Merry yang dulu lagi." Rani menggenggam tanganku erat.

Aku mengangguk. Senyum cerah tersungging di bibirku, aku yakinkan Rani bahwa aku tak serapuh yang
di bayangkannya. Kami berpelukan penuh haru. Rani berpamitan setelah memastikan aku sudah
menjadi bagian dari keluarga besar perusahaan suaminya besok. Aku mengangguk pasti, mengantar
kepergian Rani dengan senyum menandakan ada secercah harapan di tengah kekalutan yang ku alami.

Aku menarik napas lega. Setidaknya satu beban lepas. Aku tak perlu was-was jika suatu saat Mas Amin
terpaksa menanggalkan seragam kebanggaannya. Aku tersenyum senang, satu-satu masalah bisa ku
selesaiakn. Dengan riang aku menjalankan mobil, meluncur dengan pasti ke rumah mertua.

Di persimpangan jalan tanpa sengaja berpapasan dengan dua makhluk tak bermoral itu. Aku menepikan
mobil pelan setelah melihat isyarat dari Mas Amin agar aku berhenti. "Mau apa dia,"hatiku bertanya.

Aku keluar dari mobil bersandar di pintu mobil, dengan melipat kedua tangan di dada aku menatap
tajam ke arah mobil mereka. Pintu mobil Karin terbuka, Mas Amin turun dari mobil berjalan menuju ke
arahku.

"Ada apa."
"Kamu mau ke mana, tadinya aku berniat ke rumah mengambil ATM milikku yang ada di kamu."

"Bukan main kamu Mas, setelah kamu sakiti aku dan anak-anak kamu mau mengambil hak mereka juga.
Benar-benar gak punya hati jadi ayah." Aku berang melihat tingkah Mas Amin yang sudah keterlaluan.

"Terserah kamu deh aku butuh ATM itu."

"Terus anak-anak makan, bayar sekolah dari mana,"

"Ya itu urusan kamu," jawab Mas Amin ketus.

Emang sudah tak bisa di pertahankan lagi lelaki di depanku ini. Tanpa ragu-ragu ku ambil dompet dan
mengeluarkan kartu ATM milik lelaki itu, kulemparkan pelan ke wajahnya.

"Tuh ambil." Aku langsung masuk ke mobil dan segera menyalakan mesin. Terlihat senyum sinis
tergambar di wajah wanita jalang di seberang sana, bahagia dia rupanya merasa berkuasa penuh atas
Mas Amin.

Sebelum mobil ku jalankan, aku sempatkan membuka kaca mobil dan berujar pada lelaki yang masih
berdiri di samping mobilku itu.

"Mas aku mau ke rumah ibu kamu sekarang."

Sepertinya Mas Amin terkejut, terlihat dari air mukanya yang tiba-tiba berubah.

"Mau apa kamu,"

"Ya mau cerita kelakuan anaknyalah biar aku gak gila menanggung beban ini sendirian."
Aku berlalu meninggalkan lelaki itu dengan wajah yang pucat pasi. Aku tahu benar Mas Amin sangat
menyayangi ibunya, dan Mas Amin juga tahu aku menantu kesayangan ibunya. Bisa di bayangkan apa
yang akan terjadi nanti jika ibunya sampai tahu kelakuannya .

Kulirik sekilas Mas Amin lewat kaca spion. Lelaki itu masih berdiri di belakang sambil mempermainkan
kartu ATM berlambang merah putih itu, tanda orang yang sedang gelisah. Aku tertawa lepas. Kamu pikir
aku bodoh Mas. Semalam semua uang tabungan di ATM itu sudah ludes ku pindahkan ke rekening atas
namaku. Makan tuh ATM kosong.

Bersambung...

Aku Bukan Wanita Bodoh

Jilid....5

Wajah tua itu begitu sendu, berkali-kali tangan keriputnya mengusap air mata di pipinya.

"Maafin ibu ya Neng ibu gagal rnendidik anak ibu."

"Gak bu maafin Neng juga ya dah bikin ibu sedih. Neng hanya ingin berbagi bu Neng gak kuat nanggung
beban ini sendirian hiikss.." Aku tergugu di pelukan ibu mertua.

Bagiku ibu sudah seperti ibu kandung sendiri. Aku sangat menyayangi beliau begitupun sebaliknya.
Sebenarnya aku tak mau melibatkan ibu dalam masalah aku dan Mas Amin, tapi hanya ibu satu-satunya
orang yang bisa ku percaya. Meski Mas Amin sudah menyakitiku dan anak-anak, aku masih ingin
menjaga nama baik Mas Amin, setidaknya untuk saat ini. Sejujurnya aku berharap Mas Amin bisa sadar
dan kembali seperti dulu walau bukan untukku tapi demi nama baik keluarga besarnya dan juga nama
baik satuan.

"Apa yang bisa ibu bantu Neng,"


"Maafin Neng ya bu,Neng mau Ibu ikut Neng sekarang dan jadi saksi atas apa yang nanti Neng lakukan
buat Mas Amin dan wanita itu." Ku raih tangan ibu, ku cium penuh kasih. Menatap penuh harap semoga
ibu mau membantuku.

"Iya Neng ibu pasti bantu kamu." Suara Ibu begitu teduh. Aku sangat beruntung memiliki mertua seperti
Ibu. Dulu almarhum Bapak juga sangat baik, beliau menyayangiku seperti anak sendiri. Setiap kali aku
berantem sama Mas Amin, akulah yang selalu di bela. Aku tak bisa membayangkan jika saat ini Bapak
masih hidup. Entah apa yang akan di lakukan Bapak dengan Mas Amin. Semoga Bapak tenang di sana ya
Pak, doaku dalam hati.

Siang itu tanpa membuang waktu aku dan Ibu segera meninggalkan kediaman Ibu kembali ke rumah
kami, rumah aku dan Mas Amin. Tak lupa aku mampir ke Warung makan langganan kami, membeli
beberapa macam lauk untuk makan siang nanti. Aku yang terbiasa memasak di rumah, sejak Mas Amin
tinggal di rumah Karin aku jadi hilang semangat buat memasak. Untung anak-anakku bukanlah anak
yang rewel. Seakan tahu suasana hati ibunya. Satu hal yang membuatku bersyukur, mereka jarang
menanyakan di mana ayahnya. Hanya sesekali Aliya suka menanyakan kapan ayahnya pulang. Mungkin
dari bayi sering di tinggal tugas oleh ayahnya jadi ketiadaan Mas Amin bukanlah hal baru.

Mobil yang aku kendarai sebentar lagi akan memasuki pintu pagar rumahku ketika gawaiku berdering.
Pelan aku menepi dan segera menjawab panggilan Ibu komandan dari satuan suami, itu terlihat dari
nama yang tertera di layar.

"Asalamualaikum, ijin Ibu, petunjuk?" Aku menjawab sopan panggilan istri dari komandan Mas Amin
tersebut karena begitulah etika yang di ajarkan dalam membangun komunikasi antara istri atasan dan
bawahan sebagai istri anggota.

"Walaikumsalam Bu Amin nanti sore ikut mendampingi suami di acara serah terima jabatan (sertijab)
komandan-komandan kompi(Danki). Dari kemarin sudah ada pemberitahuan lewat Pak Amin tapi
kenapa tadi gak datang untuk gladi."

Aku terkejut mendengar penuturan Ibu komandan barusan. Gimana aku tahu kalau Mas Amin di angkat
jadi komandan kompi, sementara sudah tak se atap lagi, komunikasi pun tak pernah lagi.

"Hallo Bu Amin,"
"I..Iya siap ibu." Aku tergagap menjawab

"Ya sudah nanti sore jangan lupa ya pakai baju PSK atribut lengkap. Asalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Aku lega ibu komandan segera mengakhiri pembicaraan dan tidak bertanya lebih lanjut soal
ketidakhadiranku saat gladi. Keterlaluan kamu Mas. acara sepenting itu aku tak di beritahu. Apa Karin
yang akan menggantikan posisi aku saat mendampinginya di sertijab nanti? Tidak Karin, istri sah seorang
anggota itu sangat di lindungi dan kuat kedudukannya, tidak akan mudah di geser apalagi oleh seorang
pelakor.

Aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Saatnya beraksi Merry ini moment yang tepat. Segera ku
telepon Rani, menceritakan rencanaku dan meminta bantuannya agar rencanaku sukses. Aku bersyukur
Rani dengan senang hati mau membantu.

Tak perlu menunggu lama Rani tiba dengan membawa pesananku, dua buah meterai 6000 untuk
melengkapi berkas yang sudah ku buat semalam.

"Makasih ya Ran,"

Rani hanya tersenyum memelukku kemudian menyalami Ibu yang duduk di sofa sambil memangku
Radit.

"Bu ini Rani teman kuliah Neng." Aku memperkenalkan Rani pada Ibu.

"Rani ini Ibu mertuaku, ibunya Mas Amin.

Rani terlihat ragu, ada tanya di matanya.

Aku tersenyum melihat tingkah sahabatku itu.

"Tenang Ran, ibu sangat menyayangi aku sejak jadi menantunya. Ibu tahu mana yang harus di bela."
Terlihat Rani mengangguk dan tersipu melihat Ibu,Ibu hanya balas tersenyum sambil mengelus-elus
kepala Radit yang terlihat sudah terlelap di pangkuan neneknya itu.

Jam menunjukan pukul satu siang ketika kami, Aku Rani, dan Ibu berjalan menuju rumah Karin. Aku
menggenggam tangan Ibu erat, mencoba menguatkannya agar nanti tidak terbakar emosi saat melihat
Karin dan Mas Amin. Sebelum keluar rumah tadi aku memantau rumah Karin dari atas balkon, terlihat
Mas Amin sudah kembali dari kantor. Aku pastikan Mas Amin ada di rumah saat nanti kami tiba di sana.

Bel pintu itu kembali ku tekan, tak sabar menunggu dua makhluk ga bermoral itu keluar secepatnya.

"Siapa sih?"

Karin menggerutu sambil membuka pintu dan kemudian terpesona melihat pemandangan di depannya.
Mulutnya membulat. Aku berharap ada belatung yang lewat dan nyelonong masuk ke mulut yang lagi
mangap itu.

"Kenapa, kaget?"

Aku maju selangkah dengan santai aku menarik ibu lebih dekat.

"Kenalin Karin ini Ibu mertua aku."

Karin salah tingkah. Kulihat bibir Ibu bergetar menahan emosi. Aku merangkul pundaknya, ada iba dalam
hati melihat Ibu.

"Mana anak saya."

Tak di duga Ibu bersuara. Aku melotot ke arah Karin meminta penjelasan. Karin buru-buru meraih
tangan Ibu ingin menyalami, tapi secepat kilat di tepis sama Ibu.

"Jangan sentuh tangan saya. Kamu sudah merusak kebahagiaan menantu dan cucu saya."
Tanpa tangis tanpa ada air mata, ucapan Ibu begitu tegas. Tatapannya tajam ke arah Karin. Wanita
jalang itu menunduk menahan malu.

"Ada apa Beb, rame amat."

Nah ini nih lelaki kebanggaan keluarga,dulu. sekarang tak lagi. Tanpa beban lelaki itu mendatangi kami
dan tersentak saat melihat Ibu.

"I..Ibu."

Mas Amin terbata-bata. Sambil menundukan muka berusaha meraih tangan ibunya, tapi sama seperti
Karin tadi Ibu juga segera menepis tangan Mas Amin.

"Kamu bukan anak Ibu lagi Amin, kamu sudah menyakiti Merry dan cucu-cucuku itu sama saja kamu
sudah menyakiti hati Ibu, tega kamu Amin.

"Maafkan Amin Bu, Amin mencintai Karin, kalau Ibu bisa menerima Karin, dia juga bisa jadi menantu
yang baik buat Ibu."

Mendengar ucapan Mas Amin jujur saja hatiku panas. Teganya dia berkata seperti itu di depan aku.

"Sampai kapanpun menantu Ibu cuma satu, yaitu Merry."

Suara Ibu meninggi. Aku tak mau kalau sampai ribut-ribut dan di dengar tetangga. Ku coba meredam
suasana.

"Sudah Bu sabar ya, dan kamu Karin sama Mas Amin apa kalian berdua mau jadi tontonan warga?"

Terlihat dua manusia itu saling tatap.


" Ya sudah ayo masuk."

Karin mempersilahkan kami masuk ke dalam rumah dengan wajah yang di tekuk.

Untuk pertama kalinya aku masuk dan duduk di rumah mewah pelakor ini. Kalau bukan karena urusan
ini rasanya tak sudi masuk ke rumah penyebab hancurnya rumah tangga aku dan Mas Amin.

"Langsung aja ya Mas aku ga mau basa basi. Oh ya kamu katanya di angkat jadi Danki ya, kok aku gak tau
ya Mas."

"Itu bukan urusanmu. Ada apa sih bawa-bawa Ibu ke sini."

"Mas aku masih istri sah kamu ya, apa sekarang aja kamu mau aku mengajukan gugatan cerai aja dan
melaporkan kelakuan kalian ke komandan?"

Dongkol benar aku udah setinggi itu pangkat dan jabatannya tapi kelakuannya tak bisa di terima nalar.
Aku seperti tak mengenal Mas Amin.

"Jangan!"

Sontak Mas Amin menjawab. Terlihat wajahnya tegang. Ada ketakutan di matanya. Tak di sangka Mas
Amin menjatuhkan tubuhnya, berlutut di depanku, memegang tanganku erat.

"Bunda maafin ayah, ayah akan lakuin apa aja asal jangan laporkan ayah. Gimana karir dan jabatan ayah
Bun."

Oalaaah baru sadar rupanya lelaki di depanku ini kalau dia punya jabatan dan karir yang sewaktu-waktu
bisa hancur. Dan itu semua tergantung aku istrinya.

" Jangan bilang kamu mau kembali ke istrimu Mas, aku gak mau kehilangan kamu."
Karin histeris. Di peluknya Mas Amin sambil menangis. Aku yang melihatnya merasa jijik. Apalagi Ibu,
wajahnya merah menahan amarah. Rani hanya melongo melihat pemandangan melankolis di depan
matanya.

"Kamu sudah menghancurkan kebahagiaan menantu dan cucuku,dan sekarang kamu akan
menghancurkan masa depan anakku juga."

Ibu terlihat sangat terguncang. Aku mengelus pelan lengan Ibu, mencoba menenangkannya. Tak ingin
membuang waktu, aku tahu sebentar lagi Mas Amin harus segera menghadiri pelantikan dan serah
terima jabatan sebagai komandan kompi. Ku sodorkan dua lembar kertas yang sudah di bubuhi meterai.
Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan sebelum mengatakan tujuan kami ke rumah
Karin.

"Karin, aku tak akan pernah memintamu melepaskan Mas Amin, aku ingin kesadaranmu sendiri
sebagai.perempuan yang punya hati untuk melepaskan sesuatu yang bukan hak kamu. Dan kamu Mas,
aku tak akan memintamu kembali tanpa kesadaran dari kamu sendiri. Aku gak mau kamu kembali
karena ketakutan masa depan, karir dan jabatan kamu akan hancur. Aku hanya ingin cintamu yang dulu
yang akan membawamu pulang. Bukan hal mudah membiarkan kamu hidup dengan wanita lain di
depan mataku. Tapi toh itu pilihan kamu. Yang penting kamu bahagia."

Kulihat Karin mulai tenang. Pelukannya lepas dari tubuh Mas Amin dan kembali duduk berhadapan
denganku. Mas Amin terlihat gelisah. Mungkin dia merasa tertohok dengan kata-kataku barusan,
entahlah.

"Karin, aku tahu kamu orang yang berpendidikan. Kamu tahu kan hukuman buat orang yang berzinah
bagi yang sudah menikah? Kalau Mas Amin sudah jelas hukumannya di kedinasan seperti apa saat aku
buka mulut. Karir dan jabatannya jadi taruhan. Di pecat dan di penjara udah pasti. Itu hukuman secara
sepihak yang akan di terima Mas Amin saat aku sebagai istrinya melaporkan perbuatan kalian ke
komandan. Tapi itu tak adil buat Mas Amin. Perbuatan bersama harus di tanggung bersama. Perbuatan
kalian, apalagi di tambah bukti foto bugil yang kemarin kamu kirim, bisa aku laporkan dan pasti kena
pasal 284 KUHP yaitu pasal perzinahan, hukumannya penjara."

Karin menelan ludah, sementara Mas Amin beberapa kali mengusap keringat yang sepertinya tak
berhenti mengalir. Aku menatap tajam dua orang itu bergantian.

"Kalian pilih mana di laporkan atau jalan damai."


Karin terlihat mulai gelisah. Keringat bercucuran di dahinya.

"Sudah mau kamu apa, katakan sekarang."

Suara Karin bergetar.

"Bunda maunya gimana."

Sendu suara suamiku. Aku rindu suara itu ya Allah. Tak bisa di dipungkiri masih ada cinta dan sayang
terselip di lubuk hati ini. Ah aku tak boleh terlihat lemah, aku dah cukup sakit hati.

"Ada harga yang harus di bayar Karin. Rasa sakit yang kamu dan Mas Amin torehkan di hati ini dan masa
depan anak-anakku yang terpaksa kehilangan cinta dan kasih sayang seorang ayah. Semuanya sudah di
renggut oleh kamu Karin. Ini surat perjanjian, ada dua saksi yaitu Ibu dan sahabatku Rani. Ini isi
perjanjiannya, aku harap kamu gak.menolak."

Ku geser dua lembar kertas itu lebih dekat ke hadapan Karin agar lebih mudah di baca olehnya.

"Ini pemerasan namanya. Aku gak mau. Lima belas juta sebulan bukan jumlah yang sedikit"

Karin melemparkan kertas yang kusodorkan barusan. Aku mengambilnya dan menyimpannya kembali ke
dalam tas. Dengan tenang aku mengajak Ibu dan Rani beranjak dari ruangan itu.

"Berapapun uang yang kamu kasih tak akan sanggup menutup luka yang menganga. Baiklah Karin dan
Mas Amin tunggu aja panggilan dari kepolisian."

Karin berlari mengejarku, memegang tanganku erat, raut wajahnya kulihat sangat panik.

"Baiklah kalau begitu aku setuju perjanjian itu. Tapi jangan laporkan aku ke polisi. Tolong Merry,"
Aku mengangguk, dan memberi isyarat ke Rani dan Ibu agar kembali duduk.

"Apa sih isi perjanjian itu,"

Rupanya Mas Amin belum membacanya sehingga membuatnya penasaran.

"Ini baca."

Ku angsurkan kertas bermaterai itu ke hadapan Mas Amin. Setelah membaca isi dari surat perjanjian itu
yang intinya mengharuskan Karin Dan Mas Amin membayar setiap bulan untuk satu anak tujuh juta lima
ratus ribu sebagai konsekwensinya karena sudah merebut kasih sayang seorang ayah dari anak anaknya.
Dan uang itu akan di bayarkan selama waktu yang tidak di tentukan. Jika melanggar perjanjian tersebut
maka Karin dan Mas Amin bersedia di laporkan ke pihak berwajib untuk kasus perzinahan dan Mas Amin
siap di laporkan ke satuan.

Mas Amin terhenyak setelah membaca isi perjanjian itu.

Aku tak mau berlama lama segera ku minta Karin dan Mas Amin segera menandatangani surat tersebut
di lanjutkan dengan Ibu dan Rani sebagai saksi.

Kami akan segera pergi dari rumah itu ketika aku ingat sesuatu. Ku hampiri Mas Amin yang kelihatannya
masih syok.

"Mas jangan lupa nafkah untuk anak-anak tiap bulan masih kewajiban kamu. Silahkan pegang kartu
ATMnya, tapi setiap kali gaji masuk aku akan segera mentransfernya lewat sms banking ke nomor
rekening aku."

Mas Amin tak bisa berkata apa apa, apalagi ada ibunya sudah pasti dia segan.

Ku hampiri Karin yang seperti orang linglung.

"Saat ini aku minta uang untuk pembayaran pertama."


Karin tak mampu membalas ucapanku apalagi balas menatapku, dengan langkah berat Karin berlalu
masuk ke kamarnya. Tak butuh waktu lama, wanita itu sudah kembali dengan menenteng sebuah
amplop cokelat.

"Ini lima belas juta."

Aku mengambilnya dan berlalu penuh kemenangan dari rumah si pelakor di iringi Ibu dan Rani. Aku ingin
tahu sejauh mana Karin dan Mas Amin bertahan dengan situasi ini. Hidup tanpa ikatan dan terus di
rongrong dengan isi perjanjian yang sudah di tanda tangani.

&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

Kulihat jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Segera aku bersiap, mengenakan seragam kebanggaan
bagi seorang istri TNI -AD. Aku berjalan santai ke rumah Karin, setelah sebelumnya menitipkan anak
anak ke ibu.

Terlihat pintu rumah Karin masih terbuka. Dari halaman ku lihat Mas Amin sudah rapih dengan baju
kebesarannya. Ada Karin di sampingnya. Saat melihat kedatangan aku Karin terkejut.

"Mau apa lagi kamu Merry,"

Suara Karin meninggi.

"Kamu lupa ya aku masih istri sah Mas Amin. Aku akan mendampingi suamiku di acara sertijab
sekarang."

Jawabku tegas. Mas Amin hanya diam. Aku lalu mengajaknya naik mobil aku yang sudah ku parkir depan
rumah Karin.

"Gak gampang Karin kalau mau selingkuh sama anggota TNI yang sudah beristri. Kamu gak akan dapat
apa-apa. Selamanya kamu akan jadi simpanan, gak akan pernah di akui di mata hukum maupun satuan."
Aku berlalu sambil menggandeng tangan Mas Amin setelah mengatakan hal itu ke Karin. Karin hanya
bisa menatap dengan menahan amarah,terlihat dari wajahnya yang memerah.

Sakit kan Karin?

Bersambung....

Aku Bukan Wanita Bodoh

Jilid.....6

Sepanjang perjalanan aku dan Mas Amin membisu. Aku tak berniat memulai percakapan. Aku juga tak
berharap Mas Amin mau bicara walau sekedar basa basi. Ku akui sejak kehadiran Karin di hati Mas Amin,
aku seperti tak mengenal Mas Amin lagi. Perhatian, kasih sayang yang dulu setiap hari selalu tercurah
untuk aku dan anak-anak kini tak pernah lagi kami rasakan.

Aku berusaha berdamai dengan keadaan, menerima sikap dan perubahan yang terjadi dalam diri Mas
Amin. Bagiku cinta itu tak bisa di paksa. Entah sampai kapan aku harus bertahan hanya waktu yang bisa
menjawab. Yang jelas aku tak mau terlihat lemah di hadapan Mas Amin juga Karin.

Serah terima jabatan hari ini berjalan dengan lancar Aku bersyukur meski aku harus berakting seolah
rumah tangga aku dan Mas Amin baik baik saja. Mas Amin juga sepertinya sukses memerankan
perannya sebagai seorang komandan kompi yang berwibawa. Meski aku dan juga Mas Amin sadar
semua ini tak lebih dari drama, setidaknya hatiku puas, di luar sana ada hati yang merana dan tersiksa.
Merasa tersisih dengan statusnya yang hanya seorang simpanan.

Melihat gelagat Mas Amin sepertinya susah untuk berubah. Harapan agar ayah anak-anakku itu kembali
ke rumah dan kembali bersama mengarungi bahtera rumah tangga, sepertinya tinggal asa yang tak
berujung. Aku sadar cepat atau lambat aku harus rela melepaskan Mas Amin buat pelakor itu.

Perlahan aku belajar melupakan Mas Amin. Harus aku lakukan agar nanti tidak terpuruk saat benar-
benar harus kehilangan. Aku biarkan semua mengalir apa adanya. Aku jalani kehidupanku sebagai ibu
rumah tangga, wanita karir, dan juga sebagai ibu ketua bagi istri-istri anggota kompi.
Sepuluh bulan berlalu. Dan selama itu aku masih sukses memerankan peranku. Sebagai wanita karir,
gajiku cukup besar bahkan berlebihan bila hanya untuk menafkahi kebutuhan aku dan kedua anakku.
Selama ini aku sudah mulai mempersiapkan semuanya, jika nanti aku harus berpisah dengan Mas Amin.
Hidup tak boleh berakhir hanya karena kehilangan cinta. Bagiku saat ini Mas Amin hanya masa lalu. Aku
dan anak-anak mulai terbiasa dengan ketidakhadiran Mas Amin. Perlahan si sulung mulai paham apa
yang terjadi dengan kedua orangtuanya. Aku tahu hatinya terluka. Tapi kata-kata anak itu suatu hari
begitu menguatkan aku.

"Bunda, biarkan ayah dengan pilihannya. Kakak percaya Allah sudah menyiapkan yang terbaik untuk
kita. Kakak sama Ade akan selalu ada untuk Bunda."

Aku sangat bersyukur anak-anak tak pernah menuntut. Padahal jarak rumah Karin dan rumah kami
hanya di batasi jalan raya tapi Mas Amin tak pernah sekalipun datang menjenguk kami. Aku dan Mas
Amin hanya ketemu saat ada kegiatan ibu- ibu persit di kantor. Alhasil sampai saat ini Mas Amin tak
pernah tahu kalau aku sudah bekerja di perusahaan property.

Aku tak ambil pusing. Yang ku pikirkan saat ini hanyalah menyiapkan masa depan untuk anak-anakku. Di
sisa malamku ku habiskan dengan sujud dan mengadu pada Rabku Sang pemilik hidup. Aku yakin suatu
saat ada balasan pedih untuk mereka yang sudah menoreh luka di hidupku dan juga hati kedua
malaikatku.

Setiap hari aku mengumpulkan rupiah menambah pundi-pundi aku dan anak-anak.

Selain bekerja di perusahaan property milik suaminya Rani, aku juga ikut ambil bagian sebagai marketing
freelance di beberapa kantor property rekanan perusahaan tempatku bekerja. Komisinya sangat
lumayan untuk menambah jumlah tabungan. Ratusan juta sudah tersimpan dalam deposito. Uang yang
ku terima dari Pelakor Karin dan gaji Mas Amin tak pernah ku pakai, semuanya utuh masuk tabungan.
Komisi yang ku dapatkan sebagai marketing freelance juga semua didepositokan. Aku menghidupi
kehidupan ku dan anak-anak dari penghasilanku setiap bulan, itupun sudah lebih dari kata cukup. Aku
sangat mensyukuri kehidupanku saat ini. Walau kehilangan kasih sayang seorang suami tapi kasih
sayang dari anak-anakku lebih berarti.

Kami berusaha menjalani hari-hari dengan ikhlas walau tanpa kasih sayang seorang suami juga ayah. Aku
percaya semua yang terjadi dalam kehidupan aku adalah kehendak Yang Kuasa. Aku tak mau tau lagi
soal Mas Amin dan Karin. Tanggung jawabku sebagai ibu ketua di kompi tetap ku jalani tanpa beban.
Walau sesekali di selingi amukan Karin di telepon karena cemburu melihat kedekatanku dengan Mas
Amin saat kegiatan di kompi.

Tanpa sepengetahuan Mas Amin diam-diam Karin suka mengikuti Mas Amin saat di kantor. Aku tahu
setelah hari itu Karin menelpon dan mengataikku dengan kasar.

"Hallo Merry aku gak suka kamu dekat-dekat Mas Amin, kurang apa sih aku sudah memenuhi
permintaan kamu, memberi uang sesuai permintaan kamu, tapi kamu tak bisa menjaga perasaan aku."
Cerocos Karin di seberang.

"Udah kamu jalani aja peran kamu sebagai simpanan dan jangan lupa kewajiban kamu setiap bulan. Aku
seperti ini karena aku istri sah Mas Amin, kedudukan istri sah takkan bisa di ganti pelakor. Kamu tenang
aja ada saatnya kamu jadi istri sah Mas Amin tapi nanti setelah Mas Amin melepas baju dinasnya. Aku
pastikan itu suatu hari nanti kalian akan hidup bahagia sebagai pasangan yang sah tapi bukan sebagai
seorang perwira TNI lagi. Ingat itu!"

Aku menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari Karin.

Dan hari itu tiba juga. Seperti pepatah mengatakan, sepandai-pandainya menyimpan bangkai akhirnya
tercium juga.

Begitu juga dengan apa yang selama ini aku dan juga Mas Amin tutup-tutupi. Hubungan Mas Amin dan
Karin akhirnya tercium juga oleh satuan. Berawal dari pernikahan sirih yang di lakukan Mas Amin tanpa
sepengetahuan aku. Entah siapa yang menyebarkan foto-foto pernikahan mereka yang akhirnya sampai
ke tangan Danyon.

Aku yang saat itu masih di kantor tiba-tiba di telepon oleh salah satu anggota staf satu(intel), memintaku
segera datang ke batalyon.

"Selamat siang Ibu, ijin saya Sersan Sidik dari staf intel, mohon waktunya Ibu agar saat ini juga bisa
datang ke batalyon."

"Baik saya merapat sekarang om".

"Siap ibu, ijin terima kasih."


Aku segera menutup telepon, membereskan meja kerjaku dan meminta izin kepala bagian agar bisa di
ijinkan pulang sebelum waktunya. Alhamdulilah di ijinkan. Aku segera menjalankan mobil ke arah satuan
suami.

Selama dalam perjalanan firasatku tak enak. Kalau di telepon sama anggota staf satu sudah pasti
menyangkut satu kasus.

Benar saja sesampainya aku di kantor staf satu, sudah berkumpul Karin dan Mas Amin serta Kasie intel
dan anggota-anggotanya.

Setelah melalu proses yang lumayan panjang, hari itu juga jabatan Mas Amin sebagai Danki di copot.
Sebagai gantinya Mas Amin di mutasikan ke wilayah di daerah pelosok.Di depan aku dan anggota staf
satu Danyon memerintahkan Mas Amin agar saat itu juga menceraikan Karin. Dengan berat hati Mas
Amin mentalak Karin di depanku. Setelah itu saat itu juga Karin diperintahkan keluar dari ruangan dan
harus segera meninggalkan lingkungan Batalyon. Salah satu anggota di perintahkan Danyon untuk
membawa Karin pergi.

Karin menangis histeris. Sudah pasti malu dan hatinya tak terima diperlakukan seperti itu. Tapi apa mau
dikata.Peraturan tetap berlaku. Istri TNI hanyalah satu. Kalaupun ada yang bisa beristri dua atau lebih,
selamanya hanya bisa jadi simpanan. Itupun kalau tidak ketahuan oleh satuan. Kalau sudah ketahuan,
hanya malu dan sakit hati yang di dapat.

Sebelum aku dan Mas Amin meninggalkan ruangan staf satu, Mas Amin di minta menandatangani surat
perjanjian, bahwa Mas Amin dan Karin tak akan berhubungan lagi. Kalau sampai mengulangi kesalahan
yang sama maka resikonya Mas Amin siap di pecat sebagai anggota TNI.

Kulihat Mas Amin sangat terpukul walau kelihatannya berpura-pura tegar. Andai saat itu masih ada cinta
di sudut hati ini, mungkin aku akan meneteskan air mata melihat kejatuhan suamiku. Tapi hari
ini.membuktikan cinta dan sayang yang dulu begitu besar untuk Mas Amin sepertinya sudah punah
bersama waktu. Aku yang saat itu harus segera kembali ke kantor tak mau ambil pusing, setelah urusan
beres segera aku menuju mobil yang terparkir di halaman kantor staf satu. Tiba-tiba ada yang menahan
langkah ku dengan menarik tanganku. Aku menoleh. Ternyata Mas Amin.

Berssmbung....
.

[28/10 14.08] +62 852-0158-7947: Cerbung...

Aku Bukan Wanita Bodoh

Jilid......7

"Bunda maafin ayah"

Kalimat itu begitu sendu keluar dari mulut Mas Amin. Andai kalimat itu di ucapkan sepuluh bulan yang
lalu mungkin terdengar indah dan menggugah hati ini. Tapi saat ini, saat hati ini di biarkan membeku,
saat netra ini terbiasa menyaksikan kemesraan belahan jiwa di depan mata, saat raga ini sudah terbiasa
menahan dinginnya malam tanpa dekapan, saat air mata tak lagi menetes, permohonan maaf itu baru
terucap dari bibir lelaki bergelar suamiku itu.

"Kemana kamu selama ini Mas,"

Desahku.

"Bunda kasih ayah kesempatan buat memperbaiki semuanya."

"Tak ada yang perlu di perbaiki Mas, semuanya baik-baik saja. Saat kamu memilih perempuan itu aku
sudah puas memohon, saat kamu memilih pergi dari rumah aku sudah puas menangis, kamu tinggalkan
aku dan anak-anak dengan luka menganga, tanpa peduli perasaan kami Mas, sekarang air mataku sudah
kering, lukaku sudah terobati, anak-anak sudah terbiasa tanpa kehadiranmu, jangan datang lagi kalau
hanya untuk membuka luka yang sudah tertutup."

Mas Amin menunduk. Untuk pertama kalinya ku lihat lelaki itu menangis. Aku bergeming.
"Sudahlah Mas tak ada yang perlu di sesali. Kamu yang memulai semuanya. Kalau kamu sungguh
mencintai Karin pergilah, urus perceraian kita secepatnya, aku ikhlas. Aku bukan tak mau mengurusnya
tapi saat ini aku tak ada waktu banyak untuk urusan begitu."

Mas Amin memandangiku, seperti menyadari sesuatu. Netranya lekat menyusuri setiap lekuk tubuhku.
Seperti menyelidiki.

"Bunda kerja?" Tanyanya ragu.

Aku mengangguk.

"Di mana Bun, sejak kapan," tanyanya lagi.

"Sejak kamu memilih hidup bersama Karin."

Jawabku datar.

"Bunda....sangat cantik." Ucapnya lebih seperti berbisik.

Dalam hati aku tergelak. Selama ini suamiku seperti tertutup mata hatinya. Yang cantik depan mata tak
kelihatan malah milih yang di seberang jalan.

"Ah kamu Mas bukannya aku dari dulu juga sudah cantik, hmmm."

"Iya ayah tahu tapi sekarang beda..."

Ucapannya menggantung.

Tak urung aku jadi menelisik penampilanku hari ini. Setelan jas biru muda dengan blouse putih di padu
celana panjang warna hitam, kerudung polos segi empat warna senada dengan bros kecil menggantung
manis, yah pekerjaanku yang selalu berinteraksi dengan orang lain memaksa aku untuk tampil
sempurna.
Aku tersenyum menangkap binar di mata Mas Amin. Sekian lama menjadi istrinya, aku tahu binar apa
itu. Sejak di tinggal Mas Amin, aku menyibukkan diri dengan pekerjaan, mengurus rumah dan anak-anak,
dan tak lupa memanjakan diriku dengan perawatan tubuh dan senam aerobik. Sepertinya perubahan di
tubuhku ini yang menyebabkan binar itu.

"Sudahlah Mas, kamu bisa nyuruh Karin senam tubuhnya bisa bagus kok, jangan sibuk aja ngurusin
bisnisnya, badannya tuh di rawat biar gak kaya buntelan."

Ujarku seraya tersenyum menggoda. Mas Amin terlihat salah tingkah. Aku tak mau buang waktu,
pekerjaan menumpuk di kantor, aku harus segera balik sekarang. Bergegas aku masuk mobil.
Meninggalkan Mas Amin yang kelihatannya masih terpukau.

"Aku pamit ya Mas, pekerjaanku banyak."

Sambil melempar senyum aku berlalu. Aku tahu masih ada sisa cinta di.matanya walau sedikit. Baguslah
Mas biar kamu tahu gimana rasanya di tinggalkan orang yang masih kamu cintai.

===============

Pukul sepuluh malam aku baru tiba di rumah. Pekerjaanku cukup menyita waktu dan energi. Setelah
memasukan mobil ke garasi aku segera masuk ke dalam rumah, tapi di depan pintu aku tertegun. Ada
dua pasang sandal yang aku tahu bukan milikku apalagi milik anak-anak. Segera aku menuju ruang
tengah untuk menuntaskan rasa ingin tahu.

Mas Amin dan Karin. Dua makhluk itu sudah duduk manis di depan tv. Anak-anak tak terlihat. Hanya
Bibik Minah, asisten rumah tanggaku yang lagi duduk menemani tamu tak di undang itu.

"Ada apa."

Tanyaku.langsung dan datar.

"Bunda...."
Mas Amin sepertinya mau mengatakan sesuatu tapi ragu-ragu.

"Jangan pikir aku kalah Merry,"

Tiba-tiba lantang suara Karin, sumpah aku kaget. Ku tatap tajam wajah wanita tak tahu malu itu.

"Kamu pikir selama ini kita perang gitu Karin? Perang memperebutkan apa? Laki laki ini?"

Tanyaku geram sambil menunjuk wajah lelaki di hadapanku.

"Ambil, ambiilll aku sedekahkan untuk kamu, aku tak butuh!"

"Bunda, apa tak ada lagi rasa cinta untuk Ayah Bun, apa Bunda tak berniat mempertahankan ayah?"

"Hah? Kamu pikir kamu itu benda mati apa ya, jadi aku harus berjuang buat mempertahankan kamu.
Kamu punya hati punya otak kamu tahu apa yang harus kamu perjuangkan. Bodoh sekali kamu Mas.
Selama ini aku dan anak-anak di sini kami tak ke mana-mana, kita cuma di batasi jalan raya, tapi tak
sekalipun kamu menengok kami. Harusnya kamu tahu ke mana kamu pulang. Perempuan ini benar
benar sudah membuat mu lupa jalan pulang, katakan gimana caranya aku bisa mempertahankan
kamu,sementara kamu sendiri tak tahu gimana caranya kamu mempertahankan diri kamu. Bertahun-
tahun kamu menjadi anggota TNI, kamu tahu aturan, tapi apa, kamu seolah sengaja membiarkan karir
dan jabatanmu jatuh begitu saja hanya demi perempuan ini. Lalu apa, apa yang kami harapkan lagi dari
kamu. Sekarang aku tanya sama kamu sekali lagi Mas, kamu pilih keluarga kamu apa perempuan ini."

Aku benar-benar emosi, kutatap lekat wajah Mas Amin menunggu jawabannya.

"Ayah.."

"Jangan bilang kamu mau ninggalin aku Mas."

Karin memotong ucapan Mas Amin.


"Bisakah kamu diam sedikit saja Karin, kasih kesempatan suamiku bicara."

Geram melihat tingkah si Karin. Muak sebenarnya. Ingin sekali menendangnya keluar dari rumahku. Tapi
untuk kali ini aku ingin mendengar langsung keputusan Mas Amin.

Tapi dasar Karin wanita tak tahu malu. Seakan tak ingin membiarkan Mas Amin mengeluarkan isi
hatinya. Digenggamnya tangan Mas Amin, wajah memelasnya sungguh memuakkan.

"Tolong nikahi aku lagi Mas. Aku akan mendampingi kamu di pelosok. Aku rela Mas yang penting bisa
hidup sama kamu."

Benar-benar Karin kali ini bikin emosiku sampe ke ubun-ubun. Apa dia lupa, dia yang menyebabkan Mas
Amin di copot dari jabatannya sampai akhirnya di pindahkan ke pelosok. Apalagi melihat Mas Amin yang
bak boneka Karin. Tak ada sedikitpun usahanya untuk.mempertahankan rumah tangga kami. Sikapnya
yang lemah dan ketakutan saat melihat Karin marah-marah sungguh membuatku muak.

"Mas kamu pilih siapa? Kalau kamu memilih Karin.silahkan keluar dari rumah ini dan jangan pernah
berfikir tuk kembali.

Mas Amin beranjak dari duduknya di ikutin Karin.

"Maafkan ayah Bun."

Ucapnya sambil melewati aku yang lagi berdiri tanpa memandangnya.

"Itu keputusanmu Mas. Kamu tahu apa akibatnya nanti. Ku harap kamu gak pernah menyesal."

Aku.membalas ucapannya tanpa menoleh. Dari tempatku berdiri ku dengar pintu pagar di tutup, tanda
dua tamu tak di undang itu telah pergi dari rumah ini.
Tak terasa air mataku menetes setelah sekian lama kering. Aku tak tahu apa yang ku tangisi, selamanya
ditinggalkan suamiku atau bayangan kejatuhan Mas Amin kelak.

Bersambung...

[28/10 14.08] +62 852-0158-7947: Cerbung....

Aku Bukan Wanita Bodoh

Jilid.....8

Aku melangkah menuju balkon, semilir angin terasa dingin menyentuh kulit. Di seberang jalan terlihat
rumah megah itu dengan lampu yang masih menyala, menandakan penghuninya yang belum terlelap.
Rumah yang sudah membuat suamiku lupa rumahnya sendiri.

Bayanganku kembali ke ke masa silam. Masa-masa perjuangan Mas Amin menempuh pendidikan
sebagai seorang perwira. Saat ekonomi lagi terpuruk, tapi demi mendukungnya menempuh pendidikan,
aku rela banting tulang.

Biaya untuk menempuh pendidikan perwira tidaklah murah. Aku rela melepas perhiasan emas
pemberian orang tua aku semasa gadis, demi membantu perjuangan suamiku. Untuk sementara kami
hidup berjauhan. Mas Amin di tanah Jawa, aku dan anakku Aliya di pelosok Maluku Utara. Aku ikhlas,
demi mendukung karir suami.

Membiayai suami yang lagi menempuh pendidikan dan mengurus perawatan mertua yang sakit diabetes
bukanlah hal yang mudah. Mengandalkan gaji Mas Amin dan uang remonerasi tidaklah cukup. Aku mulai
putar otak. Dapur harus tetap mengepul, Mas Amin harus tenang melanjutkan pendidikan, dan bapak
mertua harus tetap menjalankan perawatan sampai sembuh.
Dengan uang seadanya dan sedikit ketrampilan membuat kue, aku membeli bahan-bahan kue. Kue
pertama buatanku adalah roti manis dan donat.

Komoditi terbesar di pulau tempat kami bertugas dulu adalah kelapa dan cengkeh. Aku melihat peluang
bagus. Kebetulan saat itu lagi musim panen cengkeh. Aku menjual kue dengan cara barter sama
cengkeh dan kelapa. Aku rela masuk kebun dan hutan, demi menemui pelanggan. Setelah kue habis, aku
pulang membawa cengkeh mentahan yang beratnya lumayan.

Apalagi membawanya dengan menenteng di kepala, sambil berjalan kaki naik turun bukit. Jarak yang di
tempuh bisa memakan waktu dua jam perjalanan. Sungguh melelahkan.

Setiap hari pekerjaan itu aku lakonin. Setelah cengkeh kering dan kelapa jadi kopra, semuanya aku jual
dan hasilnya di kirim untuk Mas Amin.

Lelah ku terbayar saat mendampingi Mas Amin di lantik sebagai seorang perwira. Bangga dan bahagia
menjadi satu. Perjuangan kami tak sia-sia. Aku tak perlu menceritakan ke suamiku itu seberat apa
perjuanganku untuk meraih semua itu. Tak perlu, karena bagiku itu bakti seorang istri. Tapi tubuh
ringkih dan muka kucel yang tak biasa jadi pertanyaan buat Mas Amin.

"Bunda kelihatan kurus, kurus banget malah, gak kaya biasanya,"

Pertanyaan Mas Amin hanya ku jawab dengan senyum.

"Bun, ini kulitnya juga hitam gini, selama ayah ga ada bunda ngapain aja?"

Tanyanya lagi.

"Bunda jualan kue Yah, di tukerin sama cengkeh dan kelapa, mungkin ini efek dari menjemur cengkeh
tiap hari dan mengasap kelapa jadi kopra."

Jawabku santai sambil tersenyum.

"Apa?" Mas Amin terkejut.


"Bunda ngapain ngelakuin itu semua?"

Tanya suamiku seakan tak percaya.

"Sudahlah, demi kita juga. Gaji ayah gak cukup yah, belum biaya pengobatan bapak, tiap bulan harus
bunda kirim. Sudahlah sekarang bunda bahagia pengorbanan bunda gak sia-sia."

Mas Amin langsung memeluk, menciumku berkali-kali.

"Bunda makasih ya, selamanya ayah gak akan lupain pengorbanan bunda."

Aku hanya tersenyum waktu itu. Aku berdoa semoga lelahku menjadi berkah. Semua yang ku lakukan
tulus ingin mendukung karir suami. Tak pernah ku sangka kalau semuanya berakhir seperti ini.

Tak ada lagi yang perlu di harapkan. Saat jabatannya di copot aku masih berharap Mas Amin bakal
berubah dan memilih kami, walau sakit aku akan menerimanya demi anak-anak. Aku akan tinggalkan
pekerjaanku dan akan menemaninya walau di pelosok lagi seperti dulu saat masih Bintara. Tapi
sepertinya semuanya takkan pernah terjadi. Semuanya sudah berakhir. Kepergian Mas Amin nanti
bersama perempuan tak tahu diri itu adalah awal dari kehancurannya, aku pastikan itu. Mas Amin dan
Karin sudah membuat hatiku benar-benar jadi batu.

===============

Hari masih pagi ketika aku harus segera berangkat ke kantor. Hari ini ada klien yang ingin bertemu.

Ku jalankan mobil dengan tenang ketika ada yang menghadang dari depan, Karin.

"Waduh kamu kerja sekarang ya Merry? Kenapa, apa gaji Mas Amin dan uang pemberian aku masih
kurang? duh Merry ternyata kamu istri yang boros ya,"

Cerocos Karin seolah meledekku.


"Minggir Karin, aku buru-buru nih,"

Aku mencoba tetap tenang walau hati bergemuruh.

"Makanya jadi orang jangan kere, lihat aku nih, hartaku banyak sampai suamimu aja tega ninggalin kamu
kan? Oh ya hari ini juga aku dan suamimu itu akan pergi ke pelosok, aku akan menemaninya di sana
sebagai nyonya Amin.

Kesabaranku habis, tapi aku tak mau ribut di pinggir jalan.

Mobil ku parkir agak menepi. Aku melangkah turun dari mobil dan berjalan melewatinya yang berdiri di
tepi pagar rumahnya.

Tentu saja Karin terkejut melihatku nyelonong masuk ke dalam rumahnya.

"Eh kamu, mau apa masuk rumahku segala, mau bujuk Mas Amin biar pulang sama kamu gitu?"

Aku tak menjawab, hanya berdiri melipat tangan di dada, menatapnya tajam.

Terdengar langkah kaki dari tangga. Mas Amin turun membawa koper besar. Sepertinya benar ucapan
Karin barusan,mereka sudah siap ke pelosok.

Mas Amin yang melihatku berada dalam rumahnya melihatku penuh tanya.

"Aku cuma mau mastiin kalian tak lupa dengan perjanjian yang sudah kalian tanda tangani setelah nanti
di pelosok."

Ucapku sambil menatap Karin dan Mas Amin bergantian.


"Sudah pasti aku tak lupa, mana rekening kamu, aku akan mentransfer setiap bulan."

Ucap Karin pongah.

"Tidak Karin, aku gak mau kamu transfer, aku minta pembayaran untuk satu tahun ke depan."

Karin terkejut. Dalam hati aku tergelak. Suruh siapa Karin kamu selalu mengganggu kehidupan ku.
Tadinya tak terpikir sedikitpun untuk meminta seperti itu, tapi kelakuan Karin barusan di jalan
membuatku ingin membuatnya menyesal.

"Mana Karin? Katanya kamu banyak harta, orang kaya, masa cuma seratus delapan puluh juta kamu gak
bisa kasih sekarang,"

"Kamu bohong Merry, kamu janji gak akan melaporkan Mas Amin, buktinya apa, Mas Amin di copot dari
jabatannya. Sekarang kamu minta lagi uangnya, setelah ini kamu pasti melaporkan Mas Amin."

"Aku gak pernah melanggar janji. Namanya bangkai pasti suatu saat tercium juga."

Karin cemberut. Tanpa membalas ucapanku Karin berlalu ke kamarnya. Tak lama wanita itu kembali lagi
sambil menenteng kantong kresek berlogo salah satu swalayan.

"Ini ambil. Sebenarnya ini buat bekal aku dan Mas Amin di pelosok nanti. Tapi gak apa-apa buat kamu
aja dulu. Aku bisa ambil lagi nanti, aku lebihin jadi dua ratus juta...."

"Ooooh dengan senang hati, aku terima ya, permisi."

Aku memotong ucapan Karin, mengambil kantong berisi uang tersebut, aku menghampiri Mas Amin.

"Tak ada sedikitpun niat untuk melaporkan kamu juga Karin, tapi jika suatu saat ketahuan lagi hubungan
kalian, kamu tak perlu repot-repot menyangka kalau itu aku yang melakukannya. Kamu pasti tahu
sendiri cepat atau lambat hal yang kamu takutkan pasti terjadi. Dan saat itu terjadi, aku dan anak-anak
sudah jauh pergi dari hidup kamu. Jangan pernah berharap pintu maaf lagi dari aku juga anak-anak."
Aku berlalu di diiringi tatapan menyebalkan dari dua manusia tak tahu malu itu.

Dasar bodoh, yang di pikirannya cuma nafsu. Yakin banget selamanya akan aman. Karin kamu tunggu aja
gak akan sampe setahun kamu pasti menangis darah.

Dan kamu Mas, pergilah Mas, nikmati harimu bersama Karin di pelosok sana. Tunggu saja
kehancuranmu di depan mata.

Bersambung...

[28/10 14.08] +62 852-0158-7947: Cerbung....

Aku Bukan Wanita Bodoh

Jilid......9

Suasana kantor masih sepi saat aku tiba di lobi. Ku coba menghubungi klien yang katanya ingin bertemu
dan melihat rumah yang akan di belinya.

Semoga rejeki lagi hari ini, doaku.

"Assalamualaikum, pak maaf bapak di mana saya sudah menunggu di lobi."

"Walaikumslaam maaf bu saya sudah di lokasi, pas di depan rumah yang mau saya beli, saya harap bisa
ketemu di sini aja ya bu."
"Baiklah pak, saya segera ke sana."

==========

Lelaki berbadan tegap, mengenakan pakaian dinas khas TNI-AD, sedang berdiri di depan salah satu
rumah yang belum ada penghuninya, sambil mengamati, kelihatannya serius.

Hati-hati aku menghampiri lelaki tersebut. Dari pangkatnya terlihat lelaki itu jauh beberapa tingkat lebih
tinggi dari Mas Amin. Aku sedikit deg-degan, mengingat kasus Mas Amin yang masih hangat-hangatnya.
Jangan sampai orang ini hanya datang untuk menginterogasi.

"Ah kok aku jadi parno gini ya," kataku dalam hati.

Berjalan pelan berharap apa yang ku pikirkan salah, semoga.

"Asalamualaikum Pak,"

"Walaikumsalam,"

Orang itu menoleh dan melemparkan senyum ramah.

"Maaf apa ini Bapak Wahyu?"

"Iya bu,"

Kembali lelaki bernama Wahyu itu tersenyum ramah dan mengulurkan tangan menyalamiku.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling perumahan berharap ada tempat duduk buat aku dan Pak
Wahyu.
"Udah bu tak perlu repot-repot saya gak lama, saya masih banyak urusan, kita selesaikan saja ya."

Sepertinya Pak Wahyu membaca pikiranku.

"Oh silahkan pak, bapak pilih rumah yang mana, mau pembayaran cash atau proses KPR pak?"

Tanyaku sopan.

"Saya bayar cash aja, tapi saya mau yang belum di bangun, saya ingin mendesain sendiri interiornya."

Aku mengangguk tanda paham.

"Baik pak, mau type berapa, di sini tersedia type rumah dari type 40 sampai type 80, "

"Saya mau yang type 80 aja ya bu, saat ini saya kasih tanda jadi dulu 70 persen. Sisanya saya kasih kalau
rumahnya sudah selesai, gimana?"

"Bisa pak, sebentar pak saya bikin kwitansi dulu."

Alhamdulilah dalam hati aku bersyukur. Pembeli tidak neko-neko. Tanpa nawar ini itu langsung deal. Aku
sudah salah menilai tadi, tadinya ku pikir orang intel yang sengaja ingin mencari tahu soal Mas Amin dan
Karin. Bukannya apa-apa, aku sudah malas dan gak mau lagi berhubungan sama dua manusia itu,
kalaupun harus di usut lagi silahkan staf intel bekerja sendiri tanpa melibatkan aku.

Setelah urusan dengan Pak Wahyu selesai aku segera balik ke kantor. Masih ada urusan juga dengan
klien lain. Hari ini tiga unit rumah terjual cash, alhamdulilah.

Dengan kesibukan seperti ini aku bahagia, setidaknya aku bisa melupakan masalah yang membebani
selama ini.

========
Lima bulan berlalu, aku menjalani hari-hari tanpa beban. Belajar melupakan dan mulai menata hati.
Waktuku ku habiskan dengan bekerja dan mengurus kedua buah hati. Saatnya kami bahagia tanpa
kehadiran seorang suami juga ayah.

Bila dulu masih ada ruang yang tersisa di sudut hati ini untuk Mas Amin, tapi saat ini hati ini tertutup
rapat untuknya. Aku tak mau sisa hidupku terbuang sia-sia hanya untuk menangisi seorang suami yang
sudah melupakan istri dan anak-anaknya demi wanita lain.

I love you...please say you love me to..

Nada notifikasi dari gawaiku menandakan ada panggilan masuk. Nomor tak di kenal. Biasanya kalau
nomor baru yang menelpon itu adalah calon pembeli rumah. Segera ku jawab .

"Hallo, Assalamualaikum ."

"Merry ini aku Karin."

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya kesal.

"Iya ada apa."

Jawabku datar.

"Merry aku kan sudah memenuhi permintaan kamu, bisakah kamu memenuhi satu aja permintaanku,"

"Apa."

"Tolong gugat cerai Mas Amin, aku gak kuat hidup tanpa status begini, aku dah bela-belain ikut Mas
Amin ke pelosok tapi di sini aku gak bisa tenang. Kapan saja aku bisa di tanyain soal surat-surat sebagai
istri seorang anggota, aku tak punya, tolong deh Mer kamu ngajuin gugatan cerai, aku juga ingin menjadi
istri sah."
Aku menutup mulut menahan tawa. Andai saja aku di rumah dan bukan di kantor, tawaku pasti sudah
meledak. Benar-benar wanita di seberang telepon itu sudah tak punya urat malu.

"Eh Karin, harusnya kamu itu pelajari dulu resiko bila selingkuh dengan tentara ataupun polisi.
Selamanya kamu yang rugi karena gak akan dapat apa-apa."

"Aku kan cuma minta kamu gugat cerai Mas Amin, kamu bertahan juga buat apa toh dia gak cinta lagi
sama kamu"

Ucapnya lagi tanpa beban.

"Karin, kamu pikir aku bodoh ya, aku gugat cerai dan setelah itu kalian bisa menikah gitu? Kalau aku
gugat cerai sekarang enak di kalian dong ya, gak segampang itu Karin. Aku gak sebodoh itu. Aku pasti
gugat cerai Mas Amin tapi nanti, setelah lelaki yang kau rebut dari istri dan anak-anaknya itu di copot
seragam dinasnya. Tenang aja Karin kamu pasti jadi istri sahnya Mas Amin nanti setelah kalian sama-
sama jadi blangsak."

Aku tak tahu ucapanku barusan adalah doa atau kutukan. Yang jelas Karin kembali mengorek Luka yang
sudah lama tertutup. Ada debar aneh saat ucapanku barusan di akhiri dengan iringan petir yang
menggelegar.

=========

Hari libur selalu ku manfaatkan dengan menghabiskan waktu bersama anak-anak. Hari ini si bungsu
Radit meminta berenang ke sangkan park. Jaraknya cukup jauh dari rumah, tapi aku tak bisa menolak.
Ini saatnya memanjakan anak.

Semua perlengkapan dan bekal sudah masuk mobil. Aku mengajak bibik ikut serta. Mobil segera ku
nyalakan. Aku akan segera keluar pagar ketika terdengar suara gaduh dari jalan raya. Tak urung
membuatku penasaran juga. Aku meminta Aliya mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Belum
sempat Aliya turun suara riuh terdengar dari depan rumah Karin di sertai teriakan warga.

"Kebakaran...kebakaran..." Di susul suara berdentum keras seperti benda berat yang jatuh.
Aku langsung turun dari mobil. Setengah berlari aku menuju jalan raya. Kobaran api di depan rumahku,
rumah megah itu rumah Karin.

Rumah megah dan mewah berlantai tiga itu runtuh menyisakan puing-puing yang berserakan. Dua buah
mobil mewah yang tadinya terparkir di garasi tinggal kerangka.

Aku terpana dengan pemandangan di depanku, seakan terhipnotis aku tak tahu apa yang harus
kulakukan.

Bunyi sirene menyadarkan aku.

" Astagfirullah.. Astagfirullah..Astagfirullah.."

Aku hanya mampu beristigfar melihat kobaran api yang merembet ke bangunan di sebelah rumah Karin,
toko bangunan dan toko meubel milik Karin.

Bersambung...

[28/10 19.17] +62 852-0158-7947: Cerbung....

Aku Bukan Wanita Bodoh

Jilid......10

Warga berbondong-bondong mendatangi lokasi kebakaran, niat ingin membantu tapi tak ada yang bisa
menerobos pintu pagar yang tinggi dan digembok. Mobil pemadam kebakaranpun tak banyak
membantu. Halaman yang luas dengan posisi rumah yang jauh dari jalan raya menyulitkan proses
pemadaman. Alhasil kebakaran di rumah Karin hanya jadi tontonan gratis buat warga. Hingga tanpa
disadari api sudah merembet ke bangunan di sebelahnya.

Posisi rumah Karin yang bersisian dengan kedua tokonya memudahkan api menjalar dengan cepat. Api
mampu dipadamkan, tapi tak ada satu pun barang yang bisa di selamatkan. Kalaupun ada yang masih
utuh itu pun sudah berubah warna dan lebih pantas menjadi barang rongsokan.

Pintu pagar rumah Karin baru bisa di buka setelah di bongkar paksa. Petugas pemadam kebakaran
langsung masuk menyerbu ke dalam, berharap masih ada yang bisa di selamatkan. Tapi sepertinya
percuma. Dari luar pun sudah terlihat rumah megah itu tinggal jadi reruntuhan. Kalaupun ada yang
masih berdiri tegak, itu hanya pilar-pilar rumah yang sudah berubah warna karena gosong.

"Itu karma buat Tante Karin ya Bun?"

Celoteh Aliya tiba-tiba.

"Hush, gak boleh ngomong gitu Kak, itu namanya musibah."

Aliya diam dan hanya memandang ke depan puing-puing tembok itu, entah apa yang di pikirkan putri
sulungku itu.

"Tapi aneh ya Bun, rumah itu kan kosong kok bisa kebakaran."

Kembali Aliya bersuara.

"Udah biarin nanti juga di cari tau penyebabnya sama yang berwajib."

"Bunda gak berniat menelpon ayah?"

"Buat apa Kak?"


Aku mengernyitkan dahi, aneh dengan pertanyaan Aliya.

"Buat menceritakan keruntuhan rumah wanita pujaan Ayah."

"Aliyaaa...."

Aku terkejut mendengar Aliya bisa bicara seperti itu. Sepertinya dalam diamnya anakku menyimpan
kemarahan untuk ayahnya.

"Jangan bilang Bunda kasihan sama Tante itu."

Aliya cemberut. Belum sempat aku menjawab anak itu sudah masuk ke dalam rumah. Aku menyusulnya
di iringi rengekan Radit karena acara renangnya batal.

Aku mencoba bicara dengan Aliya. Bagaimanapun aku tak mau anakku membenci ayahnya. Hati-hati aku
masuk ke kamar Aliya yang pintunya masih terbuka.

"Kak, boleh Bunda ngomong sebentar aja."

Aliya menatapku sekilas, kemudian mengangguk. Aku tersenyum duduk di sampingnya. Kubelai lembut
kepala anak gadisku yang mulai beranjak remaja. Di usia belia gadisku sudah kehilangan kasih sayang
seorang ayah.

"Kak, apa selama ini Kakak membenci Ayah? "Tanyaku hati-hati.

Aliya menggeleng pelan.

Aku mengenggam tangannya. Menatapnya penuh kasih..

"Kak, jangan kotori hati kita dengan kebencian pada orang lain apalagi itu ayah, tak terkecuali Tante
Karin. Sekalipun orang itu sudah berbuat jahat dan menyakiti hati kita. Serahkan semua sama Allah.
Semua yang sudah terjadi sama kita itu sudah kehendak Allah. Kita ikhlasin aja, nanti juga ada balasnya.
Apa yang kita tabur itu yang kita tuai. Ayah mungkin lebih bahagia dengan pilihannya, jangan kita paksa
untuk pulang ke rumah ini. Buat apa ayah di sini sama kita, kita hanya memiliki raganya, tapi hatinya di
luar sana."

Aliya menangis.

"Kakak kasihan sama Bunda...Huhuhu.." Tangis Aliya makin menjadi.

Kupeluk anakku. Ku cium pipinya berkali-kali.

"Jangan khwatirkan Bunda. Yang penting kalian sama Bunda itu yang selalu jadi semangat buat Bunda.
Kakak belajar yang rajin dan jadi anak yang nurut sama Bunda. Buktikan sama Ayah, tanpa dia juga
kalian bisa jadi anak yang sukses."

Aliya menatapku tersenyum.

"Kakak gak akan pernah ngecewain Bunda."

Aku balas tersenyum. Kami tertawa bersama.

========

Acara liburan yang tertunda kami isi dengan membuat kue, mencoba resep baru. Aliya begitu antusias
setiap kali aku ajak masak-masak di dapur. Hari ini kami mencoba resep puding biskuit.

Sebenarnya resep ini sudah lama di kasih sama teman waktu masih bertugas di Maluku Utara. Rasanya
sangat lezat. Perpaduan rasa cokelat, manis, dan gurih.

Aku memasak agar-agar yang sudah di campur dengan gula dan cokelat bubuk. Sambil mengaduk
rebusan agar-agar sesekali bercanda dengan Aliya yang lagi asyik mencampur telor dan mentega.
Bahagia rasanya bisa menghabiskan waktu bersama anak.
Candaan kami terhenti oleh bunyi gawai milik Aliya. Sambil menjawab panggilan Aliya berjalan menjauh
dan memberi kode agar aku meneruskan pekerjaannya. Aku mengiyakan. Selang beberapa menit Aliya
kembali.

"Bun, teman sekolah Kakak mau nginap di sini, boleh gak?"

"Teman yang mana Kak?" Tanyaku tanpa menoleh.

"Teman baru Bun, namanya Tania. Dia baru pindah ke sekolah Kakak tiga bulan yang lalu."

Jelas Aliya lagi.

"Lho emang orangtuanya ke mana?"

"Ibunya meninggal saat melahirkan Tania. Sejak itu bapaknya gak pernah menikah lagi. Dulu Tania
tinggal sama neneknya. Tapi sekarang sudah tinggal bersama bapaknya di sini."

Aliya menjelaskan panjang lebar soal teman barunya itu.

Aku tak menjawab meski dalam hati tergugah dengan cerita Aliya.

Agar-agar sudah matang. Aku mulai mengambil biskut satu persatu dan menyusunnya satu persatu ke
loyang bersama adonan agar-agar.

"Gimana Bun?"

Aku menoleh. Kulihat Aliya menunggu jawaban dengan mimik serius.

"Bapaknya Tania ke mana gitu?"


"Dinas keluar kota. Katanya dua hari, perginya mendadak ada urusan penting jadi Tania tak sempat di
titipkan di rumah neneknya. Please Bun, kasihan Tania."

Aliya memohon sambil menangkupkan tangannya di depanku.

Aku tersenyum melihat tingkah putriku.

"Baiklah, boleh."

"Makasih Bun"

Aliya mencium pipiku lalu berlari menuju kamarnya berniat memberitahu Tania kalau dia di izinkan
menginap di rumah kami. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya.

===========

Pagi sedikit mendung saat aku memulai aktivitas. Setelah sarapan seperti biasa aku mengantar Aliya
dulu ke sekolah. Kali ini Aliya tak sendiri. Ada Tania yang bersamanya. Gadis manis Berkulit kuning
langsat dengan lesung pipi, berhidung mancung dengan alis tebal. Sikapnya sangat santun. Baru dua
malam Tania menginap di rumah kami tapi aku sudah menyukainya. pribadinya yang supel dan periang
membuat kami cepat dekat.

Hari ini Tania terakhir menginap di rumah kami. Katanya hari ini ayahnya akan menjemputnya.

Melewati rumah Karin aku sempatkan menengok rumah dan tokonya lewat jendela mobil. Masih sepi,
hanya terlihat puing-puing bangunan berserakan. Aku heran rumah dan tokonya sudah ludes terbakar
tapi kenapa Karin belum menampakan batang hidungnya. Apa dia tak di beritahu, atau jangan-jangan
tak ada jangkauan signal komunikasi sama sekali. Entahlah.

====
Suasana sekolah Aliya dan Tania masih sepi saat kami tiba di depan gedung itu. Aliya dan Tania
berpamitan dan turun dari mobil.

"Tante, makasih ya, selama Tania di rumah tante, tante sudah baik sekali sama Tania."

Gadis manis itu memelukku sebelum meninggalkan aku yang lagi berdiri di depan pintu mobil.

Aku hanya tersenyum dan balas memeluknya.

"Tania...."

Terdengar suara seseorang

memanggil. Aku dan Tania sama-sama menoleh, mencari arah suara.

"Ayaaah..."

Tania melepaskan pelukanku dan berlari menuju orang yang di panggilnya ayah.

Aku terkejut, di depanku lelaki yang berpelukan dengan putrinya itu tak lain adalah orang yang sudah ku
kenal, Pak Wahyu.

Bersambung...

[28/10 19.17] +62 852-0158-7947: Cerbung...

Aku Bukan Wanita Bodoh

Jilid.....11
Pak Wahyu tersenyum ramah ke arahku. Aku balas tersenyum.

Setelah Aliya dan Tania masuk ke halaman sekolah Pak Wahyu menghampiriku.

"Apa kabar Bu Merry."

Ucapnya basa basi.

"Allhamdulilah baik Pak." Jawabku santun.

"Saya sangat berterimakasih Ibu sudah menjaga Tania. Maaf ya Bu kalau merepotkan. Saya harus buru-
buru sampai gak sempat menitipkan Tania ke neneknya. Hari itu saya meninggalkan rumah malah tanpa
pamit sama Tania,untung ada Ibu Dan Aliya. Maaf ya Bu."

Panjang lebar Pak Wahyu menjelaskan seakan tak enak hati.

Aku tertawa lepas, berusaha mencairkan suasana.

"Gak perlu sungkan gitu Pak, saya malah senang ada Tania, gak merepotkan sama sekali."

"Alhamdulilah kalau begitu Bu, saya gak enak aja."

"Santai aja Pak, kapan aja Tania mau menginap di rumah silahkan aja. Apalagi kalau nanti Bapak dinas
keluar kota, kan kasihan kalau Tania sendiri di rumah."

Pak Wahyu mengangguk. Wajahnya yang tadi tegang jadi sumringah.

"Maaf Pak saya harus pamit mau meneruskan perjalanan ke kantor."


Aku pamit ke Pak Wahyu dan melemparkan senyum untuk beberapa anggota prajurit yang berdiri
menunggu Pak Wahyu di samping mobil dinas.

"Silahkan Bu, saya juga sama anak buah saya mau ke daerah bojong, di jalan Meranti"

Aku mengernyitkan dahi saat mendengar nama daerah tempat tinggal aku di sebut. Apalagi menyebut
nama jalan Meranti, itu persis lokasi rumahku. Tak urung menimbulkan rasa penasaran juga dalam hati.

"Mau ke siapa Pak? Itu daerah rumah saya."

Tanyaku langsung.

"Oh ya? kebetulan sekali ya Bu. Saya mau mencari istri salah satu anggota TNI yang tinggal di situ.
Mungkin ibu kenal."

"Siapa nama anggota itu pak."

Tanyaku datar. Dalam hati aku berdebar. Di daerah tempat tinggal aku cuma Mas Amin yang berprofesi
Tentara. Tapi semoga dugaanku salah.

"Amin Pratama."

Deg!

"Ada masalah yang harus segera di selesaikan. Makanya saya harus menemui istrinya. Istrinya harus
segera menghadap ke Kodam.

Glek. Aku menelan saliva. Pasti Mas Amin sudah melakukan hal yang memalukan.

"Saya tak mau lagi berurusan dengan suami saya. Apapun keputusannya saya terima Pak, saya sudah
ikhlas."
Suaraku bergetar. Bagaimanapun aku malu dengan kelakuan Mas Amin. Aku diam karena aku menjaga
nama baiknya. Tapi dia sendiri tak bisa menjaga nama baiknya.

"Maksud ibu?"

Aku menoleh, mendengar pertanyaan Pak Wahyu. Wajahnya penuh tanda tanya.

"Saya orang yang bapak cari."

Pak Wahyu menatapku tajam, kemudian menarik nafas panjang. Tangannya melambai ke arah anggota
prajurit yang sejak tadi menunggunya.

Salah satu anggota prajurit maju dan mengangguk hormat di depannya.

"Petunjuk Dan!"

"Kayanya kita gak perlu ke daerah Bojong. Orang yang kita cari ada di sini. Kabarin ke yang lain. Kita balik
ke kantor."

"Siap Dan!"

Prajurit itu berlalu. Pak Wahyu menatapku lekat.

"Kapan ibu ada waktu. Kita harus ikut prosedur. Ibu harus ikut saya ke Kodam."

Aku berpikir sebentar. Sejujurnya hatiku berat berurusan dengan Mas Amin dan Karin. Tapi peraturan
dan prosedur harus di ikuti.

"Saya ijin atasan saya dulu."


Pak Wahyu mengangguk sambil tersenyum.

"Suami ibu dan wanita itu sudah di amankan, tapi untuk sementara dua-duanya lagi di rawat di rumah
sakit karena banyak luka. Mereka babak belur di gebukin warga. Telepon genggam keduanya kami sita,
kalau ibu mau bicara sama suami bisa saya hubungkan sekarang."

"Tidak perlu."

Cepat aku menjawab.

"Ya sudah, kabarin kalau ibu sudah siap ke Kodam. Saya permisi ya Bu."

Pak Wahyu dan anak buahnya sudah berlalu, meninggalkan aku yang masih mematung. Pantes saja
sampai detik ini saat rumahnya hancur leburpun Karin tak menampakan batang hidungnya. Ternyata
telepon genggamnya di sita. Dalam hati ada rasa iba untuk wanita itu. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Tapi perbuatan mereka pasti sungguh memalukan sampai bisa di amuk warga seperti itu.

======

Setelah mendapat ijin dari atasan di kantor, aku segera menghubungi Pak Wahyu.

"Asalamualaikum Pak, ijin pak, hari ini saya siap berangkat ke Kodam."

"Walaikumslaam, baik Ibu, Ibu siap-siap aja nanti anggota saya menjemput ibu."

"Terimakasih Pak asalamualaikum."

"Walaikumsalam."
Aku menutup telepon. Segera bergegas menyiapkan beberapa perlengkapan untuk ku bawa.

Aku menghampiri Aliya dan Tania yang lagi belajar. Melihatku datang Tania langsung menyalami dan
mencium kedua pipiku. Kebiasaan anak itu, setiap ketemu aku anak itu sangat manja.

"Aliya dan Tania Bunda tinggal ya, kalau urusannya belum kelar sepertinya Bunda menginap. Kalian gak
apa-apa?"

"Siap bunda."

Aliya dan Tania menjawab kompak dengan gaya ala tentara. Aku tertawa geli melihatnya.

"Tania udah kasih tau ayah belum kalau lagi di sini?"

"Sudah dong Bun, malah ayah yang ngomong mau anterin Bunda Merry ke Kodam."

Aku terkesiap mendengar ucapan Tania barusan. Sejak kapan anak itu menyebut aku dengan sebutan
Bunda bukan tante lagi.

"Bun jagain ayah Tania yaaa..."

Sambung Tania dengan senyum menggoda.

"Emang ayah Tania anak kecil ya jadi harus di jaga"

Aku balas bercanda. Kedua gadis belia itu malah tertawa cekikikan. Dasar anak jaman sekarang.

"Aliya jagain adik kamu ya. Perlu apa-apa ngomong ke Bibik. Daaah Sayang."
Aku mengecup kedua pipi Aliya dan Tania bergantian, kemudian berlalu ke lantai bawah menghampiri
anak buah Pak Wahyu yang sudah menunggu.

Bersambung...

[28/10 19.17] +62 852-0158-7947: Cerbung....

Aku Bukan Wanita Bodoh

Jilid......12

Pagi yang cerah, mengiringi perjalanan kami. Aku duduk di jok belakang seorang diri. Sementara pak
Wahyu duduk di depan, di samping anak buahnya yang mengemudi.

Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Tapi dalam hati beribu pertanyaan muncul.

Apa sebenarnya yang sudah di lakukan Mas Amin dan Karin sampai bisa menimbulkan kemarahan
warga. Meski aku tahu Mas Amin tergila-gila sama Karin, tapi setidaknya dia bisa menjaga nama baiknya
saat di tempat tugas.

Aku seperti tak mengenal Mas Amin lagi. Dulu saat bersamaku Mas Amin lelaki yang santun, selama
bertugas di pelosok Mas Amin sangat dihormati oleh masyarakat. Aku akui pengaruh Karin terhadap
Mas Amin luar biasa.

Seharusnya di usia dan jabatan sekarang Mas Amin lebih bijak, bukan malah sebaliknya.

Tak sengaja aku melirik Pak Wahyu. Sepertinya Pak Wahyu usianya di bawah usia Mas Amin, tapi
pangkatnya lebih tinggi. Jelas saja karena Pak Wahyu jebolan Akademi Militer. Beda dengan Mas Amin
yang lulusan Bintara. Tapi menilik sifatnya Pak Wahyu sangat dewasa, lebih matang dari usianya.
Pembawaanya kalem dan sangat santun.

"Maaf Bu kita istirahat dulu ya kita minum dulu atau makan. Nanti di lanjutkan lagi perjalanannya."

Ups, lamunanku buyar oleh ucapan Pak Wahyu barusan. Mukaku memerah, bukankah tadi aku lagi
menatap ke arah Pak Wahyu walau dari arah belakang.

"Ayo Bu."

Pak Wahyu membukakan pintu mobil. Aku gelagapan. Duh mikir apa aku ini. Rutukku dalam hati.

Pak Wahyu menatapku tersenyum. Sambil mempersilahakn aku menuju ke dalam Rumah Makan. Tak
sadar rupanya aku saat mobil sudah menepi, ampun deh.

Lantunan musik tarling mengiringi makan siang kami. Aku memilih menu ringan, karedok seporsi dan
segelas es jeruk. Pak Wahyu dan rekannya memilih menu yang sama, ayam bakar plus sambal lalap.
Kami makan dengan lahap. Sesekali di selingi guyonan dari Pak Wahyu. Anehnya sejak Pak Wahyu tahu
aku istrinya Mas Amin, tak sedikitpun Pak Wahyu membahas masalah atau kasus Mas Amin. Sepanjang
perjalananpun Pak Wahyu hanya diam tak pernah menyinggung soal Mas Amin dan Karin. Entahlah,
mungkin nanti setelah di buat berita acara di Kodam, aku harus siap menjawab setiap pertanyaan yang
di lontarkan penyidik.

Setelah makan, Pak Wahyu berpamitan ke toilet, di susul rekannya yang baru ku tahu namanya kopral
Dodi.

Aku menyempatkan menelpon anak-anak.

"Hallo asalamualaikum Bunda,"

Belum sempat ku sapa Aliya sudah menjawab duluan.


"Walaikumsalam sayang, lagi apa Kak, udah pada makan belum?"

"Udah dong Bun. Ini Bun Tania mau ngomong."

"Hallo Bundaaa,"

Suara manja khas Tania terdengar di seberang telepon.

"Iya Tania, ada apa,"

"Bun Tania mau ngomong sama Ayah dong."

Aku celingukan mencari Pak Wahyu, tapi batang hidungnya tak kelihatan.

"Ayah Tania tadi ke tolilet. Belum balik lagi. Langsung aja deh Tania telepon ke Ayah ya."

"Udah Bun tapi ayah gak angkat. Tolong deh Bun cari Ayah."

Aku menarik napas panjang. Dengan terpaksa aku harus ke toilet.

Belum sampai ke toilet ku lihat Pak Wahyu lagi duduk di pinggir kolam sambil memainkan ponsel.
Sepertinya aku di kerjain Tania, katanya tak bisa menelpon ayahnya, buktinya itu Pak Wahyu lagi
memegang telepon genggamnya. Aku berniat pergi dari situ sebelum ketahuan Pak Wahyu. Cepat aku
berbalik.

"Bu Merry"

Duh ketahuan deh. Ini gara-gara Tania, omelku dalam hati.

"Tante, udah ketemu ayah belum?"


Suara gadis jail itu terdengar lagi di seberang.

"Tania, itu Ayah kamu kan lagi megang handphone masa susah di hubungi?"

"Nanggung Tante..,"

"Bu Merry, ada apa?

Pak Wahyu sudah berdiri di belakang punggung. Secepatnya aku memberikan gawaiku ke Pak Wahyu.

"Maaf Pak ini Tania."

Dengan wajah penuh tanda tanya Pak Wahyu menerima gawai yang kusodorkan padanya.

Aku berlalu dari hadapan Pak Wahyu dan kembali ke meja. Belum nyampe lima menit di susul Pak
Wahyu.

"Ini Bu, makasih ya. Saya heran kenapa Tania gak langsung menelpon saya malah ke Bu Merry."

"Iya Pak, mungkin tadi kebetulan saya nelpon Aliya."

Pak Wahyu mengangguk. Aku merasa aneh dengan suasana yang tiba-tiba menjadi kaku. Di kantor aku
terbiasa menghadapi klien dengan berbagai latar belakang, tapi aku tak pernah canggung. Apa karena
saat ini berhadapan dengan atasan suami, entahlah.

"Bu kita lanjut lagi ya"

"Siap Pak."
Kami beriringan menuju parkiran. Sebentar lagi sampai. Pikiranku berkecamuk. Memikirkan apa yang
terjadi nanti setelah bertemu Mas Amin dan Karin. Tak pernah terbayang sebelumnya kalau lelaki yang
berhasil meluluhkan hatiku dengan lantunan ayat suci itu, sekarang mengalami nasib tragis hanya
karena nafsu yang tak terbendung.

==========

Mobil memasuki pelataran parkir. Aku segera turun meski tak urung hati ikut berdebar.

Pak Wahyu menatapku lama sebelum kaki kami melangkah ke dalam Rumah Sakit. Jelas saja aku jadi
salah tingkah. Tatapan mata itu begitu teduh, seakan ikut merasakan suasana hatiku yang galau.

"Bu Merry yang kuat ya, sabar."

Tangan Pak Wahyu tanpa di sadari mengelus lembut pucuk kepalaku yang tertutup kerudung.

Aku tersentak, dan refleks menarik kepalaku menjauhi jangkauan Pak Wahyu. Pak Wahyu juga seperti
baru sadar. Buru-buru minta maaf.

"Maaf Bu, sy reflek tadi, ga di sengaja, sekali lagi maafkan saya ya Bu kalau saya dianggap kurang sopan."

Pak Wahyu menangkupkan kedua tangannya, aku jadi serba salah.

"Ya sudah Pak kita masuk sekarang ya."

Pak Wahyu mengangguk canggung.

====

Kami di sambut salah satu prajurit yang bertugas menjaga Mas Amin di ruangan tempat Mas Amin di
rawat. Tanpa banyak basa basi aku dan Pak Wahyu segera masuk ke dalam ruangan.
Terlihat Mas Amin masih terbaring lemah. Wajahnya terlihat membengkak tak berbentuk dengan luka di
kedua pipi. Kepalanya di balut perban. Aku berulangkali mengucapkan istighfar. Melihat kondisi Mas
Amin tak pelak membuat linu. Tepatnya linu di sudut hati. Bayangan kejadian sebelum di sergap warga
seolah menari-nari di pelupuk mata.

Menahan gemuruh di dada aku menghampiri ranjang tempat Mas Amin berbaring. Aku mencoba
menyentuh lengannya.

"Mas." Panggilku lirih.

Mas Amin menoleh. Sedikit terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya.

"Bun...."

Lirih suara Mas Amin.

Aku duduk di sisinya, menatapnya dalam-dalam.

"Kenapa harus seperti ini Mas, kenapa kamu mempermalukan harga diri kamu demi perempuan itu?"

Aku tak dapat menahan emosiku. Suaraku bergetar.

"Aku mencintainya."

Jawab Mas Amin singkat sambil memalingkan wajahnya.

"Cintamu padanya sampe kamu rela semua yang kita perjuangkan hancur Mas. Berapa kali aku bilang,
kamu boleh lupain aku dan anak-anak tapi ingat ibumu. Saat kamu melakukan sesuatu jangan ingat kami
tapi ingat ibu. Apa yang terjadi sama kamu ini bukan hanya mempermalukan kami tapi juga keluarga
besar kamu."

"Peduli apa aku sama keluargaku. Toh mereka juga kalau sudah merasakan uang Karin pasti luluh."
Aku terkejut mendengar ucapan Mas Amin. Begitu rendahnya pikiran lelaki yang masih bergelar suamiku
ini.

"Segitu rendahkah keluarga besar kamu di matamu Mas, semua kamu nilai dengan uang. Kamu pikir
perasaan keluarga terutama Ibu bisa di beli?"

"Iya!"

Jawaban dari arah pintu membuatku menoleh, Karin.

Dengan menggunakan kursi roda yang di dorong oleh seorang perawat, perempuan itu mendekati Mas
Amin dan aku yang lagi duduk di tepi ranjang.

"Kenapa sih kamu tak bisa melepaskan Mas Amin untukku Merry. Apa yang kamu harapkan lagi dari dia,
tak ada cinta lagi untukmu Merry. Berapa yang harus saya bayar biar saat ini juga kamu melepaskan Mas
Amin."

Andai saja wajah Karin tak babak belur seperti itu sepertinya tangan ini sudah menapak sempurna di
pipinya. Tak habis pikir aku sama dua manusia ini, entah terbuat dari apa hatinya, hingga sudah babak
belur seperti ini saja masih keras kepala dan angkuh. Wanita itu begitu membanggakan hartanya yang
tanpa sepengetahuannya sudah ludes di lalap api.

Pak Wahyu terlihat menahan amarah. Menatap tajam ke arah Mas Amin, sepertinya ingin mengutarakan
sesuatu tapi masih menunggu reaksiku.

"Jawab Merry, berapa yang kamu minta biar aku bisa sah menjadi istri Mas Amin."

Karin mengulang pertanyaan yang sama. Dengan muka bonyokpun perempuan itu tetap angkuh.

"Mas kamu bisa di beli berapa?"

Aku balik bertanya ke Mas Amin.


"Jangan menghina, aku mencintainya tulus."

Ketus suara Mas Amin.

Aku meraih tas yang tadi sempat ku letakkan di ujung ranjang. Segera berlalu dari ruangan itu tapi
sebelumnya aku menghampiri Karin di kursi roda.

"Gratis, ambillah lelaki itu untukmu."

Aku berlalu.

Bersambung...

[29/10 07.20] +62 852-0158-7947: Cerbung....

Aku Bukan Wanita Bodoh

Jilid......13

"Antar wanita ini ke ruangannya, atas ijin siapa dia bisa keluyuran ke sini. Mba tolong jaga sikap ya.
Jangan seenak dengkul di sini!"

Terdengar suara kemarahan dari ruangan yang baru ku tinggalkan tadi. Suara Pak Wahyu. Rupanya
wanita yang di maksud Pak Wahyu adalah Karin.

"Bu Merry, tunggu."


Suara Pak Wahyu menyusulku.

"Sekarang kita ke Kodam ya Bu."

Aku mengangguk. Bertiga dengan Pak Wahyu dan Kopral Dodi kami menuju Kodam.

========

Rasanya nyesak setelah mendengar penjelasan dari Kasi Intel. Mas Amin dan Karin di gerebek warga di
rumah kontrakan Karin. Mereka berdua tertangkap basah tanpa menggunakan sehelai benang pun.

Berawal dari kecurigaan warga. Karin yang awalnya mengontrak sebuah rumah di dekat rumah dinas
Mas Amin, setiap hari terlihat mendatangi rumah Mas Amin dan pulang pagi hari ke kontrakannya.
Sebaliknya Mas Amin juga sering ke rumah Karin dan menginap sampai pagi hari baru kembali ke rumah
dinas. Warga curiga, jika Karin adalah istri sah harusnya mereka tinggal serumah. Kehidupan di kampung
yang sempit menjadikan mereka bahan gunjingan. Warga sudah jengah dengan kelakuan mereka. Saat
di minta surat nikah dan kartu keluarga oleh pengurus RT mereka tak punya.

Malam itu ketua RT dan beberapa pengurus desa berencana membicarakan hubungan antara Karin dan
Mas Amin secara baik-baik. Tadinya tak ada penggerebekan, semuanya ingin di bicarakan baik-baik.
Ketua RT dan pengurusnya serta beberapa warga berencana mengunjungi Karin dulu, setelah itu baru
menemui Mas Amin. Tapi tak di sangka saat sampai di rumah Karin, pemandangan tak senonoh
terpampang di depan mata. Pintu yang tak di kunci memudahkan Ketua RT dan pengurus beserta warga
masuk. Tentu saja mereka berang melihat kelakuan Mas Amin dan Karin yang tanpa sehelai benangpun.
Tanpa sempat di cegah oleh Pak RT pukulan dan tendangan membabi buta sudah melayang ke arah Mas
Amin dan Karin. Pak RT yang tak kuasa mencegah hanya bisa berteriak menyuruh berhenti, tapi justru
teriakan Pak RT mengundang warga yang lain untuk datang. Bukannya melerai, kemarahan yang sudah
terpendam berbulan-bulan membuat mereka sumringah, pikir mereka saat itu adalah kesempatan
terbaik buat meluapkan emosi.

Aku menghela napas panjang. Miris memang, jabatan dan pangkat Mas Amin tak di pandang. Warga
juga tak bisa di salahkan. Salahnya Mas Amin sendiri yang tak bisa menjaga kehormatan diri dan
almamaternya.

"Gimana Bu, kasusnya mau sampai di sini atau lanjut, semua tergantung Ibu. Kalau ibu gak mau lanjut,
kasus ini kita tutup sampai di sini. Pak Amin pasti di tindak, tetap di penjara dan pangkatnya di tahan
untuk beberapa periode, tentu dengan konsekwensi hubungan Pak Amin dan wanita itu harus berakhir
dengan surat pernyataan tentunya yang di buat Pak Amin. Kalau Ibu mau lanjut berarti kasus ini akan
terus di lanjutkan sampai ke Polisi Militer."

Aku tersenyum kecut mendengar penjelasan Kasi Intel. Pak Wahyu juga hanya diam mendengarkan dan
terus menatapku seolah meminta jawaban.

"Ijin Pak, kalau boleh Bapak tanya sendiri ke suami saya maunya seperti apa. Keputusanku tak ada
artinya buat dia. Yang terpenting buat dia hanya hidup bersama wanita itu."

Kasi Intel menarik napas panjang, seolah ini masalah yang rumit. Pak Wahyu justru menatapku dengan
pandangan penuh rasa kasihan. Aku jengah dengan tatapan itu.

"Ya sudah bawa kedua orang itu ke sini, kita tanya langsung biar gak berbelit-belit."

Perintah Kasie Intel kepada salah satu anggota yang ada di ruangan itu.

"Silahkan Bu Amin mungkin mau istirahat dulu. Sambil menunggu kedatangan suami ibu dan wanita itu."

Lanjutnya lagi. Aku mengangguk dan berpamitan dari ruangan itu.

Ya Allah kuatkan aku. Bagaimanapun lelaki itu dulu pernah jadi teman hidup, jatuh bangun berjuang
waktu masih di pelosok Maluku Utara. Kadang aku hanya makan singkong rebus dan pisang, tapi aku
selalu berusaha menyuguhkan nasi buat Mas Amin. Aku tak mau dia lemas saat bertugas. Meski hidup
serba kekurangan tapi aku berusaha menyuguhkan makanan bergizi untuknya. Dulu aku begitu
memujanya, mencintainya sepenuh hati, kasih sayang Mas Amin juga begitu dalam ku rasa. Hidup serba
susah tapi hati bahagia.

Berbeda dengan saat ini. Di saat semua sudah di raih, pada akhirnya harus hancur berkeping-keping
tanpa sisa. Di lubuk hati yang paling dalam aku masih berharap cinta itu. Seandainya Mas Amin mau
menundukkan egonya, meminta sepatah kata maaf dariku, mungkin aku masih mau menerimanya walau
hati teriris. Tapi apa, dalam keadaan babak belur pun tanpa ada rasa malu Mas Amin mengakui cintanya
untuk wanita itu.
Begitu tak berharganya diri ini untuk Mas Amin.

Aku tergugu. Ku tutup wajahku dengan kedua tangan, berusaha menahan isak.

"Pakai ini,"

Pak Wahyu sudah duduk di sampingku seraya.menyodorkan sapu tangan tanpa menatapku. Tatapannya
lurus ke depan.

Aku menerima sapu tangannya dengan ragu.

"Menangislah, kadang air mata di butuhkan untuk mengurangi kesedihan. Setegar apapun kamu, kamu
hanyalah seorang wanita."

Lembut terasa ucapan Pak Wahyu. Suaranya tegas, tapi penuh kharisma. Andai lelaki di depanku ini
adalah suamiku, sudah ku rebahkan tubuh ini ke dada bidangnya.

Ya Allah mikir apa aku ini. Ku pejamkan mata ini rapat2, aku menarik nafas panjang. Harus kuat, masa
depan aku dan anak-anakku masih panjang.

"Makasih ya Pak."

Hanya itu yang tercetus dari bibirku setelah mendengar ucapan Pak Wahyu.

Pak Wahyu tersenyum, kali ini mata itu menatapku, teduh. Sejuknya tatapan itu. Andai itu tatapan Mas
Amin. Segera ku palingkan wajah menatap sekelompok bougenvil di depan sana, tanaman itu bergoyang
seakan meledekku.

Pak Wahyu rasanya masih lekat menatapku, terbukti saat tatapan kami bertubrukan. Sama-sama jadi
salah tingkah.

"Ijin Dan di panggil Kasi Intel."


Beruntung Kopral Dodi datang, suasana jadi mencair.

"Baik. Saya segera ke sana"

Pak Wahyu menatapku lagi.

"Masih mau di sini?"

Aku mengangguk, mengiyakan.

Pak Wahyu dan Kopral Dodi berlalu. Aku menyempatkan diri untuk menelpon Aliya. Terdengar nada
sambung dari seberang.

"Assalamualaikum Kak."

"Walaikumsalam Bun, kapan pulang Bunda."

"Bentar lagi ya, kalian baik-baik aja kan? Dedek gimana? Rewel gak?"

"Alhamdulilah Bun kami baik-baik aja. Dedek pintar Bun gak rewel."

"Syukur deh,"

"Oh ya Bun tadi ada yang ke sini nyari Tante Karin."

"Hah?" Aku terkejut

"Buat apa mereka nyari Tante Karin ke rumah kita?"


"Itu lho Bun Koh Siong. Katanya dia juga kenal Bunda. Biasanya perusahaan tempat Bunda kerja suka
beli bahan bangunan dari tokonya."

Aku berpikir sejenak. Baru ingat kalau Koh Siong adalah suplayer bahan material untuk perusahaan Rani,
tempatku bekerja.

"Terus apa hubungannya dengan Tante Karin?"

"Katanya tokonya Tante Karin belum membayar material yang di ambil. Sementara Tante Karin susah di
hubungi. Tadinya Koh Siong mau langsung ke toko Tante Karin, tapi urung karena melihat tokonya juga
sudah terbakar. Jadinya ke rumah kita deh, dikiranya Bunda ada, mau titipin pesan buat Tante Karin."

Jelas Aliya panjang lebar.

"Kakak bilang gak Tante Karin di mana."

"Ya gak lah Bun, males nanti di tanya macam-macem."

Dalam hati aku setuju dengan ucapan Aliya. Beruntung anakku bisa berpikir sejauh itu.

"Bun, ini ada nota dari Koh Siong buat Tante Karin. Di simpan apa di buang aja ya Bun?"

"Eh jangan, sini fotoin aja jangan di buang."

Cegahku buru buru.

"Baik Bun nanti Kakak kirim."

Aku menutup telepon. Tak sabar menunggu kiriman foto dari Aliya.
Tinggg....notifikasi WA berbunyi. Segera ku buka. Aku tersentak. Jumlah tagihan dari suplayer untuk toko
bangunan milik Karin sejumlah delapan ratus juta. Melihat tanggal yang tertera, transaksi itu terjadi dua
minggu sebelum kebakaran. Entah Karin yang menunda pembayaran atau pegawai tokonya yang belum
bayar. Dalam hati aku bertanya-tanya. Bukan type Karin menunggak pembayaran. Itu aku tahu saat dulu
masih dekat dengannya. Karena toko meubelnya adalah langgananku juga. Sebagian perabotan di
rumah kami berasal dari toko meubel milik Karin.

"Bu, ayo masuk lagi ke ruangan Kasi. Pak Amin dan wanita itu sudah datang."

Ajak Pak Wahyu yang tiba-tiba sudah berdiri di depanku. Aku mengiyakan dan langsung berjalan
beriringan masuk ke dalam ruangan Kasi Intel.

Di dalam ruangan sudah menunggu Kasi Intel dan beberapa perwira lainnya. Tak terkecuali Mas Amin
dan Karin, duduk tegak di kursi roda. Tak terlihat rasa sesal sedikitpun di wajah keduanya.

Aku di dipersilahkan duduk tepat di samping Pak Wahyu. Suasana hening dan kaku. Mas Amin wajahnya
terlihat datar tanpa ekspresi, sementara Karin meski tetap menunjukan keangkuhannya tetap saja
tersirat gelisah di wajahnya. Mungkin malu atau canggung berhadapan dengan petinggi TNI di Kodam.

Kasi Intel menatap.tajam dua orang di depannya.

"Setelah di selidiki, ternyata kasus ini bukanlah baru."

Kasi Intel memulai percakapan.

"Kamu sudah di kasih kesempatan kemarin tapi bukannya berubah malah semakin menjadi."

Kembali Kasi Intel bersuara dan menatap tajam ke arah Mas Amin. Kemudian berganti menatap Karin.
Karin menunduk. Punya malu juga dia ternyata.

"Sudah bertahun-tahun kamu menjadi seorang anggota TNI berarti kamu tahu hukuman dari setiap
pelanggaran.."
"Siap!"

"Kamu mau kembali sama istri kamu yang sah atau tetap dengan wanita ini?"

Suara Kasi Intel meninggi. Mas Amin hanya terdiam. Kali ini kepalanya menunduk.

"Jawab saya, kamu pilih siapa, istri kamu atau wanita ini!"

Suara Kasi Intel menggelegar di ruangan ber AC itu.

"Siap, saya pilih wanita ini, Karin."

Suara lelaki itu terbata-bata, tapi rasanya sakit menusuk sampai ke ulu hati. Kalau sebelumnya aku
masih mempunyai secuil harapan untuk bersatu lagi, demi anak-anak, dan yang terutama demi menjaga
hati Ibu mertua. Aku tahu gimana hancurnya Ibu jika melihat putra kesayangannya harus melepaskan
seragam dinasnya demi wanita seperti Karin. Tapi ucapan Mas Amin barusan bagiku adalah sembilu
yang kembali mengorek luka yang masih menganga, semakin dalam dan takkan pernah berujung.

Tak terasa air.mataku kembali menetes, mengalir di kedua pipi, meski tanpa tangis.

Bersambung...

Aku Bukan Wanita Bodoh

Jilid 7

"Bunda maafin ayah"


Kalimat itu begitu sendu keluar dari mulut Mas Amin. Andai kalimat itu di ucapkan sepuluh bulan yang
lalu mungkin terdengar indah dan menggugah hati ini. Tapi saat ini, saat hati ini di biarkan membeku,
saat netra ini terbiasa menyaksikan kemesraan belahan jiwa di depan mata, saat raga ini sudah terbiasa
menahan dinginnya malam tanpa dekapan, saat air mata tak lagi menetes, permohonan maaf itu baru
terucap dari bibir lelaki bergelar suamiku itu.

"Kemana kamu selama ini Mas,"

Desahku.

"Bunda kasih ayah kesempatan buat memperbaiki semuanya."

"Tak ada yang perlu di perbaiki Mas, semuanya baik-baik saja. Saat kamu memilih perempuan itu aku
sudah puas memohon, saat kamu memilih pergi dari rumah aku sudah puas menangis, kamu tinggalkan
aku dan anak-anak dengan luka menganga, tanpa peduli perasaan kami Mas, sekarang air mataku sudah
kering, lukaku sudah terobati, anak-anak sudah terbiasa tanpa kehadiranmu, jangan datang lagi kalau
hanya untuk membuka luka yang sudah tertutup."

Mas Amin menunduk. Untuk pertama kalinya ku lihat lelaki itu menangis. Aku bergeming.

"Sudahlah Mas tak ada yang perlu di sesali. Kamu yang memulai semuanya. Kalau kamu sungguh
mencintai Karin pergilah, urus perceraian kita secepatnya, aku ikhlas. Aku bukan tak mau mengurusnya
tapi saat ini aku tak ada waktu banyak untuk urusan begitu."

Mas Amin memandangiku, seperti menyadari sesuatu. Netranya lekat menyusuri setiap lekuk tubuhku.
Seperti menyelidiki.

"Bunda kerja?" Tanyanya ragu.

Aku mengangguk.

"Di mana Bun, sejak kapan," tanyanya lagi.

"Sejak kamu memilih hidup bersama Karin."


Jawabku datar.

"Bunda .... sangat cantik." Ucapnya lebih seperti berbisik.

Dalam hati aku tergelak. Selama ini suamiku seperti tertutup mata hatinya. Yang cantik depan mata tak
kelihatan malah milih yang di seberang jalan.

"Ah kamu Mas bukannya aku dari dulu juga sudah cantik, hmmm."

"Iya ayah tahu tapi sekarang beda ..."

Ucapannya menggantung.

Tak urung aku jadi menelisik penampilanku hari ini. Setelan jas biru muda dengan blouse putih di padu
celana panjang warna hitam, kerudung polos segi empat warna senada dengan bros kecil menggantung
manis, yah pekerjaanku yang selalu berinteraksi dengan orang lain memaksa aku untuk tampil
sempurna.

Aku tersenyum menangkap binar di mata Mas Amin. Sekian lama menjadi istrinya, aku tahu binar apa
itu. Sejak di tinggal Mas Amin, aku menyibukkan diri dengan pekerjaan, mengurus rumah dan anak-anak,
dan tak lupa memanjakan diriku dengan perawatan tubuh dan senam aerobik. Sepertinya perubahan di
tubuhku ini yang menyebabkan binar itu.

"Sudahlah Mas, kamu bisa nyuruh Karin senam tubuhnya bisa bagus kok, jangan sibuk aja ngurusin
bisnisnya, badannya tuh di rawat biar gak kaya buntelan."

Ujarku seraya tersenyum menggoda. Mas Amin terlihat salah tingkah. Aku tak mau buang waktu,
pekerjaan menumpuk di kantor, aku harus segera balik sekarang. Bergegas aku masuk mobil.
Meninggalkan Mas Amin yang kelihatannya masih terpukau.

"Aku pamit ya Mas, pekerjaanku banyak."


Sambil melempar senyum aku berlalu. Aku tahu masih ada sisa cinta dimatanya walau sedikit. Baguslah
Mas biar kamu tahu gimana rasanya di tinggalkan orang yang masih kamu cintai.

===============

Pukul sepuluh malam aku baru tiba di rumah. Pekerjaanku cukup menyita waktu dan energi. Setelah
memasukan mobil ke garasi aku segera masuk ke dalam rumah, tapi di depan pintu aku tertegun. Ada
dua pasang sandal yang aku tahu bukan milikku apalagi milik anak-anak. Segera aku menuju ruang
tengah untuk menuntaskan rasa ingin tahu.

Mas Amin dan Karin. Dua makhluk itu sudah duduk manis di depan tv. Anak-anak tak terlihat. Hanya
Bibik Minah, asisten rumah tanggaku yang lagi duduk menemani tamu tak di undang itu.

"Ada apa."

Tanyaku langsung dan datar.

"Bunda...."

Mas Amin sepertinya mau mengatakan sesuatu tapi ragu-ragu.

"Jangan pikir aku kalah Merry,"

Tiba-tiba lantang suara Karin, sumpah aku kaget. Ku tatap tajam wajah wanita tak tahu malu itu.

"Kamu pikir selama ini kita perang gitu Karin? Perang memperebutkan apa? Laki laki ini?"

Tanyaku geram sambil menunjuk wajah lelaki di hadapanku.

"Ambil, ambiilll aku sedekahkan untuk kamu, aku tak butuh!"


"Bunda, apa tak ada lagi rasa cinta untuk Ayah Bun, apa Bunda tak berniat mempertahankan ayah?"

"Hah? Kamu pikir kamu itu benda mati apa ya, jadi aku harus berjuang buat mempertahankan kamu.
Kamu punya hati punya otak kamu tahu apa yang harus kamu perjuangkan. Bodoh sekali kamu Mas.
Selama ini aku dan anak-anak di sini kami tak ke mana-mana, kita cuma di batasi jalan raya, tapi tak
sekalipun kamu menengok kami. Harusnya kamu tahu ke mana kamu pulang. Perempuan ini benar
benar sudah membuat mu lupa jalan pulang, katakan gimana caranya aku bisa mempertahankan kamu,
sementara kamu sendiri tak tahu gimana caranya kamu mempertahankan diri kamu. Bertahun-tahun
kamu menjadi anggota TNI, kamu tahu aturan, tapi apa, kamu seolah sengaja membiarkan karir dan
jabatanmu jatuh begitu saja hanya demi perempuan ini. Lalu apa, apa yang kami harapkan lagi dari
kamu. Sekarang aku tanya sama kamu sekali lagi Mas, kamu pilih keluarga kamu apa perempuan ini."

Aku benar-benar emosi, kutatap lekat wajah Mas Amin menunggu jawabannya.

"Ayah.."

"Jangan bilang kamu mau ninggalin aku Mas."

Karin memotong ucapan Mas Amin.

"Bisakah kamu diam sedikit saja Karin, kasih kesempatan suamiku bicara."

Geram melihat tingkah si Karin. Muak sebenarnya. Ingin sekali menendangnya keluar dari rumahku. Tapi
untuk kali ini aku ingin mendengar langsung keputusan Mas Amin.

Tapi dasar Karin wanita tak tahu malu. Seakan tak ingin membiarkan Mas Amin mengeluarkan isi
hatinya. Digenggamnya tangan Mas Amin, wajah memelasnya sungguh memuakkan.

"Tolong nikahi aku lagi Mas. Aku akan mendampingi kamu di pelosok. Aku rela Mas yang penting bisa
hidup sama kamu."
Benar-benar Karin kali ini bikin emosiku sampe ke ubun-ubun. Apa dia lupa, dia yang menyebabkan Mas
Amin di copot dari jabatannya sampai akhirnya di pindahkan ke pelosok. Apalagi melihat Mas Amin yang
bak boneka Karin. Tak ada sedikitpun usahanya untuk mempertahankan rumah kami. Sikapnya yang
lemah dan ketakutan saat melihat Karin marah-marah sungguh membuatku muak.

"Mas kamu pilih siapa? Kalau kamu memilih Karin, silahkan keluar dari rumah ini dan jangan pernah
berfikir tuk kembali.

Mas Amin beranjak dari duduknya di ikutin Karin.

"Maafkan ayah Bun."

Ucapnya sambil melewati aku yang lagi berdiri tanpa memandangnya.

"Itu keputusanmu Mas. Kamu tahu apa akibatnya nanti. Ku harap kamu gak pernah menyesal."

Aku membalas ucapannya tanpa menoleh. Dari tempatku berdiri ku dengar pintu pagar di tutup, tanda
dua tamu tak di undang itu telah pergi dari rumah ini.

Tak terasa air mataku menetes setelah sekian lama kering. Aku tak tahu apa yang ku tangisi, selamanya
ditinggalkan suamiku atau bayangan kejatuhan Mas Amin kelak.

Bersambung ....

Aku Bukan Wanita Bodoh

Jilid 9

Suasana kantor masih sepi saat aku tiba di lobi. Ku coba menghubungi klien yang katanya ingin bertemu
dan melihat rumah yang akan di belinya.
Semoga rejeki lagi hari ini, doaku.

"Assalamualaikum, pak maaf bapak di mana saya sudah menunggu di lobi."

"Walaikumslaam maaf bu saya sudah di lokasi, pas di depan rumah yang mau saya beli, saya harap bisa
ketemu di sini aja ya bu."

"Baiklah pak, saya segera ke sana."

==========

Lelaki berbadan tegap, mengenakan pakaian dinas khas TNI-AD, sedang berdiri di depan salah satu
rumah yang belum ada penghuninya, sambil mengamati, kelihatannya serius.

Hati-hati aku menghampiri lelaki tersebut. Dari pangkatnya terlihat lelaki itu jauh beberapa tingkat lebih
tinggi dari Mas Amin. Aku sedikit deg-degan, mengingat kasus Mas Amin yang masih hangat-hangatnya.
Jangan sampai orang ini hanya datang untuk menginterogasi.

"Ah kok aku jadi parno gini ya," kataku dalam hati.

Berjalan pelan berharap apa yang ku pikirkan salah, semoga.

"Asalamualaikum Pak,"

"Walaikumsalam,"

Orang itu menoleh dan melemparkan senyum ramah.

"Maaf apa ini Bapak Wahyu?"


"Iya bu,"

Kembali lelaki bernama Wahyu itu tersenyum ramah dan mengulurkan tangan menyalamiku.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling perumahan berharap ada tempat duduk buat aku dan Pak
Wahyu.

"Udah bu tak perlu repot-repot saya gak lama, saya masih banyak urusan, kita selesaikan saja ya."

Sepertinya Pak Wahyu membaca pikiranku.

"Oh silahkan pak, bapak pilih rumah yang mana, mau pembayaran cash atau proses KPR pak?"

Tanyaku sopan.

"Saya bayar cash aja, tapi saya mau yang belum di bangun, saya ingin mendesain sendiri interiornya."

Aku mengangguk tanda paham.

"Baik pak, mau type berapa, di sini tersedia type rumah dari type 40 sampai type 80, "

"Saya mau yang type 80 aja ya bu, saat ini saya kasih tanda jadi dulu 70 persen. Sisanya saya kasih kalau
rumahnya sudah selesai, gimana?"

"Bisa pak, sebentar pak saya bikin kwitansi dulu."

Alhamdulilah dalam hati aku bersyukur. Pembeli tidak neko-neko. Tanpa nawar ini itu langsung deal. Aku
sudah salah menilai tadi, tadinya ku pikir orang intel yang sengaja ingin mencari tahu soal Mas Amin dan
Karin. Bukannya apa-apa, aku sudah malas dan gak mau lagi berhubungan sama dua manusia itu,
kalaupun harus di usut lagi silahkan staf intel bekerja sendiri tanpa melibatkan aku.
Setelah urusan dengan Pak Wahyu selesai aku segera balik ke kantor. Masih ada urusan juga dengan
klien lain. Hari ini tiga unit rumah terjual cash, alhamdulilah.

Dengan kesibukan seperti ini aku bahagia, setidaknya aku bisa melupakan masalah yang membebani
selama ini.

========

Lima bulan berlalu, aku menjalani hari-hari tanpa beban. Belajar melupakan dan mulai menata hati.
Waktuku ku habiskan dengan bekerja dan mengurus kedua buah hati. Saatnya kami bahagia tanpa
kehadiran seorang suami juga ayah.

Bila dulu masih ada ruang yang tersisa di sudut hati ini untuk Mas Amin, tapi saat ini hati ini tertutup
rapat untuknya. Aku tak mau sisa hidupku terbuang sia-sia hanya untuk menangisi seorang suami yang
sudah melupakan istri dan anak-anaknya demi wanita lain.

I love you ... please say you love me to .....

Nada notifikasi dari gawaiku menandakan ada panggilan masuk. Nomor tak di kenal. Biasanya kalau
nomor baru yang menelpon itu adalah calon pembeli rumah. Segera ku jawab .

"Hallo, Assalamualaikum ."

"Merry ini aku Karin."

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya kesal.

"Iya ada apa."

Jawabku datar.
"Merry aku kan sudah memenuhi permintaan kamu, bisakah kamu memenuhi satu aja permintaanku,"

"Apa."

"Tolong gugat cerai Mas Amin, aku gak kuat hidup tanpa status begini, aku dah bela-belain ikut Mas
Amin ke pelosok tapi di sini aku gak bisa tenang. Kapan saja aku bisa di tanyain soal surat-surat sebagai
istri seorang anggota, aku tak punya, tolong deh Mer kamu ngajuin gugatan cerai, aku juga ingin menjadi
istri sah."

Aku menutup mulut menahan tawa. Andai saja aku di rumah dan bukan di kantor, tawaku pasti sudah
meledak. Benar-benar wanita di seberang telepon itu sudah tak punya urat malu.

"Eh Karin, harusnya kamu itu pelajari dulu resiko bila selingkuh dengan tentara ataupun polisi.
Selamanya kamu yang rugi karena gak akan dapat apa-apa."

"Aku kan cuma minta kamu gugat cerai Mas Amin, kamu bertahan juga buat apa toh dia gak cinta lagi
sama kamu"

Ucapnya lagi tanpa beban.

"Karin, kamu pikir aku bodoh ya, aku gugat cerai dan setelah itu kalian bisa menikah gitu? Kalau aku
gugat cerai sekarang enak di kalian dong ya, gak segampang itu Karin. Aku gak sebodoh itu. Aku pasti
gugat cerai Mas Amin tapi nanti, setelah lelaki yang kau rebut dari istri dan anak-anaknya itu di copot
seragam dinasnya. Tenang aja Karin kamu pasti jadi istri sahnya Mas Amin nanti setelah kalian sama-
sama jadi blangsak."

Aku tak tahu ucapanku barusan adalah doa atau kutukan. Yang jelas Karin kembali mengorek Luka yang
sudah lama tertutup. Ada debar aneh saat ucapanku barusan di akhiri dengan iringan petir yang
menggelegar.

=========
Hari libur selalu ku manfaatkan dengan menghabiskan waktu bersama anak-anak. Hari ini si bungsu
Radit meminta berenang ke sangkan park. Jaraknya cukup jauh dari rumah, tapi aku tak bisa menolak.
Ini saatnya memanjakan anak.

Semua perlengkapan dan bekal sudah masuk mobil. Aku mengajak bibi ikut serta. Mobil segera ku
nyalakan. Aku akan segera keluar pagar ketika terdengar suara gaduh dari jalan raya. Tak urung
membuatku penasaran juga. Aku meminta Aliya mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Belum
sempat Aliya turun suara riuh terdengar dari depan rumah Karin di sertai teriakan warga.

"Kebakaran...kebakaran..." Di susul suara berdentum keras seperti benda berat yang jatuh.

Aku langsung turun dari mobil. Setengah berlari aku menuju jalan raya. Kobaran api di depan rumahku,
rumah megah itu rumah Karin.

Rumah megah dan mewah berlantai tiga itu runtuh menyisakan puing-puing yang berserakan. Dua buah
mobil mewah yang tadinya terparkir di garasi tinggal kerangka.

Aku terpana dengan pemandangan di depanku, seakan terhipnotis aku tak tahu apa yang harus
kulakukan.

Bunyi sirene menyadarkan aku.

" Astagfirullah ... Astagfirullah ... Astagfirullah ..."

Aku hanya mampu beristigfar melihat kobaran api yang merembet ke bangunan di sebelah rumah Karin,
toko bangunan dan toko meubel milik Karin.

Bersambung ...

Aku Bukan Wanita Bodoh

Jilid......10
Warga berbondong-bondong mendatangi lokasi kebakaran, niat ingin membantu tapi tak ada yang bisa
menerobos pintu pagar yang tinggi dan digembok. Mobil pemadam kebakaranpun tak banyak
membantu. Halaman yang luas dengan posisi rumah yang jauh dari jalan raya menyulitkan proses
pemadaman. Alhasil kebakaran di rumah Karin hanya jadi tontonan gratis buat warga. Hingga tanpa
disadari api sudah merembet ke bangunan di sebelahnya.

Posisi rumah Karin yang bersisian dengan kedua tokonya memudahkan api menjalar dengan cepat. Api
mampu dipadamkan, tapi tak ada satu pun barang yang bisa di selamatkan. Kalaupun ada yang masih
utuh itu pun sudah berubah warna dan lebih pantas menjadi barang rongsokan.

Pintu pagar rumah Karin baru bisa di buka setelah di bongkar paksa. Petugas pemadam kebakaran
langsung masuk menyerbu ke dalam, berharap masih ada yang bisa di selamatkan. Tapi sepertinya
percuma. Dari luar pun sudah terlihat rumah megah itu tinggal jadi reruntuhan. Kalaupun ada yang
masih berdiri tegak, itu hanya pilar-pilar rumah yang sudah berubah warna karena gosong.

"Itu karma buat Tante Karin ya Bun?"

Celoteh Aliya tiba-tiba.

"Hush, gak boleh ngomong gitu Kak, itu namanya musibah."

Aliya diam dan hanya memandang ke depan puing-puing tembok itu, entah apa yang di pikirkan putri
sulungku itu.

"Tapi aneh ya Bun, rumah itu kan kosong kok bisa kebakaran."

Kembali Aliya bersuara.

"Udah biarin nanti juga di cari tau penyebabnya sama yang berwajib."

"Bunda gak berniat menelpon ayah?"


"Buat apa Kak?"

Aku mengernyitkan dahi, aneh dengan pertanyaan Aliya.

"Buat menceritakan keruntuhan rumah wanita pujaan Ayah."

"Aliyaaa...."

Aku terkejut mendengar Aliya bisa bicara seperti itu. Sepertinya dalam diamnya anakku menyimpan
kemarahan untuk ayahnya.

"Jangan bilang Bunda kasihan sama Tante itu."

Aliya cemberut. Belum sempat aku menjawab anak itu sudah masuk ke dalam rumah. Aku menyusulnya
di iringi rengekan Radit karena acara renangnya batal.

Aku mencoba bicara dengan Aliya. Bagaimanapun aku tak mau anakku membenci ayahnya. Hati-hati aku
masuk ke kamar Aliya yang pintunya masih terbuka.

"Kak, boleh Bunda ngomong sebentar aja."

Aliya menatapku sekilas, kemudian mengangguk. Aku tersenyum duduk di sampingnya. Kubelai lembut
kepala anak gadisku yang mulai beranjak remaja. Di usia belia gadisku sudah kehilangan kasih sayang
seorang ayah.

"Kak, apa selama ini Kakak membenci Ayah? "Tanyaku hati-hati.

Aliya menggeleng pelan.


Aku mengenggam tangannya. Menatapnya penuh kasih..

"Kak, jangan kotori hati kita dengan kebencian pada orang lain apalagi itu ayah, tak terkecuali Tante
Karin. Sekalipun orang itu sudah berbuat jahat dan menyakiti hati kita. Serahkan semua sama Allah.
Semua yang sudah terjadi sama kita itu sudah kehendak Allah. Kita ikhlasin aja, nanti juga ada balasnya.
Apa yang kita tabur itu yang kita tuai. Ayah mungkin lebih bahagia dengan pilihannya, jangan kita paksa
untuk pulang ke rumah ini. Buat apa ayah di sini sama kita, kita hanya memiliki raganya, tapi hatinya di
luar sana."

Aliya menangis.

"Kakak kasihan sama Bunda...Huhuhu.." Tangis Aliya makin menjadi.

Kupeluk anakku. Ku cium pipinya berkali-kali.

"Jangan khwatirkan Bunda. Yang penting kalian sama Bunda itu yang selalu jadi semangat buat Bunda.
Kakak belajar yang rajin dan jadi anak yang nurut sama Bunda. Buktikan sama Ayah, tanpa dia juga
kalian bisa jadi anak yang sukses."

Aliya menatapku tersenyum.

"Kakak gak akan pernah ngecewain Bunda."

Aku balas tersenyum. Kami tertawa bersama.

========

Acara liburan yang tertunda kami isi dengan membuat kue, mencoba resep baru. Aliya begitu antusias
setiap kali aku ajak masak-masak di dapur. Hari ini kami mencoba resep puding biskuit.

Sebenarnya resep ini sudah lama di kasih sama teman waktu masih bertugas di Maluku Utara. Rasanya
sangat lezat. Perpaduan rasa cokelat, manis, dan gurih.
Aku memasak agar-agar yang sudah di campur dengan gula dan cokelat bubuk. Sambil mengaduk
rebusan agar-agar sesekali bercanda dengan Aliya yang lagi asyik mencampur telor dan mentega.
Bahagia rasanya bisa menghabiskan waktu bersama anak.

Candaan kami terhenti oleh bunyi gawai milik Aliya. Sambil menjawab panggilan Aliya berjalan menjauh
dan memberi kode agar aku meneruskan pekerjaannya. Aku mengiyakan. Selang beberapa menit Aliya
kembali.

"Bun, teman sekolah Kakak mau nginap di sini, boleh gak?"

"Teman yang mana Kak?" Tanyaku tanpa menoleh.

"Teman baru Bun, namanya Tania. Dia baru pindah ke sekolah Kakak tiga bulan yang lalu."

Jelas Aliya lagi.

"Lho emang orangtuanya ke mana?"

"Ibunya meninggal saat melahirkan Tania. Sejak itu bapaknya gak pernah menikah lagi. Dulu Tania
tinggal sama neneknya. Tapi sekarang sudah tinggal bersama bapaknya di sini."

Aliya menjelaskan panjang lebar soal teman barunya itu.

Aku tak menjawab meski dalam hati tergugah dengan cerita Aliya.

Agar-agar sudah matang. Aku mulai mengambil biskut satu persatu dan menyusunnya satu persatu ke
loyang bersama adonan agar-agar.

"Gimana Bun?"
Aku menoleh. Kulihat Aliya menunggu jawaban dengan mimik serius.

"Bapaknya Tania ke mana gitu?"

"Dinas keluar kota. Katanya dua hari, perginya mendadak ada urusan penting jadi Tania tak sempat di
titipkan di rumah neneknya. Please Bun, kasihan Tania."

Aliya memohon sambil menangkupkan tangannya di depanku.

Aku tersenyum melihat tingkah putriku.

"Baiklah, boleh."

"Makasih Bun"

Aliya mencium pipiku lalu berlari menuju kamarnya berniat memberitahu Tania kalau dia di izinkan
menginap di rumah kami. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya.

===========

Pagi sedikit mendung saat aku memulai aktivitas. Setelah sarapan seperti biasa aku mengantar Aliya
dulu ke sekolah. Kali ini Aliya tak sendiri. Ada Tania yang bersamanya. Gadis manis Berkulit kuning
langsat dengan lesung pipi, berhidung mancung dengan alis tebal. Sikapnya sangat santun. Baru dua
malam Tania menginap di rumah kami tapi aku sudah menyukainya. pribadinya yang supel dan periang
membuat kami cepat dekat.

Hari ini Tania terakhir menginap di rumah kami. Katanya hari ini ayahnya akan menjemputnya.

Melewati rumah Karin aku sempatkan menengok rumah dan tokonya lewat jendela mobil. Masih sepi,
hanya terlihat puing-puing bangunan berserakan. Aku heran rumah dan tokonya sudah ludes terbakar
tapi kenapa Karin belum menampakan batang hidungnya. Apa dia tak di beritahu, atau jangan-jangan
tak ada jangkauan signal komunikasi sama sekali. Entahlah.
====

Suasana sekolah Aliya dan Tania masih sepi saat kami tiba di depan gedung itu. Aliya dan Tania
berpamitan dan turun dari mobil.

"Tante, makasih ya, selama Tania di rumah tante, tante sudah baik sekali sama Tania."

Gadis manis itu memelukku sebelum meninggalkan aku yang lagi berdiri di depan pintu mobil.

Aku hanya tersenyum dan balas memeluknya.

"Tania...."

Terdengar suara seseorang

memanggil. Aku dan Tania sama-sama menoleh, mencari arah suara.

"Ayaaah..."

Tania melepaskan pelukanku dan berlari menuju orang yang di panggilnya ayah.

Aku terkejut, di depanku lelaki yang berpelukan dengan putrinya itu tak lain adalah orang yang sudah ku
kenal, Pak Wahyu.

Bersambung...

Anda mungkin juga menyukai