Anda di halaman 1dari 13

Gairah Suster Perawan

Malam itu, jam sebelas lebih, cuaca sangat tidak bersahabat. Sejak jam sebelasan tadi
hujan sudah turun dengan derasnya disertai guruh dan petir. Di tempat yang sepi depan
pintu kamar periksa itulah dokter Maman, dokter jaga di rumah sakit itu menghabiskan
waktunya dengan membaca buku. Maman (37 tahun), dalam usia sekian itu masih
tampak ganteng dan gagah dengan tinggi badan 175 cm. Sudah hampir sepuluh tahun
dia bekerja sebagai dokter di rumah sakit ini, istrinya masih muda (29 tahun) dengan 2
anak. Kesepian dan suasana sepi sudah menjadi temannya sehari-hari apabila dia dapat
tugas jadi dokter jaga, maka mendengar suara-suara aneh dan cerita-cerita seram
lainnya sudah tidak membuatnya merinding lagi, istilahnya sudah kebal dengan hal-hal
seperti itu. Sungguh, malam itu menjadi malam panjang baginya, suasana hujan dengan
angin yang dingin mudah membuai orang hingga ngantuk. Pak dokter Maman masih
terus juga membaca buku yang sengaja dia bawa dari rumah. Hening sekali suasana di
sana, bunyi yang terdengar hanya bunyi rintik hujan, angin. Tak lama kemudian
terdengar bunyi lain di lorong itu, sebuah suara orang melangkah, suara itu makin
mendekat sehingga mengundang perhatian dokter itu. “Siapa tuh ya, malem-malem ke
sini ?” tanya dokter maman dalam hati. Suara langkah makin terdengar, dari tikungan
lorong muncul lah sosok itu, ternyata seorang gadis cantik berpakaian perawat dan
berjilbab lebar. Di luar seragamnya dia memakai jaket cardigan pink berbahan wol untuk
menahan udara dingin malam itu. Suster itu ternyataberjalan ke arahnya. “Permisi, Pak”
sapanya pada Maman dengan tersenyum manis. “Malam Sus, lagi ngapain nih malem-
malem ke sini” balas Maman. “Ohh…hehe…anu Pak abis jaga malam sih, tapi belum
bisa tidur, makannya sekalian mau keliling-keliling dulu” Dokter Maman bingung sebab
tidak tahu kalau suster itu juga jaga. Maka Maman bertanya, “Oh iya kok saya rasanya
baru pernah liat Sus disini yah ?” tanya Maman. “Iya Pak, saya baru pagi tadi sampai
disini, pindahan dari rumah sakit *****” jawabnya, “jadi sekalian mau ngenal keadaan
disini juga” “Oo…pantes saya baru liat, baru toh” kata Pak dokter Maman. “Emang bapak
kira siapa ?” tanyanya lagi sambil menjatuhkan pantatnya pada bangku panjang dan
duduk di sebelah Maman. “Wow, hoki gua” kata pria itu dalam hati kegirangan. “Dikirain
suster ngesot yah, hahaha” timpal dokter Maman mencairkan suasana. “Hehehe dikira
suster ngesot, nggak taunya suster cantik” sambung Maman lagi tertawa untuk
menghangatkan suasana. “Kalau ternyata memang iya gimana Pak” kata gadis itu
dengan suara pelan dan kepala tertunduk yang kembali membuat pria itu merasa aneh.
Tiba-tiba gadis itu menutup mulutnya dengan telapak tangan dan tertawa cekikikan.
“Hihihi…bapak dokter ini lucu ah, sering jaga malam kok digituin aja takut” tawanya.
“Wah-wah suster ini kayanya kebanyakan nonton film horror yah, daritadi udah dua kali
bikin kita nahan napas aja” kata Pak Maman. “Iya nih, suster baru kok nakal ya, awas
Bapak laporin loh” kata Maman menyenggol tubuh samping gadis itu. Sebentar kemudian
suster itu baru menghentikan tawanya, dia masih memegang perutnya yang kegelian.
“Hihi…iya-iya maaf deh pak, emang saya suka cerita horror sih jadi kebawa-bawa deh”
katanya. “Sus kalau di tempat gini mending jangan omong macem-macem deh,soalnya
yang gitu tuh emang ada loh” sahut dakter Maman dengan wajah serius. “Iya Pak, sori
deh” katanya “eh iya nama saya Heni Puspita, panggil aja Heni, suster baru disini, maaf
baru ngenalin diri…emmm Bapak dokter siapa yah?” sambil melihat ke dokter itu. “Kalau
saya Suherman, tapi biasa dipanggil Maman aja, saya yang jadi dokter jaga di sini
malam” pria setengah baya itu memperkenalkan diri. “Omong-omong Sus ini sudah lama
di RS ini?” tanya si dokter. “Ya belum sih” kata Suter Heni. “Pantas baru saya lihat, saya
sudah lihat namanya dalam jadwal tapi baru inilah saya lihat orangnya. Cantik!” kata
Maman sambil memandang wajah cantik yang sedang mengobrol dengannya itu. Malam
itudokter Maman merasa beruntung sekali mendapat teman ngobrol seperti suster Heni,
biasanya suster-suster lain paling hanya tersenyum padanya atau sekedar memberi
salam basa-basi. Maklumlah mereka semua tahu kalau dokter Maman sudah beristri dan
punya dua anak. Mereka pun terlibat obrolan ringan, pria itu tidak lagi mempedulikan
buku bacaannya dan mengalihkan perhatiannya pada suster Hena yang ayu itu. Sejak
awal tadi dokter Maman sudah terpesona dengan gadis ini. Pria normal mana yang tidak
tertarik dengan gadis berkulit putih mulus berwajah kalem seperti itu, rambut hitamnya
disanggul ke belakang tampak terbayang walau tertutup dengan jilbab panjangnya yang
putihnya, tubuhnya yang padat dan montok itu lumayan tinggi (168 cm), pakaian perawat
dengan bawahan rok panjang itu menambah pesonanya. Suster Heni sendiri baru
berusia 24 tahun dan belum menikah. Untuk gadis secantik Heni sebenarnya tidak begitu
susah mendapat pasangan ditambah lagi dengan bodinya yang montok dan padat, tentu
banyak lelaki yang mau dengannya. Tapi sejauh ini belum ada pria yang cocok di hati
Suster Heni. Sebagai wanita alim berjilbab dia sangat menjaga pergaulannya dengan
lawan jenis. Namun malam ini dia gelisah juga melihat dokter Maman yang tampan dan
gagah itu. Sayang dia sudah beristri, keluh Suster Heni dalam hati. Namun hati kecilnya
tidak dapat dibohongi bahwa dia suka pada dokter Maman itu. Maman, si dokter, makin
mendekatkan duduknya dengan gadis itu sambil sesekali mencuri pandang ke arah
belahan dadanya membayang di balik baju panjang dan jilbab panjangnya. Suasana
malam yang dingin membuat nafsu pria itu mulai bangkit, apalagi Pak Maman sudah
seminggu tidak ngentot istrinya karena lagi datang bulan dan walaupun istri Maman lebih
cantik dari Suster Heni, tapi dalam halbodinya tentu saja kualitasnya kalah dengan suster
muda di sebelahnya ini. Semakin lama dokter Maman semakin berani menggoda suster
muda yang alim itu dengan guyonan-guyonan nakal dan obrolan yang menjurus ke
porno. Suster Heni sendiri sepertinya hanya tersipu-sipu dengan obrolan mereka yang
lumayan jorokitu. “Terus terang deh Sus, sejak Sus datang kok disini jadinya lebih hanget
ya” kata Maman sambil meletakkan tangannya di lutut Heni dan mengelusnya ke atas
sambil menarik rok panjang suter berjilbab itu sehingga pahanya mulai sedikit tersingkap.
“Eh…jangan gitu dong Pak, mau saya gaplokyah ?!” Heni protes tapi kedua tangannya
yang dilipat tetap di meja tanpa berusaha menepis tangan pria itu yang mulai kurang ajar.
“Ah, Sus masa pegang gini aja gak boleh, lagian disini kan sepi gini, dingin lagi”katanya
makin berani, tangannya makin naik dan paha yang mulus itupun semakin terlihat. “Pak
saya marah nih, lepasin gak, bapak kan sudah punya istri, saya itung sampai tiga” wajah
Heni kelihatannya BT, matanya menatap tajam si dokter yang tersenyum mesum.
“Jangan marah dong Sus, mendingan kita seneng-seneng, ya?” sahut Dokter Maman,
entah sejak kapan tiba-tiba saja pria tidak tau malu itu sudahdi sebelahnya . Dokter jaga
itu dengan berani merangkul bahu Heni dan tangan satunya menyingkap rok suster
muda itu di sisi yang lain. Suster itu tidak bergeming, tidak ada tanda-tanda penolakan
walau wajahnya masih terlihat marah. “Satu…” suster itu mulai menghitung namun orang
itu malah makin kurang ajar, dan tangannya makin nakal menggerayangi paha yang
indah itu, “dua…!” suaranya makin serius. Entah mengapa suster itu tidak langsung
beranjak pergi atau berteriak saja ketika dilecehkan seperti itu.Si pria yang sudah
kerasukan nafsu itu menganggapnya sandiwara untuk meninggikan harga diri sehingga
dia malah semakin nafsu. “Tig…” sebelum suster Heni menyelesaikan hitungannya dan
bergerak, si dokteritu sudah lebih dulu mendekapnya dan melumat bibirnya yang tipis.
“Mmm…mmhh !” suster itu berontak dan mendorong-dorong Maman berusaha lepas dari
dekapannya namun tenaganya tentu kalah darinya, belum lagi dokter Maman juga
mendekapnya serta menaikkan rokknya lebih tinggi lagi. Heni merasa hembusan angin
malam menerpa paha mulusnya yang telah tersingkap, juga tangan kasar dokter itu
mengelusinya yang mau tak mau membuatnya terangsang. “Aahh…jangan…mmhh !”
Heni berhasil melepaskan diri dari cumbuan si dokter tapicuma sebentar, karena ruang
geraknya terbatas bibir mungil itu kembali menjadi santapan Maman. Lalu tangan Pak
Maman mulai meremas-remas dadanya yang masih tertutup seragam suster dan jilbab
lebarnya– Maman dapat merasakan kalau tetek suster alai mini masih kencang dan
padat pertanda belum pernah dijamah lelaki lain – sementara tangan satunya tetap
mengelus paha indahnya yang menggiurkan. Heni terus meronta, tapi sia-sia malah
pakaian bawahnya semakin tersingkap dan jilbab lebar perawat itu nyaris copot. Pak
Maman melepaskan jaket cardigan pinknya suster Heni sehingga tinggal baju seragam
perawatnya yang terlihat. Lama-lama perlawanan suster Heni melemah, sentuhan-
sentuhan pada daerah sensitifnya telah meruntuhkan pertahanannya. Birahinya bangkit
dengan cepat apalagi suasananya sangat mendukung dengan hujan yang masih
mengguyur dan dinginnya malam. Ditambahlagi hati kecil suka dengan dokter Maman.
Bulu kuduk Heni merinding merasakan sesuatu yang basah dan hangat di
lehernya.Ternyata dokter Maman itu sedang menjilati lehernya yang jenjang dengan
menyingkapkan jilbab panjang suster alim itu, lidah itu bergerak menyapu daerah itu
sehingga menyebabkan tubuh Heni menggeliat menahan nikmat. Mulut Heni yang
tadinya tertutup rapat-rapat menolak lidah Maman kini mulai membuka. Lidah kasap si
doketr itu langsung menyeruak masuk ke mulut suster berjilbab itu dan meraih lidahnya
mengajaknya beradu lidah. Heni pun menanggapinya, lidahnya mulai saling jilat dengan
lidah pria itu, liur mereka saling tertukar. Sementara Pak Maman mulai melucuti kancing
bajunya dari atas dan sekaligus mencopot jilbab panjang suster Heni, tangan perkasa
dokter itu menyusup ke dalam cup branya, begitu menemukan putingnya benar-benar
masih kencang dan padat, belum terjamah lelaki lain lalu langsung dimain-mainkannya
benda itu dengan gemasnya. Di tengah ketidak-berdayaannya melawan dokter brengsek
itu, Heni semakin pasrah membiarkan tubuhnya dijarah. Tangan doketr Maman
menjelajah semakin dalam, dibelainya paha dalam gadis itu hingga menyentuh
selangkangannya yang masih tertutup celana dalam. Sementara baju atasan Heni juga
semakin melorot sehingga terlihatlah bra biru di baliknya. “Kita ke dalam aja biar lebih
enak” kata Pak Maman. “Kamu emang kurang ajar yah, kita bisa dapet masalah kalau
gak lepasin saya !” Heni masih memperingatkan dokter itu. “Udahlah Sus, kurang ajar-
kurang ajar, kan lu juga suka ayo !” Maman narik lengan suster itu bangkit dari kursi.
“Sus, seneng-seneng dikit napa? Dingin-dingin gini emang enaknya ditemenin cewek
cantik kaya Sus” lanjut Pak Maman. Dokter Maman menggelandang suster alim itu ke
ruang periksa pasien tempat mereka berjaga. Henidisuruh naik ke sebuah ranjang
periksa yang biasa dipakai untuk memeriksa pasien.Selanjutnya pria itu langsung
menggerayangi tubuh Virna yang terduduk di ranjang. Maman menarik lepas celana
dalam gadis alim itu hingga terlepas, celanaitu juga berwarna biru, satu stel dengan
branya. Kemudian ia berlutut di lantai, ditatapnya kemaluan suster alim itu yang
ditumbuhi bulu-bulu yang lebat, bulu itu agaknya rajin dirawat karena bagian tepiannya
terlihat rapi sehingga tidak lebatkemana-mana. Hena dapat merasakan panasnya nafas
pria itu di daerah sensitifnya. Pak Maman mempreteli kancing baju atasnya yang tersisa,
lalu bra itu disingkapnya ke atas. Kini terlihatlah payudara suster Heni yang berukuran
sedang sebesar bakpao dengan putingnya berwarna coklat. “Uuuhh…Pak!” desah
Heniaketika lidah Pak Maman menelusuri gundukan buah dadanya. Lidah itu bergerak
liar menjilati seluruh payudara yang kencang dan padat itu tanpa ada yang terlewat,
setelah basah semua, dikenyotnya daging kenyal itu, puting mungil itu digigitinya dengan
gemas. “Aahh!” tubuh Heni tiba-tiba tersentak dan mendesah lebih panjang ketika
dirasakannya lidah panas Maman mulai menyapu bibir vaginanya lalu menyusup masuk
ke dalam. Maklum Maman sudah pengalaman merangsang wanita. Heni sebagai gadis
alim sebenarnya jijik melakukan hal ini dengan dokter Maman ini, tapi rupanya libidonya
membuatnya melupakan perasaan itu sejenak. Mulut PakMaman kini merambat ke atas
menciumi bibirnya, sambil tangannya tetap menggerayangi payudaranya. Kemudian
dokter itu kembali menghisap memek suster ini, si dokter makin membenamkan
wajahnya di selangkangan Heni, lidahnya masuk makin dalam mengais-ngais liang
kenikmatan suster muda itu menyebabkan Heni menggelinjang dan mengapitkan kedua
paha mulusnya ke kepalanya Maman.“Nah, sekarang tinggal kita mulai Sus” kata Pak
Maman membuka pakaiannya “pokoknya malam ini Bapak bakal muasin Sus hehehe!”
Heni tertegun melihat pria gagah itu sudah telanjang bulat di hadapannya, tubuhnya
terbilang kekar, penisnya yang sudah menegang itu lumayanbesar juga dengan bulu-bulu
yang tidak terlalu lebat. Dia naik ke ranjang ke atas tubuh gadis alim itu, wajah mereka
saling bertatapan dalam jarak dekat. Kali tanpa penghalang sebab jilbab panjang suster
alimitu sudah dicopot dokter Maman. Pak Maman begitu mengagumi wajah cantik Heni,
dengan bibir tipis yang merah merekah, hidung bangir, dan sepasang mata indah yang
nampak sayu karena sedang menahan nafsu. “Pak, apa ga pamali main di tempat
ginian ?” tanya Heni. “Ahh…iya sih tapi masabodo lah, yang penting kita seneng-seneng
dulu hehehe” habis berkata dia langsung melumat bibir gadis itu. Mereka berciuman
dengan penuh gairah, Heni yang sudah tersangsang berat itu melingkarkan tangannya
memeluk tubuh Pak dokter Maman. Ia masih memakai seragam susternya yang sudah
terbuka dan tersingkap di mana-mana, bagian roknya saja sudah terangkat hingga
pinggang sehingga kedua belah pahanya yang jenjang dan mulus sudah tidak tertutup
apapun. Pak Maman sudah seminggu lamanya tidak menikmati kehangatan tubuh wanita
sebab istrinya lagidatang bulan sehingga dia begitu bernafsu berciuman dan
menggerayangi tubuh Heni. Mendapat kesempatan bercinta dengan gadis seperti Heni
bagaikan mendapat durian runtuh, belum pernah dia merasakan yang sesintal dan
montok ini, bahkan istrinya pun tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengannya
meskipun lebih cantik dari pada Suster Heni. Setelah lima menitan berciuman sambil
bergesekan tubuh dan meraba-raba, mereka melepas bibir mereka dengan nafas
memburu. Pak Maman mendaratkan ciumannya kali ini ke lehernya. Kemudian mulutnya
merambat turun ke payudaranya, sebelumnya dibukanya terlebih dulu pengait bra yang
terletak di depan agar lebih leluasa menikmati dadanya. “Eemmhh…aahhh…aahh !”
desahnya menikmati hisapan-hisapan dokter jaga itupada payudaranya, tangannya
memeluk kepala yang rambutnya lebat dan hitam itu.Heni merasakan kedua putingnya
semakin mengeras akibat rangsangan yang terus datang sejak tadi tanpa henti. Sambil
menyusu, pria itu juga mengobok-obok vaginanya, jari-jarinya masuk mengorek-ngorek
liang senggamanya membuat daerahitu semakin basah oleh lendir. “Bapak masukin
sekarang yah, udah ga tahan nih !”katanya di dekat telinga Heni. Suster Heni hanya
mengangguk. Pak Maman langsung menempelkan penisnya ke mulut vagina gadis alim
itu. Terdengar desahan sensual dari mulut gadis itu ketika Pak Maman menekan
penisnya ke dalam. “Uuhh…sempitbanget Sus, masih perawan ga sih ?” erang pria itu
sambil terus mendorong-dorongkan penisnya. Heni mengerang kesakitan dan
mencengkram kuat lengan pria itu setiap kali penis itu terdorong masuk ke dalam
memeknya yang masih rapet itu. Setelah beberapa kali tarik dorong akhirnya penis itu
tertancap seluruhnya dalam vagina suster alim itu. Darah mengalir dari memek suter alim
itu. “Weleh-weleh, enaknya, legitbanget Sus kalau masih perawan” komentar pria itu,
“Belum pernah ngentot ya Sus sebelumnya, kalo boleh tau ?” Sebagai jawabannya Heni
menarik wajah pria itu mendekat dan mencium bibirnya, agaknya dia tidak berniat
menjawab pertanyaan itu.Pak Maman mulai menggoyangkan pinggulnya memompa
vagina gadis itu. Desahan tertahan terdengar dari mulut Heni yang sedang berciuman.
Pria itu memulai genjotan-genjotannya yang makin lama makin bertenaga. Lumayan juga
sudah seusia hampir kepala empat tapipenisnya masih sekeras ini dan sanggup
membuat gadis alim itu menggelinjang. Dia mahir juga mengatur frekuensinya agar tidak
terlalu cepat kehabisan tenaga. Sambil menggenjot mulutnya juga bekerja, kadang
menciumi bibir gadis itu, kadang menggelitik telinganya dengan lidah, kadang
mencupangi lehernya. Suster Heni pun semakin terbuai dan menikmati persetubuhan
beda jenis ini. Dia tidak menyangka pria seperti dokter itu sanggup membawanya
melayang tinggi. Pria itu semakin kencang menyodokkan penisnya dan mulutnya
semakin menceracau, nampaknya dia akan segera orgasme. “Malam masih panjang
Pak, jangan buru-buru, biar saya yang gerak sekarang !”kata gadis perawat itu tanpa
malu-malu lagi. Pak Maman tersenyum mendengar permintaan suster itu. Merekapun
bertukar posisi, Pak Maman tiduran telentang dan Heni menaiki penisnya. Batang itu
digenggam dan diarahkan ke vaginanya, Heni lalu menurunkan tubuhnya dan desahan
terdengar dari mulutnya bersamaan dengan penis yang terbenam dalam vaginanya.
Mata Pak Maman membeliak saat penisnya terjepit diantara dinding kemaluan Heni yang
sempit. Ia mulai menggerakkan tubuhnya naik turun dengan kedua tangannya saling
genggam dengan pria itu untuk menjaga keseimbangan. “Sssshhh…oohh…yah…
aahh !”Heni mengerang sambil menaik-turunkan tubuhnya dengan penuh gairah.
Tangannyameraih ujung roknya lalu ditariknya ke atasseragam yang berupa terusan itu
hingga terlepas dari tubuhnya. Seragam itu dijatuhkannya di lantai sebelah ranjang itu,
tidak lupa dilepaskannya pula bra yang masih menyangkut di tubuhnya sehingga kini
tubuhnya yang sudah telanjang bulat terekspos dengan jelas. Sungguh suster
Henimemiliki tubuh yang sempurna, buah dadanya montok dan proporsional, perutnya
rata dan kencang, pahanya juga indah dan mulus, sebuah puisi kuno melukiskannya
sebagai kecantikan yang merobohkan kota dan meruntuhkan negara.Kembali Heni dan
dokter jaga itu memacu tubuhnya dalam posisi woman on top. Heni demikian liar menaik-
turunkan tubuhnya di atas penis Pak dokter Maman, dia merasakan kenikmatan saat
penis itu menggesek dinding vagina dan klitorisnya. “Ayo manis, goyang terus…ahh…
enak banget!” kata Pak Maman sambil meremasi payudara gadis itu. Wajah Heni yang
bersemu merah karena terangsang berat itusangat menggairahkan di mata Pak Maman
sehingga dia menarik kepalanya ke bawah agar dapat mencium bibirnya. Akhirnya Heni
tidak tahan lagi, ia telah mencapai orgasmenya, mulutnya mengeluarkan desahan
panjang. Pak Maman yang juga sudah dekat puncak mempercepat hentakan pinggulnya
ke atas dan meremasi payudara itu lebih kencang. Ia merasakan cairan hangat meredam
penisnya dan otot-otot vagina suster alim itu meremas-remasnya sehingga tanpa dapat
ditahan lagi spermanya tertumpah di dalam dan membanjir, maklum sudah seminnggu
gak dikeluarkan. Setelah klimaksnya selesai tubuh Heni melemas dan tergolek di atas
tubuh dokter itu. Virna yang baru berusia 24tahun itu begitu kontras dengan pria di
bawahnya yang lebih pantas menjadi bapaknya, yang satu begitu ranum dan segar
sementara yang lain sudah agak tua. “Asyik banget Sus, udah selama seminggu saya
gak ginian loh !” ujar Pak Maman dengan tersenyum puas. “Gile nih malem, ga nyangka
bisa dapet yang ginian” dia seperti masih belum percaya hal yang dialaminya itu. Ketika
sedang asyik memandangi Heni, tiba-tiba Pak Maman nafsunya bangkit lagi dan minta
jatah sekali lagi. Tangan Maman terus saja menggerayangi tubuh Heni, kadang
diremasnya payudara atau pantatnya dengan keras sehingga memberi sensasi perih
bercampur nikmat bagi gadis itu. Sedangkan Pak Maman sering menekan-nekan kepala
gadis itu sehingga membuat Heni terkadang gelagapan. “Gila nih doketer, barbar banget
sih” kata Heni dalamhati. Walau kewalahan diperlakukan sepertiini, namun tanpa dapat
disangkal Heni juga merasakan nikmat yang tak terkira. Tak lama kemudian Maman
menyiorongkan penisnya lalu berpindah ke mulut Heni. Heni kini bersimpuh di depan pria
yang senjatanya mengarah padanya menuntut untuk diservis olehnya. Heni
menggunakan tangan dan mulutnya bergantian melayani penis itu hingga akhirnya penis
Maman meledak lebih dulu ketika ia menghisapnya. Sperma si doketr langsung
memenuhi mulut gadis itu, sebagian masuk ke kerongkongannya sebagian meleleh di
bibir indah itu karena banyaknya. Pria itu melenguh dan berkelejotan menikmati penisnya
dihisap gadis itu. Tak lama kemudian Pak Maman pun menyemburkan isi penisnya
dalam kocokan Heni, cairan itu mengenai wajah samping dan sebagian rambutnya.
Tubuh Heni pun tak ayal lagi penuh dengan keringat dan sperma yang berceceran. “Sus
hebat banget, sepongannyadahsyat, saya jadi kesengsem loh” puji Maman ketika
beristirahat memulihkan tenaga. “Sering-sering main sini yah Sus, saya kalau malem kan
sering kesepian hehehe” goda Pak Maman. Heni tersenyum dengan hanya melihat
pantulan di cermin, katanya, “Kenapa nggak, saya puas banget malem ini, mulai
sekarang saya pasti sering mendatangi dokter” Jam telah menunjukkan pukul setengah
dua kurang, berarti mereka telah bermain cinta selama hampir satu setengah jam. Heni
pun berpamitan setelah memakai jaket pinknyadan memakai kembali jilbab putih
panjangnya. Sebelum berpisah ia menghadiahkan sebuah ciuman di mulut. Manam
membalas ciuman itu dengan bernafsu, dipeluknya tubuh padat dan montok itu sambil
meremas pantatnya selama dua menitan. “Nakal yah, ok saya masuk dulu yah !” katanya
sebelum membalik badan dan berlalu. Lelah sekali Maman setelah menguras tenaga
dengan perawat alim yang cantik itu sehingga selama sisa waktu itu agak terkantuk-
kantuk. Setelah pagi mereka pun pulang dan tertidur di tempat masing-masing dengan
perasaan puas. Setiap kali kalau ada jadwal piket bersama, mereka selalu ngentot.
Dokter Maman bermaksud menjadikan Suster Heni yang alim berjilbabsebagai istri
keduanya, oleh sebab itu dokterMaman tidak memakai alat kontrasepsi apa pun jika
ngentot dengan Suster Heni. Maman ingin wanita alim itu hamil, hingga terpaksa mau
menikah dengannya sebagai istri keduanya. Hebat Dokter Maman.

Liar nya permainan tante yang cantik dan semok ,


Sebelum aku menulis isi dari cerita ini, aku akan memberikan gambaran sekilas tentang
tanteku ini. Tingginya sekitar 167-an, lingkar dadanya sekitar 34-an, pinggulnya 32-an,
aku menambahkan “an” karena aku kurang tahu pasti besar masing-masing bagian
tubuhnya itu.
Kejadian itu terjadi di Denpasar Bali, tahun 1998, aku waktu itu kelas 3 SMU di salah satu
SMU di Denpasar. Tapi sekarang aku kuliah di Jakarta di salah satu kampus yang tidak
begitu terkenal di Jakarta. Aku memang sudah lama sekali sangat menginginkan tubuh
tanteku itu, tapi butuh penantian yang lama, kira-kira sejak aku SMP. Mulailah
kuceritakan isinya. Waktu itu sekitar jam 12.30 WITA, matahari benar-benar panasnya
minta ampun, terus motorku endut-endutan. Wahhh! benar-benar reseh dah.
Tapi akhirnya aku sampai di kost-kostan, langsung saja aku ganti baju, terus sambil
minum air Aqua, wuahhh, segar tenan rek. Lalu tiba-tiba belum kurebahkan badan untuk
istirahat handphone-ku bunyi, ternyata dari tanteku, lalu kujawab,
“Halo Tan, ada apa?”
“Kamu cepet dateng ya!” ucap tanteku.
“Sekarang?” tanyaku lagi.
“La iya-ya, masa besok, cepet yah!” ujar tanteku.
Lalu aku bergegas datang ke rumah tanteku itu.
Sesampainya di sana, kulihat rumahnya kok sepi, tidak seperti biasanya (biasanya ramai
sekali), lalu kugedor pintu rumah tanteku. Tiba-tiba tanteku langsung teriak dari dalam.
“Masuk aja Wa!” teriak tanteku. Oh ya, namaku Dewa. Lalu aku masuk langsung ke
ruang TV. Terus aku tanya,
“Tante dimana sih?” tanyaku dengan nada agak keras.
“Lagi di kamar mandi, bentar ya Wa!” sahut tanteku.
Sambil menunggu tanteku mandi aku langsung menghidupkan VCD yang ada di bawah
TV, dan menonton film yang ada di situ. Tidak lama kemudian tanteku selesai mandi lalu
menghampiri aku di ruang TV. Oh my god! Tanteku memakai daster tipis tapi tidak
transparan sih, tapi cetakan tubuhnya itu loh, wuiiihhh! Tapi perlu pembaca ketahui di
keluargaku terutama tante-tanteku kalau lagi di rumah pakaiannya seksi-seksi.
Aku lanjutkan, lalu dia menegurku.
“Sorry ya Wa, Tante lama.”
“Oh, nggak papa Tante!” ujarku rada menahan birahi yang mulai naik.
“Oom kemana Tante?” tanyaku.
“Loh Oom kamu kan lagi ke Singaraja (salah satu kota di Bali),” jawab tanteku.
“Memangnya kamu nggak di kasih tau kalo di Singaraja ada orang nikah?” tanya tanteku
lagi.
“Wah nggak tau Tante, Dewa sibuk sih,” jawabku.
“Eh Wa, kamu nggak usah tidur di kos-an yah, temenin Tante di sini, soalnya Tante takut
kalo sendiri, ya Wa?” tanya tanteku sedikit merayu.
Wow, mimpi apa aku semalam kok tanteku mengajak tidur di rumahnya, tidak biasanya,
pikirku.
“Tante kok nggak ikut?” tanyaku memancing.
“Males Wa,” jawab tanteku enteng.
“Ooo, ya udah, terus Dewa tidur dimana Tan?” tanyaku lagi.
“Mmm… di kamar Tante aja, biar kita bisa ngobrol sambil nonton film, di kamar Tante
ada film baru tuh!” ujar tanteku.
Oh god! what a miracle it this. Gila aku tidak menyangka aku bisa tidur sekamar, satu
tempat tidur lagi, pikirku.
“Oke deh!” sahutku dengan girang.
Singkat cerita, waktu sudah menunjukkan pukul enam sore.
“Waaa…! Dewaaa…! udah mandi belum?” teriak tanteku memanggil.
“Bentar Tan!” jawabku.
Memang saat itu aku sedang membersihkan motor, melap motor adalah kebiasaanku,
karena aku berprinsip kalau motor bersih terawat harga jualnya pasti tinggi. Pada saat itu
pikiran kotorku dalam sekejap hilang. Setelah melap motor, aku bergegas mandi. Di
kamar mandi tiba-tiba pikiran kotorku muncul lagi, aku berpikir dan mengkhayalkan
kemaluan tanteku, “Gimana rasanya ya?” khayalku.
Terus aku berusaha menghilangkan lagi pikiran itu, tapi kok tidak bisa-bisa. Akhirnya aku
mengambil keputusan dari pada nafsuku kupendam terus entar aku macam-macam, wah
pokoknya bisa gawat. Akhirnya aku onani di kamar mandi. Pas waktu di puncak-
puncaknya aku onani, tiba-tiba pintu kamar mandi ada yang mengetuk. Kontan saja aku
kaget, ternyata yang masuk itu adalah tanteku. Mana pas bugil, sedang tegang lagi
kemaluanku, wah gawat!
“Sibuk ya Wa?” tanya tanteku sambil senyum manja.
“Eh… mmm… so… so… sorry Tan, lupa ngunci,” jawabku gugup.
Tapi sebenarnya aku bangga, bisa menunjukkan batang kemaluanku pada tanteku.
Panjang batang kemaluanku pas keadaan puncak bisa mencapai 15 cm, pokoknya
“international size” deh.
“Oh nggak papa, cepetan deh mandinya, terus langsung ke kamar ya, ada yang pengen
Tante omongin.”
“Oh my god, marah deh Tante, wah gawat nih,” pikirku.
Lalu aku cepat-cepat mandi, terus berpakaian di dalam kamar mandi juga, tidak sempat
deh melanjutkan onani, padahal sudah di puncak.
Setibanya di kamar tanteku, aku melihat tante memakai celana pendek, sangat pendek,
ketat, pokoknya seksi sekali, terus aku bertanya,
“Ada apa Tan, kayaknya gawat banget sih?” tanyaku takut-takut sambil duduk di atas
tempat tidur.
“Enggak, Tante pengen cerita, tentang Oom-mu itu lho,” ujar tanteku.
“Emangnya Oom kenapa Tan?” tanyaku lagi.
Dalam hatiku sebenarnya aku sudah tahu oom itu orangnya agak lemah, jadi aku
berharap tante menawarkan kemaluannya padaku. Dengan seksama aku medengarkan
cerita tanteku itu.
“Sebenernya Tante nggak begitu bahagia sama Oom-mu itu, tapi dibilang nggak bahagia
nggak juga, sebabnya Oom-mu itu orangnya setia, tanggung jawab, dan pengertian,
yang bikin Tante ngomong bahwa Tante nggak bahagia itu adalah masalah urusan
ranjang,” ujar tanteku panjang lebar.
“Maksud Tante?” tanyaku lagi.
“Ya ampun, masih nggak ngerti juga, maksud Tante, Oom-mu itu kalo diajak begituan
suka cepet nge-down, nah ngertikan?” tanya tanteku meyakinkan aku.
“Ooo…” ucapku pura-pura tidak mengerti.
“Mmm… Wa, mau nggak nolongin Tante?” tanya tanteku dengan nada memelas.
“Bantu apa Tan?” tanyaku lagi.
“Kan hari ini sepi, terus Oom-mu kan nggak ada, juga sekarang Tante lagi terangsang
nih, mau nggak kamu main sama Tante?” tanya tanteku sembari mendekatkan tubuhnya
kepadaku.
Gila! Ternyata benar juga yang aku khayalkan, Tanteku minta! Cihui! ups tapi jangan
sampai aku terlihat nafsu juga, pikirku dalam-dalam.
“Tapi Dewa takut Tante, nanti ada yang ngeliat gimana?” ucapku polos.
“Loh…! kan kamu ngeliat sendiri, emang di sini ada siapa? kan nggak ada siapa-siapa,”
jawab tanteku meyakinkan.
“Ya udah deh,” ujar tanteku sambil memulai dengan menempelkan tangannya ke
kemaluanku yang sebenarnya sudah menegang dari tadi.
“Wow… gede juga ya! Buka dong celanamu Wa!” ujar tanteku mesra.
Lalu kubuka celanaku dengan cepat-cepat, dengan cepat pula tanteku memegang
kemaluanku yang sudah over size itu. Sambil mengocok batang kemaluanku dengan
tangan kirinya, tangan kanan tanteku memegang payudaranya dan mengeluarkan bunyi-
bunyi yang merangsang. “Emf… ehm… mmm… gede banget kemaluanmu Wa!” ujar
tanteku.
Aku tidak terlalu mendengarkan omongan tanteku, soalnya aku sudah “over” sekali. Lalu
tanteku mulai menempelkan kemaluanku ke mulutnya, dan dengan seketika sudah
dilumatnya batang kemaluanku itu.
“Oh God! Eh… eh… ehm… e… nak… Tante… terus Tan…!” ujarku merasakan
nikmatnya kuluman tanteku itu. Tanteku lalu merebahkan tubuhku di atas ranjangnya,
lalu dengan ganas ia menyedot batang kemaluanku itu, lalu ia memutar tubuhnya dan
meletakkan liang kemaluannya di atas mukaku tanpa melepaskan kemaluanku dari
mulutnya. Dengan sigap aku langsung menjilat liang kemaluan tanteku. Merasakan itu
tanteku mengerang keenakan. “Aaah… Wa… enak… terus Wa… terus jilat…!” erang
tanteku keras-keras. Mendengar itu, nafsuku makin bertambah, dengan nafsu yang
menggebu jilatan ke kemaluannya kutingkatkan lagi, dan akibatnya tanteku mengalami
orgasme yang dahsyat, sampai-sampai mukaku kena semprotan cairan kewanitaannya.
“Oh Dewa… Tante sayang kamu… uh… ka.. ka… mu ponakan Tante paling… heee…
bat… aaah,” puji tanteku sambil mengerang merasakan nikmat.
Aku merasa bangga karena aku masih bertahan, lalu aku membalikkan tubuh tanteku
sehingga ia terlentang. Kuangkat kedua kakinya sehingga terpampanglah liang
kemaluannya berwarna pink merekah. Sebelum aku mulai menu utamanya, pertama aku
melucuti pakaiannya terlebih dahulu, setelah terbuka, aku mulai memainkan mulutku di
puting payudaranya, dan kemaluanku yang telah “over” tadi kuletakkan di atas perutnya
sambil menggesek-gesekkannya. Perlahan aku menciumi tubuh tanteku dengan arah
menurun, mulai dari puting terus ke perut lalu ke paha sampai akhirnya tiba di bibir
kemaluannya. Dengan penuh nafsu aku menjilat, menyedot, sampai menggigit saking
gemasnya, dan rupanya tanteku akan mengalami orgasmenya lagi. “Ooohh… Waaa…
Tante mau keee… luuu.. aar! Aaah…!” erang tanteku lagi sambil menjambak rambut
kepalaku sehingga wajahku terbenam di kemaluannya. “Wa, udah ah, Tante nggak kuat
lagi, Oom-mu mana bisa kayak gini, udah deh Wa, lansung aja tante pengen langsung
ngerasain itu-mu.”
Tubuhnya kutopang dengan tangan kiri, sementara tangan kiri membimbing batang
kemaluanku mencari sarangnya. Melihatku kesulitan mencari liang kemaluan tanteku,
akhirnya tanteku yang membimbing untuk memasukkan batang kemaluaku ke liang
kemaluannya. Setelah menempel di lubangnya, perlahan kudorong masuk batang
kemaluanku, dorongan itu diiringi dengan desahan tanteku. “Egghmm… terus Waa…
pelan tapi terus Wa… egghhmm…!” desahan tanteku begitu merangsang. Aku
sebenarnya tidak senang dengan permainan yang perlahan. Akhirnya dengan tiba-tiba
dorongan batang kemaluanku, kukeraskan sehingga tanteku teriak kesakitan. “Aaahh…
Waaa.. saaakitt… pelan-pelan… aargghhh…” teriak tanteku menahan sakitnya itu. Dan
tidak percuma, batang kemaluanku langsung terbenam di dalam liang kehormatannya itu.
Setelah itu batang kemaluanku, aku maju-mundurkan perlahan, untuk mencari
kenikmatan.
Dengan gerakan perlahan itu akhirnya tanteku menikmati kembali permainan itu. “Ah…
uh… terus Wa… enak sekali… itu-mu gede sekali… eggghh… lebih enak dari Oom-mu
itu… terus Waaa…” erang tanteku keenakan. Lalu lama-lama aku mulai mempercepat
gerakan maju-mundur, dan itu mendapat reaksi yang dahsyat dari tanteku, ia juga mulai
memainkan pinggulnya, hingga terasa batang kemaluanku mulai berdenyut,
“Tan… saya mauuu… kelu… arrr… nih…!”
“Di dalam aja Waaa… Tante… juugaa… mauuu keeluaaarr… aaarrgghh…!”
Akhirnya kami keluar bersama-sama, kira-kira enam kali semprotan aku mengeluarkan
sperma. Aaahh… begitu nikmatnya.
Setelah itu kucabut batang kemaluanku dari liang kemaluan tanteku, terus kuberikan ke
mulut tanteku untuk dibersihkan. Dengan ganas tanteku menjilati spermaku yang masih
ada di kepala kemaluanku hingga bersih. Setelah itu tanteku pergi ke kamar mandi untuk
membersihkan diri, dan aku tetap berada di kamar, tiduran melepas lelah. Setelah
tanteku selesai membersihkan diri, ia kembali ke kamar dan segera mencium bibirku, lalu
ia bilang bahwa selama oom-ku di Singaraja, aku diharuskan tinggal di rumah tanteku
dan aku jelas mengiyakan. Lalu tante juga bertanya apakah keadaan kostku bebas,
maka kujawab iya. Lalu tante bilang bahwa kalau misalnya oom-ku ada di rumah, terus
tanteku ingin main denganku, tanteku akan mencariku ke kost, aku hanya manggut-
manggut senang saja.

Siap, Laksanakan Komandan !


“Dhit, Dhito. Dhit bangun udah jam 6”
Mataku terbuka, tapi tidak bisa terbuka penuh karna ada cahaya terang dari jendela. Cahaya
matahari setelah berpergian sejauh 149,6 juta kilometer, dan sekarang sudah sampai di jendela
kamarku, bersiap mengetuk kaca dan membangunkanku. Tapi alarm alami ku mendahuluinya
Kulihat ibu negara di rumahku berada di samping kasurku dan sudah sangat rapi
“Mama rapi banget? Mau ke mana?” Tanyaku dengan perasasaan bingung. Bingung karena mama
ku sudah rapi, atau bingung karena nyawa masih setengah
“Lah gimana sih, Mama kan mau ikut Papa kunjungan ke cabang Bali. Sana cepetan mandi!”
Ah, aku baru ingat
Papa adalah seorang Manager di sebuah cabang perusahaan pendidikan di kota yang penduduknya
dikenal kasar tutur bicaranya. Setiap sebulan sekali, beliau selalu keliling Indonesia untuk meeting
bersama Manager dari cabang lain. Ada kalanya meeting dilakukan di cabang Papa, jadi Papa
tidak perlu repot repot untuk keluar kota
Dan Mamaku, seorang ibu negara yang tempat kerjanya di rumah, alias ibu rumah tangga. Dulu
sempat bekerja di salah satu bank swasta di Indonesia. Tapi beliau pensiun muda di umur 35
tahun.
Aku? Seorang cowok biasa saja, 25 tahun, single, gamer, keyboardist, dan bodo amat dengan trend
yang sedang ada. Tapi setidaknya aku punya beberapa hal yang bisa dibanggakan. Saat ini aku
menjabat sebagai Marketing Supervisor di salah satu start up yang sudah besar di sini, dan sejak
umur 20 tahun, aku sudah bisa membeli mobil, keyboard + amplifier, dan sebuah computer
gaming full set sendiri (meskipun saat itu beli mobilnya 80% uangku, 20% uang Papa)
Yup, dari jaman kuliah aku sudah bisa mencari uang sendiri dari hasil ngamen dan kerja freelance
sebagai copywriter.
Jam menunjukan 06.15
Sekarang aku sudah rapi.
Pasang headset, ambil kunci motor, dan siap berangkat ke kantor.
“Eits jangan pakai motor. Hari ini pulang jam berapa?” Tiba tiba mama menarik tasku
“Lah kenapa ma? Hari ini ya sama jam 5 pulangnya”
“Nah pas. Kamu bawa mobil aja ya. Nanti jam 6 mampir bandara, jemput si Vania”
“HAH? VANIA?” Tanyaku sedikit berteriak. “Dia kok tiba tiba pulang?”
“Dia cuman numpang sampe besok. Besok kan Pakde Bude baru pulang dari Medan. Kalo Vania
langsung pulang ke rumahnya. Kamu tau sendiri, Pakde Bude mu kan gamau kalo Vania sendirian
di rumah. Besok mereka pulang dari Medan langsung jemput Vania di sini kok, terus mereka
langsung pulang ke rumahnya. Udah sana berangkat, ini bekalnya”. Tidak lupa, Mama
menyodorkan rantang kecil untuk makan siangku di kantor.
Aku heran kenapa banyak orang seusiaku yang malu jika dibawakan bekal oleh ibunya. Padahal
itu salah satu cara penghematan. Dan lagipula, itu masakan seorang ibu! Tidak ada tandingannya!
“Yaudah deh. Ini mama ke bandara naik apa? Mau sekalian aku anter?”
“Gausah. Papa mama naik taxi aja. Udah pesen juga kok”
“Okedeh. Aku berangkat dulu, Pa, Ma” Kuambil tangan kedua orang tuaku dan menciumnya
Seperti pesan para orang tua, pamit lah ke orang tuamu sebelum berangkat ke manapun. Terutama
kalau pamit untuk mengejar pendidikan dan mengejar rezeki
Mobil ku nyalakan, tak lupa ku sambungkan bluetooth mobil dan bluetooth handphone. Open
spotify – select hard/rock playlist- now I am ready to rock this day
Jam 07.15
Mobil sudah terparkir rapi, kuambil tas dan rantang di jok belakang.
Aku berjalan masuk kantor. Pintu dibuka oleh Security
“Pagi, mas Dhito. Pagi seperti biasa ya”
“Pagi, pak Rahman. Iyo wes biasane, pak. Daripada telat kan mending dateng duluan. Masuk dulu,
pak. Monggo”
“Monggo, mas”
Aku ingat, ketika baru masuk, awal awal jadi staff di sini, aku dipanggil “Bapak” oleh semua
security dan OB. Yang di mana itu adalah peraturan kantor. Tapi selang seminggu kemudian, aku
memaksa mereka untuk sekedar memanggil “Mas” saja, atau perlu panggil nama sekalian. Pikirku,
buat apa aku dipanggil “Bapak”? Toh aku juga masih muda.
Ruangan ku sudah siap untuk aku huni selama seharian. Tanganku sudah berada di gagang pintu.
Lalu terdengar teriakan yang selalu memekakakan telinga.
“PAGI, MAS DHITO!”
Sumber teriakan itu berasal dari mulut seorang wanita berusia 23 tahun. Dia imut, berbadan
pendek, tapi mempunyai bentuk tubuh yang sangat ideal.
“Lah, Cindy. Tumben banget kamu jam segini sudah datang? Biasanya juga mepet jam 8”
“Iya nih, mas. Huhu. Kemarin lupa banget aku ngeprint berkas berkas promosi yang mau dikirim
ke kampus kampus. Jadi tadi aku jam setengah 7an udah nyampe sini terus langsung ngeprint
semuanya. Tapi ini udah selesai semua kok, mas. Hehe”
Tawa kecil itu, senyuman itu, dan mulut itu. Selalu membuatku teringat kejadian di awal awal dia
menjadi staff baru di sini. Di mana pertama kali aku menjamah bibir, dan seluruh badannya.
Membongkar sebuah rahasia pribadi yang selalu dia pendam dan dia sembunyikan dibalik tingkah
laku dan jilbab yang selalu dia pakai ke manapun dia pergi serta pakaian yang tidak mencetak
lekuk tubuhnya.
Ah. Rasanya terlalu panjang jika aku ceritakan di sini.
“Halah kamu ini. Orang deadlinenya kan masih nanti sore. Kenapa buru buru?” Jawabku sambil
berjalan masuk ke ruangan lalu menaruh semua barangku di atas meja
Aku duduk di kursi lalu menyalakan komputer. Cindy mengikutiku dan duduk di kursi depan
mejaku.
“Ya kan gaenak aja, mas. Biar hari ini kerjanya cuman dikit gitu niatnya. Eh malah lupa”
Cindy sudah setahun di sini. Dia menggantikan aku sebagai Content Writer ketika aku diangkat
menjadi Marketing Supervisor. Salah satu yang aku suka dari kinerjanya adalah tanggung
jawabnya. Dia jarang sekali melebih deadline. Bahkan hampir tidak pernah. Misal deadline di hari
Senin, maka hari Minggu sore softcopy kerjaannya sudah dikirim ke email ku dan Managerku.
Meskipun untuk revisi dan approval akan dilakukan di hari Senin.
“Mas, pagi ini mau ngapain?”
“Ya biasa. Abis ini paling mau bikin kopi terus ngerokok dulu”
“Hehe. Mas, yuk ke atas” Dia menawarkan sesuatu yang sangat tidak aku duga. Dengan senyum
manis, nada manja, dan mata yang merayu
“Masih pagi woy! Ngawur nih. Baru kali ini lho kamu ngajak pagi pagi gini”
“Ke atas”, kode yang hanya berlaku untukku dan Cindy. Kode untuk suatu tempat. Suatu sudut di
tangga darurat, tempatku untuk menyendiri dan merokok, di antara lantai 4 dan lantai 5, tempat
yang jarang dilewati oleh staff lain, tempat di mana menjadi saksi bisu cerita ku dan Cindy selama
hampir setahun ini. Mulai dari sekedar kissing, handjob, blowjob, bahkan quickie.
“Mas. Bentar aja. Please. Udah gatel dari kemarin” Dia masih merayu sambil mencubit pelan
lenganku.
“Gitu kenapa kemarin ga bilang?”
“Ih kan kemarin aku nungguin kamu, mas. Tapi aku gatau kamu meeting dulu sampe malem. Kalo
aku nungguin kamu kan dikira yang enggak enggak. Lah kok aku lupa mau ngechat kamu pas di
kantor. Pas nyampe kosan aku ketiduran. Bangun bangun udah jam 10 malem. Apesnya lagi pulsa
abis, paketan abis, wifi kosan juga mati! Yaudah aku kentang dari kemarin malem. Ayo dong,
maassss. Masih jam 08.30 lho ini, bentar aja ya”
Selain tanggung jawab yang aku suka, hal lain yang aku suka dari anak ini adalah keagresifannya.
Apalagi agresifnya hanya ke aku! Ya, dia ke orang lain sangat biasa saja. Tidak menunjukkan
bahwa dia bisa seliar ini. Bahkan ketika lagi nongkrong sama anak kantor dan lagi ngobrolin
sesuatu yang dewasa, dia berakting seolah dia tidak paham apa yang sedang dibicarakan. Sampai
sampai orang kantor menyebut dia sebagai Cindy bocah polos.
Wajah manja Cindy seakan membuat my little-big brother meronta, “Sudah terima saja
tawarannya! Ini masih pagi, aku masih fresh!”
“Yasudah, kamu ke sana dulu”
“Ihihihih siap, mas”
Cindy lalu berlari kecil menuju tempat rahasia kami. Tidak lama aku juga mengikutinya.
Untuk menghindari kecurigaan, kami tidak pernah masuk ke tangga darurat berbarengan. Cindy
masuk dari lantai 4, dan aku masuk dari lantai 5
Di tempat kecil itu Cindy sudah bersiap dengan membuka resleting celananya. Serta kaitan bra
yang sudah terlepas
Belum ada 5 detik kami bertemu, Cindy sudah melumat bibirku. Kami beradu lidah. Tanganku
berpetualang di balik kemejanya. Memijat lembut dadanya dan bermain dengan kedua putingnya.
Lalu tanpa komando, Cindy sudah meraba celanaku dan membuka resleting celanaku.
Aku duduk di tangga, membiarkan Cindy melumasi my lil-big bro. Celana yang sudah terbuka
sedikit membuat tanganku mudah untuk meraba liang kewanitaannya.
Sudah sedikit basah
Jariku langsung menggesek vagina Cindy. Setelah cukup basah, kumasukkan 2 jariku dan
membuat Cindy kehilangan arah ketika mengoral penisku
Begitupun dengan aku. Aku menggelinjang parah karena mulut Cindy. Campuran antara hangat,
licin, dan kenikmatan. Kepalanya naik turun semakin tidak beraturan ketika aku mempercepat
tempo jariku
Tidak ada 10 menit, Cindy sudah berhenti
“Udah nih, mas. Udah basah. Yuk” Cindy mengeluarkan tanganku sambil tetap mengocok lembut
penisku
Cindy lalu menungging di tangga. Biasanya penisku akan kugesekkan dulu ketika sudah di posisi
ini. Namun apa daya, ini di kantor, kami sedang quickie, dan sebentar lagi orang oran pasti akan
segera datang. Tidak pikir panjang aku langsung membenamkan penisku ke dalam vaginanya.
“Arghh, mas!” Segera kututup mulut Cindy agar tidak mengerang semakin keras
Satu tangan menutup mulut, satu tangan lagi meremas payudara Cindy tanpa ampun. Payudaranya
yang kenyal, indah, dan sangat imut, serta puting yang berwarna pink. Membuatku tidak bisa
berhenti bermain main dengan mereka.
“Cindy, Cindy. Aku ga pernah kepikiran main sama kamu pagi pagi gini, di kantor pula”
Plak! Tanganku mendarat sedikit kasar di pantat putihnya.
Kulirik jam tanganku. 07.52.
“Gila, ini 3 menit lagi biasanya rame yang dateng nih” Pikirku dalam hati
“Cin, aku keluarin ya. Udah jam segini. Sini cium dulu”
“Engghh, iya, mas. Aduh geli, mas. Cepetin” Tempo gerakan langsung aku cepatkan. Kepala
Cindy mengarah ke belakang. Bibir kami bertemu, untuk beradu, serta untuk menutup mulut
Cindy agar tidak terdengar erangannya.
“ENGHHH”
Kurasakan Cindy sudah keluar, erangannya tertahan oleh bibirku.
Segara kulepas penisku. Cindy sudah paham. Dia membalikkan badan dan menyambut penisku.
Dikulum habis penisku dan membiarkan aku membuang calon presiden,dokter dan insinyur, alias
anakku di dalam kerongkongannya.
“Ah, you are so good, Cin. Gini ya rasanya main pagi pagi”
Cindy hanya tersenyum manja
Kami segera berdiri dan merapikan pakaian kami. Sudah pasti aku selesai duluan, karena aku
hanya butuh merapikan celana saja. Sedangkan Cindy masih harus merapikan celana dan bra nya.
“Now, who’s my bad girl, huh?” Godaku sambil meraba payudaranya
“Hihihihi apasih, mas. Bentar dong, orang lagi ngerapihin baju malah diberantakin lagi”
07.58
“Brengsek, udah jam segini, Cin. Buruan balik sana”
“Iya iya, mas. Makasih ya” Cindy mengecup pipiku lalu mengeluarkan senyuman manjanya, lagi
Cindy lalu keluar dari tangga darurat. Lalu aku turun ke lantai satu langsung lewat tangga darurat
dan menuju ke pantry untuk membuat kopi dan merokok sebentar.
Tidak lama aku sudah kembali ke ruangan staff. Kulihat Cindy sudah duduk manis di mejanya dan
mengerjakan task untuk hari ini
Lalu aku masuk ke ruanganku, kembali berkumpul dengan pekerjaan yang seakan ber anak
pinakk.
Waktu sekarang menunjukan pkl 16.00
Satu jam lagi waktunya pulang. Tapi semua task sudah aku selesaikan. Kulihat dari ruangan,
beberapa staff sudah tampak santai. Aku bosan.
*drrrt* *drrrtttt*
Handphoneku tiba tiba bergetar. Ada telepon masuk, dari nomor tidak dikenal
“Yah jangan sampai ini klient” Gumamku
Dengan malas aku mengangkat telepon masuk itu. “Halo”
“Halo, Dhito?” Terdengar suara wanita dari seberang telepon
“Iya, halo juga Ini siapa ya?”
“Parah banget. Ini Vania”
“Waaaaaah tumben banget nih majikan nelpon supir. Ada apa, Van?”
“Asu. Aku cuman mau ngabarin, nanti aku landing jam setengah 7. Nanti tunggu aja. Aku flight
dari Makassar”
“Hooooo iya. Kamu gak lupa muka kan?”
“Paling ya lupa. Kamu tambah jelek kan?”
“Jadi dijemput apa kamu naik taxi sendiri?” Aku menggoda dia dengan nada serius
“Hehe iyo iyoo. Udah ya. Jangan lupa jam setengah 7. Aku mau boarding dulu. Bye!”
*tuuuuut*
“ealahh, kok langsung mati?” Gumamku kesal
17.00
“Akhirnya pulang juga. Cek cek. Komputer sudah mati. Handphone, dompet, bekal semua sudah
masuk. Sip”
Aku berjalan keluar dari ruanganku. Lalu Cindy datang menghampiri
“Mas, duluan ya. Aku mau pulang dulu”
“Iya, Cin. Eh btw, besok malem nganggur gak? Hehe” Tanyaku sambal mengerlipkan mata. Cindy
harusnya sudah tau maksutku
“Yah, aku ini mau pulang ke Malang maksutnya mas hihihi”
“Yah” Rasa kekecewaan langsung keluar begitu saja. “Yaudah deh. Mau gimana lagi”
Aku dan Cindy perlahan berjalan keluar kantor. Kami bercakap cakap sangat pelan, agar tidak ada
yang mendengar
“Gantian, kamu yang kentang, mas. Atau besok aku video call aja gimana?” Cindy menawari.
Senyum manjanya membuatku sulit untuk menolaknya
“Awas kalo sampe enggak”
Cindy hanya tertawa kecil.
“Eh kamu mau dianter?”
“Gausah, mas. Aku udah pesen ojol kok. Langsung ke Stasiun soalnya. Itu juga udah dateng.
Duluan ya, mas!” Cindy berlari kecil ke arah ojol yang sudah dia pesan
“Iya ati ati”
18.15
Mobilku sudah terparkir di Bandara. Aku menyalakan rokok dan berjalan menuju pintu
kedatangan.
Di papan kedatangan ku lihat keterangan bahwa flight dari Makassar delay. Sial. Aku harus
menunggu lagi.
18.50
Entah ini Rokok yang ke berapa. Aku sudah sangat bosan. Yang menemaniku hanya handphone,
rokok, dan tempat sampah yang kugunakan untuk asbak ini.
*plak*
Sebuah tamparan membangunkan aku dari lamunan kosong.
“Woy!” Wanita itu mengagetkanku
Seorang wanita berambut pendek, bercelana legging hitam, berkaos hitam, dan berkacamata
bening. Wanita itu bermuka garang, tapi sangat cantik. Dan badannya. Damn! Perfect!
Dia membuatku melamun sebentar, sambil memandangi dia
Wanita itu, Vania. Anak dari Pakde Bude ku, alias Sepupuku
“Kenapa sih?”
“Eh, Van. Setahun ngilang kok sekarang udah di sini”
“Aku nyari nyari kamu di pintu kedatangan tapi gak nemu. Yaudah aku jalan ke sini. Pikirku
nunggu di kursi itu. Eh ternyata kamu di sini”
Ada 2 hal yang membuatku bingung, atau lebih tepatnya 3 hal.
1. Dada nya yang begitu menonjol di balik kaosnya
2. Kacamata
Aku kenal Vania dari kami masih kecil. Dia sudah menjadi sahabat akrab ku di keluarga kami.
Secara kami hanya berbeda 1 tahun, dan kami tumbuh besar bersama. Umumnya, dia harusnya
memanggilku “Mas”, karena aku lebih tua. Tapi karena Ibu nya adalah kakak tertua Ibu ku, maka
aku yang seharusnya memanggil Vania “Mbak”. Biasalah, Sebuah adat. Tapi, aku selalu
membangkang. Beberapa kali diingatkan, tidak oleh orang tuaku, tidak juga oleh orang tua Vania,
tapi diingatkan oleh keluarga yang lain. Tetap saja aku memanggil dia Vania. Sampai akhirnya
mereka menyerah.
Aku paham kenapa dadanya bisa menjadi besar dan bulat seperti itu. Bisa jadi karena memang
pertumbuhan. Meskipun terakhir kali kami bertemu, tidak seperti ini. Tapi, kacamata?
Vania ini adalah seorang aparat. Setahun ini dia ditugaskan di Makassar. Tidak selalu di Makassar
sebenarnya. Dia sering berkeliling Indonesia, beberapa kali tugas ke luar negeri juga.
Lalu, bukankah aneh jika seorang aparat, terutama masih muda, sudah menggunakan kacamata?
“Eh kok kamu sekarang pake kacamata?”
“Halah ini cuman buat style aja sih, bukan kacamata minus. Cocok kan?”
Aku mengangguk setuju. Tidak hanya cocok, namun di mataku, Vania menjadi semakin cantik
karena kacamatanya. Entah memang karena cantik, atau karena salah satu fetish ku adalah wanita
berkacamata.
“Nih, bawain” Tukas Vania sambil menyerahkan kopernya. Kini dia hanya membawa tas
selempang kecil
“Wah, sialan. Yaudah ayo” Aku mulai berjalan sambil menggandeng pergelangan tangannya
“Ngapain sih kok nggandeng tangan?!” Vania melepas tanganku
“Biar kamu gak nyasar!”
Kami berjalan sebentar saja, lalu sudah sampai di mobilku.
Koper Vania aku masukkan ke dalam bagasi. Sedangkan sang pemilik koper sudah duduk manis di
dalam mobil
“Langsung ke rumah aja atau makan dulu?” Tanyaku sambil memilih lagu
Vania dengan sigap langsung merebut handphone ku dan memilih lagunya sendiri. “Udah
langsung aja. Aku udah makan. Eh selfie dulu dong, aku baru beli polaroid nih”
Anak ini, untung sepupu sendiri. Tapi aku tidak terlalu kesal, karena ternyata taste lagunya sama
sepertiku. Lalu kami berfoto. Tidak lama, hasil fotonya sudah keluar. Keren sekali. Hasil fotonya
didominasi oleh warna warna vintage.
“Seatbelt pake tuh. Katanya aparat”
“Ngomong terus! Udah sana nyetir” Vania langsung memakai sabuk pengamannya
*click*
Sabuk pengaman itu pas mendarat di antara dada Vania. Menekan kaosnya, dan mencetak bulatan
indah tersebut
Aku sempat kaget. Langsung kuarahkan pandangan ke depan
“Iya, ndoro. Apa gak mau sekalian duduk di belakang?”
Vania hanya tertawa
Di sepanjang jalan kami berbincang. Dari basa basi semacam apa kabar, orang tua apa kabar,
kerjaan, sampai alasan kenapa dia pulang. Yang intinya, dia mendapatkan libur seminggu dari
atasannya.
19.45
Mobil sudah terparkir di garasi rumah. Entah kenapa perjalanan kali ini sangat cepat. Entah aku
yang terlalu ngebut atau karena jalanan yang tiba tiba sepi. Atau kombinasi ke duanya
Kami berjalan masuk ke rumah. Tidak lupa membawa koper yang sangat berat ini
“Ini kamu tidur di kamarku aja”
“Huwaaa. Dari kapan kamu punya keyboard? Bisa main emang?”
“Lah kamu kira gimana aku bisa beli keyboard ini?”
“Gaya banget sih”
Ada satu yang terlupa. Kunci kamar orang tua ku
“Bajingan, aku lupa minta kunci kamar papa mama”
“Kenapa emang?” Tanya Vania sambil merebahkan badannya di kasurku
“Ya terus aku tidur di mana? Males banget tidur di luar. Dingin, banyak nyamuk”
“Hadeeeeh” Vania keheranan, “Yaudah sih tidur sini aja. Masih cukup kan kasurnya”
“Hmmm” Aku sejenak berfikir, tidur di samping wanita berbadan indah ini? My little-big brother
pasti akan sengsara, “Yaudah deh gampang”
Aku mengganti pakaian ku, lalu bergegas mandi.
Tidak lama aku mandi, tidak ada 5 menit aku sudah selesai. Aku masuk ke kamarku. Kulihat
Vania sudah berbaring sambil memainkan handphonenya di kasur memakai boxer dan tanktop,
yang lagi lagi berwarna hitam. Damn!
Tak taukah anak ini kalau pakaian hitam juga salah satu fetishku. Kalau ini anak memakai pakaian
seperti itu dan memakai kacamatanya, hancur sudah. My little-big brother pasti kecapekan karena
tanganku.
“Gak mandi dulu?”
“Enggak. Males buka koper. Besok aja sekalian”
“Aku bukain deh kopernya” Aku sedikit menggoda
*buk*
Vania melempar bantal ke arahku
“Gausah aneh aneh!”
Ku lemparkan balik bantal tersebut ke arahnya.
“Makan gak? Aku mau pesen makan nih”
Vania sudah memeluk guling dan menghadap tembok membelakangiku, hanya menggerakkan
tangannya, mengisyaratkan kata “tidak”.
Aku keluar kamar, mengambil minuman dingin di kulkas, lalu berjalan ke arah taman. Siapa yang
tidak tergoda dengan duduk santai di taman, memandangi langit malam, sambil ditemani minuman
dingin dan rokok. Ditambah, besok libur sampai Senin!
Aku melamun, sambil tersenyum. Tiba tiba teringat Vania, pemilik wajah cantik dan body sexy,
yang sedang tidur di kasurku.
Aku terbangun. Sedikit merinding.
“Ini gila” Pikirku dalam hati
Sel sel di otakku tiba tiba bereaksi. Mereka bersatu dan sekuat tenaga membangun sebuah ide.
Rokok kumatikan, lalu aku bergegas ke kamar. Aku tidak peduli meskipun Vania sudah tidur. Aku
sudah tidak tahan. Aku tidak mau menunggu kesempatan lain. Malam ini juga akan kueksekusi!
Bersambung^^

Anda mungkin juga menyukai