Anda di halaman 1dari 48

About Love, Episode: Cinta Abadi</i>

Ma, itu apa, yang kelap-kelip di atas; telunjukku mengarah ke langit.


Itu namanya bintang nak, salah satu ciptaan Allah yang menakjubkan; terang Mama dengan
sempurna sekaligus bijak.
Kutahu, usiaku dua tahun lebih sedikit waktu itu. Usia yang selalu ingin tahu segala hal dan
mengejar seribu jawaban dari siapapun terhadap hal yang baru kulihat. Dan Mama, dialah yang
paling sabar menerangkan semua tanya itu, meski tak pernah kupuas, tapi aku cukup yakin saat itu,
bahwa Mama segala tahu.
Sejak malam itu, aku selalu berdiri di belakang rumah menengadah ke langit memandangi jutaan
bintang yang berkelap-kelip, dan setiap saat itu pula Mama setia menemaniku. Aku ingat, mama
cukup kerepotan mencari jawaban ketika aku bertanya, apakah bintang-bintang itu juga punya
nama. Dengan cerdik, Mama menjelaskan bahwa bintang-bintang itu sama dengan kita, manusia.
Kalau manusia punya nama, berarti bintang pun memiliki nama.
Yang disebelah sana, namanya siapa ma
Keningnya berkerut, otaknya berputar mencari jawaban. Hingga akhirnya, ooh, yang itu mama tahu,
ia adalah bintang mama, karena namanya sama persis dengan nama anak mama ini; dekapannya
begitu hangat, tak ada yang bisa melakukan semua itu kecuali mama. Waktu itu yang kutahu, mama
sekedar menjalankan kewajibannya sebagai orang tua untuk menemani dan membahagiakanku.
Keesokkan harinya, setiap malam tiba. Mama sudah tahu, sebelum waktu tidurku tiba, aku selalu
mengajaknya memandangi langit. Karena kini aku semakin senang, sejak mama mengatakan bahwa
bintang yang pernah kutunjuk itu adalah aku. Tapi, hari ini mama membuatku kecewa, karena
mama tak bisa menemaniku. Mama sakit, begitu kata Papa.
Aku menangis, sebab malam itu aku berniat tidak hanya minta mama menemaniku seperti malam-
malam sebelumnya. Tapi aku ingin mama mengambilkanku bintang-bintang itu dan membawanya
ke rumah. Aku ingin mereka menjadi temanku bermain hingga aku tak perlu bersedih setiap ketika
larut mama mengajakku masuk.

Tapi Mama tetap tak bisa membantuku. Jangankan untuk mengambilkanku bintang-bintang,
sekedar duduk bersama di belakang rumah, merasai sentuhan angin yang lembut, dan menyapa
kedamaian malam, serta tersenyum membalas lambaian sang bulan pun, mama tak kuat. Hingga
malam berakhir, aku masih kecewa. Malam itu bahkan aku tak mau makan, hingga mama yang
sedang sakitpun harus memaksakan diri tetap menyenandungkan nyanyian cinta pengantar tidur.
Untuk yang ini pun yang aku tahu, adalah juga kewajiban orangtua, menyanyikan lagu pengantar
tidur.
Esok harinya aku demam. Karena semalaman tidak mau makan setelah beberapa jam di belakang
rumah; bermain-main; dengan bintang-bintang. Meski sedikit cemas, mama tak pernah panik.
Sentuhan hangat mama, membaluri ramuan khusus ke seluruh tubuh kecil ini. Dua hari sudah, tak
kunjung sembuh demamku. Padahal mama sudah membawaku ke dokter.
Mama semakin panik. Panasku meninggi dan sering mengigau. Tetapi justru disaat mengigau itulah
mama tahu obat terbaik untuk menyembuhkanku. (sampai disini, aku masih beranggapan,
mencarikan obat, menyembuhkan anak, adalah sekedar kewajiban orangtua);
Aku tidak tahu apa yang mama perbuat. Setelah terlelap beberapa jam, aku terbangun, dan aku
terkejut, hampir tak percaya apa yang kutatap di langit-langit kamarku. Bintang-bintang; mama
membuatkanku bintang-bintang dari kertas berwarna metalik, banyak sekali, puluhan, entah,
mungkin ratusan.
Sebagiannya digantung sebagian lagi dibiarkan berserakan di tempat tidur dan lantai kamar.
Kuciumi mama karena telah membawakan bintang-bintang dari langit itu ke rumah. Dan mama
benar, kulihat di masing-masing bintang itu ada namanya, salah satunya, ada bintang yang paling
bagus dan paling besar, diberinya namaku.

***
Anak mama yang dulu kerap memandangi bintang itu, kini sudah dewasa. Sudah hidup mandiri.
Tapi aku tetap anak mama. Kemarin, kutelepon mama mengabariku bahwa aku sedang tidak sehat
dan tidak masuk kantor. Beberapa jam kemudian, diantar papa dan salah seorang adikku, mama
datang. Aku memang tetap bintangnya mama, dibiarkannya kepalaku bersandar dipeluknya,
kurasakan kembali kehangatan itu. hingga aku tertidur.
Sore, mama hendak pulang. Sebenarnya aku ingin sekali menahannya untuk tinggal beberapa hari,
tapi adikku berbisik, Waktu abang telepon, mama sebenarnya sedang sakit;
Ada setitik air disudut mata ini. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Kini, sekali lagi kusadari.
Semua yang dilakukan mama untukku, bukanlah kewajiban. Itulah yang disebut cinta, cinta abadi.
Cinta yang takkan pernah bisa aku membalasnya. Dan mama adalah bintang sesungguhnya bagiku.
(Bayu Gawtama)

Dipublikasikan tanggal 22/08/2003 08:30 WIB


About Love, Episode: Energi Kecupan
About Love, Episode: Energi
Kecupaneramuslim - Hari belum dimulai. Jarum pendek pada jam dinding mengarah ke angka 2.
Masih terlalu gelap. Tiba-tiba aku terbelalak kaget. Istriku, Ryan, tengah menahan rasa sakit di
perutnya. Geriginya saling beradu, sesekali gigi atasnya menangkap bibir bawah untuk mencoba
menghilangkan sakit yang takkan pernah aku mengerti kadarnya. Sementara aku menyiapkan
mobil, kudengar erangan Ryan semakin keras, si kecil di dalam perutnya mungkin sudah tak sabar
hendak melihat dunia. Nakalnya aku, masih sempatnya sedikit nyengir karena senang akan segera
menjadi seorang ayah. Terbayang tak lama lagi akan terdengar suara mungil memanggil, Ayah;
Kupacu mobilku secepat mungkin. Masih 2 kilometer lagi rumah sakit bersalin tempat biasa istriku
memeriksakan kandungannya setiap bulan. Semakin cepat roda berputar semakin cemas
perasaanku, terlebih melihat istriku yang mulai melemah.
Tak lagi terdengar erangan dari mulutnya, yang ada hanya desahan buangan nafas dengan sedikit
tersengal. Kuyakinkan dia untuk sedikit bersabar; Tinggal dua kelok lagi dik;
Sesaat sebelum turun, diluar halaman depan rumah sakit, kubopong Ryan menuju ruang tengah
rumah sakit. Beberapa detik sebelum para suster menyodorkan tempat tidur beroda untuk istriku,
sempat Ryan membisikkan sesuatu;. Tak terasa sebulir air mata mengalir dari sudut mataku;
Bagaimana mungkin, disaat kritis dan tengah menahan sakit yang teramat seperti itu ia masih
sempat memikirkan kebahagiaan suaminya jika Tuhan berkehendak lain atas sebuah ajal. Memang
yang kutahu, saat-saat seperti ini adalah saat mempertaruhkan hidup dan mati bagi seorang ibu.
Tapi bagaimana mungkin Ryan masih bisa membagi ruang dalam pikirannya untukku disaat
genting seperti saat ini.
Detik demi detik, menit pun berlalu. Tapi masih saja terngiang kata-kata istriku; Mas harus menikah
lagi, jika Allah menghendaki ajalku berakhir hari ini;.
Hhhhhh; kuhela nafasku panjang. Aku mengutuk-ngutuk diri ini sendirian.
Sementara di dalam sana istriku tengah berjuang antara hidup dan mati demi memberikan
kebahagiaan berupa sesosok malaikat kecil yang sebentar lagi hadir bersama dalam kehidupan
kami, tapi aku masih saja berdiri di sini, di ruang tunggu ditemani tembok putih yang membisu.
Kududuk sejenak, tak sengaja pikiranku melayang. Terbayang wajah istriku yang cantik. 2 tahun
menikah, tak terasa sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Berarti juga, bukan hanya satu
kecupan yang akan menyemangatiku sebelum berangkat kerja, tapi akan ada lagi satu kecupan dari
bibir mungil malaikat kecilku. Kecupan; ya, satu kecupan di pagi hari yang memberikan energi luar
biasa setiap kali memulai hari dengan rutinitas kantor. Dan satu kecupan hangat menyambutku di
depan pintu sepulang bekerja, yang membasuh semua peluh, yang menghilangkan segala letih dan
kepenatan. Kecupan;
Sedetik kemudian;
Aku berlari, membuka pintu ruang persalinan, kulihat istriku masih terus berusaha mengatur
nafasnya. Tak percaya aku seberani ini, padahal sebelumnya sudah kuyakini aku takkan sanggup
menemaninya bersalin. Aku tak kuasa melihat istriku menderita, bahkan sudah terbayang dalam
benakku sejak bulan-bulan terakhir menjelang persalinan ini, sesuatu yang terpahit yang aku tak
ingin terjadi pada istriku, termasuk anakku.
Tetapi di menjelang pagi ini, Kudekati Ryan, kugenggam tangannya erat. Kurasakan jemarinya
seperti baru saja menemukan pegangan kuat setelah sebelumnya menggapai-gapai hampir terlelap
dalam lautan peluh. Dan sesaat kemudian, kecupan hangat dariku mendarat di keningnya,
menyingkirkan semua peluhnya. Mataku terpejam sementara bibirku terus bertengger di kening
basahnya. Terlintas energi dahsyat yang selama ini dialirkan oleh Ryan sebelum aku berangkat
kerja. Kali ini aku berharap, energi itu bisa diperolehnya dari hangat bibirku di keningnya;
Akhirnya, diiringi segurat do'a;
Sebuah tangis yang kurindu sekian bulan lamanya terdengar. Yang pasti, kulihat juga senyum Ryan
menyambut kehadiran malaikat kecil kami itu. Terima kasih Allah. Kupercaya, Engkau turut andil
sewaktu energi kecupan itu kualiri kepadanya. Karena juga, aku masih ingin selalu mendapatkan
energi itu esok hari, bukan cuma dari satu kecupan, ditambah kecupan mungil itu. (Bayu Gaw)

Dipublikasikan tanggal 04/08/2003 09:03 WIB

About Love, Episode: Sedetik Sajaeramuslim


Hari ini aku jatuh cinta.
Ya, hanya satu kalimat singkat itu yang hendak aku teriakkan keras-keras, agar semua orang tahu
bahwa aku sedang jatuh cinta. Kalau perlu para malaikat diatas sana pun ikut tersenyum mendengar
teriakan-teriakan cinta dariku ini. Tak mengapa orang akan terheran mengernyitkan dahinya
mempertanyakan perihal jatuh cintaku ini. Bahkan baru saja teman sebelah meja di kantorku
mengatakan aku sedang gila, masak sudah punya suami jatuh cinta lagi.
Ha ha, aku tertawa kecil. Biarlah orang menganggap aku gila, bukankah cinta dan gila hampir tidak
ada bedanya? Tak peduli orang berkata apa, karena jatuh cintaku ini bukan dengan pria lain,
melainkan dengan suamiku sendiri. Pasti Anda bertanya, kenapa baru sekarang jatuh cinta? Apakah
sebelumnya tidak pernah jatuh cinta?
Empat tahun usia pernikahan memang masih dibilang seumur jagung, belum terlalu banyak
kegetiran yang membenalui kasih sayang sepasang suami istri. Masih seruas jemari kelingking
ukuran pahit bersamaan dengan manisnya perjalanan cinta. Tapi harus diakui, segala rutinitas
keseharian seringkali menyita waktu-waktu bersama yang mau tidak mau terpaksa dikorbankan.
Belum lagi extra time yang tercuri untuk aktifitas sosial diluar kerja harian, membuat kami
kehilangan kesempatan untuk mencurahkan cinta. Bahkan untuk sekedar sarapan pagi bersama
sebelum masing-masing antara kami berangkat ke kantor sesaat ayam baru saja bersuara, hanya
karena takut terjebak kemacetan kota yang tidak akan pernah bisa dihindari.
Tetapi, hari ini aku jatuh cinta (lagi);
Salah jika Anda menebak, bahwa kemesraan malam tadi yang membuai kami dalam kehangatan
hingga pagi hari yang telah membuatku begitu bahagia semenjak pagi tadi. Tentu saja Anda juga
terlalu mengira-ngira menganggap serbuan ungkapan cinta suamiku yang bertubi-tubi yang
menjadikan diri ini teramat bergairah sepanjang hari ini. Perlu anda tahu, semua wanita tahu, kata
cinta bukan segalanya dan takkan pernah berarti apapun tanpa sedikitpun sentuhan. Tapi, ini bukan
pula soal sentuhan; Dan bisa dipastikan bukan karena semalam sebelum semuanya berlangsung
begitu mesra dan mempesonakan, kami pergi ke sebuah tempat makan romantis untuk merayakan
hari jadiku, termasuk sebuah kotak hadiah yang belum sempat kubuka sampai hari ini karena terlalu
sayang untuk merusak bungkus pink berhias bunga Rose diatasnya yang dirangkai dengan pita
berwarna putih.
Ternyata, aku tak memerlukan jutaaan ungkapan cinta untuk bisa sesenang hari ini. Tak juga harus
menyita waktu suamiku berjam-jam untuk menemaniku dan memberikan kehangatannya disatu
malam tertentu. Bahkan materi. Tak sepeserpun yang harus dikeluarkannya untuk bisa menciptakan
kegairahan cinta seperti saat ini. Ia hanya perlu sedetik. Ya, hanya sedetik saja;
Dan itu tercipta ketika, entah secara sadar atau tidak dia kembali menyapaku penuh lembut, yang ti
(Panggilan 'sayang' yang disingkat, diimbuhi potongan namaku).
Anginpun berhembus mesra menyentuh kulit halus telingaku. Seketika sekujur tubuh ini seperti
baru saja tertimpa kesejukan padang ilalang nan menghijau. Namaku Titi, semua orang mulai dari
Papa, Mama dan teman-teman selalu memanggilku Titi. Tapi sejak pertama kali kami bertemu, saat
menjelang kami menikah, dan setahun pertama menikah, lelaki romantis itu selalu memanggilku,
yang ti. Dan malam tadi dia kembali menyebutkan panggilan kesayangan itu setelah hampir dua
tahun tak pernah terngiang di telingaku. yang ti;.
Ah, rasanya baru saja kemarin kami melewati malam pertama. (Bayu Gaw)

Dipublikasikan tanggal 07/08/2003 08:41 WIB

Apa Salahnya Menangis?Apa Salahnya Menangis?


Apa salahnya menangis, jika memang dengan menangis itu manusia menjadi sadar. Sadar akan
kelemahan-kelemahan dirinya, saat tiada lagi yang sanggup menolongnya dari keterpurukan selain
Allah Swt. Kesadaran yang membawa manfaat dunia dan akhirat.
Bukankah kondisi hati manusia tiada pernah stabil? Selalu berbolak balik menuruti keadaan yang
dihadapinya. Ketika seseorang menghadapi kebahagiaan maka hatinya akan gembira dan saat
dilanda musibah tidak sedikit orang yang putus asa bahkan berpaling dari kebenaran.
Sebagian orang menganggap menangis itu adalah hal yang hina, ia merupakan tanda lemahnya
seseorang. Bangsa Yahudi selalu mengecam cengeng ketika anaknya menangis dan dikatakan tidak
akan mampu melawan musuh-musuhnya. Para orang tua di Jepang akan memarahi anaknya jika
mereka menangis karena dianggap tidak tegar menghadapi hidup. Menangis adalah hal yang hanya
dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai prinsip hidup.
Bagi seorang muslim yang mukmin, menangis merupakan buah kelembutan hati dan pertanda
kepekaan jiwanya terhadap berbagai peristiwa yang menimpa dirinya maupun umatnya. Rasulullah
Saw meneteskan air matanya ketika ditinggal mati oleh anaknya, Ibrahim. Abu Bakar Ashshiddiq ra
digelari oleh anaknya Aisyah ra sebagai Rojulun Bakiy (Orang yang selalu menangis). Beliau
senantiasa menangis, dadanya bergolak manakala sholat dibelakang Rasulullah Saw karena
mendengar ayat-ayat Allah. Abdullah bin Umar suatu ketika melewati sebuah rumah yang di
dalamnya ada sesorang sedang membaca Al Qur’an, ketika sampai pada ayat: Hari (ketika) manusia
berdiri menghadap Tuhan semesta alam (QS. Al Muthaffifin: 6).
Pada saat itu juga beliau diam berdiri tegak dan merasakan betapa dirinya seakan-akan sedang
menghadap Robbnya, kemudian beliau menangis. Lihatlah betapa Rasulullah Saw dan para
sahabatnya benar-benar memahami dan merasakan getaran-getaran keimanan dalam jiwa mereka.
Lembutnya hati mengantarkan mereka kepada derajat hamba Allah yang peka.
Bukankah diantara tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan pada hari dimana
tiada naungan kecuali naungan Allah adalah orang yang berdoa kepada Robbnya dalam kesendirian
kemudian dia meneteskan air mata? Tentunya begitu sulit meneteskan air mata saat berdo'a
sendirian jika hati seseorang tidak lembut. Yang biasa dilakukan manusia dalam kesendiriannya
justru maksiat. Bahkan tidak sedikit manusia yang bermaksiat saat sendiri di dalam kamarnya
seorang mukmin sejati akan menangis dalam kesendirian dikala berdo'a kepada Tuhannya.
Sadar betapa berat tugas hidup yang harus diembannya di dunia ini. Di zaman ketika manusia lalai
dalam gemerlap dunia, seorang mukmin akan senantiasa menjaga diri dan hatinya. Menjaga
kelembutan dan kepekaan jiwanya.
Dia akan mudah meneteskan air mata demi melihat kehancuran umatnya. Kesedihannya begitu
mendalam dan perhatiannya terhadap umat menjadikannya orang yang tanggap terhadap
permasalahan umat. Kita tidak akan melihat seorang mukmin bersenang-senang dan bersuka ria
ketika tetangganya mengalami kesedihan, ditimpa berbagai ujian, cobaan, dan fitnah. Mukmin yang
sesungguhnya akan dengan sigap membantu meringankan segala beban saudaranya. Ketika seorang
mukmin tidak mampu menolong dengan tenaga ataupun harta, dia akan berdoa memohon kepada
Tuhan semesta alam.
Menangis merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap kebenaran. Dan apabila mereka
mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka
mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-
kitab mereka sendiri) seraya berkata:Ya Robb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami
bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad)
(QS. Al Maidah: 83). Ja’far bin Abdul Mutholib membacakan surat Maryam ayat ke-16 hingga 22
kepada seorang raja Nasrani yang bijak. Demi mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, bercucuranlah
air mata raja Habsyah itu. Ia mengakui benarnya kisah Maryam dalam ayat tersebut, ia telah
mengenal kebenaran itu dan hatinya yang lembut menyebabkan matanya sembab kemudian
menangis. Raja yang rindu akan kebenaran benar-benar merasakannya.
Orang yang keras hatinya, akan sulit menangis saat dibacakan ayat-ayat Allah. Bahkan ketika
datang teguran dari Allah sekalipun ia justru akan tertawa atau malah berpaling dari kebenaran.
Sehebat apapun bentuk penghormatan seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul kepada
Rasulullah Saw, sedikit pun tidak berpengaruh pada hatinya. Ia tidak peduli ketika Allah Swt
mengecam keadaan mereka di akhirat nanti, Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan)
pada tingkatan neraka yang paling bawah. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang
penolongpun bagi mereka;. (QS. An Nisa: 145)
Barangkali di antara kita yang belum pernah menangis, maka menangislah disaat membaca Al-
Qur’an, menangislah ketika berdo'a di sepertiga malam terakhir, menangislah karena melihat
kondisi umat yang terpuruk, atau tangisilah dirimu karena tidak bisa menangis ketika mendengar
ayat-ayat Allah. Semoga hal demikian dapat melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta
penyubur iman dalam dada.
Ingatlah hari ketika manusia banyak menangis dan sedikit tertawa karena dosa-dosa yang
diperbuatnya selama di dunia. Maka mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai
pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan (QS At Taubah: 82).
Jadi apa salahnya menangis?.
Herman Susilo
pr@ydsf.or.id

Dipublikasikan tanggal 13/06/2003 18:09 WIB


Astronomi Modern Mengungkap Fakta Penciptaan Alam Semesta Astronomi Modern
Mengungkap Fakta Penciptaan Alam SemestaGagasan Kuno Abad 19: Alam Semesta Kekal
Gagasan yang umum di abad 19 adalah bahwa alam semesta merupakan kumpulan materi
berukuran tak hingga yang telah ada sejak dulu kala dan akan terus ada
selamanya. Selain meletakkan dasar berpijak bagi paham materialis, pandangan ini
menolak keberadaan sang Pencipta dan menyatakan bahwa alam semesta tidak berawal
dan tidak berakhir.
Materialisme adalah sistem pemikiran yang meyakini materi sebagai satu-satunya
keberadaan yang mutlak dan menolak keberadaan apapun selain materi. Berakar pada
kebudayaan Yunani Kuno, dan mendapat penerimaan yang meluas di abad 19, sistem
berpikir ini menjadi terkenal dalam bentuk paham Materialisme dialektika Karl
Marx.
Para penganut materalisme meyakini model alam semesta tak hingga sebagai dasar
berpijak paham ateis mereka. Misalnya, dalam bukunya Principes Fondamentaux de
Philosophie, filosof materialis George Politzer mengatakan bahwa &#8220;alam semesta
bukanlah sesuatu yang diciptakan&#8221; dan menambahkan: &#8220;Jika ia diciptakan, ia sudah
pasti diciptakan oleh Tuhan dengan seketika dan dari ketiadaan&#8221;.
Ketika Politzer berpendapat bahwa alam semesta tidak diciptakan dari ketiadaan,
ia berpijak pada model alam semesta statis abad 19, dan menganggap dirinya
sedang mengemukakan sebuah pernyataan ilmiah. Namun, sains dan teknologi yang
berkembang di abad 20 akhirnya meruntuhkan gagasan kuno yang dinamakan
materialisme ini.
Astronomi Mengatakan: Alam Semesta Diciptakan
Pada tahun 1929, di observatorium Mount Wilson California, ahli astronomi
Amerika, Edwin Hubble membuat salah satu penemuan terbesar di sepanjang sejarah
astronomi. Ketika mengamati bintang-bintang dengan teleskop raksasa, ia
menemukan bahwa mereka memancarkan cahaya merah sesuai dengan jaraknya. Hal ini
berarti bahwa bintang-bintang ini &#8220;bergerak menjauhi&#8221; kita. Sebab, menurut hukum
fisika yang diketahui, spektrum dari sumber cahaya yang sedang bergerak
mendekati pengamat cenderung ke warna ungu, sedangkan yang menjauhi pengamat
cenderung ke warna merah.
Selama pengamatan oleh Hubble, cahaya dari bintang-bintang cenderung ke warna
merah. Ini berarti bahwa bintang-bintang ini terus-menerus bergerak menjauhi
kita.
Jauh sebelumnya, Hubble telah membuat penemuan penting lain. Bintang dan galaksi
bergerak tak hanya menjauhi kita, tapi juga menjauhi satu sama lain.
Satu-satunya yang dapat disimpulkan dari suatu alam semesta di mana segala
sesuatunya bergerak menjauhi satu sama lain adalah bahwa ia terus-menerus
&#8220;mengembang&#8221;.
Agar lebih mudah dipahami, alam semesta dapat diumpamakan sebagai permukaan
balon yang sedang mengembang. Sebagaimana titik-titik di permukaan balon yang
bergerak menjauhi satu sama lain ketika balon membesar, benda-benda di ruang
angkasa juga bergerak menjauhi satu sama lain ketika alam semesta terus
mengembang.
Sebenarnya, fakta ini secara teoritis telah ditemukan lebih awal. Albert
Einstein, yang diakui sebagai ilmuwan terbesar abad 20, berdasarkan perhitungan
yang ia buat dalam fisika teori, telah menyimpulkan bahwa alam semesta tidak
mungkin statis. Tetapi, ia mendiamkan penemuannya ini, hanya agar tidak
bertentangan dengan model alam semesta statis yang diakui luas waktu itu. Di
kemudian hari, Einstein menyadari tindakannya ini sebagai &#8216;kesalahan terbesar
dalam karirnya&#8217;.
Apa arti dari mengembangnya alam semesta? Mengembangnya alam semesta berarti
bahwa jika alam semesta dapat bergerak mundur ke masa lampau, maka ia akan
terbukti berasal dari satu titik tunggal. Perhitungan menunjukkan bahwa 'titik
tunggal&#8217; ini yang berisi semua materi alam semesta haruslah memiliki &#8216;volume
nol&#8216;, dan &#8216;kepadatan tak hingga&#8216;. Alam semesta telah terbentuk melalui
ledakan
titik tunggal bervolume nol ini.
Ledakan raksasa yang menandai permulaan alam semesta ini dinamakan &#8216;Big
Bang&#8216;,
dan teorinya dikenal dengan nama tersebut. Perlu dikemukakan bahwa &#8216;volume nol&#8216;
merupakan pernyataan teoritis yang digunakan untuk memudahkan pemahaman. Ilmu
pengetahuan dapat mendefinisikan konsep &#8216;ketiadaan&#8216;, yang berada di luar batas
pemahaman manusia, hanya dengan menyatakannya sebagai &#8216;titik bervolume nol&#8216;.
Sebenarnya, &#8216;sebuah titik tak bervolume&#8216; berarti &#8216;ketiadaan&#8216;.
Demikianlah alam
semesta muncul menjadi ada dari ketiadaan. Dengan kata lain, ia telah
diciptakan. Fakta bahwa alam ini diciptakan, yang baru ditemukan fisika modern
pada abad 20, telah dinyatakan dalam Alqur&#8216;an 14 abad lampau: &#8220;Dia Pencipta
langit dan bumi&#8221; (QS. Al-An&#8217;aam, 6: 101)
Teori Big Bang menunjukkan bahwa semua benda di alam semesta pada awalnya adalah
satu wujud, dan kemudian terpisah-pisah. Ini diartikan bahwa keseluruhan materi
diciptakan melalui Big Bang atau ledakan raksasa dari satu titik tunggal, dan
membentuk alam semesta kini dengan cara pemisahan satu dari yang lain.
Big Bang, Fakta Menjijikkan Bagi Kaum Materialis
Big Bang merupakan petunjuk nyata bahwa alam semesta telah &#8216;diciptakan dari
ketiadaan&#8216;, dengan kata lain ia diciptakan oleh Allah. Karena alasan ini, para
astronom yang meyakini paham materialis senantiasa menolak Big Bang dan
mempertahankan gagasan alam semesta tak hingga. Alasan penolakan ini terungkap
dalam perkataan Arthur Eddington, salah seorang fisikawan materialis terkenal
yang mengatakan: &#8220;Secara filosofis, gagasan tentang permulaan tiba-tiba dari
tatanan Alam yang ada saat ini sungguh menjijikkan bagi saya&#8221;.
Seorang materialis lain, astronom terkemuka asal Inggris, Sir Fred Hoyle adalah
termasuk yang paling merasa terganggu oleh teori Big Bang. Di pertengahan abad
20, Hoyle mengemukakan suatu teori yang disebut steady-state yang mirip dengan
teori &#8216;alam semesta tetap&#8216; di abad 19. Teori steady-state menyatakan bahwa alam
semesta berukuran tak hingga dan kekal sepanjang masa. Dengan tujuan
mempertahankan paham materialis, teori ini sama sekali berseberangan dengan
teori Big Bang, yang mengatakan bahwa alam semesta memiliki permulaan. Mereka
yang mempertahankan teori steady-state telah lama menentang teori Big Bang.
Namun, ilmu pengetahuan justru meruntuhkan pandangan mereka.
Pada tahun 1948, Gerge Gamov muncul dengan gagasan lain tentang Big Bang. Ia
mengatakan bahwa setelah pembentukan alam semesta melalui ledakan raksasa, sisa
radiasi yang ditinggalkan oleh ledakan ini haruslah ada di alam. Selain itu,
radiasi ini haruslah tersebar merata di segenap penjuru alam semesta. Bukti yang
&#8216;seharusnya ada&#8216; ini pada akhirnya diketemukan. Pada tahun 1965, dua peneliti
bernama Arno Penziaz dan Robert Wilson menemukan gelombang ini tanpa sengaja.
Radiasi ini, yang disebut &#8216;radiasi latar kosmis&#8216;, tidak terlihat memancar dari
satu sumber tertentu, akan tetapi meliputi keseluruhan ruang angkasa.
Demikianlah, diketahui bahwa radiasi ini adalah sisa radiasi peninggalan dari
tahapan awal peristiwa Big Bang. Penzias dan Wilson dianugerahi hadiah Nobel
untuk penemuan mereka.
Pada tahun 1989, NASA mengirimkan satelit Cosmic Background Explorer. COBE ke
ruang angkasa untuk melakukan penelitian tentang radiasi latar kosmis. Hanya
perlu 8 menit bagi COBE untuk membuktikan perhitungan Penziaz dan Wilson. COBE
telah menemukan sisa ledakan raksasa yang telah terjadi di awal pembentukan alam
semesta. Dinyatakan sebagai penemuan astronomi terbesar sepanjang masa, penemuan
ini dengan jelas membuktikan teori Big Bang.
Bukti penting lain bagi Big Bang adalah jumlah hidrogen dan helium di ruang
angkasa. Dalam berbagai penelitian, diketahui bahwa konsentrasi hidrogen-helium
di alam semesta bersesuaian dengan perhitungan teoritis konsentrasi
hidrogen-helium sisa peninggalan peristiwa Big Bang. Jika alam semesta tak
memiliki permulaan dan jika ia telah ada sejak dulu kala, maka unsur hidrogen
ini seharusnya telah habis sama sekali dan berubah menjadi helium.
Segala bukti meyakinkan ini menyebabkan teori Big Bang diterima oleh masyarakat
ilmiah. Model Big Bang adalah titik terakhir yang dicapai ilmu pengetahuan
tentang asal muasal alam semesta. Begitulah, alam semesta ini telah diciptakan
oleh Allah Yang Maha Perkasa dengan sempurna tanpa cacat:
&#8220;Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak
melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka
lihtatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang.&#8221; (QS.
Al-Mulk, 67:3)
Segala bukti meyakinkan sebagaimana dipaparkan ini telah menyebabkan teori Big
Bang diterima oleh masyarakat ilmiah. Model Big Bang adalah titik terakhir yang
dicapai ilmu pengetahuan tentang asal muasal alam semesta. Begitulah, alam
semesta ini telah diciptakan oleh Allah Yang Maha Perkasa dengan sempurna tanpa
cacat dari ketiadaan.
Dennis Sciama, yang selama bertahun-tahun bersama Fred Hoyle mempertahankan
teori steady-state, yang berlawanan dengan fakta penciptaan alam semesta,
menjelaskan posisi akhir yang telah mereka capai setelah semua bukti bagi teori
Big Bang terungkap. Sciama menyatakan bahwa ia mempertahankan teori steady-state
bukan karena ia menanggapnya benar, melainkan karena ia berharap bahwa inilah
yang benar.
Sciama selanjutnya mengatakan bahwa ketika bukti mulai bertambah, ia harus
mengakui bahwa permainan telah usai dan teori steady-state harus ditolak. Prof.
George Abel dari universitas California juga menerima kemenangan akhir Big Bang
dan menyatakan bahwa bukti yang kini ada menunjukkan bahwa alam semesta bermula
milyaran tahun silam melalui peristiwa Big Bang. Ia mengakui bahwa ia tak
memiliki pilihan kecuali menerima teori Big Bang.
Dengan kemenangan Big Bang, mitos &#8216;materi kekal&#8217; yang menjadi dasar berpijak
paham materialis terhempaskan ke dalam tumpukan sampah sejarah. Lalu keberadaan
apakah sebelum Big Bang; dan kekuatan apa yang memunculkan alam semesta sehingga
menjadi &#8216;ada&#8217; dengan ledakan raksasa ini saat alam tersebut &#8216;tidak
ada&#8217;?
Meminjam istilah Arthur Eddington, pertanyaan ini jelas mengarah pada fakta yang
&#8216;secara filosofis menjijikkan&#8217; bagi kaum materialis, yakni keberadaan sang
Pencipta. Filosof ateis terkenal Antony Flew berkata tentang hal ini:
&#8220;Sayangnya, pengakuan adalah baik bagi jiwa. Karenanya, saya akan memulai dengan
pengakuan bahwa kaum Ateis Stratonisian terpaksa dipermalukan oleh kesepakatan
kosmologi zaman ini. Sebab, tampaknya para ahli kosmologi tengah memberikan
bukti ilmiah bahwa alam semesta memiliki permulaan. &#8220;
Banyak ilmuwan yang tidak secara buta menempatkan dirinya sebagai ateis telah
mengakui peran Pencipta yang Mahaperkasa dalam penciptaan alam semesta. Pencipta
ini haruslah Dzat yang telah menciptakan materi dan waktu, namun tidak terikat
oleh keduanya. Ahli astrofisika terkenal Hugh Ross mengatakan: &#8220;Jika permulaan
waktu terjadi bersamaan dengan permulaan alam semesta, sebagaimana pernyataan
teorema ruang, maka penyebab terbentuknya alam semesta pastilah sesuatu yang
bekerja pada dimensi waktu yang sama sekali tak tergantung dan lebih dulu ada
dari dimensi waktu alam semesta. Kesimpulan ini memberitahu kita bahwa Tuhan
bukanlah alam semesta itu sendiri, Tuhan tidak pula berada di dalam alam
semesta.&#8221; Begitulah, materi dan waktu diciptakan oleh sang Pencipta yang tidak
terikat oleh keduanya. Pencipta ini adalah Allah, Dialah Penguasa langit dan
bumi.
Big Bang, Ledakan Yang Memunculkan Keteraturan Sebenarnya, Big Bang telah
menimbulkan masalah yang lebih besar bagi kaum materialis daripada pengakuan
Filosof ateis, Antony Flew. Sebab, Big Bang tak hanya membuktikan bahwa alam
semesta diciptakan dari ketiadaan, tetapi ia juga diciptakan secara sangat
terencana, sistematis dan teratur. Big Bang terjadi melalui ledakan suatu titik
yang berisi semua materi dan energi alam semesta serta penyebarannya ke segenap
penjuru ruang angkasa dengan kecepatan yang sangat tinggi. Dari materi dan
energi ini, munculah suatu keseimbangan luar biasa yang melingkupi berbagai
galaksi, bintang, matahari, bulan, dan benda angkasa lainnya. Hukum alam pun
terbentuk yang kemudian disebut &#8217;hukum fisika&#8217;, yang seragam di seluruh penjuru
alam semesta, dan tidak berubah. Hukum fisika yang muncul bersamaan dengan Big
Bang tak berubah sama sekali selama lebih dari 15 milyar tahun. Selain itu,
hukum ini didasarkan atas perhitungan yang sangat teliti sehingga penyimpangan
satu milimeter saja dari angka yang ada sekarang akan berakibat pada kehancuran
seluruh bangunan dan tatanan alam semesta. Semua ini menunjukkan bahwa suatu
tatanan sempurna muncul setelah Big Bang.
Namun, ledakan tidak mungkin memunculkan tatanan sempurna. Semua ledakan yang
diketahui cenderung berbahaya, menghancurkan, dan merusak apa yang ada. Jika
kita diberitahu tentang kemunculan tatanan sangat sempurna setelah suatu
ledakan, kita dapat menyimpulkan bahwa ada campur tangan &#8216;cerdas&#8217; di balik
ledakan ini, dan segala serpihan yang berhamburan akibat ledakan ini telah
digerakkan secara sangat terkendali. Sir Fred Hoyle, yang akhirnya harus
menerima teori Big Bang setelah bertahun-tahun menentangnya, mengungkapkan hal
ini dengan jelas: &#8220;Teori Big Bang menyatakan bahwa alam semesta berawal dari
satu ledakan tunggal. Tapi, sebagaimana diketahui, ledakan hanya menghancurkan
materi berkeping-keping, sementara Big Bang secara misterius telah menghasilkan
dampak yang berlawanan &#8211; yakni materi yang saling bergabung dan membentuk
galaksi-galaksi.&#8221;
Tidak ada keraguan, jika suatu tatanan sempurna muncul melalui sebuah ledakan,
maka harus diakui bahwa terdapat campur tangan Pencipta yang berperan di setiap
saat dalam ledakan ini.
Hal lain dari tatanan luar biasa yang terbentuk di alam menyusul peristiwa Big
Bang ini adalah penciptaan &#8216;alam semesta yang dapat dihuni&#8217;. Persyaratan bagi
pembentukan suatu planet layak huni sungguh sangat banyak dan kompleks, sehingga
mustahil untuk beranggapan bahwa pembentukan ini bersifat kebetulan. Setelah
melakukan perhitungan tentang kecepatan mengembangnya alam semesta, Paul Davis,
profesor fisika teori terkemuka, berkata bahwa kecepatan ini memiliki ketelitian
yang sungguh tak terbayangkan. Davis berkata: &#8220;Perhitungan jeli menempatkan
kecepatan pengembangan ini sangat dekat pada angka kritis yang dengannya alam
semesta akan terlepas dari gravitasinya dan mengembang selamanya. Sedikit lebih
lambat dan alam ini akan runtuh, sedikit lebih cepat dan keseluruhan materi alam
semesta sudah berhamburan sejak dulu. Jelasnya, big bang bukanlah sekedar
ledakan zaman dulu, tapi ledakan yang terencana dengan sangat cermat. &#8220;
Fisikawan terkenal, Prof. Stephen Hawking mengatakan dalam bukunya A Brief
History of Time, bahwa alam semesta dibangun berdasarkan perhitungan dan
keseimbangan yang lebih akurat dari yang dapat kita bayangkan. Dengan merujuk
pada kecepatan mengembangnya alam semesta, Hawking berkata: &#8220;Jika kecepatan
pengembangan ini dalam satu detik setelah Big Bang berkurang meski hanya sebesar
angka satu per-seratus ribu juta juta, alam semesta ini akan telah runtuh
sebelum pernah mencapai ukurannya yang sekarang.&#8221;
Paul Davis juga menjelaskan akibat tak terhindarkan dari keseimbangan dan
perhitungan yang luar biasa akuratnya ini: &#8220;Adalah sulit menghindarkan kesan
bahwa tatanan alam semesta sekarang, yang terlihat begitu sensitif terhadap
perubahan angka sekecil apapun, telah direncanakan dengan sangat teliti.
Kemunculan serentak angka-angka yang tampak ajaib ini, yang digunakan alam
sebagai konstanta-konstanta dasarnya, pastilah menjadi bukti paling meyakinkan
bagi keberadaan desain alam semesta.&#8221;
Berkenaan dengan kenyataan yang sama ini, profesor astronomi Amerika, George
Greenstein menulis dalam bukunya The Symbiotic Universe: &#8220;Ketika kita mengkaji
semua bukti yang ada, pemikiran yang senantiasa muncul adalah bahwa kekuatan
supernatural pasti terlibat.&#8221;
Singkatnya, saat meneliti sistem mengagumkan di alam semesta, akan kita pahami
bahwa keberadaan dan cara kerjanya bersandar pada keseimbangan yang sangat
sensitif dan tatanan yang terlalu kompleks untuk dijelaskan oleh peristiwa
kebetulan. Sebagaimana dimaklumi, tidaklah mungkin keseimbangan dan tatanan luar
biasa ini terbentuk dengan sendirinya dan secara kebetulan melalui suatu ledakan
besar. Pembentukan tatanan semacam ini menyusul ledakan seperti Big Bang adalah
satu bukti nyata adanya penciptaan supernatural.
Rancangan dan tatanan tanpa tara di alam semesta ini tentulah membuktikan
keberadaan Pencipta, beserta Ilmu, Keagungan dan Hikmah-Nya yang tak terbatas,
Yang telah menciptakan materi dari ketiadaan dan Yang berkuasa mengaturnya tanpa
henti. Sang Pencipta ini adalah Allah, Tuhan seluruh sekalian alam.
Harun Yahya Int&#8217;l, Representative for Indonesia1

Dipublikasikan tanggal 13/01/2003 10:15 WIB

Belajar Dari IkrimahBelajar Dari Ikrimaheramuslim - Mengingat Ikrimah bin Abu


Jahal adalah mengingat sosok sahabat nabi yang menjadi tauladan dalam beritsar.
Ikrimah menjadi contoh kemuliaan pribadi yang mengutamakan kepentingan orang
lain. Sejarah mencatat, di antara orang-orang yang termasuk dalam barisan Perang
Yarmuk adalah Haris bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amar. Di
saat-saat kematian mereka, ada seorang sahabat yang memberinya air minum, akan
tetapi mereka menolaknya. Setiap kali air itu akan diberikan kepada salah
seorang dari mereka yang bertiga orang itu, maka masing-masing mereka berkata:
&#8220;Berikan saja air itu kepada sahabat di sebelahku.&#8221; Demikianlah keadaan mereka
seterusnya, sehingga akhirnya mereka bertiga menghembuskan nafas yang terakhir
dalam keadaan belum sempat meminum air itu.
Dalam riwayat lain diceritakan, bahwa sebenarnya Ikrimah bermaksud untuk meminum
air tersebut, akan tetapi pada waktu ia akan meminumnya, ia melihat ke arah
Suhail dan Suhail pun melihat ke arahnya pula, maka Ikrimah berkata: &#8220;Berikanlah
saja air minum ini kepadanya, barangkali ia lebih memerlukannya daripadaku.&#8221;
Suhail pula melihat kepada Haris, begitu juga Haris melihat kepadanya. Akhirnya
Suhail berkata: &#8220;Berikanlah air minum ini kepada siapa saja, barangkali
sahabat-sahabatku itu lebih memerlukannya daripadaku.&#8221; Begitulah keadaan mereka,
sehingga air tersebut tidak seorangpun di antara mereka yang dapat meminumnya,
sehingga ketiganya mati syahid.
Dari cerita Ikrimah tentang beritsar, saya teringat tentang ucapan seorang ulama
yang mengatakan bahwa mengutamakan orang lain tidak perlu dengan melakukan
hal-hal yang besar. Kita dapat melakukan hal-hal sederhana yang mungkin oleh
orang lain dianggap remeh. Di dalam angkutan kota misalnya, bantulah orang lain
dengan duduk di tempat yang memudahkan orang untuk masuk. Jika tempat duduk yang
lain masih kosong, sebaiknya tidak duduk di dekat pintu dengan alasan lebih
gampang untuk turun, lebih segar karena terkena angin dari arah pintu atau
alasan-alasan yang menyenangkan diri sendiri lainnya padahal hal tersebut justru
menyulitkan orang lain yang akan masuk. Begitu pula halnya jika kita menghadiri
majelis taklim. Sering kita duduk di tempat-tempat yang justru menyulitkan orang
lain yang akan masuk, di tangga atau di dekat pintu masuk misalnya. Padahal
tidak terlalu sulit bagi kita untuk mengambil tempat duduk di tempat lain
meskipun mungkin tidak senyaman di tangga atau di dekat pintu.
Satu contoh pengamalan konsep beritsar oleh masyarakat dapat ditemui di Jepang.
Jika kita menaiki tangga berjalan, sebaiknya mengambil tempat di bahu kiri,
karena bahu kanan biasanya digunakan oleh orang lain yang hendak bergegas menuju
tempat lain. Contoh lainnya, pengendara mobil biasanya memberi kesempatan kepada
pengendara sepeda untuk menyebrang, utamanya pada jalan-jalan yang tidak
menggunakan lampu lalu lintas. Mungkin contoh ini hanyalah contoh kecil, tapi
memberikan kenyamanan yang tinggi pada masyarakatnya karena kepentingan orang
lain terperhatikan. Masih berkaitan dengan itsar. Contoh yang lain dari Nasrudin
Hoja. Meskipun cerita ini bukan sesuatu yang bisa dijadikan teladan.
Guru Nasrudin Hoja mengajarkan pada Nasrudin, bahwa salah satu ciri pribadi yang
mulia adalah dengan mengutamakan kepentingan orang lain. Suatu hari, Nasrudin
dan gurunya makan di sebuah warung makan. Pelayan kemudian menyajikan 2 buah
piring berisi ikan, yang salah satu piringnya berisi ikan yang lebih besar dari
ikan di piring lain. Dengan tangkas Nasrudin mengambil ikan yang besar.
Terkejut, gurunya berkata pada Nasrudin 'Bukankah sudah kuajarkan kepadamu bahwa
pribadi yang mulia adalah mereka yang mengutamakan kepentingan orang lain?'.
Nasrudin menjawab 'Benar Guru, dan saya bermaksud untuk memuliakan Guru.'
Mudah-mudahan yang kita teladani adalah sikap Ikrimah dalam beritsar, dan
bukannya sikap Nasrudin Hoja. Waallahu&#8217;alam bishshowab.
bintangkecil@eramuslim.com
Dipublikasikan tanggal 28/08/2003 09:08 WIB

Bidadari Surga Itu ...Bidadari Surga Itu ...eramuslim - Menjelang perang Uhud
dimulai, ia bersama suaminya, Zaid bin Ashim dan kedua anaknya, Habib dan
Abdullah keluar ke bukit Uhud. Lalu Rasulullah saw bersabda kepada mereka,
"Semoga Allah memberikan berkah kepadamu semua." Setelah itu wanita bidadari
perang uhud itu berkata kepada beliau, "Berdo'alah kepada Allah semoga kami
dapat menemani engkau di surga kelak, ya Rasulullah!" Lalu Nabi saw berdo'a, "Ya
Allah jadikanlah mereka itu teman-temanku di Surga." Maka wanita itupun berkata
lantang, "Aku tidak akan mempedulikan persoalan dunia menimpa diriku."
Dialah Ummu Amarah yang dikenal dengan nama Nusaibah bin Ka'ab Al Maziniay yang
menjadi bidadari surga karena perannya membela Rasulullah saat pasukan muslimin
terdesak pada perang Uhud. Bersama Mush'ab bin Umair -yang kemudian menemui
syahid setelah mendapatkan puluhan tusukan di tubuhnya- Nusaibah menghadang
Qam'ah, orang yang dipersiapkan membunuh Rasulullah dalam perang tersebut.
Nusaibah sendiri harus menderita dengan dua belas tusukan dan salah satunya
mengenai lehernya.
Kata-kata Nusaibah "Aku tidak akan mempedulikan persoalan dunia menimpa diriku"
setelah ia mendapati Rasulullah mendoa'kan dirinya dan keluarganya menjadi
teman-teman Rasul di surga, terdengar begitu tegar dengan kesan yang amat
mendalam. Mungkin karena ketidakpeduliannya terhadap urusan dunia dengan segala
apa yang bakal menimpanya itulah yang kemudian menjadikannya salah seorang
bidadari di surga.
Kini, 15 abad setelah Nusaibah tiada, masihkah ada diantara kita yang berani
dengan lantang dan mantap mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkan Nusaibah.
Masihkah ada diantara kita yang tidak mempedulikan persoalan dunia dan apapun
yang dikehendaki Allah selama kita di dunia menimpa diri ini. Mungkin ada, tapi
entah dimana dan siapa.
Kalaupun ada, yang jelas dia adalah Nusaibah-Nusaibah abad modern. Kalaupun ada
juga, ia tentu tidak akan bersaksi bahwa dialah orangnya, karena seperti
Nusaibah bin Ka'ab, ia tidak pernah bersaksi bahwa ia adalah pembela Rasulullah
dan agama Allah, melainkan Rasulullah lah yang memberikan kesaksian, "Tidaklah
aku menoleh ke kanan dan ke kiri pada peperangan Uhud melainkan aku melihat
Nusaibah (Ummu Amarah) berperang membelaku." (Al Ishabah).
Dimana Nusaibah kini, yang siap menyerahkan seluruh hidupnya untuk membela Allah
dan Rasul-Nya, yang menjadikan seluruh anggota keluarga adalah mujahid pejuang
Allah, yang lebih mengutamakan indahnya surga Allah daripada
kenikmatan-kenikmatan dunia yang sesaat dan serba semu, yang tidak pernah
khawatir dan merasa takut tidak mendapatkan kesenangan di dunia, karena
dimatanya, kesenangan menjadi teman Rasulullah di Surga menjadi keutamaannya.
Dimana Nusaibah kini, yang Allah dengan segala janjinya lebih ia yakini dari
segala kepentingan dan urusan dunianya, yang menikah dengan suami yang juga siap
menyerahkan hidupnya untuk Allah semata, yang siap menjadikan anak-anaknya
tameng Rasulullah di setiap medan perang.
Bisa jadi, bila ada Nusaibah kini, ia akan siap kehilangan segala kenikmatan
dunianya, ia rela menjual kesenangan dunianya untuk harga yang lebih mahal,
yakni surga Allah. Ia tak pernah bersedih, murung ataupun marah akan setiap
ketentuan Allah atas dirinya, ia percaya bahwa Allah akan bersikap adil dengan
segala kehendaknya atas setiap manusia, ia begitu yakin, jika tidak ia dapatkan
kenikmatan dunia dengan segala perhiasannya, pasti ia akan mendapatkan yang jauh
lebih indah kelak sebagai balasan dari amal dan kesabarannya menerima semua
ketentuan-Nya. Tapi, dimanakah Nusaibah kini? Wallahu a'lam bishshowaab (Bayu
Gautama)
Dipublikasikan tanggal 06/03/2002 08:57 WIB

Cinta Palsu, Do&#8217;a Tak TerijabahCinta Palsu, Do&#8217;a Tak Terijabaheramuslim - Kata
pujangga cinta letaknya di hati. Meskipun tersembunyi, namun getarannya tampak
sekali. Ia mampu mempengaruhi pikiran sekaligus mengendalikan tindakan. Sungguh,
Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi
bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan
kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan
batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta
membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dasyatnya cinta (Jalaluddin Rumi).
Namun hati-hati juga dengan cinta, karena cinta juga dapat membuat orang sehat
menjadi sakit, orang gemuk menjadi kurus, orang normal menjadi gila, orang kaya
menjadi miskin, raja menjadi budak, jika cintanya itu disambut oleh para pecinta
palsu. Cinta yang tidak dilandasi kepada Allah. Itulah para pecinta dunia, harta
dan wanita. Dia lupa akan cinta Allah, cinta yang begitu agung, cinta yang
murni.
Cinta Allah cinta yang tak bertepi. Jikalau sudah mendapatkan cinta-Nya, dan
manisnya bercinta dengan Allah, tak ada lagi keluhan, tak ada lagi tubuh lesu,
tak ada tatapan kuyu. Yang ada adalah tatapan optimis menghadapi segala cobaan,
dan rintangan dalam hidup ini. Tubuh yang kuat dalam beribadah dan melangkah
menggapai cita-cita tertinggi yakni syahid di jalan-Nya.
Tak jarang orang mengaku mencintai Allah, dan sering orang mengatakan mencitai
Rasulullah, tapi bagaimana mungkin semua itu diterima Allah tanpa ada bukti yang
diberikan, sebagaimana seorang arjuna yang mengembara, menyebarangi lautan yang
luas, dan mendaki puncak gunung yang tinggi demi mendapatkan cinta seorang
wanita. Bagaimana mungkin menggapai cinta Allah, tapi dalam pikirannya selalu
dibayang-bayangi oleh wanita/pria yang dicintai. Tak mungkin dalam satu hati
dipenuhi oleh dua cinta. Salah satunya pasti menolak, kecuali cinta yang
dilandasi oleh cinta pada-Nya.
Di saat Allah menguji cintanya, dengan memisahkanya dari apa yang membuat dia
lalai dalam mengingat Allah, sering orang tak bisa menerimanya. Di saat Allah
memisahkan seorang gadis dari calon suaminya, tak jarang gadis itu langsung
lemah dan terbaring sakit. Di saat seorang suami yang istrinya dipanggil
menghadap Ilahi, sang suami pun tak punya gairah dalam hidup. Di saat harta yang
dimiliki hangus terbakar, banyak orang yang hijrah kerumah sakit jiwa, semua ini
adalah bentuk ujian dari Allah, karena Allah ingin melihat seberapa dalam cinta
hamba-Nya pada-Nya. Allah menginginkan bukti, namun sering orang pun tak berdaya
membuktikannya, justru sering berguguran cintanya pada Allah, disaat Allah
menarik secuil nikmat yang dicurahkan-Nya.
Itu semua adalah bentuk cinta palsu, dan cinta semu dari seorang makhluk
terhadap Khaliknya. Padahal semuanya sudah diatur oleh Allah, rezki, maut,
jodoh, dan langkah kita, itu semuanya sudah ada suratannya dari Allah, tinggal
bagi kita mengupayakan untuk menjemputnya. Amat merugi manusia yang hanya
dilelahkan oleh cinta dunia, mengejar cinta makhluk, memburu harta dengan segala
cara, dan enggan menolong orang yang papah. Padahal nasib di akhirat nanti
adalah ditentukan oleh dirinya ketika hidup didunia, Bersungguh-sungguh
mencintai Allah, ataukah terlena oleh dunia yang fana ini. Jika cinta kepada
selain Allah, melebihi cinta pada Allah, merupakan salah satu penyebab do&#8217;a tak
terijabah.
Bagaimana mungkin Allah mengabulkan permintaan seorang hamba yang merintih
menengadah kepada Allah di malam hari, namun ketika siang muncul, dia pun
melakukan maksiat.
Bagaimana mungkin do&#8217;a seorang gadis ingin mendapatkan seorang laki-laki sholeh
terkabulkan, sedang dirinya sendiri belum sholehah.
Bagaimana mungkin do&#8217;a seorang hamba yang mendambakan rumah tangga sakinah,
sedang dirinya masih diliputi oleh keegoisan sebagai pemimpin rumah tangga..
Bagaimana mungkin seorang ibu mendambakan anak-anak yang sholeh, sementara
dirinya disibukkan bekerja di luar rumah sehingga pendidikan anak terabaikan,
dan kasih sayang tak dicurahkan.
Bagaimana mungkin keinginan akan bangsa yang bermartabat dapat terwujud,
sedangkan diri pribadi belum bisa menjadi contoh teladan
Banyak orang mengaku cinta pada Allah dan Allah hendak menguji cintanya itu.
Namun sering orang gagal membuktikan cintanya pada sang Khaliq, karena
disebabkan secuil musibah yang ditimpakan padanya. Yakinlah wahai saudaraku
kesenangan dan kesusahan adalah bentuk kasih sayang dan cinta Allah kepada
hambanya yang beriman&#8230;
Dengan kesusahan, Allah hendak memberikan tarbiyah terhadap ruhiyah kita, agar
kita sadar bahwa kita sebagai makhluk adalah bersifat lemah, kita tidak bisa
berbuat apa-apa kecuali atas izin-Nya. Saat ini tinggal bagi kita membuktikan,
dan berjuang keras untuk memperlihatkan cinta kita pada Allah, agar kita
terhindar dari cinta palsu.
Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan hambanya yang betul-betul berkorban untuk
Allah Untuk membuktikan cinta kita pada Allah, ada beberapa hal yang perlu kita
persiapkan yaitu:
1) Iman yang kuat
2) Ikhlas dalam beramal
3) Mempersiapkan kebaikan Internal dan eksternal. kebaikan internal yaitu
berupaya keras untuk melaksanakan ibadah wajib dan sunah. Seperti qiyamulail,
shaum sunnah, bacaan Al-qur&#8217;an dan haus akan ilmu. Sedangkan kebaikan eksternal
adalah buah dari ibadah yang kita lakukan pada Allah, dengan keistiqamahan
mengaplikasikannya dalam setiap langkah, dan tarikan nafas disepanjang hidup
ini. Dengan demikian InsyaAllah kita akan menggapai cinta dan keridhaan-Nya.
Kiriman : Rahmi Surya Dewi
dewi.rs@pasca.unpad.ac.id

Dipublikasikan tanggal 02/07/2003 10:25 WIB

Cinta Tak TerbalasCinta Tak Terbalaseramuslim - Kadang saya iri melihat


orang-orang di sekeliling saya, disayangi oleh &#8220;seseorang&#8221;. Apalagi di bulan
Februari. Di mana-mana nuansanya Valentine. Saya memang penganut &#8220;tiada pacaran
sebelum akad&#8221;, tapi sebagai manusia kadang timbul juga perasaan ingin
diperhatikan secara istimewa.
Saya tidak pernah tahu rasanya candle light dinner. Pun tidak pernah menerima
bunga mawar merah. Tidak ada yang menawarkan jaketnya saat saya menggigil
kedinginan. Atau berpegangan tangan sambil melihat hujan meteor. (Deuh, Meteor
Garden banget! He..he...)
Yah, mungkin saya bisa merasakan sekilas hal-hal itu kalau saya sudah menikah.
Mungkin. Mudah-mudahan. Tapi sampai saatnya tiba, bagaimana caranya supaya tidak
kotor hati?
Lalu saya pun tersadar, tiga kata cinta yang saya rindukan itu sudah sering saya
dengar. Orang tua saya selalu mengucapkannya. Memanggil saya dengan &#8220;sayang&#8221;
betapapun saya telah menyusahkan dan sering menyakiti mereka. Mungkin mereka
bahkan memanggil saya seperti itu sejak saya belum dilahirkan. Padahal belum
tentu saya jadi anak yang bisa melapangkan mereka ke surga... Belum tentu bisa
jadi kebanggaan... Jangan-jangan hanya jadi beban...
Tatapan cinta itu juga sering saya terima. Dari ibu yang bergadang menjaga saya
yang tengah demam... Dari ayah yang dulu berhenti merokok agar bisa membeli
makanan untuk saya... Dari teman yang beriring-iring menjenguk saya ketika
dirawat di rumah sakit... Dari adik yang memeluk saya ketika bersedih. Dari
sepupu yang berbagi makanan padahal ia juga lapar. Dari orang tua teman yang
bersedia mengantarkan saya pulang larut malam. Betapa seringnya kita tidak
menyadari...
Tidak hanya dari makhluk hidup. Kasih dari ciptaan Allah lainnya juga melimpah.
Matahari yang menyinari dengan hangat. Udara dengan tekanan yang pas. Sampai
cinta dari hal yang mungkin selama ini tidak terpikirkan. Saya pernah membaca
tentang planet Jupiter. Sebagai planet terbesar di tata surya kita, Jupiter yang
gravitasinya amat tinggi, seakan menarik bumi agar tidak tersedot ke arah
matahari. Benda-benda langit yang akan menghantam bumi, juga ditarik oleh
Jupiter. Kita dijaga! (Maaf buat anak astronomi kalau salah, tapi setahu saya
sih kira-kira begitulah)
Di atas segalanya, tentu saja ada cinta Allah yang amat melimpah. Duh... Begitu
banyaknya berbuat dosa, Allah masih berbaik hati membiarkan saya hidup... Masih
membiarkan saya bersujud walau banyak tidak khusyunya. Padahal kalau Ia mau,
mungkin saya pantas-pantas saja langsung dilemparkan ke neraka Jahannam... Coba,
mana ada sih kebutuhan saya yang tidak Allah penuhi. Makanan selalu ada. Saya
disekolahkan sampai tingkat tinggi. Anggota tubuh yang sempurna. Diberi
kesehatan. Diberi kehidupan. Apalagi yang kurang? Tapi tetap saja, berbuat
maksiat, dosa... Malu...
Tentu ada ujian dan kerikil di sepanjang kehidupan ini. Tapi bukankah itu bagian
dari kasih-Nya juga? Bagaimana kita bisa merasakan kenikmatan jika tidak pernah
tahu rasanya kepedihan? Buat saudaraku yang diuji Allah dengan cobaan, yakinlah
bahwa itu cara Allah mencintai kita. Pasti ada hikmahnya. Pasti!
Jadi, selama ini ternyata saya bukan kekurangan cinta. Saya saja yang tidak
pernah menyadarinya. Bahkan saya tenggelam dalam lautan cinta yang begitu murni.

Sekarang pertanyaannya, apa yang telah kita lakukan untuk membalasnya? Kalau
saya, (malu nih..) sepertinya masih sering menyakiti orang lain. Sadar ataupun
tidak sadar. Kalaupun tidak sampai menyakiti, rasanya masih sering tidak peduli
dengan orang. Apalagi pada Allah... Begitu besarnya cinta Allah pada saya dan
saya masih sering menyalahgunakannya. Mata tidak digunakan semestinya... Lisan
kejam dan menyayat-nyayat... Waktu yang terbuang sia-sia...
Kalau sudah seperti ini, rasanya iri saya pada semua hal-hal yang berbau
&#8220;pacaran pra nikah&#8221; hilang sudah. Minimal, berkurang drastislah. Siapa bilang
saya tidak dicintai? Memang tidak ada yang mengantar-antar saya ke mana-mana,
tapi Allah mengawal saya di setiap langkah. Tidak ada candle light dinner, tapi
ada sebuah keluarga hangat yang menemani saya tiap makan malam. Tidak ada surat
cinta, tapi bukankah Allah selalu memastikan kebutuhan saya terpenuhi? Bukankah
itu juga cinta?
Entah cinta yang &#8220;resmi&#8221; itu akan datang di dunia atau tidak. Tapi ingin rasanya
membalas semua cinta yang Allah ridhoi. Tulisan ini bukan untuk curhat nasional.
Yah, siapa tahu ada yang senasib dengan saya J Yuk, kita coba sama-sama. Jangan
sampai ada cinta halal yang tak terbalas... (ariyanti)

Dipublikasikan tanggal 21/04/2003 16:48 WIB

Cobalah Mencintai-NyaCobalah Mencintai-Nyaeramuslim - Cinta mungkin sebuah kata


agung yang paling sering membuat seseorang tergugu di hadapannya. Segala teori
dan argumentasi yang dilontarkan akan lumpuh begitu saja saat kita sendiri yang
mengalami bagaimana hebatnya cinta itu mempengaruhi diri kita. Mungkin sulit
dipahami bagi orang yang sedang tak mencinta, bagaimana rasa cinta itu menjelma
menjadi ratusan ribu pulsa telepon, berlimpahnya waktu untuk menunggu yang
terkasih walau kita sedang dalam deadline ketat, terbuka lebarnya mata
mengerjakan tugas-tugas demi membantu yang tersayang. Bongkahan pengorbanan yang
tak rela dipecahkan&#8230;
Merasakan cinta seperti merasakan hangatnya matahari. Kita selalu merasa
kehangatan itu akan terus menyirami diri. Setiap pagi menanti mentari, tak
pernah terpikirkan akan turun hujan atau badai karena kita percaya semua itu
pasti akan berlalu dan mentari akan kembali, menghangati ujung kaki dan tangan
yang sedikit membeku. Mentari ada di sana, dan dia pasti setia.
Terkadang kita lupa, matahari yang hidup dan mengisi hidup itu adalah hamba dari
Penguasa kehidupan, kehidupan kita, kehidupan matahari. Satu waktu matahari
harus pergi, walau ia tak pernah meminta, walau pinta tak pernah kita ucapkan.
Jadi, ia akan pergi, apapun yang terjadi. Karena ini adalah kehendak-Nya. Segala
yang ada di dunia ini tidak pernah abadi, karenanya ia bisa pergi. Selamanya,
bukan sementara. Inilah dunia. Senang atau tidak, kita hanya bisa terima.
Mungkin kita ingin protes, ingin teriak; betapa tak adilnya! Tapi kita cuma akan
dijawab oleh tebing karang yang bisu, atau lolongan anjing dari kejauhan yang
terdengar mengejek. Mungkin kita kecewa dan ingin mengakhiri hidup. Mungkin kita
begitu ingin memukul, tapi cuma angin yang bisa dikenai. Sekarang coba dulu
lihat, apakah itu mengubah apa pun? Tak ada yang berubah kecuali semakin
dalamnya rasa sakit itu.
Maka ketika kuasa-Nya yang mutlak menjambak cinta sementara kita pada matahari,
kita bisa apa? Karena kita cuma hamba, kita cuma budak! Kita hanya bisa menelan
kepahitan yang kita ciptakan sendiri.
Mungkin yang perlu kita jawab; mengapa kita melabuhkan cinta begitu besarnya
pada manusia? Padahal kita tahu tak ada yang abadi di dunia ini. Mengapa?
Allah menciptakan cinta di antara manusia. Dia yang paling hebat, paling tahu
bagaimana cinta itu, bagaimana mencintai, bagaimana dicintai. Kenapa kita begitu
sok, merasa paling mencintai, merasa paling dicintai, merasa memiliki segalanya
dengan cinta. Padahal cinta itu cuma dari manusia, untuk manusia. Dan suatu hari
cinta itu akan hilang. Mungkin tak cuma pupus, tapi tak berbekas, tak berjejak.
Hanya cinta yang begitukah yang kita inginkan?
Kenapa kita tak mencoba raih matahari cintanya Allah, yang tak pernah tenggelam
dan tak pernah sirna. Tak pernah usang, tak hancur, dan tak akan pernah sia-sia.
Mencintai Allah? Terlalu abstrak, terlalu aneh. Masa&#8217;? Itu karena kita tak
pernah merasa dekat, tak pernah berusaha mendekati-Nya. Allah menjadi asing
karena kita memposisikan Allah sebagai sesuatu yang berada di langit yang tinggi
dan tak mungkinlah kita mencapainya. Jangankan mencintai, membayangkan untuk
mendekatinya saja tak mungkin.
Tahukah kamu, Dia menawarkan cinta-Nya untuk kita. Hebat &#8216;kan? Kita? Manusia
yang hina dina yang berasal dari setetes sperma yang hina? Ditawarkan cinta dari
pembuat cinta? Cck&#8230; ckk&#8230; Apa nggak salah, nih? Kemudian kita malah menolak dan
menjauh? Wah&#8230; wah&#8230; betapa bodohnya ...
Kalau cinta seperti itu tertolak, cinta apa lagi yang kita harapkan? Cinta yang
membawa pada kekecewaan, rasa sakit, atau derita? Cinta yang hanya mekar semusim
lalu luruh tak berbekas, bahkan wanginya. Percayalah&#8230; cinta yang ditawarkan-Nya
tak pernah menguncup, mekar, atau luruh. cinta-Nya abadi, mekar selamanya. Dan
Dia akan memberi kita cinta dari manusia. Mentari itu terus di sana, kapan dan
di manapun kita ingin merasakan hangatnya. Kita punya cinta dari Allah.
Apakah kita tak berniat membalas ketulusan cinta itu?
al Birru
emine_mm@maktoob.com
GIP Depok, 10 Juli 2003
To Irs.H.; Cobalah mencintai-Nya, ya&#8230;
Dipublikasikan tanggal 21/07/2003 09:42 WIB

Hanya Ingin Jadi Orang BaikHanya Ingin Jadi Orang Baikeramuslim - Hari ini aku
lelah fisik dan batin. Seharian tadi aku melangkahkan kaki untuk mencari barisan
kata penyampai fakta. Tak mudah. Aku harus berlari, berkejaran dengan waktu dan
debu. Aku harus berlomba, beradu dengan manusia, sekedar untuk mendapat
rangkaian kalimat yang keluar dari mulut sang pejabat. Sekedar meminta ucapan
dari sekumpulan orang yang mengaku orang baik. Padahal, sejarah memaparkan,
sebagian mereka adalah pembual. Pembual besar.
Kadang aku harus sedikit merayu dan memaksa. Bukan apa-apa, tanpa rayu dan
paksaan, ada narasumberku yang enggan membuka mulutnya. Padahal dari kalimatnya
lah aku mendapat upah. Padahal dari ceritanya lah aku mendapat penghargaan.
Sekedar ucapan, &#8220;berita kamu bagus.&#8221;
Tak jarang aku harus berpura-pura iba, mengumbar senyum dan seolah ikut merasai
mereka yang memikul duka. Padahal kutahu luka mereka bukan sembarang luka. Luka
mereka adalah luka teramat dalam yang tak akan pernah hilang. Luka yang tak
pernah kering oleh panasnya matahari. Luka yang tak pernah bisa diterbangkan
oleh angin.
Namun aku malah memaksanya kembali mengingat dan memaparkan lukanya. Tanpa
hatiku memaknai, merasakan lukanya. Tanpa tanganku menawarkan, melingkarkan
sebuah pelukan, memberikan sedikit rasa nyaman. Lagi-lagi demi sebuah pujian,
demi sebuah kekaguman.
Pernah aku dihadapkan pada pilihan. Saat aku harus memutuskan satu saja dari
dua. Saat kulihat luka menganga disekitarku, aku harus memilih. Mencoba
mengobati luka mereka sesegera atau mendahulukan membuat cerita dari luka itu.
Dan aku memilih mendapat acungan jempol, karena cerita ku memampangkan luka itu.
Seringkali aku memaksa membuka memori mereka. Kenangan yang tak ingin dibuka.
Dan aku memaksanya membuka atau memaksaku membukanya. Tanpa seijin pemiliknya,
tanpa merasai akibatnya. Dan itu demi sebuah cerita. Cerita yang membuatku
dikejar kalimat berbunga.
Waktu lalu, aku juga pernah menjual kata-kata manis. Seolah aku adalah peri yang
bisa membantu si kecil. Padahal tak lain itu adalah bagian dari strategi.
Berpura-pura simpati. Kepura-puraan untuk mulusnya penyusunan sebuah kisah.
Kisah sejati dan mengharukan. Demi tetesan air mata pendengar cerita. Indikator
keberhasilan penyajian cerita duka.
Pernah aku menatap bencana dengan datar. Karena itu bukan bencanaku. Bencana itu
milik tokoh dalam kisahku. Aku hanya sekedar menyampaikan bencana itu dengan
kata-kata haru. Tambahan pemanis disana-sini. Menuntun si tokoh untuk
berekspresi sesuai dengan skenarioku.
Seolah itu adalah fiksi, bukan nyata. Tak perlu dimaknai, tak perlu dihargai.
Hanya dibungkus. Untuk santapan mata dan kuping sekumpulan orang yang dinamakan
penonton. Penonton cerita. Makin banyak mereka, makin baguslah aku.
Tapi, hari ini aku lelah.
Hari ini, aku tiba-tiba saja ingin merenung. Merenungi makna hidupku, merasai
peranku dalam perjalanan sang waktu. Kali ini aku merasa tak lagi berhati. Kali
ini di kepalaku hanya ada obsesi. Obsesi dihargai manusia dan diimbali deretan
angka di rekeningku setiap bulan berganti.
Hari ini aku hanya ingin mengingat. Merindui masa saat aku bercita sederhana.
Menjadi orang baik. Orang yang memberi arti bagi orang lain. Tak pernah melukai,
meski setitik. Tak pernah menyakiti, meski senoktah.
Padahal aku tak pernah ingin berpura-pura dalam hidupku. Aku ingin menjadi aku.
Dengan idealismeku dulu. Menyampaikan apa yang perlu kusampaikan. Tak perlu
menyampaikan kepalsuan. Aku ingin menyampaikan kebenaran. Jika kepalsuan itu
harus disampaikan, semata untuk membuat si palsu terkuak. Aku ingin menjadi
orang baik.
Padahal aku ingin, dengan peranku aku memberi secercah harap. Seberkas asa. Bagi
mereka, Tuhan. Mereka yang dihempas duka, mereka yang terluka, mereka yang
menahan jerit. Meski sekedar uluran tangan. Pelukan seorang saudara. Sekedar
menenangkan. Meski hanya sementara. Menjadi orang baik.
Padahal, dengan peranku, aku bisa tulus berbagi dengan mereka. Membiarkan mereka
membagi luka, memberi sedikit kehangatan. Dengan ikhlasku, dengan kerelaanku.
Sebagai saudara, sebagai teman, sebagai tempat berbagi. Menjadi orang baik.
Padahal dengan peranku, aku tak usah berpura-pura. Aku bisa lebih memaknai
senyumku untuk menghadiahkan sedikit bahagia dihati mereka. Dengan simpati yang
tak lagi palsu. Sebenar-benarnya simpati.
Padahal dengan peranku, dengan kelurusan niatku, aku ingin membuat
cerita-ceritaku bermakna. Membuat kisah-kisah dari tanganku dapat merubah dunia.
Membuat manusia lain lebih merasa dan berterimakasih atas takdir mereka yang
lebih. Membuat mereka berlomba menjadi orang baik.
Padahal dengan peranku, aku bisa mengungkap dusta dan mengusir si durjana.
Dengan keteguhan dan keberanianku, aku bisa menghapus kotoran-kotoran dunia.
Menuntut mereka untuk menjadi orang baik.
Wahai Penguasa Dunia, Penguasa Diriku&#8230;..
Ampuni aku yang telah menutup hati dan mengebalkan rasa. Ampuni aku yang tidak
memaknai peranku. Aku mencintai peranku, Yang Maha Perkasa. Aku ingin lelah
fisik dan batinku memberi arti, hanya bagiMu, Penulis Skenario sesungguhnya,
bukan sekedar kekaguman para ciptaanmu.
Penguasaku, luruskan langkahku. Untuk menjadi ciptaanmu yang tak sia-sia. Yang
tak terlupa oleh kecantikan fana. Yang tak membuat peranku, amanahMu,
mengantarku pada amarahMu. Yang selalu diingatkan untuk menjadi orang baik.
Seperti cita sederhanaku dulu.
Raja Dunia, tetapkan niatku untuk memaknai setiap detik peranku. Merasainya,
menikmatinya, mensyukurinya sebagai sebuah kepercayaan-Mu padaku. Kuatkan aku
untuk melangkahkan kakiku dan menghargai keringatku dengan harapan hanya
balasan-Mu. Menjadi orang baik.
&#8220;Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
padaKu.&#8221; (Adz Dzariyaat:56)
Ami Ruchjat
amiruchjat@yahoo.com
(Rabbku, ingatkan aku selalu untuk tetap menjadi jurnalis sejati)
Dipublikasikan tanggal 25/08/2003 09:36 WIB

<i>Aku Memanggil Kalian...,</i>Aku Memanggil Kalian...,Berkali-kali aku


memanggilnya,
Berkali-kali aku menyebutnya,
Berkali-kali
Berkali-kali
Muhammad,
Ya Muhammad,
Sang Kekasih
Rahasia Cinta
Ruh Kasih
(Emha Ainun Nadjib)
eramuslim - Sahabat, apa kabar semuanya? Mudah-mudahan engkau diberikan limpahan
kasih sayang Nya yang tak berhingga. Aamiin. Saya ingin meminjam waktumu
sebentar. Ada seseorang yang ingin bertutur kepada kita. Ada seseorang yang
ingin mengisahkan selaksa kehidupan yang mungkin sering kita dengar. Beginilah
lantunannya. Simak baik-baik ya&#8230; Mudah-mudahan bermanfaat.
Bismillah, Assalamu&#8217;alaikum&#8230;.
Perkenalkan!
Namaku Bilal. Ayahku bernama Rabah, seorang budak dari Abesinia, oleh karena itu
nama panjangku Bilal Bin Rabah. Aku tidak tahu mengapakah Ayah dan Ibuku sampai
di sini, Makkah. Sebuah tempat yang hanya memiliki benderang matahari, hamparan
sahara dan sedikit pepohonan. Aku seorang budak yang menjadi milik tuannya.
Umayyah, biasa tuan saya itu dipanggil. Seorang bangsawan Quraisy, yang hanya
peduli pada harta dan kefanaan. Setiap jeda, aku harus bersiap kapan saja
dilontarkan perintah. Jika tidak, ada cambuk yang menanti akan mendera bagian
tubuh manapun yang disukainya.
Setiap waktu adalah sama, semua hari juga serupa tak ada bedanya, yakni melayani
majikan dengan sempurna. Hingga suatu hari aku mendengar seseorang menyebutkan
nama Muhammad. Tadinya aku tak peduli, namun kabar yang ku dengar membuatku
selalu memasang telinga baik-baik. Muhammad, mengajarkan agama baru yaitu
menyembah Tuhan yang maha tunggal. Tidak ada tuhan yang lain. Aku tertarik dan
akhirnya, aku bersyahadat diam-diam.
Namun, pada suatu hari majikanku mengetahuinya. Aku sudah tahu kelanjutannya.
Mereka memancangku di atas pasir sahara yang membara. Matahari begitu terik,
seakan belum cukup, sebuah batu besar menindih dada ini. Mereka mengira aku akan
segera menyerah. Haus seketika berkunjung, ingin sekali minum. Aku memintanya
pada salah seorang dari mereka, dan mereka membalasnya dengan lecutan cemeti
berkali-kali. Setiap mereka memintaku mengingkari Muhammad, aku hanya berucap
&#8220;Ahad... ahad&#8221;. Batu diatas dada mengurangi kemampuanku berbicara sempurna.
Hingga suatu saat, seseorang menolongku, Abu Bakar menebusku dengan uang sebesar
yang Umayyah minta. Aku pingsan, tak lagi tahu apa yang terjadi.
Segera setelah sadar, aku dipapah Abu Bakar menuju sebuah tempat tinggal Nabi
Muhammad. Kakiku sakit tak terperi, badanku hampir tak bisa tegak. Ingin sekali
rubuh, namun Abu Bakar terus membimbingku dengan sayang. Tentu saja aku tak
ingin mengecewakannya. Aku harus terus melangkah menjumpai seseorang yang
kemudian ku cinta sampai nafas terakhir terhembus dari raga. Aku tiba di depan
rumahnya. Ada dua sosok disana. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib sepupunya
yang masih sangat muda dan yang di sampingnya adalah dia, Muhammad.
Muhammad, aku memandangnya lekat, tak ingin mata ini berpaling. Ku terpesona,
jatuh cinta, dan merasakan nafas yang tertahan dipangkal tenggorokan. Wajahnya
melebihi rembulan yang menggantung di angkasa pada malam-malam yang sering ku
pandangi saat istirahat menjelang. Matanya jelita menatapku hangat. Badannya
tidak terlalu tinggi tidak juga terlau pendek. Dia adalah seorang yang jika
menoleh maka seluruh badannya juga. Dia menyenyumiku, dan aku semakin mematung,
rasakan sebuah aliran sejuk sambangi semua pori-pori yang baru saja dijilati
cemeti.
Dia bangkit, dan menyongsongku dengan kegembiraan yang nampak sempurna. Bahkan
hampir tidak ku percaya, ada genangan air mata di pelupuk pandangannya. Ali,
saat itu bertanya &#8220;Apakah orang ini menjahati engkau, hingga engkau menangis&#8221;.
&#8220;Tidak, orang ini bukan penjahat, dia adalah seorang yang telah membuat langit
bersuka cita&#8221;, demikian Muhammad menjawab. Dengan kedua tangannya, aku
direngkuhnya, di peluk dan di dekapnya, lama. Aku tidak tahu harus berbuat apa,
yang pasti saat itu aku merasa terbang melayang ringan menjauhi bumi. Belum
pernah aku diperlakukan demikian istimewa.
Selanjutnya aku dijamu begitu ramah oleh semua penghuni rumah. Ku duduk di
sebelah Muhammad, dan karena demikian dekat, ku mampu menghirup wewangi yang
harumnya melebihi aroma kesturi dari tegap raganya. Dan ketika tangan Nabi
menyentuh tangan ini begitu mesra, aku merasakan semua derita yang mendera
sebelum ini seketika terkubur di kedalaman sahara. Sejak saat itu, aku menjadi
sahabat Muhammad.
Kau tidak akan pernah tahu, betapa aku sangat beruntung menjadi salah seorang
sahabatnya. Itu ku syukuri setiap detik yang menari tak henti. Aku Bilal, yang
kini telah merdeka, tak perlu lagi harus berdiri sedangkan tuannya duduk, karena
aku sudah berada di sebuah keakraban yang mempesona. Aku, Bilal budak hitam yang
terbebas, mereguk setiap waktu dengan limpahan kasih sayang Al-Musthafa. Tak
akan ada yang ku inginkan selain hal ini.
Oh iya, aku ingin mengisahkan sebuah pengalaman yang paling membuatku berharga
dan mulia. Inginkah kalian mendengarnya?
Di Yathrib, mesjid, tempat kami, umat Rasulullah beribadah telah berdiri.
Bangunan ini dibangun dengan bahan-bahan sederhana. Sepanjang hari, kami semua
bekerja keras membangunnya dengan cinta, hingga kami tidak pernah merasakan
lelah. Nabi memuji hasil kerja kami, senyumannya selalu mengembang menjumpai
kami. Ia begitu bahagia, hingga selalu menepuk setiap pundak kami sebagai tanda
bahwa ia begitu berterima kasih. Tentu saja kami melambung.
Kami semua berkumpul, meski mesjid telah selesai dibangun, namun terasa masih
ada yang kurang. Ali mengatakan bahwa mesjid membutuhkan penyeru agar semua
muslim dapat mengetahui waktu shalat telah menjelang. Dalam beberapa saat kami
terdiam dan berpandangan. Kemudian beberapa sahabat membicarakan cara terbaik
untuk memanggil orang-orang.
&#8220;Kita dapat menarik bendera&#8221; seseorang memberikan pilihan.
&#8220;Bendera tidak menghasilkan suara, tidak bisa memanggil mereka&#8221;
&#8220;Bagaimana jika sebuah genta?&#8221;
&#8220;Bukankah itu kebiasaan orang Nasrani&#8221;
&#8220;Jika terompet tanduk?&#8221;
&#8220;Itu yang digunakan orang Yahudi, bukan?&#8221;
Semua yang hadir di sana kembali terdiam, tak ada yang merasa puas dengan
pilihan-pilihan yang dibicarakan. Ku lihat Nabi termenung, tak pernah ku
saksikan beliau begitu muram. Biasanya wajah itu seperti matahari di setiap
waktu, bersinar terang. Sampai suatu ketika, adalah Abdullah Bin Zaid dari kaum
Anshar, mendekati Nabi dengan malu-malu. Aku bergeser memberikan tempat
kepadanya, karena ku tahu ia ingin menyampaikan sesuatu kepada Nabi secara
langsung.
&#8220;Wahai, utusan Allah&#8221; suaranya perlahan terdengar. Mesjid hening, semua mata
beralih pada satu titik. Kami memberikan kepadanya kesempatan untuk berbicara.
&#8220;Aku bermimpi, dalam mimpi itu ku dengar suara manusia memanggil kami untuk
berdoa...&#8221; lanjutnya pasti. Dan saat itu, mendung di wajah Rasulullah perlahan
memudar berganti wajah manis berseri-seri. &#8220;Mimpimu berasal dari Allah, kita
seru manusia untuk mendirikan shalat dengan suara manusia juga&#8230;.&#8221;. Begitu nabi
bertutur.
Kami semua sepakat, tapi kemudian kami bertanya-tanya, suara manusia seperti
apa, lelakikah?, anak-anak?, suara lembut?, keras? atau melengking? Aku juga
sibuk memikirkannya. Sampai kurasakan sesuatu diatas bahuku, ada tangan
Al-Musthafa di sana. &#8220;Suara mu Bilal&#8221; ucap Nabi pasti. Nafasku seperti terhenti.

Kau tidak akan pernah tahu, saat itu aku langsung ingin beranjak menghindarinya,
apalagi semua wajah-wajah teduh di dalam mesjid memandangku sepenuh cinta.
&#8220;Subhanallah, saudaraku, betapa bangganya kau mempunyai sesuatu untuk kau
persembahkan kepada Islam&#8221; ku dengar suara Zaid dari belakang. Aku semakin
tertunduk dan merasakan sesuatu bergemuruh di dalam dada. &#8220;Suaramu paling bagus
duhai hamba Allah, gunakanlah&#8221; perintah nabi kembali terdengar. Pujian itu
terdengar tulus. Dan dengan memberanikan diri, ku angkat wajah ini menatap Nabi.
Allah, ada senyuman rembulannya untukku. Aku mengangguk.
Akhirnya, kami semua keluar dari mesjid. Nabi berjalan paling depan, dan bagai
anak kecil aku mengikutinya. &#8220;Naiklah ke sana, dan panggillah mereka di
ketinggian itu&#8221; Nabi mengarahkan telunjuknya ke sebuah atap rumah kepunyaan
wanita dari Banu&#8217;n Najjar, dekat mesjid. Dengan semangat, ku naiki atap itu,
namun sayang kepalaku kosong, aku tidak tahu panggilan seperti apa yang harus ku
kumandangkan. Aku terdiam lama.
Di bawah, ku lihat wajah-wajah menengadah. Wajah-wajah yang memberiku semangat,
menelusupkan banyak harapan. Mereka memandangku, mengharapkan sesuatu keluar
dari bibir ini. Berada diketinggian sering memusingkan kepala, dan ku lihat
wajah-wajah itu tak mengharapkan ku jatuh. Lalu ku cari sosok Nabi, ada Abu
Bakar dan Umar di sampingnya. &#8220;Ya Rasul Allah, apa yang harus ku ucapkan?&#8221;
Aku
memohon petunjuknya. Dan kudengar suaranya yang bening membumbung sampai di
telinga &#8220; Pujilah Allah, ikrarkan Utusan-Nya, Serulah manusia untuk shalat&#8221;. Aku
berpaling dan memikirkannya. Aku memohon kepada Allah untuk membimbing ucapanku.

Kemudian, ku pandangi langit megah tak berpenyangga. Lalu di kedalaman suaraku,


aku berseru :
Allah Maha Besar. Allah Maha Besar
Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah
Aku bersaksi bahwa Muhammad Utusan Allah
Marilah Shalat
Marilah Mencapai Kemenangan
Allah Maha Besar. Allah Maha Besar
Tiada Tuhan Selain Allah.
Ku sudahi lantunan. Aku memandang Nabi, dan kau akan melihat saat itu Purnama
Madinah itu tengah memandangku bahagia. Ku turuni menara, dan aku disongsong
begitu banyak manusia yang berebut memelukku. Dan ketika Nabi berada di hadapan
ku, ia berkata &#8220;Kau Bilal, telah melengkapi Mesjidku&#8221;.
Aku, Bilal, anak seorang budak, berkulit hitam, telah dipercaya menjadi muadzin
pertama, oleh Dia, Muhammad, yang telah mengenyahkan begitu banyak penderitaan
dari kehidupan yang ku tapaki. Engkau tidak akan pernah tahu, mengajak manusia
untuk shalat adalah pekerjaan yang dihargai Nabi begitu tinggi. Aku bersyukur
kepada Allah, telah mengaruniaku suara yang indah. Selanjutnya jika tiba waktu
shalat, maka suaraku akan memenuhi udara-udara Madinah dan Makkah.
Hingga suatu saat,
Manusia yang paling ku cinta itu dijemput Allah dengan kematian terindahnya.
Purnama Madinah tidak akan lagi hadir mengimami kami. Sang penerang telah
kembali. Tahukah kau, betapa berat ini ku tanggung sendirian. Aku seperti
terperosok ke sebuah sumur yang dalam. Aku menangis pedih, namun aku tahu sampai
darah yang keluar dari mata ini, Nabi tak akan pernah kembali. Di pangkuan
Aisyah, Nabi memanggil &#8216;ummatii&#8230; ummatiii&#8217; sebelum nafas terakhirnya
perlahan
hilang. Aku ingat subuh itu, terkakhir nabi memohon maaf kepada para sahabatnya,
mengingatkan kami untuk senantiasa mencintai kalam Ilahi. Kekasih Allah itu juga
mengharapkan kami untuk senantiasa mendirikan shalat. Jika ku kenang lagi, aku
semakin ingin menangis. Aku merindukannya, sungguh, betapa menyakitkan ketika
senggang yang kupunya pun aku tak dapat lagi mendatanginya.
Sejak kematian nabi, aku sudah tak mampu lagi berseru, kedukaan yang amat
membuat ku lemah. Pada kalimat pertama lantunan adzan, aku masih mampu menahan
diri, tetapi ketika sampai pada kalimat Muhammad, aku tak sanggup melafalkannya
dengan sempurna. Adzanku hanya berisi isak tangis belaka. Aku tak sanggup
melafalkan seluruh namanya, &#8216;Muhammad&#8217;. Jangan kau salahkan aku. Aku sudah
berusaha, namun, adzanku bukan lagi seruan. Aku hanya menangis di ketinggian,
mengenang manusia pilihan yang menyayangiku pertama kali. Dan akhirnya para
sahabat memahami kesedihan ini. Mereka tak lagi memintaku untuk berseru.
Sekarang, ingin sekali ku memanggil kalian&#8230; memanggil kalian dengan cinta. Jika
kalian ingin mendengarkan panggilanku, dengarkan aku, akan ada manusia-manusia
pilihan lainnya yang mengumandangkan adzan. Saat itu, anggaplah aku yang
memanggil kalian. Karena, sesungguhnya aku sungguh merindui kalian yang
bersegera mendirikan shalat.
Alhamdulillah kisahku telah sampai, ku sampaikan salam untuk kalian.
Wassalamu&#8217;alaikum
***
Sahabat, jika adzan bergema, kita tahu yang seharusnya kita lakukan. Ada Bilal
yang memanggil. Tidakkah, kita tersanjung dipanggil Bilal. Bersegeralah
menjumpai Allah, hadirkan hatimu dalam shalatmu, dan Allah akan menatapmu
bahagia. Saya jadi teringat sebuah kata mutiara yang dituliskan sahabat saya
pada buku kenangan ketika SD &#8220;Husnul, shalatlah sebelum kamu di shalatkan&#8221;.
Sebuah kalimat yang sarat makna jika direnungkan dalam-dalam.
Husnul Rizka Mubarikah
mahabbah12@yahoo.com
untuk yang baru saja kembali mengarah pada cahaya.

Dipublikasikan tanggal 21/08/2003 11:57 WIB

<i>Khalilie,</i> Yang TersendiriKhalilie, Yang TersendiriJikalah harta akan


menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti ingin dikukuhi sendiri,
Sedang kedermawanan justru akan melipat gandakannya.
(Azimah Rahayu)
eramuslim - Lembah Ar-Ra&#8217;badzah senyap. Deru angin hanya terdengar dari jauh.
Debu-debu menari dikeheningannya. Lengang berkelindan sejak tadi. Sayup
terdengar isak pedih anak manusia. Seorang perempuan ternyata. Kedua kelopak
matanya terlihat lelah, pelupuknya tergenang oleh bening saripati duka. Sungguh
tubuhnya kerontang seperti sahara, berbalut ghamis yang hitamnya telah memudar.
Ia terus berdesis, menahan sedu sedan dalam rongga dada. Sosok yang berbaring di
hadapannya kini bergerak, digapainya tangan perempuan itu lembut. Perlahan
paraunya terdengar &#8220;Istriku, mengapakah engkau menangis, sedang kematian pasti
kan menjelang&#8221;. Sunyi beberapa saat. &#8220;Suamiku, aku tahu engkau sekarat, bukan
hal ini yang membuat lara begitu berat&#8221; nafas sang istri tertahan. &#8220;Aku tidak
mempunyai kain untuk mengkafani engkau&#8221; isak sang istri kembali terdengar.
&#8220;Tenanglah perempuan penyabar, aku pernah mendengar Kekasih Allah bersabda
diantara para sahabat &#8220;Salah seorang dari kalian akan wafat di padang pasir dan
disaksikan oleh beberapa orang mukmin&#8221;, Semua yang duduk disana sudah meninggal,
kecuali si lemah ini. Insya Allah beberapa orang mukmin akan segera datang. Demi
Allah, aku tidak bohong dan tidak dibohongi&#8221; paparnya. Nafasnya satu-satu
terhembus berat. Senyap kembali hinggap.
Benar saja, derap langkah kabilah samar mulai terdengar. Titik-titik hitam dari
kejauhan perlahan mendekat, kepulan debu membumbung. Banyak sosok manusia
mengarah ke tempat itu, mereka adalah kabilah yang dipimpin Abdullah Ibnu Mas&#8217;ud
salah seorang sahabat Nabi yang Mulia. Keharuan menyeruak seketika, mereka
menyadari sosok yang sedang sekarat itu, dialah Abu Dzar Al Ghiffary. Abu Dzar
wafat dalam keheningan, disaksikan beberapa mukmin. Seseorang berujar lirih
&#8220;Rasulullah benar, kamu akan berjalan seorang diri, wafat seorang diri dan
dibangkitkan masih saja seorang diri&#8221;.
Waktu seperti berlari kembali ke masa Rasulullah. Simak baik-baik:
Tabuk. Sebuah tempat yang sangat jauh dari Madinah, di sinilah pasukan Romawi
dengan sekian banyak artileri hebatnya berkumpul, bersiap menyerang perbatasan
tanah Arab sebelah utara. Berita ini tentu saja menggelisahkan sang Nabi.
Rasulullah menyuruh kaum muslimin untuk menahan serangan ganasnya pasukan
Romawi, di tabuk. Itulah mengapa peperangan yang terjadi, digoreskan sejarah
sebagai perang tabuk.
Ketika itu, musim panas belum berakhir. Teriknya menggentarkan setiap manusia
yang akan bepergian merajut sahara. Saat-saat seperti ini membuat semua kepala
harus berfikir berulang kali untuk menempuh lautan pasir yang butiran jelitanya
siap membakar. Maka ketika Rasul pilihan menabuhkan genderang ajakan kepada kaum
Muslimin untuk maju berjihad ke Tabuk sebagai upaya menahan serangan Romawi,
Muslim terbagi menjadi dua golongan. Yang pertama menyambut seruan dengan hati
bersemarak cahaya, sedangkan lainnya berberat langkah, mencari-cari alasan dan
meniupkan kekhawatiran pada para sahabat bahwa pertempuran sungguh akan berat.
Pada saat pemberangkatan pasukan, debu-debu mengepul menari di udara, suara
ringkikan kuda menyambangi setiap telinga. Para wanita Madinah melepas kepergian
mereka dengan tengadah jemari kepada yang Maha Perkasa. Dan, diantara para
pemberani itu, adalah Abu Dzar yang menunggangi seekor keledai tua. Selanjutnya
Rasulullah dan pasukannya semakin jauh berbahtera. Lapar dan dahaga belumlah
seberapa dibandingkan dengan panas bara tandus sahara. Banyak dari para sahabat
yang akhirnya tercecer dibelakang rombongan. Setiap itu pula laporan kepada
Rasulullah menggema: &#8220;Wahai Rasul, Fulan telah tertinggal&#8221;
&#8220;Biarkanlah, andai ia berguna, Allah akan menyusulkannya kepada kita&#8221; ujar Nabi
pendek. Dan barisan terus maju menyusuri lembah demi lembah.
Hingga pada suatu saat, Abu Dzar sedikit demi sedikit juga tertinggal.
Keledainya semakin tak bertenaga melangkah. Di halaunya keledai kuat-kuat, namun
tunggangan itu semakin diam. Akhirnya Abu Dzar pun turun dan memutuskan menyusul
para pemberani dengan berjalan kaki. Ia berlari membelah padang pasir, namun tak
didapatinya rombongan. Ia terus berpacu dengan kerinduan membela Islam bersama
manusia yang dicinta, Al Musthafa. Sungguh sebuah usaha yang tidak mudah,
menelusuri jejak-jejak yang telah terhapus pasir yang diterbangkan angin. Namun,
karena jatuh cintanya kepada gemerlap keridhaan Allah lah yang membuatnya tidak
berhenti. Para sahabat yang menyadari kehilangan Abu Dzar segera melaporkannya
kepada Nabi. Dan jawaban sama seperti semula tetap terlontar.
Hingga akhirnya, usaha Abu Dzar tidak sia-sia. Para sahabat yang melihat titik
hitam bergerak cepat mengarah kepada mereka berseru memberi tahu Nabi. &#8220;Ya Rasul
Allah, ada seorang musafir berjalan seorang diri&#8221;. Rasulullah memandang ke
kejauhan dan berujar gembira &#8220;Mudah-mudahan itu Abu Dzar&#8221;. Benar saja, sesosok
manusia bermandi peluh itu tiada lain adalah Abu Dzar. Banyak dari mereka yang
terpesona, dan menyenandungkan pujian diam-diam. Saat itulah dari bibir manis
kekasih Allah terpetik sebuah sabda: &#8220; Semoga Allah, meluapkan limpahan
rahmatNya kepada Abu Dzar. Ia berjalan seorang diri, meninggal seorang diri dan
dibangkitkan jua seorang diri&#8230;&#8221;.
***
Dari sejarah kita tahu, pada saat mendatangi Makkah, Abu Dzar menghadap Nabi
seorang diri untuk bersyahadat. Dalam lembaran sejarah selanjutnya beliau adalah
salah satu sahabat terdekat dan dimesrai Nabi begitu tinggi. Berbeda dengan
sahabat yang lain, Ia memanggil anggun kekasih Allah dengan sebutan khalilie
(Sahabatku yang akrab), hingga Rasul pilihan juga memanggilnya demikian. Kemilau
kecintaan Abu Dzar kepada Nabi begitu benderang. Kristal kerinduannya kepada
Kekasih Allah selalu saja jelita.
Dalam sebuah riwayat, disebutkan pada sebuah kesempatan Nabi mengajaknya
berjalan-jalan ke luar kota dengan mengendarai unta. Abu Dzar diperintahkan Nabi
untuk duduk dibelakangnya. Berlinang air mata Abu Dzar menerima kehormatan ini,
gemetar menahan haru Abu Dzar menaiki unta dan menurutnya apakah yang paling
membahagiakan selain berdekatan dengan kekasih yang dicinta. Abu Dzar merasa
paling beruntung di seluruh semesta. Berboncengan mereka berkendara, dan
terlihatlah keakraban yang mempesona. Pada saat-saat seperti itu, Abu Dzar
mereguk langsung mata air hikmah dan nasehat yang disabdakan Al-Musthafa. Banyak
kuntum-kuntum pesan yang selalu saja semerbak di hati Abu Dzar, meski Nabi sudah
telah lama wafat. Salah satunya adalah untuk selalu hidup bersahaja dan
mencintai kaum fakir miskin. Itulah mengapa dibeberapa sumber sejarah ia dikenal
sebagai Bapak kaum fakir miskin dan Bapak sosialis Islam.
Pada masa kekhalifahan Ustman, ia beroposisi karena menurutnya pemerintahan saat
itu terlalu royal dengan uang negara untuk kepentingan para penguasa dan
keluarganya. Ia sendirian begitu berani mendengungkan peringatan kepada para
penguasa untuk tidak menumpuk-numpuk harta. Ia selalu terkenang sosok-sosok
penguasa yang dicintanya. Sang purnama Madinah, Rasulullah, pemegang tampuk
kekuasaan tertinggi, wafat dalam keadaan baju besi perangnya masih tergadai. Ia
merindui sosok pemurah dan berhati lembut, Abu Bakar, yang berwasiat untuk
dikafani dengan kain paling sederhana, Siti Aisyah yang memprotesnya mendengar
jawaban indah &#8220;Anakku, kafan hanya untuk nanah dan tanah&#8221;. Dan kenangannya
beralih pada Umar, khalifah kedua ini pernah kulitnya menghitam karena selalu
menyantap minyak zaitun dan sedikit roti sebagai bukti tulus kesayangannya
kepada rakyat.
Abu Dzar Al-Ghiffary memulai usahanya di Syiria yang di Gubernuri Muawiyah bin
Abi Sofyan. Di sana beliau mendengungkan begitu nyaring satu peringatan untuk
para penguasa pencinta kemewahan dunia: &#8220;Beritahukan kepada mereka para penumpuk
emas dan perak, bahwa harta yang mereka banggakan, akan segera menyetrikanya
dalam neraka&#8221;. Perkataan Abu Dzar bergaung dimana-mana. Melihat hal ini,
Muawiyah memprediksikan akan terjadi pemberontakan dari rakyat yang sangat
membahayakan posisinya. Untuk menghindari bahaya ini, Muawiyah menulis surat
kepada Khalifah Ustman. Dan Abu Dzar pun dipanggil pulang ke Madinah.
Di Madinah, Abu Dzar betemu sahabatnya Ustman bin Affan yang menjadi Khalifah
yang dihormatinya. Mereka berdiskusi dalam sebuah suasana yang lengang. Ustman
sangat menyadari bahwa Abu Dzar merupakan seorang yang sangat sederhana dan
bersahaja. Ustman menawarinya untuk tinggal disisinya, seperti dugaan sebelumnya
Abu Dzar dengan tegas menolaknya. Dan selanjutnya Abu Dzar menyatakan
keinginannya yaitu memilih pergi menuju sebuah tempat sunyi. Lembah Ar-Rabadzah.

Melihat perjuangannya membumbungkan Islam ke cakrawala terindah dengan ketajaman


lidahnya al-Musthafa menyanjungnya dengan &#8220;Di bawah langit, tidak akan pernah
muncul orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar&#8221;.
***
Sahabat, ketika dunia begitu enteng engkau dapatkan, kenanglah ksatria ini,
hingga mudah-mudahan engkau dengan mudah melihat ke bawah, para anak yatim yang
terlunta di jalanan, janda-janda tua di Aceh sana, atau mereka yang sudah tak
sanggup lagi menjumpai nasi. Ketika engkau, wahai sahabat, menjadi si beruntung
karena dikaruniai Allah rezeki yang lapang, ingatlah sosok bersahaja Abu Dzar,
hingga mudah-mudahan, kedermawanan menjadi pakaian kemuliaan. Dan mereka yang
tak seberuntung dirimu menyunggingkan senyum kesyukuran atas derma yang kau
ulurkan.
Dan sahabat, semoga Allah yang maha Asih, selalu membimbing hati-hati ini
meneladani denyar cahaya para ksatria. Allahumma Aamiin.

Husnul RM
mahabbah12@yahoo.com
*untuk yang saat ini sedang bertapa :)

Dipublikasikan tanggal 19/08/2003 07:41 WIB

Kado Tercantik (Sepenggal Cerita Sebelum Saat Itu)Kado Tercantik (Sepenggal


Cerita Sebelum Saat Itu)eramuslim - Tak pernah kulihat sebelumnya, kado secantik
ini. Entah dari mana datangnya, aku tak peduli, karena yang pasti kado itu akan
menjadi milikku. Sungguh aku tak bisa bercerita kepada Anda perasaan yang
menderu saat pertama kali ditawari untuk menerima kado tersebut. Seseorang
dengan ikhlas sepenuh hati akan menyerahkannya kepadaku, hari ini.
Melihat bungkusnya yang indah berwarna putih dengan motif bunga-bunga kecil
merah jambu, tak salah penilaianku, kado itu memang teramat cantik. Yang kutahu,
tidak hanya hari ini ianya berbungkus seindah itu, setiap hari, setiap waktu,
selalu terbungkus rapih. Isinya? Jangan pernah tanyakan kepadaku, karena aku,
juga orang lain tak pernah tahu apa dan bagaimana rupa isinya. Jangankan
tersentuh, terlihat pun tak. Terutama oleh orang-orang yang memang terlarang
untuk melihatnya. Seistimewa apakah kado itu? Sehingga tak seorangpun pernah
melihat kado cantik ini? Dan seistimewa apa diriku ini sehingga seseorang
berkenan mempercayakannya kepadaku?
Terbayang dari bungkusnya, yang setiap saat selalu terlihat rapi dan terjaga
dengan baik, yang tak tersentuh kecuali oleh yang berhak menyentuhnya, aku
yakin, isi dan rupa didalamnya, jauh lebih indah dari cantik bungkusnya.
Kumengerti, kalaulah kado itu mampu sedemikian cantiknya terjaga kulit luarnya,
bagaimana lagi aku meragukannya tak senantiasa diperindah rupa dalamnya, juga
inti terdalam dari semua isinya, yang sejujurnya, adalah hal terpenting dari
semua kecantikan sesuatu. Maaf, aku tak bisa mengajak Anda ikut membayangkan
indah rupa isinya, dan kalaupun aku tahu Anda mencoba melakukannya, sebaiknya
Anda berhadapan denganku. Kado tercantik itu milikku, akan kujaga ia dan takkan
kubiarkan orang lain ikut menikmatinya, meskipun sekedar membayangkan.
Ingin sekali kucari pita pembuka kado yang biasanya berwarna merah, agar segera
kusingkap isinya. Tapi satu hal mengganjalku, masih tersisa beberapa saat agar
aku benar-benar mendapatkan izin untuk membukanya. Bahkan, lebih dari itu
(sensor by redaksi). Harus kutunggu pemiliknya, yang menjaganya, dan merawatnya
selama ini benar-benar menyerahkannya kepadaku dalam satu upacara sakral. Kenapa
sedemikian sakral? Sesuatu yang cantik nan suci harus diserahkan dalam koridor
keagungan yang juga suci, itu jawabnya. Tak apalah, sebagai satu jalan untuk
tetap mensucikan diriku, juga kado cantik itu, wajib kujalani upacara sakral
itu.
Aku berjanji, setelah kuterima dalam kharibaanku kado tersebut, akan kujaga,
kurawat, kuperlakukan ianya agar tetap menjadi kado tercantik, terindah,
terbaik, terbagus, selamanya. Sampai tak ada lagi yang membuatku harus melirik
kado-kado diluar yang terkadang hanya bagus dan cantik bungkusnya.
Dan kamu tahu dik, kamulah kado tercantik itu ... (Bayu Gautama)

Dipublikasikan tanggal 18/03/2003 09:24 WIB

Kawan, <i>Pernahkah Seberdosa Ini?</i>Kawan, Pernahkah Seberdosa Ini?Smakin


kutahu
Jika pepohonan dijadikan pena
Dan laut menjadi tinta
Niscaya takkan pernah cukup
Tuk menuliskan semua nikmat-Nya
eramuslim - Lelah. Rasanya terlalu lelah untuk terus berdo&#8217;a kepada Allah. Hari
ini entah sudah kesekian kalinya aku meminta, tapi tak jua Dia mengabulkan
permintaanku. Pekan lalu, saat ku membutuhkan pertolongan Nya, Ia tak segera
mengulurkan tanganNya. Ah, jangankan yang baru-baru ini, puluhan bahkan ratusan
pintaku bulan-bulan sebelumnya, juga tahun sebelumnya, kalau kuingat-ingat,
belum juga terkabulkan.
Tapi, apa salahnya malam ini ku mencoba berdialog kembali dengan Nya, semoga
saja ia mau mendengar. Baru saja kususun jemari ini, belum sempat baris
kata-kata yang sebelumnya sudah kurangkai indah di dalam benakku deras terburai
keluar dari mulutku, mataku menangkap tajam jemariku yang bergerak &#8230;
Astaghfirullaah &#8230; seketika dadaku sesak. Berdegub kencang. Ingin kuhapus
kata-kataku diatas. Tapi sudah terlanjur tumpah. Aku malu telah lancang
kepadaNya dan menihilkan semua yang telah diberikan-Nya.
Sedetik kemudian, seiring dengan menggenangnya air di pelupuk mata ini yang siap
tumpah bagai gelombang yang menunggu perintah menghantam karang, benakku sudah
disesaki dengan jutaan tanya &#8230;
Pernahkah aku meminta kepada Nya untuk memberikan kepadaku jemari yang lengkap
dan indah ini, sehingga aku bisa banyak berbuat dengan kesempurnaan penciptaan
ini. Aku tak pernah meminta sebelumnya agar Ia melengkapi tanganku ini dengan
jemari, aku juga tak pernah berdo&#8217;a untuk berbagai kesempatan hingga detik ini
aku masih bisa menggerakkan, dan menyentuh dengan jemariku ini. Tapi sampai
detik ini, Dia masih memberikannya kepadaku &#8230;
Harus kusentuh lagi beberapa anggota tubuh ini. Kemudian aku berdiri,
subhanallah, aku masih bisa berdiri. Padahal aku tak pernah sebelumnya meminta
agar terus ditetapkan memiliki dua kaki sempurna, tapi Dia masih terus
memberikannya. Kupandangi, ups&#8230; sebelum kulanjutkan &#8230; dengan apa aku
memandang?
Pernahkah aku meminta Dia menganugerahiku sepasang mata indah ini? Sehingga
semua terasa begitu indah untuk dinikmati, semua alam dan lukisan semesta
menjadi penghibur hati dengan adanya dua mata ini. Kuyakin juga &#8211;aku tak pernah
lupa- tak pernah memohon kepada-Nya untuk tetap memberiku dua telinga dengan
fungsi pendengaran yang baik. Tapi kenapa aku masih bisa mendengar?
Test &#8230; test &#8230; satu, satu, dua tiga &#8230;.
Sengaja aku mengetes suaraku. Masih jelas terdengar. Tapi, bukankah Dia
memberikannya begitu saja kepadaku tanpa pernah aku memintanya? Lalu aku
berjalan, Alhamdulillah aku masih bisa berjalan. Keluar kamar, ke ruang tengah,
kulihat masih terlihat sederet makanan di meja makan, kucicipi sepotong tahu.
Enak, ya enak. Tapi kenapa aku masih bisa merasakan nikmatnya sepotong tahu?
Juga segarnya menyeruput sebotol juice buah yang kuambil dalam kulkas? Yang
pasti, tak pernah barisan kata pinta terucap tuk sekedar memohon agar tetap
diberikan kemampuan merasa &#8230;
Kuterus berjalan. Ke kamar mandi. Ada air. Kusentuh segarnya air itu. aah, sejak
kapan aku merasakan kesegaran ini. Mungkinkah ketika terlahir dulu sempat aku
meminta kepadaNya agar dikaruniakan kesegaran macam ini? atau &#8230; hhhhhh, kuhirup
udara malam yang sejuk. Eh, apa pernah aku minta Dia tak menyetop pasokan udara
untukku? Bahkan &#8230; aku masih hidup, aku masih hiduuup (teriakku) &#8230; siapa yang
tahu dan bisa menerka sampai kapan aku masih bisa menikmati hidup. Tapi yang
jelas tak pernah sekalipun keluar dari mulut ini rangkaian kata: &#8220;Tuhan, terima
kasih atas semua nikmat Mu, sampai hari ini.&#8221; (Bayu Gaw)
Masih saja banyak pintaku
Dan air mata itupun tumpah deras membasuh kegersangan jiwa ini &#8230;

Dipublikasikan tanggal 18/07/2003 15:18 WIB

Kehormatan, Jangan Dicari!Kehormatan, Jangan Dicari!eramuslim - Ada sebuah kisah


seorang panglima perang besar kaum muslimin Amru bin Ash yang begitu mulia
hatinya. Saat fajar sebelum berangkat melakukan penyerbuan ke wilayah musuh yang
menentang Islam, para pasukan terheran karena hanya tinggal tenda Sang Panglima
yang masih utuh belum dikemas. Amru Bin Ash mendapati seekor burung betina
bertengger diatas tendanya tengah mengerami telurnya. Karena itu, ia terpaksa
menunda keberangkatan pasukannya. Kejadian tersebut sungguh mengherankan dua
penyusup dari pasukan musuh yang menyamar dalam pasukan kaum mukminin. Padahal
pendelegasian keduanya menyusup itu karena sebelumnya para pembesar dan
masyarakat yang akan diserang mendengar berita tentang kekejaman Panglima Amru
bin Ash beserta pasukannya. Pasukan mukmin tak jadi menyerang wilayah yang
direncanakan tersebut, karena dua penyusup tadi telah mengkhabarkan kepada
penguasa dan masyarakat tentang kemuliaan dan sifat kasih kaum mukminin. Mereka
pun menerima kedatangan Amru bin Ash dan pasukannya dengan tangan terbuka.
Satu kisah menarik tentang kemuliaan Islam dan kaum mukminin yang sepatutnya
direnungkan oleh ummat Islam saat ini. Betapa keterpurukan atau kejayaan Islam,
bergantung pada ummat Islam itu sendiri. Anda tak perlu memalingkan muka ketika
seorang turis &#8216;iseng&#8217; bertanya kepada Anda, &#8220;Kereta api ini kotor sekali?
Bukankah sebagian besar penumpang kereta ini adalah muslim?&#8221; Tidak hanya kereta
api atau angkutan umum lainnya yang tak terjaga kebersihannya, tapi juga semua
sarana umum seperti jembatan penyeberangan, halte, telepon umum, dan (bahkan)
rumah sakit. Telepon umum misalnya, selain tidak bersih dan penuh coretan,
sebagian besar sudah tidak berfungsi dirusak oleh tangan-tangan tak
bertanggungjawab. Memang belum tentu &#8216;orang muslim&#8217; yang melakukannya, tapi
juga
tidak bisa disalahkan jika orang menganggap demikian karena kenyataannya, ummat
Islam memang penghuni terbesar di jagad Indonesia ini.
Fenomena-fenomena aneh kadang membuat kita harus berpikir kenapa sampai terjadi.
Bukan sekedar soal Inul yang didukung habis-habisan oleh banyak pihak dan
ketidakberdayaan Rhoma Irama dan para ulama menentang goyang ngebor penyanyi
asal Pasuruan itu. Masalah Inul ini, jadi cerminan bagi ummat Islam bahwa seolah
kita sama sekali tak memiliki harga diri dan kekuatan untuk menentang
bentuk-bentuk ketidakbenaran. Betapa tidak, karena dalam lingkungan internal
ummat Islam itu sendiri, kita tak bisa banyak berbuat dan mencari solusi.
Misalnya saja, kenapa bisa terjadi seorang jama&#8217;ah kehilangan sandal di Masjid?
Orang bisa saja mengatakan bahwa pencurinya pasti bukanlah salah seorang jama&#8217;ah
masjid itu sendiri karena salah satu tujuan orang melakukan sholat adalah
menjauhkan diri dari perbuatan keji dan munkar. Tetapi ketika orang tak lagi
takut untuk mencuri di suatu tempat suci seperti masjid, adalah hal
memprihatinkan, bahwa suatu saat, orang akan bisa berbuat semaunya di (dalam)
masjid. Meski tidak harus disamakan, ini seperti perumpamaan orang yang berani
mencuri di kantor polisi, sungguh ironi.
Para Pelajar di sekolah yang menyontek saat ujian mata pelajaran agama, mungkin
bisa jadi contoh lain betapa nilai-nilai agama tidak sepenuhnya menjadi baju
yang senantiasa melekat dari diri, sehingga sebagian masyarakat kita belum
benar-benar menghargai agamanya (dan ajaran-ajaran didalamnya) sendiri. Jadi
bukan tidak mungkin, di negara yang mayoritas ummat beragama Islam ini, -berkaca
pada kasus Inul- kebenaran akan teramat mudah diberangus oleh kebatilan. Bahwa
juga, mereka yang mencoba berusaha menegakkan kebenaran akan menanggung resiko
menjadi pesakitan, mendapat teror dari berbagai pihak dan akhirnya harus mengaku
menyerah kalah. Yang menyedihkan, hampir sebagian besar pendukung ketidakbenaran
itu adalah mereka yang mengaku masih beragama Islam, ironi bukan?
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika sebagai muslim Anda akan risih dan
merasa malu (seolah Islam tidak memiliki harga diri) menyaksikan hampir di
setiap kendaraan umum orang-orang berpeci dan berjilbab lusuh menyodorkan amplop
atau tromol pembangunan masjid atau yayasan yatim piatu tertentu. Pertanyaannya,
apakah lembaga Badan Zakat Infaq Shodaqoh (BAZIS) yang dibentuk pemerintah sudah
tidak lagi dipercayai memegang amanah mengumpulkan infaq atau memang
masyarakatnya sendiri yang mulai berat untuk sekedar mengulurkan tangan sehingga
harus ada yang menjemput infaq mereka dengan tromol dan amplop? Padahal praktek
semacam ini pun, bukan rahasia lagi sangat mungkin dimanfaatkan oleh oknum-oknum
yang ingin mencari kekayaan dari sisa-sisa kebaikan masyarakat kita.
Rasulullah Saw tidak pernah mengajarkan kita untuk mencari-cari kehormatan, atau
memaksa orang lain untuk memberikan penghormatannya. Karena yang beliau
contohkan adalah, menghargai dan menghormati diri sendiri, maka dengan
sendirinya, orang lain, ummat lain akan menghargai dan menghormati kita dengan
utuh. Hal demikian dibuktikan langsung oleh beliau dalam kisah pemindahan Hajar
Aswad. Semua pembesar kaum Quraisy dari berbagai kabilah pada saat itu merasa
paling berhak mendapatkan kehormatan memindahkan Hajar Aswad ke tempat semula,
sehingga sempat terjadi perselisihan. Namun akhrnya, disepakati bahwa yang
datang paling pagi keesokan hari di tempat tersebutlah yang berhak dan
mendapatkan kehormatan tersebut. Keesokan paginya, ternyata semua orang
mendapati pemuda Muhammad tiba lebih awal di tempat tersebut dan berhak
memindahkan Hajar Aswad. Namun bukan Muhammad jika tak bersikap bijaksana, dia
ulurkan sorbannya dan meletakkan Hajar Aswad diatasnya, lalu Muhammad meminta
empat pemimpin kabilah saat itu memegang masing-masing ujung sorban. Akhirnya,
semua pembesar kabilah kaum Quraisy itu merasa puas dan senang karena
mendapatkan kehormatan yang sama.
Kisah tersebut, tentu memberikan hikmah penting bagi kita ummat Rasulullah,
bahwa kehormatan bukan dicari seperti halnya orang yang menunaikan ibadah haji
karena hendak mendapat gelar haji dan dipanggil &#8220;Pak Haji&#8221;. Tetapi nilai-nilai
seperti kesabaran dan pengorbanan yang didapat dari ibadah haji-lah yang
mestinya tersemat dalam diri seorang muslim, sehingga orang akan menghormatinya
bukan sebagai &#8220;Pak Haji&#8221; melainkan sebagai orang yang didalam dirinya terpatri
nilai ibadah haji. Contoh ini juga berlaku dalam hal apapun di masyarakat kita,
hanya dengan menghargai dan menghormati ajaran-ajaran agama sendiri, orang lain
akan menghormati kita tanpa diminta. Wallaahu &#8216;a&#8217;alam bishshowaab (Bayu
Gautama)

Dipublikasikan tanggal 08/07/2003 07:46 WIB

Kenapa Tidak Minta Yang Terbaik?Kenapa Tidak Minta Yang Terbaik?eramuslim -


Manusia memang tidak pernah luput dari yang namanya &#8220;menyesal&#8221;. Setelah
menyesal, barulah dia merasa sedih dan memohon ampun pada Sang Khalik. Memang
seperti itulah kodratnya. Tetapi bagi hamba yang telah mencapai titik keimanan
yang lebih, tentunya ia tidak akan mengalami hal seperti diatas, dia akan pasrah
kepada-Nya, dan menerima semua keputusan-Nya dengan lapang dada, sehingga tidak
tampak penyesalan di wajahnya.
Manusia memang diberi nafsu oleh Allah Swt. Jika nafsu itu bisa dikelola dengan
baik, artinya apa yang diinginkannya semata-mata adalah untuk mencapai
keridhoan-Nya, maka apapun hasilnya, insya Allah, akan menyenangkan. Lain halnya
jika manusia bernafsu akan suatu hal, tetapi ia tidak mengelolanya dengan baik,
maka hasil apapun yang diberi Allah dianggapnya sebagai suatu tanda bahwa Allah
tidak sayang lagi padanya.
Manusia hanya manusia pemikir, begitu kata teman saya, semuanya akan kembali
kepada Allah juga. Ketika usaha sudah kita lakukan dengan segenap kemampuan
kita, sudah sepatutnya semua hasilnya pun kita serahkan pada Allah, tidak lantas
memaksa Allah untuk mengabulkan apa maunya kita sendiri. Allah Maha Tahu
segalanya, apa yang ada di hati kita Dia tahu, apa yang terbaik untuk kita jelas
Dia sangat tahu. Kenapa masih saja kita memaksakan suatu keinginan kepada-Nya?
Seringkali kita baca ayat yang menyebutkan bahwa, apa yang baik menurut kita
belum tentu baik menurut Allah, dan apa yang buruk menurut kita belum tentu
buruk menurut Allah, tapi kenapa pula kita seringkali tidak merealisasikan ayat
tersebut?
Banyak rahasia Allah yang tidak kita ketahui, mungkin dibalik apa yang buruk
menurut kita, Allah menyimpan suatu keberhasilan untuk kita di kemudian hari.
Atau sebaliknya, mungkin dibalik apa yang baik menurut kita tersimpan suatu
kegagalan di hari depan, sehingga tidak Ia kabulkan apa yang kita minta
tersebut.
Sudah sepantasnya kita ber-husnudzon kepada Allah. Tidak berat rasanya di setiap
do&#8217;a kita meminta Allah memberikan yang terbaik untuk hari depan kita, beratkah
mengucapkan sebaris kata-kata itu? Mungkin berat karena hati kita masih dikuasai
oleh nafsu. Nafsu yang menyelimuti hati punya porsi lebih besar dari kepasrahan
kita kepada-Nya. Coba kita latih untuk bisa mengucapkan kalimat itu di
hadapan-Nya, setiap kita berdo&#8217;a. Jika kita sudah mampu mengatakannya, insya
Allah, hati kita telah pasrah kepada-Nya dan insya Allah hasil apapun yang Allah
berikan akan dapat kita terima dengan ikhlas dan lapang dada. Allah pun, insya
Allah, akan memberikan pahala buat kita. Amiin.
Berdo&#8217;a apa saja memang Allah anjurkan, asalkan itu adalah kebaikan. Tapi tidak
ada salahnya jika di setiap akhir do&#8217;a kita sisipkan kata-kata itu, sehingga
hati lebih tentram. Saya yakin hasil apa pun yang akan Allah berikan akan dapat
kita terima dengan ikhlas dan menjalaninya pun akan dengan senang hati.
Mulailah untuk dapat meminta yang terbaik kepada Allah, jangan sampai kita
terbelenggu oleh nafsu kita sendiri. Ingat, Allah Maha Tahu dan akan memberi
yang terbaik untuk hamba-Nya yang beriman. Wallahu&#8217;alam bishowab.
Terimakasih ya Allah, hamba tahu inilah yang terbaik untuk hamba.
Azkia_Salsabila
Boneka_kecil@eramuslim.com

Dipublikasikan tanggal 06/08/2003 08:30 WIB

Ketika Akhirnya Saat Memutuskan Itu Tiba ...Ketika Akhirnya Saat Memutuskan Itu
Tiba ...eramuslim - Ketika akhirnya saat memutuskan itu tiba&#8230; Aku tahu aku
kehabisan cara untuk mencari-cari alasan, hal yang selalu aku lakukan saat
berhadapan dengan kata: menikah. Bayangan tentang sosok seorang pria yang akan
selalu ada disampingku selama aku ada di dunia, seseorang yang akan jadi orang
yang paling tahu tentang diriku, bahkan lebih dari ibuku. Lalu aku merasa akan
tertelanjangi luar dalam. Rasa ini yang mungkin pernah membuatku ragu untuk
segera menikah.
Aku memang seorang perempuan yang tak ingin merasa terikat. Aku selalu
membayangkan diriku seekor kijang yang berlari dengan bebasnya di dalam rimba
raya tanpa ada siapapun dan apapun yang membuat kaki lincahnya berhenti
melompat. Kenikmatan dalam melakukan keinginan-keinginanku nampaknya membuatku
begitu segan memiliki seseorang yang aku pikir bisa membuat langkahku terseret.
Sementara rimba ini begitu luas dan aku cuma ada ditepian sebuah danau saja. Aku
masih ingin melakukan apa pun kemanapun sesuai keinginan. Menikmati hidangan
Allah di alam ini. Tak peduli apa yang orang katakan, tak peduli apa yang orang
inginkan denganku. Aku merasa paling berhak dengan kehidupanku. Sosok suami bisa
menjadi hambatan bagi kemajuan seorang perempuan karena ia dituntut untuk patuh
pada suaminya. Mungkin itu gambaran yang sedikit banyak mempengaruhi pikiranku.
Belum lagi ketika harus hadir seorang anak.
Namun kini ketika tiba-tiba ada sebentuk cinta sederhana yang ditawarkan
kepadaku, aku termanggu. Tak bisa aku berkata. Tulus, apa adanya. Segala teori
dan argumentasiku membisu. Tiba-tiba ada rasa aneh yang mengelus rasaku, dan aku
tahu itu kerinduan. Rasa ingin dilindungi, rasa nyamannya berteduh. Rasa ingin
disayangi, ingin menjadi orang yang istimewa untuk seseorang, ingin merasakan
indahnya berkorban, bahagianya memberi. Bagaimana rasanya dipaksa untuk memahami
orang lain hingga keterpaksaan itu bermuara pada keikhlasan. Ingin mencoba
memaknai kepatuhan dari sudut pandang Allah, merasakan apa maksud Allah menyuruh
seorang istri patuh pada suaminya.
Rasa ini menjelma menjadi sujud-sujud panjang yang basah di tengah sunyinya
malam. Begitu lama aku belum lagi merasakan kemesraan berkhalwat dengan-Nya.
Entah mengapa hadirnya nama seorang pria membuatku ingin sekali lagi memeluk
Allah dan berbisik; Tuhan, diakah cinta dari-Mu? Allah&#8230; benarkah ini?...
Ditawarkan sebuah cinta dari hamba-Nya, aku malah berlari mengejar kasih-Nya.
Malam-malam sunyi yang biasanya membuaiku kini aku terangi dengan rakaat-rakaat
panjang diakhiri bisikan basah yang jatuh di tanganku. Memohon ilmu-Nya yang
menyamudra memilihkan yang terbaik untukku. Menyerahkan jiwa ragaku dalam
tangan-Nya. Meluaskan hati ini untuk cinta-Nya. Aku benar-benar merasa jatuh
cinta pada-Nya. Duhai&#8230; apakah ini?... Hadirnya pria itu membuatku begitu dekat
dengan Allah. Inikah jawabannya, Kekasih?...
Kebersamaanku dengan Allah menuaikan keyakinan dalam diriku. Dia seperti
membisikkan entah dengan apa, tapi aku merasa yakin ini benar, bahwa inilah
jalan kebaikan yang Allah bukakan untukku. Pintu ini dan saat ini.
Maka ketika Allah telah membuka pintu-Nya untukku, seberapa hebatkah diriku
menolak untuk melangkah ke dalamnya? Mungkin aku tak tahu apa yang akan aku
hadapi saat melewati teras rumah-Nya, tapi aku tahu Dia ada bersamaku, di dalam
diriku.
Dan aku akan punya seseorang yang akan selalu menggandeng tangan dan menguatkan
langkahku, menuju diri-Mu, Allah&#8230;
Dipublikasikan tanggal 25/07/2003 10:11 WIB

Kotak Surat Malaikat

Kotak Surat Malaikat


Publikasi 29/09/2003 10:29 WIB
eramuslim - Sekali lagi, aku mendapat kesempatan untuk menangani satu
kelas di sekolah musim liburan anak-anak jalanan di Kota Kembang, Bandung.
Seorang teman memintaku untuk bergabung dan menangani satu kelas karena
dua alasan, ia tahu aku memiliki tidak sedikit pengalaman mengelola kelas
di berbagai pelatihan, dan satu lagi, salah seorang tenaga pengajar di
sekolah tersebut absen untuk musim liburan kali ini.
Mengelola kelas anak jalanan, dari mulai pengemis, pedagang asongan,
tukang semir, pengamen, dan bahkan anak-anak yang tidak mengerti bahwa
mereka dieksploitasi untuk melakukan tindak kejahatan, meski bukan hal
biasa, tapi juga bukan yang pertama bagiku. Ya, satu setengah tahun yang
lalu, di kota yang berbeda, pernah bahkan setiap akhir pekan bersama
dengan beberapa rekan LSM menangani sekolah gratis anak jalanan, selama
hampir tiga bulan. Namun yang membuatku terkejut begitu memasuki kelas,
adalah usia rata-rata yang masuk dalam daftar kelas itu memaksaku sedikit
membelalakkan mata. Untuk beberapa menit, tak satu katapun keluar dari
mulutku setelah sekilas menangkap mata-mata jernih dan penuh tanya yang
menatap kehadiranku. Usia rata-rata mereka tak lebih dari tujuh tahun,
terdiri dari hanya belasan anak.
“Jangan kaget masuk kelas istimewa itu” temanku mengingatkan sebelum kami
memasuki kelas masing-masing. Jadi, inikah yang dimaksud kelas istimewa?
Belasan anak bernasib kurang beruntung yang semestinya di usia seperti
mereka, masih bermanja-manja dengan kedua orang tua mereka. Tetapi hidup
yang mereka jalani menghadirkan mereka di bising kota, deru kendaraan dan
lalu lalang pejalan kaki. Merah, hijau dan kuning traffic light seolah
menjadi lampu start mereka berhamburan menyerbu bis kota, atau mobil-mobil
pribadi untuk mengayunkan krecek dan menyanyikan lagu-lagu yang tak
semuanya terhapal dengan baik. Sebagian lain menjajakan rokok, permen
serta tissue dari satu bis ke bis kota yang lain, tak peduli beberapa
teman mereka yang lain pernah terpelanting dari atas bis ketika hendak
turun dari sebuah bis bertepatan dengan nyala lampu hijau.
Tak mengherankan, kerasnya kota dan bising jalanan membentuk
pribadi-pribadi lembut itu menjadi sosok yang keras, tak teratur, dan
terkesan liar. Padahal anak-anak sebayanya, pasti nampak menyenangkan
untuk dilihat, didekati, dan diajak bercengkerama, karena lebih sopan dan
lembut, bisa diatur, dan aroma yang jelas lebih bersahabat. Tapi nyatanya,
di hari pertama, aku berdiri di depan mereka seperti orang yang salah
kostum. Kemeja putih bersih dengan aroma Bvlgari for men yang menyegarkan.
Akibatnya, satu persatu bergantian mereka mendekat hanya untuk menghirup
aromaku dan kembali, beberapa menit kemudian hal itu mereka lakukan.
Senang? Tentu tidak. Aku merasa mereka menerimaku hanya karena aroma itu,
bukan diriku yang seutuhnya.
Hari kedua dan berikutnya, aku sedikit membenahi penampilanku agar tidak
ada perbedaan yang mencolok. Aku pernah membaca sebuah buku, untuk bisa
diterima di sebuah komunitas, jika perlu seseorang mesti meminimalisir
perbedaan dengan komunitas tersebut sehingga dirasakannya seseorang yang
baru hadir itu juga bagian dari komunitas. Kemudian hal itu kuartikan,
setidaknya, untuk menyeragamkan penampilanku agar tidak terlihat
perbedaan.
Banyak hal yang tak terduga dalam menangani kelas ini, bisa dibayangkan,
aku baru bertemu mereka sejak hari pertama, tak satupun yang kutahu
karakter dan tingkah laku masing-masing. Begitu juga Sissy, asisten
pengajar yang bersamanya aku bahu membahu menangani kelas tersebut.
Sehingga dua pekan pertama kami habiskan untuk mengenal karakter, sikap
dan tingkah laku masing-masing. Ini sejalan dengan materi yang diamanahkan
kepada kami, Budi Pekerti.
Dua pekan yang mengagumkan, bisa langsung berinteraksi dengan segala
kebandelan (sengaja tak menggunakan kata ‘nakal’ untuk menggambarkan
perilaku mereka), tata tertib yang dibuat hanya diingat di hari pertama
karena hingga hari terakhir pekan ketiga, tak satupun ketertiban dipatuhi.
Memberikan sanksi kepada anak-anak itu, tentu bukan hal tepat. Materi
‘Budi Pekerti’ yang tergetnya agar anak-anak itu bisa bersikap lebih manis
setelah selesai program kelas yang hanya satu bulan ini, nampaknya harus
kami kubur dalam-dalam. Hampir saja kami putus asa sebelum, Dani, tukang
koran berusia enam setengah tahun bertanya polos, “Kak, pernah nggak liat
malaikat? Katanya di dalam dada kita ada malaikat…”
Satu pertanyaan yang tak bisa kujawab dengan sempurna. Namun melahirkan
satu ide yang ‘menyelamatkan’ kami dari kegagalan merubah –meski sedikit-
perilaku mereka.
Hari pertama di pekan terakhir, aku bercerita tentang malaikat yang selalu
mengirimkan surat untuk anak-anak yang berperilaku baik di setiap hari.
Sebelumnya, aku merayu Sissy untuk mau berdandan seperti malaikat, dan
jadilah Sissy, malaikat cantik sepanjang pekan terakhir itu, berjubah
putih panjang, lengkap dengan tongkat berujung bintang di lengan kanan,
serta sebuah kotak surat di kiri.
Sebelum pulang, setelah makan siang dan sholat dzuhur, di depan kelas, aku
membagikan kertas-kertas ukuran setengah kwarto yang sudah dipotong-potong
kepada anak-anak itu. Mereka diminta untuk menulis tentang kebaikan apapun
yang dilakukan oleh teman mereka sepanjang hari itu. Jika menurut mereka
terdapat lebih dari satu teman yang melakukan hal baik, ia boleh menambah
kertas lain untuk ditujukan buat teman yang lain itu. Setelah semua
selesai menuliskan, mereka lalu memasukkannya ke kotak surat milik
malaikat cantik. Ketentuannya, mereka hanya boleh menuliskan nama teman
yang dituju tanpa perlu mencatatkan nama mereka sebagai pengirim.
Sore, setelah semua anak-anak itu kembali ke dunianya masing-masing, aku
dan Sissy masih punya tugas lain, membicarakan perkembangan anak-anak,
efektifitas metode pembelajaran, dan satu tugas baru, membaca satu persatu
surat mereka. Terdapat puluhan surat di hari pertama, diantaranya, untuk
Yanti, gadis kecil yang hari itu rambutnya lebih rapih dari hari-hari
sebelumnya. Surat lain, untuk Dodo, karena tak membuang ludah sembarangan
di dalam kelas. Ada surat untuk Dini, yang hari itu tak menangis. Dini
adalah anak paling cengeng dan tak melewatkan satupun harinya di program
ini dengan menangis. Ada beberapa anak yang tak mendapat surat, seperti
Kholik yang masih terus senang memukul teman-temannya, atau juga zaenudin
yang tak henti membuat kebisingan dengan ukulele-nya.
Begitu seterusnya, di hari selanjutnya di pekan terakhir itu, surat demi
surat masuk ke dalam kotak untuk dibagikan keesokan harinya. Kami bisa
menyaksikan kebanggaan anak-anak yang mendapatkan surat dari malaikat.
Kami tanamkan satu keyakinan, semakin banyak mendapatkan surat berarti ia
semakin baik di mata malaikat dan Tuhan. Sehingga hari demi hari, semakin
sering kami dapati perkembangan mengagumkan dari perilaku mereka. Meski
berbeda rasa bangga yang diperlihatkan, di hari terakhir semua anak di
kelas itu memegang surat-surat catatan kebaikan dari malaikat. Khalik,
meski cuma satu surat yang didapatnya, seulas senyum mampir di mata kami
yang mulai tergenangi sebulir air. Kupeluk satu persatu mereka di hari
perpisahan yang mengharukan itu. (Bayu Gaw)
To: Malaikat Cantik. Dimana kini dirimu?

Anda mungkin juga menyukai