Tapi Mama tetap tak bisa membantuku. Jangankan untuk mengambilkanku bintang-bintang,
sekedar duduk bersama di belakang rumah, merasai sentuhan angin yang lembut, dan menyapa
kedamaian malam, serta tersenyum membalas lambaian sang bulan pun, mama tak kuat. Hingga
malam berakhir, aku masih kecewa. Malam itu bahkan aku tak mau makan, hingga mama yang
sedang sakitpun harus memaksakan diri tetap menyenandungkan nyanyian cinta pengantar tidur.
Untuk yang ini pun yang aku tahu, adalah juga kewajiban orangtua, menyanyikan lagu pengantar
tidur.
Esok harinya aku demam. Karena semalaman tidak mau makan setelah beberapa jam di belakang
rumah; bermain-main; dengan bintang-bintang. Meski sedikit cemas, mama tak pernah panik.
Sentuhan hangat mama, membaluri ramuan khusus ke seluruh tubuh kecil ini. Dua hari sudah, tak
kunjung sembuh demamku. Padahal mama sudah membawaku ke dokter.
Mama semakin panik. Panasku meninggi dan sering mengigau. Tetapi justru disaat mengigau itulah
mama tahu obat terbaik untuk menyembuhkanku. (sampai disini, aku masih beranggapan,
mencarikan obat, menyembuhkan anak, adalah sekedar kewajiban orangtua);
Aku tidak tahu apa yang mama perbuat. Setelah terlelap beberapa jam, aku terbangun, dan aku
terkejut, hampir tak percaya apa yang kutatap di langit-langit kamarku. Bintang-bintang; mama
membuatkanku bintang-bintang dari kertas berwarna metalik, banyak sekali, puluhan, entah,
mungkin ratusan.
Sebagiannya digantung sebagian lagi dibiarkan berserakan di tempat tidur dan lantai kamar.
Kuciumi mama karena telah membawakan bintang-bintang dari langit itu ke rumah. Dan mama
benar, kulihat di masing-masing bintang itu ada namanya, salah satunya, ada bintang yang paling
bagus dan paling besar, diberinya namaku.
***
Anak mama yang dulu kerap memandangi bintang itu, kini sudah dewasa. Sudah hidup mandiri.
Tapi aku tetap anak mama. Kemarin, kutelepon mama mengabariku bahwa aku sedang tidak sehat
dan tidak masuk kantor. Beberapa jam kemudian, diantar papa dan salah seorang adikku, mama
datang. Aku memang tetap bintangnya mama, dibiarkannya kepalaku bersandar dipeluknya,
kurasakan kembali kehangatan itu. hingga aku tertidur.
Sore, mama hendak pulang. Sebenarnya aku ingin sekali menahannya untuk tinggal beberapa hari,
tapi adikku berbisik, Waktu abang telepon, mama sebenarnya sedang sakit;
Ada setitik air disudut mata ini. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Kini, sekali lagi kusadari.
Semua yang dilakukan mama untukku, bukanlah kewajiban. Itulah yang disebut cinta, cinta abadi.
Cinta yang takkan pernah bisa aku membalasnya. Dan mama adalah bintang sesungguhnya bagiku.
(Bayu Gawtama)
Bidadari Surga Itu ...Bidadari Surga Itu ...eramuslim - Menjelang perang Uhud
dimulai, ia bersama suaminya, Zaid bin Ashim dan kedua anaknya, Habib dan
Abdullah keluar ke bukit Uhud. Lalu Rasulullah saw bersabda kepada mereka,
"Semoga Allah memberikan berkah kepadamu semua." Setelah itu wanita bidadari
perang uhud itu berkata kepada beliau, "Berdo'alah kepada Allah semoga kami
dapat menemani engkau di surga kelak, ya Rasulullah!" Lalu Nabi saw berdo'a, "Ya
Allah jadikanlah mereka itu teman-temanku di Surga." Maka wanita itupun berkata
lantang, "Aku tidak akan mempedulikan persoalan dunia menimpa diriku."
Dialah Ummu Amarah yang dikenal dengan nama Nusaibah bin Ka'ab Al Maziniay yang
menjadi bidadari surga karena perannya membela Rasulullah saat pasukan muslimin
terdesak pada perang Uhud. Bersama Mush'ab bin Umair -yang kemudian menemui
syahid setelah mendapatkan puluhan tusukan di tubuhnya- Nusaibah menghadang
Qam'ah, orang yang dipersiapkan membunuh Rasulullah dalam perang tersebut.
Nusaibah sendiri harus menderita dengan dua belas tusukan dan salah satunya
mengenai lehernya.
Kata-kata Nusaibah "Aku tidak akan mempedulikan persoalan dunia menimpa diriku"
setelah ia mendapati Rasulullah mendoa'kan dirinya dan keluarganya menjadi
teman-teman Rasul di surga, terdengar begitu tegar dengan kesan yang amat
mendalam. Mungkin karena ketidakpeduliannya terhadap urusan dunia dengan segala
apa yang bakal menimpanya itulah yang kemudian menjadikannya salah seorang
bidadari di surga.
Kini, 15 abad setelah Nusaibah tiada, masihkah ada diantara kita yang berani
dengan lantang dan mantap mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkan Nusaibah.
Masihkah ada diantara kita yang tidak mempedulikan persoalan dunia dan apapun
yang dikehendaki Allah selama kita di dunia menimpa diri ini. Mungkin ada, tapi
entah dimana dan siapa.
Kalaupun ada, yang jelas dia adalah Nusaibah-Nusaibah abad modern. Kalaupun ada
juga, ia tentu tidak akan bersaksi bahwa dialah orangnya, karena seperti
Nusaibah bin Ka'ab, ia tidak pernah bersaksi bahwa ia adalah pembela Rasulullah
dan agama Allah, melainkan Rasulullah lah yang memberikan kesaksian, "Tidaklah
aku menoleh ke kanan dan ke kiri pada peperangan Uhud melainkan aku melihat
Nusaibah (Ummu Amarah) berperang membelaku." (Al Ishabah).
Dimana Nusaibah kini, yang siap menyerahkan seluruh hidupnya untuk membela Allah
dan Rasul-Nya, yang menjadikan seluruh anggota keluarga adalah mujahid pejuang
Allah, yang lebih mengutamakan indahnya surga Allah daripada
kenikmatan-kenikmatan dunia yang sesaat dan serba semu, yang tidak pernah
khawatir dan merasa takut tidak mendapatkan kesenangan di dunia, karena
dimatanya, kesenangan menjadi teman Rasulullah di Surga menjadi keutamaannya.
Dimana Nusaibah kini, yang Allah dengan segala janjinya lebih ia yakini dari
segala kepentingan dan urusan dunianya, yang menikah dengan suami yang juga siap
menyerahkan hidupnya untuk Allah semata, yang siap menjadikan anak-anaknya
tameng Rasulullah di setiap medan perang.
Bisa jadi, bila ada Nusaibah kini, ia akan siap kehilangan segala kenikmatan
dunianya, ia rela menjual kesenangan dunianya untuk harga yang lebih mahal,
yakni surga Allah. Ia tak pernah bersedih, murung ataupun marah akan setiap
ketentuan Allah atas dirinya, ia percaya bahwa Allah akan bersikap adil dengan
segala kehendaknya atas setiap manusia, ia begitu yakin, jika tidak ia dapatkan
kenikmatan dunia dengan segala perhiasannya, pasti ia akan mendapatkan yang jauh
lebih indah kelak sebagai balasan dari amal dan kesabarannya menerima semua
ketentuan-Nya. Tapi, dimanakah Nusaibah kini? Wallahu a'lam bishshowaab (Bayu
Gautama)
Dipublikasikan tanggal 06/03/2002 08:57 WIB
Cinta Palsu, Do’a Tak TerijabahCinta Palsu, Do’a Tak Terijabaheramuslim - Kata
pujangga cinta letaknya di hati. Meskipun tersembunyi, namun getarannya tampak
sekali. Ia mampu mempengaruhi pikiran sekaligus mengendalikan tindakan. Sungguh,
Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi
bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan
kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan
batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta
membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dasyatnya cinta (Jalaluddin Rumi).
Namun hati-hati juga dengan cinta, karena cinta juga dapat membuat orang sehat
menjadi sakit, orang gemuk menjadi kurus, orang normal menjadi gila, orang kaya
menjadi miskin, raja menjadi budak, jika cintanya itu disambut oleh para pecinta
palsu. Cinta yang tidak dilandasi kepada Allah. Itulah para pecinta dunia, harta
dan wanita. Dia lupa akan cinta Allah, cinta yang begitu agung, cinta yang
murni.
Cinta Allah cinta yang tak bertepi. Jikalau sudah mendapatkan cinta-Nya, dan
manisnya bercinta dengan Allah, tak ada lagi keluhan, tak ada lagi tubuh lesu,
tak ada tatapan kuyu. Yang ada adalah tatapan optimis menghadapi segala cobaan,
dan rintangan dalam hidup ini. Tubuh yang kuat dalam beribadah dan melangkah
menggapai cita-cita tertinggi yakni syahid di jalan-Nya.
Tak jarang orang mengaku mencintai Allah, dan sering orang mengatakan mencitai
Rasulullah, tapi bagaimana mungkin semua itu diterima Allah tanpa ada bukti yang
diberikan, sebagaimana seorang arjuna yang mengembara, menyebarangi lautan yang
luas, dan mendaki puncak gunung yang tinggi demi mendapatkan cinta seorang
wanita. Bagaimana mungkin menggapai cinta Allah, tapi dalam pikirannya selalu
dibayang-bayangi oleh wanita/pria yang dicintai. Tak mungkin dalam satu hati
dipenuhi oleh dua cinta. Salah satunya pasti menolak, kecuali cinta yang
dilandasi oleh cinta pada-Nya.
Di saat Allah menguji cintanya, dengan memisahkanya dari apa yang membuat dia
lalai dalam mengingat Allah, sering orang tak bisa menerimanya. Di saat Allah
memisahkan seorang gadis dari calon suaminya, tak jarang gadis itu langsung
lemah dan terbaring sakit. Di saat seorang suami yang istrinya dipanggil
menghadap Ilahi, sang suami pun tak punya gairah dalam hidup. Di saat harta yang
dimiliki hangus terbakar, banyak orang yang hijrah kerumah sakit jiwa, semua ini
adalah bentuk ujian dari Allah, karena Allah ingin melihat seberapa dalam cinta
hamba-Nya pada-Nya. Allah menginginkan bukti, namun sering orang pun tak berdaya
membuktikannya, justru sering berguguran cintanya pada Allah, disaat Allah
menarik secuil nikmat yang dicurahkan-Nya.
Itu semua adalah bentuk cinta palsu, dan cinta semu dari seorang makhluk
terhadap Khaliknya. Padahal semuanya sudah diatur oleh Allah, rezki, maut,
jodoh, dan langkah kita, itu semuanya sudah ada suratannya dari Allah, tinggal
bagi kita mengupayakan untuk menjemputnya. Amat merugi manusia yang hanya
dilelahkan oleh cinta dunia, mengejar cinta makhluk, memburu harta dengan segala
cara, dan enggan menolong orang yang papah. Padahal nasib di akhirat nanti
adalah ditentukan oleh dirinya ketika hidup didunia, Bersungguh-sungguh
mencintai Allah, ataukah terlena oleh dunia yang fana ini. Jika cinta kepada
selain Allah, melebihi cinta pada Allah, merupakan salah satu penyebab do’a tak
terijabah.
Bagaimana mungkin Allah mengabulkan permintaan seorang hamba yang merintih
menengadah kepada Allah di malam hari, namun ketika siang muncul, dia pun
melakukan maksiat.
Bagaimana mungkin do’a seorang gadis ingin mendapatkan seorang laki-laki sholeh
terkabulkan, sedang dirinya sendiri belum sholehah.
Bagaimana mungkin do’a seorang hamba yang mendambakan rumah tangga sakinah,
sedang dirinya masih diliputi oleh keegoisan sebagai pemimpin rumah tangga..
Bagaimana mungkin seorang ibu mendambakan anak-anak yang sholeh, sementara
dirinya disibukkan bekerja di luar rumah sehingga pendidikan anak terabaikan,
dan kasih sayang tak dicurahkan.
Bagaimana mungkin keinginan akan bangsa yang bermartabat dapat terwujud,
sedangkan diri pribadi belum bisa menjadi contoh teladan
Banyak orang mengaku cinta pada Allah dan Allah hendak menguji cintanya itu.
Namun sering orang gagal membuktikan cintanya pada sang Khaliq, karena
disebabkan secuil musibah yang ditimpakan padanya. Yakinlah wahai saudaraku
kesenangan dan kesusahan adalah bentuk kasih sayang dan cinta Allah kepada
hambanya yang beriman…
Dengan kesusahan, Allah hendak memberikan tarbiyah terhadap ruhiyah kita, agar
kita sadar bahwa kita sebagai makhluk adalah bersifat lemah, kita tidak bisa
berbuat apa-apa kecuali atas izin-Nya. Saat ini tinggal bagi kita membuktikan,
dan berjuang keras untuk memperlihatkan cinta kita pada Allah, agar kita
terhindar dari cinta palsu.
Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan hambanya yang betul-betul berkorban untuk
Allah Untuk membuktikan cinta kita pada Allah, ada beberapa hal yang perlu kita
persiapkan yaitu:
1) Iman yang kuat
2) Ikhlas dalam beramal
3) Mempersiapkan kebaikan Internal dan eksternal. kebaikan internal yaitu
berupaya keras untuk melaksanakan ibadah wajib dan sunah. Seperti qiyamulail,
shaum sunnah, bacaan Al-qur’an dan haus akan ilmu. Sedangkan kebaikan eksternal
adalah buah dari ibadah yang kita lakukan pada Allah, dengan keistiqamahan
mengaplikasikannya dalam setiap langkah, dan tarikan nafas disepanjang hidup
ini. Dengan demikian InsyaAllah kita akan menggapai cinta dan keridhaan-Nya.
Kiriman : Rahmi Surya Dewi
dewi.rs@pasca.unpad.ac.id
Sekarang pertanyaannya, apa yang telah kita lakukan untuk membalasnya? Kalau
saya, (malu nih..) sepertinya masih sering menyakiti orang lain. Sadar ataupun
tidak sadar. Kalaupun tidak sampai menyakiti, rasanya masih sering tidak peduli
dengan orang. Apalagi pada Allah... Begitu besarnya cinta Allah pada saya dan
saya masih sering menyalahgunakannya. Mata tidak digunakan semestinya... Lisan
kejam dan menyayat-nyayat... Waktu yang terbuang sia-sia...
Kalau sudah seperti ini, rasanya iri saya pada semua hal-hal yang berbau
“pacaran pra nikah” hilang sudah. Minimal, berkurang drastislah. Siapa bilang
saya tidak dicintai? Memang tidak ada yang mengantar-antar saya ke mana-mana,
tapi Allah mengawal saya di setiap langkah. Tidak ada candle light dinner, tapi
ada sebuah keluarga hangat yang menemani saya tiap makan malam. Tidak ada surat
cinta, tapi bukankah Allah selalu memastikan kebutuhan saya terpenuhi? Bukankah
itu juga cinta?
Entah cinta yang “resmi” itu akan datang di dunia atau tidak. Tapi ingin rasanya
membalas semua cinta yang Allah ridhoi. Tulisan ini bukan untuk curhat nasional.
Yah, siapa tahu ada yang senasib dengan saya J Yuk, kita coba sama-sama. Jangan
sampai ada cinta halal yang tak terbalas... (ariyanti)
Hanya Ingin Jadi Orang BaikHanya Ingin Jadi Orang Baikeramuslim - Hari ini aku
lelah fisik dan batin. Seharian tadi aku melangkahkan kaki untuk mencari barisan
kata penyampai fakta. Tak mudah. Aku harus berlari, berkejaran dengan waktu dan
debu. Aku harus berlomba, beradu dengan manusia, sekedar untuk mendapat
rangkaian kalimat yang keluar dari mulut sang pejabat. Sekedar meminta ucapan
dari sekumpulan orang yang mengaku orang baik. Padahal, sejarah memaparkan,
sebagian mereka adalah pembual. Pembual besar.
Kadang aku harus sedikit merayu dan memaksa. Bukan apa-apa, tanpa rayu dan
paksaan, ada narasumberku yang enggan membuka mulutnya. Padahal dari kalimatnya
lah aku mendapat upah. Padahal dari ceritanya lah aku mendapat penghargaan.
Sekedar ucapan, “berita kamu bagus.”
Tak jarang aku harus berpura-pura iba, mengumbar senyum dan seolah ikut merasai
mereka yang memikul duka. Padahal kutahu luka mereka bukan sembarang luka. Luka
mereka adalah luka teramat dalam yang tak akan pernah hilang. Luka yang tak
pernah kering oleh panasnya matahari. Luka yang tak pernah bisa diterbangkan
oleh angin.
Namun aku malah memaksanya kembali mengingat dan memaparkan lukanya. Tanpa
hatiku memaknai, merasakan lukanya. Tanpa tanganku menawarkan, melingkarkan
sebuah pelukan, memberikan sedikit rasa nyaman. Lagi-lagi demi sebuah pujian,
demi sebuah kekaguman.
Pernah aku dihadapkan pada pilihan. Saat aku harus memutuskan satu saja dari
dua. Saat kulihat luka menganga disekitarku, aku harus memilih. Mencoba
mengobati luka mereka sesegera atau mendahulukan membuat cerita dari luka itu.
Dan aku memilih mendapat acungan jempol, karena cerita ku memampangkan luka itu.
Seringkali aku memaksa membuka memori mereka. Kenangan yang tak ingin dibuka.
Dan aku memaksanya membuka atau memaksaku membukanya. Tanpa seijin pemiliknya,
tanpa merasai akibatnya. Dan itu demi sebuah cerita. Cerita yang membuatku
dikejar kalimat berbunga.
Waktu lalu, aku juga pernah menjual kata-kata manis. Seolah aku adalah peri yang
bisa membantu si kecil. Padahal tak lain itu adalah bagian dari strategi.
Berpura-pura simpati. Kepura-puraan untuk mulusnya penyusunan sebuah kisah.
Kisah sejati dan mengharukan. Demi tetesan air mata pendengar cerita. Indikator
keberhasilan penyajian cerita duka.
Pernah aku menatap bencana dengan datar. Karena itu bukan bencanaku. Bencana itu
milik tokoh dalam kisahku. Aku hanya sekedar menyampaikan bencana itu dengan
kata-kata haru. Tambahan pemanis disana-sini. Menuntun si tokoh untuk
berekspresi sesuai dengan skenarioku.
Seolah itu adalah fiksi, bukan nyata. Tak perlu dimaknai, tak perlu dihargai.
Hanya dibungkus. Untuk santapan mata dan kuping sekumpulan orang yang dinamakan
penonton. Penonton cerita. Makin banyak mereka, makin baguslah aku.
Tapi, hari ini aku lelah.
Hari ini, aku tiba-tiba saja ingin merenung. Merenungi makna hidupku, merasai
peranku dalam perjalanan sang waktu. Kali ini aku merasa tak lagi berhati. Kali
ini di kepalaku hanya ada obsesi. Obsesi dihargai manusia dan diimbali deretan
angka di rekeningku setiap bulan berganti.
Hari ini aku hanya ingin mengingat. Merindui masa saat aku bercita sederhana.
Menjadi orang baik. Orang yang memberi arti bagi orang lain. Tak pernah melukai,
meski setitik. Tak pernah menyakiti, meski senoktah.
Padahal aku tak pernah ingin berpura-pura dalam hidupku. Aku ingin menjadi aku.
Dengan idealismeku dulu. Menyampaikan apa yang perlu kusampaikan. Tak perlu
menyampaikan kepalsuan. Aku ingin menyampaikan kebenaran. Jika kepalsuan itu
harus disampaikan, semata untuk membuat si palsu terkuak. Aku ingin menjadi
orang baik.
Padahal aku ingin, dengan peranku aku memberi secercah harap. Seberkas asa. Bagi
mereka, Tuhan. Mereka yang dihempas duka, mereka yang terluka, mereka yang
menahan jerit. Meski sekedar uluran tangan. Pelukan seorang saudara. Sekedar
menenangkan. Meski hanya sementara. Menjadi orang baik.
Padahal, dengan peranku, aku bisa tulus berbagi dengan mereka. Membiarkan mereka
membagi luka, memberi sedikit kehangatan. Dengan ikhlasku, dengan kerelaanku.
Sebagai saudara, sebagai teman, sebagai tempat berbagi. Menjadi orang baik.
Padahal dengan peranku, aku tak usah berpura-pura. Aku bisa lebih memaknai
senyumku untuk menghadiahkan sedikit bahagia dihati mereka. Dengan simpati yang
tak lagi palsu. Sebenar-benarnya simpati.
Padahal dengan peranku, dengan kelurusan niatku, aku ingin membuat
cerita-ceritaku bermakna. Membuat kisah-kisah dari tanganku dapat merubah dunia.
Membuat manusia lain lebih merasa dan berterimakasih atas takdir mereka yang
lebih. Membuat mereka berlomba menjadi orang baik.
Padahal dengan peranku, aku bisa mengungkap dusta dan mengusir si durjana.
Dengan keteguhan dan keberanianku, aku bisa menghapus kotoran-kotoran dunia.
Menuntut mereka untuk menjadi orang baik.
Wahai Penguasa Dunia, Penguasa Diriku…..
Ampuni aku yang telah menutup hati dan mengebalkan rasa. Ampuni aku yang tidak
memaknai peranku. Aku mencintai peranku, Yang Maha Perkasa. Aku ingin lelah
fisik dan batinku memberi arti, hanya bagiMu, Penulis Skenario sesungguhnya,
bukan sekedar kekaguman para ciptaanmu.
Penguasaku, luruskan langkahku. Untuk menjadi ciptaanmu yang tak sia-sia. Yang
tak terlupa oleh kecantikan fana. Yang tak membuat peranku, amanahMu,
mengantarku pada amarahMu. Yang selalu diingatkan untuk menjadi orang baik.
Seperti cita sederhanaku dulu.
Raja Dunia, tetapkan niatku untuk memaknai setiap detik peranku. Merasainya,
menikmatinya, mensyukurinya sebagai sebuah kepercayaan-Mu padaku. Kuatkan aku
untuk melangkahkan kakiku dan menghargai keringatku dengan harapan hanya
balasan-Mu. Menjadi orang baik.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
padaKu.” (Adz Dzariyaat:56)
Ami Ruchjat
amiruchjat@yahoo.com
(Rabbku, ingatkan aku selalu untuk tetap menjadi jurnalis sejati)
Dipublikasikan tanggal 25/08/2003 09:36 WIB
Kau tidak akan pernah tahu, saat itu aku langsung ingin beranjak menghindarinya,
apalagi semua wajah-wajah teduh di dalam mesjid memandangku sepenuh cinta.
“Subhanallah, saudaraku, betapa bangganya kau mempunyai sesuatu untuk kau
persembahkan kepada Islam” ku dengar suara Zaid dari belakang. Aku semakin
tertunduk dan merasakan sesuatu bergemuruh di dalam dada. “Suaramu paling bagus
duhai hamba Allah, gunakanlah” perintah nabi kembali terdengar. Pujian itu
terdengar tulus. Dan dengan memberanikan diri, ku angkat wajah ini menatap Nabi.
Allah, ada senyuman rembulannya untukku. Aku mengangguk.
Akhirnya, kami semua keluar dari mesjid. Nabi berjalan paling depan, dan bagai
anak kecil aku mengikutinya. “Naiklah ke sana, dan panggillah mereka di
ketinggian itu” Nabi mengarahkan telunjuknya ke sebuah atap rumah kepunyaan
wanita dari Banu’n Najjar, dekat mesjid. Dengan semangat, ku naiki atap itu,
namun sayang kepalaku kosong, aku tidak tahu panggilan seperti apa yang harus ku
kumandangkan. Aku terdiam lama.
Di bawah, ku lihat wajah-wajah menengadah. Wajah-wajah yang memberiku semangat,
menelusupkan banyak harapan. Mereka memandangku, mengharapkan sesuatu keluar
dari bibir ini. Berada diketinggian sering memusingkan kepala, dan ku lihat
wajah-wajah itu tak mengharapkan ku jatuh. Lalu ku cari sosok Nabi, ada Abu
Bakar dan Umar di sampingnya. “Ya Rasul Allah, apa yang harus ku ucapkan?”
Aku
memohon petunjuknya. Dan kudengar suaranya yang bening membumbung sampai di
telinga “ Pujilah Allah, ikrarkan Utusan-Nya, Serulah manusia untuk shalat”. Aku
berpaling dan memikirkannya. Aku memohon kepada Allah untuk membimbing ucapanku.
Husnul RM
mahabbah12@yahoo.com
*untuk yang saat ini sedang bertapa :)
Ketika Akhirnya Saat Memutuskan Itu Tiba ...Ketika Akhirnya Saat Memutuskan Itu
Tiba ...eramuslim - Ketika akhirnya saat memutuskan itu tiba… Aku tahu aku
kehabisan cara untuk mencari-cari alasan, hal yang selalu aku lakukan saat
berhadapan dengan kata: menikah. Bayangan tentang sosok seorang pria yang akan
selalu ada disampingku selama aku ada di dunia, seseorang yang akan jadi orang
yang paling tahu tentang diriku, bahkan lebih dari ibuku. Lalu aku merasa akan
tertelanjangi luar dalam. Rasa ini yang mungkin pernah membuatku ragu untuk
segera menikah.
Aku memang seorang perempuan yang tak ingin merasa terikat. Aku selalu
membayangkan diriku seekor kijang yang berlari dengan bebasnya di dalam rimba
raya tanpa ada siapapun dan apapun yang membuat kaki lincahnya berhenti
melompat. Kenikmatan dalam melakukan keinginan-keinginanku nampaknya membuatku
begitu segan memiliki seseorang yang aku pikir bisa membuat langkahku terseret.
Sementara rimba ini begitu luas dan aku cuma ada ditepian sebuah danau saja. Aku
masih ingin melakukan apa pun kemanapun sesuai keinginan. Menikmati hidangan
Allah di alam ini. Tak peduli apa yang orang katakan, tak peduli apa yang orang
inginkan denganku. Aku merasa paling berhak dengan kehidupanku. Sosok suami bisa
menjadi hambatan bagi kemajuan seorang perempuan karena ia dituntut untuk patuh
pada suaminya. Mungkin itu gambaran yang sedikit banyak mempengaruhi pikiranku.
Belum lagi ketika harus hadir seorang anak.
Namun kini ketika tiba-tiba ada sebentuk cinta sederhana yang ditawarkan
kepadaku, aku termanggu. Tak bisa aku berkata. Tulus, apa adanya. Segala teori
dan argumentasiku membisu. Tiba-tiba ada rasa aneh yang mengelus rasaku, dan aku
tahu itu kerinduan. Rasa ingin dilindungi, rasa nyamannya berteduh. Rasa ingin
disayangi, ingin menjadi orang yang istimewa untuk seseorang, ingin merasakan
indahnya berkorban, bahagianya memberi. Bagaimana rasanya dipaksa untuk memahami
orang lain hingga keterpaksaan itu bermuara pada keikhlasan. Ingin mencoba
memaknai kepatuhan dari sudut pandang Allah, merasakan apa maksud Allah menyuruh
seorang istri patuh pada suaminya.
Rasa ini menjelma menjadi sujud-sujud panjang yang basah di tengah sunyinya
malam. Begitu lama aku belum lagi merasakan kemesraan berkhalwat dengan-Nya.
Entah mengapa hadirnya nama seorang pria membuatku ingin sekali lagi memeluk
Allah dan berbisik; Tuhan, diakah cinta dari-Mu? Allah… benarkah ini?...
Ditawarkan sebuah cinta dari hamba-Nya, aku malah berlari mengejar kasih-Nya.
Malam-malam sunyi yang biasanya membuaiku kini aku terangi dengan rakaat-rakaat
panjang diakhiri bisikan basah yang jatuh di tanganku. Memohon ilmu-Nya yang
menyamudra memilihkan yang terbaik untukku. Menyerahkan jiwa ragaku dalam
tangan-Nya. Meluaskan hati ini untuk cinta-Nya. Aku benar-benar merasa jatuh
cinta pada-Nya. Duhai… apakah ini?... Hadirnya pria itu membuatku begitu dekat
dengan Allah. Inikah jawabannya, Kekasih?...
Kebersamaanku dengan Allah menuaikan keyakinan dalam diriku. Dia seperti
membisikkan entah dengan apa, tapi aku merasa yakin ini benar, bahwa inilah
jalan kebaikan yang Allah bukakan untukku. Pintu ini dan saat ini.
Maka ketika Allah telah membuka pintu-Nya untukku, seberapa hebatkah diriku
menolak untuk melangkah ke dalamnya? Mungkin aku tak tahu apa yang akan aku
hadapi saat melewati teras rumah-Nya, tapi aku tahu Dia ada bersamaku, di dalam
diriku.
Dan aku akan punya seseorang yang akan selalu menggandeng tangan dan menguatkan
langkahku, menuju diri-Mu, Allah…
Dipublikasikan tanggal 25/07/2003 10:11 WIB