Anda di halaman 1dari 6

BOCAH KECIL DAN PAHITNYA KEHIDUPAN

Karya Riko Raden

Tino demikian orang menyapanya. Ia bekerja sebagai penjual koran. Ia geluti

pekerjaan ini sejak ia masih kecil. Kira-kira ia masih berumur 12 tahun. Katanya,

karena ayah dan ibunya tidak bisa membiayainya untuk sekolah maka jalan satu-

satunya yang ia lakukan adalah menjual koran.

Ia merasa bangga dengan pekerjaannya ini. Ia tak pernah malu apabila

menjual koran di tengan kota atau di depan pertokoan. Menurutnya, mencari nafkah

untuk kebutuhan hidup tidak perlu ada perasan gengsi atau malu. Tuhan telah

memberikan kemampuan kepada manusia agar ia bisa hidup sesuai kemampuannya.

Ia merasa bangga dengan kemampuan yang ada dalam dirinya. Ia tidak mau

membandingkan dirinya dengan orang lain. Tino sungguh anak yang baik. Ia bisa

dijadikan sebagai anak pembawa terang dalam keluarganya.

Kondisi orangtuanya yang sudah tidak mudah lagi membuat dia bekerja keras

untuk bisa membahagiakan orangtuanya. Ia lakukan ini bukan merupakan balas jasa

atas kebaikan orangtuanya, tetapi lebih dari itu sebagai kewajiban seorang anak untuk

merawat orangtuanya. Semenjak putus sekolah, ia hanya bergulat dengan

pekerjaannya sebagai penjual koran. Ia tidak pernah mengeluh dengan orangtuanya

kenapa dia tidak sekolah. Ia tahu betul keadaan keluarganya. Ia tidak pernah

memaksa orangtuanya mencari uang untuk sekolahnya. Usia kedua orangtuanya tidak

mudah lagi, dan ia sangat mencintai kedua orangtuanya. Ia rela tidak sekolah asalkan
orangtuanya tidak menderita sakit. Ia tdak pernah malu melihat teman sebayanya

setiap pagi pergi sekolah. Malahan ia merasa senang melihat teman-temannya

antusias pergi sekolah. Ia selalu menyapa dan memberi senyum ketika bertemu

dengan teman-teman yang pergi sekolah.

Setiap pagi Tino selalu bangun lebih awal dari kedua orangtuanya.

Ia selalu menyiapkan sarapan untuk kedua orangtuanya, sekedar bubur nasi yang

tidak jelas rasanya. Kemudian ia sendiri pergi menjual koran. Ketika orangtuanya

sudah bangun, ia telah berangkat ke perusahan koran untuk mengambil koran lalu ia

menjualnya. Terkadang ia mengambil koran sebanyak mungkin karena ada bonus dari

perusahan apabila koran tersebut laku semua.

"Selamat pagi, Om." Sapanya kepada pemilik koran.

"Selamat pagi juga, Tino. Kenapa pagi-pagi sekali datang mengambil koran." Sahut

pemilik koran.

"Biasa om, aku harus tepat waktu. Aku tidak ingin teman-teman yang lain juga

mendahului aku. Nanti mereka angkat semua koran dan aku sendiri tidak mendapat

apa-apa." Jawabnya kepada pemilik koran.

Sekitar pukul 10:00 pagi, Tino berjalan mondar-mandir di depan pertokoan

dengan berharap ada yang membeli korannya. Ia menyukai sekali pekerjaannya,

melalakukan tanpa menggerutu. Bahkan tak tergoda menjadi pengemis seperti

perempuan menutupi sebagian wajahnya dengan selendang biru. Yang pendapatannya

jauh lebih besar, tanpa perlu mengambil dagangan dan menyetorkan penghasilan,

seperti dirinya. Perempuan yang menengadahkan tangannya dan memamerkan


wajahnya pilu itu mendapatkan penghasilan dari rasa iba sekurangnya setiap sepuluh

mobil yang dilalui. Setiap kali pemberian bisa seharga koran yang jualnya. Yang

terima secara utuh. Entahlah, aku tidak ingin seperti itu. Kata Tino dalam hati. Setiap

kali ada orang yang keluar dari pertokoan, ia menyodorkan koran.

"Koran, koran, koran, om dan tanta, tolong beli saya punya koran dulu! Tino terus

menyapa orang di depan pertokoan ini. Mulutnya tidak pernah diam. Setiap kali

orang lewat, mereka hanya melihat wajah Tino lalu pergi.

Ada yang hanya tersenyum lalu pergi. Tak apa. Selama masih ada orang di depan

pertokoan, aku masih akan jualan. Ia menyukai semua situasi di depan pertokoan ini.

"Adik, berapa harga satu koran itu?" Tanya seorang bapak barusan keluar dari

pertokoan.

"Tiga ribu om. Om mau beli!" Jawab Tino dengan suara agak datar.

"Tidak adik! Saya hanya tanya saja."

"Oh, tidak apa-apa, om. Terima kasih banyak."

Betapa sedih hatinya karena tidak ada seorang pun yang membeli korannya.

Sedari tadi ia terus berdiri tapi tak seorang pun yang membeli. Siang itu, ia lalui

begitu saja. Ia tidak mendapat apa-apa. Akhirnya ia beranjak pergi.

Di langit kota, tak seberkas pun awan putih yang membendung sinar surya

yang panas membakar itu. Debu mengepul bak asap api menambah gerahnya siang

itu. Hiruk-pikuk kota kelihatan kaku dan menjenuhkan. Tapi semuanya tak

menyurutkan semangat Tino untuk terus berjalan menjual koran.


Dia sambil teriak "koran, koran, koran," berharap ada yang membelinya.

Sepanjang jalan yang ia lalui tidak seorang pun yang membelli korannya. Betapa

sedih hatinya karena siang ini tidak mendapat apa-apa. Ia lalu duduk dan merenung.

Dalam hatinya berbisik apa yang ia berikan kepada pemilik koran apabila sepanjang

hari korannya tidak ada yang laku. Ia takut dimarahi oleh pemilik koran. Ia lebih

takut lagi ketika esok harinya pemilik koran tidak mengijinkan ia untuk pergi

membawa koran lagi.

Pekerjaan yang ia bisa lakukan hanya menjual koran. Kebutuhan dalam

kelurganya bisa terpenuhi hanya karena menjual koran. Di samping trotoar ia terus

merenung. Ia sepertinya dilema dan membiarkan pemilik koran memecatnya apabila

ia marah padanya. Tetapi pekerjaan apa yang pantas untuk anak seperti Tino di

tengah kota ini jika pemilik koran benar-benar memecatnya. Tidak mungkin

perusahan menerima anak kecil seperti dia bekerja untuk mengangkat semen tonasa.

Ia kemudian berdiri dan berusaha melintasi trotoar. Klakson mobil dan motor

seketika menampar telinga Tino dengan garang. Terlihat bapa tua yang sedang

mendorong gerobak kayu yang hampir reot termakan rayap melintasi

berhadapan Tino.

Lalu, bapak tua itu menyapa Tino yang lugu tanpa malu.

"Nak, dari mana saja kau hendak?" sapa bapa tua.

"Kau tidak lihat aku sedang mencari makan dengan menjual koran ini!" ketus Tino.

"Sedari pagi ayahmu mencarimu nak, ia sedang sakit katanya."

"Di mana ayah sekarang, Pa?" Tanya Tino.


"Di rumah nak, pulanglah kau ke rumah" ujar bapa tua.

Ayahnya memang sakit sudah lama. Semenjak dia dipecat oleh sebuah

perusahan gara-gara dituduh mencuri uang majikannya.

Padahal ayah orang jujur dan tidak pernah membuat masalah dengan teman-teman

kerja.

Begitupun dalam keluarga ia tidak pernah marah dengan ibu. Ketika ayah

sudah jatuh sakit, masalah itu baru terbongkar ternyata yang mencuri uang majikan

bukan dirinya. Ia sangat menyesal mendengar berita itu. Tetapi raut wajahnya tidak

menandakan bahwa dia marah dengan teman kerja atau majikannya. Ia dalam hati

mungkin berdoa agar mereka lebih bekerja dengan baik. Ayah memang sangat baik.

Dengan langkah gontai dan terburu-buru, Tino cepat berlari sekencang-kencangnya,

tanpa memikirkan hal yang ada di sekitarnya. Di persimpangan jalan menuju rumah,

ia teringat pesan ayahnya agar Tino berhenti untuk menjual koran dan hanya temani

ayah yang sedang sakit. Tetapi Tino tidak pernah mengiyakan pesan ayahnya. Suatu

hal yang sudah pasti terjadi dalam waktu dekat dan harusnya ia bisa tegar.

Tapi gagal, Tino justru pergi meninggalkan ayah seorang diri di rumah saja. Tanpa

memberikan hiburan di saat ia sedang sakit.

Meskipun ia adalah anak yang paling disayangi oleh ayahnya tapi ia seringkali

mengabaikan ayahnya dan fokus dengan pekerjaan. Sesampainya di rumah, ayahnya

tidak sadar diri. Tino terus memanggil tapi ayahnya tidak pernah menjawab. 

Tino hanya mampu termangu di sudut gubuk. Sambil tangannya mengelu-elus dagu

yang belum tumbuh jenggot, ia merasa kehilangan dengan kepergian ayahnya.


Tino terus menangis dan ayahnya pergi meninggalkan Tino selama-lamanya.

(Riko Raden, Mahasiswa STFK Ledalero, tinggal di unit St. Rafael Ledalero).

Anda mungkin juga menyukai