pekerjaan ini sejak ia masih kecil. Kira-kira ia masih berumur 12 tahun. Katanya,
karena ayah dan ibunya tidak bisa membiayainya untuk sekolah maka jalan satu-
menjual koran di tengan kota atau di depan pertokoan. Menurutnya, mencari nafkah
untuk kebutuhan hidup tidak perlu ada perasan gengsi atau malu. Tuhan telah
Ia merasa bangga dengan kemampuan yang ada dalam dirinya. Ia tidak mau
Kondisi orangtuanya yang sudah tidak mudah lagi membuat dia bekerja keras
untuk bisa membahagiakan orangtuanya. Ia lakukan ini bukan merupakan balas jasa
atas kebaikan orangtuanya, tetapi lebih dari itu sebagai kewajiban seorang anak untuk
kenapa dia tidak sekolah. Ia tahu betul keadaan keluarganya. Ia tidak pernah
memaksa orangtuanya mencari uang untuk sekolahnya. Usia kedua orangtuanya tidak
mudah lagi, dan ia sangat mencintai kedua orangtuanya. Ia rela tidak sekolah asalkan
orangtuanya tidak menderita sakit. Ia tdak pernah malu melihat teman sebayanya
antusias pergi sekolah. Ia selalu menyapa dan memberi senyum ketika bertemu
Ia selalu menyiapkan sarapan untuk kedua orangtuanya, sekedar bubur nasi yang
tidak jelas rasanya. Kemudian ia sendiri pergi menjual koran. Ketika orangtuanya
sudah bangun, ia telah berangkat ke perusahan koran untuk mengambil koran lalu ia
menjualnya. Terkadang ia mengambil koran sebanyak mungkin karena ada bonus dari
"Selamat pagi juga, Tino. Kenapa pagi-pagi sekali datang mengambil koran." Sahut
pemilik koran.
"Biasa om, aku harus tepat waktu. Aku tidak ingin teman-teman yang lain juga
mendahului aku. Nanti mereka angkat semua koran dan aku sendiri tidak mendapat
jauh lebih besar, tanpa perlu mengambil dagangan dan menyetorkan penghasilan,
mobil yang dilalui. Setiap kali pemberian bisa seharga koran yang jualnya. Yang
terima secara utuh. Entahlah, aku tidak ingin seperti itu. Kata Tino dalam hati. Setiap
"Koran, koran, koran, om dan tanta, tolong beli saya punya koran dulu! Tino terus
menyapa orang di depan pertokoan ini. Mulutnya tidak pernah diam. Setiap kali
Ada yang hanya tersenyum lalu pergi. Tak apa. Selama masih ada orang di depan
pertokoan, aku masih akan jualan. Ia menyukai semua situasi di depan pertokoan ini.
"Adik, berapa harga satu koran itu?" Tanya seorang bapak barusan keluar dari
pertokoan.
"Tiga ribu om. Om mau beli!" Jawab Tino dengan suara agak datar.
Betapa sedih hatinya karena tidak ada seorang pun yang membeli korannya.
Sedari tadi ia terus berdiri tapi tak seorang pun yang membeli. Siang itu, ia lalui
Di langit kota, tak seberkas pun awan putih yang membendung sinar surya
yang panas membakar itu. Debu mengepul bak asap api menambah gerahnya siang
itu. Hiruk-pikuk kota kelihatan kaku dan menjenuhkan. Tapi semuanya tak
Sepanjang jalan yang ia lalui tidak seorang pun yang membelli korannya. Betapa
sedih hatinya karena siang ini tidak mendapat apa-apa. Ia lalu duduk dan merenung.
Dalam hatinya berbisik apa yang ia berikan kepada pemilik koran apabila sepanjang
hari korannya tidak ada yang laku. Ia takut dimarahi oleh pemilik koran. Ia lebih
takut lagi ketika esok harinya pemilik koran tidak mengijinkan ia untuk pergi
kelurganya bisa terpenuhi hanya karena menjual koran. Di samping trotoar ia terus
ia marah padanya. Tetapi pekerjaan apa yang pantas untuk anak seperti Tino di
tengah kota ini jika pemilik koran benar-benar memecatnya. Tidak mungkin
perusahan menerima anak kecil seperti dia bekerja untuk mengangkat semen tonasa.
Ia kemudian berdiri dan berusaha melintasi trotoar. Klakson mobil dan motor
berhadapan Tino.
Lalu, bapak tua itu menyapa Tino yang lugu tanpa malu.
"Kau tidak lihat aku sedang mencari makan dengan menjual koran ini!" ketus Tino.
Ayahnya memang sakit sudah lama. Semenjak dia dipecat oleh sebuah
Padahal ayah orang jujur dan tidak pernah membuat masalah dengan teman-teman
kerja.
Begitupun dalam keluarga ia tidak pernah marah dengan ibu. Ketika ayah
sudah jatuh sakit, masalah itu baru terbongkar ternyata yang mencuri uang majikan
bukan dirinya. Ia sangat menyesal mendengar berita itu. Tetapi raut wajahnya tidak
menandakan bahwa dia marah dengan teman kerja atau majikannya. Ia dalam hati
mungkin berdoa agar mereka lebih bekerja dengan baik. Ayah memang sangat baik.
tanpa memikirkan hal yang ada di sekitarnya. Di persimpangan jalan menuju rumah,
ia teringat pesan ayahnya agar Tino berhenti untuk menjual koran dan hanya temani
ayah yang sedang sakit. Tetapi Tino tidak pernah mengiyakan pesan ayahnya. Suatu
hal yang sudah pasti terjadi dalam waktu dekat dan harusnya ia bisa tegar.
Tapi gagal, Tino justru pergi meninggalkan ayah seorang diri di rumah saja. Tanpa
Meskipun ia adalah anak yang paling disayangi oleh ayahnya tapi ia seringkali
(Riko Raden, Mahasiswa STFK Ledalero, tinggal di unit St. Rafael Ledalero).