2
SI JUNDAI LUBUAK PUSARO
BAGIAN 3
Aku menyusuri lagi jalan yang sama yang aku lewati
sepuluh tahun lalu. Kenangan demi kenangan tersirat dalam
pikiranku. Bagaimana kami terakhir kali melewati ini dengan
anggota keluarga yang lengkap. Ayah yang terus menceritakan
teman temannya semasa muda, ibu yang mengajak bicara
Diana, dan Diana sendiri yang saat itu masih dalam gendongan
ibu.
3
kejadiannya, tapi ia tau, ibu kami adalah seorang ibu yang
sangat menyayangi kedua anaknya dan begitu sigap dalam
segala hal. Jika ditanya siapa yang lebih dekat dengan ibu,
tentu itu adalah Diana. Ketika ibu berpulang, Diana bahkan
tidak bisa tidur kecuali setelah lelah menangis semalaman.
Bantalnya akan basah karena air mata dan dia tidur dengan
mata yang sembab. Sekarang Diana harus meninggalkan
semua kenangan itu bersama rumah kami di Jakarta.
4
Aku berjalan ke arah rumah itu dengan menenteng
dua koper besar dan ransel yang kupakai. Aku melangkah
dengan sedikit pincang karena kaki kiriku yang melengkung.
Kakek berdiri dari duduknya namun tidak membantuku untuk
membawakan koper, maklum, beliau sudah sangat tua saat itu
dan tenaganya tidak lagi seperti dulu.
5
Aku berjalan pelan melewatinya dan mengucapkan
salam, namun tidak ada jawaban. Ia hanya menghisap
rokoknya lagi dan menghembuskannya ke udara.
6
Aku membawa barang barangku ke kamar yang sama
yang aku tiduri sepuluh tahun lalu. Kembali memori lama itu
muncul, bagaimana kebersamaan kami di hari raya yang
harusnya menjadi momen bahagia, berakir begitu tragis dan
merubah seluruh kehidupan keluarga kami.
7
“iya, itu ayah sama ibu pas nikah. Ibu cantik banget ya”
ujarku yang sebenarnya terharu juga dengan kalimatku
sendiri.
8
kamar depan, tanpa sengaja aku mendengar suara dari dalam
kamar kakek. Suaranya lirih dan pelan, namun karena rumah
sedang sunyi, aku bisa mendengarkannya dengan jelas.
***
9
Aku berada di rumah kakek selama kurang lebih satu
bulan sebelum akhirnya pindah ke Kota Padang untuk
melanjutkan kuliahku di Unand. Selama itu juga, Pak Ali selalu
menghindar dariku. Beliau seperti enggan berbicara denganku
maupun dengan Diana. Kami juga tidak pernah diizinkan
masuk ke dalam kamar kakek yang kini ditempati oleh Pak Ali
dan Tante Lisa. Pintunya selalu tertutup dan terkunci. Bahkan
Pak Ali akan menyembulkan kepalanya terlebih dahulu
sebelum keluar, memastikan tidak ada orang yang bisa
melihat ke dalam kamar ketika ia membuka pintu.
10
gestur tangannya. Sejak itu aku tau hal itu adalah hal “biasa”
di rumah ini.
11
hal bercanda. Ia berasal dari daerah bernama Tiku, sebuah
daerah berpantai di kabupaten Agam.
“Man, maaf nih ya. Itu kakimu udah dari lahir?” tanya
Ade sambil duduk di ambang pintu kamarnya.
12
“Ini? Enggak. Aku kena pas pulang kampung dulu.
Waktu masih SD. Aku ngeliat yang enggak enggak di batang
air, dan akhirnya kakiku begini” jelasku.
13
“aku sebenarnya beruntung, saat kejadian ini, dua
saudaraku yang lain meninggal. Cuma aku yang selamat..”
ujarku dengan tatapan kosong ke lantai.
***
14
menyukai berdiam diri di kostanku, walaupun Samsul dan Ade
pulang ke rumahnya hampir setiap dua minggu sampai satu
bulan sekali. Namun aku masih tetap kontak melalui telpon
dengan Diana, Pak Panji dan yang lainnya di kampung. Sekedar
menanyakan kabar dan memberitahu bahwa uang bulanan
sudah aku terima.
15
Samsul yang ada di dalam kamar tiba tiba keluar dan
langsung menatapku.
16
Samsul memandangi Ade dengan tatapan kesal.
17
“Sanang hati kalian? Capek mangameh barang lah!”
(Seneng kalian? Buruan beresin barang kalian) kataku sambil
tersenyum.
18
Siangnya, kami sampai di rumah kakek. Tidak ada
seorangpun di teras rumah saat aku Samsul dan Ade turun dari
travel.
“Iyo nte, wak Samsul, iko Ade” (Iya tante, saya samsul
dan ini ade) jawab Samsul.
19
kakek. Diana lagi main ke rumah temannya tadi) ujar Tante
Rina.
20
belakang Shinta dan menenggelamkan kepala Shinta ke dalam
air.
21
“Tanggung Man, takutnya besok hujan. Mumpung
belom sore sore banget” jawab Samsul sambil
menyelempangkan handuk ke bahunya.
22
“Selamat datang di batang aia Lubuak Pusaro” kataku
sambil membuat gestur ala peramu saji restoran kepada
Samsul dan Ade.
23
“Kayaknya itu pohon yang aku liat pas dibawah
sebelum pingsan deh..” kataku ragu.
Dugaan Ade benar. View dari titik itu jauh lebih bagus
lagi dari titik sebelumnya. Ade tidak henti hentinya mengambil
foto disana, sementara aku dan Samsul menikmatinya dengan
mata kami saja.
24
“Man, fotoin aku disini dong” pinta Ade kepadaku
sambil menyodorkan hapenya.
25
“Udah? Mandi yuk lah udah keburu malem” kataku
mengingatkan. Langit kala itu sudah berwarna lembayung
keunguan.
26
“Kenapa man?” tanya Ade.
27
Sementara itu Ade hanya mengambang ngambang
kecil di sisi arus yang tenang.
28
Kami mandi selama kurang lebih setengah jam hingga
suara pengajian dari arah surau tanda adzan Maghrib akan
segera tiba menghentikan kegiatan kami.
29
dan kembali ke ruang tengah. Namun Samsul masih sama
seperti tadi. Diam dan wajahnya terlihat pucat.
30
“Oh iya, eh sini kenalin temen temen abang dulu”
kataku sambil menuntun Diana masuk.
31
“udah gapapa. Aku juga udah makan obat. Nanti juga
sembuh.. kalian makan aja duluan..” ujarnya tanpa bangun
dari posisi tidurnya.
32
“Lah kama se tadi?” (Udah kemana aja tadi?) tanya
kakek kepadaku.
33
bagus dan rame buat berenang. Orang orang pada kesana
sekarang mandinya” tambah pak Panji
34
Tok Tok Tok “Bang? Baa di dalam bang?”(Bang,
kenapa di dalam bang?) panggil Pak Panji. Namun nihil, tidak
ada jawaban dari Pak Ali.
35
Pak Panji melangkah masuk sambil matanya melihat
ke sekeliling. Terutama ke langit langit dan sudut ruangan.
“Ko Panji Ni, Uni dima?” (Ini panji kak. Kakak dimana?)
ulang pak Panji.
36
pintu dengan kaki dan tangan yang terbuka lebar seperti laba
laba.
37
“heeee…. Bobi lah pulang… lamo na di surau bob…….
Ayah sadang lalok nak… bobi lah makan?..” (Ehh Bobi sudah
pulang. Lama banget di suraunya Bob. Ayahmu lagi tidur.. bobi
sudah makan?)
Tiba tiba saja tante Lisa berkata seperti itu dari dalam.
Kami semua terdiam, kakek lalu menghela nafasnya dan
berkata padaku
“ooh iyo ndak a doh.. makan wak li bob nah..” (Oo iya
gapapa. Yuk kita makan) ujar suara tante lisa.
38
Hampir saja aku berinisiatif membuka kembali pintu
itu jika saja pak Panji muncul dari pintu depan bersama dua
orang lainnya.
39
om kamu Bob) ujar tante Lisa berbicara pada “Bobi” sambil
menertawai aku dan pak Panji.
“AAAARGGHHHHHHH ANJIIAANGGGGGG!!!!”
40
“Kenapa Sul???” tanya Ade sambil berjongkok
memegangi Samsul yang sudah berpeluh keringat.
41
Aku mundur satu langkah dari pintu dan melihat
kembali ke arah Samsul dan Ade.
42
“Terus, mana temanmu itu? Udah tidur lagi?” tanya
pak Panji yang tentu saja membuatku bingung.
43
Samsul tidak menjawab panggilanku. Aku menyentuh
bahunya, lalu entah kenapa timbul ideku untuk mencubit
Samsul sekeras mungkin.
44
masih terasa hangat, namun tidak separah tadi sore. Aku
mengatakan juga apa yang terjadi di rumah kakek
sebelumnya. Samsul merasa tidak enak tidur saat keadaan
sekacau itu. Ia memutuskan untuk bergabung dengan yang
lain di rumah kakek.
45
“Samsul gimana keadaannya? Udah mendingan?
Katanya tadi sakit bukan?” tanya Pak Panji lagi.
46
Aku menuruti perintah pak Panji dan kembali ke
rumah Pak Ali di sebelah dan merebahkan badanku yang
terasa sangat lelah. Aku jadi teringat mimpiku tadi sore
mengenai Shinta yang tertelan arus air. Aku tidak mencurigai
apapun karena kukira hal hal klenik di kampung ini sudah usai,
namun ketika aku mengalami hal barusan, aku khawatir mimpi
itu adalah sebuah pertanda.
47
“Kaki??” tanyaku tidak percaya.
“Iya! Aku ga salah liat kan? Itu kaki! Tapi cuma ada di
satu foto itu aja” Ade kemudian menutup foto itu dan
membuka file file foto lain sambil menunjukkannya padaku
dan tidak ada satupun foto kaki tersebut terpotret di foto lain.
Namun ketika file itu akan dibuka, tiba tiba saja layar
hape Ade menjadi total hitam dan hape itu mati seketika. Ade
terlihat bingung dan panik padahal sebelumnya tidak ada
masalah. Ia mencoba menghidupkan hapenya berulang kali
namun gagal, baru setelah dicolok dengan charger,
handphone itu bisa menyala kembali. Anehnya, ketika Ade
mancari foto itu lagi, file foto itu sudah hilang.
48
Kemudian setelah berguling ke kiri dan kanan berkali
kali, aku dan Ade bisa tidur menjelang tengah malam. Tidurku
cukup nyenyak karena malam itu udara terasa dingin. Sampai
ketika aku terbangun karena mendengar suara pintu yang
terbuka.
49
Aku menggerakan kakiku dari balik selimut ke Ade
yang ada di sampingku. Aku tendang tendang Ade agar ia
terbangun.
50
“kalo gitu bertiga. Bangunin Samsul juga” kata Ade
mengelak.
51
“Iyo bang..” (iya bang) jawab suara lainnya.
Bersambung Bagian 4
52
Hallo mwvers!
Instagram : @mwv.mystic
Twitter : @mwv_mystic
TikTok : @mwv.mystic
Saweria : saweria.co/mwvmystic
53