Anda di halaman 1dari 53

1

2
SI JUNDAI LUBUAK PUSARO
BAGIAN 3
Aku menyusuri lagi jalan yang sama yang aku lewati
sepuluh tahun lalu. Kenangan demi kenangan tersirat dalam
pikiranku. Bagaimana kami terakhir kali melewati ini dengan
anggota keluarga yang lengkap. Ayah yang terus menceritakan
teman temannya semasa muda, ibu yang mengajak bicara
Diana, dan Diana sendiri yang saat itu masih dalam gendongan
ibu.

Aku menatap Diana yang duduk manis di sampingku


tanpa berkata apapun. Ingatannya tentang jalan ini pasti tidak
ada, mengingat ia saat itu masih sangat kecil.

“Dulu di jalan ini, abang muntah loh dek pas pulang


pertama kali” kataku memecah keheningan dan mengajak
adikku ini mengobrol.

“Oh iya bang? Kok bisa?” tanyanya sambil tersenyum.

“Iya abang dulu ga kuat kalo jalan belok belok. Untung


ibu waktu itu bawain kantong plastik, jadinya..”

Mendengar kata ibu tiba tiba mata Diana berubah.


Ada kesedihan di tatapan matanya. Mungkin dia tidak ingat

3
kejadiannya, tapi ia tau, ibu kami adalah seorang ibu yang
sangat menyayangi kedua anaknya dan begitu sigap dalam
segala hal. Jika ditanya siapa yang lebih dekat dengan ibu,
tentu itu adalah Diana. Ketika ibu berpulang, Diana bahkan
tidak bisa tidur kecuali setelah lelah menangis semalaman.
Bantalnya akan basah karena air mata dan dia tidur dengan
mata yang sembab. Sekarang Diana harus meninggalkan
semua kenangan itu bersama rumah kami di Jakarta.

“Eh itu ada monyet dek!” tunjukku ke arah kaca travel.


Diluar sana beberapa monyet atau biasa masyarakat Minang
menyebutnya baruak meloncat dari satu dahan ke dahan lain.
Diana seketika teralihkan dari kemurungannya dan melihat ke
sekawanan monyet itu.

Singkat cerita, kami bertiga tiba di rumah kakek. Tidak


ada sambutan sebagaimana ayah dapatkan dulu. Ada
beberapa orang yang duduk di teras rumah kakek saat itu,
diantaranya aku masih ingat, ada kakek dan tante Rina, suami
Pak Panji. Dipangkuan tante Rina ada seorang anak kecil, itu
adalah adik dari mendiang Nizar, ia lahir dua tahun setelah
kejadian itu. Kini umurnya sudah hampir 8 tahun dan namanya
adalah Shinta.

4
Aku berjalan ke arah rumah itu dengan menenteng
dua koper besar dan ransel yang kupakai. Aku melangkah
dengan sedikit pincang karena kaki kiriku yang melengkung.
Kakek berdiri dari duduknya namun tidak membantuku untuk
membawakan koper, maklum, beliau sudah sangat tua saat itu
dan tenaganya tidak lagi seperti dulu.

“Assalamualaikum, inyiak, ante” salamku sambil


mencium tangan keduanya.

“waalaikumsalam, jauh perjalanan?” tanya kakek


sambil menempuk nepuk punggungku.

“Ga sejauh dulu kek. Jalannya udah bagus” jawabku


sambil menurunkan beberapa koper di teras rumah.

“Langsung aja masukin ke dalam bang Rahman, itu


udah ada kamar bekas ayah buat abang sama Diana” cegah
tante Rina.

Akupun bergegas ke dalam masih dengan membawa


koper koperku. Di dalam rumah, ternyata ada orang lain,
seorang pria yang sedang merokok dan menonton televisi
memunggungi pintu masuk.

5
Aku berjalan pelan melewatinya dan mengucapkan
salam, namun tidak ada jawaban. Ia hanya menghisap
rokoknya lagi dan menghembuskannya ke udara.

Aku berjalan melewatinya untuk bisa melihat siapa


pria itu, dan ternyata itu adalah Pak Ali.

Aku sempat terkejut, namun disisi lain aku juga


merasa beliau adalah salah satu orang yang harus aku hormati
disini.

“Pak, Rahman udah sampai..” sapaku sambil


mengulurkan tanganku dan membumbungkuk untuk salaman.

“iya iya, taruh aja barang barangnya di kamar.


Istirahat abis itu” jawab Pak Ali tanpa menyambut tanganku.
Ia lalu mematikan televisi dan masuk ke kamar kakek dan
menguncinya.

Aku menghela nafas. Sepertinya pak Ali masih tidak


terima dengan keberadaanku dirumah ini. Berbeda dengan
tante Rina dan pak Panji yang bisa mendapatkan anak lagi
setelah kepergian Nizar, hal yang sama tidak bisa dilakukan
oleh Pak Ali dan Tante Lisa. Terlebih, aku tidak tau keadaan
Tante Lisa sekarang seperti apa..

6
Aku membawa barang barangku ke kamar yang sama
yang aku tiduri sepuluh tahun lalu. Kembali memori lama itu
muncul, bagaimana kebersamaan kami di hari raya yang
harusnya menjadi momen bahagia, berakir begitu tragis dan
merubah seluruh kehidupan keluarga kami.

Diana menyusulku masuk kamar. Ia melihat ke


sekeliling. Kamar ini belum jauh berubah, hanya langit
langitnya saja yang semula tembus ke atap, sekarang sudah
menggunakan triplek, dan ada lampu bohlam sebagai
penerang ruangan.

Diana mengedarkan pandangannya, melihat satu


persatu foto yang ada di kamar itu. Matanya tertuju pada
sebuah foto pernikahan jadul yang sudah memudar. Ia
menatapnya lama. Ada sepasang pengantin berbaju merah
emas dengan raut muka kaku di foto tersebut.

“Diana tau itu siapa?” tanyaku membuyarkan


lamunannya.

“Ayah sama Ibu?” tanyanya.

7
“iya, itu ayah sama ibu pas nikah. Ibu cantik banget ya”
ujarku yang sebenarnya terharu juga dengan kalimatku
sendiri.

“iya bang..” jawab Diana pelan sambil terus


memandangi foto itu.

Kamipun mengeluarkan isi koper dan kardus yang


kami bawa. Menyusun baju baju di lemari, menaruh beberapa
pajangan foto yang sengaja kami bawa dari rumah, dan
persiapan lainnya.

Ketika sore menjelang, kamipun mandi. Saat itu


rumah kakek sudah memiliki wc, hanya saja airnya tidak selalu
ada. Kadang air menyala, terkadang mati. Saat aku akan
mandi, ada sebuah ember cat yang sudah terisi penuh air. Aku
rasa aku akan mandi dengan air itu, tapi baru saja akan masuk
kamar mandi setelah mengambil handuk, Pak Ali muncul dan
segera mengambil ember itu lalu membawanya ke dalam
kamar tanpa sepatah kata apapun.

Aku mencoba membuka keran air, namun air keran itu


mati. Terpaksa aku harus mandi di sungai depan rumah.
Akupun menyandang handuk, peralatan mandi dan mencari
sendal untuk mandi di sungai depan rumah. Ketika melewati

8
kamar depan, tanpa sengaja aku mendengar suara dari dalam
kamar kakek. Suaranya lirih dan pelan, namun karena rumah
sedang sunyi, aku bisa mendengarkannya dengan jelas.

“Sia dilua tu bang?” (Siapa itu diluar bang?) ujar suara


seorang wanita.

“Si Panji jo anaknyo..” (Si Panji sama anaknya) ujar


suara lain yang kuyakin adalah Pak Ali.

Aku tertegun di samping kamar tersebut. Selama


sepuluh tahun ini, ayah memang tidak mengabari keadaan
tante Lisa kepadaku, namun sepertinya kondisinya sudah
membaik dan terlepas dari gangguan yang diceritakan ayah.

“Bobi alun pulang lai bang?.. lah ka sanjo hari..” (Bobi


belum pulang bang? Udah mau sore..) tanya suara itu lagi.

“Alah, inyo kini di surau, ka mangaji” (udah, dia


sekarang di mushola, mau mengaji..) jawab Pak Ali.

Aku terdiam dan berjalan keluar sambil menenteng


handuk dan sabunku.

***

9
Aku berada di rumah kakek selama kurang lebih satu
bulan sebelum akhirnya pindah ke Kota Padang untuk
melanjutkan kuliahku di Unand. Selama itu juga, Pak Ali selalu
menghindar dariku. Beliau seperti enggan berbicara denganku
maupun dengan Diana. Kami juga tidak pernah diizinkan
masuk ke dalam kamar kakek yang kini ditempati oleh Pak Ali
dan Tante Lisa. Pintunya selalu tertutup dan terkunci. Bahkan
Pak Ali akan menyembulkan kepalanya terlebih dahulu
sebelum keluar, memastikan tidak ada orang yang bisa
melihat ke dalam kamar ketika ia membuka pintu.

Satu hal lain yang bagiku janggal adalah dari dalam


kamar kakek itu, menjelang adzan Maghrib hingga Shubuh
pagi terdengar suara rekaman dzikir yang terus diulang ulang
dengan suara kencang. Sesekali aku mendengar suara jeritan,
lalu tak lama menjadi suara tertawa, lalu menjadi suara jeritan
lagi.

Awalnya, setiap mendengarkan itu, aku selalu keluar


kamar dan mengecek keadaan. Kukira tante Lisa atau pak Ali
membutuhkan bantuan, namun Pak Panji yang saat itu ada di
ruang tengah hanya memberiku kode “tidak apa apa” dengan

10
gestur tangannya. Sejak itu aku tau hal itu adalah hal “biasa”
di rumah ini.

Tepat H-2 Minggu sebelum perkuliahanku dimulai,


aku pergi ke Padang untuk mencari kost dan tinggal disana
selama kuliah. Sementara Diana tinggal di kampung dan
diasuh oleh Pak Panji dan Tante Rina. Aku bersyukur keduanya
masih menerima kami dan bersikap sangat baik kepada kami.
Aku tidak bisa membayangkan jika tidak ada Pak Panji,
bagaimana aku dan Diana bisa bertahan. Terlebih kami tidak
bisa mengharapkan bantuan dari keluarga besar ibu karena
satu dan lain hal yang bersifat privasi keluarga kami.

Singkat cerita, aku berhasil mendapatkan kost murah


dan dekat dengan kampus. Kostan ini berupa rumah dengan 3
kamar. Ketika aku datang, dua kamar lain sudah ditempati
oleh penghuni lainnya. Berbekal sedikit bahasa minang yang
aku pelajari dari ayah dan ibu semasa hidupnya dulu, aku
berusaha berbaur dengan yang lainnya.

Di kostan itu aku, berkenalan dengan Samsul dan Ade,


dua mahasiswa baru Unand yang berbeda jurusan denganku.
Samsul bertubuh besar dan kekar, ia menggunakan bahasa
kasar dalam berbicara dan sering mengumpat namun untuk

11
hal bercanda. Ia berasal dari daerah bernama Tiku, sebuah
daerah berpantai di kabupaten Agam.

Ade, bertubuh kurus tinggi dan mengenakan


kacamata. Ia berasal dari Pasaman, Ade cenderung pendiam
namun ramah dan bahasanya halus. Bahkan ia menggunakan
kata “awak” sebagai ganti kata “aku”, salah satu pilihan kata
yang sopan untuk ukuran obrolan dengan orang yang
seumuran. Dari penampilannya, aku yakin Ade ada diantara
dua kemungkinan, orang pintar atau penyuka kartun jepang.

Beruntung, kebersamaan kami bertiga cukup baik.


Walaupun kami berkuliah di jurusan yang berbeda, obrolan
kami masih bisa nyambung. Sepulang kuliah kami selalu
berkumpul di ruang tengah, sekedar untuk mengobrol, main
game atau makan bersama.

Pernah suatu ketika, salah satu obrolan kami adalah


membicarakan keadaan kakiku. Aku tidak tersinggung jika itu
datang dari teman temanku, terlebih mereka memang
bertanya dengan sopan tanpa merendahkanku.

“Man, maaf nih ya. Itu kakimu udah dari lahir?” tanya
Ade sambil duduk di ambang pintu kamarnya.

12
“Ini? Enggak. Aku kena pas pulang kampung dulu.
Waktu masih SD. Aku ngeliat yang enggak enggak di batang
air, dan akhirnya kakiku begini” jelasku.

“yang enggak enggak gimana? Hantu?” tanya Samsul


yang langsung masuk ke obrolan.

“Kayaknya iya. Dia kegantung gitu, tapi masih gerak


gerak. Kalo kata ayah sih, Si Jundai namanya” ujarku lagi.

“Oooo si jundai, pernah denger. Wah berarti sampai


sekarang yang kayak gitu masih ada di kampungmu Man?”
tanya Ade semakin penasaran.

“Kayaknya enggak deh. Dukun yang praktekin itu udah


meninggal beberapa bulan abis kejadian itu. Sekarang udah
modern juga. Masa masih ada yang beginian” kataku lagi.

“Jangan samain di Jakarta sama disini Man, beda


jauuuh. Yang kayak gitu masih banyak di daerah daerah.
Apalagi tuh, di Pasaman rumahnya Ade, isinya orang punya
ilmu semua” kata Samsul sambil menunjuk Ade.

“Ah ga juga. Biasa aja kok. Lebay” bantah Ade.

13
“aku sebenarnya beruntung, saat kejadian ini, dua
saudaraku yang lain meninggal. Cuma aku yang selamat..”
ujarku dengan tatapan kosong ke lantai.

Samsul dan Ade terdiam.

“Meninggal?.. meninggal kenapa man?” tanya Samsul


penasaran.

Merasa keduanya adalah orang yang dapat ku


percaya, aku menceritakan semuanya dari awal hingga akhir.
Tentang Bobi, Nizar dan pengalamanku di Lubuk Pusaro.
Keduanya kelihatan sangat tertarik dengan pengalamanku,
terlebih saat kuceritakan betapa indahnya Lubuak Pusaro dan
apa yang terjadi pada jasad Nizar.

***

Selama satu semester, aku menjalani perkuliahanku


dengan biasa. Meskipun tidak begitu menonjol diantara yang
lain, namun aku cukup bisa mengikuti pembelajaran di
kampusku.

Selama satu semester itu juga aku tidak pulang ke


rumah kakek. Selain karena jaraknya yang cukup jauh dan
harus ditempuh dengan travel, entah kenapa aku lebih

14
menyukai berdiam diri di kostanku, walaupun Samsul dan Ade
pulang ke rumahnya hampir setiap dua minggu sampai satu
bulan sekali. Namun aku masih tetap kontak melalui telpon
dengan Diana, Pak Panji dan yang lainnya di kampung. Sekedar
menanyakan kabar dan memberitahu bahwa uang bulanan
sudah aku terima.

Hingga akhirnya, semester satu usai dan aku


mendapatkan libur 2 minggu perkuliahan. Mau tidak mau aku
memilih pulang, selain jangka waktu libur yang cukup lama,
kawasanku tinggal memang hanya dihuni oleh para
mahasiswa saja. Libur selama itu pasti kawasan disini akan
total sepi dan rawan terjadi kejahatan.

“Kamu pulang Man?” tanya Ade di hari terakhir


perkuliahan, aku ingat sekali waktu itu hari Jumat.

“Iya rencananya, lumayan 2 Minggu. Mau ngapain


juga aku disini sepi sendirian” jawabku.

“nah, kirain kamu bakalan betah sendirian libur


semester dikostan” ujar Ade sambil sedikit tertawa.

“Aku ga semenyedihkan itu oi” kataku sambil


mendorong tubuh Ade bercanda.

15
Samsul yang ada di dalam kamar tiba tiba keluar dan
langsung menatapku.

“Ha? Baa?” (Ha? Kenapa?) kataku mempraktekkan


bahasa minang yang aku pelajari selama kuliah.

“Aku boleh ikut ke kampungmu gak? 2 hari aja. Sabtu


Minggu. Penasaran sama cerita kamu, pengen liat lokasinya
langsung” ujar Samsul

“ide bagus. Wak join” ujar Ade tanpa menunggu


konfirmasiku.

“Eh? Mau nyari apaan disana? Gaada yang bisa diliat”


kataku mencegah.

“Ya seengaknya gak cuma pohon kelapa dan pantai


kayak di rumahku, dan gak cuma pohon sawit kayak di
rumahnya Ade” jawab Samsul.

“Benar…” tambah Ade lagi.

“Cuma dua hari aja kok Man. Berangkat besok,


Minggu sore atau Senin pagi deh aku sama Ade pulang” tawar
Samsul.

“Benar..” tambah Ade.

16
Samsul memandangi Ade dengan tatapan kesal.

Aku sebenarnya tidak keberatan keduanya untuk


datang ke rumah kakek, namun aku tidak enak dengan
keluargaku yang lain. Terlebih aku men”skip” bagian tentang
Tante Lisa saat menceritakan kisah masa laluku.

“Coba aku tanya ke orang rumah dulu ya” kataku


kepada mereka.

Aku lalu menelpon Pak Panji, menceritakan bahwa


aku libur kuliah dan akan pulang, namun dua hari akan ada
teman yang mau ikut ke kampung untuk berlibur sejenak.
Diluar dugaan, Pak Panji menyetujuinya.

“Ohh boleh, nanti teman temanmu tidur di rumah Pak


Ali aja, kamarnya kan kosong, nanti apak sama tante tidurnya
di kamar kamu” ujar Pak Panji.

Rumah Pak Ali dan Tante Lisa memang ada di samping


rumah kakek. Biasanya yang mengisinya adalah keluarga pak
Panji semenjak Pak Ali dan Tante Lisa tinggal di kamar kakek.

Setelah mengucapkan terima kasih, aku menutup


telepon. Dibelakangku Samsul dan Ade sudah berdiri
menunggu kepastian izin mereka menginap di rumahku.

17
“Sanang hati kalian? Capek mangameh barang lah!”
(Seneng kalian? Buruan beresin barang kalian) kataku sambil
tersenyum.

Keduanya balik tersenyum dan tertawa kecil. Lalu


segera masuk ke kamar untuk mengemasi barang barang yang
ingin mereka bawa dan membersihkan kost kami karena akan
ditinggalkan selama dua minggu.

Keesokan paginya, kami bertiga pergi ke rumah kakek.


Sepanjang perjalanan aku mencoba menjelaskan hal penting
yang aku lewatkan saat menceritakan masa laluku.

“Oh iya, nanti di rumah kakek, ada tanteku yang lagi


sakit. Tinggalnya beda rumah sih, tapi kalau nanti kedengeran
ada yang teriak atau suara musik kenceng malem malem,
gausah khawatir ya” kataku.

Keduanya menatapku bingung.

“Sakit apa tantemu?” tanya Samsul.

“Gatau, udah lama juga dan gatau apa masalahnya”


kataku singkat, daripada keduanya bertanya lebih jauh.

18
Siangnya, kami sampai di rumah kakek. Tidak ada
seorangpun di teras rumah saat aku Samsul dan Ade turun dari
travel.

“Sejuk banget Man” ujar Samsul yang selama ini


merasakan teriknya pantai di kampungnya.

“Iya, tunggu nanti sampai kamu liat batang air dan


Lubuak Pusaronya” kataku lagi.

Kami mengetuk pintu rumah kakek dan dibukakan


oleh Tante Rina yang tengah bersama Shinta. Aku mencium
tangannya dan disusul kedua temanku.

“Ooh iko kawan kawan Rahman nan ka manginap?”


(ooh ini teman teman Rahman yang mau nginap?) tanya tante
Rina.

“Iyo nte, wak Samsul, iko Ade” (Iya tante, saya samsul
dan ini ade) jawab Samsul.

“Ahh, lai urang awak yo haha. Lah naiak lah ka rumah


sabalah. Biliak lah disiapan dek apak. Pak Panji sadang
mangawanan inyiak, Diana pai ka rumah kawannyo katonyo
tadi” (ah, orang padang juga ya. Udah, naik ke rumah sebelah.
Kamarnya udah disiapin Pak Panji. Pak Panjinya lagi nganter

19
kakek. Diana lagi main ke rumah temannya tadi) ujar Tante
Rina.

“Kakek kemana nte?” tanyaku.

“Lagi ke bidan, badannya udah seminggu ini demam


terus batuk batuk” jawab tante Rina.

Kamipun mengangkut barang bawaan kami ke rumah


Pak Ali di sebelah. Sudah ada karpet dan kasur yang
dibentangkan di ruang tengah.

Kami meluruskan kaki kami disana ditemani es teh


manis dan roti roti warung yang disuguhkan tante. Tak lama,
kami merasa mengantuk karena lelah selama perjalanan dan
memutuskan tidur siang sejenak.

Dalam tidur itu aku mendapat sebuah mimpi yang


aneh. Shinta, anak pak Panji berada di sebuah pusaran air
sambil berteriak teriak memanggil namaku. Aku tidak bisa
meraihnya karena aku berada diatas tebing, sementara Shinta
ada dibawah. Lalu tiba tiba saja dari pusaran air itu muncul
sosok wanita tinggi besar berambut panjang dan
mengembang dengan wajah pucat. Matanya total hitam dan
lidahnya menjulur hingga perutnya. Sosok ini muncul tepat di

20
belakang Shinta dan menenggelamkan kepala Shinta ke dalam
air.

Aku tersentak bangun dengan peluh membasahi


seluruh badanku. Entah karena mimpi buruk itu atau karena
rumah ini memang begitu panas karena tidak adanya kipas
angin. Tapi ketika aku melihat ke Samsul dan Ade, keduanya
nampak tertidur lelap tanpa keringat seperti yang aku rasakan.

Aku keluar rumah dan mendapati langit yang sudah


mulai jingga tanda hari sudah sore. Aku beranjak ke rumah
kakek dan mendapati Diana ada disana. Ia mencium tanganku
dan kami mengobrol beberapa saat. Setelahnya, aku kembali
ke rumah Pak Ali, tempat Samsul dan Ade tidur. Aku
membangunkan Samsul dan Ade dan menawari mereka untuk
mandi.

Keduanya bangun dengan bermalas malasan. Ade


duduk termenung lama mengumpulkan nyawanya, sementara
Samsul langsung meregangkan tubuhnya dan beranjak ke tas
untuk mengambil peralatan mandinya.

“Eh? Mandinya di kamar mandi aja ya.. ke batang


aianya besok aja” kataku menawarkan.

21
“Tanggung Man, takutnya besok hujan. Mumpung
belom sore sore banget” jawab Samsul sambil
menyelempangkan handuk ke bahunya.

Aku pun menuruti keduanya. Kami berjalan menyusuri


pemukiman penduduk. Aku berusaha mengingat jalan jalan
yang aku, mendiang Bobi dan Nizar lalui. Entah kenapa
perjalanan ke batang aia itu membuka kembali memoriku.
Seakan dihadapanku kini ada Bobi yang menujukki ku jalan,
dan dibelakangku ada Nizar yang berjalan lambat sambil
menggendong bonekanya.

Aku sengaja tidak pergi langsung ke sisi tempat aku


dan Bobi mandi karena aku ingin menunjukkan view Lubuak
Pusaro dari atas. Pemandangan yang membuatku pernah
terpana sewaktu kecil dahulu.

Kondisi jalan yang kami lalui sudah cukup berbeda


dengan yang aku dan kedua saudaraku lalui sepuluh tahun
lalu. Jalan kampung ini sudah beraspal walaupun ukurannya
tidak besar dan terputus menjelang ujung jurang. Aku
berbelok ke kiri, keluar dari jalan aspal dan kembali menyusuri
jalan setapak yang lembab hingga akhirnya sampai ke sisi
jurang yang sama yang aku datangi saat hari kejadian itu.

22
“Selamat datang di batang aia Lubuak Pusaro” kataku
sambil membuat gestur ala peramu saji restoran kepada
Samsul dan Ade.

Ekspresi keduanya sesuai harapanku. Kedua matanya


berbinar dan Ade segera mengeluarkan handphone dari
kantongnya untuk memfoto foto pemandangan itu.

“Lasuah mandi ko mah De!” (Seru nih mandi de!) ujar


Samsul menepuk pundak Ade yang masih sibuk mempotret
pemandangan sekitar dengan kamera ponselnya.

Kami berdiri disana cukup lama sambil menunggu Ade


selesai dengan dokumentasinya. Sampai tiba tiba Ade
bertanya kepadaku.

“Man, itu disana apa? Kuburan?” ujarnya sambil


menunjuk satu titik ditengah lengkungan jurang.

Aku melihat ke arah yang Ade maksud. Disana


terdapat sebuah pohon rindang dengan akar menjalar keluar.
Di sekelilingnya terdapat nisan nisan dan pohon kamboja
dengan bunga putih kuningnya. Ingatanku mengenai pohon
itu seketika hadir. Itu pohon yang aku lihat sebelum pingsan.
Pohon tempat makhluk itu bergantungan.

23
“Kayaknya itu pohon yang aku liat pas dibawah
sebelum pingsan deh..” kataku ragu.

“Hah? Yang kamu bilang ada orang gantung diri itu?”


tanya Samsul.

Aku mengangguk ragu.

“Coba kesana yuk. Pasti pemandangannya lebih


bagus” ajak Ade yang sepertinya masih belum puas dengan
hasil jepretannya.

“Aku ragu sebenernya. Kalian ga takut?” tanyaku.

“Selama kita ga buat aneh aneh, harusnya gaada apa


apa Man” ujar Samsul meyakinkan.

Kami berjalan menyusuri pinggir tebing menuju ke sisi


hilir ke arah pemakaman umum kampung yang jadi alasan
penamaan Lubuak Pusaro.

Dugaan Ade benar. View dari titik itu jauh lebih bagus
lagi dari titik sebelumnya. Ade tidak henti hentinya mengambil
foto disana, sementara aku dan Samsul menikmatinya dengan
mata kami saja.

24
“Man, fotoin aku disini dong” pinta Ade kepadaku
sambil menyodorkan hapenya.

“Mau difotoin dimana?” tanyaku.

“Disini aja, agak keatasan ya biar lubuaknya nampak”


kata Ade mengarahkan.

Akupun menuruti kemauannya dan memfotonya


beberapa kali.

“Jadi mandi ga nih?” tanyaku yang sudah mulai bosan


meladeni Ade yang tiba tiba saja jadi orang bersemangat
padahal biasanya malas malasan dan pendiam.

“Satu lagi satu lagi, dari sana, foto biar keliatan


jurangnya” pinta Ade.

Aku berjalan sedikit ke hilir lalu mengambil spot untuk


memfoto Ade.

“Aden sato lo yeh” (Aku ikutan juga ya) kata Samsul


yang ikut berpose. Ia naik ke sebuah batu yang ada di samping
pohon tadi. Keduanya lalu bergaya dengan latar belakang
pohon itu dan sisi tebing kokoh yang nampak di sudut foto.

25
“Udah? Mandi yuk lah udah keburu malem” kataku
mengingatkan. Langit kala itu sudah berwarna lembayung
keunguan.

“Ayok ayok” ujar Samsul sambil turun dari batu yang


ia naiki. Namun tiba tiba saja ia sadar batu yang ia naiki
ternyata ada bekas pahatan yang sudah tertutup lumut.

Samsul berjongkok dan mengamati dengan seksama


batu itu. “Hah? Dari tadi aku berdiri diatas nisan??
Astaghfirullah” ujar Samsul sambil menepuk kepalanya.

Aku memperhatikan nisan dari batu berapahat itu.


Posisinya aneh karena nisan itu menghadap ke pohon dan
posisi pohon besar itu ada di atas “tubuh” makam itu.

Aku berjongkok dan membersihkan sedikit lumut yang


menempel disana. Pahatan itu membentuk tulisan..

“Nuraini Septianti xxxxx 2002” beberapa pahatan


sudah tidak terlihat lagi dengan jelas, namun bagian nama dan
tahun kematiannya masih bisa aku baca.

“Nur?... Nur yang diceritakan ayah?..” kataku dalam


hati.

26
“Kenapa man?” tanya Ade.

“Enggak. Yuk mandi, keburu malem” kataku lagi


sambil bergerak ke hilir dengan membawa peralatan mandiku.

Kami kembali menyusuri tebing hingga mencapai


lokasi tempat aku dan Bobi mandi dulu. Lokasi ini tidak banyak
berubah. Hanya saja memang sedikit lebih dalam dan para
warga sudah enggan untuk mandi dan mencuci di tempat ini
karena sudah adanya wc di masing masing rumah. Sekalipun
ada yang mencuci, kurasa jumlahnya sedikit.

Kami melepas pakaian kami dan hanya mengenakan


boxer. Samsul dan Ade terlihat riang sekali. Namun tidak
denganku. Aku seakan kembali ke hari menyakitkan itu. Aku
bahkan terus memandangi batu besar tempat Bobi duduk
terakhir yang masih kokoh di aliran batang aia.

Samsul yang selama ini berenang di pantai terlihat


begitu keasyikan dengan air jernih kampungku. Ia bergerak ke
tengah, meloncat dari pinggiran tebing, dan melakukan gaya
renang lainnya.

“Woahhh seger bangettt!!! Dingiiin” ujar Samsul


bersorak kegirangan.

27
Sementara itu Ade hanya mengambang ngambang
kecil di sisi arus yang tenang.

“Heh, sini berenang. Ngapain ngambang gitu kayak


tai” panggil Samsul pada Ade.

“Kamu aja. Arusnya kuat. Aku gabisa berenang” jawab


Ade sambil merendam badannya hingga lehernya.

“Bilang aja kamu takut si Jundai yang dibilangin


Rahman kan? Masa orang Pasaman takut ahaha” kata Samsul
mengejek Ade.

“Woi kalo ngomong dijaga Sul, tempat begini


ngomong jangan sembarangan!” bentak Ade balik.

Samsul hanya tertawa kecil lalu melanjutkan


berenangnya.

Aku menceburkan diri ke batang aia itu dan


bergabung dengan keduanya. Namun lagi lagi aku merasa
tidak tenang. Seperti ada mata yang mengawasi gerak gerik
kami tapi aku tidak tau posisinya dimana.

28
Kami mandi selama kurang lebih setengah jam hingga
suara pengajian dari arah surau tanda adzan Maghrib akan
segera tiba menghentikan kegiatan kami.

Kami berkemas dan kembali menyusuri jalan untuk


kembali ke rumah.

“Asik juga ya, ga yang seserem diceritain Rahman


ternyata. Besok pagi nyoba di Lubuak Pusaro mandinya yuk”
ujar Ade kepada Samsul saat kami berjalan pulang.

“…” Samsul hanya diam tidak menanggapi.

“Sul? tadi semangat banget kok sekarang lemes gitu”


tanya Ade melihat Samsul pendiam tidak seperti biasanya.

“Liat besok ya, badanku kurang enak rasanya..” ujar


Samsul sambil menaruh telapak tangannya di lehernya.

Aku langsung melihat ke arah Samsul. Terlihat


memang bibirnya sedikit pucat dan pandangannya kosong.
Mungkin karena terlalu lama mandi berenang pikirku.

Kamipun tiba kembali di rumah Pak Ali yang dijadikan


tempat Samsul dan Ade menginap. Keduanya berganti baju

29
dan kembali ke ruang tengah. Namun Samsul masih sama
seperti tadi. Diam dan wajahnya terlihat pucat.

“Kamu sakit Sul?” tanyaku padanya.

“Kayaknya. Aku boleh minta teh anget ga Man? Dingin


banget rasanya..” ujar Samsul.

Akupun meminta air panas di rumah kakek lalu


membuatkannya untuk Samsul. Ia meminumnya sedikit lalu
izin untuk tidur duluan setelah minum obat penurun panas.
Aku mengiyakan dan berjanji akan membangunkannya saat
makan malam sudah siap.

Sementara Samsul tidur, aku mengobrol dengan Ade


diatas kasur kami masing masing sampai sebuah ketukan
terdengar dari arah pintu.

“Assalamualaikum” ujar suara itu dari luar.

“Waalaikumsalam, bentar Din” kataku.

Akupun membuka pintu dan Diana sudah berdiri


disana dengan baju pengajian suraunya.

“Bang, dipanggil pak Panji suruh makan di rumah


kakek” kata Diana.

30
“Oh iya, eh sini kenalin temen temen abang dulu”
kataku sambil menuntun Diana masuk.

“De, kenalin adikku, Diana” kataku sambil membawa


Diana ke depan Ade. Diana menjulurkan tangannya untuk
bersalaman dengan Ade.

“Ah iya, bang Ade” kata Ade memperkenalkan diri.


Lalu menyambut saliman tangan Diana.

“Nah itu yang tidur itu Samsul, bentar abang bangunin


dulu” kataku.

Aku mendekati Samsul dan coba membangunkannya.


Namun ketika aku mau mengguncang bahunya, aku
merasakan hawa panas keluar dari tubuh Samsul. Benar saja,
saat aku memegang bahunya, tubuh Samsul terasa panas
sekali.

“Sul? Bangun sul.. Demam? Mau ke bidan gak?”


kataku sambil membangunkan Samsul.

Samsul membuka matanya sedikit lalu berkata..

31
“udah gapapa. Aku juga udah makan obat. Nanti juga
sembuh.. kalian makan aja duluan..” ujarnya tanpa bangun
dari posisi tidurnya.

Karena Samsul bilang begitu, akupun mengiyakan.


Aku kemudian meninggalkan Samsul di rumah Pak Ali,
sedangkan aku, Ade dan Diana pergi ke rumah kakek untuk
makan malam.

Hidangan sederhana dihidangkan oleh Tante Rina


berupa mie goreng, telur, tahu, tempe dan sambalado ikan
teri. Sebelum mulai makan, aku bersalaman dan
memperkenalkan Ade kepada kakek yang saat itu sudah
pulang berobat. Selain itu aku juga mengabari ada satu
temanku yang lain, tapi sedang istirahat karena kelelahan.

Ada dua koyo yang melekat di sisi luar kening kakek


untuk mengurangi sakit kepala yang beliau derita. Kakek juga
mengeluhkan rasa sakitnya padaku yang menurutnya adalah
penyakit umur.

Kami makan bersama, tanpa pak Ali dan Tante Lisa


yang masih ada di dalam kamar kakek seperti biasa.

32
“Lah kama se tadi?” (Udah kemana aja tadi?) tanya
kakek kepadaku.

“Baru pergi mandi aja kek..” jawabku sedikit ragu.

“Mandi kama? Batang aia?” (mandi kemana? Batang


air?) tanya kakek lagi.

“iya kek..“ kataku.

“Man.. jan ka sinan lai ndak.. babahayo..” (Man,


jangan kesana lagi ya, bahaya..) pesan kakek. Aku bisa melihat
kekhawatiran dari mata kakek.

“Iya tu bang, bahaya. Walaupun abang sama temen


temen abang udah gede. Tapi itukan airnya deras. Takut
kenapa kenapa lagi kayak waktu dulu” pesan pak Panji sambil
meneruskan suapan nasinya.

Ade yang merasa diikutsertakan dalam pembicaraan


ini hanya diam sambil menyuap makanannya secara
canggung.

“Kalau mau mandi di batang aia, jangan yang deket


lubuak pusaro tu bang. Ke hilir aja, ada lubuak lain juga. Lebih

33
bagus dan rame buat berenang. Orang orang pada kesana
sekarang mandinya” tambah pak Panji

Aku mengangguk pelan karena merasa bersalah.


Bagaimanapun, akulah yang mengunjukkan jalan ke Lubuak
Pusaro dan Batang Aia kepada Samsul dan Ade tanpa meminta
izin kepada kakek maupun Pak Ali. Namun suasana itu kembali
mereda dan kami meneruskan makan kami sampai tiba tiba..

“AHHHHHHH!!!! PAI KAUUU!!! PAIIIII!!!!!” (AHHH


PERGI KAMU PERGIII!!!) tiba tiba dari arah dalam kamar kakek,
tante Lisa berteriak keras lalu terdengar suara benturan ke
dinding yang cukup kuat.

“Astaghfirullah…” ujar kami bersamaan sambil


melihat ke arah kamar kakek.

“Ali?? Suaro a tu Li?” (Ali?? Suara apa itu Li?) tanya


kakek dengan suara lemah.

Namun tidak ada sahutan balik dari dalam. Pak Panji


berdiri dan mencoba membuka pintu namun ternyata
terkunci.

34
Tok Tok Tok “Bang? Baa di dalam bang?”(Bang,
kenapa di dalam bang?) panggil Pak Panji. Namun nihil, tidak
ada jawaban dari Pak Ali.

“Rina cari kunci biliak apak!” (Rina, cari kunci kamar


bapak) perintah kakek kepada menantunya.

Tante Rina lalu mencari kunci cadangan dengan


tergesa gesa dan beruntung berhasil menemukannya.

Kunci itu segera diserahkan kepada Pak Panji yang


segera membuka pintu. Aku juga berdiri di depan pintu untuk
melihat keadaan di dalam yang selama ini belum pernah
kulihat.

Ketika pintu terbuka, tercium bau lembab dan anyir


yang sangat mengganggu. Kamar itu begitu gelap dan suram.
Hanya ada cahaya remang dari lampu kecil berwarna
kekuningan, sementara jendela ditutup rapat dan dipaku.

Kamar itu hanya berisi sebuah kasur, lemari kecil dan


sebuah sudut bersekat yang kurasa adalah kloset untuk buang
air. Namun di atas kasur itu hanya ada pak Ali yang terbaring,
sementara Tante Lisa tidak ada..

35
Pak Panji melangkah masuk sambil matanya melihat
ke sekeliling. Terutama ke langit langit dan sudut ruangan.

“Uni?...” (kakak?) panggil pak Panji.

“Ko Panji Ni, Uni dima?” (Ini panji kak. Kakak dimana?)
ulang pak Panji.

“HAHAHAHA HIHIHI KHIIIIIHHH” tiba tiba suara tawa


cekikikan dan desis terdengar dari bawah kolong kasur. Pak
Panji merunduk dan mendapati Tante Lisa tiarap di bawah
kasur namun pandangannya lurus ke arah pintu.

“Uni.. manga disinan tu…” (kakak ngapain disana..)


tanya Pak Panji.

Itu pertama kalinya aku melihat Tante Lisa sejak


terakhir kali aku pulang kampung. Fisik Tante Lisa benar benar
sudah jauh berubah. Tubuhnya yang berisi, kini jadi kurus
kering. Kantung matanya hitam, bola matanya cekung ke
dalam, dan ia terus mengeluarkan air liur yang menetes ke
lantai. Rambutnya pun sudah banyak yang rontok dan
menyisakan kepala dengan rambut yang jarang dan tipis.

Tanpa menjawab pertanyaan Pak Panji, tiba tiba saja


Tante Lisa merayap dari bawah kolong secara cepat ke arah

36
pintu dengan kaki dan tangan yang terbuka lebar seperti laba
laba.

“ALLAHU AKBAR!” Pak Panji segera menutup kembali


pintu dan terdengar gedoran dari dalam.

Pak Panji, Tante Rina, kakek dan aku saling pandang


satu sama lain. Kenapa pak Ali diam? Dan bagaimana cara
kami masuk tanpa membiarkan tante Lisa keluar? Ini sudah
malam dan memang aktivitasnya akan meningkat seperti
biasa, tapi entah kenapa malam ini ia berkelakuan sampai
seperti itu.

“Wak imbau pemuda lain untuak macikan uni yo pak”


(saya cari pemuda lain untuk megangin kakak ya pak) ujar Pak
Panji ke kakek.

“Ah iyo. Pailah. Ndak ka talok jo ang, Rahman jo


kawannyo ko doh” (Iya, pergilah. Kalian gaakan kuat
meganginnya) ujar kakek.

Pak Panji lalu lari keluar rumah dan mencari bantuan.


Sementara kakek kembali mengunci pintu dan berdzikir di
hadapan pintu tersebut.

37
“heeee…. Bobi lah pulang… lamo na di surau bob…….
Ayah sadang lalok nak… bobi lah makan?..” (Ehh Bobi sudah
pulang. Lama banget di suraunya Bob. Ayahmu lagi tidur.. bobi
sudah makan?)

Tiba tiba saja tante Lisa berkata seperti itu dari dalam.
Kami semua terdiam, kakek lalu menghela nafasnya dan
berkata padaku

“Memang seperti itu setiap ma..”

“…Iyo bu, guru ngajinyo lamo… “(Iya bu, guru ngajinya


lama..)

DEG! Belum sempat kakek menyudahi kalimatnya,


tiba tiba ada suara anak kecil di dalam kamar kakek yang
terdengar persis seperti suara Bobi kecil dan menjawab
ucapan Tante Lisa tadi.

“ooh iyo ndak a doh.. makan wak li bob nah..” (Oo iya
gapapa. Yuk kita makan) ujar suara tante lisa.

Lalu kami mendengar suara orang mengunyah. Lalu


suara orang menangis dan kembali mengunyah.

38
Hampir saja aku berinisiatif membuka kembali pintu
itu jika saja pak Panji muncul dari pintu depan bersama dua
orang lainnya.

Pak Panji meminta kedua pria itu untuk bersiap


menahan tubuh Tante Lisa. Sementara aku dan Ade dimintai
tolong untuk menarik tubuh pak Ali yang Pak Panji curigai
pingsan.

“ciek.. duo… tigo!” pak Panji berhitung dan langsung


membuka pintu.

Ketika pintu terbuka, Tante Lisa sedang duduk di atas


kasur sambil mengigit gigiti lengannya sendiri dengan air liur
yang terus menetes.

Kedua orang yang dibawa pak Panji beristighfar dan


sempat mundur untuk beberapa saat namun kembali maju
untuk berjaga di pintu kalau kalau tante Lisa berlari keluar.

Aku dan pak Panji kemudian masuk ke kamar pengap


itu dan membopong pak Ali yang masih belum sadar.

“haha.. caliak Bob, ayah dibao lo dek Panji. Jaek om


ang Bob” (haha.. liat Bob, ayah dibawa juga sama Panji. Jahat

39
om kamu Bob) ujar tante Lisa berbicara pada “Bobi” sambil
menertawai aku dan pak Panji.

Beruntung tante Lisa tidak memberontak dan tetap di


posisinya sampai pak Ali berhasil kami bawa keluar. Kami
bawa pak Ali ke ruang tengah. Ada luka lebam di bagian kepala
beliau yang mungkin disebabkan benturan keras tadi. Namun
kami cukup bisa lega karena pak Ali masih bernafas.

Tante Rina mencoba menyadarkan pak Ali dengan


memberi hidungnya minyak kayu putih. Kakek juga
membacakan ayat ayat quran walaupun aku bisa melihat
kakek begitu kepayahan menahan sakit yang beliau sendiri
derita.

Ketika kami masih sibuk mengurus pak Panji, tiba tiba


saja sebuah teriakan terdengar dari arah luar..

“AAAARGGHHHHHHH ANJIIAANGGGGGG!!!!”

Itu suara jeritan Samsul di rumah sebelah. Aku dan


Ade refleks berlari keluar dan melihat apa yang terjadi. Ketika
kami sampai diluar, Samsul sedang duduk di atas tanah sambil
menatap panik ke arah dalam rumah.

40
“Kenapa Sul???” tanya Ade sambil berjongkok
memegangi Samsul yang sudah berpeluh keringat.

“Anjiang di rumah tu ado Jundai!” (Anjing di rumah itu


ada Jundai!) jawab Samsul dengan wajah yang masih
ketakutan.

“Itu karena kamu demam aja kali Sul. Makannya


halusinasi kataku” kataku, mencoba mencari alasan logis.

Samsul tidak menjawab. Peluhnya terus mengalir dan


badannya juga masih terasa panas.

Aku berjalan ke arah rumah Pak Ali untuk


membuktikan Samsul hanya berhalusinasi. Ketika sampai di
ambang pintu yang terbuka, aku melongo ke dalam. Namun
saat itu juga aku terdiam.

Aku memandangi Samsul yang ada di samping Ade,


lalu aku menengok lagi ke dalam untuk kedua kalinya.

Kepalaku pusing dan jantungku berdebar kencang


hingga dadaku sakit dengan apa yang aku lihat.

Di dalam rumah, ada Samsul lain yang masih tertidur


memunggungi pintu…

41
Aku mundur satu langkah dari pintu dan melihat
kembali ke arah Samsul dan Ade.

Aku bergegas turun dari teras rumah Pak Ali dan


segera menyuruh Samsul dan Ade untuk ke rumah kakek.

“Loh? Kenapa Man?” tanya Ade.

Aku menggeleng. “Aku gatau kenapa. Tapi di dalam


rumah tadi ada Samsul lain yang lagi tidur!” jawabku cepat.

Ade terdiam seketika begitu juga dengan Samsul.

Kami masuk ke rumah kakek dan bergabung di ruang


tengah. Pak Panji langsung bertanya ketika kami bertiga
masuk ke ruang tengah tempat pak Ali dibaringkan.

“Ada apa Man? Suara apa tadi?”

“Samsul teriak pak.. katanya di rumah ada Jundai”


kataku.

“Mungkin tasapo kawan kamu itu. Gara gara ke


batang aia sore sore” kata pak Panji.

“Mungkin pak..” jawabku seadanya.

42
“Terus, mana temanmu itu? Udah tidur lagi?” tanya
pak Panji yang tentu saja membuatku bingung.

Aku menengok ke belakangku dan entah sejak kapan


Samsul sudah tidak ada di samping Ade!

“De?! Samsul mana??!” kataku ke Ade yang juga


terlihat shock begitu menyadari Samsul sudah tidak ada
disampingnya.

“GATAU MAN!” jawab Ade sama paniknya.

Aku dan Ade langsung berlari keluar dan melihat ke


sekitar. Samsul tidak ada! Aku segera naik ke rumah Pak Ali
dan memeriksa rumah tersebut. Pintu rumah itu sudah
tertutup dan Samsul yang tadi kulihat dalam posisi tidur masih
ada disana.

Aku berjalan masuk ditemani Ade di belakang. Kami


mendekati Samsul dengan sangat hati hati. Suara dengkuran
Samsul bisa kami dengar dengan jelas.

“Sul.. sul..” panggilku sambil bergerak mendekat


secara perlahan lahan.

43
Samsul tidak menjawab panggilanku. Aku menyentuh
bahunya, lalu entah kenapa timbul ideku untuk mencubit
Samsul sekeras mungkin.

Aku mencubit Samsul tanpa membangunkannya


terlebih dahulu.

Samsul tersentak sambil sedikit mengaduh

“Adededehh sakik! Manga kalian ko baruak?!” (Aduh


sakit! Ngapain kalian nih monyet?!) bentak Samsul dengan
mata merah dan mengusap usap legannya yang aku cubit.

“Nah ini Samsul yang asli!” kata Ade.

Samsul terlihat bingung dengan apa yang kami


bicarakan. Kami menjelaskan apa yang terjadi dan bagaimana
ada makhluk iseng yang meniru wujud Samsul dan sempat
berjalan bersama aku dan Ade ke rumah kakek.

Samsul bukanlah orang yang penakut. Mendengar


cerita kami ia justru penasaran kenapa ada sosok ghaib yang
mau meniru dirinya.

Keadaan Samsul saat itu masih belum sepenuhnya


pulih. Ia mengaku masih pusing dan lemas, tubuhnyapun

44
masih terasa hangat, namun tidak separah tadi sore. Aku
mengatakan juga apa yang terjadi di rumah kakek
sebelumnya. Samsul merasa tidak enak tidur saat keadaan
sekacau itu. Ia memutuskan untuk bergabung dengan yang
lain di rumah kakek.

Kali ini Ade mengantisipasi Samsul palsu lagi. Ia


menggenggam tangan Samsul dan menuntunnya seperti
membantu orang tua menyebrang jalan.

“Lapehan ndak?” (Lepasin gak??) ancam Samsul yang


merasa aneh.

“Enggak akan, sampai semua orang di rumah


kakeknya Rahman konfirmasi juga ngeliat kamu!” jawab Ade.

Kami naik ke atas rumah kakek lagi. Pak Ali sudah


sadar dan diberi minum air hangat dari tante Rina. Sementara
kakek ada di sampingnya memijat tubuh pak Ali.

“Ini yang tadi kamu ceritain Man?” tanya Pak Panji.

“Iya pak.. kayaknya tadi kita bawa Samsul yang


salah..” jawabku lemas.

45
“Samsul gimana keadaannya? Udah mendingan?
Katanya tadi sakit bukan?” tanya Pak Panji lagi.

“Masih ga enak badan pak.. tapi gaenak juga masa


saya tidur pas keadan begini” jawab Samsul.

“Gapapa.. sekarang udah..”

Belum selesai pak Panji menjawab, tiba tiba saja..

“BOBIIIIIII IKO AMA BOOOB. BOOOB BOBI SAKIK??


DAMAM? LAH MINUM UBEKK?” (BOOBI, INI MAMA BOOB,
BOBI SAKIT? DEMAM? SUDAH MINUM OBAT?) tiba tiba saja
tante Lisa berteriak sambil menggedor gedor pintu dari dalam
kamar.

Samsul tentu saja terkejut karena ini pertama kalinya


ia mendengar suara tante Lisa, dan kenapa tiba tiba saja tante
Lisa berbicara seperti itu.

“Udah, gapapa, besok kalau masih demam kita cari


obat kampungnya ya. Tasapo itu namanya. Sekarang kalian ke
rumah sebelah lagi aja. Udah gapapa kok. Pak Ali juga gapapa”
kata Pak Panji.

46
Aku menuruti perintah pak Panji dan kembali ke
rumah Pak Ali di sebelah dan merebahkan badanku yang
terasa sangat lelah. Aku jadi teringat mimpiku tadi sore
mengenai Shinta yang tertelan arus air. Aku tidak mencurigai
apapun karena kukira hal hal klenik di kampung ini sudah usai,
namun ketika aku mengalami hal barusan, aku khawatir mimpi
itu adalah sebuah pertanda.

Sambil menunggu kantuk, aku menatap langit langit


rumah ini dan pikiranku melayang kemana mana. Ade juga
tidak bisa tidur ia memilih bermain hape, hanya Samsul yang
sudah kembali terlelap dengan mudah. Namun tiba tiba saja
Ade tersentak.

“Astaghfirullah! Man! Ini apa??” sentak Ade sambil


menunjukkan foto jepretanku tadi di bibir tebing lubuak
pusaro.

Aku memperhatikan foto itu dan belum menemukan


hal aneh. Hanya ada Samsul yang bergaya diatas batu dan Ade
di bawahnya. Sampai aku sadar sesuatu setelah Ade munujuk
sebuah objek yang muncul di sudut kiri foto.. tepat di atas
kepala Samsul ada sepasang kaki kecil putih pucat yang
menggantung di pohon!

47
“Kaki??” tanyaku tidak percaya.

“Iya! Aku ga salah liat kan? Itu kaki! Tapi cuma ada di
satu foto itu aja” Ade kemudian menutup foto itu dan
membuka file file foto lain sambil menunjukkannya padaku
dan tidak ada satupun foto kaki tersebut terpotret di foto lain.

“kan? Emang Cuma di foto tadi aja adanya” kata Ade


sambil membuka lagi file foto yang menangkap gambar kaki
menggantung itu.

Namun ketika file itu akan dibuka, tiba tiba saja layar
hape Ade menjadi total hitam dan hape itu mati seketika. Ade
terlihat bingung dan panik padahal sebelumnya tidak ada
masalah. Ia mencoba menghidupkan hapenya berulang kali
namun gagal, baru setelah dicolok dengan charger,
handphone itu bisa menyala kembali. Anehnya, ketika Ade
mancari foto itu lagi, file foto itu sudah hilang.

“Udah. Kayaknya bagus foto itu hilang, jadi kita ga


trauma.. yuklah tidur, nanti pusing besok” kataku, mencoba
membuat semua hal menjadi positif padahal aku sendiri
sebenarnya khawatir.

48
Kemudian setelah berguling ke kiri dan kanan berkali
kali, aku dan Ade bisa tidur menjelang tengah malam. Tidurku
cukup nyenyak karena malam itu udara terasa dingin. Sampai
ketika aku terbangun karena mendengar suara pintu yang
terbuka.

Masih setengah sadar, aku membuka salah satu


mataku. Pintu yang terbuka adalah pintu kamar tidur yang
selama ini tidak kami gunakan karena kami bertiga tidur di
ruang tengah. Pintu itu terbuka cukup lebar dan ada angin
berembus dari dalamnya. Lalu tak lama, aku mendengar suara
orang mengunyah..

Jantungku berdebar namun aku tidak berani bergerak.


Aku hanya melihat dengan mata kiri yang aku buka sedikit.
Suara orang mengunyah itu terdengar cukup lama.. lalu tiba
tiba aku tercekat saat sesosok wanita melayang dengan gaun
putih besar dan wajah pucat keluar dari ruangan itu tanpa
suara..

Sosok itu melayang dari kamar tidur, melewati ruang


tengah dan keluar melalui pintu depan yang masih tertutup..

49
Aku menggerakan kakiku dari balik selimut ke Ade
yang ada di sampingku. Aku tendang tendang Ade agar ia
terbangun.

“Kenapa sih Man…” keluh Ade belum membuka


matanya.

“De, udah bangun?..” tanyaku berbisik.

“Belum..” jawabnya asal.

“De, tadi ada orang masuk rumah.. cewek!” kataku


lagi.

Ade langsung berbalik ke arahku dan meringkuk.

“jangan bercanda! Orang beneran bukan???” Ade


sekarang panik dan ikut ketakutan.

“Aku gatau, tapi gamungkin ada orang bisa nembus


pintu dan jalannya melayang!” kataku lagi.

“kamu berani cek keluar?” tantang Ade.

“Berani. Tapi kita berdua” tantangku balik.

50
“kalo gitu bertiga. Bangunin Samsul juga” kata Ade
mengelak.

Aku memindahkan posisi tubuhku menghadap


Samsul. Namun baru saja aku hendak membangunkannya,
terdengar suara ketukan dari arah pintu depan.

“tok tok tok tok”

Ade tersentak, Tapi kami berdua berusaha tidak


mengeluarkan suara apapun. Diluar masih gelap dan siapa
yang mengetuk pintu di jam segini??

Aku menggeleng ke arah Ade. Kode untuk perintah


“jangan dibuka”.

Namun sesuatu diluar sana terus mengetuk pintu


depan dengan cukup keras.

“TOK TOK TOK TOK”

Setelah beberapa saat suara ketukan itu berhenti, lalu


terdengar suara percakapan diluar.

“Beko se lah ndak, lalok jo baru si Rahman bantuaknyo


mah” (Nanti aja kali ya, si Rahman masih tidur kayaknya) kata
salah satu suara.

51
“Iyo bang..” (iya bang) jawab suara lainnya.

Lalu terdengar suara langkah menjauh dari depan


pintu.

“Masa anak anak jam segini iseng mukulin pintu sih


Man??” tanya Ade setelah beberapa menit suara itu
menghilang.

Aku tidak bisa menjawab Ade. Bibirku terasa kaku dan


gemetar. Bukan, mereka bukan anak anak biasa. Suara itu
adalah suara dua saudaraku, Bobi dan Nizar..

Bersambung Bagian 4

52
Hallo mwvers!

Terima kasih sudah mensupport mystic wave dengan mendownload cerita


ini. Apresiasi dari kalian sangat berharga demi terus berlangsungnya akun
membagikan kisah horror, tragedi dan informasi

Nantikan cerita cerita berikutnya dari seluruh narasumber di


Indonesia!

Temukan mystic wave di platform lainnya :

Instagram : @mwv.mystic

Twitter : @mwv_mystic

Youtube : Mwv Mystic Channel

TikTok : @mwv.mystic

Saweria : saweria.co/mwvmystic

Jika ingin mengangkat cerita ini ke platform lain, harap hubungi


admin untuk syarat dan ketentuannya di mwv.story@gmail.com

DILARANG MEMPERJUALBELIKAN ATAU MENCETAK ULANG CERITA


INI UNTUK TUJUAN KOMERSIL. HARGAI HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL PENULIS

53

Anda mungkin juga menyukai