Anda di halaman 1dari 13

Kepergian Seorang Teman

Mentari telah bersinar terik. Sang burung pun hilir mudik berterbangan. Jalan raya padat tak
bersela, itulah pemandangan yang selalu kulihat ketika aku berangkat sekolah. Kenalin gue
zenita putri azzahra, gue sekolah di SMA HARAPAN BANGSA kelas XI IPA.

Waktu itu gue lagi pelajaran tapi salah satu temen gue gak ada. Dan gue baru sadar kalo dia
gak ada pas gue istirahat. Biasanya gue ngobrol sama dia, tapi ini kerasa ganjil dan beda
banget. Gue gak tau kenapa dia gak berangkat mungkin dia sakit, atau lagi lomba karena
yang gue tau dia itu atlet sepakbola putri.

Besoknya gue berangkat ke sekolah, tapi temen gue yang satu itu belum juga masuk. Dan
kabar yang gue denger dia keluar dari sekolah. awalnya gue gak percaya tapi besoknya gue
percaya. karena waktu itu, pada jam pelajaran bahasa inggris. gue izin ke kamar mandi sama
temen gue namanya bella. gue lihat di depan deket ruang pembayaran ada orang yang gak
asing lagi buat gue. Yak dia orang yang selama ini gue cari namanya raquel, dia sama ibunya
mau ngurus surat kepindahan. Gue samperin lah dan kita sempet ngobbrol. raquel, lu kenapa
beberapa hari ini gak masuk?. gue kangen banget tau sama lu. Tanya gue
iya sorry nit gue mau pindah.
loh loh.. lohh?.. udah dipikir mateng-mateng itu.
iya gue juga udah yakin mau pindah
ya udah deh terserah lu. Ucap gue pasrah
sorry ya.
iya gak papa. Udah gitu gue balik ke kelas sama bella dan gue ngebilangin ke temen
deketnya dia dan ke ade sepupunya dia namanya aurel. Mereka pun izin untuk ke kamar
mandi dan menemui raquel.

1, 2, 3, 4, 5 menit, mereka balik ke kelas. tapi gak dengan aurel, dia nangis dan dia gak mau
masuk kelas kalau raquel gak masuk. Akhirnya guru yang mengajar mengizinkan raquel
masuk ke dalam kelas sekalian untuk perpisahan.

Kelas pun hening tak ada suara terdengar hanya isakan tangis memenuhi ruangan dia
berbicara di depan kelas temen-temen gue mau pamit besok gue udah gak bisa bareng kalian
lagi gue bakalan pindah sekolah Kelas pun semakin tak terkendali isakan tangis semakin
terdengar apalagi ketika pak guru menyuruh raquel untuk menyalami kita satu per satu.
Raquel pun sama dengan gue dan kawan-kawan, dia juga gak bisa ngendaliin air matanya
untuk gak turun dari pelupuk matanya.

Setelah raquel pergi semua belum terkendali normal, keadaan masih penuh tangis dan air
mata. Terutama aurel dan laura mereka adalah temen deketnya raquel banyak kenangan yang
mereka lalui bersama. dari sedih, senang, susah, duka mereka lewati bersama, hingga
akhirnya laura meminta izin untuk ke kamar mandi diikuti dengan raisa, renia dan bella.

Di kamar mandi laura menjadi-jadi dia terus menghantam tembok hingga tangannya
berdarah. Semua mencoba mengendalikannya dan akhirnya dia berhasil dibawa masuk ke
dalam kelas.
Gue sadar, perpisahan mungkin terjadi. tapi janganlah terlalu lama menangis dengan
perpisahan. percayalah kita akan bertemu kembali di suatu saat nanti. dan akan tertawa dan
tersenyum dalam jangka waktu yang cukup lama.

Kenangan

Rara terdiam, ia membisu, melihat ke langit-langit, matanya berkaca-kaca. Ia menoleh kanan


dan kiri, melamun sejenak dan merenung di sebuah taman yang sepi. Ia duduk pada ayunan
di bawah pohon.
Lama ia begitu, tiba awan mendung mengitarinya, tak lama hujan rintik-rintik mencoleknya.
Ia kemudian berteduh di bawah pohon. Tubuhnya basah kuyup, tapi ia tidak pulang. Ia
memandang langit sejenak, melihat awan itu mengitarinya. Matanya menjatuhkan tetesan air
yang sampai pada tanah.

Hujan kembali reda, terlihat sebuah pelangi melengkung menunjukkan kecantikannya. Rara
menundukkan kepala, mengingat semua, kenangannya.

Seseorang telah pergi darinya, meninggalkan Rara seorang yang bukan anak kecil. Riko
sahabatnya meninggalkan ia kemarin. Riko pergi bersama kedua orangtuanya untuk pindah
rumah dari tempat tinggal Rara selamanya. Rara seorang remaja yang mulai merasakan cinta
ini hanya bisa pasrah akan cinta pertamanya yang cepat menghilang. Tapi kenangan masih
sangat tersimpan di dalam laci hatinya.

Rara dan Riko setiap pulang sekolah bersama-sama bermain di Taman. Rara selalu bermain
ayunan bersama Riko, Riko mendorong Rara ketika naik ayunan, mereka tertawa-tawa dan
tersenyum bahagia. Ketika hujan datang, Riko sering melindungi tubuh Rara agar tidak
kehujanan, ia membawakan dedaunan, tasnya dipakaikan di atas kepala Rara, dan mereka
berteduh di bawah pohon. Ketika hujan reda, pelangi yang muncul adalah senyum dari
keduanya, Riko selalu memperjelaskan bahwa ada bidadari yang turun dari pelangi mambawa
kebahagiaan, maka Rara akan selalu tersenyum bila pelangi itu terbentuk.

Tapi, itu hanya sebuah kenangan, kenangan yang mungkin tidak terulang, dan mungkin
hanya tersimpan. Tapi ikatan batinlah yang akan menyatukan mereka.
BOLOS SEKOLAH
Karya Ilham Afie Fadhlillah

Adzan Maghrib pun berkumandang. Fikri segera melaksanakan sholat maghrib berjamaah
bersama Ibunya. Setelah melaksanaka sholat maghrib ia meminta doa kepada Allah agar dia
kelak saat dewasa nanti menjadi orang shaleh dan menjadi orang yang sukses. Dia juga tidak
lupa untuk mendoakan ayahnya yang telah meinggal saat Fikri masih kecil. Karena sejak saat
itu Ibunya Fikri menjadi tulang punggung dengan bekerja sebagai Karyawan swasta di
sebuah perusahaan ternama.

Keesokan harinya, Fikri dan teman temannya berjanji untuk bermain sepak bola di
lapangan depan perumahan mereka. Ibu, Fikri izin bermain sepak bola dulu ya bu?. Izin
Fikri kepada ibunya. Iya, kamu boleh bermain sepak bola asalkan, sebelum maghrib sudah
sampai di rumah. Jawab ibu kepada Fikri. Iya, Fikri janji bu. sahut Fikri kepada ibunya.
Fikri pun langsung pergi meninggalkan rumah dengan mengendarai sepedanya menyusuri
jalan perumahan yang basah karena hujan baru saja mengguyur tempat itu.

Bolos Sekolah
Saat tiba di lapangan ternyata teman-teman Fikri sudah menunggunya sejak tadi. Itu dia si
Fikri. Kata Badu sambil menunjuk ke arah Fikri. Oh, iya itu dia baru datang. Kata Doni
sambil melihat ke arah Fikri. Fikri melihat teman-temannya dari kejauhan, Fikri berpikir pasti
teman-temannya tak sabar untuk bermain bola bersama dia. Maaf, aku telat sudah membuat
kalian menunggu lama.. Kata Fikri minta maaf kepada temannya. Iya Fik, tidak apa-apa
lagipula kita tidak buru-buru mau bermain sepak bola. Sahut Badu kepada Fikri. Iya, benar
kata Badu. Sahut Doni. Jadi kan kita bermain sepak bola? tanya Fikri kepada teman-
temannya. Jadi, ayo kita bermain sepak bola! seru Doni kepada teman-temannya.
Permainan pun berlansung dengan seru. Tiba-tiba Doni tidak sengaja menyenggol kaki kanan
Fikri sehingga dia terjatuh. Kamu tidak apa apa kan Fikri? tanya doni sambil membantu
Fikri untuk berdiri. Ng..Nggak apa-apa. Jawab Fikri sambil menahan rasa sakit di kaki
kanannya. Sudah lebih baik kita berhenti saja bermain bolanya. Kata Badu kepada teman-
temannya. Fik, bagaimana kalau aku mengantar kamu pulang?. tanya Doni kepada Fikri.
Iya, boleh jawab Fikri kepada Doni. Akhirnya permainan mereka pun selesai. Fikri diantar
pulang oleh Doni karena kaki kanan Fikri yang tidak bisa mengendarai sepeda sedangkan
Badu pulang sendiri ke rumahnya.
Sesampai tiba di depan rumah Fikri, dia langsung berterima kasih kepada Doni karena Doni
telah mengantarkan Fikri ke rumahnya. Don, maaf sudah membuat kamu repot
mengantarkan aku ke rumah. Permintaan maaf Fikri kepada Doni. tidak apa apa Fik
lagipula kan aku sudah membuat kaki kanan kamu terluka tadi saat bermain sepak bola
seharusnya aku yang minta maaf bukan kamu. Jawab Doni kepada Fikri. Iya aku sudah
maafin kamu kok, terima kasih Fik sudah antar aku ke rumah. Sahut Fikri. Iya, sudah ya
Fik aku mau pulang ke rumah dulu nanti dimarahi oleh Ibu kalau pulang setelah maghrib.
Pamitnya kepada Fikri. Iya, hati-hati di jalan. Sahutnya

Fikri pun masuk rumah sambil menahan rasa sakit pada kaki kanannya. Assalamualaikum
bu, Fikri pulang. Salamnya sambil membuka pintu rumah. Wallaikumsalam, akhirnya
kamu pulang juga ibu sudah siapkan makanan buat makan malam. Jawab Ibu kepada Fikri.
I..iya bu. Kata fikri sambil menahan rasa sakit pada kakinya. Kaki kamu kenapa Fik?
tanya Ibu kepada Fikri. Iya bu ini tadi Doni tidak sengaja menyenggol kaki Fikri sampai aku
terjatuh. Jawab Fikri kepada Ibunya. Oh, ya sudah sana mandi setelah itu obati luka yang
ada pada kakimu. Jawab Ibu kepada Fikri. Baik bu. Sahut Fikri kepada ibunya.
Setelah Fikri melaksanakan Sholat maghrib ia pun langsung bergegas menuju ke ruang
makan dan menyantap makan malam itu. Fik, bagaimana masakan ibu enak tidak?. Tanya
ibu kepada Fikri. Alhamdulillah, enak bu. jawabnya. Oh iya Fik ibu punya hadiah buat
kamu. Kata ibu. Hadiah apa bu? tanya Fikri kepada ibunya. Ibunya segera mengeluarkan
sebungkus kotak yang masih terbungkus dengan rapih. Ini ibu membelikan kamu sebuah
ponsel kebetulan ibu dapet rejeki hari ini. kata Ibu sambil memberikan ponsel kepada Fikri.
Terima kasih bu, Fikri berjanji setelah dibelikan ponsel Fikri akan lebih giat lagi dalam
belajar. Sahutnya. Bagus Fikri Ibu suka kalau kamu akan lebih giat lagi setelah kamu
diberikan ponsel baru.

Keesokan harinya saat Fikri tiba di sekolah, Kelas sudah mulai rame tidak seperti biasanya.
Suasana kelas bercampur aduk ada yang sedang mengobrol dan ada pula yang sedang
bermain ponsel dengan asiknya. Hai Fikri. Panggil Rio kepada Fikri teman sebangkunya.
Fikri pun lansung duduk disebelah Rio. Bel masuk pun telah berbunyi dan pelajaran pun akan
dimulai. Pelajaran pertama yaitu kimia oleh Bapak Widi. Beliau pun masuk lalu menyuruh
ketua kelas untuk memimpin doa. Saat pelajaran dimulai Rio hanya fokus kepada ponselnya
saja. Rio,sstt Rio udah berhenti main ponselnya. tegur Fikri kepada Rio dengan nada pelan.
Kenapa?, tanggung ini lagi seru mainnya. Jawab Rio. Nanti kamu kena marah sama pak
guru. Tegur Fikri kepada Rio. Ternyata diam-diam Pak Widi memperhatikan mereka yang
sedang berbisik-bisik itu. Fikri dan Rio apa yang sedang kalian bicarakan? Dari tadi kalian
hanya berbicara saja. tegur Pak Widi kepada mereka berdua. Nggh ini pak si Rio.. si Rio..
jawab Fikri dengan rag-ragu. Ada apa dengan Rio, Fikri? potongnya. Si Fikri dari tadi
tidak memperhatikan selama Bapak menjelaskan tadi. jawab Fikri. Apa benar Rio kamu
tidak memperhatikan pada saat Bapak menjelaskan di papan tulis tadi? tanya Pak Widi
kepada Rio. I..iya pak. jawab Rio dengan terbata-terbata. Tanpa pikir panjang Pak Widi
segera bergegas menuju tempat duduk mereka berdua. Coba keluarkan ponselmu. Tegur
Pak Widi kepada Rio dengan nada marah. B.. Baik ini pak. sahutnya Rio sambil
megeluarkan ponsel dan memberinya kepada Pak Widi. Pasti ponsel ini yang membuat
kamu tidak memperhatikan Bapak tadi, benar bukan? tanya Pak Widi, Iya pak. jawabnya
dengan lesu dan menahan malu. Mulai hari ini Bapak akan memegang sementara ponsel ini
kalau kamu ingin ponsel ini kembali, temui Bapak bersama orang tua kamu besok di ruang
guru. kata Pak Widi dengan tegas. Pak Widi pun langsung melanjutkan pelajaran hingga bel
istirahat berbunyi
Bel istirahat pun berbunyi, Pelajaran Pak Widi pun selesai. Semua siswa keluar kelas untuk
menuju ke kantin. Tapi tidak dengan Rio dia hanya tertunduk lesu dan lemas mungkin karena
ponsel dia disita oleh Pak Widi. Kamu kenapa Rio dari tadi kok lemas? tanya Fikri. Iya,
aku malu kalau sampai besok orang tua aku harus menghadap Pak Widi apalagi masalahnya
tentang ponsel tadi. jawab Rio dengan nada agak kesal. Oh, soal tadi lagian kamu kenapa
tidak mau dengar nasihat aku tadi jadi ponsel kamu disita. jawab Fikri kepada Rio. Tadi itu
aku sedang keasikan kirim pesan sama teman lama aku. jawab Rio. Ya sudah kamu bilang
aja ke orang tua kamu tentang masalah ini secara baik-baik siapa tahu orang tua kamu bisa
mengerti maksud kamu tanpa harus marah-marah. sahut Fikri. Tidak tahu lah , aku pusing
mikirin soal masalah ini. jawab Rio sambil meninggalkan Fikri. Bel masuk pun berbunyi,
selama pelajaran berlangsung tampak dari muka Rio yang murung karena memikirkan
masalah yang tadi bagaimana dia harus memberitahu masalah itu kepada orang tuanya karena
kedua orang tua Rio bekerja di luar negeri bahkan saat pengambilan hasil nilai semester lalu
pun di wakilkan oleh bibinya. Bel pulang pun berbunyi Fikri lansung bergegas pulang ke
rumahnya.

Keesokan harinya, bel masuk pun sudah berbunyi tetapi Rio belum datang ke sekolah. tidak
ada yang tahu kabar Rio apakah dia sakit atau izin yang jelas Rio tidak datang ke sekolah hari
ini. Saat bel istirahat pun Pak Widi juga menanyakan kepada teman teman di kelas
mengapa Rio tidak datang sekolah padahal hari ini dia mempunyai janji untuk membawa
orang tua Rio ke sekolah. Akhirnya Fikri memutuskan untuk ke rumah Rio seusai pulang
sekolah bersama Badu dan Doni.

Bel pulang pun telah berbunyi. Fikri,Badu dan Doni berniat untuk mengunjungi rumah Rio.
Saat tiba di rumah Rio, Fikri pun langsung menekan bel yang ada di depan pagar ruamah Rio.
Assalamualaikum, Rio! panggil Fikri dengan nada keras. Wallaikumsalam, eh ada
Fikri,Badu dan Doni. Ayo, silakan masuk! ajaknya Bibi kepada mereka. Terima kasih bi,
tidak usah masuk takut ngerepotin bibi. jawab Badu kepada Bibi. Sebenarnya ke datangan
kami kesini untuk menanyakan mengapa Rio tidak masuk ke sekolah hari ini, memang
mengapa Rio tidak masuk ke sekolah hari ini? tanya Doni kepada Bibi. Lho, bukannya hari
ini Rio datang ke sekolah? jawab Bibi dengan kaget. Tidak bi, seharian ini Rio tidak datang
ke sekolah padahal Pak Widi menayakan kabar Rio. jawab Fikri. Tadi pagi Rio sudah izin
kepada bibi sambil mengenakan seragam sekolah. jawab Bibi. Tapi kami tidak melihat Rio,
bi padahal Rio sudah punya janji untuk menghadap Pak Widi bersama orang tua. jawab
Fikri. Rio, juga tidak cerita kepada bibi kalau hari ini dia dipanggil untuk menghadapa Pak
Widi bersama orang tua, memang ada apa dengan Rio? tanya Bibi kepada mereka. Begini
bi, pada saat pelajaran Pak Widi, Rio tidak memperhatikan dia hanya asik dengan ponselnya
sehinnga Rio ditegur dan dimarahi oleh Pak Widi serta beliau menyita ponsel milik Rio
karena itu ponsel milik akan di kembalikan apabila orng tuanya telah menghadap Pak Widi.
Kata Fikri menjelaskan masalah yang terjadi. Oh jadi begitu, itu si Rio baru pulang. jawab
Bibi sambil menujuk ke arah Rio. Maaf bi, Rio tidak meberitahukan masalah ini kepada
bibi. kata Rio sambil tertunduk lesu. Iya tidak apa apa lain kali kalau ada masalah seperti
ini langsung bilang ke bibi. Nasihat Bibi kepada Rio. Iya, benar kata Bibi, Rio. sahut
Badu. Jadi besok kamu masuk ke sekolah kan? tanya Fikri. Iya besok aku akan pergi ke
sekolah jawab Rio. Bi, kami izin pamit pulang dulu. Assalamualaikum. pamitnya Doni
kepada Bibi Iya, wallaikumsalam hati-hati di jalan. Mereka pun bertiga bergegas ke rumah
masing masing sedangkan Bibi tetap melaporkan masalah ini kepada kedua orang tua Rio.

Esok paginya. Bibi Rio yang menghadap Pak Widi karena kedua orang tua Rio tidak bisa
datang ke sekolah karena mereka masih ada urusan pekerjaan di luar negeri. Pak Widi pun
mengembalikan ponsel milik Rio dengan syarat dia harus berjanji untuk tidak mengulangi
kesalahannya lagi dan Rio pun menerima janji itu.

Kabut Ibu

Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu.
Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke
teras depan.

Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu
mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun
menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut.
Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, Begitulah rumah pengikut setan, rumah
tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.

***

Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti
warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika
itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar
belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah
berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya
mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa
kali mereka meneriakkan nama Tuhan.

Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang.
Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami untuk
pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak
terlampau jauh.

Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan
pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari
laknatnya malam. Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur
sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah
abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya
tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih untuk ibu,
sebelum mengajakku tidur di kamarnya.

Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar
riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah
menyuruhku untuk segera memejamkan mata.
Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu
sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya.

Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang
duluan, begitu kata abah.

Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak
tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan
pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna
merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan,
membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di
depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-
lunta mengangkat karung keranda.

Mengapa kita tak jadi pulang, Bah? tanyaku.

Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu. Abah tersengal-sengal mengayuh kereta
untanya.

Kotor kenapa, Bah?

Abah terdiam beberapa jenak, Ya kotor, mungkin semalam banjir.

Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?

Ya banjir.

Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.

Hus!

***

Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku
tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.

Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian


jemput ibumu.

Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih
membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah
dinding papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama
sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di
depan rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.

Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong
tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.

Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang
sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun,
beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup
dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda,
semuanya akan didatangi kematianlantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku
paham dengan warna merah yang menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa
menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.

***

Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah.
Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan.
Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam
kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia.
Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari,
menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi.

Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke
kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut,
melipat selimut, semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak
mengerti: kamar ibu selalu berkabut.

Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba.
Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi
dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu
bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari
matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah
kabut itu berasal dari air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya.
Entahlah.

***

Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka
pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami
menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami.
Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak
lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan
membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil
nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan
pecah di depan mata kami.

Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa
melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak
pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir
dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan
hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus menghantamnya, mencongkelnya,
mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di tanah.

Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan
kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar
lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada
ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana.
Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan
dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang.

Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor
kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju,
berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul
dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana
muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu
masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut
ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.

***

Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan
kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang
tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi
memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan,
rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi,
kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana ia menelan ibu.

KADO TERAKHIR UNTUK SAHABAT


Karya Nurul Alma Febriyanti
Lima hari sebelum kawanku pindah jauh disana. Selepas makan siang, aku langsung kembali beranjak
ketempat aku bermain dengan sahabatku.
hei, kemana saja kamu? Daritadi aku nungguin Tanya sahabatku yang bernama Alvi. tadi aku
makan siang dulu jawabku sambil menahan perut yang penuh dengan makan siang ah ya sudah,
ayo kita lanjutkan saja mainnya sahut Alvi. Tidak lama saat aku & Alvi sedang asyik bermain
congklak, Rafid adiknya Alvi datang menghampiri kami berdua.
kak, aku pengen bilang kata Rafid bilang apa? sahut Alvi penasaran kata bapak, sebentar lagi
kita pindahan jawab Rafid hah? Pindah kemana? tanyaku memotong pembicaraan mereka ke
Bengkulu jawab Rafid dengan singkatnya ya udah kak, ayo disuruh pulang sama ibu buat makan
siang dulu ajak Rafid ke Alvi iya deh.. ehm.. Alma, aku pulang dulu ya aku mau makan siang ujar
Alvi eh, iya deh aku juga mau pulang kalau gitu sahutku tak mau kalah.

Sesampainya dirumah aku langsung masuk kedalam kamar & entah kenapa perkataan Rafid yang
belum pasti tersebut, terlintas kembali ke pikiranku. Andai perkataan tersebut benar, tak terbayang
bagaimana perasaanku nanti ujarku pada cermin yang menatapku datar sudahlah daripada aku
memikirkan yang belum pasti lebih baik aku mendengarkan musik saja ujarku kembali sambil
beranjak mengambil mp3. Tak lama kemudian aku mendengar sebuah pembicaraan, yang aku tau
suaranya sudah tak asing lagi bagiku yaitu orang tuaku & orang tua Alvi sahabatku. Aku mencoba
mendekati pintu kamar untuk mendengarkan pembicaraan itu. Tak lama tanganku keringat dingin,
aku sudah mendapatkan inti pembicaraan ternyata benar apa yang dikatakan Rafid pada Alvi tadi
siang bahwa mereka akan pindah kurang lebih sebulan lagi.

Lemas sudah tubuhku setelah mendengar kabar itu, tiba-tiba ibu mengetuk kamarku &
mengagetkanku yang sedang bingung itu. *Tok3X Alma, kamu mengunci pintu kamarmu ya
Tanya ibu sambil mencoba membuka pintu enggak kok jawabku dengan lemasnya kamu kenapa..
ayoo buka kamarmu!! teriak ibu iya.. sebentar sahutku sambil membuka pintu.
ngapain kamu mengunci kamar? Tanya ibu.
gak knapa2 tadi aku memang lg duduk didepan pintu jawabku sambil menoleh keruang tamu
yang berhadapan dengan kamar tidurku.
ya sudah, tadi orang tuanya Alvi bilang kalau mereka ingin pindah bulan depan
iya, aku sudah tau sahutku kembali ke kamar tidur.
oh kamu tidak sedih kan? Tanya ibu yang menghampiriku.
tak kujawab pertanyaan ibu.
hm.. sudahlah tak usah dibahas dulu.. sana tidur siang dulu biar nanti malam bisa mengerjakan PR
ujar ibu sembari mengelus elus rambutku.
iya jawabku singkat.

Esoknya tepat dihari Minggu, matahari pagi menyambutku. Suara ayam berkokok dan jam beker
menjadi satu. Tetapi, aku tetap saja masih ingin ditempat tidur. Sampai sampai ibuku memaksaku
untyk tidak bermalas malasan.
Alma, ayoo bangun.. perempuan gak baik bangun kesiangan ujar ibu sambil melipat selimutku.
sebentar dulu lah.. aku masih ngantuk sahutku sambil menarik selimut ditangan ibu. itu Alvi
ngajak kamu main.. ayoo bangun!! ujar ibu kembali sambil mengeleng gelengkan kepala. oh oke
oke sahutku semangat karena ingat bahwa Alvi akan pindah sebulan lagi. Lalu, aku langsung
beranjak dan segera lari keluar kamar tidur untuk mandi & sarapan. Setelah itu Alvi tiba-tiba
menghampiri rumahku
Assalamualaikum, Alma!! panggil Alvi dari depan rumah.
walaikumsallam, iya!! sahut ibuku yang beranjak keluar rumah.
oh ibunya Alma, ada Alma nya gak? Tanya Alvi.
Alma nya lagi sarapan, sebentar ya tunggu dulu aja. Sini masuk jawab ibuku.
iya, terimakasih sahut Alvi.

Ketika aku sedang asyik asyiknya sarapan, Alvi mengagetkanku.


Alma, makan terus kau ini ujar Alvi sambil tertawa. yee, ngagetin saja kamu ini. Aku laper tau
sahutku sambil melanjutkan sarapan. kok gak bagi-bagi aku sih Tanya Alvi sambil menyengir kuda.
kamu mau, nih aku ambilin ya jawabku sambil mengambil piring. hahaha.. tidak, aku sudah
makan, kau saja sana gendut sahut Alvi sambil tertawa terbahak bahak. ya sudah jawabku
kembali sambil membuang muka. Tak berapa lama kemudian, sarapanku habis lalu Alvi mengajakku
bermain games.
sudah kan, ayoo main sekarang ajak Alvi semangat.
aduh, sebentar dong. Perutku penuh sekali ini sahutku lemas karena kebanyakan makan.
ah ayolah, makanya jangan makan banyak-banyak. Kalau gitu kapan mau dietnya ujar Alvi
menyindirku.
ya sudah ya sudah.. ayoo mau main apa? ajakku masih malas.
Vietcong yuk tempur tempuran jawab Alvi semangat seperti pahlawan jaman dulu.
hah, okedeh sahutku sambil menyalakan laptop milik ayah.

Kemudian, aku dan Alvi bermain games kesukaan kami berdua. Kami bermain bergantian, besar
besaran skor, dll tidak berapa lama ibunya Alvi memanggilnya untuk pulang. Assalamualaikum, ada
Alvinya gak? Tanya ibunya Alvi sambil tersenyum denganku. ada-ada.. Alvi! ibumu mencarimu
kataku kepada Alvi yang sedang asyik bermain. iya.. sebentar lagi, emangnya kenapa? Tanya Alvi.
aku tidak tau, sana kamu pulang dulu. Kasian ibumu ujarku sambil mematikan permainan. huh
iya iya sahut Alvi beranjak pulang kerumahnya.

Tak berapa lama, Alvi mengagetkanku saat aku sedang asyik melanjutkan permainan yang sedang
aku mainkan. Alma!! panggil Alvi sambil menepuk pundakku. Apa?? jawabku kaget. aku pengen
bilang sesuatu nih, hentikan dulu mainannya ujar Alvi. iya!! jawabku agak kesal. jadi gini..
dengarkan ya ternyata aku akan pindah 3 hari lagi cerita Alvi. hah? Kok dipercepat?? sahutku
memotong pembicaraan Alvi. aku juga tidak tau, kau sudah memotong pembicaraanku saja. Sudah
ya aku harus pulang ini.. bye! ujar Alvi beranjak keluar rumah. tunggu!! Kau serius?? tanyaku
dengan penuh ketidak percayaan. serius.. dua rius malahan jawab Alvi sambil memakai sandal. oh
ok.. bye!! sahutku kembali. Setelah Alvi pulang kerumahnya, aku langsung lari masuk kedalam
kamar & mengunci diri. Aku tidak tau apa yang harus kulakukan sedangkan sahabatku sendiri ingin
pindahan. Terlintas dipikiranku untuk memberikan Alvi sahabatku sebuah kado yang mungkin isinya
bisa membuat Alvi mengingat persahabatan antara kita selamanya walaupun sampai akhir hayat
nanti kita tak akan dipertemukan lagi. Ku ambil buku diary & kutuliskan cerita-cerita persahabatanku
dengan Alvi. Tak lama kemudian , terpikirkan suatu hadiah yang akan kukasih dihari dia pindahan
nanti lalu, aku ambil uang simpanan yang kusimpan didompetku & ku piker-pikir uangnya cukup
untuk membelikan hadiah untuk Alvi.

Besoknya sehabis pulang sekolah, aku langsung berlari ke toko sepatu dekat rumahku. Ku lihat-lihat
sepatu yang cukup menarik perhatianku, tiba-tiba ada seorang bapak-bapak yang menghampiriku.
hai nak, kamu mencari sepatu apa? Tanya seorang bapak yang menurutku adalah pemilik took
sepatu tersebut.
i..iya pak, maaf ada sepatu futsal tidak? tanyaku sambil celingak celinguk kesegala rak sepatu.
oh, ada kok banyak.. untuk apa? Kok perempuan nyari sepatu futsal? Tanya pemilik sepatu itu
sambil tertawa melihatku yang masih polos.
bukan untukku pak, tapi untuk sahabatku jawabku dengan polosnya.
teman yang baik ya, memangnya temanmu mau ulang tahun? Tanya pemilik toko itu. Entah kapan
pemilik toko itu berhenti bertanyaku.
iya jawabku berbohong karena tak mau ditanya-tanya lagi.
ok, sebentar ya. Bapak ambilkan dulu sepatu yang bagus untuk sahabatmu ujar pemilik toko
sepatu itu sambil berjalan ke sebuah rak sepatu.
sip, pak sahutku.

Tak lama, si pemilik toko sepatu itu kembali sambil membawa sepasang sepatu futsal.
ini nak!! kata pemilik toko sepatu itu.
wah bagus sekali, berapa pak harganya? tanyaku sambil melihat lihat sepatu yang dibawa oleh si
pemilik toko itu.
bapak kasih murah nak untukmu.. ini aslinya Rp. 60.000 jadi kamu bayar Rp.20.000 saja nak jawab
si pemilik toko itu sambil tersenyum.
terima kasih banyak pak, ini uangnya sahutku.
iya nak, sama-sama ujar sipemilik toko tersebut.
Setelah itu, aku kembali kerumah & mulai membungkus kado untuk Alvi. Mungkin ini hadiahya tidak
seberapa, kutuliskan juga surat untuk Alvi.
Malamnya aku masih memikirkan betapa sedihnya perasaanku nanti jika sahabatku pindah pasti
tidak bisa bermain bersama lagi seketika air mataku menetes & tiba-tiba ibu mengetuk pintuku.
Alma, ayo kerjakan dulu PRmu nanti kemalaman ujar Ibu dari depan pintu kamar tidurku. i..iya
sahutku sambil mengelap tetesan air mata yang membasahi buku yang sedang aku baca. Saat itu
pikiranku masih campur aduk entah harus senang, sedih atau apa. Aku tidak bias konsen
mengerjakan PR malam itu.

Besoknya disekolah, aku sering bengong sendiri sampai-sampai guruku bertanya kenapa aku seperti
itu. Ku jawab saja dengan jawaban yang sangat singkat karena aku sedang memkikirkan bahwa
besok lah dimana aku akan berpisah dengan sahabatku sendiri. Sepulang sekolah, aku langsung
berlari memasuki kamar lagi, mengurung diri hingga malam. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu
rumahku & kuintip lewat jendela kamar. Tak lama kemudian juga Ibu memanggilku untuk keluar
kamar sebentar.
Alma, ayoo keluar sebentar. Ada Alvi nih ajak ibu sambil membuka pintu kamarku.
iya jawabku beranjak keluar kamar.
nah kamu sudah disini, jadi begini besok kan Alvi mau pindah ayoo berpamitan dulu ujar ibuku.
Alma!! peluk ibunya Alvi kepadaku. maafin tante sama Alvi beserta keluarga ya jika punya salah
sama kamu, ini tante ada sesuatu buat kamu kata ibunya Alvi sambil memberiku sekotak coklat.
i..i..iya sahutku tak bisa menahan perasaan & sejenak kuingat bahwa aku juga punya hadiah untuk
Alvi.
Alvi, ini ada hadiah buat kamu. Terima ya ujarku mulai menangis.
iya. Alma jangan nangis dong jawab Alvi.
aku.. sahutku semakin sedih.
sudah kamu tidak usah sedih nanti suatu saat kalian bisa ketemu kembali kok, ibu yakin kata ibu
sambil menghapus air mataku.
ya udah, Alma jangan nangis ya oh iya ini tante kasih no telp. Tante biar nanti kalau Alma kangen
sama Alvi bisa sms atau telepon ya ujar ibunya Alvi sambil menghapus air matanya pula yang
hendak menetes.
iya.. jawabku sambil masih menangis.
Malam pun tiba, Alvi dan keluarganya pun berpamit & harus segera pulang. Aku pun kembali ke
tempat tidur & mulai menangis. Ku gigit bantal yang ada didekatku tak tahan aku melihat hal tadi.

Esoknya, tepat dipagi hari. Suara mobil kijang mengagetkanku & bergegas aku keluar. Ku lihat Alvi &
keluarganya sudah bersiap-siap untuk berangkat, tubuhku mulai lemas ibu pun mengagetkanku
untuk segera bersiap siap sekolah. Sebenarnya aku ingin tidak sekolah dulu hari itu tapi bagaimana
juga pendidikan yang utama. Aku bergegas kesekolah tapi sebelum itu, aku berpamitan dengan Alvi
lagi.
Alvi!! panggilku dari jauh.
Alma!! jawabnya sambil mendekatiku.
jaga dirimu baik baik disana ya kawan, semoga banyak teman-teman barumu disana & jangan
lupakan aku ujarku mulai meneteskan air mata.
iya, kamu tenang. Kalau kamu sedih kepergianku ini tidak akan nyaman sahutnya sambil
memberiku tissue.
iya terima kasih jawabku kembali sambil menghapus airmata dengan tissue yang diberikan oleh
Alvi.
oh iya Alma, thanks ya buat kadonya itu bagus banget aku juga udah baca suratnya terima kasih
banyak ya akan kujaga terus kado mu ujar Alvi menatapku.
iya.. sama-sama karena mungkin itu kado terakhirku untukmu kawan sahutku sambil tersenyum
tak menunjukkan kesedihan lagi.
kau memang sahabat terbaikku selamanya kata-kata terakhir Alvi yang ia ucapkan kepadaku.
Disitulah aku berpisah & disitulah aku harus menempuh hidup baru, juga makna dari sebuah
persahabatan tanpa menilai kekurangan seorang sahabat.

~Selesai~

Anda mungkin juga menyukai