Anda di halaman 1dari 9

Nama: Nurfadila Hasibuan

Prodi: Bahasa dan Sastra Indonesia

Kelas: VI-C

Tugas: Analisis cerpen

Baria Kapila

Oleh: Naili Sa’dah

“Firaa, udah siap belum buat besok?” ucap Zalfa keras dari ruang tamu.

“Iya kak ini lagi siap-siap” jawab Fira. Besok Fira akan berangkat ke asrama penerbangan di
luar kota mungkin sekitar lima jam perjalanan dari rumahnya.

“Jangan sampai ada yang lupa, dicek berkali-kali, biaya buat nganterin barang kamu kesana
kalau ada yang lupa itu mahal” Ingat Zalfa pada Fira.

“Iya kak udah aku cek kok, enggak ada yang ketinggalan” Jawab Fira.

Sebenarnya ia tak ingin sekolah penerbangan, namun kakaknya selalu memaksanya untuk
masuk ke sekolah penerbangan. Ia hanya pasrah karena hanya kakaknya lah yang
merawatnya dari kecil hingga sekarang. Orangtuanya telah meninggal dunia sejak dia bayi,
dimana kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan. Ia hanya bisa melihat kedua
orangtuanya dari foto dan hanya bisa mendoakannya. Kakaknya telah menikah satu tahun
yang lalu dan dia merasa berhutang budi kepada kakaknya, bila dia tidak menuruti keinginan
kakaknya berasa sangat berdosa.

Ketika Fira melamun dengan memandangi lagit yang mulai gelap disusul dengan indahnya
senja, ia merenung apakah aku bisa menjadi seperti apa yang diharapkan kakakku. Tak lama
kemudian kakaknya mengelus puncak kepala Fira dan langsung membuyarkan lamunan Fira.

“Ada apa kak?” Ucap Fira membuka topik pembicaraan.

“Enggak papa kenapa kamu ngelamun” Tanya Zalfa.

“Enggak, cuman kepikiran aja. Apa aku bisa seperti yang diharapkan kakak” Ucap Fira.

“Bisa, kenapa enggak, ingat barangsiapa yang bersungguh-sungguh ia akan berhasil” Jawab
Zalfa antusias.

Fira menatap wajah kakaknya yang optimis akan keberhasilannya. Dalam hatinya Fira tak
ingin melihat kekecewaan di wajah kakaknya.

“Loh kok bengong” Tanya Zalfa.

“Enggak kok kak, makasih udah support aku” Jawab Fira.


“Iya, itu udah jadi kewajiban kakak untuk selalu support kamu terus, kakak yakin kamu gak
akan kecewain kakak” Ucap Zalfa.

Pukul tiga dini hari, Fira terbangun untuk melaksanakan sholat tahajud. Dalam sujudnya dia
memohon kepada Allah untuk selalu diteguhkan hatinya, serta dilapangkan dadanya. Setelah
dia sholat tahajud dia tak lupa membaca surat Al-Waqiah, dia mendapat Amanah dari
ustadzah yang mengajarinya ngaji selama ini untuk membaca surat Al-Waqiah setelah
tahajud supaya dilancarkan rizkinya dan dikabulkan hajat hajatnya. Setelah membaca surat
Al-Waqiah, dia membuka handphone miliknya seraya menunggu adzan subuh
berkumandang, ia mendapat chat dari ustadzahnya, bahwa ustadzahnya ingin bertemu
sebelum dia berangkat. Beliau ingin memberi sesuatu untuk Fira, siapa tau barang tersebut
bermanfaat baginya.

Tak lama kemudian terdengar adzan subuh berkumandang, setelah menjawab adzan dia
segera keluar kamar untuk sholat berjamaah dengan kakak dan suaminya. Mungkin ini sholat
subuh terakhir di rumahnya sebelum dia berbulan bulan akan tinggal di asramanya, setelah
sholat subuh berjamaah dia berkemas kemas dan mengecek barang barangnya lagi. Tak lupa
sebelum dia berangkat dia pergi ke rumah ustadzahnya untuk berpamitan dan berterima kasih
atas pelajaran yang telah diberikannya.

“Assalamualaikum” Salam Fira dengan mengetuk pintu rumah ustadzahnya.

“Waalaikumussalam silahkan masuk” Jawab ustadzah.

Ustadzah Fahma, beliau bercadar, begitu alim, beliau mondok selama delapan tahun di
pondok tahfidz didaerah sekitar rumah neneknya diluar pulau. Beliau seorang hafidzah

“Inggih ustadzah” Jawab Fira

Setelah duduk bersebrangan, ustadzah berdiri menggambil sesuatu lalu diberikan padaku.
Ustadzah berpesan

“Jangan lupa sholat dan sholawatnya, jaga pandangannya dan tetap semangat,”.

Setelah berbincang bincang, ia pamit untuk pulang. Sambil membawa kotak yang diberikan
ustadzahnya, dia berjalan sambil menebak nebak apa isi kotak tersebut. Setelah sampai di
rumah dia membuka kotak tersebut dan ternyata isi kotak itu adalah notebook kecil berisi
quotes quotes dari ustadzahya dan Al-Qur’an kecil.Setelah memasukkan barang barang
kedalam mobil tak lupa ia juga memasukkan kenangan dari ustadzahnya. Tepat pukul
sepuluh pagi dia berangkat ke asrama penerbangannya.

Setibanya di asrama penerbangan Fira merasa lelah, karena lelahnya perjalanan dari
rumahnya hingga asrama. Rasa sedih mulai berkecamuk di hatinya, dia harus berpisah
dengan kakaknya. Namun dia tak menampakkan wajah sedihnya, dia hanya bisa menampak
senyum didepan kakanya. Ini adalah keinginan kakaknya dan dia tak boleh
mengecewakannya. Setelah Fira berpisah dengan kakaknya dia mulai memasuki kamarnya
dengan didampingi Kak Anjani, kakak senior dua tahun diatasnya, dia diberi tugas untuk
mendampingi peserta baru.

“Hai, kenalin Anjani, kamu?” Tanya Anjani.

“Fira, salam kenal” Jawab fira sambil berjabat tangan dengan Anjani.

“Semoga betah ya disini”

“Iyaa makasih doanya”

Sesampainya di kamar baru Fira, Anjani pergi untuk melakukan tugas selanjutnya. Di dalam
kamar dia juga bertemu banyak teman barunya.

“Hai” Sapa Septi

“Kenalin namaku Septi” Lanjutnya sambil berjabat tangan.

“Oh iya, namaku Fira, senang bertemu denganmu, asal mana?” Jawab Fira.

“Aku dari Banjarmasin, kamu?” Ucap Septi.

“Aku dari Solo” Jawab Fira.

Setelah banyak berbincang sambil menata barang-barangnya mereka berdua mengikuti


intruksi untuk berkumpul di ruang utama. Mereka berdua berjalan bersama, sebelum itu ia
bertemu kak Anjani dan mereka diantar ke ruang utama. Sesampainya di runag utama mereka
mendengar perkenalan-perkenalan singkat dari pembina mereka. Setelah perkenalan singkat
mereka juga memperhatikan bagaimana pembina mereka menjelaskan kegiatan sehari-
harinya di asrama. Hari demi hari mereka menjalaninya dengan baik, tak ada sedikit
keinginan untuk melanggarnya. Di tengah indahnya pemandangan rooftop asrama mereka
saling bertukar cerita. Tak hanya itu mereka juga saling memahamkan jikalau diantara
mereka ada yang kurang paham.

“Eh fir ngomong-ngomong kamu tu kesini kemauanmu?” Tiba-tiba tanya Septi memecah
keheningan.

“Sebenarnya sih enggak pingin sih, cuma ini keinginan kakakku dan aku tidak bisa menolak”
Jawab Fira sambil memandang dalam kearah langit yang mulai petang.

“Tapi kamu hebat juga ya, terpaksa aja udah sejauh ini, coba kalau minat kamu pasti akan
lebih dari ini” Ucap Septi sambil memandang lekat Fira.

“Iya sih sedang aku usahain jadi minat aku biar hasilnya memuasakan” Jawab Fira dengan
antusias.

“Semangat ya Fir, aku tau kamu pasti bisa”.

Setelah beberapa bulan lamanya mereka belajar di asrama, mereka sudah banyak memperoleh
pelajaran, namun tak cukup disitu, mereka tetap melanjutkan hingga penempatan kerja
mereka. Sebelum mereka ditetapkan penempatan kerja di bandara, mereka diwisuda terlebih
dahulu. Minggu depan dan mereka akan diwisuda di Jakarta.

“Sep enggak kerasa ya kita udah lama belajar disini, banyak banget kenangan ditempat ini
ya” Ucap Fira pada Septi ketika sedang mengemasi barang-barangnya.

“Iya perasaan baru kemaren kita masuk kesini, eh Taunya udah diwisuda aja” Jawab Septi.

“Sep kalau nanti penempatan kerja kita jauh jangan lupain aku, makasih udah support terus”
Ucap Fira.

“Enggak bakal lah, pokoknya kamu harus tetap semangat, pasti kakakmu bangga sama kamu
liat adiknya di wisuda nanti” Jawab Septi

“Makasih” Ucap Fira sambil memeluk Septi.

Hari ini adalah hari dimana Fira, Septi dan teman-teman lainnya di wisuda. Mereka telah rapi
dengan seragam mereka dengan sedikit goresan riasan pada wajah mereka, tak kalah dengan
adiknya, zalfa juga terlihat anggun dengan dress hijau army, dengan balutan kerudung hitam.
Zalfa telah tiba di Jakarta satu hari sebelum wisuda dilaksanakan. Proses wisuda telah
terlaksanakan kini Fira dan teman-temannya terasa begitu bahagia, namun mereka belum
terlalu lega karena belum ditetapkannya tempat kerja mereka. Namun tidak menjadi hal yang
terlalu diberatkan oleh Fira, Fira merasa sangat bahagia karena menjadi salah satu wisudawan
terbaik, merasa tidak mengecewakan kakaknya. Kakaknya memeluknya dengan erat, Nampak
kebahagiaan di wajah mereka berdua.

“Makasih udah enggak ngecewain kakak” Ucap Zalfa sambil memeluknya.

“Ini juga karena doa kakak, makasih udah support aku terus” Jawab Fira.

Keesokan harinya setelah diumumkan dimana penempatan kerja mereka, Fira merasa senang
karena mendapat tempat kerja yang dekat dengan rumahnya, di Solo. Tak hanya itu dia juga
satu tempat kerja dengan Septi, dia merasa kebahagiaan yang melimpah baginya. Dua hari
lagi mereka langsung berangkat ke bandara itu. Bandara Adi Soemarno, bertempat di Solo
dan tak begitu jauh dari rumahnya.

“… Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus dari
rahmat Allah melainkan orang orang yang kufur,” (QS Yusuf: 87).
Analisis cerpen Baria Kapila

a. Tokoh dan Penokohan

Menurut Nurgiyantoro (2005: 176) Berdasarkan tingkat kepentingan dalam cerita, tokoh bisa
dibagi menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama adalah tokoh yang
diutamakan penceritaannya dalam karya sastra (novel). Tokoh utama adalah tokoh yang
paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
Tokoh bawahan adalah tokoh yang keberadaannya mendukung tokoh utama. Menurut Wellek
(1990:288-289) membagi perwatakan menjadi dua yaitu perwatakan “datar” (flat
characterization) menampilkan suatu kecenderungan, yang dianggap dominan atau
kecenderungan yang paling jelas secara sosial. Perwatakan “bulat” (round characterization)
seperti penokohan “dinamik”, membutuhkan ruang dan penekanan.

Adapun tokoh dalam cerpen Baria Kalipa diantaranya.

 “Ketika Fira melamun dengan memandangi lagit yang mulai gelap disusul dengan
indahnya senja, ia merenung apakah aku bisa menjadi seperti apa yang diharapkan
kakakku”. Dalam paragraf 3 tersebut menunjukkan bahwa Fira mempunyai sifat yang
baik hati serta anak yang penutur kepada kakaknya.
 “Iya, itu udah jadi kewajiban kakak untuk selalu support kamu terus, kakak yakin
kamu gak akan kecewain kakak” Ucap Zalfa. Dalam paragraf 4 menunjukkan bahwa
kakak Zalfa mempunyai sifat penyayang.
 “Ustadzah Fahma, beliau bercadar, begitu alim, beliau mondok selama delapan tahun
di pondok tahfidz didaerah sekitar rumah neneknya diluar pulau”. Dalam paragraf 7
menunjukkan bahwa Ustadzah Fahma mempunyai sifat yang baik dan perempuan
yang sholeha.
 “Fira mulai memasuki kamarnya dengan didampingi Kak Anjani, kakak senior dua
tahun diatasnya, dia diberi tugas untuk mendampingi peserta baru”. Dalam paragraf 9
menunjukkan bahwa Anjani senior yang baik.
 “Kenalin namaku Septi” Lanjutnya sambil berjabat tangan. Dalam paragraf 10
menunjukkan bahwa Septi teman dekat Fira sangat baik hati.
Malim Pesong
Oleh : Hasan Al Banna

Ia semacam kubang penampungan bagi tumpukan gunjing yang busuk. Ia dicibir sebagai
penista agama oleh warga kampung. Lebih dari itu, Ustaz Tohir mendaulatnya sebagai calon
penghuni palung neraka. Haji Sangkot malah menudingnya dajjal. Bahkan Tumbur, penjudi
dan pemabuk di kampung itu pernah bersumpah, seraya menenggak tuak, “Kalaupun dia mati
di kampung ini, nisannya akan kuukir dengan nama Malim Pesong!

Malim Esa duduk di saf terdepan. Tapi suatu hal tiba-tiba melorotkannya dari tampuk
kemuliaan. Isi khutbah Ustaz Tohir seolah menggusurnya ke deretan akhir jemaah Jumat,
bahkan menjungkalkannya ke luar masjid. Maka kini ia memilih menunduk, menjatuhkan
sorot mata ke jantung sajadah. Sungguh, Malim Esa tak bernyali memaling muka ke
belakang, sekadar memastikan puluhan mata tengah menjelma pisau. Lantas menerkam
pundaknya: menyayat kulit dan mengelupas daging dari tulang.

Namun, meski sedang menanggungkan malu, Malim Esa tetap menyibakkan senyum. Ia
berulang-kali mengguyurkan napas ke lorong dadanya. Lumayan untuk meredam geliuk api
di hati, kendati gagal untuk dipadamkan. Tadi, Malim Esa takzim mendengar khutbah.
Namun ketakzimannya mendadak disembelih imbauan khatib yang bernada sindiran,
“Menghadap Allah tak musti dengan pakaian baru, tapi yang terbaik lagi bersih. Jangan
masuk masjid mengenakan kostum bola, ah….” Malim Esa melirik baju yang membungkus
tubuhnya. Merah menyala. Di dada kiri tertera logo Manchester United. Terbata-bata ingatan
Malim Esa mengeja sebaris kata buram di punggung baju: Ro-o-ney. Tapi ia hapal angka 10
yang terletak di bawahnya. “Sudahlah pakai kostum bola, saf pertama pula. Ya, jemaah yang
di belakang jadi terusik. Manalah khusyuk sembahyang sambil membayangkan Maradona!”
Ustaz Tohir mendengus, mendongak, lalu menyetor tatapan sinis ke seluruh ruangan.

Tanpa terhasut prasangka buruk, Malim Esa yakin peluru ejekan diletuskan ke kepalanya.
Paling tidak, andai ada jemaah lain yang mengenakan kostum bola, taklah alasan baginya
untuk berkelit. Maka, ia pun menuntaskan ibadah Jumat dengan pundak yang ditancapi
puluhan pisau. Pisau yang memutus nadi kekhusyukan sembahyangnya. Namun, beberapa
hari usai peristiwa tersebut, Malim Esa tanpa sengaja membidikkan senapan sindiran soal
kekhusyukan ke arah Ustaz Tohir. Biasanya, usai magrib, beberapa jemaah memilih bertahan
di masjid ketimbang pulang. Satu-dua jemaah rebahan atau mengaji di dalam masjid.
Sebagian lagi menagih angin di teras sambil kombur, bertukaran cerita. Nah, entah cerita apa
yang memicu, Malim Esa kontan berkisah tentang Bisuk, lelaki yang tak pernah khusyuk
sembahyang. Malim Esa tak peduli meski hadirin kombur melalaikan keberadaannya.

“Suatu kali ketika sembahyang subuh, di hadapan si Bisuk ada seorang tua berjubah putih,”
Malim Esa menyalakan ceritanya dengan sepercik senyum. “Angin kencang yang berhembus
sampai ke dalam masjid membuat juntaian jubah bergoyang, bergelombang. Lambat-laun si
Bisuk membayangkan sosok di depannya itu adalah hantu. Si Bisuk menggigil. Belum genap
dua rakaat, ia cabut dari saf, tunggang-langgang menuju rumahnya….”
Senyum tipis masih terpantik di bibir Malim Esa. Ia menoleh Ustaz Tohir dengan teduh.
Ustaz Tohir pura-pura tak menyimak, malah mendehem, dan melempar gumpal dahak ke luar
teras. Haji Sangkot memicing-micing mata sambil menyalakan rokok. Pendengar yang lain,
menggelicakkan air muka kebekuan. Namun Malim Esa tak hendak menebang batang cerita.
“Ha, pernah saat sembahyang Jumat, si Bisuk memperhatikan sajadah seorang jemaah di
sebelahnya. Sajadah itu sengaja dibawa jemaah itu ke masjid. Bagus sajadahnya. Tebal, lebar,
dan gambar masjidnya megah. Tak banding dengan sajadah masjid yang kusam, kecil, dan
kabur.” Malim Esa menjurus serius. “Alih-alih khusyuk, bah, si Bisuk malah sibuk
memikirkan sajadah di sampingnya. ‘Bagus kali, ah. Kapan aku masuk ke masjid sebagus
itu’. Gumam si Bisuk sambil berdecak dan menggeleng-geleng.”

Malim Esa pun mengunci ceritanya dengan mengoleng-oleng kepala. Para jemaah juga turut
bersigeleng, lantas satu-satu beranjak ke pancuran, mendaur wudu. Padahal isyarat isya
belum menegur. Ah, gelengan mereka bukan untuk si Bisuk, melainkan Malim Esa. Dasar
pesong! Umpat mereka ke telinga sendiri.

Ia pendatang baru di kampung itu. Atas izin Amang Leo, Kepala Kampung, Malim Esa
membuka lahan untuk berladang dan tinggal di pinggang bukit. Warga menyambutnya
dengan keluasan hati. Apalagi, meski entah dari mulut siapa, ia disebut-sebut malim, pandai
agama. Tapi memang terbukti. Bacaan sembahyangnya fasih, ilmu agamanya terbilang
mumpuni. Banyak warga mengagumi cara Malim Esa menyajikan ceramah agama. Baik di
acara pengajian setiap Kamis petang, maupun di atas mimbar Jumat. Tak kalah ia dari Ustaz
Tohir, yang tamatan pesantren dan menyelesaikan kuliah agama.

Memang, Malim Esa hampir tak pernah meledak-ledak tatkala menyampaikan nasihat agama.
Suaranya tak berwibawa, tak diberat-beratkan atau dibikin bergema, tapi berdenting ke
sanubari. Telunjuknya jarang menuding. Kulitnya memang sewarna kelabu, penuh irisan
ketuaan, juga ampas luka. Namun riak mukanya tak pernah keruh. Malim Esa jarang
menggurui, tak gemar mendikte. Ia lihai menjahit bahan ceramah dengan kisah-kisah yang
mengesankan.

“Malim Esa bukan ustaz yang suka menakut-nakuti,” gelak sebagian warga. Ya, senyum
khasnya senantiasa mekar di celah ceramah. Sejatinya senyum Malim Esa juga bagian dari
ceramah. Senyum yang menyejukkan. Kedua matanya pun turut berbicara, liar dan
bercahaya. Penampilan Malim Esa sederhana. Sarungnya tak banyak. Bajunya tak melulu
jubah. Kopiahnya berwarna cokelat tua, kalau tak hendak dibilang lapuk. Pokoknya warga
senang menukar kehebatan Malim Esa dengan elu-eluan!

Tapi, entah sejak kapan Malim Esa mulai dipencilkan warga. Dari kabar angin, ia tahu bahwa
Ustaz Tohir dan Haji Sangkot tak berkenan kepadanya. Ia memang kerap terlibat soal-jawab
dengan Ustaz Tohir, pun dengan Haji Sangkot. Namun itu biasa menurut Malim Esa. Cuma
bergelut pendapat. Suatu kali usai pengajian, Malim Esa meladeni Ustaz Tohir perihal
keikhlasan bersedekah.
“Ikhlas itu di sini,” kata Malim Esa sembari meraba dadanya.
“Kalau tangan kanan bersedekah, tangan kiri haram tahu,” balas ustaz muda tersebut.
“Mmh….”
“Sembunyikanlah jumlah uang yang engkau masukkan ke tabung infak. Orang di kiri-
kananmu tak boleh tahu.”
“Tidakkah makin ditutupi, makin diperhatikan orang? Bisa riya itu!”
“Jadi?”
“Wajar saja. Tak usah terlampau disembunyikan. Jangan pula ditunjuk-tunjukkan.”
“Kau bala di kampung ini! Keluar! Haram kakimu menginjak masjid ini! Jangan pernah lagi
masuk ke sini!” Haji Sangkot melempar Malim Esa dengan gelung sorbannya. Ustaz Tohir
bangkit dari duduknya. Ayun tinjunya menghantam hidung Malim Esa. Sejumlah jemaah
melonjak ke hadapan Malim Esa, entah melerai atau menyokong Ustaz Tohir. Untung Amang
Leo gesit merangkul dan menggiring Malim Esa ke halaman masjid. Malim Esa menyeringai
menumpas rasa sakit. Kejaran hujan meringkus tubuhnya yang ringkih. Siur angin
menyempoyongkan langkahnya. Dalam keadaan hidung yang bercucur darah, ia masih
mencoba tersenyum. Dan lalu, senyum itu perlahan memapahnya pulang. Sedang dari arah
masjid, masih terdengar lolongan amarah.

Sejak kejadian itu, Malim Esa kian terkucil. Meski ancaman Haji Sangkot melarang Malim
Esa masuk masjid tak terbukti, tapi ia dicekal menjadi khatib, mengisi pengajian atau
mengimami sembahyang jemaah. Belum lagi menghadapi khalayak yang menghukumnya
dengan pandangan sembilu. Jika kumpul-kumpul warga didatangi Malim Esa, orang-orang
menyambutnya dengan punggung. Kalaupun ada satu-dua warga yang masih melayani Malim
Esa, siap-siaplah hanyut di sungai gunjingan.

Begitulah, cuma dengan senyum Malim Esa menepis perlakuan itu. Tapi tak ayal, senyumnya
malah merampungkan cemoohan: dasar pesong! Akhirnya, Malim Esa tersiksa juga. Baginya,
lebih baik orang-orang kampung menghujat dengan aing yang lantang tinimbang mengolok
dengan tatapan timpang. Mengapa tak mereka hanguskan saja ladang dan tempat tinggalku,
pikirnya. Seperti yang lalu-lalu, di kampung-kampung yang lain, Malim Esa pun rindu
dirajah batu, dirajam bambu. Nikmat nian mendapati puluhan tungku luka berkobar di
gelimpang tubuhnya. Maka, meski bukan lantaran sengaja atau kecanduan, ia lebih
menginginkan orang-orang setempat menelanjanginya, mengarak dan menyeret tubuhnya ke
luar kampung. Pun tak apa mereka menyerapahi:
“Malim Pesong! Malim Sinting!”

Analisis cerpen Malim Pesong

a. Latar
Latar ialah tempat yang mencakup sebuah kisah disuatu cerita, tempat yang menggambarkan
tetang kisah-kisah yang sedang terjadi. Latar dapat diartikan dengan dekor, latar juga bisa
berbentuk waktu-waktu tertentu (hari,bulan,dan tahun), cuaca,atau satu periode sejarah.
Walaupun tidak harus langsung merangkum seorang pelaku utama, latar juga bisa
merangkum orang-orang yang dapat menjadi dekor utama (Staton, 2012: 35).

Dari pernyataan diatas adapun latar yang terdapat pada cerpen Malim Pesong yaitu:

 “Ustaz Tohir seolah menggusurnya kederetan akhir jamaah jum’at, bahkan


menjungkalnya keluar masjid.”(hal :18). Pada kutipan tersebut maka latar tempat
cerpen “Malim Pesong” karya Hasan Al Banna yaitu masjid.
 “Suatu kali ketika sembahyang subuh, dihadapan si Bisuk ada orang tua berbaju
putih,”(hal:20). “Malim tahu kenapa kita tak langsung tadarus malam ini?”(hal:23).
Pada kutipan tersebut menunjukkan latar waktu yaitu pada pagi dan malam hari.
 “kau bala dikampung ini keluar! Haram kakimu menginjak masjid ini! Jangan pernah
lagi masuk kesini!”(hal:25) Kutipan diatas menunjukkan latar suasana yang
menegangkan.

Anda mungkin juga menyukai