Anda di halaman 1dari 6

Nama: Nadia Amalia

Judul: Tragedi Melati

Aku tahu kakakku, Kak Dio, akan segera pulang ke rumah karena dia sering
menghubungiku, ayah atau ibu akhir-akhir ini. Kak Dio punya masalah dalam otaknya, dia
punya depresi. Itulah mengapa dia harus rutin menghubungi dokter yang mana cukup
menguras pengeluaran keluarga kami. Aku membenci kakakku terkadang, dia beban
keluarga, tetapi dia bagaimanapun masih kakakku.

Kucoba menghubungi kakakku tiga kali tetapi dia tak mengangkat teleponku.
Mungkin dia sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah atau pacaran dengan kekasihnya, aku
tak peduli, ada hal penting yang ingin kusampaikan padanya. Biasanya dia menelepon kami
berkali-kali, tetapi kali ini tiba-tiba hilang seperti ditelan bumi. Aku khawatir jika penyakit
depresinya kambuh, itu akan jadi cerita lain.

Kak Dio dan aku berjarak umur hanya dua tahun, dimana dia anak favorit ayahku
sedangkan aku anak favorit ibuku. Aku berumur tujuh belas tahun dan Kak Dio berumur
sembilan tahun, tetapi perbedaan kami sungguh jauh. Kak Dio ceroboh, emosional dan tidak
terkontrol sedangkan aku cenderung hati-hati, tenang dan terukur. Aku sampai tak yakin kami
berasal dari rahim yang sama karena perbedaan yang mencolok itu. Aku rasa pepatah “serupa
tetapi tak sama” benar adanya karena aku dan Kak Dio mempunyai sifat yang berbeda, tetapi
paras kami begitu mirip.

Aku mondar mandir di kamarku seraya menatap layar ponsel setelah berkali-kali
menerima pesan suara otomatis yang ditinggalkan Kak Dio tanpa bisa menghubunginya. Aku
tahu pasti ada sesuatu yang salah, pasti itu. Aku memakai jaketku, mengambil kunci mobil
dan berjalan ke garasi sebelum masuk ke mobil. Aku harus pergi ke asrama kakakku dan
mengecek apakah dia baik-baik saja. Lagipula, aku harus mengatakan padanya bahwa sepupu
kami, Rima, meninggal secara misterius. Kami dekat dengan Rima, jadi kurasa Kak Dio perlu
mengetahuinya.

Kukendarai mobil sejauh tiga puluh kilo meter, cukup jauh, tetapi aku tak punya
pilihan lain. Di samping aku ingin mengecek keadaannya dan memberitahu kematian sepupu
kami, aku benar-benar ingin mengunjunginya. Dia memang terkadang menyebalkan, tetapi
kami telah melewati banyak hal bersama.
Aku kadang berpikir jika semisal Kak Dio tak terlahir dan akulah anak pertama
apakah segalanya akan berbeda. Ibu tak perlu mengkhawatirkan keadaan Kak Dio sepanjang
waktu dan ayah tak perlu bekerja begitu keras untuk membiayai pengobatan Kak Dio. Aku
berpikir jika Kak Dio tak ada, segala sesuatunya berjalan lebih mudah, tetapi tentu tak bisa
seperti itu, aku tahu jauh dalam lubuk hatiku aku bersyukur Kak Dio ada.

Ketika aku tiba di asrama Kak Dio, aku melihatnya membelakangiku karena dirinya
menghadap laptop yang ada di atas mejanya. Dia terlihat lebih kurus dibanding terakhir kali
aku melihatnya, dia memang dasarnya kurus tetapi aku merasa ada yang salah dengannya.
Bahkan saat aku melangkah masuk ke dalam kamarnya, dia tak menyadari keberadaanku,
pikirannya seakan melayang entah kemana.

“Hei, aku kira Kakak mati!” aku menepuk bahu Kak Dio seraya menatap layar
laptopnya. “Ayah dan Ibu khawatir dengan keadaan Kakak dan ada hal penting yang ingin
kusampaikan pada Kakak.”

Mata Kak Dio berkedip cepat dua kali. Dia masih tampak tak menyadari
keberadaanku. Ada lingkaran hitam di bawah matanya seakan dia tak tidur selama berhari-
hari lamanya. Aku lihat tangannya terkulai di pangkuan layaknya kekuatannya telah terhisap
habis.

“Ah, Renald! Kamu di sini rupanya!” ujar Kak Dio akhirnya.

Aku memutar bola mataku berpikir bahwa penyakit Kak Dio benar-benar kambuh.
Dia seharusnya menyadariku lebih cepat. Namun, baru kuingat Kak Dio memang punya
refleks lambat. Dia bahkan pernah lupa tertawa ketika mendengar lelucon yang kulontarkan
dan baru menyadari betapa lucunya lelucon itu beberapa saat lamanya sebelum akhirnya
tertawa.

“Kamu datang mengunjungiku!” lanjut Kak Dio. “Ada kehormatan apa aku
dikunjungi oleh adikku tersayang?”

Aku duduk di kasur Kak Dio dan memandangnya serius. “Cukup bercandanya, ada
hal penting yang ingin kubicarakan.”

Kak Dio beranjak dari kursinya dan berjalan menuju ke depan kaca sebelum
menggosok-gosok janggutnya. “Apa? Ibu bertanya lagi padamu tentang keadaanku?”

“Tidak, sesuatu yang lebih penting.”


“Apa itu?” Kak Dio berputar menatapku. “Kamu nggak mau ngelanjutin ke jenjang
kuliah?”

“Tidak!” aku mulai kehilangan kesabaran. “Apa Ibu atau Ayah tak memberitahu
Kakak?”

Kening Kak Dio berkerut dan dia menatapku dengan wajah tak tahu menahunya.
“Apa terjadi sesuatu di rumah saat aku di sini?”

“Ya,” aku mengangguk. “Rima dibunuh secara misterius.”

“Rima siapa?”

Aku berteriak, “Rima! Sepupu kita!”

Aku melihat perubahan di wajah Kak Dio. Mukanya berubah merah dan kurasa dia
hendak menangis atau mungkin ketakutan.

“Bagaimana bisa?” mata Kak Dio memandangku nanar. “Siapa pula yang membunuh
gadis sebaik Rima?”

Aku menghela napas. “Entah, polisi masih menyelidikinya. Mereka bilang kasusnya
sungguh sulit karena pelakunya nyaris tak meninggalkan jejak apapun. Selain…”

“Apa?” tanya Kak Dio seraya menatapku tak sabar. “Selain apa?”

“Bunga melati.”

“Hah?”

Aku menghela napas. “Pelaku keji itu meninggalkan beberapa helai bunga melati di
atas jasad Rima.”

Kak Dio menatap langit-langit dan samar-samar kudengar dia berkata “Ya Tuhan.”
Aku tahu reaksinya akan seperti itu. Kak Rio sangat dekat dengan Rima, bahkan lebih dekat
dibandingkan diriku. Kematian Rima pasti sangat menyakitinya.

“Aku harus menghubungi Om dan Tante, mereka pasti merasa kehilangan sekali,”
ujar Kak Dio setelah helaan napas panjang keluar dari mulutnya. “Rima anak satu-satunya
mereka!”

Aku melihat Kak Dio dengan pandangan menyelidik. Dia terlihat sedikit aneh
menurut perasaanku. “Kak, Ayah dan Ibu mencoba menghubungi Kakak selama dua hari
kemarin, tapi kakak nggak pernah jawab. Kakak berkali-kali menghubungi kami sebelumnya.
Apa ada sesuatu terjadi?”

Kak Dio mengembangkan senyum aneh, aku tahu sesuatu terjadi, dia hanya enggan
mengatakannya padaku.

“Tak ada,” ujar Kak Dio seraya menggeleng. “Apa yang terjadi denganmu? Kamu
jauh-jauh kemari demi mengatakan kejadian itu padaku! Itu seperti bukan dirimu.”

Aku tersenyum lemah, “Aku hanya ingin mengetahui keadaan Kakak.”

Kemudian, tiba-tiba, suara isak tangis keluar dari mulut Kak Dio. “Ya Tuhan, Dia
masih enam belas tahun!”

Sesuatu dari dalam diriku tergerak, aku tahu aku tak akan memecahkan tangis tetapi
jauh dari dalam lubuk hatiku sesuatu retak. Yang kutahu selanjutnya, aku mendekat ke arah
Kak Dio dan dengan nada bergetar kutepuk bahunya, “Aku tahu, jangan menangis, atau aku
juga akan ikut menangis.”

Kami terdiam cukup lama untuk berkabung atas meninggalnya Rima atau menyadari
kenyataan bahwa sepupu kami telah mati. Tak terlalu penting yang mana dari kami
merasakan yang mana, Rima telah mati, kami tak bisa mengembalikannya lagi.

“Bagaimana jika selanjutnya aku?” keheningan dipecahkan oleh suara Kak Dio yang
bergetar. “Bagaimana jika pembunuh itu mengincarku juga?”

Raut wajahku seketika berubah, “Apa maksud kakak?”

“Kamu tahu,” ujar Kak Dio tersenyum aneh lagi. “Kamu pasti tak akan percaya, tapi
aku menerima email teror akhir-akhir ini. Aku rasa mungkin itu juga yang dialami Rima
sebelumnya.”

Aku gemetar. Tidak. Tak ada siapa pun yang mampu menakuti Kak Dio, tetapi Kak
Dio di hadapanku bergetar seluruh badan.

“Bisa kulihat emailnya?”

Kami berselancar di email Kak Dio dan aku membaca kalimat seperti “Umurmu tak
akan panjang lagi,” “Kau lelaki sialan,” dan beberapa kata jorok yang mengandung ancaman.
Aku gemetar betapa berbahayanya pelaku ini.

“Hapus semua email itu dan jangan coba-coba menanggapinya!”


Kak Dio menghela napas di sampingku. “Aku mencoba mengabaikannya, tapi email
itu terus berdatangan.”

Aku mengetatkan kepalan tanganku. “Segera, kita pasti akan tahu pelakunya. Aku
janji.”

“Aku harap begitu,” Kak Dio berkata lemah.

***

Aku mengikuti perempuan itu yang gerak geriknya mencurigakan. Aku tahu dia saksi
utama kematian Kak Dio. Kakakku ditemukan meninggal di asramanya dengan beberapa
helai bunga melati di atas jasadnya beberapa hari setelah kunjunganku. Dasar perempuan
sialan. Aku harus mendapatkannya.

Kubelokkan langkahku ke arah tikungan jalan. Perempuan itu terlihat familiar olehku.
Aku langsung teringat pada kekasih Kak Dio. Apa itu benar-benar dia?

Perempuan itu semakin cepat berjalan cepat di depanku. Tak akan kubiarkan dia lolos.
Kupercepat langkahku saat dia menyelinap ke sana kemari dengan gesit.

“Jangan kabur!” aku berteriak. “Kau perempuan jalang sialan!”

Kami tiba di gang buntu. Aku menunggu hingga ia menyerah. Dia tak akan bisa pergi
kemana-mana.

Aku bersiap untuk menyerang sebelum kudengar permohonan dari mulutnya, “Tidak,
tolong lepaskan aku!”

“Tak akan pernah!” aku berkata dengan kebencian menguasaiku.

Jadi, aku membunuh perempuan itu dengan tanganku sendiri.

Ah, ngomong-ngomong aku hampir melupakan bunga melatinya. Bunga favoritku.


Bagaimana mungkin aku bisa lupa? Aku menyeringai.

BIONARASI:

Nadia Amalia, cewek asli Malang penggemar film horor dan pecinta coklat. Saat ini
mengemban amanat sebagai ASN dan menghabiskan waktu senggangnya dengan
menghasilkan tulisan-tulisan. Untuk mengenal Nadia lebih dekat, bisa intip di instagram;
@nadiamalia14 dan mengirim kritik dan saran di email; nadiaamalia137@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai