Anda di halaman 1dari 2

Aku berjalan sendirian di tengah malam mencoba menemukan apa yang sedang

kupikirkan. Aku tidak gila—aku tahu aku tak cukup gila—dan aku sadar seratus persen lima
jam yang lalu. Namun, sekarang segala sesuatunya tampak tak jelas di mataku dan aku ingin
muntah di setiap tempat. Lalu, kusadari aku sedang mabuk.

Terasa panas di musim kemarau, tetapi tak sepanas kulitku sekarang. Aku mendapat
perasaan kakakku tak akan merasa senang melihatku mabuk setelah minum-minum dengan
beberapa teman. Dialah yang selalu memerintahkanku segala sesuatu seperti makan teratur,
mengganti pakaianku dengan pakaian bersih, tetapi dia tak pernah mengatakannya secara
gamblang sehingga lebih ke kalimat sarkastis. Aku tahu aku tak membencinya—siapa pula
yang membenci saudaranya sendiri?—tetapi terkadang aku hanya ingin memukulnya. Bukan
tanpa alasan, dia menjual motorku dan aku harus hidup dengan itu.

Aku berhasil melangkah ke pintu depan rumahku setidaknya—tak terlalu mabuk berat
seperti yang kukira. Aku mencoba membuka pintu, tetapi mataku terasa aneh karena aku
bahkan tak bisa membedakan mana kunci yang benar. Aku dengar suara dari dalam rumah
dan berpikir itu kakakku sehingga kubiarkan dia membuka pintu untukku.

“Ngapain sih pulang larut banget? Mau diusir dari rumah sendiri?” aku tak mendengar
secara jelas apa yang baru saja dikatakan kakakku, tetapi setelah beberapa lama aku baru
memahami perkataannya.

“Minggir dong! Aku pengin tidur!” suaraku terdengar aneh karena tidak seperti suara
yang kukenal.

Kakakku membantuku masuk ke dalam rumah, tetapi dia memegang begitu erat
tanganku seakan hampir membenciku. Aku tak menyalahkannya, aku tak pernah bebuat
masalah seperti ini dan tampaknya hal ini membuatnya cukup kaget.

Aku muntah di koridor di antara kamarku dan kamar mandi yang mana pasti tak
membuat kakakku senang. Aku tak bermaksud muntah di sana, tetapi perutku terasa aneh.
Kemudian, kakakku membantuku masuk ke kamar dan berbaring seperti yang ia lakukan
pada saat aku kecil dulu jika tertidur di luar kamar.

“Kak Rey, kayaknya aku bakalan muntah lagi. Ambilin ember dong!” aku berkata
sementara kepalaku pening sekali seakan aku akan mati jika itu tidak segera berhenti.
Kakakku hanya berdiri di sana dan walau aku tak bisa melihatnya dengan jelas aku bisa
merasakan kebenciannya padaku. Setidaknya dengan apa yang kulakukan malam itu.
“Oke,” nada sarkastis itu lagi. “Tiduran aja dulu. Aku ambilin air minum dan ember.”

Aku merasa bersalah pada Kak Rey—dia tak perlu mengurusku seperti pembantu.
Namun, dialah yang menyebabkan semua ini.

Aku berbaring di atas kasur menatap langit-langit kamarku yang berputar layaknya
komidi putar. Kak Rey datang beberapa saat kemudian—memegang ember dan segelas air.
Aku bisa melihatnya sekarang karena cukup merasa lebih baik.

“Alva, lain kali kamu kayak gini, aku bakal ngunci kamu di luar rumah!” aku tahu
Kak Rey sungguh-sungguh. Dia selalu sungguh-sungguh dengan setiap perkataannya.
Kemudian dia berkata lagi, “Cuma karena aku menjual motormu bukan berarti—”

“Kakak jual motorku dan itu yang bikin aku kayak gini!” aku balik berteriak padanya.
Aku tak biasa menang beragumen dengan Kak Rey, tetapi aku hanya ingin meluruskan apa
yang terjadi di antara kami.

Anda mungkin juga menyukai