Anda di halaman 1dari 11

Nama: Nadia Amalia

Judul: Bushworld

Betsy adalah anak yang bertubuh mungil, dengan rambut panjang berwarna hitam
kecoklatan, kedua mata yang berbinar cerah dan pipi putih yang bersemu kemerahan ketika
tersipu malu. Dia disenangi oleh setiap orang, tetapi sayangnya dia punya sifat ingin tahu yang
terlampau tinggi khususnya dengan setiap hal yang membangkitkan rasa penasarannya sehingga
cukup mengkhawatirkan untuk anak berumur enam tahun sepertinya. Namun, dengan tingkah
lakunya yang lembut dan wajah polosnya yang menggemaskan, tak ada yang tahu sifat asli yang
terpendam dalam dirinya itu.

Kakeknya tahu dia adalah kesayangan di keluarga. Jadi, setelah kematian sang ibu karena
melahirkannya sebelum disusul kematian ayah gadis cilik itu yang tenggelam di laut dalam
sebuah ekspedisi perdagangan, sang kakek paham dia harus menjaga Betsy dengan segala upaya.
Gadis belia itu adalah cucu kesayangannya dan dia tak bisa kehilangan sang cucu tersebut seperti
ia kehilangan anak perempuannya.

Suatu malam, keluarga tersebut mengadakan acara makan bersama untuk menyambut
tahun baru. Semua hidangan lezat tersedia di atas meja. Ada dua sepupu kembar Betsy—Liam
dan Roy—yang mana duduk di kanan serta kiri Betsy, pamannya Sammy di seberang gadis itu
serta kakak perempuan Betsy, Clara, dan juga suaminya, Pedro, duduk di sebelah kakek. Betsy
duduk dengan gaun cantik yang indah layaknya seorang putri kecil. Apa yang keluarganya tahu,
Betsy adalah anak manis yang menyenangkan untuk dipandang. Mereka tak tahu jika Betsy
memegang rahasia di genggaman kecilnya. Itu adalah benda berharga yang tidak mereka ketahui.

Betsy menunggu hingga paman, kedua sepupunya, kakak perempuannya dan sang suami
pulang dengan raut wajah senang setelah menyantap makanan lezat serta kegembiraan tahun
baru yang meliputi mereka sebelum berlari di koridor rumah kakek, kembali ke kamarnya
dengan benda berharga di tangan. Dia menunggu hingga sang kakek mengecup keningnya untuk
mengucapkan selamat malam. Ketika lampu kamar dimatikan dan suasana rumah telah lengang,
Betsy bersembunyi di balik selimutnya dan membuka genggaman tangannya dan tampaklah
sebuah sebuah kunci berwarna emas. Itu adalah kunci yang unik dan hanya Betsy yang
memilikinya.
“Jika ini sebuah kunci,” bisik Betsy pada dirinya sendiri di balik selimut. “Pasti ada pintu
yang bisa dibuka dengannya! Aku membayangkan ada apa saja di balik pintu itu! Mungkin aku
akan menemukan banyak permen! Siapa tahu?”

Salju mulai turun dan saat itu jam menunjukkan pukul sepuluh malam ketika seekor tupai
yang berekor biru panjang dan tubuh dipenuhi corak polkadot kuning tiba-tiba melompat masuk
ke kamar Betsy dan mulai menggulingkan benda-benda di atas meja. Tak mau membangunkan
sang kakek akibat suara ribut yang ditimbulkan si tupai, Betsy mencoba untuk menangkap
binatang itu yang melompat ke sana kemari dan sulit untuk dikejar. Betsy melupakan kunci
emasnya sementara waktu saat ia berusaha menangkap si tupai dan ketika si tupai hampir saja
tertangkap olehnya, makhluk kecil itu melompat melewati tubuh mungil Betsy dan ketika gadis
kecil itu berbalik, dia melihat sang tupai berada di kusen jendela dengan kunci emas miliknya
diantara gigi makhluk kecil itu.

“Kembalikan! Itu punyaku!” ujar Betsy mencoba menangkap tupai itu tetapi sang tupai
melompat kembali ke dahan pohon dan naik ke atas di antara dedaunan yang rimbun hingga
hilang dari pandangan.

“Oh, makhluk kecil nakal! Sekarang aku kehilangan kunciku. Bagaimana bisa aku
membuka pintu manapun jika aku tak punya kuncinya?” ujar Betsy merasa kesal dengan
kejadian yang baru saja terjadi. “Mungkin aku bisa keluar. Tupai itu tak akan jauh dari pohon!”

Dengan harapan tidak kehilangan jejak si tupai, Betsy berjingkat-jingkat keluar dari
kamarnya, menyusuri koridor rumah dan keluar tanpa memakai baju hangat apapun, bahkan syal.

“Mungkin aku harus memanjat pohon ini dan menakuti tupai itu jadi dia melompat ke
bawah,” ujar Betsy, berpikir bagaimana cara mendapatkan kuncinya kembali. “Dan jika tupai itu
di bawah, mudah untuk menangkapnya!”

Jadi, dia berusaha untuk memanjat pohon itu, tetapi sulit bagi gadis cilik sepertinya
untuk melakukan sesuatu seperti itu. Sebelum dia bisa meraih dahan pohon terbawah, dia telah
terjatuh dan merasa sedikit kesakitan karena lututnya terluka. Betsy mulai menangis, merasa
putus asa dan merasa dia tak akan menemukan kunci emasnya lagi. Namun, sesuatu tampak
bergerak di antara daun yang rimbun dan tupai itu menampakkan dirinya bahkan sebelum Betsy
berhasil mengejarnya!
“Tupai nakal! Sekarang serahkan padaku kunci itu!” ujar Betsy ke angin malam
sementara si tupai menatapnya dengan pandangan tak bersalah.

Betsy berusaha menangkap tupai itu yang melompat turun ke tanah, tetapi tanpa diduga
gadis cilik itu, si tupai meloncat ke dalam semak-semak meninggalkan jejak kaki kecilnya di
tanah yang mana nyaris tak terlihat di bawah sinar rembulan.

“Oh, tidak! Jangan lagi!” ujar Betsy tak percaya dia melewati malam yang melelahkan.
“Sekarang aku harus merangkak ke semak-semak dengan gaun tidurku? Yang benar saja!”

Namun, terdorong oleh keinginan mendapatkan kembali kunci emas itu, dia
memberanikan diri untuk masuk ke semak-semak dengan harapan tak menemui bahaya apapun.

“Hal buruk apa yang bakal terjadi?” ujar gadis cilik itu berusaha meyakinkan dirinya
sendiri. “Mungkin aku bisa tertusuk duri atau lututku terkena batu tajam, tetapi aku tak akan
membiarkan tupai itu kabur!”

Betsy mengangguk mantap dan mulai merangkak masuk ke dalam semak-semak. Namun,
semakin dia masuk, semakin dalam tampaknya semak-semak itu. Srak… srak… gadis itu
merangkak perlahan, mengabaikan luka di lututnya, tetapi semak-semak itu seperti tiada akhir.
Srak… srak… Betsy berpikir “Seberapa jauh lagi? Aku pasti tersesat di dalam semak!” Srak…
srak… dengan dua tangannya dia terus merangkak dan kembali berpikir “Dimana tupai aneh itu?
aku tak bisa melihat ekornya dalam kegelapan ini!” Masuk, masuk, masuk, Betsy terus masuk
menembus semak belukar itu dengan keyakinan semakin menipis.

“Oh, aku tak tahan lagi!” teriak Betsy. “Dimana tupai itu?”

Betsy hampir menangis karena merasa upayanya tak berbuah apa-apa ketika sebuah suara
terdengar oleh telinganya. “Oh, gadis kecil. Simpan kesedihanmu! Tidakkah kamu tahu aku
hanya berusaha menggiringmu?”

Mengetahui bahwa dia tidak sendiri di dalam semak yang gelap itu, Betsy merasa cukup
kaget, mengapa dia mendengar suara seseorang? Dia yakin itu bukan suara kakeknya, dan pasti
bukan suara sang kakak Clara karena itu suara lelaki. Dia merasa suara itu sedikit mirip dengan
suara pamannya Sammy tetapi, bagaimana mungkin paman Sammy menemukannya dalam
semak semak? Pasti juga bukan suara suami kakaknya Pedro, atau suara kedua sepupunya, Liam
dan Roy. Lagipula, bagaimana mungkin mereka cepat kembali dari rumah mereka masing-
masing untuk menemuinya kembali? Betsy tak lagi ingin menangis. Dia penasaran milik siapa
sebenarnya suara itu.

“Tunjukkan dirimu, siapapun kamu. Jangan bersembunyi di dalam kegelapan!” ujar


Betsy mengetahui dia tak lagi sendiri membuatnya berpikir apakah suara itu benar-benar ada dan
bukan sekedar imajinasinya. Dia menunggu dengan tak sabar sementara daun-daun dalam semak
itu mulai membuatnya gatal hingga suara itu datang lagi, bahkan tertawa dalam kegelapan.

“Aku akan tunjukkan diriku jika itu tak membuatmu ketakutan,” ujar suara itu sebelum
terdengar tawa berderai. “Kamu yakin ingin melihatku?”

“Ya! Ayolah! Jangan buang waktuku! Aku mulai merasa gatal dan kedinginan!” jawab
gadis cilik itu tak sabar. Dia mulai yakin pemilik suara itu ingin mengulur waktunya atau
mungkin mempermainkan dirinya.

Kemudian, entah dari mana, datang cahaya tak jauh dari tempat Betsy berada.

“Dekati cahaya itu. Ayo gadis kecil! Coba terus maju dan kamu akan melihatku!” ujar
suara itu membuat Betsy mengumpulkan kembali keberaniannya menembus semak belukar.

Masuk, masuk, masuk. Gadis itu menemukan dirinya sedikit merasa aneh dengan semak-
semak itu. Bagaimana sebuah semak-semak sangat panjang hingga terasa tak berujung? Dia
ingin berdiri untuk memastikan panjang semak-semak itu, tetapi bahkan saat ia mencobanya, dia
menyadari tinggi semak-semak itu telah jauh melebihi panjang tubuhnya,

“Apa semak belukar tumbuh cepat dalam salju?” Betsy berpikir dengan rasa penasaran.
“Oke, aku bisa berdiri dengan kedua kakiku dan mulai berjalan dari sini.”

Masuk, masuk, masuk. Betsy pantang menyerah menembus semak belukar itu,
mengetahui jika dia kembali keluar, itu sudah sangat jauh sekali jadi dia terus berjalan masuk.
Dia mulai berpikir dirinya telah jauh dari rumah kakek, bahkan siapa yang bisa menebak jika dia
ternyata telah menembus semak hingga mengelilingi kota?

Sementara Betsy hanyut dengan pikirannya, sumber cahaya itu semakin dekat sampai
gadis cilik itu melihat ekor biru panjang dari tempatnya berada.
“Hei, di situ kamu rupanya! Kembalikan kunciku!” teriak Betsy, berlari menuju arah
datangnya cahaya. Namun, tupai yang dikejarnya melompat ke dalam cahaya dan hilang dari
pandangannya.

“Aku harus mengikuti ke mana pun tupai itu pergi,” ujar Betsy pada dirinya sendiri. “Aku
yakin dia sedang menuju rumah penuh permen itu dan mungkin jika aku memintanya, kita bisa
membagi permennya! Apakah tupai mau berbagi? Aku banyak melihat tupai dan mereka hanya
suka makan biji kenari dan melompat di dahan-dahan pohon. Mungkin aku akan segera
menemukan jawabannya. Oh, cahaya yang sungguh aneh, aku akan melompat masuk ke
dalamnya."

Segera setelah Betsy melompat masuk ke dalam cahaya, badannya terjatuh ke sebuah
halaman yang mana terdapat rumah dengan perapian menyala. Rumah itu dikelilingi tanaman
merambat di seluruh dindingnya, membuat Betsy berpikir, bagaimana sebuah rumah dipenuhi
tanaman merambat di seluruh dindingnya, bahkan cerobong asapnya juga?

“Rumah yang sungguh aneh. Aku penasaran siapa yang tinggal di dalamnya. Mungkin
dia mau menyambutku jika aku bersikap sopan seperti yang dikatakan kakek jika kita ingin
mengunjungi seseorang,” ujar Betsy sementara dia bangkit berdiri dan berjalan ke arah rumah
itu. “Oh, kakek. Aku mulai merindukannya.”

Pikiran tentang sang kakek membuat Betsy menoleh untuk melihat arah datangnya ia ke
halaman itu, bertanya-tanya apa dia bisa kembali nanti. Namun, cahaya tempat dia masuk telah
menghilang dan berganti dengan kebun.

“Sebuah kebun? Dan tak ada lagi salju! Oh, tunggu, betapa anehnya bulan di atas itu,”
ujar Betsy saat kepalanya menengadah ke atas. “Bulan berbentuk kotak! Bagaimana mungkin?
Aku selalu melihat bulan berbentuk bulat lewat jendela kamarku setiap malam! Apa seseorang
memotongnya?”

Karena tak ada jalan untuk kembali, Betsy memutuskan untuk melanjutkan langkahnya
menuju rumah di halaman itu. “Mungkin pemilik rumah itu bisa mengatakan padaku mengapa
bulan berbentuk kotak. Oh, aku penasaran… jika aku bisa pergi ke bulan itu, mungkin aku bisa
berjalan di sana karena bentuknya kotak! Oh, aneh sekali pemikiranku ini.”
Betsy mengetuk pintu rumah itu dan kemudian sebuah suara wanita tua terdengar dari
dalam. “Masuk!”

Gadis cilik itu membuka pintu rumah tersebut dan menyadari dia berdiri di depan wanita
tua yang sedang duduk di kursi goyang sementara tupai dengan ekor biru panjang berada di
pundaknya…

“Hei, kamu tupai nakal itu!” ujar Betsy, menunjuk ke arah si tupai. “Di mana kunciku?”

Namun, sebelum Betsy menyadari apa yang sedang terjadi, suara lelaki yang dia dengar
ketika di semak-semak mengudara dan dia akhirnya tahu bahwa si tupailah yang mengeluarkan
suara itu! “Oh, diamlah gadis kecil! Jangan panggil aku tupai nakal! Aku punya nama yang bisa
kamu panggil.”

Kaget karena tak pernah melihat tupai yang bisa bicara, wajah Betsy berubah memucat
dan berkata dengan terbata-bata. “Ba… ba… bagaimana kamu bisa bicara? Kamu hanya seekor
tupai!”

Suara tawa terdengar memenuhi ruangan dan suara itu datang dari mulut si wanita tua.
“Oh, jangan melebih-lebihkan! Semua makhluk bisa bicara di Bushworld!”

“Bush… apa?” tanya Betsy mengetahui kata paling aneh yang ia dengar.

“Bushworld. Tempat yang kamu masuki,” ujar wanita tua itu seakan itu hal paling normal
yang dapat dikatakan. “Kamu tak lagi di duniamu gadis kecil!”

Perasaan aneh menghinggapi Betsy. Bagaimana mungkin dia pergi ke suatu tempat
bernama Bush—oh, dia tak bisa mengingat nama tempat ini—hanya dalam semalam? Bahkan
mungkin lebih cepat dari itu. Itu jika wanita tua itu bisa dipercaya, dia ingat kakeknya selalu
mengingatkannya untuk waspada pada orang yang baru ditemuinya jadi dia berpikir, mungkin
dia juga harus waspada pada wanita tua dihadapannya tersebut.

“Kamu cari ini?”

Betsy menatap benda yang dipegang wanita tua itu, sebuah kunci emas berkilauan. Itu
kunci miliknya!
“Kunciku! Bagaimana nenek bisa menemukannya?” tanya Betsy sebelum mengingat
bahwa si tupai mungkin yang telah memberikan kuncinya pada sang nenek. “Itu perbuatanmu
kan tupai?”

Tupai itu memutar matanya seperti bosan. “Aku bilang, jangan panggil aku tupai! Aku
punya nama kamu tahu!”

“Apa yang kamu bicarakan?” ujar sang nenek. “Jika ini kuncimu, maka ini milikku
sekarang. Mungkin ini memang kuncimu, sebelum aku mendapatkannya kembali, tetapi ini
memang kunciku karena aku yang memilikinya!”

Bingung dengan kalimat panjang yang didengarnya dan tak terdengar masuk akal
baginya, Betsy menyadari mungkin semua ini adalah mimpi. Ya, dia pasti sedang bermimpi dan
dia harus berusaha bangun. Jadi, sebelum si nenek atau si tupai mengeluarkan kata satu pun,
Betsy mencubit lengannya seperti yang dikatakan kakaknya Clara jika ia sedang ingin bangun
dari mimpi buruk maupun aneh.

“Sungguh aneh,” ujar Betsy, setelah mencubit lengannya sampai meninggalkan memar
halus. “Aku masih dalam mimpiku!”

Mengetahui Betsy bertingkah aneh, sang nenek bertanya padanya apa yang sedang
dilakukan Betsy, “Apa yang kamu lakukan?”

“Tak apa,” jawab Betsy, merasa frustasi bahwa dia masih belum terbangun. Namun, dia
merasa memiliki kunci itu dan dia tak bisa diam saja jika kunci itu diambil, bahkan dalam mimpi
sekalipun. “Nenek, aku menemukan kunci itu di semak-semak dekat rumah kakekku. Aku
menemukannya, jadi itu pasti menjadi milikku. Maukah nenek mengembalikannya padaku?”

“Apa kamu yakin?” tanya wanita tua itu. “Akan lebih berguna jika aku memilikinya.
Mendekatlah!”

Betsy bergeming di tempatnya, tentu dia tak mau mendekat jika dia masih belum percaya
pada orang asing yang ditemuinya. Namun, wanita tua itu mengeluarkan suatu dari kantung
bajunya yang mana sebuah kotak kecil terbuat dari kayu. Dengan kunci emas di tangannya, sang
nenek membuka kotak itu dan permen-permen beraneka warna tampak di dalamnya.
“Kamu pasti belum percaya padaku. Namun, bisakah kamu menolak permen-permen
ini?” ujar wanita tua itu tersenyum.

Betsy menyadari bahwa kunci emas itu tak untuk membuka pintu rumah permen. Namun,
dia tak bisa menolak jika permen-permen lezat berwarna warni itu tampak dihadapannya walau
hanya sebanyak muatan sebuah kotak kayu kecil. Ada permen lolipop, marshmellow dan bahkan
permen favoritnya: nougat. Bagaimana mungkin gadis cilik itu menolaknya?

Jadi, gadis cilik itu mendekat dan mengambil sebuah permen nougat yang sangat lezat
tampaknya, sedikit meleleh di suhu ruangan itu. Dia memakannya dan mulai mengunyahnya.
Permen itu sungguh enak dan dia ingat tak pernah merasakan nougat seenak itu sebelumnya.
Namun, sebuah perasaan aneh dirasakan perut kecilnya dan seluruh ruangan terasa berputar
sebelum semuanya benar-benar gelap.

Betsy bangun di sebuah tempat gelap yang hanya terdapat jendela kecil yang membuat
sinar dari luar masuk. Ingatannya masih kabur tetapi tiba-tiba saja dia mengingat hal yang terjadi
sebelumnya. Dia ingat ia sedang memakan permen nougat sebelum merasa pusing dan tiba-tiba
terbangun di ruangan itu.

“Apa maksud semua ini?” kepala kecil Betsy berusaha menemukan jawaban tentang apa
yang terjadi padanya. “Apa nenek itu bermaksud jahat padaku? Jika tidak, dia pasti membacakan
dongeng untukku, atau menceritakan mengapa bulan berbentuk kotak, atau memberiku permen
lain, bukannya menaruhku di ruangan sempit dan gelap ini!”

“Kamu gadis kecil yang bodoh!” sebuah suara yang familiar terdengar oleh telinga Betsy
dan sesuai prediksi gadis kecil itu, tupai ekor biru yang ia temui sebelumnya tampak di luar
ruangan yang dibatasi jeruji besi. “Nyonya Bushqueen mencoba memakan tanganmu jika aku
bisa memperingatkan. Nyatanya, dia ingin memakan seluruh tubuhmu yang terlihat empuk itu!”

Betsy terganggu dengan kata-kata yang diucapkan si tupai sehingga dia menyahut. “Siapa
Nyonya Bushqueen? Dan aku yakin tak ada seseorang yang memakan tubuh anak kecil! Betapa
anehnya perkataanmu tupai!”

Tupai itu terlihat tersinggung, dia melompat semakin dekat di dekat jeruji besi dan
berkata dengan marah, “Aku berusaha menyelamatkanmu karena aku tak tega. Aku disuruh
penyihir wanita itu untuk menggiringmu ke sini karena dia ingin makan gadis kecil sepertimu
untuk makan malam. Aku adalah yang menyarankan agar kamu dikurung untuk diberi makan
supaya gemuk dulu sehingga ada waktu bagiku untuk membebaskanmu. Namun, kamu
sepertinya tak mau diselamatkan karena kamu senantiasa memanggilku dengan sebutan tupai!”

Betsy punya perasaan bahwa tupai itu benar-benar tersinggung dengan perkataannya. Dia
tak mau menyakiti hati siapapun sehingga dia berkata, “Oh, maafkan aku. Biarkan aku tahu
nama panggilanmu sehingga aku bisa memanggilmu dengan nama yang kamu inginkan seperti
yang kamu katakan sebelumnya.”

Tupai itu tersenyum, mengetahui Betsy minta maaf padanya sehingga dia merasa lebih
baik. “Aku tupai ajaib. Bukan sekedar tupai, atau tupai nakal seperti yang kamu katakan.
Namaku juga tak biasa yaitu Rubylight.”

“Terima kasih Tuan tupai ajaib Rubylight untuk memaafkanku,” ujar Betsy, tersenyum
dengan pipi mungilnya yang bersemu kemerahan. “Kamu punya nama yang indah!”

“Terima kasih,” ujar Rubylight. “Sekarang pejamkan matamu dan kunyah permen ini!”

“Apa itu? Aku yakin sekali untuk tak memakan permen apapun sejak permen terakhir
yang kumakan membuat kepalaku pusing,” ujar Betsy berusaha meyakinkan dirinya untuk tak
menerima permen manapun dari siapapun.

“Ini permen bermantra. Kunyah dan telan maka kamu akan kembali ke rumahmu dan
menganggap jika semua ini hanya mimpi,” ujar Rubylight mengulurkan tangan kecilnya
melewati jeruji besi. Di dalamnya, terdapat sebuah permen berwarna biru yang ia bicarakan
sebelumnya. “Cepat! Sebelum Nyonya Bushqueen datang!”

Betsy mengulurkan tangannya untuk menerima permen itu. Dia melihat Rubylight adalah
tupai terbaik yang ia temui, tak seperti tupai yang biasa ia lihat sebelumnya yang biasa melempar
biji kenari ke arahnya atau mengagetkannya saat bermain di halaman rumah, sehingga mungkin
mempercayai Rubylight adalah caranya keluar dari ruangan sempit dan gelap itu. Jadi, dia
mengambil permen biru dari tangan Rubylight dan memakannya.

Ketika Betsy sedang mengunyah, suara wanita tua terdengar dari jauh, “Rubyyyy…,
dimana kau?”
“Cepat! Sekarang telan!” ujar Rubylight terlihat panik.

“Ruby…” ujar Betsy, merasakan keanehan dalam perutnya setelah menelan permen biru
itu. “Apa yang terjadi?”

Namun, Rubylight hanya mengatakan, “Sampai jumpa kawan kecil!” dan pergi
meninggalkan Betsy.

Betsy mulai merasakan keanehan tak hanya diperutnya, tetapi seluruh tubuhnya. Dia
melihat tangannya mulai menipis dan transparan. Sebelum dia menyadari, Nyonya Bushqueen—
wanita tua yang ia temui sebelumnya—melihatnya perlahan menghilang dan berteriak marah
tetapi gadis cilik itu dengan cepat pergi dari pandangan.

“Betsy!”

“Betsy!”

“BETSY!”

Betsy membuka matanya dan tampak wajah kakeknya sedang memandangnya. Dia
mengedarkan pandangannya dan menyadari dia berada di dalam kamarnya ketika sinar matahari
menembus dari luar jendela kamarnya.

“Mimpi yang sungguh aneh,” ujar Betsy sebelum menoleh ke arah sang kakek. “Kakek,
aku sangat merindukanmu!”

Betsy mengulurkan tangannya untuk memeluk sang kakek yang tertawa karena sang cucu
begitu merindukannya. “Ada apa Betsy? Kamu seperti tak melihat kakek dalam waktu yang
lama,”

“Aku…” Betsy menyadari jika dia ingatannya akan kejadian yang baru ia alami perlahan
menghilang. “Ah, lupakan kakek.”

Jadi, Betsy kembali menjalani rutinitasnya yang biasa ia lakukan di pagi tahun baru yaitu
pergi berjalan-jalan dengan sang kakek ke kota di tengah lautan salju yang indah, melupakan
kunci emasnya dan tanpa ia ketahui, seekor tupai berekor biru dengan polkadot kuning di
tubuhnya menatap gadis cilik itu dari atas pohon seraya tersenyum.

BIONARASI:
Nadia Amalia, cewek kelahiran Blitar penggemar film fantasi dan pecinta novel Harry Potter.
Saat ini mengemban amanat sebagai ASN dan menghabiskan waktu senggangnya dengan
menghasilkan tulisan-tulisan. Untuk mengenal Nadia lebih dekat, bisa intip di instagram;
@nadiamalia14 dan mengirim kritik dan saran di email; nadiaamalia137@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai