Anda di halaman 1dari 8

1. ringkas.

2. menampilkan keterangan waktu, tempat, dan suasana yang digunakan pada alur cerita
cerpen
3. alur pada cerpen wajib disusun secara sistematis berdasarkan prinsip sebab-akibat.
4. konflik yang dimunculkan juga sudah mulai disertai dengan penyelesaian masalah.
5. Koda adalah bagian akhir pada alur cerpen yang memuat pesan moral dari cerita yang
disusun. Nilai atau pesan moral dapat disampaikan secara lugas namun bisa pula
disampaikan secara tidak lugas (tersirat)

SINOPSIS

Sering cinta lalu lalang melewati hati Verra dan lelaki yang ditunggunya pagi itu adalah
lelaki kelimanya. Selama ini, masih belum ada lelaki yang layak menurut Verra. Verra
mondar-mandir di depan rumah sementara dua pasang mata menatapnya pasrah. Tak
dapat dipisah, itu pikir keduanya kalau cinta mereka langgeng selamanya. Dengan mudah
gadis itu melepas cinta seakan rasa itu tak pernah ada. Disadarinya dosa yang telah dia
perbuat. Timbulah ketakutan menjadi perempuan yang tak diinginkan. Dirinya pun
memutuskan untuk berubah. Percaya dia kalau sang lelaki adalah pangeran yang
dicarinya selama ini. Namun, ternyata kekasih barunya ini tetap saja tak memenuhi angan
muluknya.

Kali pertama Rey melihat Verra, lelaki itu berpikir sang gadis sempurna: cantik, periang,
menyenangkan. Namun, dia meneguk kepahitan yang tak diduga. Apa yang terlihat belum
tentu apa yang dikira.

Ingin rasanya orang-orang berteriak kepada gadis itu, lelaki seperti apa sih yang sebenarnya
kamu cari? Rupawan, acap kali Verra menjawabnya. Pada akhirnya mereka hanya geleng-
geleng kepala, lelah akan jalan pikir Verra.

Memang dari awal bukan tipeku, tepis gadis itu acap kali berpisah.

Rupawan. Kalaupun itu makhluk, terbahak puas pasti melihat tingkah Verra.

Ingin rasanya orang-orang yang melihat berteriak kepada gadis itu, lelaki seperti apa
sih yang sebenarnya kamu cari?
Rupawan, acap kali Verra menjawabnya. Jawaban yang mengundang gelengan
kepala orang-orang yang lelah rupanya dengan tingkah gadis itu.

Kali ini aku pasti berhasil, dialah orangnya, pikir Verra yakin sementara kakinya mondar-
mandir.

Namun, antara sadar dan tidak, Verra mulai dikuasai suatu pikiran, perlahan tetapi
menguat, halus tak terasa tetapi nyata: pikiran bahwa dirinya lebih unggul dari gadis mana
pun. Pikiran yang sebenarnya timbul dari dulu dan muncul dengan adanya pemicu. Cantik,
periang, molek, menyenangkan saat diajak bercerita, siapa orang yang tak suka? Decak
kekaguman muncul dari mana-mana ditujukan padanya. Mengelu-elukan dirinya. Apalagi
semenjak Alaska memperlakukannya bak putri raja. Semua perhatian itulah yang perlahan
menghancurkan dirinya. Dia elok tetapi arogan. Dirinya dikagumi, tetapi naif tentang
kehidupan.

Apalagi semenjak Alaska memperlakukannya bak putri raja. Semua perhatian itulah
yang perlahan menghancurkan dirinya.

Cantik, periang, molek, menyenangkan saat diajak bercerita, siapa orang yang tak
suka? Decak kekaguman muncul dari mana-mana ditujukan pada Verra. Mengelu-elukan
dirinya. Namun, antara sadar dan tidak, Verra mulai dikuasai suatu pikiran, perlahan tetapi
menguat, halus tak terasa tetapi nyata: pikiran bahwa dirinya lebih unggul dari gadis mana
pun. Pikiran yang sebenarnya timbul dari dulu dan muncul dengan adanya pemicu. Dia elok
tetapi arogan. Dirinya dikagumi, tetapi naif tentang kehidupan.

Suara dalam kepalanya berujar, dia rupawan, lelaki rupawan tentulah baik hatinya, dia akan
menjemputku sehingga kami bisa pergi dari sini

kalau pacarku dulu nggak separah kamu.

Dia pasti datang, karena dia rupawan, lelaki rupawan tentulah baik hatinya, pikirnya
berulang-ulang, meracau dalam hati.

Makin sederhana, makin mesra, ujar Alaska walau Verra tahu sang kekasih hanya ingin
berhemat.

, kamu kok nggak lebih baik dari pacarku dulu

Kegagalan cinta pertama tak menghentikan Verra untuk terus mencari lelaki impiannya.
Mana sudi gadis sepertinya menyerah karena takdir.
Sebuah tekad muncul seketika. Diam-diam memendam harap, dia ingin lelaki ini dapat
merubah sifat angkuhnya.

Perasaaannya begiu kalut. Sesekali, matanya menatap jam tangan yang melingkar di
pergelangan tangan, sedetik, dua detik, tiga detik…, jam tangan yang enam bulan lalu
dijadikan sang kekasih sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke dua puluh dua.

Setahun setelahnya, ketika telah jadi mahasiswa baru,

Tangan dan dahinya basah oleh keringat layaknya sedang memikirkan setiap kemungkinan
buruk yang dapat terjadi.

Alur dan sebab-akibat: Ternyata tidak bisa berubah -> Mencari yang bisa mengubah -
> pria beristri martin [jadi manut] (ada istrinya) -> duda anak 1 primus [gak ada istri] (gagal
nikah karena anak itu) -> brondong ken [gak dibebani anak] (ternyata udah punya gadis yang
dijodohkan) -> gila [terpukul] (Kali ini aku pasti berhasil, dialah orangnya, pikir Verra yakin
sementara kakinya mondar-mandir…)

Banjarmasin, 20 September 2022

Karya ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #WritingthonFestival2022

Bagai minum air laut, makin diminum makin haus, sebenarnya dia tak mencari apapun, tetapi
gadis itu takkan mengerti konsep seperti itu. Dengan perbuatan sendiri, tak sadar dia perlahan
menuju tepi jurang kekecewaan.

Lelaki itu begitu romantis dan lembut hingga hati Verra dibuat menari-nari karenanya., siapa
yang kuasa menolak? Dari pencarian demi pencarian sosok pangeran, Verra merasa
Martinlah sosok yang dia cari selama ini dan gadis itu yakin berhentilah sudah pencariannya.

Awal yang manis berakhir tak selalu indah, pertemuan Verra pertama kali dengan Rey di
tengah turunnya hujan lebat adalah momen dimana keduanya tak terpikir akan mendulang
kecewa.
Mengejar yang Mustahil
Penulis: Nadia Amalia

Tak mudah menggapai cinta. Sering cinta lalu lalang melewati hati Verra dan lelaki
yang ditunggunya pagi itu adalah cinta kelimanya. Para lelaki sebelumnya berwajah rupawan
sama seperti lelaki ini—dia selalu menjalin cinta dengan lelaki rupawan—karena angan akan
pangeran tampan berkuda putih yang senantiasa menggelayutinya. Dongeng anak semasa
kecil, hidup mudah dan serba berkecukupan ditambah pola asuh yang memanjakan
menjadikan dirinya merasa pantas mendapat lelaki terbaik.

Selama ini, masih belum ada lelaki yang layak menurut Verra. Kurang ini, kurang itu.
Setiap orang heran, lelaki seperti apa yang sebenarnya kamu inginkan? Namun, gadis itu
yakin dia pantas dapat yang terbaik tak peduli apa yang dikatakan orang. Hatinya
mengkristal: keras, geming, buta… bagai logam yang makin padat tiap kali ditempa.
Tekadnya teguh tetapi begitu amatir. Sifatnya pantang menyerah tetapi bebal.

Verra mondar-mandir di depan rumah sementara dua pasang mata menatapnya


pasrah. Kening gadis itu berkerut, matanya sesekali melirik ke kejauhan, seakan resah
menanti sang kekasih yang tak kunjung datang. Sesekali langkahnya terhenti, hela napasnya
terdengar, bibirnya digigit resah, tetapi kepalanya lekas digeleng, seperti sedang menepis
ragu. Kali ini aku pasti berhasil, dialah orangnya, suara itu bergaung di kepalanya sementara
kakinya mondar-mandir…

***

Jelita, periang, menawan, asyik diajak bicara, siapa orang yang tak suka? Decak
kagum muncul dari mana-mana ditujukan kepada Verra. Mengelu-elukan pesona gadis itu.
Hingga kemudian sampailah pesona itu kepada Alaska: tampan, mahasiswa kedokteran,
penuh perhatian. Verra diajaknya sepulang sekolah untuk makan di warung pinggir jalan.
Berbincang mereka, saling tatap, bergurau ria. Setiap kali bertemu, Alaska memandang Verra
kagum. Sering pula lelaki itu menulis pesan cinta lewat chat untuknya sebagai wujud rasa
sayang yang tulus. Dimabuk cinta Alaska padanya dan sang gadis menyukainya pula. Setiap
orang yang lihat berkata: alangkah serasinya, jelita dan tampan, sungguh beruntung! Tak
butuh keduanya pengakuan itu sebab tahulah mereka kalau mereka memang mujur. Tak dapat
dipisah, itu pikir keduanya kalau cinta mereka langgeng selamanya.
Namun, angan tak masuk akal Verra tentang lelaki sempurna yang telah terbentuk
sejak kecil dan segala perlakuan istimewa yang selama ini dia terima menjadikan
hubungannya bermasalah. Berkurangnya waktu bertemu Alaska karena lelaki itu sibuk koas
membuat Verra yang memang punya keangkuhan dalam hati menjadi gusar. Tak mengerti
gadis itu konsep menanti apalagi bersabar. Suatu waktu, lewat panggilan WhatsApp dia minta
kepada Alaska agar hubungan berakhir. Dengan mengendarai motor, Alaska berpacu
dilingkupi amarah, tetapi pada akhirnya mereka tak berhasil melewatinya: wajah Alaska cacat
karena kecelakaan motor, Verra yang belia dan naif hanya berkata, kamu nggak rupawan
lagi, maaf sudahi saja. Dengan mudah gadis itu melepas cinta seakan rasa itu tak pernah ada.
Menggores luka yang dalam di hati sang kekasih yang tak akan bisa termaafkan.

Seperti luka tertusuk jarum, mulanya tak terasa, tetapi rasa sakit perlahan muncul.
Dengan rasa yang masih tersisa, tak lama setelah mencampakkan Alaska, Verra mulai
teringat kenangan-kenangan manis bersama lelaki itu. Dia merasa bodoh telah meninggalkan
cinta pertamanya itu. Tanpa sadar, karena keputusan sesaat, dirinya kehilangan orang
berharga. Dibaca lagi pesan-pesan tulus yang dulu diterimanya dan tersengut-sengut dia
sebab kesalahan fatalnya. Dirinya menyesal dengan perpisahan yang sejak awal bisa dihindari
jika saja dia tak seangkuh itu. Setiap kali mencoba menghubungi Alaska, lelaki itu tak pernah
mengangkat panggilan darinya. Baru kemudian tahulah dia mantan kekasihnya menjalin
hubungan baru dengan gadis lain yang mana hanya bisa menyisakan perih di dadanya.
Disadarinya dosa yang telah dia perbuat. Timbulah ketakutan menjadi perempuan yang tak
diinginkan. Dirinya pun memutuskan untuk berubah.

Setahun setelahnya, ketika menjadi mahasiswa baru, bertemulah Verra dengan lelaki
bernama Rey saat dirinya berhenti di pinggir jalan ketika hujan lebat. Lewat mata teduh lelaki
itu, dirasakannya kehangatan yang belum pernah dia rasakan. Percaya dia kalau sang lelaki
adalah pangeran yang dicarinya selama ini. Dari saling lempar tatap berkembang menjadi
seulas senyum. Seulas senyum berubah menjadi obrolan santai. Obrolan santai berujung tukar
nomor WhatsApp.

Verra yang jelita, periang dan mengasyikkan membuat Rey jatuh hati hingga lelaki itu
makin lekat kepadanya sampai jadi kekasih. Setiap perempuan mendambakan lelaki seperti
Rey: tampan, mapan, dewasa. Orang-orang berkata, alangkah bahagianya, dapat kekasih
baru yang sempurna, sungguh beruntung! Disadari Verra pencapaiannya kali ini luar biasa
bahkan lebih baik dari sebelumnya. Berbungalah hatinya karena pujian orang-orang.
Berulang kembali kisah cintanya yang indah. Namun, ternyata kekasih barunya ini tetap saja
tak memenuhi angan muluknya. Tiap kali Rey berbuat sesuatu yang tak sesuai dengan
inginnya, Verra berkata, sikapmu nggak seperti lelaki yang seharusnya. Tiap kali Rey tak
sengaja berbuat salah, Verra berkata, harusnya kamu sadar diri bisa dapetin aku, bukannya
selalu begitu. Sifat angkuh itu makin menjadi-jadi hingga nyaris seutuhnya menjadi bagian
dirinya. Lupalah dia akan niatnya dahulu ingin berubah.

Verra merasa Rey bukanlah pangeran yang dia cari. Angan muluk lagi-lagi
menghalangi jalinan cintanya. Ketika Rey disibukkan proyek besar di kantor, Verra
mengambil peluang itu untuk memburu lelaki lain. Dirinya lalu berjumpa dengan seorang
lelaki bernama Martin saat mengerjakan tugas kuliah di cafe. Timbul benih asmara saat lelaki
berpembawaan asyik itu mendekat dan berbincang dengannya. Dia senang menyadari
ternyata Martin senior universitasnya dan lelaki itu pun sudah bekerja di perusahaan sendiri.
Pertemuan keduanya berlanjut, tepat seperti hubungan yang lalu-lalu. Martin nyatanya punya
daya pikat dan pesona mengagumkan yang menjadikan Verra tak berdaya untuk menahan.
Dengan ketampanan, karakter romantis, kepribadian yang supel, gadis itu pun tak kuasa
menolak. Hanya dalam waktu sebentar saja, Verra telah bersedia melakukan apa pun demi
lelaki itu. Dirinya yang hendak berubah merasa menemukan sosok yang dapat menghapus
keangkuhannya.

Bak lilin kehabisan sumbu, cinta Verra pada Rey makin meredup diganti hadirnya
Martin. Tak ada rasa yang bisa mempertahankan jalinannya: Rey perlahan tahu hubungan
Verra dengan lelaki lain dan gadis itu pun tak ambil pusing dengan kenyataan tersebut. Rey
yang mula-mula berusaha mengerti menjadi tak peduli karena Verra tetap saja bersikap masa
bodoh. Keduanya pun sadar tak lagi memiliki rasa yang sama lebih-lebih lagi sejalur. Tak ada
salam perpisahan yang pantas, lagipula terlambat untuk menyesali. Hampa sudah dirasa
keduanya bahkan berandai pula jika tak ada pertemuan sejak awal.

Bak bunga, cinta Verra kepada Martin semakin merekah. Lelaki itu sosok yang dia
ingat pertama saat membuka mata di pagi hari dan yang terakhir saat menutup mata di malam
hari—dia tak bisa menampik pikiran tentang sang lelaki. Bagaikan arus sungai ke lautan,
pikiran itu yang mulanya sekedar cinta perlahan menjadi sebuah impian untuk hidup
bersama: Verra ingin menikah dengan Martin. Dia yakin itulah yang dinginkannya dan dia
percaya lelaki itu juga menginginkan hal yang serupa. Pada hari ulang tahun Martin, dia pun
mengenakan pakaian terbaiknya dan membuntuti lelaki itu sepulang kerja seperti pecinta
pada umumnya yang ingin memberi kejutan. Dia sungguh yakin dengan keberhasilan
upayanya menyatakan keinginan untuk menikah pada Martin dan tak ada terbersit pikiran
gagal sedikit pun. Namun, senyum merekah di wajah Verra perlahan menghilang seperti abu
yang ditiup angin ketika melihat Martin disambut seorang wanita di pintu rumah sebelum
diciumnya pipi sang wanita dan dua anak kecil tertawa seraya berlari ke pelukan lelaki itu.
Ya, Verra tak tahu Martin telah memiliki dunia kecil sendiri. Patah dan terluka, gadis itu
berjalan pulang dengan hati perih.

Verra terperosok ke saung nestapa, patah semangat, layaknya kelopak bunga


berguguran. Tak pernah terbersit di pikirannya menjadi seorang pelakor dan tatkala dia
selingkuhan pria. Berat untuk melupakan, berat buat mengakui dan berat pula merelakan.

Anda mungkin juga menyukai